BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Perkawinan a. Pengertian Perkawinan Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di Indonesia berlaku berbagai macam hukum perkawinan untuk berbagai golongan warga negara dan daerah, yaitu (Sudarsono, 1994: 7): 1. Bagi Golongan Indonesia beragama Islam, berlaku Hukum Agama yang telah diresepiir oleh hukum adat; 2. Bagi orang-orang Indonesia lainnya berlaku hukum adat; 3. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijksordonantie Christen Indonesie (HOCI S. 1993 No. 74); 4. Bagi orang Timur Asing Cina dan WNI Keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan KUHPerdata dengan sedikit perubahan; 5. Bagi orang Timur Asing lainnya dan WNI Keturunan Timur Asing lainnya berlaku Hukum Adat mereka; dan 6. Bagi orang-orang Eropa dan WNI Keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku KUHPerdata. Perundang-undangan yang berlaku tersebut sebagian besar berasal dari peninggalan pemerintah kolonial belanda, yang mana peraturan tersebut sedikit banyak dirasakan tidak sesuai lagi dengan kondisi Indonesia sebagai negara merdeka yang berdasar pada falsafah negara Pancasila (Abdulkadir Muhammad, 2010: 61). Seiring dengan perkembangannya kemudian muncullah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku pada tanggal diundangkannya yaitu tanggal 2 Januari 1974, yang pelaksanaannya, secara efektif lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15
16
9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah hasil usaha untuk menciptakan hukum nasional yang merupakan produk hukum pertama yang memberikan gambar yang nyata tentang kebenaran dasar asasi kejiwaan dan kebudayaan “bhineka tunggal ika” dan merupakan unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaannya
itu
(Hazairin,
1986:
1-2).
Undang-Undang
Perkawinan merupakan sumber hukum perkawinan bagi warga negara Indonesia yang mengatur secara lengkap dan modern tentang perkawinan dan perceraian warga negara Indonesia. Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka Undang-Undang Perkawinan ini di satu pihak harus dapat mewujudkan prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan di lain pihak harus dapat menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat. UndangUndang Perkawinan yang berlaku ini telah menampung di dalamnya unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan. Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat, eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang wanita (Salim HS, 2013: 61). Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan, menyatakan bahwa perkawinan adalah sebagai: “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ada dua hal yang diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan antara lain adalah arti perkawinan dan tujuan perkawinan, yaitu arti perkawinan
17
adalah ikatan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, sedangkan tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga/rumah tangga yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Setiono, 2012: 52). Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan dinyatakan bahwa, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut
hukum
masing-masing
agama
dan
kepercayaannya”. Sesuai dengan ketentuan Pasal tersebut, perkawinan mutlak harus dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, dan apabila dilanggar, maka perkawinan itu tidak sah. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan dinyatakan bahwa, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Perbuatan pencatatan tersebut
tidak
menentukan
sahnya
suatu
perkawinan,
tetapi
menyatakan bahwa peristiwa perkawinan itu ada dan pencatatan tersebut bersifat administratif saja. Perkawinan selain didefinisikan sebagai hubungan yang diakui secara sosial antara pria dan wanita yang di dalamnya terdapat hubungan seksual untuk membesarkan anak secara legal dengan membangun suatu divisi pekerjaan bersama pasangan (Quroyzhin Kartika Rini dan Retnanigsih, 2007: 158). Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa, “Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah”. b. Tujuan Perkawinan Bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami istri sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan
18
mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Pembentukan keluarga yang
bahagia
erat
hubungannya
dengan
keturunan,
dimana
pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan kewajiban orang tua, dengan demikian tujuan perkawinan menurut peraturan perundangan
adalah
untuk
kebahagiaan
suami
istri,
untuk
mendapatkan keturunan dan menegakkan keagamaan, dalam kesatuan keluarga
yang
bersifat
parental
atau
keorangtuaan
(Hilman
Hadikusuma, 2003: 22). Tujuan perkawinan menurut hukum agama, juga berbeda antara agama yang satu dengan agama yang lain. Berikut merupakan tujuan perkawinan menurut hukum agama (Hilman Hadikusuma, 2003: 24): 1) Tujuan perkawinan menurut Hukum Islam Tujuan perkawinan menurut hukum islam ialah menurut perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur. 2) Tujuan perkawinan menurut Hukum Agama Kristen Tujuan perkawinan menurut Hukum Agama Kristen adalah untuk membentuk suatu persekutuan hidup yang kekal antara pria dan wanita berdasarkan cinta kasih, sedangkan menurut Hukum Agama
Kristen
Katolik
tujuan
perkawinan
adalah
untuk
melahirkan anak dan mendidik anak serta saling tolong menolong antara suami dan istri dan obat nafsu. Sifat hakiki perkawinan ialah monogami, tidak terceraikan dan sakramen. 3) Tujuan perkawinan menurut Hukum Agama Hindu Tujuan perkawinan menurut Hukum Agama Hindu adalah untuk mendapatkan keturunan dan untuk menebus dosa-dosa orang tua dengan menurunkan seorang putra yang akan menyelamatkan arwah orang tuanya dari neraka.
19
4) Tujuan perkawinan menurut Hukum Agama Budha Tujuan perkawinan menurut Hukum Agama Budha adalah untuk membentuk suatu keluarga (rumah tangga) bahagia yang diberkahi oleh Sanghyang Adi Buddha atau Tuhan Yang Maha Esa, para Buddha dan para Bodhisatwa-Mahasatwa. 5) Tujuan perkawinan menurut Hukum Agama Konghucu Tujuan perkawinan menurut Hukum Agama Konghucu adalah untuk membentuk keluarga yang harmonis, damai dan bahagia
(http://malikale12.blogspot.co.id/2012/05/perkawinan-
dalam-agama-konghucu.html. diakses tanggal 1 April 2016). c. Syarat-syarat dan Sahnya Perkawinan 1) Syarat-syarat Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Syarat perkawinan adalah segala hal mengenai perkawinan yang harus dipenuhi menurut ketentuan peraturan undang-undang sebelum perkawinan dilangsungkan (Abdulkadir Muhammad, 2010: 86). Lebih lanjut menurut Abdulkadir Muhammad syaratsyarat perkawinan tersebut diklasifikasikan menjadi 2 (dua) yaitu: a) Syarat material (subjektif) Syarat material adalah syarat-syarat yang ada dan melekat pada diri pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Syarat material meliputi: (1) Syarat perkawinan monogami, meliputi: (a) Persetujuan kedua mempelai; (b) Pria berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun; (c) Izin orang tua/pengadilan jika belum berumur 21 tahun; (d) Tidak masih terikat dalam satu perkawinan; (e) Tidak bercerai untuk ketiga kali dengan suami/istri yang sama yang hendak dikawini; (f) Bagi janda, lewat waktu tunggu;
20
(g) Pemberitahuan kepada pegawai pencatat perkawinan; (h) Tidak ada yang mengajukan pencegahan; (i) Tidak ada larangan perkawinan. (2) Syarat perkawinan poligami, meliputi: (a) Alasan perkawinan poligami; (b) Syarat perkawinan poligami; (c) Jaminan berlaku adil. b) Syarat formal (objektif) Syarat formal adalah tata cara dan prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan undang-undang. 2) Sahnya Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan bahwa: “(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2)
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku”.
Keabsahan suatu perkawinan merupakan suatu hal yang sangat prinsipil, karena berkaitan erat dengan akibat-akibat perkawinan, baik yang menyangkut dengan anak (keturunan) maupun yang berkaitan dengan harta. Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan menetapkan dua garis hukum yang harus dipatuhi dalam melakukan suatu perkawinan. Ketentuan ayat (1) Undang-Undang Perkawinan mengatur secara tegas dan jelas tentang keabsahan suatu perkawinan, adalah bahwa satu-satunya syarat sahnya suatu perkawinan adalah bila perkawinan itu dilakukan menurut ketentuan agama dari mereka yang akan melangsungkan perkawinan tersebut. Penjelasan ayat (1) tersebut menyatakan, tidak ada perkawinan di luar hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan yang
21
dimaksud
dengan
hukum
masing-masing
agamnya
dan
kepercayaannya itu termasuk ketentuan-ketentuan perundangundangan
yang
berlaku
bagi
golongan
agamanya
dan
kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan dengan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. Ketentuan ayat (2) Undang-Undang Perkawinan mengatur mengenai pencatatan perkawinan, bahwa suatu perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari dua ketentuan ayat ini, maka ketentuan ayat (2) tidak ada kaitannya sama sekali dengan masalah sah atau tidaknya suatu perkawinan, karena yang menyangkut masalah sah atau tidaknya suatu perkawinan telah diatur secara jelas dalam ayat (1) (Anshary, 2015: 12). Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan tersebut telah menimbulkan 2 (dua) pendapat mengenai keabsahan perkawinan. Pendapat yang pertama berpandangan bahwa perkawinan yang telah dilaksanakan menurut hukum agama dan kepercayaannya (Pasal 2 ayat (1)) tersebut telah sah, sedangkan pencatatan perkawinan sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 2 ayat (2) tersebut merupakan tindakan administratif. Pendapat yang kedua berpandangan bahwa perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum agama dan kepercayaannya tersebut barulah sah menurut hukum agama, sehingga masih diperlukan satu tindakan hukum lagi yaitu sah menurut hukum negara yakni melalui tindakan pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi mempelai yang beragama Islam dan pada Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama selain Islam. Sistem kependudukan di Indonesia menyatakan bahwa perkawinan dinyatakan sah adalah dibuktikan dengan adanya surat/akta nikah dari Kantor Urusan Agama (KUA) bagi mempelai yang beragama Islam dan akta perkawinan dari Kantor Catatan
22
Sipil Kabupaten/Kota bagi mempelai yang beragama selain Islam. Hal tersebut dapat dibuktikan bahwa dalam setiap pengurusan administrasi kependudukan, seorang penduduk dikatakan sudah berstatus kawin apabila dapat memperlihatkan surat nikah/akta perkawinan, sedangkan untuk yang baru menikah secara agama maka statusnya akan tertulis belum kawin, dan manakala ada dilahirkan keturunan maka untuk yang sudah mempunyai surat nikah/akta perkawinan dalam akta kelahiran anaknya akan dituliskan nama anak, tempat dan tanggal kelahiran, anak dari suami istri A dan B. Bagi yang baru menikah secara agama maka dalam akta kelahiran anak tersebut akan dituliskan nama anak, tempat dan tanggal kelahiran, anak dari seorang ibu bernama C. d. Asas-asas Perkawinan Asas-asas perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya adalah sebagai berikut (Abdulkadir Muhammad, 2010: 76-83): 1) Persetujuan bebas (sukarela) Perkawinan harus berdasar pada persetujuan bebas antara calon mempelai, yaitu seorang pria dan seorang wanita yang akan melangsungkan perkawinan. Persetujuan bebas artinya suka sama suka, tidak ada paksaan dari pihak lain walaupun dari pihak orang tua sendiri. Persetujuan bebas timbul karena sudah saling mengenal identitas diri masing-masing, sehingga tidak ada alasan khilaf atau keliru, dan sudah tau tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan. 2) Partisipasi Keluarga Partisipasi keluarga sangat diperlukan dalam pelaksanaan akad perkawinan karena perkawinan merupakan peristiwa yang akan menentukan perjalanan hidup mempelai meskipun calon mempelai diberi kebebasan untuk memilih pasangan hidupnya secara sukarela. Keluarga masing-masing pihak calon mempelai
23
diharapkan memberi restu atas perkawinan yang dilaksanakan dimana hal ini sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang penuh etika sopan santun dan religius. Bentuk partisipasi orang tua juga dikaitkan dengan faktor umur calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan. Perkawinan calon mempelai belum tentu dapat dilangsungkan apabila belum mencapai umur 21 tahun penuh, yang harus mendapat izin terlebih dahulu dari orang tua. Apabila dalam hal orang tua sudah tidak ada atau tidak mampu menyatakan kehendak, izin perkawinan dapat diperoleh dari keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas, dan apabila pihak keluarga ini pun tidak ada atau tidak mampu menyatakan kehendak, izin perkawinan dapat diperoleh dari pengadilan. 3) Perceraian dipersulit Perceraian yang dilakukan sewenang-wenang tanpa kendali akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan keluarga, tidak hanya kehidupan suami istri, tetapi juga kehidupan anak-anak yang dilahirkan dan harta kekayaan yang telah diperoleh dengan susah payah. Suami istri yang telah melaksanakan perkawinan dengan sah atas kesadaran diri masing-masing harus bertanggung jawab dalam membina keluarga agar keluarga tetap dibina dengan penuh rasa kasih sayang. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pun telah mengatur upaya hukum agar dapat menekan perceraian seminimal mungkin, oleh karena itu dirumuskan bahwa perceraian harus dilakukan di depan pengadilan. Perceraian yang dilaksanakan di luar pengadilan dianggap tidak mempunyai landasan hukum sehingga tidak memperoleh pengakuan dan keabsahan oleh Undang-Undang. Apabila perceraian sudah tidak dapat dihindari, di depan pengadilan tetap diupayakan perdamaian oleh hakim dengan memberi nasihat baik dan buruknya akibat perceraian.
24
4) Poligami dibatasi dengan ketat Perkawinan pada
asasnya adalah monogami,
dimana
perkawinan hanya boleh dilangsungkan antara seorang pria dan seorang wanita, yang artinya dalam waktu yang sama seorang suami dilarang untuk kawin lagi dengan wanita lain. Suami hanya boleh kawin lagi jika dia sudah bercerai dengan istrinya atau karena istrinya meninggal dunia dan hal tersebut dapat dibuktikan dengan surat keterangan cerai atau surat keterangan kematian istrinya yang dikeluarkan secara sah oleh Kantor Catatan Sipil. 5) Kematangan calon mempelai Kematangan umur calon mempelai erat hubungannya dengan masalah kependudukan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mendukung pelaksanaan program keluarga berencana nasional yang dibuktikan dengan adanya ketentuan Undang-Undang Perkawinan yang melarang perkawinan di bawah umur. Larangan perkawinan usia muda memberi kesempatan kepada kedua mempelai untuk mematangkan diri guna mencapai tujuan
luhur
perkawinan
setelah
mempelai
melaksanakan
perkawinan pada usia dewasa. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membatasi umur dewasa calon mempelai yang ingin melaksanakan perkawinan, yaitu minimal 19 tahun bagi pria dan minimal 16 tahun bagi wanita. Artinya, ketika calon mempelai sudah mencapai umur
minimal
tersebut,
pelaksanaan
perkawinan
boleh
dilangsungkan, tetapi harus lebih dulu memperoleh dispensasi dari pengadilan, tanpa adanya dispensasi lebih dulu, pihak-pihak yang berkepentingan dilarang keras membantu perkawinan di bawah umur. 6) Meningkatkan derajat kaum wanita Diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memaksa suami harus bertanggung jawab
25
sepenuhnya, baik terhadap istri dan anak-anak maupun kehidupan rumah tangganya. Suami wajib memelihara, melindungi, serta menghargai dengan penuh kasih sayang terhadap istri dan anakanaknya. Salah satu misi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah menghormati, menghargai, serta meningkatkan derajat dan status kaum wanita dalam kehidupan keluarga dan bermasyarakat. 7) Pencatatan perkawinan Perkawinan dianggap sah secara negara apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu kegunaan atau manfaat pencatatan perkawinan adalah untuk mengontrol dengan kongkret data tentang nikah, talak, dan rujuk (NTR). Menurut ketentuan Undang-Undang Perkawinan, ada dua instansi atau lembaga yang diberi tugas untuk mencatat perkawinan dan perceraian, yaitu: a) Kantor Urusan Agama Kecamatan (KUA Kecamatan) Kantor urusan agama kecamatan (KUA Kecamatan) untuk nikah, talak, dan rujuk bagi mempelai yang beragama islam diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954. Pencatatan harus dilakukan terhadap setiap perkawinan yang dilaksanakan di wilayah kecamatan masing-masing. Kelalaian melakukan pencatatan perkawinan dapat dikenakan sanksi undang-undang kepada petugas pencatat (PPN) yang bersangkutan. b) Kantor Catatan Sipil (burgerlijk stand) Kantor catatan sipil (burgerlijk stand) untuk perkawinan bagi mempelai yang bukan beragama Islam sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
26
8) Perkawinan menurut hukum agama Perkawinan hanya sah apabila dilakukan menurut hukum agama yang dianut oleh pihak yang melangsungkan perkawinan yakni pria dan wanita yang kedua menganut agama yang sama. 9) Larangan dan pembatalan perkawinan Perkawinan dilarang dalam hubungan dan keadaan tertentu menurut agama atau undang-undang, misalnya karena hubungan darah terlalu dekat, karena semenda, telah bercerai tiga kali, atau belum habis masa tunggu. Apabila perkawinan dilangsungkan, padahal ada larangan atau tidak dipenuhi syarat-syarat, perkawinan itu dapat dibatalkan. Pembatalan perkawinan dapat dilakukan dengan gugatan yang disampaikan kepada ketua pengadilan agama bagi yang beragama Islam atau melalui ketua pengadilan negeri bagi yang beragama selain Islam, dan diajukan oleh pihak keluarga mempelai, atau pihak kejaksaan karena perkawinan itu melanggar undang-undang, ketertiban umum, atau kesusilaan. 10) Mengadakan janji perkawinan Pada asasnya dengan adanya perkawinan maka akan terdapat macam-macam harta dalam perkawinan yakni: a) Harta bawaan, yaitu harta yang dimiliki oleh masing-masing suami isteri sebelum mereka melangsungkan perkawinan, sehingga harta bawaan dan harta benda yang diperoleh masingmasing
sebagai
hadiah
atau
warisan
adalah
dibawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Oleh karenanya suami atau istri masingmasing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hukum apapun. b) Harta bersama yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan, oleh karenanya suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Perkawinan).
27
Undang-Undang Perkawinan telah mengatur secara tegas mengenai harta bawaan dan harta bersama, namun apabila mempelai pria dan mempelai wanita menghendaki maka sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak boleh mengadakan janji perkawinan secara tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, dimana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut (Pasal 29 UndangUndang Perkawinan), tidak dilarang undang-undang serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum, agama dan susila. Janji perkawinan yang dimaksud misalnya, perjanjian penyatuan harta kekayaan antara kekayaan suami dan kekayaan istri, suami tidak boleh menjual harta milik istri tanpa persetujuan tertulis dari pihak istri yang dibuat di muka Notaris. e. Akibat Perkawinan Undang-Undang Perkawinan telah menyebutkan bahwa dengan adanya perkawinan akan menimbulkan akibat hukum yaitu (Siska Lis Sulistiani, 2015:13): 1) Akibat perkawinan terhadap suami istri a) Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakkan rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30); b) Hak dan kedudukan istri seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan berumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1)); c) Masing-masing
pihak
berhak
untuk
melakukan
untuk
perbuatan hukum dan suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga (Pasal 31 ayat (2) dan (3)); d) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya (Pasal 34 ayat (1)).
28
2) Akibat perkawinan terhadap harta kekayaan a) Timbul harta bawaan dan harta bersama; b) Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hukum apapun; c) Suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan Pasal 36). 3) Akibat perkawinan terhadap anak a) Anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah adalah anak yang sah (Pasal 42); b) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43). 2. Tinjauan Tentang Anak a. Pengertian Anak Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya (Charlie Rudyat, 2013: 43). Berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tidak terdapat pengaturan yang tegas tentang kriteria anak. Lain peraturan maka lain pula kriteria tentang anak tersebut sehingga mengakibatkan adanya pluralisme mengenai pengertian anak. Berikut peninjauan tentang pengertian anak dalam karakteristik umum: 1) Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang
29
masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. 2) Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 3) Pengertian anak menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
30
Berdasarkan pengertian anak yang telah diuraikan diatas, dapat digambarkan pengertian anak tersebut dengan tabel dibawah ini: Tabel I: Pengertian Anak No. Dasar Hukum 1 Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 2
3
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam
Pengertian Anak Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Sumber: Peraturan Perundang-undangan yang diolah, 2016 b. Pengertian Anak Sah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberlakukan prinsip, bahwa keturunan yang sah didasarkan atas suatu perkawinan yang sah. Keturunan yang dimaksud adalah anak, termasuk anak dari anak dan seterusnya ke bawah (J. Satrio, 2000: 18). Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan telah menentukan bahwa yang dikatakan anak sah adalah, “Anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan pula bahwa anak yang sah adalah a. anak yang
31
dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; dan b. hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Ketentuan pasal-pasal tersebut terkesan bersifat sangat umum dan tidak memberikan batasan yang jelas dan tegas soal anak sah, sehingga dapat saja ditarik garis hukum sebagai kriteria seorang anak itu dikatakan anak sah. Pertama, bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah, dan yang kedua anak yang sah adalah anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah (Anshary, 2014: 2). c. Pengertian Anak Tidak Sah Anak tidak sah adalah anak-anak yang tidak dilahirkan di dalam atau sebagai akibat dari suatu perkawinan yang sah (J. Satrio, 2000: 103). Anak tidak sah seringkali dipakai istilah anak luar kawin dalam arti luas (Mustofa Rahman, 2003: 65). Anak-anak tidak sah atau anakanak luar kawin atau anak-anak alami (onwettige, onechte, natuurlijke kinderen) adalah anak-anak yang dilahirkan dari ayah dan ibu yang tidak terikat dalam suatu perkawinan (Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, 2000: 164). Anak luar kawin yang juga disebut anak luar kawin dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi (J. Satrio, 2000: 104). Ketentuan Pasal 272 KUHPerdata, anak luar kawin ini dapat berstatus sebagai anak sah, jika ibu yang melahirkan dan laki-laki yang menghamili ibu itu menikah, dan sebelum melangsungkan perkawinan keduanya telah mengakui bahwa anak itu adalah anak mereka berdua, atau pengakuan itu dilakukan dalam akta nikah mereka (Anshary, 2014:
59).
Pasal
43
ayat
(1)
Undang-Undang
Perkawinan
menyebutkan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
32
Dilihat dari bunyi pasal tersebut di atas kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa anak luar kawin atau (natuurlijke kind, dalam Islam disebut anak thabi’iy) adalah anak yang dilahirkan di luar pernikahan dan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Artinya, anak yang dibenihkan dan dilahirkan di luar perkawinan yang sah, disebut anak luar nikah dan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu yang melahirkannya dan keluarga ibunya itu. Anak luar kawin tidak akan memperoleh hak yang menjadi kewajiban bapak biologisnya, karena ketidaksahan anak luar kawin tersebut menurut hukum negara dan konsekuensinya adalah laki-laki yang sebenarnya menjadi bapaknya tidak memiliki kewajiban memberikan hak anak-anak luar kawin, sebaliknya anak itupun tidak bisa menuntut bapak biologisnya untuk memenuhi kewajibannya yang dipandang menjadi haknya karena statusnya sebagai anak tidak sah. Adapun anak yang dibenihkan di luar perkawinan tetapi kemudian dilahirkan dalam perkawinan yang sah, maka menurut ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, anak tersebut dipandang sebagai anak yang sah (Anshary, 2014: 60). d. Hak-hak Anak Hak anak menurut Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan. Setiap anak sejak dalam kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Berikut adalah hak-hak anak yang akan dipaparkan oleh penulis: 1) Hak Kewarisan Anak Sah Hukum yang ada di Indonesia, yakni hukum adat, hukum perdata, dan hukum islam kesemuanya mengatur mengenai masalah kewarisan anak sah. Adanya pluralisme terhadap hukum
33
yang berbeda-beda dan belum adanya unifikasi hukum dalam bidang hukum kewarisan, maka ketentuan mengenai hukum kewarisan masih terpencar dan berdiri sendiri-sendiri. Hukum waris BW masih dijumpai dalam bentuknya yang asli dalam KUHPerdata, hukum waris adat masih bersifat normatif yang terdapat pada beragam suku bangsa di Indonesia. Demikian pula halnya hukum waris Islam disamping masih bersifat normatif yang terdapat dalam Kitab Suci dan Sunnah Rasulullah SAW serta di berbagai buku referensi, terdapat sebagiannya telah dituangkan dalam bentuk Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang dikenal dengan Kompilasi Hukum Islam (Anshary, 2014: 15). Besaran bagian para ahli waris berdasarkan KUHPerdata, dalam hal ini mengenai besaran ahli waris laki-laki dengan ahli waris perempuan, memiliki bagian sama antara anak laki-aki dengan anak perempuan sesuai dengan ketentuan Pasal 852 ayat (1) KUHPerdata, yang menjelaskan sebagai berikut: “Anak-anak atau sekalian keturunan mereka, biar dilahirkan dari lain-lain perkawinan sekali pun, mewaris dari kedua orang tua, kakek, nenek, atau semua keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, dengan tiada perbedaan antara laki atau perempuan dan tiada perbedaan berdasarkan kelahiran lebih dulu”. Dalam hukum waris Islam, pada prinsipnya pembagian terhadap anak laki-laki lebih besar dari anak perempuan. Hal ini berdasarkan ketentuan dalam Pasal 176 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan sebagai berikut: “Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separuh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak lakilaki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan”.
34
Sedangkan, dalam menentukan bagian-bagian tiap ahli waris, hukum waris adat mendasarkan pada kebiasaan dalam bidang kewarisan yang terjadi di masyarakat. Hal ini berarti tiap daerah memiliki cara kebiasaan yang berbeda untuk menentukan besaran bagian warisan masing-masing dari ahli waris. 2) Hak Keperdataan Anak Sah Pasal 26 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, diatur masalah kewajiban orang tua yang sekaligus merupakan hak-hak yang harus diterima si anak dari orang tuanya, yaitu orang tua berkewajiban mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anaknya, menumbuhkembangkannya serta mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak (Mahkamah Agung R.I., 2010: 616). Pasal 45 ayat (1) UndangUndang Perkawinan menyebutkan, “Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya” dan pada ayat (2) disebutkan, “Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus”. Selain itu mengenai hak anak juga diatur dalam Konvensi Hak Anak Tahun 1989 yang telah diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Peratifikasian Konvensi Hak Anak. Konvensi ini terdiri atas 54 (lima puluh empat) pasal berdasarkan materi hukumnya mengatur mengenai hak-hak anak dan mekanisme implementasi hak anak oleh negara peserta yang meratifikasi konvensi hak anak. Materi hukum mengenai hak-hak anak dalam konvensi tersebut dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kategori hak anak, yaitu (Muhammad Joni, Zulchaina Z Tanamas, 1999. 1) Hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights), yaitu hak-hak anak dalam konvensi hak-hak anak yang meliputi hak-hak untuk
35
melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya. Terdapat dalam: a) Pasal 6: mengatur ketentuan yang mewajibkan kepada setiap negara peserta untuk menjamin kelangsungan hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak. b) Pasal 24: mengatur tentang kewajiban negara peserta untuk menjamin hak atas taraf kesehatan tertinggi yang bisa dijangkau dan untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan pengobatan, khususnya perawatan kesehatan primer. 2) Hak terhadap perlindungan (protection rights), yaitu hak-hak anak dalam konvensi hak-hak anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan ketelantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi. Terdapat dalam: a) Pasal 2: mengatur tentang prinsip non diskriminasi terhadap hak-hak anak. b) Pasal 7: mengatur tentang hak anak untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan. c) Pasal 10: mengatur tentang hak anak untuk berkumpul kembali bersama orang tuanya dalam kesatuan keluarga. d) Pasal 11: mengatur tentang kewajiban negara untuk mencegah dan mengatasi penculikan atau penguasaan anak di luar negeri. e) Pasal 16: mengatur tentang hak anak untuk memperoleh perlindungan dari gangguan terhadap kehidupan pribadi. f) Pasal 19: mengatur tentang kewajiban negara untuk melindungi anak-anak dari segala bentuk salah perlakuan atau (abuse) yang dilakukan oleh orang tua atau orang lain yang bertanggung jawab atas pengasuhan mereka.
36
g) Pasal 20: mengatur tentang kewajiban negara untuk memberikan perlindungan khusus bagi anak-anak yang kehilangan lingkungan keluarga mereka. h) Pasal 21: mengatur tentang adopsi, dimana pada negara yang mengakui adopsi hanya dilakukan untuk kepentingan terbaik bagi anak. i) Pasal 22: mengatur tentang perlindungan terhadap anak-anak dalam pengungsian. j) Pasal 23: mengatur tentang hak anak-anak penyandang cacat atau (disabled) untuk memperoleh pengasuhan, pendidikan dan latihan khusus. k) Pasal 25: mengatur tentang peninjauan secara periodik terhadap anak-anak yang ditempatkan dalam pengasuhan oleh negara
karena
alasan
perawatan,
perlindungan
atau
penyembuhan. l) Pasal 32: mengatur tentang kewajiban negara untuk melindungi anak-anak dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam kesehatan,
pendidikan
atau
perkembangan
mereka. m) Pasal 33: mengatur tentang hak anak atas perlindungan dari penyalahgunaan obat bius dan narkotika. n) Pasal 34: mengatur tentang hak anak atas perlindungan dari eksploitasi dan penganiayaan seksual, termasuk prostitusi dan pornografi. o) Pasal 35: mengatur tentang kewajiban negara untuk menjajaki upaya
guna mencegah
penjualan, penyelundupan
dan
penculikan anak. p) Pasal 36: mengatur tentang hak anak atas atas perlindungan dari semua bentuk eksploitasi yang belum tercakup dalam Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 dan Pasal 35.
37
q) Pasal 37: mengatur tentang larangan terhadap penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, hukuman mati, penjara seumur hidup dan penahanan semena-mena atau perampasan kebebasan terhadap anak. r) Pasal 38: mengatur tentang konflik bersenjatan atau peperangan yang menimpa anak. s) Pasal 39: mengatur tentang kewajiban negara untuk menjamin agar
anak
yang
menjadi
korban
konflik
bersenjata,
penganiayaan, penelantaran, salah perlakuan atau eksploitasi, memperoleh perawatan yang layak demi penyembuhan dan re-integrasi sosial mereka. t) Pasal 40: mengatur tentang hak bagi anak-anak yang didakwa ataupun yang diputuskan telah melakukan pelanggaran untuk tetap dihargai hak asasinya dan khususnya untuk menerima manfaat dari segenap proses hukum atau bantuan hukum lainnya dalam penyiapan dan pengajuan pembelaan mereka. 3) Hak untuk tumbuh kembang (deveopment rights), yaitu hak-hak anak dalam konvensi hak anak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan non formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak. Hak ini dapat dikualifikasi yaitu: a) Hak untuk memperoleh informasi. b) Hak untuk memperoleh pendidikan. c) Hak untuk bermain dan rekreasi. d) Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan budaya. e) Hak untuk kebebasan berpikir, consience dan beragama. f) Hak untuk pengembangan kepribadian. g) Hak untuk memperoleh identitas. h) Hak untuk memperoleh pengembangan kesehatan dan fisik. i) Hak untuk didengar pendapatnya. j) Hak untuk/atas keluarga.
38
4) Hak untuk berpartisipasi (participation rights), yaitu hak-hak anak dalam konvensi hak anak yang meliputi hak anak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak. Hak ini dapat dikualifikasi yaitu: a) Hak anak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas pendapatnya. b) Hak anak untuk mendapatkan dan mengetahui informasi serta untuk berekspresikan. c) Hak anak untuk berserikat dan menjalin hubungan untuk bergabung. d) Hak anak untuk memperoleh akses informasi yang layak dan terlindung dari informasi yang tidak sehat. e) Hak anak untuk memperoleh informasi tentang konvensi hak anak. Ratifikasi Konvensi Hak Anak oleh Negara Republik Indonesia menimbulkan suatu kewajiban yang berkenaan dengan: 1) Pembentukan hukum dan atau harmonisasi hukum sesuai dengan kaidah hukum yang terdapat dalam konvensi hak anak. Kewajiban ini dilangsungkan dengan mereview peraturan perundang-undangan
dan
membuat
peraturan
perundang-
undangan yang baru berdasarkan konvensi hak anak (legislasi hukum nasional dalam perspektif konvensi hak anak). 2) Penegakan hukum mengenai hak-hak anak yang dilaksanakan sebagai fungsionalisasi kaidah hukum konvensi hak anak yang telah
tertampung
dalam
peraturan
perundang-undangan
sebagaimana yang dimaksud pada poin pertama diatas. 3) Melaksanakan program aksi konkret yang berkenaan dengan hakhak anak yang secara yuridis merupakan implementasi dari peraturan perundang-undangan atau hukum nasional mengenai hak-hak anak.
39
4) Membuat atau melaksanakan prosedur khusus yang diamanatkan oleh konvensi hak anak yaitu: a) Mendirikan suatu komisi nasional yang menangani hak-hak anak. b) Membuat laporan nasional (country report) mengenai perkembangan pelaksanaan konvensi hak anak dan kondisi hak-hak anak. 3. Tinjauan Tentang Pengesahan dan Pencatatan Anak Terlebih dahulu penulis mendeskripsikan mengenai pengertian pengakuan dan pengesahan anak tidak sah menjadi anak sah. Masyarakat awam selama ini masih menganggap bahwa tindakan hukum yang berupa pengakuan dan pengesahan tersebut pada dasarnya memiliki pengertian yang sama, namun sebenarnya kedua hal tersebut mempunyai pengertian yang berbeda. Penjelasan ketentuan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Administrasi
Kependudukan menjelaskan
bahwa pengakuan
anak
mengandung arti yaitu pengakuan seorang ayah terhadap anaknya yang lahir dari perkawinan yang telah sah menurut hukum agama dan disetujui oleh ibu kandung anak tersebut, sedangkan menurut Penjelasan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Kependudukan Pengesahan Anak merupakan pengesahan status seorang anak yang lahir dari perkawinan yang telah sah menurut hukum agama, pada saat pencatatan perkawinan dari kedua orang tua anak tersebut telah sah menurut hukum negara. a. Tinjauan Pengesahan Anak 1) Pengertian Pengesahan Penjelasan ketentuan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Kependudukan menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pengesahan anak merupakan pengesahan status seorang anak yang lahir dari perkawinan yang telah sah menurut hukum agama, pada saat pencatatan perkawinan dari kedua orang tua anak tersebut telah sah menurut hukum negara.
40
2) Tujuan Pengesahan Undang-undang tidak memberikan perumusan mengenai tindakan mengesahkan anak, tetapi dengan mendasarkan pada ketentuan yang ada yakni ketentuan Pasal 277 KUHPerdata dapat disimpulkan bahwa pengesahan merupakan sarana hukum, dengan mana seorang anak luar kawin diubah status hukumnya sehingga mendapatkan hak-hak seperti yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang anak sah (J. Satrio, 2000: 164-165). Selanjutnya KUHPerdata mengatur mengenai pengesahan anak, dimana pengesahan anak luar kawin adalah suatu upaya hukum (rechtsmiddel) untuk memberikan suatu kedudukan (status) sebagai anak sah melalui perkawinan yang dilakukan oleh orang tuanya. 3) Ruang Lingkup Pengesahan Anak Menurut KUHPerdata dan Undang-Undang Administrasi Kependudukan a) Menurut KUHPerdata KUHPerdata memungkinkan anak luar kawin dapat memperoleh hubungan perdata dengan ayah dan ibunya, yaitu dengan melalui pengesahan anak. Pengesahan dapat dilakukan melalui perkawinan orang tua anak yang bersangkutan atau dengan surat-surat pengesahan berdasarkan pengakuan terlebih dahulu oleh orang tua yang bersangkutan. Sebaliknya, anakanak luar kawin yang tidak dapat diakui, adalah anak zinah dan anak sumbang sesuai dengan Pasal 272 KUHPerdata. Pengesahan anak tidak sah menjadi anak sah pada awalnya diatur dalam Pasal 272 sampai dengan Pasal 279 KUHPerdata, dan meskipun ketentuan mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang diatur dalam KUHPerdata telah dinyatakan tidak berlaku sesuai
dengan
Perkawinan.
ketentuan
Namun
Pasal
ternyata
66
Undang-Undang
dalam
Undang-Undang
Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya yakni Peraturan
41
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak diatur mengenai masalah pengesahan anak tidak sah menjadi anak sah tersebut, maka KUHPerdata dapat dijadikan pedoman. Subyek yang dapat melakukan pengesahan anak luar kawin adalah ayah maupun ibunya. Menurut Pasal 277 KUHPerdata, pengesahan anak baik dengan kawinnya ayah dan ibunya, maupun dengan surat pengesahan menurut Pasal 274, mengakibatkan, bahwa terhadap anak itu akan berlaku ketentuan-ketentuan undang-undang yang sama seolah-olah anak itu dilahirkan dalam perkawinan. b) Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur mengenai pengesahan anak. Hanya saja diketahui dalam ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan dinyatakan bahwa, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Ketentuan Pasal 48 ayat (3) Rancangan Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan dapat disahkan dengan perkawinan, namun setelah terbentuknya Undang-Undang Perkawinan bunyi pasal tersebut tidak diakomodir, justru dalam ketentuan Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan disebutkan bahwa, kedudukan anak yang dilahirkan diluar perkawinan akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Namun, hingga saat ini meskipun sudah terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pengaturan mengenai pengesahan anak tersebut belum juga diatur, maka sesuai ketentuan Pasal 66 Undang-
42
Undang Perkawinan, KUHPerdata dapat dijadikan pedoman dan yang terjadi pengaturan mengenai pengesahan anak saat ini diatur dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. c) Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Undang-Undang Administrasi Kependudukan mengatur mengenai pengesahan anak dalam Pasal 50. Penjelasan ketentuan Pasal 50 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pengesahan anak merupakan pengesahan status seorang anak yang lahir dari perkawinan yang telah sah menurut hukum agama, pada saat pencatatan perkawinan dari kedua orang tua anak tersebut telah sah menurut hukum negara. 4) Terjadinya Pengesahan Terjadinya Pengesahan Anak didasarkan pada ketentuan Pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang menyatakan bahwa, “(1) Setiap pengesahan anak wajib dilaporkan oleh orang tua kepada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak ayah dan ibu dari anak yang bersangkutan melakukan perkawinan dan mendapatkan akta perkawinan. (2)
Pengesahan anak hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama dan hukum negara.
(3)
Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada register akta pengesahan anak dan menerbitkan kutipan akta pengesahan anak”.
43
5) Akibat Pengesahan Ketentuan mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang diatur dalam KUHPerdata telah dinyatakan tidak berlaku sesuai dengan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan, namun ternyata dalam UndangUndang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya tidak diatur mengenai masalah pengesahan anak tidak sah menjadi anak sah tersebut, untuk itu akibat pengesahan anak menurut Pasal 277 KUHPerdata menyebutkan bahwa, “Pengesahan anak, baik dengan kemudian kawinnya bapak dan ibunya, maupun dengan surat pengesahan menurut Pasal 274, mengakibatkan, bahwa terhadap anak itu akan berlaku ketentuan-ketentuan undang-undang yang sama seolah-olah anak itu dilahirkan dalam perkawinan”. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa kedudukan anak yang disahkan adalah sama dengan anak yang sejak semula adalah anak sah. Pengesahan anak luar kawin adalah suatu upaya hukum (rechtsmiddel) untuk memberikan suatu kedudukan (status) sebagai anak sah melalui perkawinan yang dilakukan oleh orang tuanya. b. Tinjauan Pencatatan Anak Pencatatan dalam
keluarga bagi
setiap
pasangan
telah
diperintahkan oleh Undang-Undang Perkawinan, dan diatur secara lebih rinci dalam peraturan perundang-undangan yang terkait. Peraturan Perundang-undangan yang terkait adalah seperti perumusan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, “Setiap Penduduk wajib melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialaminya kepada Instansi Pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil”. Peristiwa penting yang dimaksud menurut Pasal 1 angka 17 UndangUndang Administrasi Kependudukan adalah kejadian yang dialami
44
oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir rnati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan. Pencatatan sipil menurut ketentuan Pasal 1 angka 15 UndangUndang Administrasi Kependudukan adalah pencatatan peristiwa penting yang dialami oleh seseorang dalam register pencatatan sipil pada instansi pelaksana. Pencatatan sipil yang dibuat oleh Lembaga Catatan Sipil bertujuan untuk memungkinkan seseorang memperoleh selengkap-lengkapnya
kepastian
hukum
yang
sebenar-benarnya
mengenai peristiwa kehidupannya. Semua peristiwa kehidupan didaftarkan/dibukukan oleh Lembaga Catatan Sipil, sehingga baik orang yang bersangkutan maupun orang lain yang berkepentingan atas izinnya dapat memiliki bukti tentang peristiwa tersebut dan suatu ketika ada pihak ketiga yang mempunyai kepentingan untuk mengetahui tentang kelahiran, perkawinan, pengakuan, pengesahan, perceraian dan kematian seseorang, maka daftar peristiwa-peristiwa tersebut dapat dibuka untuk umum (Wienarsih Imam Subekti dkk, 2005: 18). Penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan menjelaskan bahwa penyelenggaraan Administrasi Kependudukan bertujuan untuk: 1) Memberikan keabsahan identitas dan kepastian hukum atas dokumen penduduk untuk setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk; 2) Memberikan perlindungan status hak sipil penduduk; 3) Menyediakan data dan informasi kependudukan secara nasional mengenai pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil pada berbagai tingkatan secara akurat, lengkap, mutakhir, dan mudah diakses sehingga
menjadi
acuan
bagi
perumusan
kebijakan
dan
pembangunan pada umumnya; 4) Mewujudkan tertib Administrasi Kependudukan secara nasional dan terpadu; dan
45
5) Menyediakan data Penduduk yang menjadi rujukan dasar bagi sektor terkait dalam penyelenggaraan setiap kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Akta-akta
yang
dibuat
oleh
Pegawai
Pencatatan
Sipil
mempunyai kegunaan yaitu (Victor M. Situmorang, 1991: 2): 1) Akta Catatan Sipil merupakan alat bukti paling kuat dalam menentukan kedudukan seseorang; 2) Merupakan akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna di depan hakim/pengadilan; 3) Memberikan kepastian hukum sebesar-besarnya tentang kejadiankejadian
mengenai
kelahiran,
kematian,
perkawinan,
dan
pengakuan anak serta perceraian; 4) Dari segi praktisnya akta-akta kelahiran pada khususnya dari Catatan Sipil dapat dipergunakan untuk tanda bukti yang otentik dalam hal pengurusan paspor, kewarganegaraan, KTP, keperluan sekolah, bekerja, masuk AKABRI, menentukan status waris dan sebagainya. Bentuk pencatatan anak tidak sah menjadi anak sah untuk itu adalah berupa akta pengesahan anak, dimana akta pengesahan anak yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil tersebut merupakan bentuk pernyataan bahwa anak tidak sah telah disahkan menjadi anak sah. Pencatatan setelah pengakuan anak dapat berupa akta pengakuan anak. Pengakuan anak hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah menurut agama, tetapi belum sah menurut hukum Negara (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) sedangkan pencatatan setelah pengesahan anak pun berupa akta pengesahan anak. Pengesahan hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama dan hukum Negara.
46
B. Kerangka Pemikiran ANAK TIDAK SAH
ANAK SAH
KUHPerdata
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006, UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2013, PERPRES NOMOR 25 TAHUN 2008, , PERDA NOMOR 10 TAHUN 2010, PERDA NOMOR 1 TAHUN 2015, PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 11 TAHUN 2011
PENGESAHAN
PELAKSANAAN
HAMBATAN
AKIBAT HUKUM
YA PERKAWINAN
PENCATATAN OLEH DISPENDUKCAPIL
TIDAK PENETAPAN PENGADILAN
47
Keterangan: Anak tidak sah yang diartikan anak luar kawin merupakan anak yang tidak dilahirkan di dalam atau sebagai akibat dari suatu perkawinan yang sah. Anak-anak tidak sah atau anak-anak luar kawin atau anak-anak alami (onwettige, onechte, natuurlijke kinderen) adalah anak-anak yang dilahirkan dari ayah dan ibu yang tidak terikat dalam suatu perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang
Perkawinan, menyatakan bahwa perkawinan adalah sebagai: “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasar pada Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tujuan perkawinan adalah membentuk
keluarga/rumah
tangga
yang
berbahagia
dan
kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan keberadaan anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti. Selama ini kedudukan anak tidak sah yang merupakan anak luar kawin dalam arti sempit lemah dimata hukum karena sesuai dengan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan anak tersebut hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Hal tersebut menyebabkan hak anak terhadap ayah biologisnya tidak terpenuhi, untuk itu diperlukan adanya perlindungan hukum terhadap hak anak agar anak mendapatkan perlakuan yang adil. Bentuk perlindungan terhadap hak anak tersebut dapat dilakukan dengan mengubah status anak tersebut menjadi anak sah yaitu dengan melakukan suatu upaya hukum yang berupa pengesahan dan pencatatan, dimana upaya hukum pengesahan anak sesuai dengan Penjelasan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2006
tentang
Administrasi
Kependudukan merupakan pengesahan status seorang anak yang lahir dari perkawinan yang telah sah menurut hukum agama, pada saat pencatatan perkawinan dari kedua orang tua anak tersebut telah sah menurut hukum
48
negara. Pada kerangka pemikiran dapat diketahui nantinya bagaimana pelaksanaan pengesahan, hambatan dan penyelesaian yang terjadi dalam pengesahan anak, dan akan diketahui pula akibat hukum dari adanya suatu pengesahan. Pengesahan anak dapat terjadi ketika hal itu bersamaan dengan pencatatan perkawinan kedua orang tuanya maupun dapat terjadi setelah adanya penetapan pengesahan anak dari Pengadilan Negeri. Setelah adanya tindakan pengesahan akan dilakukan pencatatan oleh Pejabat Pencatatan Sipil pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil yakni dengan membuat catatan pinggir pada kutipan akta kelahiran anak dan kutipan akta pengesahan anak. Upaya hukum untuk mengubah status anak tidak sah menjadi anak sah tersebut harus dilakukan dengan berpedoman kepada sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Adapun sistem hukum Indonesia yang mengatur mengenai hal tersebut antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2006
Tentang
Administrasi Kependudukan, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil yang selanjutnya diikuti dengan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor
10
Tahun
2010
tentang
Penyelenggaraan
Administrasi
Kependudukan, Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 10 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan serta Peraturan Walikota Surakarta Nomor 11 Tahun 2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 10 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan.