BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka 1. Tinjauan Umum tentang Kasasi a. Definisi Kasasi Kasasi berasal dari kata casser yang artinya memecah. Lembaga Kasasi berawal di Prancis, ketika suatu putusan hakim dibatalkan demi untuk mencapai kesatuan peradilan. Mulanya, kewenangan itu berada di tangan raja beserta dewannya yang disebut conseil du Roi. Setelah revolusi yang meruntuhkan kerajaan Prancis, dibentuklah suatu badan khusus yang tugasnya menjaga kesatuan penafsiran hukum, jadi merupakan badan antara yang menjembatani pembuat undang – undang dan kekuasaan kehakiman. ( Andi Hamzah, 2008:297 ) Lembaga kasasi tersebut lalu diaplikasikan di negeri Belanda yang kemudian masuk ke Indonesia. pada asasnya, kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan kehakimannya. Kasasi merupakan upaya hukum terhadap putusan banding yang telah dijatuhkan oleh pengadilan banding/tinggi. ( Hadari Djenawi Tahir, 1981:17 ) Kasasi adalah pembatalan atas keputusan yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir yang memberikan putusan terhadap pengadilan-pengadilan di tingkat dibawahnya dan para hakim yang memberikan putusan yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 jo. Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Pemohon kasasi lawannya terlawan kasasi. Hal ini kedua belah pihak samasama memohon kasasi, berarti hanya ada pemohon kasasi, tidak ada termohon kasasi. Upaya hukum kasasi baru bisa digunakan kalau sudah mempergunakan upaya hukum banding. Terhadap putusan-putusan yang diberikan tingkat terakhir oleh Pengadilanpengadilan lain daripada Mahkamah Agung, kasasi dapat dimintakan kepada Mahkamah Agung (Pasal 10 ayat 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970). Menurut Pasal 244 KUHAP, menyatakan bahwa Penuntut Umum dapat mengajukan permohonan kasasi terhadap perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.Melalui kasasi Mahkamah Agung dapat menggariskan, memimpin
dan
uitbouwen
dan
voorbouwen
(mengembangkan
dan
mengembangkan lebih lanjut) hukum melalui yurisprudensi. Dengan demikian ia dapat mengadakan adaptasi hukum sesuai dengan derap dan perkembangan dari masyarakat dan khususnya keadaan sekelilingnya apabila perundang-undangan itu sendiri kurang gerak sentuhnya dengan gerak dinamika kehidupan masyarakat itu sendiri (Oemar Seno Adji, 1985:43). Tujuan kasasi ialah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang-undang atau keliru dalam menerapkan hukum. ( Yahya Harahap, 1989:539 ) b. Alasan-Alasan Kasasi MA memutuskan permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir dari semua lingkungan Peradilan. Pembatalan putusan atau penetapan dari semua lingkungan Peradilan oleh MA dengan alasan-alasan sebagai berikut ( Pasal 30 undang-undang nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung ) : (1)
Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
(2)
Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlak; dan
(3)
Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peratran perundangundangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan c. Tata Cara Kasasi (1) Pada Tingkat Pengadilan Negeri (a)
Pemohon kasasi menyatakan kehendaknya di Kepaniteraan PN yang bersangkutan dalam masa tenggang waktu kasasi, sejak setelah putusan diberitahukan kepada yang bersangkutan.
(b)
Pemohon menghadap meja I yang akan menjelaskan dan menaksir biaya kasasi, yang kemudian dituangkan dlam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).
(c)
Membayar panjar ke kasir sesuai yang tercantum pada SKUM. Kasir kemudian menandatangani SKUM dan memberi tanda lunas serta mencatatnya dalam Jurnal Permohonan Kasasi.
(d)
Setelah biaya dibayar, panitera pada hari itu juga membuat Akta Permohonan Kasasi, lalu oleh meja II dicatat dalam Register Induk Perkara yang bersangkutan dalam Register Permohonan Kasasi. Setelah didaftar, Pemohon kasasi diberi lembaran pertama SKUM dan satu salinan Akta Permohonan Kasasi.
Lalu oleh meja III akan
melaksanakan penyelesaian administrasi permohonan kasasi itu.
(e)
Selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari, Panitera (meja III) wajib memberitahukan kepada pihak lawan dan menyerahkan salinan Akta Permohonan Kasasi. Dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah permohonan kasasi itu dicatat, maka pemohon wajib menyampaikan Memori Kasasi. Jika tidak, maka Panitera membuat surat keterangan bahwa pemohon tidak mengajukan surat memori kasasi.
(f)
Selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah penyerahan memori kasasi, meja III wajib memberitahukan kepada pihak lawan melalui Juru Sita/Pengganti juga dengan menyerahkan salinan memori kasasi.
(g)
Pihak lawan berhak mengajukan jawaban (kontra memori kasai),
selambat-lambatnya dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya
memori kasasi itu. Meja III memberi tahu kepada
Pemohon Kasasi melalui Juru Sita/Pengganti dengan menyerahkan salinan kontra memori kasasi. (h)
Tangal Pemberitahuan Kasasi , serta tanggal penerimaan memori dan kontra memori kasasi dicatat dalam Register Permohonan Kasasi.
(i)
Meja III memberitahukan para pihak (Pemohon dan termohon Kasasi), dalam waktu selama 14 (empat belas) hari, dapat melihat, membaca, dan mempelajari berkas perkara kasasi tersebut.
(j)
Meja III segera meminutasi dan menjahit berkas kasasi tersebut dan disegel sebagai Bendel B (yang kelak mejadi arsip di MA), sebelum hari inzage tiba.
Berkas bendel B tersebut terdiri dari: Relaas-Relaas Pemberitahuan Isi Putusan Banding kepada kedua belah pihak, Akte Permohonan Kasasi, Surat Kuasa Khusus dari Pemohon (jika ada), Memori Kasasi (jika ada)/ Surat Keterangan jika tidak diajukan Memori Kasasi, Tanda Terima Memori Kasasi, Relaas Pemberitahuan Kasasi (Akta Permohonan Kasasi) kepada Pihak Lawan. Reelas Pemberitahuan Memori Kasasi kepada Lawan, Kontra Memori Kasasi (jika ada), Reelas Pemberitahuan Kontra Memori Kasasi, Reelas Memberikan Kesempatan kepada Pihak-Pihak untuk membaca dan memeriksa Berkas, Salinan Resmi Putusan PA, Salinan Resmi Putusan PTA, Dan Tanda Bukti Setoran Biaya Kasasi yang sah dari Bank. (2) Pada Tingkat MA (a) Panitera MA mencatat permohonan kasasi tersebut dalam buku daftar dengan memasukkan nomor urut sesuai tanggal penerimaannya, membuat catatan singkat tentang isinya, dan melaporkan semua kepada Ketua MA ; (b) Ketua MA menetapkan majelis Hakim untk memeriksa perkara kasasi,
dan dibantu oleh Panitera sidang ; 3) MA memutus permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir dari semua lingkungan Peradilan ; (d) MA memeriksa dan memutuskan dengan sekurang-kurangnya tiga orang Hakim ; (e) Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh MA, berdasarkan surat-surat dan hanya jika dipandang perlu MA mendengar sendiri para pihak atau saksi atau memerintahkan Pengadilan Tingkat Pertama atau Tingkat banding yang memutuskan perkara tersebut mendengar para pihak atau para saksi ; (f) Apabila MA membatalkan Putusan Pengadilan dan mengadili sendiri perkara tersebut, maka dipakai hukum pembuktian yang berlaku bagi Pengadilan Tingkat Pertama ; (g) Dalam hal MA mengabulkan permohonan kasasi berdasarkan alasan tidak berwenang, maka MA menyerahkan perkara tersebut kepada Pengadilan lain yang berwenaang memeriksa dan memutuskan. MA mengabulkan berdasarkan alasan salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku atau alasan lalai memenuhi syarat UU, maka MA memutuskan sendiri perkara yang dimohonkan kasasi itu ; (h) Dalam mengambil putusan, MA tidak terikat alasan-alasan yang diajukan dan dapat memakai alasan-alasan hukum lain ; (i) Putusan MA diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum ; dan (j) Salinan putusan dikirim kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama. (3) Kembali ke Tingkat Pengadilan Negeri (a) Putusan MA diterima PN pada meja III (b) Meja III, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) setelah putusan dan berkas perkara itu diterima, memeberitahukan kepada kedua belah pihak melalui Juru Sita Pengganti. (c) Pemberitahuan putusan tersebut (PBT. C. 4 dan PBT. C. 5) dicatat dalam Register Permohonan Banding dan Register Induk Perkara yang bersangkutan.
(d) Putusan MA telah mempunyai kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam siidang terbuka untuk umum
d. Prosedur Permintaan Kasasi Bedasarkan Pasal 244-258 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yaitu : Pengajuan Permintaan Kasasi dapat oleh Terdakwa (atau yang dikuasakan secara khusus) dan Penuntut Umum. Permintaan pemeriksaan untuk kasasi dapat diajukan terhadap putusan tingkat terakhir dari pengadilan lain selain Mahkamah Agung, yakni: (1) Putusan pengadilan tinggi pada tingkat banding Putusan pengadilan negeri dalam acara pemeriksaan cepat (kecuali yang berupa perampasan kemerdekaan dalam hal telah diajukan perlawanan, yang harus dimintakan banding terlebih dahulu). Tetapi jika putusan itu berupa putusan bebas, tidak diperkenankan mengajukan kasasi. (2) Alasan Pengajuan Kasasi Alasan pengajuan kasasi oleh pihak Terdakwa atau penuntut umum dituangkan dalam suatu perumusan Pasal 253 ayat (1) Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana diatur secara singkat alasan mengajukan kasasi sebagai berikut: (a) Pemeriksaan
dalam
tingkat
kasasi
yang
dilakukan
oleh
Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 guna menentukan: (i) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; (ii) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan
menurut
ketentuan ndang-undang; (iii)
Apakah
benar pengadilan
telah
melampaui
batas wewenangnya. (b) Cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-
undang, misalnya pengadilan dilakukan di belakang pintu tertutup tanpa alasan menurut undang-undang. (A.Hamzah,1996: 308). (c) Berdasarkan alasan dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP, maka putusan pengadilan yang dimintakan kasasi dibatalkan karena: (i) Peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana
mestinya,
Mahkamah
Agung mengadili
perkara tersebut. (ii) Cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, Mahkamah Agung menetapkan disertai petunjuk agar pengadilan yang memutus perkara yang bersangkutan memeriksanya lagi mengenai bagian yang dibatalkan atau berdasarkan alasan tertentu Mahkamah Agung dapat menetapkan perkara tersebut diperiksa oleh pengadilan setingkat yang lain. (iii) Pengadilan atau hakim yang bersangkutan tidak berwenang mengadili perkara tersebut, Mahkamah Agung menetapkan pengadilan atau hakim lain untuk mengadili perkara tersebut (Moch. Faisal Salam, 2001:361). Alasan pengajuan kasasi dalam Pasal 18 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung : (1) Apabila peraturan
hukum
tidak
dilaksanakan
atau
ada
kesalahan pada pelaksanaannya. (2) Apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan yang harus diturut undang-undang menurut undang-undang. (3) Proses Pengajuan Kasasi Proses
pengajuan
kasasi
menurut
KUHAP
terdapat dalam
Pasal 245 KUHAP sampai Pasal 257 KUHAP, yaitu : (a) Jangka Waktu Permintaan kasasi dapat diajukan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi
diberitahukan kepada Terdakwa, jika tenggang waktu itu telah lewat dan pemohon terlambat mengajukan permohonan kasasi maka hak untuk itu dinyatakan gugur dan yang bersangkutan dianggap menerima putusan.Panitera juga harus membuat akta mengenai hal itu serta melekatkan akta tersebut pada berkas perkara. (2) Pengajuan Permintaan kasasi diajukan kepada panitera pengadilan negeri
yang telah memutus perkara pada tingkat
pertama,
selanjutnya oleh panitera ditulis dalam sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh panitera dan pemohon serta dicatat dalam daftar yang dilampirkan pada berkas perkara. (3) Pemberitahuan Kepada Pihak Lain Atas permintaan kasasi yang diajukan dan pengadilan negeri menerima permohonan kasasi, baik yang diajukan penuntut umum maupun Terdakwa sekaligus, maka panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak
yang satu ke pihak yang lainnya
(SusiloYuwono,1982:164- 165). Pasal 247 KUHAP disebutkan bahwa: (i)
Selama perkara permohonan kasasi belum diputus oleh mahkamah
agung,
permohonan
kasasi
dapat
dicabut
sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permohonan kasasi dalam perkara itu tidak dapat diajukan lagi. (ii)
Jika pencabutan dilakukan sebelum berkas perkara dikirim ke mahkamah agung, berkas tersebut tidak jadi dikirimkan.
(iii) Apabila perkara telah mulai diperiksa akan tetapi belum diputus,
sedangkan
sementara
itu
pemohon
mencabut
permohonan kasasinya, maka pemohon dibebani membayar perkara yang telah dikeluarkan oleh mahkamah agung hingga saat pencabutannya. (iv) Permohonan kasasi hanya dapat dilakukan satu kali. (4) Penolakan Permohonan Kasasi
Suatu permohonan kasasi dapat diterima atau ditolak untuk diperiksa oleh Mahkamah Agung. Menurut KUHAP, suatu permohonan ditolak jika: (i) Putusan yang dimintakan kasasi ialah putusan bebas (Pasal 244 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). (ii) Melewati tenggang waktu penyampaian permohonan kasasi kepada panitera pengadilan yang memeriksa perkaranya, yaitu 14 (empat belas) hari sesudah putusan disampaikan kepada Terdakwa (Pasal 245 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). (iii) Sudah ada keputusan kasasi sebelumnya mengenai perkara tersebut. Kasasi hanya dilakukan sekali (Pasal 247 ayat (4) KUHAP) (iv) Pemohon tidak mengajukan memori kasasi (Pasal 248 ayat (v) KUHAP) atau tidak memberitahukan alasan kasasi kepada panitera, jika pemohon tidak memahami hukum (Pasal 248 ayat (2) KUHAP), atau pemohon terlambat mengajukan memori kasasi,
yaitu 14
(empat
belas)
hari sesudah
mengajukan permohonan kasasi (Pasal 248 ayat (1) dan ayat (4) KUHAP) (vi) Tidak ada alasan kasasi atau tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP tentang alasan kasasi. e. Mencabut Permohonan Kasasi Sebelum permohonan kasasi diputus oleh MA, maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh Pemohon, tanpa memerlukan persetujuan pihak lawan. Apabila berkas perkara belum dikirimkan kepada MA, maka: (1) Pencabutan disampaikan kepada PN yang bersangkutan, tertulis maupun lisan (2) Kemudian oleh panitera dibuatkan Akta Pencabutan Kembali Permohonan Kasasi. (3) Pemohon tak dapat lagi mengajukan kasasi dalam perkara itu meskipun
tenggang waktu kasasi belum lampau. (4) Dan berkas perkaranya tidak perlu dikirimkan ke MA. Jika berkas perkara telah sampai ke MA, maka: (1) Pencabutan dilakukan kepada PN bersangkutan atau langsung kepada MA. (2) Jika melalui PN, maka dikirimkan kepada MA. (3) Jika permohonan kasasi belum diputus, maka MA akan mengeluarkan “Penetapan” yang isinya bahwa mengabulkan permohonan pencabutan dan memerintahkan untuk mencoret perkara kasasi. (4) Jika kasasi telah diputus, maka pencabutan kembali mustahil terkabul 2) Tinjauan Tentang Tindak Pidana Penggelapan Tindak pidana penggelapan diatur dalam Bab XXIV Pasal 372 KUHP sampai Pasal 377 KUHP dalam bentuk pokoknya disebutkan sebagai berikut : “Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang yang sama sekali atau sebagian kepunyaan
orang lain dan berada dalam
kekuasaannya bukan karena kejahatan, dipidana karena penggelapan, dengan pidana selama-lamanya empat tahun atau denda sebesar-besarnya Sembilan ratus rupiah. Penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dalam Pasal 362. Bedanya ialah pada pencurian barang yang dimiliki itu belum berada di tangan pencuri dan masih harus “diambilnya” sedangkan pada penggelapan waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan si pembuat tidak dengan jalan kejahatan. ( R Soesilo, 1968,258 ) Lamintang memiliki pendapat tentang arti penggelapan yang pada dasarnya sama dengan uraian Pasal 372 KUHP. Menurut Lamintang, tindak pidana
penggelapan
adalah
penyalahgunaan
hak
atau
penyalahgunaan
kepercayaan oleh seorang yang mana kepercayaan tersebut diperolehnya tanpa adanya unsur melawan hukum. Menurut
beliau,
dengan
penyebutan
penyalahgunaan
hak
atau
penyalahgunaan kepercayaan akan memberikan kemudahan bagi setiap orang untuk mengetahui perbuatan apa sebenarnya yang dilarang dan diancam pidana
dalam ketentuan tersebut. Berikut jenis-jenis penggelapan berdasarkan Bab XXIV Pasal 372 sampai dengan 377 KUHP. a) Penggelapan biasa Penggelapan biasa adalah penggelapan yang diatur dalam Pasal 372 yang unsur-unsurnya telah disebutkan di atas. b) Penggelapan ringan Pengelapan ringan adalah penggelapan yang diatur dalam Pasal 373 dimana yang digelapkan itu bukan hewan dan harganya tidak lebih dari 250,c) Penggelapan dalam kalangan keluarga Penggelapan dalam lingkungan keluarga yakni penggelapan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa disuruh menyimpan barang itu, atau wali, curator, pengurus, orang yang menjalankan wasiat atau pengurus balai derma, tentang suatu barang yang ada dalam tangannya karena jabatannya tersebut (Pasal 375 KUHP) d) Penggelapan dengan pemberatan Penggelapan dengan pemberatan yakni penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu berhubungan dengan pekerjaannya atau jabatannya atau karena ia mendapat upah (Pasal 374 KUHP). Macammacam Jenis penggelapan dalam pemberatan yaitu : a) Pengertian Penggelapan dengan menggunakan jabatan dalam Pasal 374 KUHP Penggelapan dengan menggunakan jabatan merupakan tindak pidana penggelapan dengan pemberatan. Pengertian dari tindak pidana peggelapan dengan menggunakan jabatan tercantum dalam Pasal 374 KUHP, yang menyatakan bahwa Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaanya terhadao barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Dikatakan sebagai penggelapan dengan pemberatan berdasarkan Pasal 374 KUHP apabila seseorang melakukan tindak pidana dengan cara menyalahgunakan jabatannya, dimana orang itu telah diberi kepercayaan
atas jabatannya untuk menitipkan barang atau sebagainya yang bersangkutan dengan menitipkan ,namun kepercayaan yang diberikan karena jabatanya itu ia melakukan perbuatan penggelapan. Maka orangn yang melakukan tindak pidana ini dapat dikenakan pidana dengan pemberatan yang salah satu unsurnya adalah menyalahgunakan jabatanya. b) Unsur-unsur yang memberatkan dalam Tindak pidana Penggelapan dengan menggunakan Jabatan Tindak pidana penggelapan seperti yang telah diuraikan sebelumnya diatur dalam KUH Pasal 372-377. Rumusan tentang tindak pidana penggelapan dalam bentuk yang diperberat yang terdapatt di dalam Pasal 374 KUHP. Oleh karena itu, didalam membahas rumusan unsur-unsur tindak pidana penggelapan dalam bentuk pokok, oleh karena itu sebelum membahas unsur-unsur tidak pidana penggelapan dalam jabatan,akan dibahas terlebih dahulu unsur-unsur tindak pidana dalam bentuk pokok, unsur-unsur tindak pidana dalam bentuk pokok yang terdapat dalam Pasal 372 KUHP terdiri dari unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur Objektif, terdiri dari : (1) Perbuatan memiliki Memiliki adalah setiap perbuatan penguasaan atas barang atau suatu tindakan yang mewujudkan suatu kehendak untuk melakukan kekuasaan yang nyata dan mutlak atas barang itu, hingga tindakan itu merupakan perbuatan sebagai pemilik atas barang itu. Dalam Mvt mengenai pembentukan Pasal 372 mengatakan bahwa memiliki adalah berupa perbuatan menguasai suatu benda seolah olah ia pemilik benda itu. Pemilikan itu pada umumnya terdirri atas setiap perbutan yang menghapuskan kesempatan untuk memperoleh kembali barang itu oleh pemilik yang sebenarnya dengan cara-cara seperti menghabiskan atau memindah
tangankan
barang
itu
seperti
memakan
memakai
menjual ,meukar dalam hal-hal yang masih dimungkinkan memperoleh kembali barang itu sperti pinjam meminjam, menjual dan hak membeli kembali bahkan menolak pengembalian atau menahan barang itu
dengan menyembunyikan sudah dapat dikatakan sebagai perbuatan memiliki Dari apa yang disampaikan dapat disimpulkan bahwa perbuatan memiliki itu adalah perbuatan terhadap suatu benda oleh seseorangg yang seolah-olah pemiliknya, perbuatan mana bertentangan dengan sifat dari hak yang ada padanya atas benda tersebut. (2) Unsur objek kejahatan sebuah benda Pada perbuatan penggelapan barang yang menjai objek penggelapan adalah hanya terhaap bena-benda berwujud dan bergerak saja. Perbuatan memiliki terhaap benda yang ada dalam kekuasaanya sebagaimana yang telah diterangkan diatas, tiak mungkin dilakukan pada benda-benda yang tidak berwujud. Pengertian benda yang berada dalam kekuasaanya sebagai adanya suatu hubungan langsung dan erat dengan benda itu yang sebagai indikatornya adalah apabila ia hendak melakukan perbuatan terhadap benda itu dia dapat melakukanya secara langsung tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih dahulu, adalah hanya terhadap bendabenda berwujud dan bergerak saja dan tidak mungkin terjadi pada benda-benda yang tidak berwujud dan tidak tetap, sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Benda yang tidak ada pemiliknya, baik sejak semula maupun telah dilepaskan haknya tidak dapat menjadi objek penggelapan. Benda milik suatu badan hukum, seperti milik negara adalah berupa benda yang tidak/bukan dimiliki oleh orang adalah ditafsirkan sebagai milik orang lain dalam arti bukan milik petindak dan oleh karena itu dapat menjadi objek penggelapan, tidak menjadi syarat sebagai orang itu adalah korban atau orang tertentu melaikan siapa saja asalkan bukan petindak sendiri, (3) Benda berada dalam kekuasaanya bukan karena kejahatan Dalam unsur ini pelaku harus sudah menguasai barang dan barang oleh pemiliknya dipercayakan kepada pelaku, sehingga barang
ada pada pelaku secara sah bukan karena kejahatan yang dimaksud dalam pengertian kejahatan tidak diuraikan didalam KUHP, Didalam KUHP hanya terdapat kualifikasi perbuatan mana yang dinyatakan sebagai perbuatan pidana. Sementara unsur-unsur Subjektif, terdiri dari :
(1) Unsur kesengajaan Unsur
ini
adalah
merupakan
unsur
kesalahan
dalam
penggelapan sebagaimana dalam doktrin, kesalahan terdiri dari 2 bentuk yakni kesengajaan dan kelalaian. Dengan sengaja berarti pelaku mengetahui dan sadar hingga ia dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatanya atau dalam arti lain berarti ia menghendaki mewujudkan perbuatan dan ia mengetahui. Mengerti nilai perbuatanya serta sadar akan akibat yang timbul dari perbuatanya itu. Atau apabila dihubungkan dengan kesengajaan yang terdapat dalam rumusan tindak pidana seperti pada pengeelapan. Maka kesengajaan dikatakan ada apabila adanya suatu kehendak atau adanya suatu pengetahuan atas suatu perbuatan atau hal-hal tertentu serta menghendaki dan atau mengetahui atau menyadari akan akibat yang timbul dari perbuatanya. Kesengajaan petindak dalam penggelapan harus ditujukan bedasarkan unsur-unsur sebagai berikut: (a)Petindak mengetahui, sadar bahwa perbuatan memiliki benda milik orang lain yang berasa dalam kekuasaanya itu sebagai perbuatan melawan hukum (b)Petindak dengan kesadaranya yang demikian itu menghendaki untuk melakukan perbuatan memiliki (c)Petindak mengetahui ,meyadari, bahwa ia melakukan perbuatan memiliki itu adalah terhadap suatu benda yang juga disadarinya bahwa benda itu adalah milik orang lain sebagian atau seluruhnya (d)Petindak mengetahui, menyadari bahwa benda milik orang lain itu
berad dalam kekuasaanya bukan karena kejahatan (2) Unsur melawan Hukum Artinya bahwa seblum bertindak melakukan perbuatan, ia sudah sadar bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah bertentangan dengan hukum. Sedangkan yang dimaksud dengan melawan hukum undang-undang tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Pada dasarnya melawan hukum adalah sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan tertentu. Unsur-unsur dari pasal 374 KUHP sama dengan pasal 372 KUHP namun ditambahkan dengan unsur-unsur yang memberatkan yaitu : (a) Hubungan kerja pribadinya Unsur dikarenakan hubungan erja pibadinya adalah terdapat hubungan misalnya antara seorang majikan dengan seorang buruh, seorang karyawan atau pelayan (b) Mata pencahariannya Unsur
dikarenakan
mata
pencahariannya
adalah
apabila
seseorang itu melakukan sesuatu perbuatan bagi orang lain secara terbatas dan tertentu. Misalnya seorang bendahaea dari sebuat PT ialah orang yang harus melakukan perbuatan tertentu bagi orang lain yang sifatnya terbatas. Apabila orang semacam ini yang karena pekerjaannya menguasai sesuatu benda karena kejahatan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan sifat dari haknya terhadap benda tersebut, maka ia telah melakukan suatu penggelapan dengan pemberatan (c) Mendapat imbalan jasa atau upah Unsur dikarenakan mendapat imbalan jasa, apabila seseorang itu melakukan sesuatu perbuatan tertentu bagi orang lain , dan untuk mana ia telah mendapat upah, misalya seorang penjaga sepeda. 3) Tinjauan Tentang Putusan Bebas a) Pengertian Putusan
Putusan pengadilan menurut Pasal 1 butir (11) KUHAP adalah pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Pasal putusan
sedapat
182 ayat
(6)
KUHAP, bahwa
mungkin merupakan hasil musyawarah majelis
dengan pemufakatan yang bulat, kecuali hal itu telah diusahakan sungguh-sungguh tidak tercapai, maka ditempuh dengan dua cara: (1) Putusan diambil dengan suara terbanyak. (2) Jika yang tersebut pada angka 1 tidak juga dapat diperoleh putusan,
dipilih
ialah
pendapat
Hakim
yang
paling
menguntungkan bagi Terdakwa. Menurut Yahya Harahap bahwa putusan akan dijatuhkan pengadilan,
tergantung dari hasil mufakat musyawarah Hakim
berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan
dengan
segala
sesuatu
yang
terbukti
dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan (Yahya Harahap, 2008:347). b) Definisi dan Alasan Putusan Bebas M. Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP mengatakan bahwa putusan bebeas berarti terdakwa dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vrijspraak) atauacquittal, dalam arti dibebaskan dari pemidanaan. Tegasnya, terdakwa tidak dipidana (hal. 347). Berbeda halnya jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak dipidana. Terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana disebut dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP, maka ini dinamakan putusan lepas. Penjelasan lebih lanjut mengenai perbedaan kedua putusan di atas dapat Anda simak dalam artikel Perbedaan Putusan Bebas dengan Putusan Lepas. Penilaian bebas sebuah putusan tersebut tergantung pada 2 hal,
yaitu : (1) Tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negative Pembuktian yang diperoleh di persidangan tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu tidak diyakini oleh hakim. (2) Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian (3) Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Bertitik tolak pada kedua asas yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP di atas dan dihubungkan dengan Pasal 191 ayat (1) tentang putusan bebas, maka putusan bebas pada umumnya didasarkan pada penilaian dan pendapat hakim: (1) kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak terbukti, semua alat bukti yang diajukan ke persidangan baik berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan petunjuk maupun keterangan terdakwa tidak dapat membuktikan kesalahan yang didakwakan. Perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan karena menurut penilaian hakim semua alat bukti yang diajukan tidak cukup atau tidak memadai membuktikan kesahan yang didakwakan (2) secara nyata hakim menilai pembuktian kesalahan yang didakwakan tidak memenuhi ketentuan minimum batas pembuktian. Misalnya, alat bukti yang diajukan di persidangan hanya terdiri dari seorang saksi saja. Di samping tidak memenuhi asas batas (3) minimum pembuktian, juga bertentangan dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan unus testis nullus testis atau seorang saksi bukan saksi (4) putusan bebas tersebut bisa juga didasarkan atas penilaian, kesalahan
yang terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan hakim. Keterbuktian kesalahan yang didakwakan dengan alat bukti yang sah harus didukung oleh keyakinan hakim. Sekalipun secara formal kesalahan terdakwa dapat dinilai cukup terbukti, namun nilai pembuktian yang cukup ini akan lumpuh apabila tidak didukung oleh keyakinan hakim c) Bentuk Bentuk Putusan Bebas Selanjutnya akan dibahas mengenai bentuk-bentuk putusan bebas. Pada dasarnya, KUHAP tidak membagi bentuk putusan bebas. Bentukbentuk putusan pengadilan yang dikenal dalam KUHAP yaitu: putusan bebas, putusan lepas, putusan pemidanaan, penetapan tidak berwenang mengadili, putusan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima, dan putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum Namun dalam praktiknya, kemudian dikenal ada putusan bebas murnidan putusan bebas tidak murni yang dikenalkan dalam yurisprudensi pertama kali lewat Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 275 K/Pid/1983, yakni kasus vonis bebas Natalegawa yang dikasasi jaksa. Mahkamah Agung menerima kasasi jaksa berdasarkan argumentasi murni tidaknya putusan bebas. Maklum, saat itu Pasal 244 KUHAP tegas melarang upaya kasasi atas putusan bebas. Akhirnya sejak saat itu, praktek hukum acara di Indonesia mengenal istilah putusan bebas murni atau tidak murni. Pihak jaksa penuntut umum biasanya selalu menggunakan dalil ketika mengajukan kasasi bahwa hakim dalam tingkat persidangan sebelumnya telah menjatuhkan putusan bebas tidak murni. Pasal 244 KUHAP menyatakan terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas. Belakangan, Mahkamah Konstitusi meralat Pasal 244 KUHAP dengan menyatakan frasa „kecuali terhadap putusan bebas‟ tidak berlaku lagi sejak Maret 2013 lalu. Dengan demikian, sejak saat itu, terhadap
putusan bebas pun dapat diajukan kasasi. Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa KUHAP tidak membagi bentuk-bentuk putusan bebas. Akan tetapi, dalam sejarahnya lahirlah putusan bebas murni dan putusan bebas tidak murni yang dikenal dari yurisprudensi. Namun, saat ini, hakim pada Mahkamah Agung mengatakan bebas murni atau tidak murni sudah tidak relevan lagi dipertimbangkan karena semua vonis bebas boleh dikasasi. B. Kerangka Pemikiran
Tidak Pidana Penggelapan Dalam Jabatan
emeriksaan di Pergadilan
Putusan Bebas
untut umum Mengajukan Kasasi
amah Agung Mergabukan Permohonan Kasasi
amah Agung Membatalkan usan Pengadilian Negeri
Argumentasi Hukum Mahkamah Agung
PENJELASAN Kerangka pemikiran diatas menjelaskan alur pemikiran penulis yaitu diawali dengan adanya tindak pidana penggelapan dalam jabatan yang dilakukan oleh terdakwa yang diajukan ke Pengadilan negeri Surabaya. Perkara tersebut selanjutnya diproses dan diperiksa di Pengadilan negeri Surabaya. Pada Putusannya, Pengadilan negeri menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Penggelapan dalam jabatan, membebaskan terdakwa dan memulihkan hak-haknya. Pada tanggal 10 juli 2013 Jaksa/penuntut umum pada Kejaksaan Negeri mengajukan permohonan kasasi terhadap Putusan pengadilan negeri tersebut. Alasan pengajuan Kasasi oleh Kejaksaan adalah bahwa judex factie yang mengadili dan memutus perkara tersebut, telah melakukan kekeliruan yang tidak menerapkan hukum atau telah menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya. Mahkamah agung dalam putusanya menyebutkan bahwa alasan-alasan kasasi tersebut dapat dibenarkan. Putusan pada tingkat kasasi menyebutkan bahwa permohonan kasasi dari pemohon kasasi/ jaksa/ penuntut umum pada kejaksaan negeri dikabulkan serta menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pindana penggelapan dalam jabatan serta dijatuhi pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan. Bedasarkan hal diatas penulis tertarik untuk menelaah apakah pengabaian faktafakta persidangan oleh Hakim sebagai alasan kasasi Penuntut umum kejaksaan negeri tanjung perak terhadap putusan bebas dalam perkara penggelapan dalam jabatan memenuhi ketentuan pasal 253 KUHAP serta apakah argumentasi hukum mahkamah agung dalam memeriksa memutus permohonan kasasi penuntut umum kejaksaan negeri Tanjung perak terhadap putusan bebas dalam perkara penipuan sudah sesuai dengan ketentuan KUHAP .