BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tatanan Geologi 2.1.1 Geologi Regional Secara regional endapan emas Cibaliung berada pada kompleks Honje yang terletak di baratdaya dari pulau Jawa. Kompleks Honje berada sekitar 70 km ke arah barat dan terpisah dari Kubah Bayah tempat deposit emas Gunung Pongkor dan Cikotok berada. Litologi dari Kompleks Honje sendiri mempunyai kesamaan dengan litologi dari Kompleks Kubah Bayah, yaitu Calc-Alkaline Rhyolitic yang berumur Oligosen-Kuarter sampai batuan andesitis dan beberapa singkapan intrusi-intrusi kecil ( Marcoux dan Milesi, 1994; dalam Harijoko, 2004). Kompleks Honje sendiri terdiri dari Formasi Honje yang merupakan akumulasi dari batuan vulkanik andesit basalt sampai dengan lava andesit dan breksi vulkanik dengan beberapa perselingan dari batuan sedimen (Marjoribanks, 2001, Angeles, 2001). Formasi Honje ditindih secara tidak selaras oleh lapisan tipis tuf, lapisan tipis ini dinamakan Cibaliung Tuf. Kearah timur, batuan vulkanik ini ditindih oleh batuan sedimen dengan arah kemiringan kearah timur. Batuan sedimen ini dinamakan Formasi Cipacar yang berumur Pliosen.
7
8
2.1.2 Geologi Daerah Cibaliung 2.1.2.1 Morfologi Daerah penelitian terletak pada morfologi bergelombang lemah dan perbukitan sedang dengan elevasi 150 mdpl sampai 250 mdpl dan kemiringan lereng 7-20%. Perbukitan tertinggi terletak disebelah barat kawasan tambang, yaitu Gunung Honje dengan ketinggian 620 m di atas permukaan laut. Umumnya sungai-sungai pada daerah ini membentuk pola pengaliran rektangular dengan sungai utama yang mengalir di daerah ini adalah Sungai Citeluk, Sungai Cikoneng, dan Sungai Cibeber yang mengalir dari utara ke selatan dan bermuara sampai di pantai selatan. 2.1.2.2 Stratigrafi Secara regional daerah penelitian tersusun oleh Formasi Honje. Formasi Honje terdiri atas lava basaltik dan andesitik, breksi gunungapi, aglomerat, tuf lapili, tuf batuapung dan breksi tuf. Lava basaltik berwarna abu-abu gelap, afanitik kadang porfiritik berfenokris plagioklas, berukuran sangat kasar. Lava andesitik berwarna abu-abu kehijauan, porfiritik dengan fenokris plagioklas berukuran menengah, dengan masa dasar gelas, menyisip diantara lava basalt, breksi gunungapi atau aglomerat. Breksi gunungapi berwarna abu-abu gelap, berfragmen basalt dengan matrik tuf pasiran, fragmen berukuran kerakal-bongkah, menyudut tanggung. Aglomerat berwarna abu-abu gelap hingga kehijauan, berfragmen basalt dan andesit porfiri, berukuran kerakal-bongkah, membulat-menyudut tanggung. Breksi maupun aglomerat bertekstur laharik. Tuf lapili bersifat litik mengandung komponen andesit, berwarna putih kecoklatan, struktur perlapisan sejajar,
9
bersusunan andesitik. Tuf batuapung berwarna abu-abu keputihan, struktur perlapisan sejajar, berbutir halus. Breksi tuf berwarna kehijauan, berfragmen tuf dengan struktur perlapisan sejajar, berukuran kerakal-bongkah menyudut tanggung. Jurus dan kemiringan batuan berarah timurlaut-baratdaya dengan kemiringan kearah tenggara. Formasi Honje diperkirakan berumur Miosen Tengah (Angeles, 2002). Satuan batuan dapat dibagi menjadi dua unit batuan yaitu pre-mineraliasi dan post-mineralisasi. Batuan pre-mineralisasi umumnya dikarakteristik oleh alterasi hidrotermal dan menjadi batuan tempat terbentuknya urat kuarsa yang mengandung emas. Sebaliknya, batuan post-mineralisasi tidak mengalami alterasi hidrotermal dan bukan merupakan batuan tempat terbentuknya urat kuarsa sehingga batuan ini tidak berhubungan dengan proses mineralisasi. Sekuen batuan pre-mineralisasi disebut Formasi Honje, tersusun atas volcanic pile dari sekuen tebal aliran basaltik-andesitik, andesitik tuf, dan breksi vulkanik dengan interkalasi sedimen tufaan dibeberapa tempat. Semua unit batuan premineralisasi tertutup oleh batuan post-mineralisasi, yaitu Cibaliung Tuff. Cibaliung Tuff tersusun atas tuf dasitik dan batupasir vulkanik dengan kandungan kayu terkarbonkan dan kayu terkersikkan, tertutup oleh tuff pumisan (Gambar 2.1).
10
Gambar 2.1 Peta Geologi daerah Cibaliung (Andi Kurniawan, 2010).
2.1.2.3 Struktur Geologi Secara struktur geologi, prospek emas di Cibaliung terletak dalam koridor struktur yang berarah barat-baratlaut dengan lebar 3,5 km dan panjang 6 km. Dua struktur arah utara-baratlaut yang kaya cadangan emas dengan posisi relatif tegak sebagai sistem urat kuarsa, adalah Cikoneng disebelah utara dan Cibitung disebelah selatan yang berjarak 400 m. Tubuh yang kaya cadangan emas ini memiliki ukuran tebal 1-10 m, panjang 140-200 m, kedalaman sampai lebih 300 m dan masih menerus kebawah. Tubuh yang kaya cadangan emas CikonengCibitung ini berupa dilational jogs dan sigmoid bends yang terbentuk dari perpotongan patahan barat-baratlaut, utara-baratlaut, dan utara-timurlaut.
11
Gambar 2.2 Peta Struktur Geologi daerah Cibaliung (PT.CSD, 2010)
2.1.3 Alterasi dan Mineralisasi Alterasi hidrotermal di daerah penelitian dibagi menjadi 4 zona (Data PT.CSD, 2010) berdasarkan temperatur dari mineral-mineral lempung dan zeolit, dan juga mineral indikator permeabilitas yaitu adularia. Keempat zona alterasi hidrotermal tersebut adalah :
12
1. Zona kristobalit-smektit-kaolinit (Zona I) Zona kristobalit-smektit-kaolinit (Zona I) dapat digolongkan berdasarkan keberadaan dari mineral-mineral kristobalit, smektit, kaolinit, dan sisa mineral primer plagioklas. Zona ini terletak dibagian tenggara dari Cibaliung. 2. Zona smektit-kuarsa (Zona II) Zona smektit-kuarsa tersebar di sebuah utara dari zona I. Zona II berada di elevasi yang sama dengan munculnya zona I. Mineral-mineral sekunder yang umum terdapat pada zona ini seperti kuarsa dan smektit berasosiasi dengan sedikit kaolinit dan pirit. 3. Zona campuran dari mineral-mineral lempung (Zona III) Zona campuran dari mineral-mineral lempung (Zona III) digolongkan berdasarkan keberadaan dari campuran lapisan lempung dari illit/smektit dan/atau klorit/smektit. Mineral lain yang umumnya terdapat adalah kuarsa, albit, adularia, pirit, kalsit dengan sedikit smektit dan kaolinit pada saat penambahan zeolit dari laumonit dan plagioklas primer. 4. Zona kaolinit-diktit-nakrit (Zona IV) Zona kaolinit-diktit-nakrit (Zona IV) tidak tersebar secara luas tapi tersebar setempat pada daerah yang terbatas. Diktit dan nakrit terbentuk pada temperatur yang lebih tinggi dari kaolinit, mulai 150˚C sampai lebih dari 200˚C.
13
2.2 Teori Dasar 2.2.1 Alterasi Hidrotermal Larutan hidrotermal adalah cairan bertemperatur tinggi (100˚C-500˚C) sisa pendinginan magma yang mampu merubah mineral yang telah ada sebelumnya dan membentuk mineral-mineral tertentu. Larutan hidrotermal terbentuk pada fase akhir siklus pembekuan magma. Interaksi antara larutan hidrotermal dengan batuan yang dilewati akan menyebabkan terubahnya mineral-mineral penyusun batuan samping dan membentuk mineral alterasi. Larutan hidrotermal tersebut akan terendapkan pada suatu tempat membentuk mineralisasi. Tipe epitermal terbentuk di lingkungan dangkal dengan temperatur <300˚C, dan fluida hidrotermal diinterpretasikan bersumber dari fluida meteorik. Endapan tipe ini merupakan kelanjutan dari sistem hidrotermal tipe porfiri, dan terbentuk pada busur magmatik bagian dalam di lingkungan gunungapi kalk-alkali atau batuan dasar sedimen (Corbett dan Leach, 1996). Fluida epitermal biasanya temperaturnya berkurang bersamaan dengan berkurangnya
kedalaman
dan
bertambahnya
jarak
dari
saluran
fluida.
Paleoisoterm dan saluran fluida dapat diketahui dengan memetakan mineral alterasi hidrotermal yang terdapat di dalam vein dan batuan induknya. Dalam hal ini, geotermometer mineral alterasi dapat digunakan untuk menentukan tingkat ubahan suatu sistem; daerah yang mengindikasikan paleotemperatur yang rendah adalah baik, sementara indikasi paleotemperatur yang tinggi menunjukkan terbatasnya keterusan bijih epitermal ke arah kedalaman terbatas (Hedenquist, 1997).
14
Gambar 2.3 Sistem vulkanik hidrotermal (Hedenquist, 1997 dalam Nagel, 2008)
Menurut Corbett dan Leach (1996), ada enam faktor utama yang mempengaruhi proses alterasi hidrotermal, yaitu : 1. Suhu 2. Komposisi kimiawi fluida 3. Konsentrasi/kepekatan 4. Komposisi batuan induk 5. Lama aktifitas atau derajat kesetimbangan 6. Permeabilitas 1. Suhu Suhu yang meningkat akan mempengaruhi stabilitas dan akan membentuk mineral yang lebih sedikit kandungan airnya. Ini khususnya terlihat pada
15
mineralogi silikat-lempung yang pada temperatur yang lebih tinggi akan membentuk urutan mineral-mineral sebagai berikut : smektit, smektit-illit, illitsmektit, illit dan mika putih. Suhu juga mempengaruhi tingkat kristalinitas suatu mineral. Temperatur yang lebih tinggi akan membentuk fasa yang lebih kristalin. Kaolin dengan bentuk tidak teratur terbentuk pada suhu rendah, pada suhu yang tinggi akan terbentuk dikit dengan bentuk kristal yang bagus. Tabel 2.1 Suhu pembentukan beberapa mineral alterasi (modifikasi penulis berdasarkan Hedenquist, 1997; Corbett dan Leach, 1996).
16
2. Komposisi Kimiawi Fluida Komposisi fluida sangat mempengaruhi mineralogi alterasi, dengan temperatur yang akan mempengaruhi posisi batas phase. Yang lebih penting dari konsentrasi absolut adalah perbandingan unsur utama seperti: aNa+/aH+, aK+/aH+. 3. Konsentrasi / Kepekaan Konsentrasi absolut pada fluida hidrotermal berpengaruh pada tipe mineralogi alterasi, karena ini mempengaruhi derajat kejenuhan yang berkenaan dengan mineral-mineral tertentu. 4. Komposisi Batuan Induk Komposisi batuan induk juga berpengaruh sangat luas pada tipe mineralogi alterasi. Mineralogi skarn terbentuk pada batuan induk calcareous/gamping. Adularia sebagai bentuk sekunder dari k-feldspar akan dijumpai pada batuan induk yang kaya potasium (contoh: riolit atau sosonit). Paragonit (Na-mika) pada kondisi tertentu merupakan produk alterasi dari albit, seperti juga muskovit yang terbentuk dari alterasi feldspar potasik. 5. Lama aktifitas atau derajat kesetimbangan Durasi dari sistem hidrotermal atau waktu selama permeabilitas masih terbuka, menentukan apakah kesetimbangan telah tercapai antara sirkulasi fluida dan batuan induk. 6. Permeabilitas Permeabilitas memiliki pengaruh nyata yang membuat batuan induk berhubungan langsung dengan sirkulasi fluida hidrotermal. Alterasi philik dan argilik biasanya berbatasan langsung dengan struktur utama atau dengan sistem
17
vein dimana fluida memiliki pH dibawah normal dikarenakan gas-gas yang larut, sedangkan alterasi propilitik biasanya terdapat pada batuan induk dengan permeabilitas rendah dan jauh dari jalur fluida utama. Kontrol Temperatur dan pH Dalam Mineralogi Alterasi. Menurut Corbett dan Leach (1996) temperatur dan pH fluida merupakan dua faktor yang paling utama yang mempengaruhi mineralogi sistem hidrotermal (Gambar 2.4). Kelompok alterasi dibagi menjadi 7 group utama : 1. Group Mineral Silika/Kuarsa Merupakan mineral yang stabil pada pH rendah < 2. Pada kondisi yang sangat asam ini, silika opalin, kristobalit, dan tridimit terbentuk pada suhu <100˚C. Kuarsa merupakan fase utama pada suhu yang tinggi. Pada kondisi pH fluida yang lebih tinggi, silika amorf terbentuk pada suhu yang lebih dingin. 2. Group Mineral Alunit Alunit terbentuk pada pH yang sedikit lebih besar dari 2, terbentuk bersama dengan group silika dalam rentang temperatur yang besar, berasosiasi dengan andalusit pada temperatur yang tinggi (>300-350˚C) dan korundum hadir pada suhu yang lebih tinggi lagi. Ada 4 macam alunit, alunit steam-heated, alunit supergene, alunit magmatik, dan alunit liquid. 3. Group Mineral Kaolinit Dijumpai pada pH sekitar 4, biasa hadir bersama group alunit-andalusitkorundum pada pH 3-4. Halloysit merupakan produk supergene utama group ini. Kaolinit terbentuk pada kedalaman dangkal dan temperatur yang rendah. Dikit terbentuk pada suhu yang tinggi dan pada suhu yang lebih tinggi lagi akan
18
terbentuk pirophilit. Diaspor setempat dijumpai dalam zona silifikasi yang intens dengan group alunit dan/atau kaolinit. 4. Group Mineral Illit Terbentuk pada fluida dengan pH yang lebih tinggi (4-6). Smektit terbentuk pada temperatur <100˚C-150˚C, perlapisan illit-smektit (100˚C-200˚C), illit (200˚C-250˚C), serisit (muskovit) >200˚C-250˚C, phengit >250˚C-300˚C. Kandungan smektit pada perlapisan illit-smektit akan berkurang bersamaan dengan naiknya
temperatur.
Perlapisan
illit-smektit
dapat
menunjukkan
temperatur fluida hidrotermal pada kisaran 160˚C-220˚C. Alterasi dengan mineral alterasi yang dominan illit menunjukkan temperatur fluida pada kisaran 220˚C270˚C. Sebagaimana illit umumnya stabil pada temperatur lebih tinggi dari 220˚C, berkurangnya temperatur akan meningkatkan stabilitas smektit. Pada umumnya illit banyak dijumpai pada zona permeabel dan permeabilitas berkurang dengan bertambahnya mineral klorit (Lawless, 1997). 5. Group Mineral Klorit Pada kondisi pH yang sedikit asam mendekati netral, fase klorit-karbonat menjadi dominan, dimana mineral ini terbentuk bersama dengan group illit pada lingkungan transisi pH 5-6. interlayer klorit-smektit akan terbentuk pada temperatur rendah, dan klorit akan dominan pada suhu yang lebih tinggi. Klorit bukan merupakan mineral yang baik untuk indikator paleotemperatur, karena dapat dijumpai pada temperatur rendah sampai temperatur lebih tinggi dari 300˚C, tetapi mineral ini merupakan mineral yang baik untuk menunjukkan pH pembentukan yang mendekati netral 6-7 (Lawless dan White, 1997).
19
6. Group Mineral Kalksilikat Group kalksilikat terbentuk pada kondisi pH netral sampai alkali, pada temperatur rendah membentuk zeolit-klorit-karbonat, dan epidot diikuti amfibol (umumnya aktinolit) terbentuk pada temperatur yang lebih tinggi. Di beberapa sistem prehnit atau pumpellyit dijumpai berasosiasi dengan epidot. Epidot dengan kristalinitas yang rendah terbentuk pada suhu 180˚C-220˚C, pada kristalinitas yang lebih baik pada suhu yang lebih tinggi (>220˚C-250˚C). Amfibol sekunder (aktinolit) terbentuk pada suhu 280˚C-300˚C. Biotit umumnya tersebar luas didalam atau disekitar intrusi porfiri dan terbentuk pada suhu 300˚C-325˚C. Tabel 2.2 Pembagian tipe alterasi menurut Corbett dan Leach (1996)
20
Gambar 2.4 Himpunan mineral alterasi sistem hidrotermal (Corbett dan Leach,1996)
Alterasi hidrotermal merupakan konversi dari gabungan beberapa mineral membentuk mineral baru yang lebih stabil di dalam kondisi temperatur, tekanan dan komposisi hidrotermal tertentu (Barnes, 1979; Reyes, 1990 dalam
21
Hedenquist, 1998). Mineralogi batuan alterasi dapat mengindikasikan komposisi atau pH fluida hidrotermal (Henley et al., 1984 dalam Hedenquist, 1998).
Gambar 2.5 Jenis mineral dengan interval suhu dan keasaman lingkungan pembentukan (Hedenquist, 1996)
2.2.2 Mineralisasi Hidrotermal Mineralisasi adalah proses pembentukan endapan mineral logam atau non logam yang terkonsentrasi dari satu atau lebih mineral yang dapat dimanfaatkan (Bateman dan Jensen, 1981). Emas pada mineralisasi ini umumnya berassosiasi dengan galena, spalerit, kalkopirit, dan sedikit pirit (Corbett dan Leach 1996). Pola mineralisasinya yaitu mineral bijih yang mengisi rongga-rongga dan rekah (open space & cavity filling). Zona bijih biasanya dibatasi oleh struktur, tetapi juga bisa muncul pada litologi yang bersifat permeable. Urat yang lebar (memiliki
22
lebar >1m dengan beberapa ratus meter searah jurus) sampai urat-urat kecil dan stockworks biasanya memiliki penyebaran dan pergantian yang lebih sedikit. Mineral penyerta yang umum dijumpai pada sistem epitermal sulfidasi rendah yaitu kuarsa, ametis, kalsedon, struktur kalsit yang kemudian digantikan oleh kuarsa, kalsit, adularia, serisit, barit, fluorit, rodokrosit, hematit, dan klorit. Sistem epitermal sulfidasi rendah dapat dikelompokkan (Corbett dan Leach, 1996) sebagai berikut : Deposit yang berhubungan dengan porfiri menunjukkan hubungan yang sangat dekat dengan sumber magmatik dan membentuk suatu kesatuan ke arah kerak yang lebih dangkal dan semakin jauh dari sumber intrusi dibagi menjadi: Kuarsa – emas ± perak sulfida Karbonat – emas logam dasar Epitermal emas – perak kuarsa Emas yang menggantikan batuan induk sedimen Berdasarkan arah kedalaman, sistem epitermal Au-Cu-adularia-serisit dapat dikelompokkan lagi sebagai berikut:
Sinter dan breksi hidrothermal Au-Cu (deposit Hot spring)
Urat kuarsa stockworks Cu
Urat pengisi rekah Au-Cu
23
Gambar 2.6 Model Deposit Bijih (Corbett dan Leach, 1996)
2.2.3 Sistem Epitermal Sulfida Rendah Karakteristik sistem endapan epitermal tipe sulfidasi rendah menempati host rock batuan vulkanik yang bersifat asam sampai menengah. Kontrol struktur berupa sesar atau zona rekahan yang tertutup oleh batuan vulkanik. Kedalaman zona endapan atau formasi batuan sekitar 0-1000 meter dengan temperatur formasi 50˚C-300˚C. Karakter fluida yang mengontrol bersifat salinitas rendah, pH mendekati netral, kandungan sulfida dan mineral logam dasar (base metal) rendah.
24
Tabel 2.3 Karakteristik umum endapan emas epitermal sulfidasi rendah (Hedenquist & Reid,1985) Sulfidasi Rendah (Adularia-Serisit) Bentuk endapan
Didominasi oleh urat hasil bukaan, stockworks, penggantian bijih kecil
Tekstur
Veins, cavity filling, (bands, colloform, druses), breccias
Mineral bijih
Pirit, emas, sfalerit, galena (arsenopirit)
Logam
An, Ag, Zn, Pb (Cu, Sb, As, Hg, Se)
Sistem epitermal sulfidasi rendah zona alterasi potasik dan filik tidak ditemukan. Zona alterasi yang umum dijumpai pada epitermal sulfidasi rendah adalah sebagai berikut: silisifikasi, ini banyak terdapat bersama mineral bijih sebagai generasi multiple dari kuarsa dan kalsedon yang umumnya disertai dengan adularia dan kalsit. Silisifikasi dalam urat biasanya diapit oleh serisit-illit-kaolinit. Alterasi
argilik
(kaolinit-illit-monmorillonit-smektit)
biasanya
terbentuk
berdampingan dengan urat. Alterasi argilik lanjut (kaolinit-alunit) ini dapat terbentuk disepanjang bagian atas zona mineralisasi. Alterasi propilitik dijumpai pada bagian yang lebih dalam dan menjauhi vein. Sistem epitermal terbentuk pada kedalaman kurang dari 1 km dari permukaan pada temperatur kurang 300˚C (umumnya 150˚C-250˚C), dan dari fluida asal meteorik, mungkin dengan sebagian tambahan dari magmatik. Sistem epitermal
25
umumnya dibedakan dari tipe endapan lainnya berdasarkan perbandingan emas dan peraknya, komposisi batuan induk, dan tatanan geologinya. Banyak peneliti membedakan tipe deposit emas epitermal menjadi dua yang pada awalnya dibedakan sebagai serisit-adularia dan sulfat-asam. Sekarang lebih dikenal dengan sistem sulfida tinggi dan sulfida rendah (Gambar 2.7).
Gambar 2.7 Distribusi skematik dari alterasi hidrotermal berassosiasi dengan deposit epitermal sulfidasi rendah dan sulfidasi tinggi (Hedenquist, 1997).
Deposit emas epitermal sulfidasi rendah terbentuk dari larutan hidrotermal yang naik melalui zona rekah dan bereaksi dengan batuan samping dan air meteorik sehingga pH nya terus berkurang hingga mendekati netral. Sistem epitermal sulfidasi rendah ini dicirikan oleh sulfur yang berkurang dan membentuk H2S (Corbett dan Leach, 1996).
26
Tatanan tektonik dari epitermal sulfidasi rendah umumnya terdapat pada volcanic island, busur magmatik pada batas lempeng dan continental volcanic dengan regime struktur extensional dan strike-slip.