BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian
2.1.1 Etika Profesi Wheelwright dalam Robertson Jack C. dan Timothy J. Louwers (2002: 462) mendefinsikan etika sebagai berikut, That branch of philosophy which is the systematic study of reflective choice, of the standards of right and wrong by which it is to be guided, and of the goods toward which it may ultimately directed (Cabang filosofi yang merupakan studi sistematis pilihan reflektif, yaitu standar yang menentukan benar dan salah dan ke arah mana diarahkan pada akhirnya) Boynton, et.al, (2001: 97) menyatakan, Etika (ethics) berasal dari bahasa Yunani ethos, yang berarti “karakter”. Kata lain untuk etika ialah moralitas (morality), yang berasal dari bahasa latin mores, yang berarti kebiasaan. Oleh karena itu, etika berkaitan dengan pertanyaan tentang bagaimana orang akan berperilaku terhadap sesamanya. Maryani T. dan Ludigdo (2001) mendefinisikan etika sebagai, Seperangkat aturan atau norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang dianut oleh sekelompok atau segolongan manusia atau masyarakat atau profesi. Menurut Arens, Alvin A., et.al (2008: 98) etika secara garis besar dapat didefinisikan sebagai serangkaian prinsip atau nilai moral. Menurut Martandi Indriana Farid dan Sri Suranta (2006) dalam bahasa latin etika yaitu “ethica” berarti falsafah moral. Etika merupakan pedoman cara bertingkah laku yang baik dari sudut pandang budaya, susila, serta agama.
9
10
Di Indonesia etika diterjemahkan menjadi kesusilaan karena sila berarti dasar, kaidah, atau aturan, sedangkan su berarti baik, benar dan bagus (Sihwajoeni dan Gudono: 2000). Pengertian profesi menurut Danim Sudarwan (2002: 20), Secara estimologi, istilah profesi berasl dari bahasa Inggris yaitu profession atau bahasa latin profecus yang artinya mengakui, adanya pengakuan, menyatakan mampu, atau ahli dalam melakukan pekerjaan. Sedangkan secara terminologi, profesi berarti suatu pekerjaan yang mempersyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya yang ditekankan pada pekerjaan mental. Sedangkan Bell Danien (1973) memberikan definisi profesi, Profesi adalah aktivitas intelektual yang dipelajari termasuk pelatihan yang diselenggarakan secara formal ataupun tidak formal dan memperoleh sertifikat yang dikeluarkan oleh sekelompok/ badan yang bertanggung jawab pada keilmuan tersebut dalam melayani masyarakat, menggunakan etika layanan profesi dengan mengimplementasikan kompetensi mencetuskan ide, kewenangan teknis dan moral serta bahwa perawat mengasumsikan adanya tingkatan dalam masyarakat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Badudu J.S. dan Sutan, 2002:848), Profesi adalah pekerjaan dimana dari pekerjaan tersebut diperoleh nafkah untuk hidup, definisi profesionalisme adalah mutu, kualitas dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau ciri orang yang profesional. Sementara kata profesional sendiri berarti, 1) Bersifat profesi; 2) Memiliki keahlian dan keterampilan karena pendidikan; 3) Latihan. Selanjutnya, selain kaidah etika masyarakat juga terdapat apa yang disebut dengan kaidah profesional yang khusus berlaku dalam kelompok profesi yang bersangkutan, yang mana dalam penelitian ini adalah auditor. Oleh karena merupakan konsensus, maka etika tersebut dinyatakan secara tertulis atau formal dan selanjutnya disebut sebagai “kode etik”. Sifat sanksinya juga moral psikologik, yaitu dikucilkan atau disingkirkan dari pergaulan kelompok profesi yang bersangkutan (Desriani dalam Sihwajoeni dan Gudono: 2000).
11
Menurut Boyton, et.al (2001: 98), Etika profesional adalah standar perilaku bagi seorang profesional yang dirancang untuk tujuan praktis dan idealistik. Sedangkan kode etik profesional dapat dirancang sebagian untuk mendorong perilaku yang ideal, sehingga harus bersifat realistis dan dapat ditegakkan. Russell J.P. (2000: 1) memberikan definisi terkait etika professional, The manner in the auditor conducts him/herself. Objectivity, courtesy, honesty, and many other character attributes combine to make up the particular conduct of any auditor during an audit. (Cara auditor memperlakukan dirinya. Objektivitas, kesopanan, kejujuran, dan banyak atribut karakter lainnya menggabungkan untuk membuat perilaku auditor selama audit) Yusuf Haryono (2001) menyatakan, Etika profesional lebih luas dari prinsip-prinsip moral. Etika tersebut mencakup prinsip-prinsip untuk orang-orang profesional yang dirancang untuk tujuan praktis maupun untuk tujuan idealistis. Oleh karena kode etik profesional antara lain dirancang untuk mendorong perilaku ideal, maka kode etik harus realistis dan dapat dilaksanakan. Agar bermanfaat, kode etik seyogyanya lebih tinggi dari undang-undang tetapi dibawah ideal. Sihwajoeni dan Gudono (2000) membuat definsi kode etik profesi sebagai berikut, Kode etik profesi merupakan suatu prinsip moral dan pelaksanaan aturanaturan yang memberi pedoman dalam berhubungan dengan klien, mayarakat, anggota sesama profesi serta pihak yang berkepentingan lainnya. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik sebagai auditor, bekerja di lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan, Etika profesional bagi praktik auditor di Indonesia dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Tujuan profesi akuntan adalah memenuhi tanggung jawabnya dengan standar profesionalisme tinggi, mencapai tingkat kinerja yang tertinggi, dengan orientasi kepada kepentingan publik. Untuk mencapai tujuan tersebut terdapat 4 (empat) kebutuhan dasar yang harus dipenuhi,
12
-
Kredibilitas. Masyarakat membutuhkan kredibilitas informasi dan sistem informasi.
-
Profesionalisme.
Diperlukan
individu
yang
dengan
jelas
dapat
diidentifikasikan oleh pemakai jasa akuntan sebagai profesional dibidang akuntansi. -
Kualitas jasa. Pemakai jasa harus dapat merasa yakin bahwa terdapat kerangka etika profesional yang melandasi pemberian jasa oleh akuntan.
-
Kepercayaan. Pemakai jasa akuntan harus dapat merasa yakin bahwa terdapat kerangka etika profesional yang melandasi pemberian jasa oleh akuntan. (Kongres IAI: 1998 dalam Sasongko Nanang:1999). Terdapat dua sasaran pokok dari diterapkannya kode etik, yaitu, 1. Kode etik ini bermaksud untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan dirugikan oleh kelalaian baik secara sengaja maupun tidak sengaja dari kaum profesional. 2. Kode etik ini bertujuan untuk melindungi keluhuran profesi tersebut dari perilaku-perilaku buruk orang-orang tertentu yang mengaku dirinya profesional. (Keraf Sonny: 1998). Kode Etik IAI dibagi menjadi empat bagian berikut ini: (1) Prinsip Etika,
(2) Aturan Etika, (3) Interpretasi Aturan Etika, (4) Tanya dan Jawab (SPAP: 2001). Dalam hal ini Prinsip Etika memberikan rerangka dasar bagi aturan etika yang mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota. Prinsip Etika disahkan oleh Kongres IAI dan berlaku bagi seluruh anggota IAI, sedangkan Aturan Etika disahkan oleh Rapat Anggota Kompartemen dan hanya mengikat
13
anggota Kompartemen yang bersangkutan. Interpretasi etika merupakan interpretasi
yang
dikeluarkan
oleh
Pengurus
Kompartemen
setelah
memperlihatkan tanggapan dari anggota dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya, sebagai panduan penerapan Aturan Etika, tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup penerapannya. Tanya dan jawab memberikan penjelasan atas setiap pertanyaan dari anggota Kompartemen tentang Aturan Etika beserta interpretasinya. Dalam Kompartemen Akuntan Publik, Tanya dan Jawab ini dikeluarkan oleh Dewan Standar Profesional Akuntan Publik (Agoes Sukrisno, 2012: 43). Untuk menjadi akuntan publik yang dapat dipercaya oleh masyarakat, maka dalam menjalankan praktik profesinya harus patuh pada prinsip-prinsip etika yaitu, 1. Tanggung jawab Profesi Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya. 2. Kepentingan Publik Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan publik, dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme. 3. Integritas Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin. Dalam SPAP (2001) menjelaskan bahwa dalam menjalankan
14
tugasnya anggota KAP harus bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dan tidak boleh membiarkan faktor salah saji material (material misstatement) yang diketahuinya atau mengalihkan (mensubordinasikan) pertimbangannya kepada pihak lain. 4. Objektivitas Setiap anggota harus menjaga obyektivitas dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya. 5. Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional Setiap anggota harus melakukan jasa profesionalnya dengan kehati-hatian, kompetensi
dan
ketekunan,
serta
mempunyai
kewajiban
untuk
mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional yang kompeten berdasarkan perkembangan praktik, legislasi dan teknik yang paling mutakhir. 6. Kerahasiaan Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya. 7. Perilaku Profesional Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. 8. Standar Teknis
15
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan objektivitas. (Mulyadi, 2002: 53). Aturan etika yang telah disahkan oleh Kompartemen Akuntan Publik Ikatan Akuntan Indonesia adalah sebagai berikut, 1. Indepedensi, integritas, dan objektivitas -
Indepedensi. Dalam menjalankan tugasnya, anggota KAP harus selalu mempertahankan sikap mental independen di dalam memberikan jasa profesional sebagaimana di atur dalam standar profesional akuntan publik yang ditetapkan oleh IAI. Sikap mental independen tersebut harus meliputi independen dalam fakta (in fact) maupun penampilan (in appearance).
-
Integritas dan objektivitas. Dalam menjalankan tugasnya, anggota KAP harus mempertahankan integritas dan objektivitas, harus bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dan tidak boleh membiarkan faktor salah saji material (material misstatement) yang diketahuinya atau mengalihkan (mensubordinasikan) pertimbangannya kepada pihak lain.
16
2. Standar umum dan standar akuntansi -
Standar umum. Anggota KAP harus mematuhi standar berikut ini beserta interpretasi yang terkait yang dikeluarkan oleh badan pengatur standar yang ditetapkan IAI: a. Kompetensi profesional. Anggota KAP hanya boleh melakukan pemberian jasa profesional secara layak (reasonable) diharapkan dapat diselesaikan dengan kompetensi profesional. b. Kecermatan dan keseksamaan profesional. Anggota KAP wajib melakukan pemberian jasa profesional dengan kecermatan dan kesaksamaan profesional. c. Perencanaan dan supervisi. Anggota KAP wajib merencanakan dan mensupervisi secara memadai setiap pelaksanaan pemberian jasa profesional. d. Data relevan yang memadai. Anggota KAP wajib memperoleh data relevan yang memadai untuk menjadi dasar yang layak bagi simpulan atau rekomendasi sehubungan dengan pelaksanaan jasa profesionalnya.
-
Kepatuhan terhadap standar. Anggota KAP yang melaksanakan penugasan jasa auditing, atestasi, review, kompilasi, konsultasi manajemen, perpajakan, atau jasa profesional lainnya wajib mematuhi standar yang dikeluarkan oleh badan pengatur standar yang ditetapkan oleh IAI.
17
-
Prinsip - standar akuntansi. Anggota KAP tidak diperkenankan: (1) menyatakan pendapat atau memberikan penegasan bahwa laporan keuangan atau data keuangan lain suatu entitas disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum atau (2) menyatakan bahwa ia tidak menemukan perlunya modifikasi material yang harus dilakukan terhadap laporan atau data tersebut agar sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku, apabila
laporan
tersebut
memuat
penyimpangan
yang
berdampak material terhadap laporan atau data secara keseluruhan dari standar akuntansi yang ditetapkan oleh badan pengatur standar yang ditetapkan IAI. Dalam keadaan luar biasa, laporan atau data mungkin memuat penyimpangan seperti tersebut diatas, dalam kondisi tersebut, anggota KAP dapat tetap mematuhi ketentuan dalam butir ini selama anggota KAP dapat menunjukkan bahwa laporan atau data akan menyesatkan apabila tidak memuat penyimpangan seperti itu, dengan cara mengungkapkan penyimpangan dan estimasi dampaknya (bila praktis), serta alasan mengapa kepatuhan atas standar akuntansi yang berlaku umum akan menghasilkan laporan yang menyesatkan.
18
3. Tanggung jawab kepada klien -
Informasi klien yang rahasia. Anggota KAP tidak diperkenankan mengungkapkan informasi klien yang rahasia, tanpa persetujuan dari klien. Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk: (1) Membebaskan anggota KAP dari kewajiban profesionalnya sesuai dengan aturan etika kepatuhan terhadap standar dan standar akuntansi. (2) Mempengaruhi kewajiban anggota KAP dengan cara apapun untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti panggilan resmi penyidikan pejabat pengusut atau melarang kepatuhan anggota KAP terhadap ketentuan peraturan yang berlaku. (3) Melarang review praktik profesional (review mutu) seorang anggota sesuai dengan kewenangan IAI atau (4) Menghalangi anggota dari pengajuan pengaduan keluhan atau pemberian komentar atas penyidikan yang dilakukan oleh badan yang dibentuk IAI-KAP dalam rangka penegakan disiplin anggota. Anggota yang terlibat dalam penyidikan dan review diatas, tidak boleh memanfaatkannya untuk kepentingan diri pribadi mereka atau mengungkapkan informasi klien yang harus dirahasiakan yang diketahuinya dalam pelaksanaan tugasnya. Larangan ini tidak boleh membatasi Anggota dalam pemberian informasi sehubungan dengan
19
proses penyidikan atau penegakkan disiplin sebagimana telah diungkapkan dalam butir (4) di atas atau review praktik profesional (review mutu) seperti telah disebutkan dalam butir (3) diatas. -
Fee Profesional a. Besaran fee. Besarnya fee anggota dapat bervariasi tergantung antara lain: risiko penugasan, kompleksitas jasa yang diberikan, tingkat keahlian yang diperlukan untuk melaksanakan jasa tersebut, struktur biaya KAP yang bersangkutan dan pertimbangan profesional
lainnya.
Anggota
KAP
tidak
diperkenankan
mendapatkan klien dengan cara menawarkan fee yang dapat merusak citra profesi. b. Fee kontijen. Fee kontijen adalah fee yang ditetapkan untuk pelaksanaan suatu jasa profesional tanpa adanya fee yang akan dibebankan, kecuali ada temuan atau hasil tertentu dimana jumlah fee tergantung pada temuan atau hasil tertentu tersebut. Fee dianggap tidak kontijen jika ditetapkan oleh pengadilan atau badan pengatur tahu dalam hal perpajakan, jika dasar penetapan adalah hasil penyelesaian hukum atau temuan badan pengatur. Anggota KAP tidak diperkenankan untuk menetapkan fee kontijen apabila penetapan tersebut dapat mengurangi indepedensi. 4. Tanggung jawab kepada rekan seprofesi
20
-
Tanggung jawab kepada rekan seprofesi. Anggota wajib memelihara citra profesi, dengan tidak melakukan perkataan dan perbuatan yang dapat merusak reputasi rekan seprofesi.
-
Komunikasi antar akuntan publik. Anggota wajib berkomunikasi tertulis dengan akuntan terdahulu bila akan mengadakan perikatan (engagement) audit menggantikan akuntan publik terdahulu atau untuk tahun buku yang sama ditunjuk akuntan publik lain dengan jenis dan periode serta tujuan yang berlainan. Akuntan publik terdahulu wajib menanggapi secara tertulis permintaan komunikasi dari akuntan pengganti secara memadai.
-
Perikatan atestasi. Akuntan publik tidak diperkenankan mengadakan perikatan atestasi yang jenis atestasi dan periodenya sama dengan perikatan yang dilakukan oleh akuntan yang lebih dahulu ditunjuk klien, kecuali apabila perikatan tersebut dilaksanakan untuk memenuhi ketentuan perundang-undangan atau peraturan yang dibuat oleh badan yang berwenang.
5. Tanggung jawab dan praktik lain -
Perbuatan dan perkataan yang mendiskreditkan. Anggota tidak diperkenankan melakukan tindakan dan/atau mengucapkan perkataan yang mencemarkan profesi.
-
Iklan, promosi, dan kegiatan pemasaran lainnya. Anggota dalam menjalankan praktik akuntan publik diperkenankan mencari klien
21
melalui pemasangan iklan, melakukan promosi pemasaran dan kegiatan pemasaran sepanjang tidak merendahkan citra profesi. -
Komisi dan fee referal a. Komisi. Komisi adalah imbalan dalam bentuk uang atau barang atau bentuk lainnya yang diberikan kepada atau diterima dari klien/pihak lain untuk memperoleh perikatan dari klien/pihak lain. Anggota KAP tidak diperkenankan untuk memberikan/menerima komisi apabila pemberian/penerimaan komisi tersebut dapat mengurangi indepedensi. b. Fee
referal.
Fee
referal
(rujukan)
adalah
imbalan
yang
dibayarkan/diterima kepada/dari sesama penyedia jasa profesional akuntan publik. Fee referal (rujukan) hanya diperkenankan bagi sesama profesi. -
Bentuk organisasi dan KAP. Anggota hanya dapat berpraktik akuntan publik dalam bentuk organisasi yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau yang tidak menyesatkan dan merendahkan citra profesi. (SPAP: 2001).
Ketentuan kode etik akuntan Indonesia juga telah disahkan yaitu pada tanggal 22 September 1990 yang didalamnya berisi delapan bab yang terdiri dari kepribadian, kecakapan profesional, tanggung jawab, ketentuan khusus, pelaksanaan kode etik, suplemen dan penyempurnaan dan penutup. (Kongres IAI: 1990 dalam Sasongko Nanang: 1999).
22
Untuk interpretasi dari kode etik akuntan indonesia sampai saat ini berjumlah enam pernyataan etika profesi. Secara garis besar pernyataan etika profesi itu yaitu, •
Pernyataan no. 1 integritas, objektivitas, dan indepedensi
•
Pernyataan no. 2 kecakapan profesional
•
Pernyataan no. 3 pengungkapan informasi rahasia klien
•
Pernyataan no. 4 iklan bagi kantor akuntan publik
•
Pernyataan no. 5 komunikasi antar akuntan publik
•
Pernyataan no. 6 perpindahan staf/partner dari satu kantor akuntan ke kantor akuntan lain. Tidak jauh berbeda dengan Indonesia, AICPA (American Institute of
Certified Public Accountants) merumuskan kode etik dalam Code of Professional Conduct yang terdiri dari, 1. Responsibilities 2. The public interest 3. Integrity 4. Objectivity and Indepedence 5. Due Care 6. Scope and Nature of Service AICPA (American Institute of Certified Accountants) merumuskan kode kedalam tiga bagian yaitu principles (prinsip), rules (aturan), interpretations (interpretasi), dan ethics rulings (aturan etika). Principles adalah orientasi tujuan yang hendak dicapai yang berisi semua hal mengenai kerangka dari kode etik itu
23
sendiri. Rules yaitu aturan pelaksanaan etika yang dibentuk berdasarkan prinsip yang telah ditetapkan sebelumnya. Interpretations adalah sebuah pedoman untuk pengaplikasian aturan dan ruang lingkup yang dikeluarkan AICPA. Ethic Rulings yaitu menjelaskan pengaplikasian dari aturan (rules) dan interpretasi aturan etika (interpretations) yang lebih spesifik yang menyangkut mengenai keadaan faktual dari pelaksanaan etika profesional. (Pany Kurt, 2001: 69).
Code of professional Conduct
Principles (Provide Overall Framework) Rules (Govern Performance of Professional Serices)
Additional Guidance
Interpretations (Provide Guidenlines as to the scope and Application of Rules) Ethics Rulings (Summarize Apication of Rules and Interpretations to Particular Factual Cirumstances) Gambar 2.1 Etika Profesional AICPA (Pany Kurt, 2001:69)
Hubungan antara pelaksanaan etika profesional yang dilakukan oleh auditor dalam penentuan tingkat materialitas dalam pemeriksaan laporan keuangan adalah pengambilan keputusan berdasarkan etika yang berlaku (Pany Kurt, 2001: 63). Pany Kurt menjelaskan bahwa dalam penentuan keputusan
24
berdasarkan etika profesional mengharuskan seorang auditor melakukan langkahlangkah sebagai berikut, 1. Identifikasi masalah (Identify the problem) 2. Identifikasi
kemungkinan tindakan yang bisa diambil (Identify possible
courses of action) 3. Identifikasi kendala yang akan muncul dalam keputusan yang diambil (Identify any constrains relating to the decision) 4. Identifikasi efek yang ditimbulkan dari keputusan yang diambil (Analyze the likely effects of the possible courses of action) 5. Pilih keputusan yang terbaik (Select the best course of action) Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa etika profesi adalah serangkaian prinsip atau nilai-nilai moral yang harus ditegakkan oleh setiap profesional dalam hal ini akuntan agar hubungan yang terjadi antara akuntan dengan akuntan, akuntan dengan klien, akuntan dengan masyarakat dan akuntan dengan pihak lainnya dapat berjalan dengan baik dengan diterapkannya kode etik juga kode etik ini harus dijadikan dasar dalam penentuan keputusan yang diambil oleh auditor. Kode etik profesi yang harus dipatuhi oleh seorang auditor adalah (1) indepedensi, integritas dan objektivitas; (2) standar umum dan standar akuntansi; (3) tanggung jawab kepada klien; (4) tanggung jawa kepada rekan seprofesi; (5) tanggung jawab dan praktik lain.
2.1.2 Materialitas PSA 25 (SA seksi 312) mendefinisikan materialitas sebagai berikut,
25
Materialitas adalah besarnya informasi akuntansi yang apabila terjadi penghilangan atau salah saji, dilihat dari keadaan yang melingkupinya, mungkin dapat mengubah atau mempengaruhi pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan atas informasi tersebut.
Arens, Alvin A., et.al (2008:72) memberikan pengertian materialitas sebagai besarnya penghapusan atau suatu salah saji dalam laporan keuangan dapat dianggap material jika pengetahuan atas salah saji tersebut dapat mempengaruhi keputusan pemakai laporan keuangan yang rasional. Mulyadi (2002:158) mendefinisikan materialitas sebagai berikut: Materialitas adalah besarnya nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi, yang dilihat dari keadaan yang melingkupinya, dapat mengakibatkan perubahan atas atau pengaruh terhadap pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan terhadap informasi tersebut, karena adanya penghilangan atau salah saji itu. Financial Accounting Standard Board (1999) dalam Arens, Alvin A., et.al (2008:318) memberikan definisi terhadap materialitas yaitu Besarnya penghapusan atau salah saji informasi keuangan yang, dengan memperhitungkan situasinya, menyebabkan pertimbangan seseorang yang bijaksana yang mengandalkan informasi tersebut mungkin akan berubah atau terpengaruh oleh penghapusan atau salah saji tersebut. Berdasarkan definisi - definisi diatas dapat disimpulkan bahwa materialitas adalah besaran jumlah nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi, dimana salah saji dapat dikatakan material jika pengetahuan atas salah saji tersebut dapat mempengaruhi keputusan para pengguna laporan keuangan dalam membuat suatu keputusan. Tujuan dari penetapan materialitas adalah untuk membantu auditor merencanakan pengumpulan bahan bukti yang cukup. Jika auditor menetapkan jumlah yang rendah, lebih banyak bahan bukti yang dikumpulkan daripada jumlah
26
yang tinggi tetapi sedikit mengumpulkan bahan bukti (Ariffudin dan Sri Anik: 2002). Kecukupan bukti audit digunakan sebagai dasar yang layak untuk menyatakan pendapat untuk auditor atas laporan keuangan yang diaudit (Yendrawati Reni: 2008). Hastuti., et.al (2003) menyatakan bahwa materialitas dalam akuntansi adalah suatu yang relatif, nilai kuantitatif yang penting dari beberapa informasi keuangan, dalam konteks pembuatan keputusan. Peran konsep materialitas mempengaruhi kuantitas dan kualitas informasi akuntansi yang diperlukan auditor dalam membuat keputusan yang berkaitan dengan bukti. Konsep materialitas menyatakan bahwa tidak semua informasi keuangan diperlukan atau tidak semua informasi keuangan seharusnya dikomunikasikan dalam laporan akuntansi, hanya informasi material yang seharusnya disajikan. Informasi yang tidak material seharusnya diabaikan atau dihilangkan. Hal tersebut dapat dianalogikan bahwa konsep materialitas juga tidak memandang secara lengkap terhadap semua kesalahan, hanya kesalahan yang mempunyai pengaruh material yang wajib diperbaiki. Menurut Mulyadi (2002:158), dalam audit atas laporan keuangan, auditor memberikan jasa assurance berikut ini : 1. Auditor dapat memberikan keyakinan bahwa jumlah – jumlah yang disajikan dalam laporan keuangan beserta pengungkapannya telah dicatat, diringkas, digolongkan dan dikompilasi.
27
2. Auditor dapat memberikan keyakinan bahwa ia telah mengumpulkan bukti audit kompeten yang cukup sebagai dasar memadai untuk memberikan pendapat atas laporan keuangan klien. 3. Auditor dapat memberikan keyakinan, dalam bentuk pendapat, bahwa laporan keuangan sebagai keseluruhan disajikan secara wajar dan tidak terdapat salah saji material karena kekeliruan dan ketidakberesan. Tabel 2.1 Langkah-langkah dalam menetapkan materialitas Menetapkan pertimbangan awal Langkah 1 Merencanakan pendahuluan tentang materialitas Luas Mengalokasi pertimbangan Langkah 2
pendahuluan tentang materialitas
Pengujian
kedalam segmen Langkah 3 Langkah 4
Mengestimasikan total salah saji dalam segmen Memperkirakan salah saji gabungan Membandingkan salah saji gabungan
Langkah 5
Mengevaluasi Hasil
dengan pertimbangan pendahuluan atau yang direvisi tentang materialitas
Sumber: Arens, Alvin A., et.al (2008:319) Menurut Arens, Alvin A., et.al (2008: 320) langkah-langkah dalam menetapkan materialitas adalah, 1. Menetapkan
pertimbangan
pendahuluan
tentang
materialitas
(preliminary judgement about materiality) Pertimbangan pendahuluan tentang materialitas adalah jumlah maksimum yang membuat auditor yakin bahwa laporan keuangan akan salah
28
saji tetapi tidak mempengaruhi keputusan para pemakai yang bijaksana. Auditor menetapkan pertimbangan pendahuluan tentang materialitas untuk membantu merencanakan pengumpulan bukti yang tepat. Semakin rendah nilai uang pertimbangan pendahuluan ini, semakin banyak bukti audit yang dibutuhkan. Auditor seringkali mengubah pertimbangan pendahuluan
tentang
materialitas yang disebut dengan pertimbangan tentang materialitas yang direvisi (revised judgement about materiality). Hal ini terjadi karena auditor memutuskan bahwa pertimbangan pendahuluan terlalu besar atau terlalu kecil. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertimbangan pendahuluan auditor tentang materialitas adalah materialitas yang memiliki konsep yang relatif, dasar yang diperlukan untuk mengevaluasi materialitas, dan faktor-faktor kualitatif. 2. Mengalokasikan pertimbangan pendahuluan tentang materialitas ke segmen-segmen (salah saji yang dapat ditoleransi) Hal ini perlu dilakukan karena auditor mengumpulkan bukti per segmen dan bukan untuk laporan keuangan secara keseluruhan yang nantinya akan membantu auditor dalam memutuskan bukti audit yang tepat yang harus dikumpulkan. Ketika auditor mengalokasikan pertimbangan pendahuluan tentang materialitas ke saldo akun, materialitas yang dialokasikan ke saldo akun tertentu itu disebut dalam SAS 107 (AU 312) sebagai salah saji yang dapat ditoleransi. (tolerable misstatement).
29
3. Mengestimasi total salah saji dalam segmen Salah saji yang diketahui (known misstatement) adalah salah saji dalam akun yang jumlahnya dapat ditentukan oleh auditor. Salah saji yang mungkin (likely misstatement) terbagi menjadi dua jenis yaitu salah saji yang berasal dari perbedaan antara pertimbangan manajemen dan auditor tentang estimasi saldo akun, contohnya adalah perbedaan estimasi penyisihan piutang tak tertagih atau kewajiban garansi. Jenis kedua adalah proyeksi salah saji berdasarkan pengujian auditor atas sampel dari suatu populasi, contohnya adalah auditor menggunakan salah saji yang ditemukan yaitu 6 dari jumlah sampel 200 untuk mengestimasi total salah saji yang mungkin dalam persediaan. Total ini disebut estimasi atau proyeksi atau ekstrapolasi karena hanya sampel yang diaudit, bukan keseluruhan populasi. 4. Memperkirakan salah saji gabungan Jumlah salah saji yang diproyeksikan dalam langkah ketiga untuk setiap akun kemudian digabungkan dalam kertas kerja. 5. Membandingkan
salah
saji
gabungan
dengan
pertimbangan
pendahuluan atau yang direvisi tentang materialitas Langkah terakhir setelah dilakukan langkah ketiga dan keempat yaitu gabungan salah saji yang mungkin dibandingkan dengan materialitas. Menurut Arens, Alvin A., et.al (2008:72) dalam menerapkan definisi diatas, digunakan tiga tingkatan materialitas dalam mempertimbangkan jenis laporan yang harus dibuat. Tiga tingkatan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Jumlahnya Tidak Material
30
Jika terdapat salah saji dalam laporan keuangan, tetapi cenderung tidak mempengaruhi keputusan pemakai laporan, salah saji tersebut dianggap tidak material. Dalam hal ini pendapat wajar tanpa pengecualian dapat diberikan. 2. Jumlahnya Material Tetapi Tidak Mengganggu Laporan Keuangan Secara Keseluruhan Tingkat materialitas kedua terjadi jika salah saji di dalam laporan keuangan dapat mempengaruhi keputusan pemakai, tetapi keseluruhan laporan keuangan tersebut tersaji dengan benar, sehingga tetap berguna. Untuk memastikan materialitas jika terdapat kondisi yang menghendaki adanya penyimpangan dari laporan wajar tanpa pengecualian, auditor harus mengevaluasi segala pengaruhnya terhadap laporan keuangan, 3. Jumlah Sangat Material atau Pengaruhnya Sangat Meluas Sehingga Kewajaran Laporan Keuangan Secara Keseluruhan Diragukan Tingkat materialitas tertinggi terjadi jika para pemakai dapat membuat keputusan yang salah jika mereka mengandalkan laporan keuangan secara keseluruhan. Dalam kondisi kesalahan sangat material, auditor harus memberikan pernyataan tidak memberi pendapat atau pendapat tidak wajar, tergantung pada kondisi yang ada. Dalam menentukan materialitas suatu pengecualian, harus dipertimbangkan sejauh mana pengecualian itu mempengaruhi bagian – bagian lain laporan keuangan. Ini disebut penyebaran (pervasiveness). Salah klasifikasi antara kas dan piutang hanya akan mempengaruhi dua akun itu dan oleh
31
karenanya tidak mempengaruhi akun lain. Di pihak lain, kelalaian mencatat penjualan yang material sangat akan mempengaruhi penjualan, piutang usaha, beban pajak penghasilan, utang pajak penghasilan, dan laba ditahan yang pada gilirannya mempengaruhi aktiva lancar, total aktiva, kewajiban lancar, total kewajiban, kekayaan pemilik marjin kotor dan laba operasi. Semakin meluas pengaruh suatu salah saji, kemungkinan untuk menerbitkan pendapat tidak wajar akan lebih besar daripada pendapat wajar dengan pengecualian. Selain itu, tanpa memperdulikan berapa jumlah materialitasnya, pernyataan untuk tidak memberikan pendapat harus diberikan apabila auditor tidak independen. Ketentuan ketat ini mencerminkan betapa pentingnya independensi yang harus dimiliki oleh seorang auditor. Menurut Mulyadi (2002: 160) Dalam perencanaan audit, auditor harus menetapkan materialitas pada dua tingkat berikut ini: a.
Tingkat laporan keuangan, karena pendapat auditor atas kewajaran mencakup laporan keuangan sebagai keseluruhan
b.
Tingkat saldo akun, karena auditor memverifikasi saldo akun dalam mencapai kesimpulan yang menyeluruh atas kewajaran laporan keuangan.
Faktor yang harus dipertimbangkan dalam melakukan pertimbangan awal tentang materialitas pada setiap tingkat dijelaskan berikut ini: Materialitas pada tingkat laporan keuangan, auditor menggunakan dua cara dalam menerapkan materialitas dalam perencanaan audit dan kedua, pada saat mengevaluasi bukti audit dalam pelaksaaan audit. Pada saat merencanakan
32
audit, auditor perlu membuat estimasi materialitas karena terdapat hubungan yang terbalik antara jumlah dalam laporan keuangan yang dipandang material oleh auditor dengan jumlah pekerjaan audit yang diperlukan untuk menyatakan kewajaran laporan keuangan. Oleh karena itu auditor harus mempertimbangkan dengan baik penaksiran materialitas pada tahap perencanaan audit. Jika auditor menentukan jumlah rupiah materialitas terlalu rendah, auditor akan mengkonsumsi waktu dan usaha yang sebenarnya tidak diperlukan. Sebaliknya, jika auditor menentukan jumlah rupiah materialitas terlalu tinggi, auditor akan mengabaikan salah saji yang signifikan sehingga ia memberikan pendapat wajar tanpa pengecualian untuk laporan keuangan yang berisi salah saji material. Laporan keuangan mengandung salah saji material jika laporan tersebut berisi kekeliruan atau ketidakberesan yang dampaknya, secara individual atau secara gabungan, sedemikian signifikan sehingga mencegah penyajian secara wajar laporan keuangan tesebut sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Dalam keadaan ini, salah saji dapat terjadi sebagai akibat penerapan secara keliru prinsip akuntansi berlaku umum, penyimpangan dari fakta, atau penghilang informasi yang diperlukan. Dalam perencanaan audit, auditor harus menyadari bahwa terdapat lebih dari satu tingkat materialitas yang berkaitan dengan laporan keuangan. Kenyataannya, setiap laporan keuangan dapat memiliki lebih dari satu tingkat materialitas. Untuk laporan laba-rugi, materialitas dapat dihubungkan dengan total pendapatan, laba bersih usaha, laba bersih sebelum pajak, atau laba bersih setelah
33
pajak. Untuk neraca, materialitas dapat didasarkan pada total aktiva, aktiva lancar, modal kerja, atau modal saham. Dalam melakukan pertimbangan awal tentang materialitas, mula-mula auditor menentukan tingkat materialitas gabungan untuk setiap laporan keuangan. Sebagai contoh, auditor dapat menaksir bahwa kekeliruan berjumlah Rp 2 juta untuk laporan laba-rugi dan Rp 4 juta untuk neraca merupakan kekeliruan material. Dalam keadaan ini, auditor tidak semestinya menggunakan materialitas neraca dalam perencanaan audit karena jika salah saji neraca yang berjumlah Rp 4 juta juga berdampak terhadap laporan laba-rugi, sehingga laporan laba-rugi akan salah saji secara material. Untuk mencapai tujuan perencanaan audit, auditor harus menggunakan tingkat salah saji gabungan yang terkecil yang dianggap material terhadap salah satu laporan keuangan. Dasar pengambilan keputusan ini semestinya digunakan karena laporan keuangan adalah saling berhubungan satu dengan lainnya, banyak prosedur audit berkaitan dengan lebih dari satu laporan keuangan. Pertimbangan awal auditor tentang materialitas seringkali dibuat enam sampai dengan Sembilan bulan sebelum tanggal neraca. Oleh karena itu, pertimbangan tersebut dapat didasarkan atas data laporan keuangan yang dibuat tahunan. Sebagai alternatif, pertimbangan tersebut dapat didasarkan atas hasil keuangan satu tahun atau lebih yang telah lalu, yang disesuaikan dengan perubahan terkini, seperti keadaan ekonomi umum dan trend industri.
34
Sampai dengan saat ini, tidak terdapat panduan resmi yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia tentang ukuran kuantitatif materialitas. Berikut ini diberikan contoh beberapa panduan kuantitatif yang digunakan dalam praktik: a. Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 5% sampai 10% dari laba sebelum pajak. b. Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji ½% sampai 1% dari total aktiva. c. Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 1% dari pasiva. d. Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji ½% sampai 1% dari pendapatan bruto. Materialitas pada tingkat saldo akun, Meskipun auditor memberikan pendapat atas laporan keuangan secara keseluruhan, namun ia harus melakukan audit terhadap akun-akun secara individual dalam mengumpulkan bukti audit yang dipakai sebagai dasar untuk menyatakan pendapatnya atas laporan keuangan auditee. Oleh karena itu, taksiran materialitas yang dibuat pada tahap perencanaan audit harus dibagi ke akun-akun laporan keuangan secara individual yang akan diperiksa. Bagian materialitas yang dialokasikan ke akun-akun laporan keuangan secara individual ini dikenal dengan sebutan salah saji yang dapat diterima (tolerate misstatement) untuk akun tertentu. Materialitas pada tingkat saldo akun adalah salah saji minimum yang mungkin terdapat dalam saldo akun yang dipandang sebagai salah saji material. Konsep materialitas pada tingkat saldo akun tidak boleh dicampuradukkan dengan
35
istilah saldo akun material. Saldo akun material adalah ukuran saldo akun yang tercatat, sedangkan konsep materialitas berkaitan dengan salah saji yang dapat mempengaruhi keputusan pemakai informasi keuangan. Saldo suatu akun yang tercatat umumnya mencerminkan batas atas lebih saji (overstatement) dalam akun tersebut. Oleh karena itu, akun dengan saldo yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan materialitas seringkali disebut sebagai tidak material mengenai risiko lebih saji. Namun, tidak ada batas jumlah kurang saji dalam suatu akun dengan saldo tercatat yang sangat kecil. Oleh karena itu, harus disadari oleh auditor, bahwa akun yang kelihatannya bersaldo tidak material, dapat berisi kurang saji (understatement) yang melampaui materialitasnya. Dalam mempertimbangkan materialitas pada tingkat saldo akun, auditor harus mempertimbakan hubungan antara materialitas tersebut dengan materialitas laporan keuangan. Pertimbangan ini mengarahkan auditor untuk merencanakan audit guna mendeteksi salah saji yang kemungkinan tidak material secara individual, namun, jika digabungkan dengan salah saji dalam saldo akun yang lain, dapat material terhadap laporan keuangan secara keseluruhan. Alokasi materialitas laporan keuangan ke akun, bila pertimbangan awal auditor tentang materialitas laporan keuangan dikuantifikasikan, penaksiran awal
tentang
materialitas
untuk
setiap
akun
dapat
diperoleh
dengan
mengalokasikan materialitas laporan keuangan ke akun secara individual. Pengalokasian ini dapat dilakukan baik untuk akun neraca maupun akun laba-rugi namun, karena hampir semua salah saji laporan laba-rugi juga mempengaruhi neraca dan karena akun neraca sedikit, banyak auditor yang melakukan alokasi
36
atas
dasar
akun
neraca.
Dalam
melakukan
alokasi,
auditor
harus
mempertimbangkan kemungkinan terjadinya salah saji dalam akun tertentu dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk memverifikasi akun tersebut. Sebagai contoh, salah saji lebih (overstatement) kemungkinan lebih besar terdapat dalam persediaan dibandingkan dengan aktiva tetap, dan umumnya biaya untuk mengaudit persediaan lebih mahal dibandingkan dengan biaya untuk mengaudit aktiva tetap. Tingkat materialitas salah saji akun mempunyai hubungan terbalik dengan bukti. Materialitas yang dipertimbangkan tinggi, maka bukti yang diperlukan akan relatif lebih sedikit daripada materialitas yang rendah. Berkurangnya bukti yang diperlukan akan menurunkan biaya auditing. Menurut Halim Abdul (2001:95) perlu dibedakan secara jelas antara materialitas tingkat saldo dengan akun yang material. Semakin rendah tingkat materialitas berarti semakin kecil tingkat kesalahan yang dapat ditolerir, semakin kecil tingkat kesalahan yang dapat ditolerir semakin banyak bukti yang diperlukan. Maka dari itu, semakin rendah tingkat materialitas semakin banyak bukti yang diperlukan. Semakin material suatu akun, semakin banyak bukti yang harus dihimpun dan semakin banyak pula biaya yang harus dikeluarkan. Akun piutang dagang lebih material daripada surat berharga pada perusahaan dagang. Maka dari itu, bukti yang harus dihimpun pada pemeriksaan piutang dagang lebih banyak. Keputusan mengenai materialitas - menurut Arens, Alvin A., et.al (2008:73) sebagai konsep, pengaruh materialitas terhadap jenis opini yang diberikan mudah sekali ditetapkan. Dalam penerapannya, mempertimbangkan
37
materialitas dalam situasi tertentu bukanlah pekerjaan yang mudah. Tidak ada petunjuk sederhana dan jelas yang dapat membantu auditor untuk memutuskan apakah sesuatu tidak material, material, atau sangat material. Terdapat perbedaan dalam menerapkan materialitas untuk memutuskan apakah kegagalan mengikuti prinsip akuntansi yang berlaku umum berdampak material dibandingkan dengan memutuskan apakah pembatasan lingkup berdampak material. Berikut ini adalah pembahasan berkenaan dengan mengambil keputusan materialitas dalam dua situasi tersebut. Kaitan Dengan Prinsip Akuntansi yang Berterima Umum - Menurut Arens, Alvin A., et.al (2008:74) Jika seorang klien tidak menerapkan prinsip akuntansi yang berlaku umum dengan benar laporan audit dapat wajar tanpa pengecualian, wajar dengan pengecualian, atau tidak wajar, tergantung kepada materialitas dari penyimpangan tersebut. Harus dipertimbangkan beberapa aspek dari materialitas. Jumlah rupiah dibandingkan terhadap tolak ukur tertentu, Cara yang paling lazim untuk mengukur materialitas, jika seorang klien telah menyimpang dari prinsip akuntansi yang berlaku umum, adalah dengan membandingkan nilai uang dari kesalahan di dalam akun-akun yang bersangkutan terhadap tolak ukur tertentu. Salah saji kesalahan di dalam akun-akun yang bersangkutan terhadap tolak ukur tertentu. Salah saji sebesar Rp20 juta mungkin sangat berarti bagi perusahaan kecil, tetapi tidak bagi perusahaan besar. Karena itu, salah saji yang terungkap harus dibandingkan terlebih dahulu terhadap beberapa dasar ukuran sebelum keputusan dapat dibuat mengenai materialitas penyimpangan dari prinsip
38
akuntansi yang berlaku umum tersebut. Tolak ukur yang lazim digunakan adalah laba bersih, jumlah aktiva lancar dan modal kerja. Untuk mengevaluasi materialitas keseluruhan, auditor harus mencari semua salah saji individual yang belum diperbaiki, yang bila digabungkan dapat menimbulkan pengaruh yang cukup berarti terhadap laporan keuangan. Pada saat membandingkan salah saji potensial dengan tolak ukuru tertentu, auditor harus mempertimbangkan dengan hati-hati semua akun yang dipengaruhi oleh suatu salah saji. Daya ukur, Nilai uang yang terkandung pada beberapa salah saji tidak dapat diukur secara akurat. Sebagai contoh, keengganan klien untuk mengungkapkan adanya gugatan hukum atau akuisisi perusahaan anak yang baru setelah tanggal penutupan neraca sulit atau malah tidak mungkin, untuk diukur dalam nilai uang. Tingkatan materialitas harus dievaluasi auditor dalam situasi semacam ini bergantung pada pengaruh dari tidak diungkapkannya penjelasan tersebut untuk membantu keputusan yang dibuat oleh para pemakai laporan keuangan. Sifat salah saji, Keputusan para pemakai laporan keuangan dapat pula dipengaruhi oleh jenis salah saji yang terdapat di dalam laporan keuangan. Salah saji berikut dapat mempengaruhi keputusan pemakai laporan keuangan, dan demikian juga akan mempengaruhi pendapat auditor, dengan cara yang berbeda dari salah saji yang lazim terjadi. 1. Transaksi-transaksi adalah melanggar hukum.
39
2. Sesuatu pos yang dapat mempengaruhi periode mendatang, meskipun jumlahnya tidak berarti jika hanya periode sekarang yang diperhitungkan. 3. Sesuatu yang menimbulkan akibat “psikis”. 4. Sesuatu yang dapat menimbulkan konsekuensi penting bila dibandingkan dari segi kewajiban kontrak. Kaitan Dengan Pembatasan Lingkup Audit - Menurut Arens, Alvin A., et.al (2008:75) Besar kecilnya salah saji yang mungkin terjadi akibat pembatasan lingkup audit penting untuk diperhatikan dalam menentukan jenis pendapat yang sesuai, yaitu apakah laporan wajar tanpa pengecualian, wajar dengan pengecualian atau pernyataan tidak memberikan pendapat. Umumnya jauh lebih sulit untuk mengevaluasi materialitas dari salah saji yang diakibatkan adanya ruang lingkup audit daripada pelanggaran terhadap prinsip akuntansi yang berlaku umum atau penerapan prinsip akuntansi yang berlaku umum secara tidak konsisten dapat diketahui. Tetapi yang berasal dari pembatasan lingkup audit biasanya harus diukur secara subjektif untuk melihat kemungkinan terjadinya salah saji. Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa materialitas merupakan suatu pertimbangan terhadap laporan keuangan yang dapat mempengaruhi jenis opini pada laporan auditor. Faktor yang mempengaruhi materialitas antara lain adalah (1) pertimbangan awal materialitas, (2) materialitas pada tingkat laporan keuangan, (3) materialitas pada tingkat saldo akun, laporan keuangan ke akun.
(4) alokasi materialitas
40
2.2
Kerangka Pemikiran
2.2.1 Pengaruh Etika Profesi Auditor terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas Dalam Pemeriksaan Laporan Keuangan Minanda Reza dan Dul Muid (2013) melakukan penelitian mengenai pengaruh etika profesi terhadap pertimbangan tingkat materialitas pada akuntan yang bekerja di Kantor Akuntan Publik (KAP) di kota Semarang. Penelitian yang dilakukan oleh Minanda Reza dan Dul Muid ini memiliki kesimpulan bahwa etika profesi berhubungan secara signifikan dengan pertimbangan tingkat materialitas dalam proses pemeriksaan laporan keuangan. Pada penelitian ini menunjukkan bukti empiris yaitu variabel etika profesi berpengaruh signifikan dan positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas akuntan dalam pertimbangan tingkat materialitas. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya yaitu yang dilakukan oleh Herawaty Arleen dan Yulius Kurnia Susanto (2009) yang menyatakan bahwa ketepatan menentukan tingkat materialitas akan dipengaruhi oleh etika profesi yang diterapkan oleh akuntan. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan Permana Andika Erik (2010), Andriadi Anggi (2010), Safirtri Tika (2010), Manita Riadh, Hassan Lahbari dan Najoua Elommal (2011), Kusuma Novanda Bayu Aji (2012) yang semuanya sepakat menyatakan pertimbangan tingkat materialitas akan tergantung kepada etika profesi dari seorang akuntan. Hasil ini mengandung pengertian bahwa semakin baik etika profesi yang dimiliki oleh seorang akuntan maka pertimbangan tingkat materialitas akuntan publik dalam laporan keuangan akan semakin tepat.
41
Berdasarkan uraian diatas maka kerangka pemikiran penelitian ini digambarkan sebagai berikut,
1.
2. 3. 4.
5.
X Etika Profesi SPAP (2001) Indepedensi, integritas dan objektifitas Standar Umum dan Standar Akuntansi Tanggung jawab kepada klien Tanggung jawab kepada rekan seprofesi Tanggung jawab dan praktik lain
Y Pertimbangan Tingkat Materialitas Mulyadi (2002: 159)
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran
2.3
Hipotesis Penelitian Berdasarkan
kerangka pemikiran diatas, maka peneliti mengajukan
hipotesis sebagai berikut: Etika auditor berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat materialitas dalam pemeriksaan laporan keuangan.