8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pemasaran dan Manajemen Pemasaran Aspek terpenting dalam dunia bisnis adalah pemasaran, karena pemasaran adalah salah satu proses yang dapat dilakukan oleh suatu usaha khususnya yang bertujuan untuk mencapai keuntungan melalui sistem pemasaran atau dari pasar yang ada. Karena sistem pemasaran harus dapat dikelola dengan baik, maka perlu adanya keputusan yang tepat sebelum menentukan suatu kebijakan yang berkaitan dengan pasar itu sendiri dan dalam usaha pemasaran antar pasar dalam menarik konsumen maupun pelanggan, di dalam hal ini nasabah termasuk pelanggan maka perusahaan berusaha menciptakan minat pembeli. Hal ini secara jelas digariskan dalam ruang lingkup pemasaran antara lain mencakup kegiatan promosi, distribusi, penetapan harga penjualan dan pembelian akan tetapi dalam hal ini perbankan yang menawarkan jasa menawarkan pelayanan yang lebih baik. Menurut Kotler (1997: 8) pemasaran merupakan suatu proses sosial dan manajerial yang di dalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan cara menciptakan, menawarkan, dan mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain. Definisi tersebut memberikan pemahaman pemasaran sebagai suatu proses pemenuhan kebutuhan yang dimulai dari timbulnya kebutuhan dan permintaan yang ditanggapi dengan memerhatikan suatu produk untuk memenuhi permintaan tersebut di mana dalam produk tersebut tercakup di dalamnya biaya dan unsur kepuasan yang menyebabkan timbulnya transaksi di pasar antara pemasar dan konsumen, adapun produk yang ditawarkan selalu mempunyai nilai lebih di mata konsumen.
8
9
Pada sisi lain Swastha (2000: 6) memandang pemasaran sebagai suatu usaha untuk memuaskan kebutuhan pembeli dan penjual melalui proses pertukaran. Dari definisi ini tersirat makna bahwa pemasaran merupakan suatu proses yang memberikan jawaban atas kebutuhan dan keinginan konsumen, atau dengan kata lain dapat pula dikatakan bahwa kegiatan pemasaran diciptakan oleh pembeli dan penjual di mana kedua belah pihak sama-sama ingin mencari kepuasan dalam hal ini pembeli berusaha memenuhi kebutuhannya, sedangkan penjual berusaha mendapatkan laba, selanjutnya kedua macam kepentingan ini dapat dipertemukan dengan cara mengadakan pertukaran yang saling menguntungan. Perlu dijelaskan pula tentang pengertian manajemen pemasaran seperti yang dikemukakan oleh Kotler (1994: 16) bahwa manajemen pemasaran adalah: “Proses perencanaan dan pelaksanaan dari perwujudan, pembelian, harga, promosi dan distribusi dari barang, jasa dan gagasan untuk menciptakan pertukaran dengan kelompok sasaran yang memenuhi tujuan pelanggan dan organisasi”.
Kepuasan pelanggan merupakan salah satu tujuan dari pemasaran yang diakibatkan oleh karena adanya pertukaran, maka dunia usaha yang menciptakan atau memroduksi barang dan jasa yang akan dikonsumsi oleh masyarakat atau konsumen perlu memerhatikan beberapa aspek tentang sistem pemasaran yang akan dilakukannya agar produk yang dihasilkan itu dapat memberikan nilai atau manfaat dan kepuasaan kepada konsumen. Untuk melangkah pada proses tersebut, maka dunia usaha perlu memikirkan terlebih dahulu tentang kebutuhan, keinginan dan permintaan masyarakat atau konsumen, sehingga dalam sistem pemasaran yang dilakukan, produk yang akan dilempar kepada konsumen tersebut tidak mengalami kesulitan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Kotler (1994: 8) bahwa:
10
“Cara berfikir pemasaran mulai dengan kebutuhan dan keinginan manusia, manusia membutuhkan makanan, udara, air, pakaian, dan rumah untuk hidup. Di luar ini manusia ingin rekreasi, pendidikan maupun jasa lainnya. Mereka punya pilihan yang jelas akan macam dan merk tertentu dari barang dan jasa produk”.
Dari penjelasan yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikatakan bahwa sebelum melakukan kegiatan pemasaran, terlebih dahulu perlu dipertimbangkan tentang kebutuhan, keinginan dan permintaan konsumen, sehingga dalam kegiatan pemasaran dapat berjalan dengan baik dan apa yang diinginkan oleh pelanggan dapat dipenuhi oleh produsen yang menciptakan barang maupun jasa.
2.2 Perilaku Konsumen Tujuan kegiatan pemasaran pada umumnya adalah untuk memengaruhi perilaku konsumen agar bersedia membeli barang dan jasa perusahaan dalam pemenuhan kebutuhan. Hal ini sangat penting bagi manajer perbankan bidang pemasaran untuk mengetahui cara pengembangan produk, penentuan harga, menentukan tempat dan lokasi, kegiatan pelayanan dan mempromosikan produknya dengan baik. Menurut Engel, et. al., (1994:3) perilaku konsumen sebagai tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk, termasuk proses kebutuhan yang mendahului dan menyusuli tindakan ini. Sedangkan definisi lain mengenai perilaku konsumen juga dikemukakan oleh William (Winardi, 1991: 14) sebagai aktifitas yang melibatkan orang-orang sewaktu menyeleksi, membeli dan menggunakan produk-produk dan jasa-jasa sedemikian rupa hingga hal tersebut memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan mereka. Kemudian definisi lainnya mengenai perilaku konsumen dikemukakan juga oleh Winardi (1991: 49) sebagai perilaku yang ditunjukan oleh orang-orang dalam hal merencanakan, membeli dan menggunakan barang ekonomi dan jasa-jasa.
11
Dari beberapa definisi perilaku konsumen di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumen merupakan segala bentuk aktivitas orang-orang maupun konsumen untuk mendapatkan, menghabiskan, mengkonsumsi barang-barang ekonomi dan jasa. Definisi lain dari perilaku konsumen menurut Swastha (Irawan, 2001:8) adalah kegiatan-kegiatan individu yang secara langsung terlibat dalam mendapatkan dan mempergunakan barang-barang dan jasa-jasa termasuk di dalamnya proses pengambilan keputusan pada persiapan dan penentuan kegiatan-kegiatan. Sedangkan Kotler (1997:152) menyatakan bahwa perilaku konsumen mempelajari bagaimana individu, kelompok dalam organisasi, memilih, membeli, dan memakai barang dan jasa, gagasan atau pengalaman dalam rangka memenuhi kebutuhan dan hasrat mereka. Dari kedua pendapat para ahli tersebut mengandung makna yang sama yaitu dapat diartikan bahwa tindakan atau keputusan konsumen sebagai individu atau kelompok untuk menentukan pilihannya atas penggunaan atau pembelian. Tindakantindakan yang dilakukan oleh individu, kelompok atau organisasi yang berhubungan dengan proses pengambilan keputusan dalam memilih, membeli dan memakai barang dan jasa-jasa, semata-mata untuk memuaskan kebutuhannya. Bila membandingkan pendapat para ahli tentang definisi perilaku konsumen dapat diketahui bahwa pemahaman tentang perilaku konsumen bukanlah pekerjaan yang mudah, tetapi cukup sulit dan kompleks khususnya disebabkan oleh banyaknya variabel yang memengaruhi dan variabel-variabel
tersebut cenderung saling
berinteraksi. Meskipun demikian bila hal tersebut dapat dilakukan, maka perusahaan yang bersangkutan akan meraih keuntungan yang jauh lebih maksimal dari pada pesaingnya, karena dengan dipahaminya perusahaan dapat memberikan kepuasan secara lebih baik kepada konsumen.
12
2.3 Konsep Jasa 2.3.1 Karakteristik Jasa Peranan jasa pelayanan saat ini sangat penting terlebih lagi di bidang perbankan.
Pentingnya
jasa
pelayanan
perbankan
dikarenakan
untuk
mengimbangi kemajuan sebagai pengaruh dari teknologi. Jasa menurut Kotler (1997:83) adalah: “Setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun, produksinya dapat dikaitkan atau tidak dikaitkan pada satu produk fisik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jasa merupakan sesuatu hal yang intangible (tidak berwujud) atau dapat pula dikatakan jasa adalah bersifat abstrak”.
Definisi yang lebih lengkap dikemukakan oleh Stanton (Swasta, 1990:250) menurutnya jasa adalah : “Kegiatan yang dapat diidentifikasikan secara tersendiri, yang pada hakekatnya bersifat tak teraba (intangible) yang merupakan pemenuhan kebutuhan dan tidak harus terikat pada penjualan produk atau jasa lain. Untuk menghasilkan jasa mungkin perlu atau mungkin pula tidak diperlukan penggunaan benda nyata (tangible). Akan tetapi sekalipun benda itu perlu namun tidak terdapat adanya pemindahan hak milik atas benda tersebut”.
Berdasarkan kedua defnisi tersebut di atas maka dapat ditarik kesimpulan dasar bahwa jasa mempunyai karakteristik tersendiri yaitu tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apa pun. Jasa yang ditawarkan oleh perusahaanperusahaan dapat bersifat jasa murni atau jasa yang mengikat pada produk fisik. Selain itu jasa juga bersifat abstrak, tidak dapat diraba, dirasa, dilihat, dicium, bahkan didengar (intangibility), tidak dapat dipisahkan (inseparability), bersifat variatif dalam bentuk, kualitas dan jenis, dan tergantung dari siapa, kapan, dan di mana jasa itu dihasilkan (variability), serta tidak akan tahan lama (durability). Salah satu sifat dari jasa atau pelayanan adalah diproduksi dan dikonsumsi pada saat yang bersamaan. Menurut Rangkuti, (2002:20-21): “Usaha jasa dalam pemasarannya berbeda dengan usaha yang mempunyai produk nyata. Dalam pemasaran jasa, semua barang berbentuk immaterial atau intangible
13
karena produknya tidak kasat mata dan tidak dapat diraba. Produksi jasa berlangsung secara reaksional di mana dilakukan pada saat pelanggan berhadapan langsung dengan pihak pemasar, di samping itu interaksi antara pelanggan dan pihak pemasar sangat penting untuk mewujudkan jasa yang dibentuk”.
Tidak seperti produk manufaktur di mana hasil dagang dapat disimpan di gudang, dikirim ke toko-toko, dibeli oleh konsumen dan kemudian dikonsumsi. Oleh karena sifat ini, kepuasan pelanggan terhadap suatu pelayanan sangatlah bergantung pada proses interaksi atau waktu di mana pelanggan dan penyedia bertemu. Menurut Kotler (1997:263) karakteristik jasa dapat diuraikan sebagai berikut: a. Intangible (Tidak berwujud) Suatu jasa mempunyai sifat tidak berwujud, sehingga tidak dapat dirasakan dan dinikmati sebelum dibeli oleh konsumen. Oleh karena itu tugas penyedia jasa adalah mengelola bukti itu untuk mewujudkan jasa atau barang yang tidak berwujud. b. Inseperability (Tidak dapat dipisahkan ) Pada umumnya jasa diproduksi (dihasilkan) dan dirasakan pada waktu bersamaan dan apabila dikehendaki oleh seseorang untuk diserahkan kepada pihak lainnya, maka dia akan tetap merupakan bagian dari jasa tersebut. c. Variability ( Bervariasi ) Jasa senantiasa mengalami perubahan, tergantung dari siapa penyedia jasa, penerima jasa, dan kondisi di mana jasa tersebut diberikan. d. Perishability (Tidak tahan lama) Daya tahan suatu jasa tergantung situasi yang diciptakan oleh berbagai faktor, misalnya : perubahan zaman, teknologi dan sebagainya.
14
Oleh sebab itu perusahaan yang eksis di bidang jasa perlu untuk menciptakan suatu sistem pelayanan yang dapat menarik konsumen agar tetap bertahan, bersaing dan dapat menguasai pangsa pasar.
2.3.2 Kualitas Jasa Kualitas yang dihasilkan oleh barang atau jasa sangat erat kaitannya dengan kepuasan konsumen. Kualitas dapat memberikan dorongan kepada pelanggan untuk menjalin hubungan yang kuat dengan perusahaan. Dalam jangka panjang hubungan yang terjalin dapat memungkinkan perusahaan untuk memahami dengan seksama harapan pelanggan serta kebutuhan mereka. Perusahaan
dapat
meningkatkan
kepuasan pelanggan
dengan
cara
memaksimumkan pelayanan yang menyenangkan dan menghilangkan pelayanan yang membosankan serta menjengkelkan. Sebab harus disadari produk yang berkualitas serta harga yang murah sekalipun jika tidak diikuti dengan pelayanan yang baik, akan menyebabkan pelanggan berpaling pada produk atau jasa yang sejenis yang kira-kira dapat memberikan kepuasan sama yang ditawarkan oleh pesaing. Kualitas jasa menurut Wyckop (Tjiptono, 2000:54) adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan. Kualitas seringkali disamakan dengan mutu, pendapat demikian diperkuat dengan apa yang dikatakan dalam American Society for Quality Control (Kotler, 1997:49) bahwa mutu sama dengan kualitas di mana mutu adalah keseluruhan ciri dari atribut produk atau pelayanan yang berpengaruh pada kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau yang tersirat.
15
Dari definisi di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa perusahaan tidak dapat mengklaim diri telah memberikan kualitas terbaik –lewat produk atau jasa- pada pelanggan, sebab yang dapat mengambil kesimpulan baik dan tidaknya kinerja sebuah produk atau jasa yang dihasilkan oleh perusahaan hanyalah konsumen dan pelanggan. Tidak berlebihan jika sering dikatakan bahwa konsumen adalah raja. Selain itu kesimpulan yang juga dapat diambil, bahwa perusahaan harus dapat mengendalikan kinerja pelayanannya agar sesuai dengan ekspektasi pelanggan. Apabila jasa yang diterima atau yang dirasakan sesuai dengan yang diharapkan maka dapat dipastikan cenderung untuk mendekati kepuasan yang diharapkan oleh pelanggan. Sebaliknya jika jasa yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan, maka secara otomatis telah memberikan nilai yang buruk dalam persepsi konsumen. Baik dan tidaknya kualitas jasa atau produk yang ditawarkan tergantung pada kemampuan pihak fasilitator (penyedia) dalam memenuhi harapan pelanggan.
2.3.3 Pengukuran Kualitas Jasa Kualitas jasa dipengaruhi dua variabel, menurut Rangkuti (2002:21) kedua variabel tersebut yaitu jasa yang dirasakan (perceived service) dan jasa yang diharapkan (expected service). Pengukuran kualitas jasa lebih sulit dibandingkan dengan mengukur kualitas produk nyata, sebab atribut yang melekat pada jasa tidak mudah untuk diidentifikasi. Menurut Tjiptono (2000:97) langkah-langkah yang harus diambil dalam mengukur kualitas jasa adalah: 1. Spesifikasi determinan kualitas jasa. Langkah ini menyangkut variabel yang digunakan untuk mengukur kualitas jasa
16
2. Perangkat standar kualitas jasa yang bisa diukur. Kualitas jasa yang dimaksud adalah menyangkut tentang standar atau instrument kualitas jasa yang bisa digunakan untuk mengukur variabel. Penelitian mengenai customer perceived quality pada industri jasa yang dilakukan oleh Leonard L Berry, A Parasuraman dan Valerie A Zeithaml 1985, 1988 (Rangkuti, 2002:22) mengidentifikasi lima kesenjangan (gap) yang menyebabkan kegagalan penyampaian jasa, yaitu: 1. Kesenjangan tingkat harapan konsumen dan persepsi manajemen. Pada kenyataannya pihak manajemen suatu perusahaan tidak selalu dapat merasakan atau memahami secara tepat apa yang diinginkan oleh para pelanggannya. Akibatnya manajemen tidak mengetahui bagaimana produkproduk jasa didesain dan jasa-jasa pendukung (sekunder) apa saja yang diinginkan oleh konsumen. 2. Kesenjangan antara persepsi manajemen dan spesifikasi kualitas jasa. Kadang kala manajemen mampu memahami secara tepat apa yang diinginkan oleh pelanggan, tetapi mereka tidak menyusun standar kinerja yang jelas. Hal ini dapat terjadi karena tiga faktor, yaitu tidak adanya komitmen total manajemen terhadap kualitas jasa, kurangnya sumber daya, atau karena adanya kelebihan permintaan. 3. Kesenjangan antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa. Ada beberapa penyebab terjadinya kesenjangan ini, misalnya karyawan kurang terlatih, beban kerja yang melampaui batas, ketidakmampuan memenuhi standar kerja, atau bahkan ketidakmauan memenuhi standar kinerja yang ditetapkan.
17
4. Kesenjangan antara penyampaian jasa komunikasi eksternal. Seringkali tingkat kepentingan pelanggan dipengaruhi oleh iklan dan pernyataan atau janji yang dibuat oleh perusahaan. Resiko yang dihadapi oleh perusahaan apabila janji tidak dipenuhi akan menyebabkan persepsi negatif terhadap kualitas jasa perusahaan. 5. Kesenjangan antara jasa yang dirasakan dan jasa yang diharapkan. Kesenjangan ini terjadi apabila pelanggan mengukur kinerja atau persepsi perusahaan dengan cara
yang
berbeda,
atau
bila
pelanggan
keliru
mempersepsikan kualitas jasa tersebut.
2.3.4 Faktor-Faktor yang Menentukan Kualitas Jasa Sebuah perusahaan jasa sebisa mungkin dapat memberikan jasa yang berkualitas tinggi secara konsisten dan kontinyu dibandingkan dengan pesaing, dalam rangka memenuhi harapan pelanggan. Usaha jasa terbilang cukup rumit dan sangat kompleks dari pada barang yang mempunyai wujud konkrit, sehingga menyulitkan seseorang untuk mengidentifikasinya dalam waktu yang singkat. Akan tetapi beberapa pakar di bidang pemasaran mencoba melakukan studi atau mencari pendekatan tentang dimensi atau faktor utama yang menentukan kualitas jasa. Menurut Parasuraman, Zeithamal & Bery (Rangkuti, 2002:29), bahwa untuk dapat menentukan standar kualitas jasa dapat dilihat dari dimensi atau kriteria berikut: a. Reliability (keandalan) b. Responsiveness (ketanggapan) c. Competence (kemampuan) d. Acces (mudah diperoleh) e. Courtesy (keramahan)
18
f.
Comunication (komunikasi)
g. Credibility (dapat dipercaya) h. Security (keamanan) i.
Understanding (knowing the costumer) (memahami pelanggan)
j.
Tangibles (bukti nyata yang kasat mata) Kesepuluh dimensi tersebut di atas dapat dikonversi ke dalam lima dimensi,
Parasuraman, Zeithamal & Bery (Rangkuti, 2002:29) mengkonversi dari kesepuluh dimensi kualitas jasa sebagai berikut: 1. Tangibles (berwujud) yaitu, penampilan fasilitas fisik, peralatan, personel dan media komunikasi 2. Reliability (keandalan) yaitu, kemampuan untuk melaksanakan jasa yang dijanjikan dengan tepat dan terpercaya. 3. Responsiveness (ketanggapan) yaitu, kemampuan untuk membantu pelanggan dalam memberikan jasa dengan cepat dan tanggap. 4. Assurance (keyakinan atau jaminan) yaitu, pengetahuan dan kesopanan karyawan serta kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan. 5. Emphaty (empati) yaitu, merupakan syarat untuk peduli, memberikan perhatian pribadi pada pelanggan.
2.4 Konsep Kualitas Pelayanan Kualitas (quality) merupakan konstruksi yang penting dalam administrasi nasabah, termasuk di dalam kegiatan layanan. Banyak definisi yang dapat digunakan untuk menjelaskan pengertian kualitas layanan dalam berbagai konteks. Penelitian administrasi nasabah, kualitas harus dikonseptualisasikan dengan suatu definisi operasional sehingga dapat diukur dengan suatu instrumen yang dibuat untuk
19
keperluan yang lebih komprehensif dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Menurut Osborne dan Gebler dalam Martul (2007) kualitas layanan adalah roh dari kegiatan prosedural, yang berorientasi pada kepuasan nasabah. Teori pilihan nasabah menurut Peter (2005) layanan adalah pilihan nasabah yang harus dipenuhi dalam rangka mewujudkan kepuasan nasabah. Goetsch dan Davis (dalam Oemi, 2007;9) mengemukakan bahwa kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan jasa dan jasa layanan, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Sedangkan Parasuraman (2003) mengemukakan bahwa kualitas merupakan ukuran penilaian menyeluruh atas tingkat suatu layanan yang baik. Selain itu Joseph M. Juran (dalam Tjiptono, 2008) mendefinisikan kualitas sebagai kecocokan dengan selera (fitness for use). Dari beberapa definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kualitas menekankan orientasi pada pemenuhan harapan layanan nasabah. Sejak tahun 1980 an, kualitas layanan atau layanan telah diketahui memiliki pengaruh terhadap pemenuhan nilai dan kepuasan serta dipandang sebagai sisi penting dari keberhasilan organisasi. Kualitas layanan yang baik bagi organisasi dapat meraih keberhasilan melalui mekanisme layanan yang berulang, umpan balik dari mulut ke mulut yang positif, kesetiaan dan diferensiasi yang bersaing, Maclaran dan McGowan, (1999). Kualitas layanan ditekankan pada terpenuhinya hasil layanan yang sesuai dengan hubungan umpan balik antara provider dan customer, mendapatkan layanan sesuai dengan lingkungan fisik yang kondusif, tanpa mengurangi hasil layanan yang sesuai standar pemenuhan kepuasan. Gaspersz (2003) menyatakan pengertian dasar dari kualitas menunjukkan bahwa kata kualitas memiliki banyak definisi yang berbeda dan bervariasi dari yang konvensional sampai yang lebih strategik. Definisi konvensional dari kualitas biasanya
20
menggambarkan
karakteristik
langsung
dari
suatu
jasa
seperti
performansi
(performance), keandalan (reliability), mudah dalam penggunaan (ease of use), estetika (esthetics) dan sebagainya, seperti kualitas interaksi, kualitas lingkungan fisik dan kualitas hasil. Di samping pengertian kualitas seperti telah disebutkan di atas, kualitas juga dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang menentukan kepuasan nasabah dan upaya perubahan ke arah perbaikan terus-menerus, sehingga dikenal istilah “QMATCH” (Quality = Meets Agreed Terms and Changes). Definisi tentang kualitas, baik yang konvensional maupun yang strategjk, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya kualitas mengacu kepada pengertian pokok berikut: 1. Kualitas terdiri dari sejumlah keistimewaan jasa, baik keistimewaan langsung maupun keistimewaan atraktif yang memenuhi keinginan nasabah dan memberikan kepuasan atas penggunaan jasa itu. 2. Kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan. Berdasarkan pengertian dasar tentang kualitas di atas, tampak bahwa kualitas selalu berfokus pada layanan nasabah (customer service focused quality). Jasa didesain dan diberikan untuk memenuhi keinginan nasabah. Karena kualitas mengacu kepada segala sesuatu yang menentukan kepuasan nasabah, maka suatu jasa yang dihasilkan baru dapat dikatakan berkualitas apabila sesuai dengan keinginan nasabah, dapat dimanfaatkan dengan baik, serta dijasasi (dihasilkan) dengan cara yang baik dan benar. Tinjauan Parasuraman (2003:152) menyatakan bahwa di dalam memperoleh kualitas layanan jasa yang optimal, ditentukan oleh kemampuan di dalam memadukan unsur yang saling berkaitan sebagai suatu layanan yang terpadu. Suatu kualitas
21
layanan jasa akan komparatif dengan unsur-unsur yang mendukungnya, yaitu: (1) adanya jasa yang sesuai dengan bentuk layanan yang dapat memberikan kepuasan kepada nasabah, (2) penyampaian informasi yang kompleks, terformalkan dan terfokus di dalam penyampaiannya, sehingga terjadi bentuk-bentuk interaksi antara pihak yang memberikan layanan jasa dan yang menerima jasa, dan (3) memberikan penyampaian bentuk-bentuk kualitas layanan jasa sesuai dengan lingkungan jasa yang dimiliki oleh suatu organisasi. Pengertian kualitas layanan merupakan suatu pengertian yang mencakup berbagai penilaian terhadap bentuk-bentuk layanan yang diterima yang bertumpu kepada tiga bentuk kualitas layanan. Ketiga komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang saling utuh dan terpadu di dalam mengembangkan suatu layanan dalam rangka memenuhi kepuasan nasabah. Brady dan Cronin (2001:168) menyatakan bahwa kualitas layanan terdiri dari kualitas interaksi, kualitas lingkungan fisik dan kualitas hasil dalam suatu organisasi cenderung dipengaruhi oleh tiga hal sebagai berikut: 1. Jasa, yaitu subyek atau obyek dari jasa yang ditawarkan kepada nasabah yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan jasa yang tersedia. 2. Penyampaian jasa yaitu bentuk layanan jasa yang sesuai dengan informasi atau bentuk-bentuk layanan yang dapat diberikan baik layanan secara terpadu melalui korespondensi dengan karakteristik responden atau audiens. 3. Lingkungan jasa, yaitu memberikan bentuk layanan yang telah terlingkupi menjadi suatu ciri khas bagi pemberi jasa sesuai dengan organisasi yang memberikan layanan jasa. Ketiga hal tersebut di atas dikenal sebagai model three component yaitu suatu komponen yang saling terkait antara jasa, penyampaian jasa dan lingkungan jasa
22
dalam mendukung tingkat kualitas layanan jasa yang diterima oleh nasabah. Lebih jelasnya dapat ditunjukkan model three component pada gambar di bawah ini: Gambar 2.1 Model Three Component Kualitas Jasa
Layanan Jasa
Penyampaian Jasa
Lingkungan Jasa
Sumber: Brady dan Cronin (2001:168)
Gambar model three component
tersebut menjadi dasar acuan di dalam
menentukan bentuk kualitas layanan jasa yang diterapkan oleh kebanyakan organisasi perbankan di dalam memberikan pemenuhan tingkat kepuasan nasabah. Lebih spesifik kualitas layanan yang dikembangkan oleh kebanyakan organisasi atau organisasi perbankan cenderung mendefinisikan kualitas jasa sebagai tujuan utama dari berbagai bentuk kualitas interaksi, kualitas lingkungan fisik dan kualitas hasil. Bentuk kualitas interaksi tersebut juga dapat dikembangkan menjadi indikatorindikator yang dapat membangun sikap, perilaku dan keahlian. Kualitas lingkungan fisik dapat dibangun dari adanya indikator-indikator berupa ambient condition, desain dan faktor sosial. Sedangkan kualitas hasil ditentukan oleh waktu tunggu, bukti fisik dan valensi. Lebih jelasnya dapat ditunjukkan dari gambar model Brady dan Cronin sebagai berikut:
23
Gambar 2.2 Model Brady dan Cronin Sikap Kualitas Interaksi
Perilaku Keahlian Ambient Condition
` Kualitas layanan
Kualitas Lingkungan Fisik
Desain Faktor Sosial Waktu Tunggu
Kualitas Hasil
Bukti Fisik
Sumber: Sumber: Brady dan Cronin et al (2001:168)
Valensi
Model tersebut di atas merupakan model di dalam menentukan aspek kualitas layanan yang
sesuai
dengan
bentuk-bentuk
konformansi
teori
model
yang
mengindikasikan bahwa kualitas interaksi dalam berbagai bentuknya, intinya mengarahkan kepada bagaimana memberikan suatu bentuk layanan yang sesuai dengan sikap, perilaku dan keahlian yang dimiliki oleh para pengembang layanan jasa agar pihak yang mendapatkan layanan merasakan kualitas jasa. Selanjutnya bahwa untuk mengembangkan kualitas lingkungan fisik yang memengaruhi kualitas jasa, maka kondisi ambient, desain dan faktor sosial tidak dapat diabaikan. Apabila ketiga hal tersebut terpenuhi, maka secara langsung atau tidak langsung pihak layanan jasa akan memberikan apresiasi tentang kualitas jasa yang diterimanya. Kualitas hasil juga ditentukan oleh adanya kondisi
pemberian layanan
berdasarkan waktu tunggu, bukti fisik dan valensi dari segala bentuk kegiatan layanan,
24
yang fokusnya merupakan hasil dari kualitas layanan yang diharapkan mampu memberikan kontribusi besar terhadap kualitas layanan. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa kualitas jasa layanan yang diterapkan oleh pihak provider pada umumnya bertumpu kepada kualitas jasa, penyampaian jasa dan lingkungan jasa yang secara rinci berwujud kualitas interaksi; kualitas lingkungan fisik dan hasil kerja yang indikator-indikatornya terbangun dari indikator sikap, perilaku dan keahlian yang menyusun suatu kualitas interaksi, indikator kondisi ambient, desain, faktor sosial merupakan penyusun dari kualitas lingkungan fisik. Sedangkan indikator waktu tunggu, bukti fisik dan valensi merupakan indikator yang menyusun kualitas hasil. Di antara ketiga variabel-variabel kualitas interaksi, kualitas lingkungan fisik dan kualitas hasil merupakan variabelvariabel yang membentuk kualitas jasa layanan organisasi. Model kualitas layanan adalah suatu model yang menekankan pada pentingnya penerapan kualitas layanan dalam rangka memberikan atau memenuhi kepuasan nasabah. Setiap nasabah senantiasa menilai pentingnya kualitas layanan yang diterima. Suatu kualitas layanan tidak hanya dilihat dari bentuk material atau non material tapi jauh daripada itu bahwa suatu konsep kualitas adalah terpenuhinya secara menyeluruh baik intrinsik maupun ekstrinsik. Model kualitas layanan yang dikenalkan oleh Brady dan Cronin menyebutkan adanya tiga unsur model layanan. Ini juga dikemukakan oleh Gronroos (2004:18) yang menyatakan bahwa kualitas layanan adalah suatu model layanan yang diterima nasabah berdasarkan adanya hubungan interaksi, terciptanya lingkungan fisik dan berorientasi tujuan. Dasar pemikiran ini berkembang menjadi suatu model yang disebut: 1. Model kualitas interaksi yaitu suatu model yang diperkenalkan dalam memberikan suatu layanan yang berkualitas yang dapat menggugah sikap,
25
perilaku dan kemampuan (keahlian) dalam memberikan bentuk layanan yang memuaskan. 2. Model kualitas lingkungan fisik yaitu suatu model pemberian layanan sesuai dengan kondisi kenyataan fisik berdasarkan kondisi yang stabil (ambient condition) sesuai desain fisik (physical design) dan adanya kondisi lingkungan sosial (environment social). 3. Model kualitas hasil yaitu suatu model pemberian layanan yang diterima berdasarkan hasil yang tepat berdasarkan durasi waktu, kenampakan fisik yang nyata dan valance (memberi kesan). Ketiga model ini merupakan suatu model yang dapat diterapkan dalam berbagai bentuk kegiatan layanan, baik layanan produk maupun layanan jasa. Efek yang ditimbulkan dari model kualitas ini adalah menumbuhkan adanya tingkat interaksi dengan nasabah, perbaikan kondisi lingkungan fisik yang mendukung dan orientasi tujuan hasil menjadi target penting dalam mengembangkan dan menetapkan suatu kegiatan layanan.
2.5 Loyalitas Konsumen Memiliki konsumen yang loyal adalah tujuan akhir dari semua perusahaan. Tetapi kebanyakan dari perusahaan tidak mengetahui bahwa loyalitas konsumen dibentuk melalui beberapa tahapan, dimulai dari mencari calon konsumen potensial sampai dengan pembentukan advocate customer yang akan membawa keuntungan bagi perusahaan. Sebelum membahas lebih jauh mengenai hal-hal apa saja yang perlu dilakukan untuk membentuk loyalitas, perlu diketahui definisi dari loyalitas di bawah ini. Menurut Griffin (2003:4) loyalty is defined as non random purchase expressed over time by some decisions making unit. Dari kalimat ini terlihat loyalitas lebih ditujukan kepada suatu perilaku yang ditujukan dengan pembelian rutin, didasarkan
26
pada unit pengambilan keputusan. Selanjutnya Griffin (2003:13) mengemukakan keuntungan-keuntungan yang akan diperoleh perusahaan apabila memiliki konsumen yang loyal antara lain: a. Mengurangi biaya pemasaran (karena biaya untuk menarik konsumen baru lebih mahal) b. Mengurangi biaya transaksi (seperti biaya negosiasi kontrak, pemrosesan pesanan dan lain-lain) c. Mengurangi biaya turn over konsumen (karena pergantian konsumen lebih sedikit) d. Meningkatkan penjualan silang yang akan memperbesar pangsa pasar perusahaan. e. Word of mouth yang lebih positif, dengan asumsi bahwa konsumen yang loyal juga berarti mereka yang merasa puas. f.
Mengurangi biaya kegagalan (seperti biaya penggantian, dll).
Pelanggan yang loyal merupakan asset tak ternilai bagi perusahaan. Karakteristik dari pelanggan yang loyal menurut Griffin (1995:31) antara lain, melakukan pembelian secara teratur, membeli di luar lini produk/jasa, menolak perusahaan lain, menunjukkan kekebalan dari tarikan persaingan (tidak mudah terpengaruh oleh tarikan persaingan produk sejenis lainnya). Untuk dapat menjadi pelanggan yang loyal, seorang pelanggan harus melalui beberapa tahapan. Proses ini berlangsung lama dengan penekanan dan perhatian yang berbeda untuk masing-masing tahap karena setiap tahap mempunyai kebutuhan yang berbeda. Dengan memerhatikan masing-masing tahapan dan memenuhi kebutuhan dalam setiap tahap tersebut, perusahaan memiliki peluang yang lebih besar untuk membentuk calon pembeli menjadi pelanggan loyal dan klien perusahaan.
27
Menurut Tjiptono (2000:24) loyalitas pelanggan adalah: “Suatu hubungan antara perusahaan dan pelanggan di mana terciptanya suatu kepuasan sehingga memberikan dasar yang baik untuk melakukan suatu pembelian kembali terhadap barang yang sama dan membentuk suatu rekomendasi dari mulut ke mulut”.
Sedangkan Shet et al, (Tjiptono 2001:110) mengatakan bahwa loyalitas pelanggan adalah komitmen pelanggan terhadap suatu merek atau pemasok berdasarkan sikap yang sangat positif dan tercermin dalam pembelian ulang yang konsisten. Dapat dikatakan loyalitas merupakan kombinasi dari fungsi psikologis dan perilaku seorang konsumen yang membuatnya setia pada produk atau jasa tertentu yang dijual oleh sebuah perusahaan atau merupakan cakrawala pemikiran bahwa kesetiaan pelanggan merupakan hasil dari perilaku dan proses psikologis seseorang dan pada hakekatnya loyalitas pelanggan dapat diibaratkan perkawinan antara perusahaan dan publik (terutama pelanggan inti). Dapat pula dikatakan bahwa loyalitas (customer loyalty) sebagai suatu komitmen untuk bertahan secara mendalam dengan melakukan pembelian ulang atau berlangganan kembali dengan produk atau jasa yang terpilih secara konsisten di masa yang akan datang, meskipun pengaruh situasi dan usahausaha pemasaran mempunyai potensi untuk menyebabkan perubahan perilaku. Karena itu dapat dikatakan bahwa loyal mempunyai fanatisme yang relatif permanen dalam jangka panjang terhadap suatu barang/jasa pada perusahaan yang menjadi pilihannya, tidak ingin beralih pada barang /jasa yang lain,
bahkan ikut
memengaruhi pihak lain untuk ikut menggunakan barang/jasa tersebut.
2.6 Kerangka Pemikiran Teoritis Berdasarkan latar belakang mengenai kualitas pelayanan, rumusan masalah mengenai analisis kualitas pelayanan terhadap loyalitas nasabah PT. Bank Sulselbar
28
Cabang Utama Makassar serta teori yang mendukung penelitian pada bab dua, maka peneliti menggambarkan kerangka pemikiran teoritis sebagai berikut:
:
Gambar 2.3 Kerangka Pikir
2.7 Hipotesis Penelitian Bertitik tolak dari permasalahan di atas maka hipotesis yang akan diajukan dalam penelitian ini adalah : 1. Variabel kualitas pelayanan (tangible, reliability, responsiveness, assurance, emphaty) secara simultan berpengaruh signifikan terhadap loyalitas nasabah pada PT. Bank Sulselbar Cabang Utama Makassar. 2. Variabel assurance berpengaruh dominan terhadap loyalitas nasabah pada PT. Bank Sulselbar Cabang Utama Makassar.