5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Efektivitas Hukum a. Teori Efektivitas Hukum Teori
efektivitas
hukum
dikemukakan
oleh
Bronislaw
Malinowski dan Soerjono Soekanto. Bronislaw Malinowski (1884-1942) menyajikan teori efektivitas pengendalian sosial atau hukum. Bronislaw Malinowski menyajikan teori efektivitas hukum dengan menganalisis tiga masalah yang meliputi: 1) Dalam masyarakat modern, tata tertib kemasyarakatan dijaga antara lain oleh suatu sistem pengendalian sosial yang bersifat memaksa, yaitu hukum, untuk melaksanakannya hukum didukung oleh suatu sistem alat-alat kekuasaan (kepolisian, pengadilan dan sebagainya) yang diorganisasi oleh suatu negara. 2) Dalam masyarakat primitif alat-alat kekuasaan serupa itu kadangkadang tidak ada. 3) Dengan demikian apakah dalam masyarakat primitif tidak ada hukum.1 Bronislaw Malinowski menganalisis efektivitas hukum dalam masyarakat. Masyarakat dapat dibedakan menjadi 2 yaitu masyarakat modern dan masyarakat primitif. Masyarakat modern merupakan masyarakat yang perekonomiannya berdasarkan pasar secara luas, spesialisasi di bidang industri dan pemakaian teknologi canggih. Dalam masyarakat modern, hukum yang dibuat dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang itu ditegakkan oleh kepolisian, pengadilan dan sebagainya, sedang masyarakat primitif merupakan masyarakat yang
1
Koentjaraningrat dalam H. Halim HS, Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hal. 305
5
6
mempunyai sistem ekonomi yang sederhana dan dalam masyarakat primitif tidak mengenal alat-alat kekuasaan. Soerjono Soekanto mengatakan bahwa efektif adalah taraf sejauh mana suatu kelompok dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam membimbing ataupun merubah perilaku manusia sehingga menjadi perilaku hukum. Sehubungan dengan persoalan efektivitas hukum, pengidentikkan hukum tidak hanya dengan unsur paksaan eksternal namun juga dengan proses pengadilan. Ancaman paksaan pun merupakan unsur yang mutlak ada agar suatu kaidah dapat dikategorikan sebagai hukum, maka tentu saja unsur paksaan inipun erat kaitannya dengan efektif atau tidaknya suatu ketentuan atau aturan hukum.2 Membicarakan tentang efektivitas hukum berarti membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Hukum dapat efektif jikalau faktor-faktor yang mempengaruhi hukum tersebut dapat berfungsi dengan sebaikbaiknya. Ukuran efektif atau tidaknya suatu peraturan perundangundangan yang berlaku dapat dilihat dari perilaku masyarakat. Suatu hukum atau peraturan perundang-undangan akan efektif apabila warga masyarakat berperilaku sesuai dengan yang diharapkan atau dikehendaki oleh atau peraturan perundang-undangan tersebut mencapai tujuan yang dikehendaki, maka efektivitas hukum atau peraturan perundangundangan tersebut telah dicapai. Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu :3
2
3
Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi, (Bandung : CV. Ramadja Karya, 1988), hal 80. Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 8.
7
1) Faktor hukumnya sendiri (undang-undang). 2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Pada elemen pertama, yang menentukan dapat berfungsinya hukum tertulis tersebut dengan baik atau tidak adalah tergantung dari aturan hukum itu sendiri. Teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut relevan dengan teori yang dikemukakan oleh Romli Atmasasmita yaitu bahwa faktor-faktor yang menghambat efektivitas penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap mental aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan penasihat hukum) akan tetapi juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering diabaikan.4 Menurut Soerjono Soekanto ukuran efektivitas pada elemen pertama adalah :5 1) Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah cukup sistematis. 2) Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah cukup sinkron, secara hierarki dan horizontal tidak ada pertentangan. 3) Secara kualitatif dan kuantitatif peraturan-peraturan yang mengatur bidang-bidang kehidupan tertentu sudah mencukupi. 4) Penerbitan
peraturan-peraturan
tertentu
sudah
sesuai
dengan
persyaratan yuridis yang ada. 4
Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia &Penegakan Hukum, (Bandung : Mandar Maju, 2001), hal. 55. 5 Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, (Bandung : Bina Cipta, 1983), hal. 80.
8
Pada elemen kedua yang menentukan efektif atau tidaknya kinerja hukum tertulis adalah aparat penegak hukum. Dalam hubungan ini dikehendaki adanya aparatur yang handal sehingga aparat tersebut dapat melakukan tugasnya dengan baik. Kehandalan dalam kaitannya disini adalah meliputi keterampilan profesional dan mempunyai mental yang baik. Menurut Soerjono Soekanto bahwa masalah yang berpengaruh terhadap efektivitas hukum tertulis ditinjau dari segi aparat akan tergantung pada hal berikut :6 1) Sampai sejauh mana petugas terikat oleh peraturan-peraturan yang ada. 2) Sampai mana petugas diperkenankan memberikan kebijaksanaan. 3) Teladan macam apa yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat. 4) Sampai sejauh mana derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang diberikan kepada petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada wewenangnya. Pada elemen ketiga, tersedianya fasilitas yang berwujud sarana dan prasarana bagi aparat pelaksana di dalam melakukan tugasnya. Sarana dan prasarana yang dimaksud adalah prasarana atau fasilitas yang digunakan sebagai alat untuk mencapai efektivitas hukum. Sehubungan dengan sarana dan prasarana yang dikatakan dengan istilah fasilitas ini, Soerjono Soekanto memprediksi patokan efektivitas elemen-elemen tertentu dari prasarana. Prasarana tersebut harus secara jelas memang menjadi bagian yang memberikan kontribusi untuk kelancaran tugastugas aparat di tempat atau lokasi kerjanya. Adapun elemen-elemen tersebut adalah :7 1) Prasarana yang telah ada apakah telah terpelihara dengan baik.
6 7
Ibid., hal. 82. Loc. Cit.
9
2) Prasarana yang belum ada perlu diadakan dengan memperhitungkan angka waktu pengadaannya. 3) Prasarana yang kurang perlu segera dilengkapi. 4) Prasarana yang rusak perlu segera diperbaiki. 5) Prasarana yang macet perlu segera dilancarkan fungsinya. 6) Prasarana yang mengalami kemunduran fungsi perlu ditingkatkan lagi fungsinya. Ada beberapa elemen pengukur efektivitas yang tergantung dari kondisi masyarakat, yaitu: 1) Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi aturan walaupun peraturan yang baik. 2) Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan walaupun peraturan sangat baik dan aparat sudah sangat berwibawa. 3) Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan baik, petugas atau aparat berwibawa serta fasilitas mencukupi. Elemen tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa disiplin dan kepatuhan masyarakat tergantung dari motivasi yang secara internal muncul. Internalisasi faktor ini ada pada tiap individu yang menjadi elemen terkecil dari komunitas sosial. Oleh karena itu pendekatan paling tepat dalam hubungan disiplin ini adalah melalui motivasi yang ditanamkan secara individual. Dalam hal ini, derajat kepatuhan hukum masyarakat menjadi salah satu parameter tentang efektif atau tidaknya hukum itu diberlakukan sedangkan kepatuhan masyarakat tersebut dapat dimotivasi oleh berbagai penyebab, baik yang ditimbulkan oleh kondisi internal maupun eksternal. Kondisi internal muncul karena ada dorongan tertentu baik yang bersifat positif maupun negatif. Dorongan positif dapat muncul karena adanya rangsangan yang positif yang menyebabkan seseorang tergerak untuk melakukan sesuatu yang bersifat positif. Dorongan yang bersifat negatif dapat muncul karena adanya rangsangan yang sifatnya negatif seperti perlakuan tidak adil dan sebagainya. Dorongan yang sifatnya
10
eksternal karena adanya semacam tekanan dari luar yang mengharuskan atau bersifat memaksa agar warga masyarakat tunduk kepada hukum. Pada takaran umum, keharusan warga masyarakat untuk tunduk dan menaati hukum disebabkan karena adanya sanksi atau punishment yang menimbulkan rasa takut atau tidak nyaman sehingga lebih memilih taat hukum daripada melakukan pelanggaran. Motivasi ini biasanya bersifat sementara atau hanya temporer. b. Kompleksitas bekerja hukum Berlakunya hukum dibedakan atas tiga hal, yaitu berlakunya secara filosofis, yuridis, dan sosiologis. Bagi studi hukum dalam masyarakat maka yang penting adalah hal berlakunya hukum secara sosiologis, yang intinya adalah efektivitas hukum. Studi efektivitas hukum merupakan suatu kegiatan yang memperlihatkan suatu strategi perumusan masalah yang bersifat umum, yaitu suatu perbandingan antara realistas hukum dan ideal hukum, secara khusus terlihat jenjang antara hukum dalam tindakan (law in action) dengan hukum dalam teori (law in theory), atau dengan perkataan lain, kegiatan ini akan memperlihatkan kaitan antara law in book dan law in action.8 Realitas hukum menyangkut perilaku dan apabila hukum itu dinyatakan berlaku, berarti menemukan perilaku hukum yaitu perilaku yang sesuai dengan ideal hukum, dengan demikian apabila ditemukan perilaku yang tidak sesuai dengan (ideal) hukum, yaitu tidak sesuai dengan rumusan yang ada pada undang-undang atau keputusan hakim (case law), dapat berarti bahwa diketemukan keadaan dimana ideal hukum tidak berlaku. Hal tersebut juga mengingat bahwa perilaku hukum itu terbentuk karena faktor motif dan gagasan, maka tentu saja bila ditemukan perilaku yag tidak sesuai dengan hukum berarti ada faktor penghalang atau ada kendala bagi terwujudnya perilaku sesuai dengan hukum.
8
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti
11
Masyarakat dan ketertiban merupakan dua hal yang berhubungan sangat erat, bahkan bisa juga dikatakan sebagai dua sisi dari satu mata uang. Susah untuk mengatakan adanya masyarakat tanpa ada suatu ketertiban, bagaimanapun kualitasnya. Ketertiban dalam masyarakat diciptakan bersama-sama oleh berbagai lembaga secara bersama-sama seperti hukum dan tradisi. Oleh karena itu dalam masyarakat juga dijumpai berbagai macam norma yang masing-masing memberikan sahamnya dalam menciptakan ketertiban itu. Kehidupan dalam masyarakat yang sedikit banyak berjalan dengan tertib dan teratur ini didukung oleh adanya suatu tatanan. Karena adanya tatanan inilah kehidupan menjadi tertib. Suatu tatanan yang ada dalam masyarakat sesungguhnya terdiri dari suatu kompleks tatanan, yaitu terdiri dari sub-sub tatanan yang berupa kebiasaan, hukum dan kesusilaan, dengan demikian ketertiban yang terdapat dalam masyarakat itu senantiasa terdiri dari ketiga tatanan tersebut. Keadaan yang demikian ini memberikan pengaruhnya tersendiri terhadap masalah efektivitas tatanan dalam masyarakat. Efektivitas ini bisa dilihat dari segi peraturan hukum, sehingga ukuran-ukuran untuk menilai tingkah laku dan hubungan-hubungan antara orang-orang didasarkan pada hukum atau tatanan hukum. Bekerjanya hukum sangat dipengaruhi oleh kekuatan atau faktorfaktor sosial dan personal. Faktor sosial dan personal tidak hanya berpengaruh terhadap rakyat sebagai sasaran yang diatur oleh hukum, melainkan juga terhadap lembaga-lembaga hukum. Akhir dari pekerjaan tatanan dalam masyarakat tidak bisa hanya dimonopoli oleh hukum. Tingkah laku masyarakat tidak hanya ditentukan oleh hukum, melainkan juga oleh kekuatan sosial dan personal lainnya.9
9
Ibid.
12
c. Pengertian Sanksi Pidana Sanksi pidana atau sering disebut pidana saja (yang selanjutnya disebut pidana) merupakan istilah yang lebih khusus dari istilah hukuman. Hukum adalah suatu istilah yang luas sehingga sulit untuk didefinisikan pernyataan berikut menyampaikan beberapa makna yang terkait dengan istilah tersebut: 1) Hukum berarti aturan perilaku sipil, yaitu perintah apa yang benar dan melarang apa yang salah. 2) Hukum merupakan aturan bagi individu dan masyarakat beradap hidup dan mempertahankan hubungan satu sama lain. Ini mencakup semua pengundang legeslatif dan kontrol didirikan tindakan manusia.10 Maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas. Agar memberikan gambaran yang lebih luas, berikut dikemukakan beberapa difinisi atau pendapat dari para sarjana sebagai berikut : 1) Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.11 2) Pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.12 Berdasarkan kedua definisi di atas dapatlah dinyatakan, bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut: 1) Pidana pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; 2) Pidana diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (yang berwenang); 3) Pidana dikenakan kepada sesorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.
10
Joseph T. Bockrah. Contracts and The Legal Enviroument for Engineers and Architects, The McGraw-Hill Companies. Inc, United States of America, 2000, hal. 5 11 Saleh, Roeslan, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta : Aksara Baru, 1978), hal. 10. 12 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1981), hal. 5.
13
Selain ketiga unsur di atas, pidana harus juga merupakan pernyataan pencelaan terhadap diri si pelaku. Penambahan unsur pencelaan ini dimaksudkan untuk membedakan secara jelas antara pidana (punishment) dengan
tindakan
perlakuan
perlakuan (treatment).13
“Concept
of
punishment bertolak pada dua syarat atau tujuan, yaitu: (a) pidana ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan; dan (b) pidana itu merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku”. Dengan demikian perbedaan antara punishment dengan treatment tidak didasarkan pada ada tidaknya unsur pertama, yaitu “penderitaan”, tetapi harus didasarkan pada ada tidaknya “pencelaan” sebagai unsur kedua.14 Tidak semua sarjana berpendapat bahwa pidana pada hakekatnya adalah suatu penderitaan atau nestapa. Hakekat pidana adalah menyerukan untuk tertib (tot de orde roepen). Pidana pada hakekatnya mempunyai dua tujuan, yakni untuk mempengaruhi tingkah laku (gedragsbeinvloeding) dan penyelesaian konflik atau perbaikan hubungan yang dirusak antar sesama manusia. Ada yang menyatakan tidak setuju dengan pendapat bahwa pidana merupakan suatu pencelaan (censure) atau suatu penjeraan (discouragement) atau merupakan suatu penderitaan (suffering). Ketidak setujuan ini bertolak pada pengertian yang luas, bahwa sanksi dalam hukum pidana adalah semua reaksi terhadap pelanggaran hukum yang telah ditentukan oleh undang-undang, sejak penahanan dan pengusutan tersangka oleh polisi sampai vonis dijatuhkan. Keseluruhan proses pidana itu sendiri (sejak penahanan, pemeriksaan sampai vonis dijatuhkan) merupakan suatu pidana.15 Bertolak dari uraian di atas dapat dinyatakan, bahwa pidana mengandung dua arti. Pertama dalam arti luas, adalah keseluruhan proses 13
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 1984), hal. 5. Ibid., hal. 7. 15 Ibid., hal. 9. 14
14
pidana itu sendiri (sejak penahanan, pemeriksaan sampai vonis dijatuhkan). Kedua, dalam arti sempit adalah pengenaan penderitaan dan pencelaan kepada pelaku tindak pidana. 2. Tinjauan Umum Tentang Perseroan Terbatas a. Pengertian Perseroan Terbatas Peraturan yang mengatur Perseroan Terbatas (PT) diatur di dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, sehingga merupakan suatu kemudahan bagi para pihak untuk mendirikan dan menyelenggarakan usaha Perseroan Terbatas.
Pasal
1 angka 1
Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 disebutkan bahwa: “Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya pelaksanaannya”. Perseroan Terbatas dalam bahasa Belanda disebut Naamloze Vennotschap (NV) artinya perseroan tanpa nama, yang dimaksud tanpa nama ialah tanpa nama perseorangan yang memasukkan modalnya, yang sebenarnya bentuk tersebut diambil dari bahasa Perancis yang disebut Societe Anonyme (SA). Di dalam bahasa Indonesia disebut Perseroan Terbatas diambil dari bahasa Inggris yaitu “Limited” yang artinya terbatas atau berhingga, yang dimaksud adalah terbatas pada modal dan kekayaan perusahaan saja tidak termasuk kekayaan pribadi perseronya.16 Selain itu Perseroan Terbatas dapat pula diartikan sebagai suatu asosiasi
pemegang saham
yang diciptakan
oleh
hukum
dan
diberlakukan sebagai manusia semu (artificial person) oleh pengadilan, yang merupakan badan hukum karenanya sama sekali terpisah dengan orang-orang yang mendirikannya dengan mempunyai kapasitas untuk bereksistensi yang terus 16
menerus dan sebagai suatu badan hukum,
Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, (Bandung : PT. Alumni, 2005), hal. 111.
15
perseroan terbatas berwenang mengalihkan
harta
kekayaan,
untuk menerima, memegang dan menggugat
melaksanakan kewenangan-kewenangannya
atau
digugat
dan
lainnya yang diberikan
oleh hukum yang berlaku (Steven, 1984: 100).17 Pengertian-pengertian lain yang berkaitan dengan Perseroan Terbatas adalah sebagai berikut : 18 1) Suatu manusia semu (artificial person) atau badan hukum (legal entity) yang diciptakan oleh hukum, yang dapat saja (sesuai hukum setempat) hanya terdiri dari 1 (satu) orang anggota saja beserta para ahli warisnya, tetapi yang lebih lazim terdiri dari sekelompok individu sebagai anggota, yang oleh hukum badan hukum tersebut dipandang terpisah dari para anggotanya karena keberadaannya tetap eksis terlepas dari saling bergantinya para anggota, badan hukum mana dapat berdiri untuk waktu yang tidak terbatas (sesuai hukum setempat) atau berdiri untuk jangka waktu tertentu dan dapat melakukan kegiatan sendiri untuk kepentingan bersama dari anggota, kegiatan mana dalam ruang lingkup yang ditentukan oleh hukum yang berlaku. 2) Suatu manusia semu yang diciptakan oleh hukum yang terdiri dari baik 1 (satu) orang (corporatiaon sole) maupun yang terdiri dari sekumpulan atau beberapa orang anggota, yakni yang disebut dengan perusahaan banyak orang (corporation aggregate). 3) Suatu badan intelektual (intellektual body) yang diciptakan oleh hukum, yang terdiri dari beberapa orang individu, yang bernaung di bawah 1 (satu) nama bersama, Perseroan Terbatas tersebut sebagai badan intelektual tetap sama dan eksis meskipun para anggotanya saling berubah-ubah.
17 18
Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 2. Loc .Cit.
16
b. Klasifikasi Perseroan Terbatas Suatu perseroan dapat diklasifikasikan dalam beberapa bentuk jika dilihat dari beberapa kriteria, yaitu sebagai berikut: 1) Dilihat dari banyaknya pemegang saham, jika dilihat dari banyaknya pemegang saham, suatu perseroan terbatas dapat dibagi ke dalam19 : a) Perusahaan Tertutup Perusahaan tertutup adalah suatu perseroan terbatas yang belum pernah menawarkan sahamnya kepada publik melalui penawaran umum dan jumlah pemegang sahamnya belum memenuhi jumlah pemegang saham suatu perusahan publik, perusahaan tertutup ini berlaku Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas. b) Perusahaan Terbuka Perusahaan terbuka (PT Tbk.) adalah suatu Perseroan Terbatas yang telah melakukan penawaran umum atas sahamnya atau telah memenuhi syarat dan telah memproses dirinya menjadi perusahaan publik, sehingga telah memiliki pemegang saham publik dimana perdagangan saham sudah dapat dilakukan di bursa-bursa efek. Terhadap perusahaan terbuka ini berlaku Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas maupun Undang undang tentang Pasar Modal. c) Perusahaan Publik Perusahaan publik adalah perusahaan dimana keterbukaannya tidak melalui proses penawaran umum, tetapi melalui proses khusus, setelah memenuhi syarat untuk menjadi
perusahaan
publik, antara lain jumlah pemegang sahamnya yang sudah mencapai pemegang sahamnya, yang oleh Undang-Undang Pasar Modal ditentukan jumlah pemegang sahamnya minimal sudah menjadi 300 (tiga ratus) orang. Terhadap perusahaan 19
Ahmad Yani, dkk. Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada), hal. 7
17
publik ini berlaku, baik Undang- Undang tentang Perseroan Terbatas maupun Undang-Undang tentang Pasar Modal. 2) Dilihat dari jenis Penanaman Modal Jika dilihat dari segi jenis penanaman modalnya, suatu Perseroan Terbatas dapat dibagi ke dalam beberapa jenis, yaitu20 : a) Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Perusahaan Modal Dalam Negeri adalah suatu perusahaan yang didalamnya terdapat penanaman modal dari sumber dalam negeri
dan
perusahaan
perusahaan Penanaman
tersebut Modal
telah
diproses
menjadi
Dalam
Negeri
(PMDN).
Terhadap perusahaan PMDN ini berlaku Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang tentang Pasar Modal. b) Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) Perusahaan Modal Asing adalah suatu Perseroan Terbatas yang sebagian atau seluruh modal sahamnya beasal dari luar negeri, sehingga mendapat perlakuan khusus dari pemerintah. Terhadap perusahaan PMA ini berlaku Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang tentang Pasar Modal. c) Perusahaan Non-Penanaman Modal Asing (PMA)/Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Perusahaan Non-Penanaman Modal Asing (PMA)/Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) adalah perusahaan domestik yang tidak memperoleh status sebagai perusahaan PMDN, sehingga tidak mendapat fasilitas dari pemerintah. Terhadap Perusahaan Non-Penanaman Modal Asing (PMA)/Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) ini pada pokoknya berlaku Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas.
20
Ibid.
18
3) Dilihat dari keikutsertaan pemerintah Perseroan Terbatas dilihat dari keikutsertaan pemerintah, dapat dibagi ke dalam : a) Perusahaan Swasta Perusahaan swasta adalah adalah suatu perseroan dimana seluruh sahamnya dipegang oleh pihak swasta tanpa ada saham pemerintah di dalamnya. Terhadap perusahaan swasta ini pada pokoknya berlaku Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas. b) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah suatu perusahaan di dalamnya terdapat saham yang dimiliki oleh pihak pemerintah. Jika BUMN tersebut berbentuk Perseroan Terbatas maka perusahaan tersebut disebut Perseroan Terbatas Persero (PT Persero). Terhadap perusahaan BUMN ini berlaku UndangUndang tentang PerseroanTerbatas dan perundang-undangan yang berkaitan dengan BUMN. c) Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) merupakan salah satu varian dari BUMN, unsur pemerintah yang memegang saham di dalamnya adalah pemerintah daerah setempat, karena itu untuk BUMD tersebut
berlaku juga kebijaksanaan
dan peraturan
daerah setempat 4) Dilihat dari sedikitnya pemegang saham Jika dilihat dari sedikitnya pemegang saham, suatu Perseroan Terbatas dapat dibagi ke dalam : a) Perusahaan Pemegang Saham Tunggal (Corporation Sole) Perusahaan Pemegang Saham Tunggal (Corporation Sole) adalah suatu Perseroan Terbatas di mana pemegang sahamnya hanya terdiri dari satu orang saja. UUPT Nomor 1 Tahun 1995 tidak memungkinkan eksistensi perusahaan pemegang saham tunggal ini. UUPT hanya memungkinkan adanya pemegang saham
19
tunggal dalam suatu Perseroan Terbatas hanya dalam hal sebagai berikut: (1) Jika perusahaan tersebut adalah BUMN (2) Dalam waktu maksimal 6 (enam) bulan setelah terjadinya perusahaan pemegang saham tunggal b) Perusahaan Pemegang Saham Banyak (Corporation Agregate) Yaitu Perseroan Terbatas yang jumlah pemegang sahamnya 2 (dua) orang atau lebih. Pada prinsipnya Perseroan Terbatas seperti inilah yang dikehendaki oleh UUPT. 5) Dilihat dari hubungan saling memegang saham Dilihat dari hubungan saling memegang saham, suatu Perseroan Terbatas dapat dibagi ke dalam : a) Perusahaan Induk (Holding) Yaitu perseroan terbatas yang ikut dalam memegang saham dalam beberapa perusahaan lain. b) Perusahaan Anak (Subsidary) Yaitu Perseroan Terbatas di mana ada saham-sahamnya dipegang oleh perusahaan holding. c) Perusahaan Terafiliasi (Afiliate) Yaitu perusahaan dimana adanya hubungan antar anak perusahaan dalam 1 (satu) induk perusahaan disebut hubungan terafiliasi. 6) Dilihat dari segi kelengkapan proses pendirian Dilihat dari segi kelengkapan proses pendirian, suatu Perseroan Terbatas dapat dibagi ke dalam : a) Perusahaan de jure Yaitu suatu Perseroan Terbatas yang didirikan secara wajar dan memenuhi segala formalitas dalam proses pendiriannya, mulai dari pembuatan akta pendirian secara notariil sampai dengan pengesahan aktanya oleh Menteri, serta pendaftarannya dalam Daftar Perusahaan dan pengumumannya dalam Berita Negara.
20
b) Perusahaan de facto Yaitu Perseroan Terbatas yang secara itikad baik diyakini oleh pendirinya sebagai suatu perseroan terbatas yang legal, tetapi tanpa disadarinya ada cacat yuridis dalam proses pendiriannya, sehingga eksistensinya secara de jure diragukan, tetapi perseroan tersebut tetap saja berbisnis sebagaimana perseroan normal
lainnya.
Menurut hukum Indonesia ada konsekuensi
tertentu dari ketidakadaaan salah satu mata rantai dalam proses pendirian Perseroan Terbatas. Perseroan Terbatas yang tidak disahkan oleh Menteri misalnya, maka badan hukum dari perusahaan tersebut tidak pernah ada, sehingga para pendirinya bertangung jawab secara renteng, sementara pendaftaran dan
jika
terjadi
pengumuman
kealpaan perseroan,
dalam tetapi
proses
perseroan
tersebut telah disahkan oleh Menteri, maka badan hukum tersebut sudah eksis tetapi belum berlaku terhadap pihak ketiga, sehingga yang harus bertanggung jawab terhadap pihak ketiga adalah pihak direksinya. c. Persyaratan dan Prosedur Pendirian Perseroan Terbatas 1) Persyaratan Pendirian Perseroan Terbatas Ada 3 (tiga) syarat utama yang harus dipenuhi oleh pendiri perseroan, ketiga persyaratan tersebut adalah sebagai berikut :21 a) Didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih Pasal 7 UUPT menyatakan bahwa perseroan harus didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta Notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Istilah mengenai orang sebagaimana di atas adalah orang perseorangan atau badan hukum. Rumusan ini pada dasarnya mempertegas kembali makna perjanjian sebagaimana diatur dalam ketentuan umum mengenai 21
Abdul Kadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 77.
21
perjanjian yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.22 Perjanjian pembentukan Perseroan Terbatas ini juga tunduk
sepenuhnya
pada
syarat-syarat
sahnya
perjanjian
sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disamping ketentuan khusus yang di atur dalam UUPT. Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian hanya sah jika :23 (1) Pihak yang berjanji adalah mereka yang cakap dalam hukum dengan pengertian bahwa pihak tersebut dianggap mampu untuk melakukan tindakan atau perbuatan hukum; (2) Dilakukan berdasarkan kesepakatan sukarela antara para pihak yang berjanji; (3) Adanya suatu objek yang diperjanjikan; (4) Bahwa perjanjian tersebut meliputi sesuatu yang halal, yang diperkenankan oleh hukum, peraturan perundangundangan yang berlaku,
ketertiban umum, kesusilaan,
kepatutan dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. b) Didirikan dengan akta otentik Perjanjian pendirian Perseroan Terbatas yang dilakukan oleh para pendiri tersebut dituangkan dalam suatu akta Notaris, yang berarti harus otentik, tidak boleh dibawah tangan melainkan oleh pejabat umum dan dalam bahasa Indonesia, bukan dalam bahasa Inggris atau bahasa-bahasa lain, tetapi itu bukan berarti bahwa tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa lain.24 Akta notariil merupakan akta otentik, dalam hukum pembuktian akta otentik dipandang sebagai alat bukti yang
22
CST. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2001), hal. 116. 23 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 11. 24 I.G. Rai Widjaya, Hukum Perusahaan, (Jakarta : Kesaint Blanc, 2000), hal. 153.
22
mengikat dan sempurna, maksudnya adalah bahwa apa yang ditulis dalam akta tersebut harus dipercaya kebenarannya dan tidak memerlukan tambahan alat bukti lain, berbeda dengan akta di bawah tangan, baru akan menjadi alat bukti yang sempurna apabila isinya diakui para pihak yang membuatnya.25 c) Modal dasar perseroan Pada saat perseroan didirikan, undang-undang menentukan bahwa besarnya modal dasar sekurang-kurangnya Rp.50.000.000,(lima puluh juta rupiah), dengan ketentuan bahwa modal yang disetor dan ditempatkan sekurang-kurangnnya berjumlah 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar. 2) Prosedur Pendirian Perseroan Terbatas Setelah persyaratan terpenuhi, maka pendirian Perseroan Terbatas harus mengikuti langkah-langkah yang ditentukan oleh UUPT sebagai berikut:26 a) Pembuatan akta pendirian di muka Notaris Perjanjian pendirian Perseroan Terbatas yang dilakukan oleh para pendiri tersebut dituangkan dalam suatu akta Notaris yang disebut dengan Akta Pendirian. Akta Pendirian pada dasarnya mengatur berbagai macam hak-hak dan kewajiban para
pendiri perseroan dalam mengelola dan menjalankan
Perseroan Terbatas tersebut, hak-hak dan kewajiban tersebut yang merupakan isi perjanjian selanjutnya disebut Anggaran Dasar perseroan, sebagaimana ditegaskan kembali dalam Pasal 8 ayat (1) UUPT.27 Dalam suatu Akta Pendirian memuat Anggaran Dasar dan keterangan lain, sekurang-kurangnya:28
25
Gatot Supramono, Hukum Perseroan Terbatas Yang Baru, (Jakarta : Djambatan, 1996), hal. 6. Abdul Kadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 79. 27 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op.Cit., hal. 12. 28 C.S.T. Kansil, Op. Cit., hal. 118. 26
23
(1) Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal dan kewarganegaraan pendiri. Dalam mendirikan perseroan diperlukan kejelasan
mengenai
kewarganegaraan
pendiri, pada dasarnya badan hukum Indonesia yang berbentuk perseroan didirikan oleh warga negara Indonesia, namun demikian kepada warga negara asing diberi kesempatan untuk mendirikan badan hukum Indonesia yang berbentuk perseroan sepanjang undang-undang yang
mengatur
bidang
usaha
perseroan tersebut memungkinkan atau pendirian perseroan tersebut diatur dengan undang-undang tersendiri; (2) Susunan, nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal dan kewarganegaraan anggota direksi dan komisaris yang pertama kali di angkat; (3) Nama pemegang saham yang telah mengambil bagian saham, rincian jumlah saham dan nilai nominal atau nilai yang diperjanjikan dari saham yang telah ditempatkan dan disetor pada saat pendirian. Yang dimaksud dengan mengambil saham adalah jumlah saham yang diambil oleh pemegang saham pada saat pendirian perseroan. Namun dalam suatu akta pendirian tidak boleh memuat hal-hal yang berkaitan dengan :29 (1) Ketentuan tentang penerimaan bunga tetap atas saham, (2) Ketentuan tentang pemberian keuntungan pribadi kepada pendiri atau pihak lain. (Pasal 8 UUPT). Untuk membuat akta pendirian tersebut undang-undang memberi kebebasan kepada pendiri Perseroan Terbatas, apakah akta tersebut dibuat sendiri oleh mereka atau oleh kuasanya (Pasal 7 ayat (7) UUPT). Kemungkinan ini dapat terjadi apabila pendiri Perseroan Terbatas sedang berhalangan atau kurang memahami dalam pembuatannya, sehingga mereka menunjuk wakilnya dengan 29
Loc. Cit.
24
terlebih dahulu membuat surat kuasa. UUPT tidak mengharuskan bahwa surat kuasa itu dibuat dengan akta otentik, yang berarti dapat dibuat dengan akta di bawah tangan.30 b) Pengesahan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Cara untuk memperoleh pengesahan terhadap Perseroan Terbatas: (1) Untuk memperoleh pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, menetapkan bahwa untuk memperoleh Keputusan Menteri maka prosedur dan tata cara permohonan pengesahan Perseroan Terbatas dilakukan melalui jasa teknologi informasi Sistem Administrasi Badan Hukum secara elektronik. (2) Pengesahan sebagaimana dimaksud di atas diberikan dalam waktu
paling lama 60 (enam
puluh) hari terhitung sejak
pemesanan nama perseroan dan 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penandatangan akta perseroan. c) Pendaftaran Perseroan Suatu Perseroan Terbatas untuk dapat diakui sebagai badan hukum dengan segala konsekuensi hukumnya, maka akta pendirian suatu Perseroan Terbatas harus disetujui oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia terlebih dahulu, selanjutnya untuk melindungi kepentingan Direksi perseroan, maka perseroan tersebut harus didaftarkan dalam daftar perusahaan dan diumumkan dalam Berita Negara.31 Direksi perseroan wajib mendaftarkan dalam Daftar Perusahaan sesuai
dengan
ketentuan
sebagaimana
diatur
dalam Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (WDP), hal-hal yang harus didaftarkan adalah:32 30
Supramono Gatot, Hukum Perseroan Terbatas Yang Baru, (Jakarta : Djambatan, 1996), hal. 7. Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 11. 32 I.G. Rai Widjaya, Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, (Jakarta : Kesaint Blanc, 2003), hal. 23. 31
25
(1) Akta Pendirian beserta surat pengesahan Menteri Hukum dan Hak
Asasi
Manusia
Republik
Indonesia
(Perseroan
memperoleh status badan hukum setelah Akta Pendirian Perseroan disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sesuai dengan Pasal 7 ayat (6) UUPT); (2) Akta Perubahan Anggaran Dasar beserta surat persetujuan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Perubahan tertentu Anggaran Dasar sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) UUPT); (3) Akta Perubahan Anggaran Dasar beserta laporan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Perubahan Anggaran Dasar yang cukup dilaporkan sesuai dengan Pasal 15 ayat (3) UUPT). (4) Pengumuman dalam Berita Negara Republik Indonesia Perseroan yang telah didaftarkan tersebut diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia yang permohonan pengumumannya dilakukan oleh Direksi dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak pendaftaran. Tata cara pengajuan permohonan pengumuman dilakukan sesuai dengan perundangundangan yang berlaku.33 Berdasarkan uraian di atas, maka secara sistematis dapat dilihat syarat-syarat dan prosedur yang harus dipenuhi dan diikuti sehubungan dengan proses pendirian Perseroan Terbatas menurut UUPT adalah sebagai berikut :34 (1) Sebagai bentuk perjanjian, perseroan harus didirikan oleh sekurang-kurangnya dua orang (termasuk badan hukum), ketentuan ini diperberat dengan adanya kewajiban untuk mempertahankan jumlah pemegang saham sekurang-kurangnya dua orang; 33 34
I.G. Rai Widjaya, Hukum Perusahaan, (Jakarta : Kesaint Blanc, 2000), hal. 159. Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 20.
26
(2) Dibuat dengan akta Notaris; (3) Dalam bahasa Indonesia; (4) Mencantumkan perkataan PT (atau PT Tbk untuk Perseroan Terbatas Terbuka); (5) Disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; (6) Didaftarkan Perusahaan
berdasarkan Nomor
3
Undang-Undang Tahun
Wajib
Daftar
termasuk
semua
termasuk
semua
1982,
perubahannya; (7) Diumumkan
dalam
Berita
Negara,
perubahannya; (8) Untuk Perseroan Terbatas, ditentukan besarnya modal dasar sekurang-kurangnya Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), dengan
ketentuan
bahwa
modal
yang
disetor
dan
ditempatkan sekurang-kurangnnya berjumlah 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar. Demikian juga terhadap setiap perubahan-perubahan atas : (1) Nama, maksud dan tujuan kegiatan perseroan; (2) Perpanjangan jangka waktu perseroan; (3) Peningkatan atau penurunan modal; (4) Perubahan status perseroan terbatas dari tertutup menjadi terbuka dan sebaliknya; (5) Penggabungan, peleburan dan pengambilalihan. Persyaratan-persyaratan di atas baru berlaku terhadap pihak ketiga jika dilaksanakan menurut persyaratan yang ditentukan untuk pendiriannya. Perubahan terhadap hal-hal tersebut di atas wajib memperoleh persetujuan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, kemudian setelah persetujuan diperoleh,
perubahan
tersebut
didaftarkan
dalam
Daftar
Perusahaan dan diumumkan dalam Berita Negara. Perubahan atas
ketentuan Anggaran Dasar
lainnya
cukup
hanya
dilaporkan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan
27
selanjutnya
didaftarkan
menurut
Perusahaan seperti tersebut di atas.
ketentuan
Wajib
Daftar
35
d. Organ-Organ Perseroan Terbatas 1) Kedudukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam Perseroan Terbatas a) Kedudukan Hukum Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Perseroan Terbatas mempunyai alat yang disebut organ perseroan, gunanya untuk menggerakkan perseroan agar badan hukum dapat berjalan sesuai dengan tujuannya.36. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) adalah suatu organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan memegang segala kewenangan yang bersifat residual, yakni wewenang yang tidak dialokasikan kepada organ perusahaan lainnya, yaitu direksi dan komisaris, yang dapat mengambil keputusan setelah memenuhi syarat-syarat tertentu dan sesuai dengan prosedur tertentu
sebagaimana
diatur
dalam
peraturan
perundang-
undangan dan Anggaran Dasar Perseroan.37 Menurut Agus Budiarto (2002: 57) bahwa
tugas,
kewajiban, wewenang dari setiap organ termasuk RUPS sudah diatur secara mandiri (otonom) di dalam UUPT. Setiap organ diberi kebebabasan asal semuanya dilakukan demi tujuan
dan
kepentingan perseroan. Instruksi dari organ lain, misalnya RUPS, dapat saja tidak dipenuhi oleh direksi, meskipun direksi diangkat oleh RUPS sebab pengangkatan direksi oleh RUPS tidak berarti bahwa wewenang yang dimiliki direksi merupakan pemberian kuasa atau bersumber dari pemberian kuasa dari RUPS kepada direksi adalah bersumber dari undang-undang dan Anggaran Dasar. Oleh karena itu, RUPS tidak dapat mencampuri tindakan 35
Ibid., hal. 21. Gatot Supramono, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta : Djambatan, 1996), hal. 3. 37 Munir Fuady, Perseroan Terbatas Paradigma Baru, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 135. 36
28
pengurusan perseroan sehari-hari yang dilakukan direksi sebab tindakan direksi semata-mata adalah untuk kepentingan perseroan, bukan untuk RUPS.38 Paham klasik yang berpendapat bahwa lembaga RUPS merupakan kekuasaan tertinggi Perseroan Terbatas, dalam arti segala sumber kekuasaan yang ada dalam suatu Perseroan Terbatas
tiada lain bersumber dari RUPS, kiranya sudah
ditinggalkan oleh UUPT.39 Berdasarkan paham klasik tersebut, komisaris dan direksi mempunyai kekuasaan berdasarkan mandat atau kuasa dari RUPS, sehingga apabila RUPS menghendakinya sewaktu-waktu dapat mencabutnya kembali. Melihat dari pengaturan tentang tugas, kewajiban dan wewenang dari organ perseroan yang oleh UUPT telah diatur secara mandiri (otonom) bagi tiap-tiap organ tersebut menggambarkan adanya paham institutional, yang berpandangan bahwa ketiga organ masing-masing Perseroan Terbatas masing-masing mempunyai kedudukan yang otonom dengan
kewenangannya
sendiri-sendiri
sebagaimana
yang
diberikan dan menurut undang-undang dan anggaran dasar tanpa wewenang organ yang satu boleh dikerjakan oleh organ yang lain.40 Dengan
demikian,
selama
pengurus
menjalankan
wewenangnya dalam batas-batas ketentuan undang-undang dan anggaran dasar,
maka pengurus tersebut berhak untuk tidak
mematuhi perintah-perintah atau instruksi-instruksi dari organ lainnya, baik dari komisaris maupun RUPS. Dengan kata lain, menurut paham tersebut wewenang yang ada pada organ-organ dimaksud bukan bersumber dari limpahan atau kuasa dari 38
Agus Budiarto, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas, (Jakarta : : Ghalia Indonesia, 2002), hal. 58. 39 Loc. Cit. 40 Loc. Cit.
29
RUPS, melainkan bersumber dari ketentuan undang-undang dan Anggaran Dasar.41 b) Wewenang Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Pasal 63 ayat (91) UUPT memberi batasan terhadap wewenang RUPS, yaitu sejauh yang tidak diberikan kepada direksi dan komisaris. Dengan demikian, dapat diuraikan lingkup wewenang RUPS sebagaimana dapat dilihat dalam Bab V UUPT yang mengatur tentang RUPS dan Bab VI yang mengatur tentang Direksi dan Komisaris, antara lain adalah sebagai berikut:42 (1) Pengangkatan
direksi
dan
komisaris
adalah
menjadi
wewenang RUPS demikian juga dengan pemberhentian direksi dan komisaris. (2) RUPS mempunyai wewenang mengambil keputusan untuk mengubah anggaran dasar. (3) Wewenang RUPS juga dapat dilihat pada perbuatan penggabungan/merger dan akuisisi diantara perusahaan. Walaupun rencana merger dan akuisisi merupakan pekerjaan direksi dari perseroan-perseroan yang bersangkutan, namun penggabungan dan akuisisi hanya dapat dilakukan jika disetujui oleh RUPS masing-masing perseroan. Persetujuan itu adalah hak dan wewenang dari RUPS. Hal ini berarti tidak ada perusahaan yang akan melakukan merger ataupun akuisisi dengan sah tanpa persetujuan dari RUPS masingmasing perusahaan tersebut (4) RUPS berwenang membuat peraturan pembagian tugas dan wewenang setiap anggota direksi serta besar dan jenis penghasilan direksi. Tugas tersebut dapat dilimpahkan kepada komisaris jika ditentukan demikian dalam anggaran dasar. 41 42
Loc. Cit. Ibid., hal. 61.
30
(5) RUPS berwenang mengangkat satu orang pemegang saham atau lebih untuk mewakili perseroan dalam keadaan direksi tidak
berwenang
mewakili
perseroan
karena
terjadi
perselisihan/perkara antara direksi dengan perseroan atau menjadi pertentangan kepentingan antara direksi dan perseroan. (6) RUPS berwenang mengambil keputusan jika diminta oleh direksi untuk memberikan persetujuan guna mengalihkan atau menjadikan jaminan utang seluruh atau sebagian harta kekayaan perseroan. (7) RUPS mempunyai wewenang mengambil keputusan atas permohonan kepailitan perseroan yang akan dimajukan direksi kepada Pengadilan Negeri. (8) RUPS berwenang dan berhak meminta segala keterangan yang berkaitan dengan kepentingan perseroan dari direksi dan atau komisaris. Sebaliknya, hal ini merupakan kewajiban bagi direksi atau komisaris untuk memberikan keterangan yang diperlukan oleh RUPS. 2) Kedudukan Direksi dalam Perseroan Terbatas a) Kedudukan Hukum Direksi Direksi atau disebut juga sebagai pengurus perseroan adalah alat perlengkapan
perseroan
yang melakukan
semua
kegiatan perseroan dan mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dengan demikian, ruang lingkup tugas direksi ialah mengurus perseroan.43 Di dalam penjelasan Pasal 79 ayat (1) UUPT dikatakan bahwa tugas direksi dalam mengurus perseroan antara lain meliputi pengurusan sehari-hari dari perseroan. Mengenai pengurusan sehari-hari lebih lanjut tidak ada penjelasan resmi, oleh karena itu harus dilihat dalam Anggaran Dasar tentang apa 43
Loc. Cit.
31
yang
termasuk
pengurusan
sehari-hari, walaupun
tidak
mungkin disebut secara detail dalam anggaran dasar tersebut. Mengurus perseroan semata-mata adalah tugas direksi yang tidak dapat dicampuri langsung oleh organ lain. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 82 UUPT yang memberikan ketentuan sebagai berikut, Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Pasal 82 UUPT tersebut di atas juga memberikan pedoman kepada direksi agar dalam mengurus perseroan selalu berorientasi pada kepentingan dan tujuan perseroan.44 Ketentuan mengenai direksi yang dalam melaksanakan tugasnya hanya untuk kepentingan serta tujuan perseroan didasarkan pada pandangan bahwa perseroan merupakan subjek hukum yang mempunyai fungsi dalam masyarakat dan menjadi titik perhatian utama dari kepengurusan direksi. Pasal 85 ayat (1) menegaskan bahwa setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan usaha perseroan. Itikad baik direksi
dalam
profesional
menjalankan/
mengurus
perseroan
secara
dengan kemampuan dan tindakan pemeliharaan
semuanya dimaksudkan untuk
kepentingan
usaha
perseroan
termasuk pula kepentingan para pemegang saham.45 Direksi bertindak mewakili Perseroan Terbatas sebagai badan hukum. Kewenangan perwakilan dari direksi Perseroan Terbatas ini timbul, karena adanya pengangkatan dari RUPS dan akan berakhir dengan meninggalnya orang yang diangkat untuk mewakili tersebut atau kewenangan mewakili
itu
ditarik
kembali. Hal ini sesuai dengan Pasal 44 ayat (2) KUHD Jo. 44 45
Ibid., hal. 62. Loc. Cit.
32
Pasal 80 ayat (3) UUPT yang menyebutkan bahwa direksi tidak boleh diangkat tanpa kemungkinan untuk dicabut kembali.46 Pengangkatan direksi dilakukan oleh RUPS akan tetapi untuk
pertama
kalinya
pengangkatan
dilakukan
dengan
mencantumkan susunan dan nama anggota direksi dalam akta pendiriannya. Ketentuan seperti ini pada Pasal 80 ayat (1) dan (2) UUPT. Direksi dapat diangkat dari pemegang saham atau bukan, bahkan pemegang jabatan direksi sekaligus sebagai pemegang saham, hanyalah suatu kebetulan, karena di dalam praktek sering dijumpai direksi Perseroan Terbatas adalah orang luar, dalam arti bukan pemegang saham.47 b) Wewenang dan Tanggung Jawab Direksi Pasal 79 ayat (1) UUPT tidak menjelaskan sampai dimana kewenangan direksi dalam menjalankan tuganya, pasal-pasal tersebut hanya menyebutkan bahwa Perseroan Terbatas diurus oleh pengurus yang diangkat oleh para pemegang saham, tanpa penjelasan lebih lanjut mengenai luas, isi maupun ruang lingkup pengurusan itu. Demikian pula rincian tugas direksi didalam UUPT tidak dapat diketahui. Pasal 81 ayat (1) dan (2) UUPT hanya menyatakan bahwa pengaturan tentang pembagian tugas dan wewenang setiap anggota direksi serta besar dan jenis penghasilan direksi ditetapkan oleh RUPS. Dalam anggaran dasar dapat ditetapkan bahwa kewenangan RUPS tersebut dilakukan oleh komisaris atas nama RUPS.48 Jadi, untuk mengetahui rincian tugas direksi harus dilihat dalam anggaran dasar Perseroan Terbatas dan pada umumnya berkisar pada hal-hal berikut :49
46
Agus Budiarto, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002), hal. 62. 47 Loc. Cit. 48 Ibid., hal. 63. 49 Loc. Cit.
33
(1) Mengurus segala urusan. (2) Menguasai harta kekayaan perseroan. (3) melakukan perbuatan-perbuatan seperti yang termaksud dalam Pasal 1796 KUH Perdata, yaitu : (a) memindahtangankan hipotik pada barang-barang tetap, (b) membebankan hipotik pada barang-barang tetap, (c) melakukan dading, (d) melakukan perbuatan lain mengenai hak milik, (e) mewakili perseroan di muka dan di luar pengadilan. (4) Dalam melakukan hubungannya dengan
pihak
ketiga,
direksi masing-masing atau bersama-sama mempunyai hak mewakili perseroan mengenai hal-hal dalam bidang usaha yang menjadi tujuan perseroan. Direksi bertanggung jawab penuh mengenai pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 82 UUPT. (5) Dalam hubungannya dengan harta kekayaan perseroan, direksi harus mengurus dan meguasai dengan baik, menginventarisasi secara teliti dan cermat. (6) Melaksanakan pendaftaran dan pengumuman. Jika akta pendirian perseroan sudah mendapat pengesahan atau persetujuan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, maka pendiri dalam hal ini direksi pertama dari perseroan tersebut diwajibkan mendaftarkan akta pendirian yang sudah mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia tersebut kepada
Kantor
Pendaftaran Perusahaan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1983 tentang Wajib Daftar Perusahaan serta mengumumkannya dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Demikian pula bila terjadi
34
perubahan dalam syarat-syarat pendirian atau perpanjangan jangka waktu perseroan, direksi wajib mendaftarkan dan mengumumkan
persetujuan
Menteri
Hukum dan Hak
Asasi Manusia tentang hal itu. Untuk melaksanakan tugas dan kewajiban direksi sesuai dengan prinsip manajemen perusahaan, direksi mempunyai wewenang atau otoritas yang diartikan sebagai kekuasaan resmi atau legal untuk menyuruh pihak
lain
bertindak
dan
taat
kepada pihak lain yang memilikinya. Wewenang direksi yang lazim terdapat dalam anggaran dasar perseroan, antara lain ialah:50 (1)
Apabila pengeluaran saham-saham telah jatuh tempo dan masih diperlukan perpanjangan waktu, maka direksi mempunyai wewenang untuk memohonkan perpanjangan waktu kepada pemerintah, dalam hal ini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
(2)
Apabila dalam waktu 1 (satu) bulan
setelah
direksi
memberitahukan pengeluaran saham-saham tersebut tidak ada yang membelinya, maka direksi dengan persetujuan komisaris mempunyai wewenang untuk menjual sahamsaham itu kepada siapa saja. (3)
Direksi
bersama-sama
dewan
komisaris
berwenang
menandatangani surat-surat saham. (4)
Bila ada surat saham atau talon yang rusak hingga tidak dapat dipakai lagi, maka direksi berwenang mengeluarkan duplikatnya atas permintaan yang berkepentingan setelah aslinya dimusnahkan oleh direksi di hadapan yang berkepentingan tersebut.
(5)
Demikian pula apabila surat saham atau talon yang asli tadi hilang, maka dengan bukti yang cukup serta jaminan jaminan yang dianggap perlu direksi mempunyai wewenang
50
Ibid., hal. 65.
35
untuk memberikan duplikatnya. (6)
Direksi mempunyai wewenang untuk menahan keuntungankeuntungan atas saham dan melarang mengeluarkan suara atas saham tersebut, jika ternyata dalam suatu pemindahan hak, tidak dipenuhi kewajiban-kewajibannya.
(7)
Direksi atas tanggung jawabnya sendiri diberi kewenangan untuk mengangkat seorang kuasa atau lebih dengan syaratsyarat dan kekuasaan yang ditentukan secara tertulis.
(8)
Direksi mempunyai wewenang untuk mewakili perseroan dimuka dan di luar pengadilan serta berhak melakukan perbuatan pengurusan dan pemilikan atau penguasaan (beheer en beschikking) dengan batasan-batasan tertentu.
(9)
Mempunyai wewenang memimpin dan mengetuai RUPS.
(10) Mempunyai wewenang untuk mengadakan rapat umum luar biasa pemegang saham setiap waktu bila dipandang perlu. (11) Mempunyai wewenang untuk menandatangani notulen rapat, jika notulen tidak dibuat dengan proses verbal Notaris. Selain itu direksi juga memiliki aspek tanggung jawab lain, yaitu apa yang disebut dengan tanggung jawab berdasarkan prinsip Fiduciary Duties, yaitu tanggung jawab yang timbul karena tugasnya yang ada secara hukum (by the operation of law) dari suatu hubungan fiduciary antara direksi dan perusahaan yang dipimpinnya, yang, yang menyebabkan direksi berkedudukan sebagai trustee dalam pengertian hukum trust, sehingga seorang direksi haruslah mempunyai kepedulian dan kemampuan (duty of care and skill), itikad baik, loyalitas dan kejujuran terhadap perusahaannya dengan derajat yang tinggi (hight degree). Jika kita ambil intisari dari pengaturan tentang direksi dalam UUPT, maka pada prinsipnya UUPT memberlakukan tugas dari fiduciary duties dari direksi ini. Karena kedudukannya
36
yang bersifat fiduciary, yang dalam UUPT, sampai batas-batas tertentu diakui, maka tanggung jawab direksi menjadi sangat tinggi (high degree). Tidak hanya bertanggung jawab mengenai ketidakjujuran yang disengaja, tetapi bertanggung jawab pula secara hukum terhadap tindakan mismanagement, kelalaian atau gagal atau tidak melakukan sesuatu yang penting bagi perusahaan. Dalam melaksanakan tugas fiduciary duties, selanjutnya menurut Munir Fuady, bahwa seorang direksi harus melakukan tugasnya sebagai berikut : (1) dilakukan dengan itikad baik, (2) dilakukan dengn tujuan yang benar (proper purpose), (3) dilakukan tidak dengan kebebasan yang tidak bertanggung jawab (unfettered discretion), (4) tidak memiliki benturan tugas dan kepentingan (conflict of duty and interest). Di samping itu, untuk mengetahui apakah seorang direksi telah melakukan tugasnya secara baik dengan menggunakan kemampuan dan keperduliannya (duties of care and skill), maka standar yuridis yang umum diterima adalah bahwa direksi harus menunjukkan derajat keperdulian (care) dan kemampuan (skill) seperti yang diharapkan. 3) Kedudukan Komisaris Dalam Perseroan Terbatas a) Kedudukan Hukum Komisaris Dengan dikeluarkannya UUPT keberadaan komisaris tidak lagi bersifat fakultatif seperti yang terkandung dalam KUHD bahkan sudah merupakan keharusan. Hal ini dapat dilihat di dalam Pasal 94 ayat (1) yang bunyinya sebagai berikut: “Perseroan
memiliki
komisaris
yang
wewenang
kewajibannya ditetapkan dalam Anggaran Dasar”
dan
37
Menurut Pasal 94 ayat (2) UUPT tersebut, perseroan yang bidang usahanya mengerahkan dana masyarakat seperti perseroan yang bergerak di bidang perbankan, perseroan yang menerbitkan surat pengakuan hutang atau obligasi atau perseroan yang terbuka (PT. Tbk) yaitu perseroan yang go publik, wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang komisaris. Latar belakang pertimbangannya, karena perseroan itu diperlukan pengawasan yang lebih ketat dibanding dengan Perseroan Terbatas lainnya, karena menyangkut kepentingan masyarakat umum.51 Penjelasan Pasal 94 ayat (1) tersebut di atas, perkataan komisaris
mengandung
perseroan
Perseroan
pengertian Terbatas
baik
maupun
sebagai organ sebagai
orang
perseorangan. Sebagai organ Perseroan Terbatas, komisaris lazim disebut juga Dewan Komisaris, sedangkan sebagai orang perseorangan disebut anggota komisaris, sebagai organ Perseroan Terbatas, pengertian Komisaris termasuk juga badan-badan lain yang menjalankan tugas pengawasan khusus.52 Komisaris pada umumnya bertugas untuk mengawasi kebijaksanaan
direksi
dalam
mengurus
perseroan
serta
memberikan nasehat-nasehat kepada direksi, demikian menurut Pasal 97 UUPT. Tugas pengawasan itu bisa merupakan bentuk pengawasan preventif atau represif.53 Pengawasan preventif ialah melakukan tindakan dengan menjaga agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang akan
merugikan
perseroan,
misalnya untuk perbuatan dari
direksi yang harus dimintakan persetujuan komisaris, apakah hal tersebut sudah dilaksanakan atau belum. Dalam hal komisaris harus selalu mengawasi, sedangkan apa yang dimaksud dengan pengawasan represif ialah pengawasan yang dimaksudkan untuk 51
Ibid., hal. 71. Loc. Cit. 53 Ibid., hal. 72. 52
38
menguji perbuatan direksi,
apakah semua perbuatan yang
dilakukan direksi itu tidak
menimbulkan kerugian bagi
perseroan dan tidak bertentangan dengan undang-undang dan Anggaran
Dasar. Apakah
nasihat-nasihat
dari
komisaris
sudah benar-benar diperhatikan oleh direksi. Selanjutnya Pasal 98 ayat (1) UUPT, memberikan kewajiban kepada komisaris agar dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan.54 b) Tugas dan Tanggung Jawab Komisaris Rincian tugas komisaris biasanya diatur di dalam anggaran dasar, antara lain sebagai berikut :55 (1) Mengawasi tindakan pengurusan dan pengelolaan perseroan yang dilakukan oleh direksi, (2) Memeriksa buku-buku, dokumen-dokumen, serta kekayaan perseroan, (3) Memberikan
teguran-teguran,
petunjuk-petunjuk,
nasihat-
nasihat kepada direksi, (4) Apabila
ditemukan kelalaian direksi yang mengakibatkan
perseroan menderita kerugian,
komisaris
dapat
mem-
berhentikan sementara direksi yang bersalah tersebut, untuk kemudian dilaporkan kepada RUPS untuk mendapatkan keputusan
lebih
lanjut.
Pemberhentian
ini sifatnya
sementara dan segera dalam waktu 1 (satu) bulan komisaris harus
mengadakan
RUPS untuk memberi keputusan lain,
maka direksi akan ditempatkan kembali. Jika RUPS tidak diadakan, maka keputusan komisaris batal dengan sendirinya.
54 55
Loc. Cit Ibid., hal. 73.
39
Tanggung jawab komisaris dapat dibagi menjadi:56 (1) Tanggung jawab ke luar terhadap pihak ketiga Tanggung jawab ke luar komisaris, tidak sebesar tanggung jawab direksi, karena komisaris bertindak keluar berhubungan dengan pihak ketiga hanya dalam keadaan-keadaan yang sangat istimewa, yaitu dalam hal komisaris dibutuhkan direksi sebagai saksi atau pemberi ijin dalam hal direksi menurut anggaran dasar harus terlebih dahulu mendapat ijin dari komisaris dalam perbuatan penguasaan (beschikking), seperti misalnya menjual, menggadaikan dan lain-lain. (2) Tanggung jawab ke dalam terhadap perseroan Tanggung jawab ke dalam perseroan, sama dengan direksi, pertangungjawaban secara pribadi untuk seluruhnya. Bila ada 2 (dua) orang komisaris atau lebih, maka pertanggung jawaban itu bersifat kolektif atau majelis, jika komisaris tidak ikut serta dalam pengurusan, biasanya ia
kemudian
memberikan pertanggungjawaban kepada RUPS bersama-sama dengan direksi. Agar komisaris dapat melaksanakan tugas kewajiban yang diberikan kepadanya dengan penuh tanggung jawab, di dalam Anggaran Dasar dapat diatur beberapa kewenangan antara lain sebagai berikut :57 (1) Mengadakan dengar pendapat
dengan
akuntan
yang
memeriksa pembukuan perseroan; (2) Ikut serta menandatangani laporan tahunan dan neraca perhitungan laba rugi; (3) Memanggil RUPS; (4) Memberikan nasihat dalam RUPS;
56 57
Loc. Cit. Loc. Cit.
40
(5) Mewakili perseroan baik di luar maupun di dalam pengadilan bila antara direksi dengan perseroan terdapat kepentingan yang berbeda; (6) Membebaskan sementara setiap direksi dari
tugasnya
apabila kedapatan bertindak merugikan perseroan; (7) Mengangkat seorang ahli mengawasi
pembukuan untuk
pembukuan
tertentu (secara
membantu
perseroan dalam waktu-waktu
insidentil)
kecuali
sebelumnya telah
diangkat seorang ahli pembukuan oleh RUPS. e. Peningkatan Status Badan Usaha Perseroan Komanditer (CV) Menjadi Badan Hukum Perseroan Terbatas (PT) Tidak dapat dipungkiri pada saat sekarang ini sebagian besar badan usaha yang berdiri dan menjalankan usaha di Indonesia berbentuk Perseroan Terbatas.58 Ada beberapa faktor atau alasan mengapa seorang pengusaha memilih perseroan terbatas untuk menjalankan usaha dibandingkan dengan bentuk perusahaan lain seperti Persekutuan Perdata, Koperasi, Firma maupun CV. Alasan tersebut antara lain : 1) Semata-mata untuk mengambil manfaat karakteristik pertanggung jawaban terbatas. 2) Manakala
diperlukan
kelak
mudah
melakukan
transformasi
perusahaan. 3) Alasan fiskal.59 PT adalah perusahaan berbadan hukum yang barmakna bahwa perusahaan PT adalah subjek hukum, dimana PT sebagai sebuah badan usaha yang dapat dibebani hak dan kewajiban seperti halnya manusia pada umumnya. Badan hukum berarti orang (person) yang sengaja diciptakan oleh hukum sebagai badan hukum, PT mempunyai kekayaan tersendiri yang terpisah dari kekayaan pengurusnya. Badan hukum
58 59
Rudy Prasetio, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakt, Bandung, 2010, hal 15. Yetty Komalasari, Paradigma Baru Perseroan Terbatas, Badan Penerbit FH-III, Jakarta, 2011, hal 5.
41
sebagai subjek hukum mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana manusia, dapat mengingat dan dapat digugat serta mempunyai harta kekayaan sendiri, dalam melakukan kegiatan yang dilihat bukan perbuatan pengurus atau pejabatnya, tetapi yang harus dilihat adalah PT sebagai badan hukum, karena pertanggungjawaban adalah perusahaan PT sebagai badan hukum (legal entity). Dalam hal ini tanggungjawab PT diwakili oleh Direksinya sebagai suatu badan hukum, PT mempunyai unsur-unsur sebagai berkut : 1) Organisasi yang teratur. 2) Harta kekayaan tersendiri. 3) Melakukan hubungan hukum sendiri. 4) Mempunyai tujuan sendiri.60 Unsur utama dari Badan Hukum yaitu memiliki harta sendiri yang terpisah dari pemegang saham sebagai pemilik, karakteristik yang kedua dari badan hukum adalah tanggungjawab terbatas dari pemegang saham sebagai pemilik perusahaan dan pengurus perusahaan. Prinsip tersebut melindungi asset perusahaan dari kreditur pemegang saham, sebaliknya tanggungjawab terbatas melindungi asset dari pemilik perusahaan yaitu pemegang saham perusahaan dari klaim para kreditur perusahaan yang bersangkutan. Tanggungjawab terbatas artinya kreditur dalam melakukan klaim terbatas hanya kepada asset yang menjadi milik pemegang saham dan pengurus perseroan. Pembatasan tanggungjawab pemilik dan pengurus membedakan perseroan dari bentuk organisasi perusahaan lainnya yang tidak berbadan hukum.61 Walaupun CV mempunyai aset sendiri terpisah dari aset pribadi para sekutu, namun karena tidak adanya keharusan campur tangan dari pihak pemerintah (Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia) sehubungan dengan akta pendirian CV, maka CV bukanlah Badan
60 61
Jamhur, Organisasi Perusahaan, Pustaka Ilmu, Jakarta, 2011, hal 6. Erman Rajagukguk, Butir-butir Hukum Ekonomi, Lembaga Studi Hukum dari Ekonomi,FH-III, Jakarta, 2011, hal 191.
42
Hukum. Lebih-lebih CV didalam pendiriannya bahkan tidak memerlukan formalitas tertentu dalam arti dibenarkan untuk didirikan dengan akta di bawah tangan atau dengan lisan.62 Bentuk badan usaha commanditaire vennootschap (CV) tidak diatur secara tersendiri dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) melainkan digabungkan bersama-sama dengan peraturanperaturan mengenai Badan Usaha berbentuk Firma (Fa). Pasal 19 KUHD menyebutkan
bahwa
Perseroan
Komanditer
atau
commanditaire
vennootschap (CV) adalah suatu perseroan untuk menjalankan suatu perusahaan yang dibentuk antara satu orang atau beberapa orang persero yang secara tanggung menanggung bertanggung jawab untuk seluruhnya (tanggung jawab solider) pada satu pihak dan satu orang atau lebih sebagai pelepas uang (geld schieter) pada pihak yang lain. Dasar pikiran dan
pembentukan
perseroan
ini
adalah
seorang
atau
lebih
mempercayakan uang atau barang untuk digunakan didalam perniagaan atau lain perusahaan kepada seorang lainnya atau lebih yang menjalankan perusahaan itu saja yang pada umumnya berhubungan dengan pihak-pihak ketiga, karena itu pula si pengusaha bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pihak ketiga, dan tidak semua anggotanya yang bertindak keluar. Perseroan Komanditer (CV) adalah suatu perseroan yang tidak bertindak di muka umum. Dalam CV, seorang atau lebih dari anggotaanggotanya (si pemberi uang) tidak menjadi pimpinan perusahaan maupun bertindak terhadap pihak ketiga. Pesero tersebut hanyalah sekedar menyediakan sejumlah modal bagi anggota atau anggota-anggota lainnya yang menjalankan CV tersebut. Para persero yang memberi uang yang berdiri di belakang layar perseroan itu juga turut memperoleh bagian dalam keuntungan dan turut pula memikul kerugian yang diderita CV seperti para persero biasa, akan tetapi pertanggungjawabannya 62
Mulyoto, Kesalahan Notaris dalam Pembuatan Akta Perubahan Anggaran Dasar CV, Cakrawala Media, Yogyakarta, hal.7
43
terbatas dalam CV. Mereka tidak akan memikul kerugian yang melebihi modal yang disetorkan. Persero di belakang layar tersebut disebut anggota pasif atau komanditaris yang disebut sleeping partners (still vennot), sedangkan para anggota yang memimpin perseroan dan bertindak keluar adalah anggota-anggota aktif yang disebut persero pengurus atau persero pemimpin atau juga disebut komplementaris.63 Persero pengurus apabila lebih dari satu pesero, maka berhadapan dengan perseroan rangkap, yaitu suatu perseroan Firma antara perseropersero pengurus, dan perseroan komanditer antara peserta pengurus dan para komanditaris. Pasal 19 ayat (1) KUHD menggunakan istilah geldschieters terhadap pesero pesero yang hanya memasukkan uang atau barang dan tidak ikut dalam pengurusan atau pesero komanditer dapat menimbulkan salah paham sehingga menimbulkan pembahasan khusus untuk memungkinkan mengadakan perbedaan antar istilah “commmanditaire dan istilah geldschiters, seperti apa yang dikemukan oleh undang-undang tersebut.64 Pasal 1759 KUH Perdata berbunyi orang yang meminjamkan tidak dapat meminta kembali apa yang telah dipinjamkannya sebelum lewatnya waktu yang ditentukan dalam perjanjian. Pasal 1960 KUH Perdata berbunyi mereka yang disebutkan dalam pasal yang lalu dapat memperoleh hak milik dengan jalan daluarsa, jika alas hak penguasaan mereka telah berganti, baik karena suatu sebab yang berasal dari seorang pihak ketiga, maupun karena pembantahan yang mereka lakukan terhadap haknya si pemilik, yang dimaksud dengan pasal yang lalu dalam Pasal 1960 KUH Perdata tersebut adalah Pasal 1959 KUH perdata yang berbunyi mereka yang menguasai sesuatu kebendaan untuk seorang lain, begitu pula ahli warisnya orang-orang itu.
63 64
Abdul R Salman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Prenada Media, Jakarta, 2005, hal 6. Said Natzir, HukumPerusahaan di Indonesia, Alumni, Bandung, 1987, hal 193.
44
Tak sekali-kali dapat memperoleh sesuatu dengan jalan daluwarsa meskipun dengan lewatnya waktu yang berapa saja lamanya. Demikian pun seorang penyewa, seorang penyimpan, seorang penikmat hasil, dan segala orang lain yang memegang suatu benda berdasarkan suatu perjanjian dengan si pemiliknya, tidak dapat memperoleh benda itu dengan jalan daluwarsa”. Persero selama berjalannya usaha CV tersebut hanya berhak atas penerimaan bagiannya dalam keuntungan yang diperoleh, tetapi ia mungkin juga dibebani pula dengan membayarkan bagiannya dalam kerugian yang diderita oleh CV. Hal ini tersimpul dalam asas pembiayaan bersama untuk menjalankan perusahaan yang dilakukan
oleh
anggota-anggota
komplementer
persero-persero
pengurus.65 Mengingat hubungan dengan pihak ketiga dalam suatu badan usaha
berbentuk
CV,
hanyalah
persero-persero
pengurus
yang
menjalankan perusahaan dan bertindak keluar, serta terikat kepada pihak ketiga, sebaliknya para komanditaris yang mempunyai hubungan dengan pihak ketiga, mereka yang menjalankan perusahaan mempunyai tangung jawab penuh dan dapat disamakan dengan kedudukan para peserta perseroan Firma (Fa). Jadi apabila CV mempunyai banyak utang sehingga jatuh pailit misalnya, dan apabila harta benda perseroan tidak mencukupi untuk pelunasan utang-utangnya, maka harta benda pribadi persero pengurus itu dapat pula dipertanggung jawabkan untuk melunaskan hutang CV. Sebaliknya para komanditaris paling tinggi hanya akan kehilangan jumlah uang yang disetorkan, sedangkan harta benda pribadinya tidak dapat diganggu gugat. Adapun tanggung jawab penuh yang dibebankan pada persero pengurus adalah berdasarkan pendapat bahwa baik buruknya, maju mundurnya perusahaan itu adalah bergantung pada usaha dan pimpinan mereka sendiri.
65
Hermansyah, Hukum Perusahaan Indonesia, Media Ilmu, Jakarta, 2007, hal 11.
45
Keadaan demikian akan berubah, apabila seorang komanditer turut campur tangan dalam penyelenggaraan dan penyusutan perseroan ataupun apabila ia mengijinkan namanya dipakai dalam nama firma, yang dipakai sebagai nama firma oleh persero-persero pengurus. Dalam melakukan tindakan demikian itu akan menimbulkan kesan kepada pihak ketiga, seakan-akan ia juga menjadi anggota pengurus yang bertanggung jawab, untuk menghindarkan pihak ketiga akan mendirikan kewajiban oleh tindakan-tindakan demikian, maka dalam Pasal 21 KUHD ditentukan, bahwa tiap-tiap persero CV yang ikut melakukan perbuatanperbuatan pengurus atau bekerja dalam perusahaan CV ataupun mengizinkan pemakaian namanya dalam Firma adalah secara tanggung menanggung bertanggung jawab untuk seluruhnya atas segala utang dan segala perikatan dari CV tersebut (tanggung jawab solider). “Dengan demikian seorang komanditaris yang bertingkah laku sebagai anggota pengurus mempunyai tanggung jawab seperti anggota pengurus terhadap pihak ketiga dan pertanggung jawaban ini diperluas juga terhadap persetujuan-persetujuan yang diadakan komanditaris dalam penyelenggaraan perusahaan CV tersebut, dan terhadap persetujuanpersetujuan yang masih akan diadakan.”66 Walaupun demikian komanditaris tanpa melepaskan kedudukannya dapat menuntut untuk mengawasi tindakan-tindakan para anggota pengurus ataupun mereka ini tidak boleh bertindak tanpa ijinnya. Bagi
perusahaan CV juga adanya
rekanan
memberikan
kemungkinan untuk mengumpulkan lebih banyak modal dari pada sistem perseroan Firma. Hal ini disebabkan ada orang yang mempunyai waktu ataupun tidak ada bakat untuk berusaha, tidak dapat turut aktif dalam sesuatu perusahaan, maka bentuk perusahaan CV lah yang memberi kemungkinan pada orang-orang tersebut untuk turut berusaha walaupun hanya pasif saja. Pembagian untung rugi diatur dalam peraturan CV,
66
Sentosa Sembiring, Hukum Dagang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal 9.
46
mengingat reaksi dari tanggungjawab yang dipikul pada peserta aktif, maka tidaklah mengherankan apabila pembagian untung rugi itu diatur sesuai serta sebanding dengan tanggungjawab tersebut. Perusahaan CV mempunyai kekayakan tersendiri yang pada pembagian untung rugi dapat dipergunakan sebagai dasar perhitungan untuk mendirikan badan usaha berbentuk CV, tidaklah memerlukan suatu fasilitas dan karenanya dapat dilakukan dengan lisan atau tulisan. Kalau dibuat secara tertulis dalam bentuk surat, maka hal tersebut dapat dibuat dalam bentuk akta otentik ataupun data di bawah tangan dalam mana diatur organisasi perusahaan CV itu begitu juga hak-hak dan kewajiban para anggotanya.67 Dalam praktek perniagaan di Indonesia saat ini, perjanjian untuk mendirikan suatu perusahaan dengan bentuk CV dibuat dalam bentuk akta otentik notaris untuk lebih memperkuat kedudukan hukum para pihak yang mendirikan CV tersebut sekaligus pula untuk memperkuat kedudukan hukum dan Badan Usaha CV tersebut. Persekutuan Komanditer (CV) berdasarkan jenisnya dapat dibagi kedalam 3 (tiga) jenis yaitu : 1) CV diam-diam yaitu suatu badan usaha berbentuk CV yang belum menyatakan diri secara terbuka sebagai CV, bagi pihak luar jenis usaha ini masih dianggap sebagai usaha dagang biasa. Akan tetapi secara intern diantara para pemilik modal dalam usaha dagang tersebut telah ada pembagian dan wewenang yang berkaitan dengan tanggungjawab hukum. 2) CV terang-terangan yaitu suatu badan usaha berbentuk CV yang telah menyatakan diri secara terang-terangan dan terbuka kepada pihak ketiga. Hal ini terlihat dengan dibuatnya akta pendirian CV oleh notaris dan akta pendirian tersebut didaftarkan di dalam daftar perusahaan. 3) CV dengan saham, yaitu suatu badan usaha berbentuk CV yang 67
Ahmad Jalis, Bentuk-Bentuk Usaha di Indonesia, Pustaka Ilmu, Jakarta, 2009, hal 4
47
karena masalah kekuarngan modal usaha memasukkan para komanditaris (penanaman modal) pengurus pasif yang menanamkan modalya ke dalam CV tersebut yang menjadikan penanaman modal tersebut memperoleh kepemilikan satu atau beberapa saham terhadap perusahaan CV tersebut.68 Pada
prinsipnya,
suatu
perusahaan
berbentuk
CV
bisa
ditingkatkan bentuk usahanya menjadi PT dengan menggunakan riwayat atau ijin-ijin CV sebelumnya. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut sebagai berikut : 1) Revaluasi Asset (Neraca Akhir Perusahaan) Pada dasarnya CV adalah suatu persekutuan yang didirikan berdasarkan perjanjian. Karena bukan badan hukum, di dalam CV tidak ada pemisahan kekayaan antara kekayaan para peseronya (terutama pesero aktifnya) dengan kekayaan CV. Oleh karena itu, untuk dapat mengetahui berapa jumlah kekayaan dari CV yang dipisahkan dari kekayaan para perseronya, dimana kekayaan tersebut akan dimasukkan sebagai kekayaan PT yang akan dibentuk, maka harus dilakukan revaluasi asset dari CV tersebut. Untuk itu CV dimaksud pertama-tama harus melakukan audit seluruh kekayaan yang dimilikinya. Audit tersebut harus dilakukan oleh akuntan publik independen. Setelah diketahui berapa besar total asset yang dipisahkan oleh para persero dalam CV tersebut maka asset CV tersebut akan dianggap sebagai setoran modal para persero CV ke dalam PT. 2) Iklan di Surat Kabar Nasional Para pesero kemudian melakukan iklan di surat kabar yang beredar nasional atas rencana perubahan status CV menjadi PT, sekaligus mengumumkan pula neraca hasil audit atas total asset CV yang akan disetorkan oleh para persero tersebut. Tujuan dari iklan tersebut juga
68
Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni Bandung, 1997, hal. 24
48
dimaksudkan untuk memberitahukan kepada public dan para kreditur bahwa hak dan kewajiban dari CV tersebut beralih kepada PT. 3) Akta Pendirian PT Setelah tahap pertama dan tahap kedua tersebut dilakukan, maka tanpa menunggu jeda waktu tertentu, pemilik CV bisa langsung membuat akta pendirian PT di hadapan Notaris, yang pada premisenya secara garis besarnya menerangkan bahwa: a) Para persero dari CV mendirikan PT dengan menyetorkan seluruh kekayaan dari CV yang sudah diaudit ke dalam kekayaan PT. b) Pendirian PT. A merupakan kelanjutan dari CV. A dan setoran modal saham berupa aset dan kewajiban CV. A. 4) Pengesahan Badan Hukum PT Setelah akta pendirian PT selesai, kemudian terhadap akta tersebut
dimohonkan
pengesahannya
oleh
Notaris
kepada
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui SABH. Adapaun tahapan di SABH, antara lain: pemesanan nama perseroan (bisa dilakukan permohonan pesan nama berbarengan dengan pembuatan akta PT), input data perseroan, pencetakan Surat Keputusan Pengesahan Badan Hukum perseroan, pengiriman email dan bukti fisik kepada Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI). 3. Tinjauan Umum Tentang Notaris a. Pengertian dan Kewenangan Notaris Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat segala jenis perjanjian yang berbentuk akta autentik, menetapkan tanggalnya, menyimpan akta-aktanya dan mengeluarkan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga diwajibakan kepada pejabat-pejabat lain atau khusus menjadi kewajibannya. Akta autentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yangn diberitahukan para pihak kepada Notaris, namun Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan
49
bahwa apa yang termuat dalam aktanya sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para phak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi akta Notaris serta memberikan akses terhadap informasi termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagai para pihak penandatangan akta Notaris dalam menjalankan jabatannya berperan secara tidak memihak dan bebas. 69 Dalam menjalankan tugas jabatan Notaris ada asas-asas yang harus dijadikan pedoman dalam pelaksanaan tugas jabatannya. Asas atau prinsip merupakan suatu yang dapat dijadikan sebagai alas, dasar, tumpuan untuk menyandarkan sesuatu, mengembalikan sesuatu hal yang hendak dijelaskan. Asas hukum mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis, sehingga asas tersebut merupakan jembatan antara peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya, melalui asas hukum ini, peraturan-peraturan hukum berubah sifatnya menjadi bagian dari suatu tatanan etis. Asas-asas tersebut seperti asas kepastian hukum, asas persamaan, asas kepercayaan, asas kehati-hatian dan asas profesionalisme. 70 Dalam menjalankan jabatannya Notaris harus dapat bersikap profesional dengan senantiasa
dilandasi kepribadian yang luhur
melaksanakan
tugasnya
sesuai
dengan
dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, sekaligus menjunjung tinggi kode etik profesi Notaris sebagai rambu yang harus ditaati. Notaris perlu memperhatikan apa yang disebut sebagai perilaku profesi yang memiliki unsur-unsur sebagai berikut:71 1) Memiliki integrasi moral yang mantap. 2) Harus jujur terhadap klien maupun diri sendiri (kejujuran 69
Herlin Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007 hal. 22. 70 Hartanti Sulihandari dan Nisya Rifani, 2013, Prinsip-prinsip Dasar Profesi Notaris. Dunia Cerdas, Jakarta, hal. 78. 71 Liliana Tedjasaputro, 1995. Etika Profesi Notaris dalam Penegakan Hukum Pidana. Bigraf Publishing, Yogyakarta, hal. 86.
50
intelektual) 3) Sabar akan batas-batas kewenangannya. 4) Tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan uang. Melalui akta yang dibuatnya, Notaris harus dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat pengguna jasa Notaris. 72 Akta Notaris adalah akta otentik yang memiliki kekuatan hukum dengan jaminan kepastian hukum sebagai alat bukti tulisan yang sempurna (volledig bewijs), tidak memerlukan tambahan alat pembuktian lain, dan hakim terikat karenanya. 73 Akta yang dibuat Notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurnya tidak seperti pada akta di bawah tangan. Akta di bawah tangan adalah akta dibuat sendiri oleh pihak-pihak yang berkepentingan tanpa bantuan pejabat umum. 74 Akta otentik yang merupakan bukti yang lengkap (mengikat) berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut dianggap sebagai benar, selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. 75 Tugas pokok dari Notaris adalah membuat akta-akta otentik, dimana akta otentik menurut Pasal 1870 BW (Burgelijk WetBoek) mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya dan mengikat kepada pihak yang membuat serta terhadap orang yang mendapat hak dari mereka. 76 dan memberikan kepada pihak-pihak yang membuatnya suatu perjanjian yang mutlak.
Hal ini sangat penting bagi pihak-pihak yang
membutuhkan alat pembuktian untuk suatu keperluan, baik untuk
72
H. Salim HS dan H. Abdullah. Perancangan Kontrak dan MOU, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 101-102 73 A.A. Andi Prajitno, Apa dan Siapa Notaris di Indonesia. Cetakan Pertama, Putra Media Nusantara, Surabaya, 2010, hal. 51 74 Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2004. Hal. 100 75 Teguh Samudra, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata. Edisi Pertama. PT. Alumni, Bandung, 2004, hal. 49. 76 Yahya Harapap, Hukum Perseroan Terbatas, Edisi I, cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 340.
51
kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan suatu usaha yaitu kegiatan di bidang usaha.77 Profesi Notaris dituntut untuk mampu menghadapi setiap kemungkinan
yang
terjadi
dan
siap
mempertanggungjawabkan
profesinya atas segala keadaan yang timbul seiring tugas dan jabatannya sebagai seorang Notaris yang mungkin terjadi di kemudian hari atas akta yang dibuatnya. Untuk membuat akta otentik, Notaris dengan kewenangannya mempunyai tanggung jawab terhadap akta-akta yang telah dibuatnya karena akta tersebut merupakan pembuktian tertulis dan mempunyai sifat yang otentik terhadap para pihak. Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi akta Notaris, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatanganan akta. Dengan demikian para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui isi akta Notaris yang akan ditandatanganinya. Akta otentik menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula menjadi penghindar terjadinya sengketa. Walaupun sengketa tidak dapat dihindari maka dalam proses penyelesaian sengketa tersebut akta otentik bisa menjadi alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh dalam penyelesaian sengketa.78 Selain memenuhi syarat yang telah ditentukan undang-undang agar suatu akta menjadi otentik, seorang Notaris dalam melaksanakan tugasnya tersebut wajib melaksanakan tugasnya dengan penuh disiplin,
77
R. Soegando Notodisoejo, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan, (Jakarta : CV. Rajawali, 1982), hal. 8. 78 Wawan Setiawan, 1995. Kedudukan Akta Notaris sebagai Alat Bukti Tertulis dan Otentik Menurut Hukum Positif di Indonesia. Ikatan Notaris Indonesia, Jurnal Hukum, Media Notariat, Jakarta.
52
profesional dan integritas moralnya tidak boleh diragukan. 79 Apa yang tertuang dalam awal akta dan akhir akta yang menjadi tanggung jawab Notaris adalah ungkapan yang mencerminkan keadaan yang sebenarbenarnya pada saat pembuatan akta. Seperti dinyatakan dalam pasal 65 UUJNP yaitu: Notaris, Notaris Pengganti, dan Pejabat Sementara Notaris bertanggung jawab atas setiap akta yang dibuatnya meskipun Protokol Notaris telah diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan Protokol Notaris. Untuk menentukan sampai kapankah Notaris, Notaris Pengganti dan Pejabat Sementara Notaris harus bertanggung jawab atas akta yang dibuat dihadapan atau dibuat olehnya maka harus dikaitkan dengan konsep Notaris sebagai jabatan (ambt).80 Setiap orang yang mengemban atau memangku jabatan tertentu dalam bidang apapun sebagai pelaksanaan dari suatu struktur negara, pemerintah atau organisasi mempunyai batasan dari segi waktu, artinya sampai kapan jabatan yang diemban oleh seseorang harus berakhirnya, khususnya
Notaris
pertanggungjawabannya mempunyai batas sesuai dengan tempat kedudukan dan wilayah jabatan dan dari segi kewenangan jabatan dan profesi merupakan dua hal yang berbeda dari segi substansi. Notaris diberi wewenang serta mempunyai kewajiban untuk melayani publik, oleh karena itu Notaris ikut melaksanakan kewibawaan dari pemerintah. Notaris selaku pejabat umum mempunyai kewenangan membuat akta otentik, yang merupakan bukti tertulis perbuatan hukum para pihak dalam bidang hukum perdata. Adapun mengenai akta otentik yaitu : 1) Akta artinya tulisan yang memang disengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa yang ditandatangani (Pasal 1867 KUH Perdata). 79
Tan Thong Kie, Studi Notariat Serba-Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2013, hal. 166 80 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008, hal 16.
53
2) Akta otentik itu mempunyai kekuasaan pembuktian hukum yang sempurna, karena itu kedudukannya sama dengan undang-undang, artinya apa yang tertulis dalam akta itu harus dipercayai oleh hakim serta mempunyai kekuatan pembuktian keluar secara formil maupun materiil. 3) Apabila suatu akta tidak dibuat secara formil, maka akta itu menjadi tidak otentik melainkan sama dengan akta di bawah tangan, artinya apabila akta tersebut disangkal oleh penggugat, maka harus dibuktikan dulu kebenaran tanda tangan yang terdapat dalam suatu akta. 4) Jadi kegunaan akta otentik untuk kepentingan pembuktian dalam suatu peristiwa hukum guna mendapatkan suatu kepastian hukum. 5) Akta
otentik
penting
bagi
mereka
yang
membutuhkan
alat
pembuktian untuk suatu kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan usaha seperti akta pendirian PT, Fa, perkumpulan perdata, dan lain-lain. Kewenangan dari Notaris diatur dalam Pasal 15 UUJNP, yang menentukan : 1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik. 2) Menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta. 3) Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. 4) Membubuhkan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. 5) Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan, berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan.
54
6) Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya. 7) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta. 8) Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan. 9) Membuat akta risalah lelang Kewenangan Notaris tersebut dibatasi oleh ketentuan-ketentuan lain yakni : 1) Tidak semua pejabat umum dapat membuat semua akta, seorang pejabat umum hanya dapat membuat akta akta tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan (Pasal 1). 2) Notaris tidak berwenang membuat akta untuk kepentingan orangorang tertentu (Pasal 53) Maksudnya, bahwa Notaris tidak diperbolehkan membuat akta untuk diri
sendiri, suami/istrinya,
keluarga sedarah maupun keluarga semenda dari Notaris, dalam garis keturunan lurus ke bawah tanpa batasan derajat serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, baik menjadi pihak untuk diri sendiri maupun melalui kuasa. Hal ini untuk mencegah terjadinya suatu tindakan memihak dan penyalahgunaan jabatan. Notaris hanya berwenang untuk membuat akta otentik di wilayah hukum atau wilayah jabatannya. Di luar wilayah hukum atau wilayah jabatannya, maka akta yang dibuat tidak mempunyai kekuatan sebagai akta notariil (Pasal 17). 3) Notaris tidak boleh membuat akta, apabila Notaris masih menjalankan cuti atau dipecat dari jabatannya. Notaris juga tidak boleh membuat akta, apabila Notaris tersebut belum diambil sumpahnya (Pasal 11). Sedangkan syarat untuk menjadi seorang Notaris terdapat dalam Pasal 3 UUJNP, yaitu : 1) Warga Negara Indonesia 2) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa 3) Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun
55
4) Sehat jasmani dan rohani 5) Berijazah
sarjana
hukum
dan
lulusan
jenjang
strata
dua
kenotariatan 6) Telah menjalani magang atau nyata-nyata
telah bekerja
sebagai
karyawan Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan, dan 7) Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap oleh jabatan Notaris. Peraturan yang ditujukan kepada Notaris sebagai pejabat umum dimaksudkan, agar ada kepastian hukum di dalam perbuatan atau tugas tertentu yang dibebankan kepada Notaris tersebut. Pada dasarnya, salah satu tugas yang terpenting bagi pemerintah sebagai penguasa (overheid) adalah azas memberikan dan menjamin adanya rasa kepastian hukum bagi para warga anggota masyarakat. Dalam bidang tertentu tugas itu oleh penguasa melalui undangundang diberikan dan dipercayakan kepada Notaris, dan sebaliknya masyarakat juga harus percaya bahwa akta Notaris yang dibuat itu memberikan kepastian hukum bagi para warganya. Pelayanan negara terhadap masyarakat umum dibagi 2 bagian yang mendasar, yaitu: 1) Pelayanan negara kepada masyarakat umum dalam bidang publik. Dijalankan oleh pemerintah atau eksekutif atau dikenal dengan istilah Pejabat Tata Usaha Kewenangan, atau Pejabat Administrasi Negara yang mempunyai kewenangan, serta kekuasaan untuk memberikan pelayanan kepada dan untuk kepentingan masyarakat umum, akan tetapi tidak terbatas hanya dalam publik saja, yang disebut pejabat pemerintah. 2) Pelayanan negara kepada masyarakat umum dalam bidang hukum perdata. Pelayanan dalam bidang hukum perdata ini dijalankan "atas nama negara", dilaksanakan oleh organ negara, tetapi bukan
56
oleh eksekutif/pemerintah, melainkan dijalankan oleh pejabat umum. Notaris sebagai pejabat umum, tidak berwenang untuk membuat akta di bidang hukum publik, wewenangnya hanya terbatas pada pembuatan akta di bidang hukum perdata. Dalam sumpah jabatan Notaris juga disebutkan, bahwa seorang Notaris akan menjaga sikap, tingkah laku, dan akan menjalankan kewajiban sesuai Kode Etik
Profesi, kehormatan,
martabat,
dan
tanggung jawab sebagai Notaris, Kode Etik Notaris sangat diperlukan bagi Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, sehingga perlu dibuat secara tertulis untuk diketahui secara luas bagi setiap Notaris, bahkan Kode Etik Notaris menjadi salah satu bahan kelulusan untuk dapat menjadi Notaris. b. Tanggung jawab Notaris selaku Pejabat Umum Notaris diangkat bukan untuk kepentingan sendiri, akan tetapi untuk kepentingan masyarakat yang dilayaninya. Untuk itu undang-undang diberikan kepercayaan begitu besar dan secara umum dapat dikatakan bahwa setiap kepercayaan terhadap seseorang meletakkan tanggung jawab di atas bahunya, baik berdasarkan hukum maupun berdasarkan moral.81 Tanggung jawab Notaris dibedakan menjadi empat yaitu82: 1) Tanggung jawab Notaris secara perdata atas akta yang dibuat Penjelasan UUJNP menunjukkan bahwa Notaris hanya sekedar bertanggungjawab terhadap formalitas dari suatu akta otentik dan tidak terhadap materi akta otentik tersebut. Hal ini mewajibkan Notaris untuk bersikap netral dan tidak memihak serta memberikan semacam nasehat serta memberikan nasehat hukum bagi klien yang meminta petunjuk hukum pada Notaris yang bersangkutan. Sejalan dengan hal tersebut maka Notaris dapat dipertanggungjawabkan atas
81 82
GHS. Lumbang Tobing, Peraturan Jabatan Notaris. Erlangga, Jakarta, 1996, hal. 301. Abdul Ghofur Anshori, 2013. Lembaga Kenotariatan Indonesia: Perspektif Hukum dan Etika. UII Press, Yogyakarta, hal.34
57
kebenaran materiil suatu akta bila nasehat hukum yang diberikan ternyata di kemudian hari merupakan suatu hal yang keliru. Melalui kontruksi penjelasan UUJNP tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Notaris dapat dimintai pertanggungjawaban atas kebenaran materiil suatu akta yang dibuatnya bila ternyata Notaris tersebut tidak memberikan akses mengenai suatu hukum tertentu yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya sehingga salah satu pihak merasa tertipu atas ketidaktahuannya, untuk itulah disarankan bagi Notaris unuk memberikan informasi hukum yang penting yang selayaknya diketahui klien sepanjang yang berurusan dengan masalah hukum. Lebih lanjut dijelaskan juga bahwa ada hal lain yang juga harus diperhatikan oleh Notaris, yaitu berkaitan dengan perlindungan hukum Notaris itu sendiri, dengan tidak adanya ketidakhati-hatian dan kesungguhan yang dilakukan Notaris, sebenarnya Notaris telah membawa dirinya pada suatu perbuatan yang oleh undang-undang harus dipertanggungjawabkan. Jika suatu kesalahan yang dilakukan oleh Notaris dapat dibuktikan, maka Notaris dapat dikenakan sanksi berupa ancaman sebagaimana yang telah ditentukan oleh undangundang. 2) Tanggung jawab Notaris secara pidana atas akta yang dibuat Ketentuan mengenai pidana tidak diatur dalam UUJNP namun tanggung jawab Notaris secara pidana dikenakan apabila Notaris melakukan perbuatan pidana. UUJNP hanya mengatur sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap UUJNP sanksi tersebut dapat berupa akta yang dibuat oleh Notaris tidak memiliki kekuatan otentik atau hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan. Terhadap Notarisnya sendiri dapat diberikan sanksi yang berupa teguran hingga pemberhentian dengan tidak hormat.
58
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum. Larangan tersebut disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi yang melanggar larangan tersebut. 3) Tanggung jawab Notaris berdasarkan peraturan jabatan Notaris Peraturan jabatan Notaris adalah peraturan-peraturan yang ada dalam kaitannya dengan profesi Notaris di Indonesia. Regulasi mengenai Notaris di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang jabatan Notaris. Berkaitan dengan tanggung jawab Notaris secara eksplisit disebutkan dalam pasal 65 UUJNP yang menyatakan bahwa Notaris, Notaris Pengganti dan Pejabat Sementara Notaris bertanggung jawab atas setiap akta yang dibuatnya meskipun protokol Notaris telah diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan Protokol Notaris. 4) Tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan kode etik Profesi Notaris dapat dilihat dalam perspektif secara integral. Melalui perspektif terintegrasi ini maka profesi Notaris merupakan profesi
yang berkaitan dengan individu,
organisasi
profesi,
masyarakat pada umumnya dan negara. Tindakan Notaris akan berkaitan dengan elemen-elemen tersebut oleh karenanya suatu tindakan yang keliru dari Notaris dalam menjalankan pekerjaannya tidak hanya akan merugikan Notaris itu sendiri namun juga merugikan organisasi profesi, masyarakat dan negara. Hubungan profesi Notaris dengan masyarakat dan negara telah diatur dalam UUJNP berikut peraturan perundang-undangan lainnya. Sementara hubungan profesi Notaris dengan organisasi profesi diatur melalui kode etik Notaris. Keberadaan kode etik Notaris merupakan konsekuensi logis untuk suatu pekerjaan disebut sebagai profesi.
59
c. Kode Etik Notaris Kode etik Notaris Indonesia ditetapkan beberapa kaidah yang harus dipegang oleh Notaris (selain memegang teguh kepada peraturan jabatan Notaris), diantaranya berkaitan dengan kepribadian Notaris, dalam menjalankan tugas, hubungan Notaris dengan klien dan hubungan Notaris dengan sesama rekan Notaris. 83 Profesi selalu terkait dengan kode etik, karenanya organisasi organisasi professional tentunya selalu dilengkapi dengan peraturanperaturan sendiri. Pada tempat inilah muncul kode etik, ia bukan merupakan kaidah hukum dalam arti lazim, walaupun ada kalanya ada beberapa hal yang diatur dalam kode etik juga telah diatur oleh kaidah hukum baik di dalam hukum perdata maupun dalam hukum pidana.84 Pada hakekatnya etika setiap profesi tercermin dari kode etiknya, berupa suatu ikatan, suatu aturan yang harus diresapi dan dipatuhi oleh anggota profesi tersebut. Peranan seorang professional yang taat kode etiknya, memberikan suatu kepercayaan terhadap kebutuhan masyarakat akan peningkatan dari suatu kualitas kerja professional.85 Menurut Soebekti, tujuan mengadakan kode etik dalam suatu kalangan profesi adalah : 1) Menjunjung tinggi martabat profesi. Dari hal tersebut kode etik juga mendapat nama “kode kehormatan”, 2) Menjaga atau memelihara kesejahteraan para anggotanya, dengan mengadakan larangan-larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang akan merugikan kesejahteraan materiil para anggotanya. Profesi Notaris sebagaimana halnya profesi hukum yang lain, memiliki rumusan kode etik sendiri yang mengusahakan agar terciptanya
83
Supriadi, 2010. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta, hal.51-52. 84 Iganatius Ridwan Widyadharma, Hukum Profesi Tentang Profesi Hukum, (Semarang : Mimbar, 2000), hal. 117. 85 Ibid., hal. 118.
60
suatu keserasian nilai-nilai kaidah dan perilaku. Berdasarkan rumusan tersebut diungkapkan pengertian kode etik pada Pasal 1 angka 2, yaitu : “Kode etik adalah dan untuk selanjutnya akan disebut Kode Etik adalah kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia yang selanjutnya akan disebut “Perkumpulan” berdasarkan keputusan Konggres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota Perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk didalamnya para Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti pada saat menjalankan jabatan”. Kode etik tersebut berlaku bagi seluruh anggota perkumpulan maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris baik dalam pelaksanaan jabatan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Kewajiban-kewajiban yang terkandung dalam kode etik Notaris sebagian adalah merupakan kewajiban Notaris sebagaimana tertuang dalam UUJN, diantaranya adalah sebagai berikut : 1) Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik, 2) Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat jabatan Notaris, 3) Menjaga dan membela kehormatan perkumpulan, 4) Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggung jawab, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan Notaris, 5) Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan negara, 6) Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa kenotarisan lainnya untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium, 7) Menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-hari. 8) Menjalankan jabatan Notaris terutama dalam pembuatan pembacaan dan penandatanganan akta dilakukan di kantornya, kecuali karena alasan-alasan yang sah,
61
9) Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antar lain, namun tidak terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam: a) UU Nomor 2 tahun 2014 sebagai perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN); b) Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UUJN; c) Isi sumpah Jabatan Notaris; d) Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris Indonesia. Sedangkan mengenai larangan, Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris dilarang antara lain untuk: 1) Mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang ataupun kantor perwakilan, 2) Memasang papan nama dan/atau tulisan yang berbunyi “Notaris/kantor Notaris” diluar lingkungan kantor, 3) Melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara bersama-sama,
dengan
mencantumkan
nama
dan
jabatannya,
menggunakan sarana media cetak dan/atau elektronik dalam bentuk: a) Iklan b) Ucapan selamat c) Ucapan bela sungkawa d) Ucapan terimakasih e) Kegiatan pemasaran f) Kegiatan sponsor, baik dalam bidang sosial, keagamaan maupun olah raga. 4) Bekerja sama dengan Biro jasa/orang/Badan Hukum yang pada hakekatnya bertindak sebagai perantara untuk mencari atau mendapatkan klien 5) Menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya telah dipersiapkan oleh pihak lain, 6) Mengirimkan minuta kepada klien untuk ditandatangani,
62
7) Berusaha dengan cara apapun, agar seseorang berpindah dari Notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan langsung kepada klien yang bersangkutan maupun melalui perantara orang lain, 8) Melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan dokumendokumen yang telah diserahkan dan/atau melakukan tekanan psikologis dengan maksud agar klien tersebut tetap membuat aktanya, 9) Menetapkan honorarium yang harus dibayar kepada klien dalam jumlah yang lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan perkumpulan. Rumusan kode etik tersebut juga dilengkapi ketentuan mengenai sanksi, yaitu : 1) Sanksi
yang
dikenakan
terhadap
anggota
yang
melakukan
pelanggaran kode etik dapat berupa: 5) Teguran, 6) Peringatan, 7) Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan perkumpulan, 8) Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan, 9) Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan. 2) Penjatuhan sanksi-sanksi sebagimana terurai di atas terhadap anggota yang melanggar kode etik disesuaikan dengan kuantitas dan kualitas pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut. d. Hak, Kewajiban dan Larangan Bagi Notaris Otoritas Notaris diberikan oleh undang-undang untuk pelayanan kepentingan publik, bukan untuk kepentingan diri pribadi Notaris. Oleh karena itu kewajiban-kewajiban yang diemban Notaris adalah kewajiban jabatan
(ambtsplicht).
Notaris
wajib
melakukan
perintah
tugas
jabatannya itu, sesuai dengan isi sumpah pada waktu hendak memangku jabatan Notaris. Batasan seorang Notaris dikatakan mengabaikan tugas atau
kewajiban jabatan, apabila Notaris tidak melakukan perintah
imperatif undang-undang yang dibebankan kepadanya.
63
Di dalam melaksanakan tugasnya, Notaris mempunyai beberapa hak, kewajiban serta larangan. Hak dari seorang Notaris berupa : 1) Hak untuk cuti (Pasal 25) 2) Hak untuk mendapat honorarium (Pasal 36) 3) Hak ingkar (Pasal 4, jo Pasal 16 huruf e jo Pasal 54) Kewajiban Notaris meliputi : 1) Mengucapkan sumpah/janji sebelum menjalankan jabatannya (Pasal 4 ayat (1) 2) Wajib menjalankan jabatan secara nyata, menyampaikan berita acara sumpah/janji jabatan, alamat kantor, contoh tanda tangan dan paraf serta teraan cap/stempel jabatan Notaris (Pasal 7) 3) Bertindak jujur, bijaksana, mandiri, tidak berpihak; dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum (Pasal 16 ayat (1) huruf a) 4) Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris (Pasal 16 ayat (1) huruf b) 5) Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan. Akta berdasarkan Minuta Akta (Pasal 16 ayat (1) huruf c) 6) Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan (Pasal 16 ayat (1) huruf d) 7) Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya, kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 16 ayat (1) huruf e) 8) Menjilid akta (Pasal 16 ayat (1) huruf f) 9) Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berhonorarium (Pasal 16 ayat (1) huruf g) 10) Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta tiap bulan (Pasal 16 ayat (1) huruf h) 11) Mengirimkan daftar akta ke Daftar Pusat Wasiat Departemen dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama tiap bulan berikutnya (Pasal 16 ayat (1) huruf i) 12) Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada
64
setiap akhir bulan (Pasal 16 ayat (1) huruf j) 13) Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan (Pasal 16 ayat (1) huruf k) 14) Membacakan akta di hadapan penghadap (Pasal 16 ayat (1) huruf) 15) Menerima magang calon Notaris (Pasal 16 ayat (1) huruf m) 16) Berkantor di tempat kedudukannya (Pasal 19 ayat (1) 17) Wajib memberikan jasa hukum kepada orang tidak mampu (Pasal 37). Larangan yang harus dipatuhi oleh Notaris menurut Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yaitu: 1) Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya 2) Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah 3) Merangkap sebagai pegawai negeri 4) Merangkap jabatan sebagai pejabat Negara 5) Merangkap jabatan sebagai advokat 6) Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah atau Badan Usaha Swasta 7) Merangkap sebagai PPAT di luar wilayah jabatan Notaris 8) Menjadi Notaris Pengganti 9) Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris. e. Pengangkatan dan Pemberhentian Notaris dalam Jabatannya Mengenai pengangkatan dan pemberhentian Notaris dalam jabatannya, UUJN telah mengatur ketentuan tersebut pada Bab II, Pasal 2 sampai dengan Pasal 14. Dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa pengangkatan dan pemberhentian Notaris dilakukan oleh Menteri (Pasal 2 UUJN). Syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris adalah sebagai berikut:
65
1) Warga Negara Indonesia, 2) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, 3) Berusia minimal 27 (dua puluh tujuh) tahun, 4) Sehat jasmani dan rohani, 5) Memiliki ijazah Sarjana Hukum dan lulusan Strata dua (S2) kenotariatan, 6) Telah menjalani magang atau telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus Starata Dua Kenotariatan, 7) Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat atau tidak sedang memamgku jabatan lain yang oleh
undang-
undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris. Mengenai pengangkatan Notaris tersebut diharuskan adanya pemgambilan sumpah/janji menurut agamanya dihadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk, pengucapan sumpah atau janji tersebut dilakukan dalam waktu paling lambat dua bulan terhitung sejak tanggal keputusan pengangkatan sebagai Notaris. Mengenai pemberhentian Notaris, terbagi menjadi 3 (tiga) kriteria berdasarkan Pasal 8, 9, 12 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris, yaitu sebagai berikut : 1) Notaris berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan hormat, hal tersebut dikarenakan: a) meninggal dunia; b) telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun; c) karena permintaan sendiri; d) tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatan Notaris terus-menerus lebih dari 3 (tiga) tahun; e) merangkap jabatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 huruf g UUJN.
66
2) Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya, hal tersebut dikarenakan : a) dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang; b) berada di bawah pengampuan; c) melakukan perbuatan tercela; d) melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan. 3) Notaris diberhentikan dengan tidak hormat, hal tersebut dikarenakan : a) dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; b) berada di bawah pengampuan secara terus-menerus selama lebih dari 3 (tiga) tahun; c) melakukan
perbuatan
yang
merendahkan
kehormatan dan
martabat jabatan Notaris; d) melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan. f. Kedudukan Akta Notaris Notaris diberi kewenangan oleh undang-undang menciptakan alat pembuktian yang mutlak yaitu akta otentik, akta Notaris adalah adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang, maksudnya adalah suatu akta yang isinya pada pokoknya dianggap benar. Hal tersebut sangat penting untuk yang membutuhkan alat pembuktian untuk suatu keperluan, baik untuk pribadi maupun untuk kepentingan suatu usaha.86 Kehadiran dan perlunya ada serta terciptanya akta otentik jika dilihat dari asas manfaatnya adalah karena kebutuhan masyarakat akan pentingnya alat bukti tertulis yang mempunyai kedudukan istimewa, 86
Ahmad Priyo Susetyo, Fungsi Notaris Dalam Pembuatan Akta, (Semarang : Tesis Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, 2005), hal. 31.
67
khususnya dalam bidang hukum perdata, hal ini sangat erat kaitannya dengan
kewajiban/beban pembuktian (khusus dalam sengketa dan
perkara menurut hukum acara perdata).87 Akta otentik membuktikan sendiri keabsahannya atau seperti yang lazim disebut dalam bahasa latin acta publica probant sese ipsa, apabila suatu akta dikatakan sebagai akta otentik, artinya menandakan dirinya dari luar, dari kata-katanya sebagai yang berasal dari seorang pejabat umum, maka akta itu terhadap setiap orang dianggap sebagai akta otentik, sampai dapat dibuktikan sebaliknya (tidak otentik).88 Apabila suatu akta hendak memperoleh suatu stempel otentitas, yang merupakan akta Notaris, maka menurut ketentuan dalam Pasal 1868 KUH Perdata, akta yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut: 1) Akta
itu
dibuat “oleh” (door) atau“ dihadapan” (ten overstaan)
seorang pejabat umum. 2) Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undangundang, 3) Pejabat umum oleh-atau dihadapan siapa akta itu dibuat harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu (dalam hal misalnya Notaris). 4. Tinjauan Umum Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) a. PermenkumHAM Nomor 1 tahun 2016 Tanggal 7 Januari 2016 telah diundangkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (PermenkumHAM) Nomor 1 Tahun 2016. PermenkumHAM ini merubah sebagian ketentuan dalam PermekumHAM Nomor 4 Tahun 2014 yakni tentang Pengesahan, Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data Perseroan.
Ada 3
bagian yang dilakukan perubahan dalam PermenkumHAM tersebut,
87 88
Loc. Cit. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta : Erlangga, 1983), hal. 55.
68
yakni terkait pada fase Pendirian, Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkum HAM) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar serta Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data Perseroan Terbatas (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 nomor 392) ada beberapa ketentuan yang diubah. Ketentuan Pasal 13 (Proses Pendirian), diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : 1) Pengisian format Pendirian Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) juga harus dilengkapi dengan dokumen pendukung yang disampaikan secara elektronik. 2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa surat pernyataan secara elektronik dari pemohon tentang dokumen untuk pendirian Perseroan yang telah lengkap. 3) Selain menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon juga harus mengunggah Akta Pendirian Perseroan. 4) Dokumen untuk pendirian Perseroan sebagaiman dimaksud pada ayat (2) disimpan Notaris, yang meliputi : a) Minuta akta pendirian Perseroan atau minuta akta perubahan pendirian Perseroan; b) Minuta akta peleburan dalam hal pendirian Perseroan dilakukan dalam rangka peleburan; c) Bukti setor modal Perseroan, berupa : (1) Fotokopi slip setoran atau fotokopi surat keterangan bank atas nama Perseroan atau rekening bersama atas nama para pendiri atau asli surat pernyataan telah menyetor modal Perseroan yang ditandatangani oleh semua anggota Direksi bersama-sama semua pendiri serta semua anggota Dewan
69
Komisaris Perseroan, jika setoran modal dalam bentuk uang. (2) Asli surat keterangan penilaian dari ahli yang tidak terafiliasi atau bukti pembelian barang jika setoran modal dalam bentuk lain selain uang yang disertai bukti pengumuman dalam surat kabar, jika setoran dalam bentuk benda tidak bergerak. (3) Fotokopi
Peraturan
Pemerintah
dan/atau
Keputusan
Menteri Keuangan bagi Perseroan Persero atau Peraturan Daerah dalam hal pendiri adalah Perusahaan Daerah atau Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota. (4) Fotokopi neraca dari Perseroan yang meleburkan diri atau neraca dari perusahaan bukan Badan Hukum yang dimasukkan sebagai setoran modal. d) Surat pernyataan kesanggupan dari pendiri untuk memperoleh keputusan, persetujuan, atau rekomendasi dari instansi teknis untuk Perseroan bidang usaha tertentu atau fotokopi keputusan, persertujuan, dan rekomendasi dari instansi teknis terkait untuk Perseroan bidang usaha tertentu. e) Surat pernyataan kesanggupan dari pendiri untuk memperoleh Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak dan laporan penerimaan surat pemberitahuan tahunan pajak. f) Fotokopi surat keterangan mengenai alamat lengkap Perseroan dari pengelola gedung atau instansi yang berwenang atau asli surat pernyataan mengenai alamat lengkap Perseroan yang ditandatangani oleh semua anggota direksi bersama-sama semua pendiri serta semua anggota dewan komisaris Perseroan. Pada proses pendirian, PermenkumHAM Nomor 1 Tahun 2016, Pasal 13 ayat (4) butir e mensyaratkan dokumen tambahan yang harus ada dimintakan Notaris kepada pendiri, yaitu surat pernyataan
70
kesanggupan dari pendiri untuk memperoleh Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan laporan penerimaan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak. Berdasarkan penjelasan dari perwakilan Ditjen Pajak yang ikut dalam pembahasan perubahan PermenkumHAM, masuknya aturan terkait Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Pemberitahuan Tahunan (SPT) dalam PermenkumHAM Nomor 1 Tahun 2016 dilatarbelakangi oleh instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Di dalam Instruksi Presiden tersebut ada peraturan kewajiban melakukan konfimasi status Wajib Pajak untuk melakukan konfirmasi status Wajib Pajak untuk layanan publik tertentu, termasuk layanan badan hukum di KemenkumHAM. Secara teknis ada 3 alternatif yang bisa diserahkan Pendiri kepada Notaris, yakni : 1) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan bukti lapor Surat Pemberitahuan Tahunan
(apabila kedua hal tersebut sudah
dilakukan). 2) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan surat kesanggupan lapor Surat Pemberitahuan Tahunan (apabila sudah ada Nomor Pokok Wajib (NPWP) pajak tapi belum lapor Surat Pemberitahuan Tahunan). 3) Surat kesanggupan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan lapor Surat Pemberitahuan Tahunan (apabila belum ada Nomor Pokok Wajib Pajak NPWP) dan tentunya belum lapor Surat Pemberitahuan Tahunan). Ketentuan Pasal 25 (Perubahan Anggaran Dasar), diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : 1) Pengisian format perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) juga harus dilengkapi dengan dokumen pendukung yang disampaikan secara elektronik.
71
2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pernyataan secara elektronik dari pemohon mengenai dokumen Perubahan Anggaraan Dasar yang lengkap. 3) Selain menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon juga harus menggunggah akta Perubahan Anggaran Dasar Perseroan dan neraca serta laporan laba rugi dari tahun buku bersangkutan bagi Perseroan yang wajib diaudit. 4) Dokumen Perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disimpan Notaris, yang meliputi : a) Akta tentang Perubahan Anggaran Dasar yang dibuat Notaris; b) Notula RUPS Perubahan Anggaran Dasar atau keputusan pemegang saham di luar RUPS; c) Akta tentang pengabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan yang dibuat notaris, jika Perubahan Anggaran Dasar dalam rangka penggabungan, dengan melampirkan: (1) Akta
tentang
persetujuan
penggabungan,
peleburan,
pengambilalihan dan pemisahan rancangan penggabungan, peleburan,
pengambilalihan,
dan
pemisahan
rancangan
penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan dari Perseroan. (2) Fotokopi laporan keuangan yang meliputi 3 (tiga) tahun terakhir
dari
setiap
Perseroan
yang
akan
melakukan
penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan. (3) Bukti pengumuman dalam 1 (satu) surat kabar mengenai ringkasan rancangan penggabungan, peleburan, pengambil alihan, dan pemisahan Perseroan. d) Bukti pembayaran penguuman dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. e) Bukti setor modal Perseroan dari bank atas nama Perseroan, neraca Perseroan tahun buku berjalan, atau bukti setor dalam
72
bentuk lain, jika Perubahan Anggaran Dasar mengenai penigkatan modal setor Perseroan. f) Fotokopi dokumen pendukung dari instansiterkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang diketahui Notaris sesuai dengan aslinya. g) Fotokopi neraca dan laporan laba rugi dari tahun buku bersangkutan bagi Perseroan yang wajib diaudit. h) Fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak dan laporan penerimaan Surat Pemberitahuan Tahunan pajak Perseroan. 5) Ketentuan mengenai Surat Pemberitahuan Tahunan pajak tidak berlaku bagi perseroan yang melakukan Perubahan Anggaran Dasar dibawah 1 (satu) tahun setelah Nomor Pokok Wajib Pajak diterbitkan. Dalam perubahan Pasal 25, ada 2 hal penting yang harus diketahui, yakni : 1) Kewajiban untuk mengunggah akta Perubahan Anggaran Dasar dan neraca serta laporan laba rugi dari tahun buku bersangkutan bagi Perseroan yang wajib diaudit. (Pasal 25 ayat 3, diubah) 2) Fotokopi neraca dan laporan laba rugi dari tahun buku bersangkutan bagi Perseroan yang wajib diaudit. (Pasal 25 ayat 4 huruf g, diubah) Kewajiban mengunggah dan menyimpan fotokopi neraca dan laporan laba rugi bagi Perusahaan yang wajib diaudit mungkin merupakan kewajiban baru bagi para Notaris.
Sesungguhnya ini
merupakan kewajiban Perseroan menurut Pasal 66 ayat 4 UUPT. Selanjutnya dalam
Pasal 68 ayat 1 UUPT kategori Perseroan wajib
diaudit adalah: 1) Kegiatan usaha Perseroan adalah menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat. 2) Perseroan menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat. 3) Perseroan merupakan Perseroan Terbuka. 4) Perseroan merupakan persero.
73
5) Perseroan mempunyai aset dan/ atau jumlah peredaran usaha dengan nilai paling sedikit Rp.50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah). 6) Diwajibakan oleh peraturan perundang-undangan. Ketentun Pasal 26, diubah sehingga berbunyi bahwa ketentuan mengenai tata cara permohonan pengesahan badan hukum Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 sampai 16, berlaku secara mutatis mutandis untuk tata cara permohonan pemberitahuan perubahan anggaran dasar Perseroan. PermenkumHAm Nomor 1 Tahun 2016 juga mengubah ketentuan Pasal 26 yaitu dengan menghapus Pasal 12 sebagai ketentuan mutatis mutandis.
Hal ini beralasan karena untuk pemberitahuan Perubahan
Anggaran Dasar tidak dikenakan biaya PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Ketentuan Pasal 28 (Pemberitahuan Perubahan Data Perseroan), diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : 1) Pengisian format perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) juga harus dilengkapi dengan dokumen pendukung yang disampaikan secara elektronik. 2) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) berupa pernyataan secara elektronik dari pemohon mengenai dokumen Perubahan Data Perseroan yang telah lengkap. 3) Selain menyampaikan dokumen sebagaiman dimaksud pada ayat (2), pemohon juga harus mengunggah akta Perubahan Data Perseroan dan neraca serta laporan laba rugi dari tahun buku bersangkutan bagi Perseroan yang wajib diaudit. 4) Dokumen Perubahan Data Persroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disimpan Notaris, untuk : a) Perubahan susunan pemegang saham karena pengalihan saham dan/ atau perubahan jumlah kepemilikan saham yang dimiliki, berupa :
74
(1) Akta tentang perubahan susunan pemegang saham yang meliputi nama dan jumlah saham yang dimiliki; dan/ atau (2) Akta pemindahan hak atas saham sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. b) Perubahan nama pemegang saham karena pemegang saham ganti nama, berupa: (1) Akta tentang RUPS, akta keputusan pemegang saham di luar RUPS, atau dokumen lainnya tentang ganti nama pemegang saham; dan (2) Keputusan
instansi
terkait
mengenai
perubahan
nama
pemegang saham badan hukum atau orang perseorangan. c) Perubahan susunan nama dan jabatan anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris berupa akta tentang RUPS atau akta keputusan pemegang saham di luar RUPS tentang perubahan susunan direksi dan/atau dewan komisaris. d) Fotokopi surat keterangan mengenai alamat lengkap Perseroan dari pengelola gedung, instansi yang berwenang, atau asli surat pernyataan
mengenai
alamat
lengkap
Perseroan
yang
ditandatangani oleh Direksi Perseroan. e) Penggabungan yang tidak disertai Perubahan Anggaran Dasar berupa: (1) Salinan akta penggabungan Perseroan; (2) Akta RUPS atau keputusan pemegang saham di luar RUPS tentang persetujuan rancangan penggabungan dari Perseroan yang akan menggabungkan diri maupun yang menerima penggabungan Perseroan; (3) Fotokopi laporan keuangan yang meliputi 3 (tiga) tahun buku terakhir
dari
setiap
Perseroan
yang
akan
melakukan
penggabungan; dan (4) Pengumuman dalam 1 (satu) surat kabar mengenai ringkasan rancangan penggabungan Perseroan.
75
f) Pembubaran Perseroan berupa; (1) Akta tentang RUPS, akta keputusan pemegang saham di luar RUPS, atau dokumen lainnya yang menyetujui pembubaran Perseroan dan bukti pengumuman pembubaran dalam surat kabar, jika pembubaran Perseroan berdasarkan keputusan RUPS atau jangka waktu berdirinya Perseroan yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir; (2) Akta mengenai pernyataaan likuidator tentang pembubaran Perseroan fotokopi
berdasarkan penetapan
penetapan
pengadilan,
pengadilan, jika
dilampir
Perseroan
bubar
berdasarkan penetapan pengadilan, dilampiri fotokopi putusan pengadilan yang sesuai dengan aslinya yang dibuat oleh pengadilan; (3) Akta mengenai pernyataan likuidator tentang pembubaran perseroan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya pengadilan niaga yang sesuai dengan aslinya yang di buat oleh pengadilan niaga; (4) Akta mengenai pernyataan Kurator tentang pembubaran Perseroan berdasarkan putusan Pengadilan Niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena harta pailit dlam keadaan insolvensi, dilampiri fotokopi putusan pengadilan niaga yang sesuai dengan aslinya yang dibuat oleh pengadilan niaga; atau (5) Akta mengenai pernyataan direksi tentang pembubaran Perseroan berdasarkan surat pencabutan izin usaha perbankan dan perasuransian dari instansi pember izin usaha, dilampiri fotokopi surat pencabutan izin usaha tersebut yang diketahui oleh otaris sesuai denga aslinya.
76
g) Telah berakhirnya Perseroan berupa : (1) Surat pemberitahuan dari likuidator atau kurator mengenai pertanggungjawaban
hasil
akhir
proses
likuidasi
dan
pengumuman dalam surat kabar mengenai pelunasan dan pembebasan kepada likuidator atau kurator dan akta mengenai pertanggungjawaban
hasil
akhir
proses
likuidasi
yang
diketahui oleh Notaris sesuai dengan aslinya; dan (2) Pengumuman
dalam
surat
kabar
mengenai
hasil
penggabungan, peleburan atau pemisahan. h) Fotokopi neraca dan laporan laba rugi dari tahun buku bersangkutan bagi Perseroan yang wajib diaudit. i) Fotokopi kartu nomor pokok wajib pajak dan laporan penerimaan surat pemberitahuan tahunan pajak Perseroan. 5) Ketentuan mengenai surat pemberitahuan tahunan pajak sebagaiman dimaksud pada ayat (3) huruf i tidak berlaku bagi Perseroan yang melakukan perubahan anggaran dasar dan perubahan data di bawah 1 (satu) tahun setelah Nomor Pokok Wajib Pajak diterbitkan. 6) Dokumen sebagaimana dimaksudkan pada ayat (3) huruf f dan huruf g selain disimpan pada Notaris juga harus disampaikan secara langsung kepada Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan Pasal 28 ini berkaitan dengan Perubahan Data Perseroan. Hal-hal baru yang diatur dalam Pasal 28 adalah sama dengan Pasal 25, yaitu sebagai berikut : 1) Kewajiban untuk mengunggah akta perubahan data perseroan dan neraca serta laporan laba rugi dari tahun buku bersangkutan bagi Perseroan yang diaudit (Pasal 28 ayat 3). 2) Fotokopi neraca dan laporan laba rugi dari tahun buku bersangkutan bagi Perseroan yang wajin diaudit (Pasal 28 ayat 4 huruf h). 3) Fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak dan laporan penerimaan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Perseroan (Pasal 28 ayat 4 huruf
77
i). Ketentuan mengenai Surat Pemberitahuan Tahunan diatas tidak berlaku apabila perubahan data perseroan dilakukan dibawah 1 tahun sejak Nomor Pokok Wajib Pajak diterbitkan (Pasal 28 ayat 5). Ketentuan Pasal 29, diubah sehingga berbunyi bahwa ketentuan mengenai tata cara permohonan pengesahan badan hukum Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 sampai 16, berlaku secara mutatis mutandis untuk tata cara permohonan pemberitahuan perubahan dara Perseroan. Ketentuan ini diubah alasannya sama dengan Pasal 26, yaitu menghapus Pasal 12 sebagai mutatis mutandis.
Hal ini dikarenakan
karena pemberitahuan perubahan data perseroan tidak dikenakan biaya PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). b. Internet Sebagai Sarana Multimedia Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) merupakan suatu terobosan baru dalam dunia hukum yang merupakan tanggapan terhadap kemajuan teknologi dan perkembangan dunia usaha. Awalnya SABH dihadirkan guna menggantikan sistem SISMINBAKUM dalam prosedur pengesahan pendirian Perseroan Terbatas yang dirasa tidak efisien, hal ini tentu saja tidak sejalan dengan peraturan pendahulunya yang menyatakan bahwa sistem manual sudah tidak berlaku lagi. Perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan aktivitas diberbagai sektor kehidupan, khususnya di bidang sosial dan ekonomi, berkembang semakin cepat dan pesat. Bahkan hubungan-hubungan di bidang sosial ekonomi di masyarakat, terutama masyarakat internasional, boleh dikatakan dewasa ini telah memasuki suatu masyarakat yang berorientasi kepada informasi. Hubungan-hubungan melalui teknologi informasi tersebut tidak lagi secara fisik sebagaimana yang terjadi selama ini, namun interaksi tersebut secara virtual atau cyberspace (dunia maya).89 89
E. Saefullah Wiradipraja, Perspektif Hukum Internasional Tentang Cyberlaw, (Jakarta : ELIPS, 2002), hal. 88.
78
Internet merupakan bagian dari multi media, yang hadir di tengah-tengah
masyarakat
global
sebagai
alat
bantu
dalam
penyelesaian berbagai masalah, dalam era cyberspace saat ini multi media telah menjadi bagian-bagian dari kegiatan sehari-hari, terlebih untuk sektor bisnis.90 Secara teori multi media didefinisikan dalam berbagai bentuk, namun demikian untuk lebih mempermudah pengertiannya maka multi media
diberikan
pengertian
sebagai
sebuah
mengkombinasikan teks, grafik, audio, images
produk
yang
(gambar) dan atau
gambar yang bergerak (moving pictures) dalam bentuk digital. Penemuan internet sebagai suatu sistem antar jaringan dimulai dari konsep Galantic Network yang dirancang oleh J.C.R. Licklinder dari Massachussetts Institute Technology (MIT), konsep inisial ini kemudian terus dikembangkan oleh Defence Advanced Research Project Agency (DARPA).91 Internet memiliki karakteristik sendiri yang membedakannya
dengan
media
cetak,
penyiaran
atau
telekomunikasi. Keistimewaannya dalam mengkonvergensikan berbagai bentuk media menjadikan internet sebagai media pengantar yang relatif sempurna saat ini.92 Banyaknya informasi
dan
tuntutan
administrasi
untuk semua
mengkomputerisasikan organisasi
kenegaraan
sistem dan
pemerintahan timbul karena adanya perubahan yang diakibatkan oleh berkembang dan meluasnya pemanfaatan jasa teknologi informasi yang bersifat elektronis, dalam situasi demikian maka pelayanan hukum dan sistem hukum akan mengalami perubahan mendasar sehingga untuk dapat mengakses informasi hukum secara mudah maka diperlukan media internet. 90
Budi Santoso, Multi Media Dalam Pandangan Hak Kekeyaan Intelektual (HKI), Masalah-Masalah Hukum, Volume XXXII Nomor 2 April-Juni 2003, (Semarang : Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2003), hal. 88. 91 Freddy Harris, S.H. L.L.M. Menanti Hukum Di Cyberspace, Jurnal Hukum Dan Teknologi, Nomor 1 Volume 1 Tahun 2001, LKHT-FHUI, hal. 115. 92 Loc. Cit.
79
Internet sebagaimana didefinisikan oleh The U.S. Supreme Court sebagai International Network of Interconnected Computers (Reno V. ACLU 1997), telah menghadirkan kemudahan-kemudahan bagi setiap orang bukan saja sekadar untuk berkomunikasi tapi juga untuk melakukan
transaksi bisnis dan banyak hal lainnya termasuk dalam
bidang hukum kapan saja dan dimana saja.93 Internet adalah jaringan komputer antar negara ataupun antar benua yang berbasis Protokol Transmission Control Protocol/Internet Protocol (TCP/IP).94 Pada intinya internet merupakan
jaringan
komputer
yang
terhubung satu sama lain melalui media komunikasi, seperti kabel, telepon, serat optik, satelit ataupun gelombang frekuensi. Jaringan komputer ini dapat berukuran kecil seperti Local Area Network (LAN) yang biasa dipakai secara intern di kantor-kantor, bank atau perusahaan atau bisa disebut dengan Intranet, dapat juga berukuran super besar seperti internet. Hal yang membedakan antara jaringan kecil dan jaringan super besar adalah terletak pada ada atau tidaknya Transmission Control Protocol/Internet Protocol (TCP/IP).95 Ketiadaan hukum yang berlaku yang dapat melindungi para pengguna internet mengharuskan para pengguna untuk berhati-hati terhadap kejahatan yang dilakukan lewat internet. Berbagai jenis kejahatan yang dilakukan lewat internet yang dapat diidentifikasikan terdiri dari beberapa golongan, diantaranya adalah:74 1) Kejahatan yang berkaitan dengan data, seperti pemutusan transfer data, pengubahan, perusakan dan penghapusan serta pencurian data; 2) Kejahatan yang berhubungan dengan jaringan (network) penyadapan dan sabotase; 3) Kejahatan yang berhubungan dengan akses ke internet, yaitu hacking dan penyebaran virus; 93
Loc. Cit. Agus Raharjo, Cybercrime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi Tinggi, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti 2002), hal. 59. 95 Loc. Cit. 94
80
4) Kejahatan yang berhubungan dengan komputer, seperti membantu dan mendukung kejahatan di cyberspace, pemalsuan data lewat komputer untuk mencari keuntungan dan pemalsuan data lewat komputer untuk digunakan sebagai data asli; 5) Kejahatan yang berhubungan dengan pasar modal. c. Perspektif Data Elektronik dalam Sistem Pembuktian Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh para pihak yang berperkara kepada hakim dalam suatu persidangan, dengan tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga hakim memperoleh dasar kepastian untuk menjatuhkan keputusan.96 Peraturan tentang hukum pembuktian terdapat diberbagai undang-undang, untuk di Indonesia, hukum pembuktian ini terdapat pada hukum perdata, hukum pidana dan sebagian pada hukum acara pidana dan perdata.97 Dalam hukum pembuktian ini, alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri dari bukti tulisan, bukti saksi-saksi, persangkaanpersangkaan, pengakuan dan bukti sumpah (Pasal 1866 BW atau 164 HIR).98 Pesatnya teknologi informasi melalui internet sebagaimana telah dikemukakan, yaitu telah mengubah berbagai aspek kehidupan, diantaranya mengubah kegiatan perdagangan dan hukum.99 Keadaan tersebut belum mendapat pengaturan dalam sistem hukum pembuktian, karena sampai saat ini hukum pembuktian masih menggunakan ketentuan hukum yang lama, namun demikian, keberadaan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan telah mulai
96
Bahtiar Effendie, Masdari Tasmin dan A. Chodari, Surat Gugat dan Hukum Pembuktian dalam Perdara Perdata. Pt. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. 97 Asril Sitompul, Hukum Internet, Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 87. 98 Isis Ikhwansyah, Prinsip-Prinsip Universal Bagi Kontrak Melalui E Commerce Dalam hukum Pembuktian Perdata Dalam Teknologi Informasi, (Jakarta : ELIPS, 2002), hal. 33. 99 Loc. Cit.
81
merambah ke arah pembuktian data elektronik.100 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 sebenarnya tidak mengatur masalah pembuktian, namun undang-undang ini memberi kemungkinan kepada dokumen perusahaan yang telah diberi kedudukan sebagai alat bukti tertulis otentik untuk diamankan melalui penyimpanan dalam bentuk mikro film. Dokumen yang disimpan dalam bentuk elektronis (paperless) ini dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah.101 Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 1997 telah memberikan peluang yang luas terhadap pemahaman atas alat bukti, yaitu bahwa: “Dokumen keuangan terdiri dari catatan, bukti pembukuan dan data pendukung administrasi keuangan, yang merupakan bukti adanya hak dan kewajiban serta kegiatan usaha perusahaan” Pasal 4 UU tersebut menyatakan bahwa : “Dokumen lainnya terdiri dari data atau setiap tulisan yang berisi keterangan yang mempunyai nilai guna bagi perusahaan meskipun tidak terkait langsung dengan dokumen” Berdasarkan uraian tersebut, maka tampaknya UU tersebut telah memberikan kemungkinan dokumen perusahaan sebagai alat bukti.102 Hukum pembuktian perdata sebagaimana telah dikemukakan, telah menyebutkan alat-alat bukti secara limitatif, yaitu hanya menyebutkan lima macam alat bukti. Dari kelima macam alat bukti tersebut, dalam perkara perdata bukti tulisan mendapat kedudukan sebagai alat bukti yang utama, apalagi yang disebut dengan bukti tulisan yang berupa akta otentik. Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian formil, matriil dan mengikat keluar (sebagai alat bukti yang sempurna, sepanjang tidak dibuktikan sebaliknya).103 100
Loc. Cit. Loc. Cit. 102 Loc. Cit. 103 Ibid., hal. 34. 101
82
Dalam suatu transaksi internet, apabila kemudian hari terjadi sengketa, maka tidak mudah untuk dibawa ke pengadilan, karena transaksi yang dilakukan di media internet kebanyakn tidak dituliskan di atas kertas yang dapat disimpan dan juga tidak selalu kuitansi tanda pembayaran
yang
ditandatangani
pihak
penerima
pembayaran
sehingga untuk mencari alat bukti tertulis dipercayakan semata-mata pada
dokumen
berbentuk
file yang dibuat dimedia internet, baik
melalui e-mail atau berupa formulir on line lainnya.104 Keharusan untuk membuat perjanjian secara tertulis dan ditandatangani adalah antara lain untuk memenuhi persyaratan dalam hukum pembuktian, dimana dengan adanya bukti tertulis yang ditandatangani, maka kedua pihak akan mempunyai bukti yang dapat diterima oleh pihak yang akan mengadili bila terjadi sengketa dalam pelaksanaan suatu perjanjian. masalah akan timbul bila pihak yang berwenang mengadili (hakim, arbitrator atau mediator) dapat menerima tanda tangan dan bukti tertulis yang dibuat secara on line.105 Pada transaksi terrestrial keharusan yang dibebankan secara hukum untuk membuat suatu perjanjian tertulis dan penandatanganan dokumen transaksi dapat dengan mudah dipenuhi para pihak dalam transaksi. Lain halnya dengan transaksi on line, akan sulit untuk dinyatakan secara tertulis, apalagi untuk memenuhi persyaratan tanda tangan, karena tanda tangan yang dibubuhkan oleh pelaku transaksi adalah tanda tangan digital bukan merupakan tanda tangan dalam arti yang sama dengan tanda tangan yang dibubuhkan oleh pelaku transaksi di atas dokumen, melainkan hanya kumpulan beberapa kode digital yang disusun dan diacak dengan suatu sistem elektronik tertentu, dengan kata lain, dalam transaksi on line tidak terdapat dokumen tertulis yang dapat dibawa sebagai bukti autentik ke depan pengadilan atau pihak lain yang
104 105
Asril Sitompul, Op.Cit., hal. 88. Loc. Cit.
83
dapat menyelesaikan sengketa.106 Demikian pula pembuktian dengan surat yang mengharuskan adanya pembayaran bea materai atas setiap surat atau dokumen yang berisi hal-hal tertentu yang membuatnya terhutang bea materai. Menurut ketentuan hukum, maka hakim dilarang menerima barang bukti yang tidak dilunasi bea materainya. Dalam transaksi on line, suatu kontrak atau perjanjain dilakukan dengan pengisian formulir yang disediakan secara on line, tidak terdapat kemungkinan pembubuhan materai pada dokumen tersebut.107 d. Pemberlakuan Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) secara Elektronik dalam Pendirian Perseroan Terbatas Sekarang dan dimasa-masa mendatang, kegiatan ekonomi, sosial, politik dan bahkan kebudayaan tanpa dapat dihindarkan akan makin banyak dilakukan dengan memanfaatkan jasa jaringan komputer dan telekomunikasi elektronik. Kegiatan dengan pendekatan paperless, jasa komputer dan telekomunikasi elektronik ini nantinya akan memperoleh posisi yang sentral dalam kegiatan umat manusia sehari-hari. Oleh karena itu, para ahli hukum administrasi negara dan hukum tata negara, para penentu kebijakan dan juga para pengamat serta peminat mengenai urusan-urusan administrasi yang berkaitan dengan fungsi-fungsi kenegaraan dan pemerintahan harus juga turut memperhitungkan pentingnya jasa komputer dan telekomunikasi elektronik ini di masa mendatang. Keseluruhan informasi yang dikomputerisasikan tersebut perlu dikembangkan menurut standar tertentu, sehingga perangkat sistem yang dikembangkan bersifat computable satu sama lain dan dapat saling terkait dalam jaringan sistem informasi yang terintegrasi secara nasional melalui sistem otomatisasi elektronik.
106 107
Asril Sitompul Op.,Cit., hal. 89. Loc. Cit.
84
Berdasarkan hal tersebut di atas maka pemerintah melakukan kebijakan hukum berupa Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M-01.HT.01.01 TH 2000 tentang Pemberlakuan Sistem Administrasi Badan Hukum di Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, dimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1), bahwa penerapan Sistem Administrasi Badan Hukum adalah penerapan prosedur permohonan pengesahan Perseroan Terbatas dengan menggunakan komputer atau dengan fasilitas home page/website. Sedangkan pada ayat (2) Keputusan Menteri di atas, disebutkan bahwa anggota atau pelanggan Sistem Administrasi Badan Hukum tersebut adalah Notaris, Konsultan Hukum dan pihak lain yang memiliki kode password tertentu dan telah memenuhi persyaratan administrasi yang telah ditetapkan berdasarkan Keputusan Jenderal Administrasi Hukum Umum. Password sendiri adalah merupakan salah satu cara sistem komputer melakukan verifikasi terhadap pengguna, bahwa pengguna tersebut adalah pihak yang berhak menggunakan login. Password adalah bagian penting dari keamanan e-mail dan login, maka dari itu teknik pemilihan password itu sifatnya rahasia, perlakukanlah layaknya hal pribadi anda yang seharusnya tidak diketahui orang lain, jika seseorang mengetahui password anda, maka dia dapat mengakses sistem dengan menggunakan hak-hak anda, dia tidak mengirimkan pesan atas nama anda/melakukan kegiatan yang sifatnya merusak (destruktif). Sistem Administrasi Badan Hukum menurut Keputusan Menteri tersebut di atas diberlakukan pada : 1) Pengesahan Akta Pendirian atau persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas; 2) Permohonan lain yangditetapkan berdasarkan Keputusan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum.
85
B. Kerangka Berpikir 1. 2. 3. 4.
UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
5. 6. 7. 8. 9.
UU No. 30 Tahun 2004; UU No. 2 Tahun 2014 PP No. 43 Tahun 2011; Permenkumham No. M.Hh01.Ah.01.01 Tahun 2009; Permenkumham No. M.02.Ht.01.10 Tahun 2007; Permenkumham No. M.Hh02.Ah.01.01 Tahun 2009; Permenkumham No. M.Hh03.Ah.01.01 Tahun 2009; Permenkumham No. 4 Tahun 2014; Permenkumham No. 1 Tahun 2016.
Notaris
Pendirian PT
Proses SABH-NG
Kesalahan : 1. Perbaikan (renvooi) akta 2. Permohonan perbaikan SABH 3. Input data ulang
SK dan BNRI-TBNRI
Gambar 1. Kerangka Berpikir
86
Dari kerangka berpikir ini, penulis ingin memberikan gambaran guna menjawab dari sketsa tersebut di atas. Dalam hal ini, pendirian PT diinterpretasikan terhadap peraturan perundang-undangan (Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris; Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris; Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengajuan Dan Pemakaian Nama Perseroan Terbatas; Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.Hh01.Ah.01.01 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.Ht.01.10 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pengumuman Perseroan Terbatas Dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.Hh-02.Ah.01.01 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum Perseroan, Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar, Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar, Dan Perubahan Data Perseroan; Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.Hh-03.Ah.01.01 Tahun 2009 tentang Daftar Perseroan; dan Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengesahan Perseroan; serta Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengesahan Perseroan). Dari peraturan perundang-undangan tersebut kemudian diterapkan ke dalam proses pembuatan melalui Notaris dan SABH-NG untuk penerbitan Surat Keputusan Menteri untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan mengenai efektivitas pengesahan
pendirian
Perseroan
Terbatas dengan berlakunya Sistem Administrasi Badan Hukum New Generation (SABH-NG).
87
C. Penelitian yang Relevan Penulis membandingkan tesis penulis dengan 2 (dua) karya tesis yang telah dikaji sebelumnya dan memiliki persamaan dalam bidang penelitian yaitu membahas mengenai pendirian Perseroan Terbatas. Namun, tesis penulis memiliki
perbedaan
dalam
pengambilan
rumusan
permasalahan
dan
pembahasannya dengan tesis sebelumnya. 1. Eva Purnawati Tesis dengan judul Peranan Notaris dalam Pengesahan Pendirian Perseroan Terbatas, permasalahan dalam tesis ini adalah apaka sajakah peranan Notaris dalam proses pengesahan pendirian Perseroan Terbatas baik secara manual maupun dengan Sistem Administrasi Badan Hukum (SISMINBAKUM) secara elektronik dan hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi Notaris dalam menerapkan peran tersebut serta upaya apa saja yang dapat dilakukan dalam mengatasi hambatan-hambatan yang timbul. Simpulan dari tesis tersebut adalah bahwa pengesahan pendirian Perseroan Terbatas secara elektronik, hanya dapat dilakukan oleh Notaris bukan pendiri Perseroan Terbatas ataupun Direksi karena yang memiliki user ID dan password hanyalah Notaris yang bersangkutan, dan sistem manual tetap diterapkan dalam pengesahan pendirian Perseroan Terbatas dan masih efektif berlaku, meskipun dengan alasan dan prasyarat tertentu. 2. Hiasinta Yanti Susanti Tan Judul tesis yang diambil adalah Konsekuensi Perubahan UndangUndang Perseroan Terbatas Terhadap Eksistensi Perseroan Terbatas, permasalahan yang diangkat dalam tesis ini adalah bagaimana konsekuensi perubahan Undang-Undang Perseroan Terbatas terhadap eksistensi Perseroan Terbatas di Indonesia, sehubungan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan syarat-syarat dan perijinan apakah yang harus dipenuhi suatu Perseroan Terbatas agar dapat tetap diakui sebagai Badan Hukum menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007.
88
Simpulan dari tesis ini adalah konsekuensinya memberikan beban kepada para pelaku usaha di Indonesia karena wajib menyesuaikan anggaran dasar perseroaannya dalam batas waktu (1) tahun terhitung sejak diundangkan UUPT. Dengan berlakunya UUPT maka syarat-syarat atau perijinan yang diperlukan agar suatu Perseroan terbatas dapat beroperasi di Indonesia semakin dipermudah dan menuju ke arah pelayanan satu atap.