BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Informasi Elektronik Informasi elektronik adalah salah satu dari sumber daya informasi dalam format
elektronik. Hasugian (2008:12) dalam sebuah artikelnya mengatakan bahwa, “Dewasa ini terjadi perubahan dalam pengelolaan sumber daya informasi di perpustakaan. Berbagai sumber daya informasi berbasis kertas (paper-based) yang selama ini menjadi primadona perpustakaan tradisional sekarang telah banyak tersedia dalam format elektronik”. Sumber daya informasi elektronik ini menawarkan cara yang berbeda dalam penyimpanan dan menemubalikkan informasi dibandingkan dengan sumber daya informasi berbasis kertas (paper-based).
Brophy dkk (2000:5) menyatakan sumber daya informasi elektronik adalah “every document in electronic form which needs special equipment to be used. Electronic resources include digital documents, electronic serials, databases, patents in electronic form and networked audiovisual documents”. Pendapat di atas dapat diartikan bahwa sumber daya informasi elektronik adalah setiap dokumen dalam bentuk elektronik yang membutuhkan peralatan khusus untuk menggunakannya yang meliputi dokumen digital, terbitan berseri elektronik, database (pangkalan data), hak paten dalam format elektronik dan dokumen jaringan kerja audiovisual.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dicantumkan di antaranya definisi informasi elektronik. Berikut kutipannya : Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Dari kutipan di atas sangat jelas dikatakan bahwa informasi elektronik tidak terbatas hanya pada tulisan tetapi juga termasuk suara, gambar, peta, rancangan, foto, Electronic Data
Universitas Sumatera Utara
Interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti. Dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 4 menyebutkan bahwa Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk: a. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia; b. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat; meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik; c. membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; d. dan memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.
2.2
Grey Literature
2.2.1 Pengertian Grey Literature Grey literature (literature abu-abu) merupakan salah satu jenis koleksi di perpustakaan perguruan tinggi yang terdiri dari laporan penelitian atau dokumen- dokemen yang merupakan hasil kajian karya ilmiah, makalah seminar, terbitan pemerintah. Berikut adalah beberapa defenisi grey literature yang dikemukakan oleh beberapa penulis. Grey literature adalah bahan pustaka yang tidak tersedia di deretan buku untuk dijual (noncommercial printed materials); fisik luar (cover), pencetakan dan penjilidan sederhana; dibuat untuk keperluan khusus atau untuk kalangan terbatas, misalnya prosiding, disertasi, bibliografi, laporan dan sebagainya (C.P. Anger dalam Adi, 2008:65) Menurut Hirtle dalam Mason (2000:1) menyatakan grey literature adalah :
The quasi-printed reports, unpublished but circulated papers, unpublished proceedings of conferences, printed programs from conferences, and the other nonunique material which seems to constitute the bulk of our modern manuscript collection.
Universitas Sumatera Utara
Pendapat Hirtle di atas dapat diartikan bahwa grey literature adalah laporan dalam bentuk tercetak, tidak dipublikasikan namun dalam bentuk kertas beredar seperti prosiding suatu konferensi, program tercetak dari konferensi dan bahan non-unik lainnya yang digunakan untuk menyusun koleksi manuskrip modern. Sedangkan menurut Virginia Institut of Marine Science (VIMS) (2003:1), pengertian grey literature adalah This term refers to papers, reports, technical notes or other documents produced and published by governmental agencies, academic institutions and other groups that are not distributed or indexed by commercial publishers.
Uraian di atas menerangkan bahwa grey literature adalah suatu istilah yang merujuk pada laporan, catatan penelitian, atau dokumen – dokumen yang merupakan hasil atau terbitan badan pemerintah, institusi akademik dan kelompok lainnya yang tidak didistribusikan atau diindeks oleh penerbit komersial. Selain pendapat di atas, Reitz (2004:68) dalam Dictionary for Library and Information Science mendefenisikan grey literature sebagai Printed works such as reports, preprints, internal documents, Ph.D. dissertations, master’s theses, and conference proceedings, not readily available through regular market channels because they were never commercially published or listed or were poorly distributed.
Dari pendapat di atas dapat diartikan bahwa grey literature adalah hasil karya tercetak seperti laporan, preprints, dokumen internal, disertasi, tesis, dan prosiding konferensi, yang tidak selalu tersedia di saluran pasar biasa karena karya tersebut tidak diterbitkan secara komersial atau didaftar atau didistribusikan dengan buruk.
Berdasarkan uraian pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa grey literature adalah suatu istilah yang digunakan untuk kumpulan bahan pustaka yang diterbitkan oleh lembaga pemerintah, institusi akademik, pusat penelitian, perhimpunan, lembaga atau asosiasi lainnya berupa makalah seminar, laporan penelitian, skripsi, tesis, disertasi, terbitan pemerintah, dan lain – lain yang dibuat untuk keperluan khusus atau untuk kalangan terbatas sehingga tidak tersedia di pasaran secara komersial.
Universitas Sumatera Utara
2.2.2 Jenis Dokumen Grey Literature Pada umumnya dokumen grey literature tidak dapat dipinjamkan dan hanya boleh di baca di tempat saja. Skripsi, tesis, disertasi, laporan penelitian dan pidato pengukuhan merupakan beberapa contoh dokumen grey literature. Rompas dalam Huda (2007:19) menggolongkan literatur abu-abu (grey literature) ke dalam : Karya tulis ilmiah, yang dapat berupa penelitian, survey dan evaluasi, karya persyaratan akademisi dapat berupa skripsi, tesis dan disertasi ; buku pedoman dan petunjuk yang dibuat mengiringi sebuah produk barang baru berupa alat, metode atau suatu peraturan dan undang – undang, laporan – laporan penelitian, liputan peristiwa, organisasi/instansi, perkembangan bidang ilmu tertentu dan sebagainya, bibliografi, katalog dan daftar. Dari segi informasi yang terkandung, literature kelabu merupakan informasi yang dipilih dan orisinil, objektif dan mutakhir.
Dalam Buku Pedoman Perpustakaan Perguruan Tinggi (2004:55) disebutkan bahwa : Literatur abu-abu (grey literature) meliputi semua karya ilmiah dan non ilmiah yang dihasilkan oleh suatu perguruan tinggi. Literatur abu-abu ini wajib disimpan di perpustakaan dengan keputusan dari rektor. Literatur abu-abu (grey literature) yang dimaksud adalah : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Skripsi, tesis, disertasi. Makalah seminar, simposium, konferensi, dan sebagainya. Laporan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Laporan lain-lain, pidato pengukuhan, dan sebagainya. Artikel yang dipublikasikan oleh media massa Publikasi internal kampus Majalah atau bulletin kampus
Dari kedua uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dokumen literatur abu-abu (grey literature) terdiri dari karya ilmiah dan non ilmiah yang dihasilkan oleh suatu institusi akademik, lembaga pemerintah, pusat penelitian, perhimpunan, lembaga atau asosiasi lainnya berupa makalah seminar, laporan penelitian, skripsi, tesis, disertasi, terbitan pemerintah, pidato pengukuhan guru besar dan lain sebagainya.
2.3
Pengemasan Informasi Elektronik Informasi yang tersedia melimpah akhir-akhir ini dapat memudahkan pengguna
mendapatkan informasi yang diperlukan. Namun, informasi yang tersedia melimpah tersebut kadang dapat menyulitkan pengguna dalam memilih informasi yang sesuai dengan
Universitas Sumatera Utara
kebutuhannya. Informasi kadang juga disajikan sepotong-potong, kurang lengkap, bersifat umum atau kurang spesifik, atau menggunakan istilah yang sulit dipahami oleh masyarakat umum. Ribuan bahkan jutaan laporan, makalah, artikel majalah, buku yang dihasilkan ilmuwan sedang menunggu di perpustakaan, pusat dokumentasi dan informasi (pusdokinfo) dan Internet untuk diambil dan digunakan dalam memberikan layanan bagi pemakai. Informasi tersebut tersedia secara cuma-cuma maupun harus dibeli. Terjadinya banjir informasi, menyebabkan pemakai informasi kesulitan dalam memilih dan mendapatkan informasi yang sesuai dengan kebutuhannya. Para pemakai menuntut layanan informasi siap pakai yang cepat, tepat dan mudah. Untuk mendayagunakan informasi yang ada serta menyediakan informasi yang sesuai bagi pengguna maka informasi yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga penelitian, perguruan tinggi serta sumber informasi lain perlu dipilih, kemudian dikemas ulang. Pengemasan informasi merupakan salah satu upaya mempercepat penyampaian dan pemanfaatan informasi. Menurut Sankarto (2008:1) dalam artikelnya menyatakan Pengemasan informasi adalah kegiatan menyeleksi informasi yang berasal dari berbagai sumber, dilanjutkan dengan mendata, menganalisis, mensintesis, dan menyajikannya dalam kemasan yang sesuai dengan kebutuhan pengguna. Pengemasan informasi akan memudahkan pengguna memperoleh informasi yang tepat, lengkap, dan sesuai serta dapat dengan mudah diaplikasikan. Adapun pendapat lain tentang pengertian pengemasan informasi menurut Djatin (2007:1) adalah kegiatan yang dimulai dari menyeleksi berbagai informasi dari sumber yang berbeda, mendata informasi yang relevan, menganalisis, mensintesa, dan menyajikan informasi yang sesuai dengan kebutuhan pemakai. Informasi yang dikemas kembali memberi kemudahan dalam penyebaran informasi dan temu kembali informasi.
Menurut Bunch dalam Stilwell (2004:1) : Menggambarkan pengemasan informasi sebagai sebuah pendekatan untuk membantu diri sendiri, menekankan pada permasalahan bahwa layanan informasi adalah memilih informasi yang sesuai, dan memproses ulang informasi tersebut dalam sebuah bentuk yang benar-benar dapat dipahami, mengemas informasi, dan merancang semua bahan ini dalam sebuah media yang tepat bagi pengguna, sehingga mengkombinasikan dua konsep yang melekat dalam istilah pengemasan (yakni memproses ulang dan mengemas).
Universitas Sumatera Utara
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa pengemasan informasi adalah menyeleksi informasi dari berbagai sumber untuk dikemas kembali sesuai dengan kebutuhan pengguna. Informasi dikemas sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. pengemasan informasi adalah menyeleksi informasi dari berbagai sumber untuk dikemas kembali sesuai dengan kebutuhan pengguna. Informasi dikemas sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Adapun menurut Aganda (1990:53) pengemasan informasi adalah pendekatan sistematis untuk desain dan penyediaan layanan informasi. Menurut Webster’s New World College Dictionary, 1995 menyatakan bahwa “repackaging is to package again in or as in a better or more attractive package.” Jadi dapat dikatakan bahwa pengemasan merupakan sebuah usaha mengemas kembali ke dalam bentuk yang lebih baik dan menarik. Dapat disimpulkan bahwa pengemasan informasi adalah sebuah proses untuk mengolah kembali informasi yang ada sehingga mampu ditampilkan ke dalam kemasan yang lebih baik dan siap pakai bagi pengguna dan pencari informasi. Menurut Hartinah (2009:1), Ada beberapa permasalahan yang dapat dijadikan dasar mengapa pengemasan informasi ini penting: 1. Banjir Informasi. Banyaknya informasi yang ada dari berbagai sumber informasi baik
tercetak, non cetak, maupun digital membuat “kebingungan” tersendiri bagi
pengguna untuk mendapatkan informasi “terbaik” dan sesuai dengan kebutuhannya. Banyaknya informasi seringkali menjadikan pengguna dihadapkan pada informasi yang tidak sesuai, kandungan informasinya kurang tepat, tidak relevan sampai informasi “aspal”, asli tapi
palsu yang tidak dapat dipercaya. Untuk itu perlu
sebuah tindakan dari perpustakaan
untuk mengantisipasi apa yang biasa disebut
sebagai “banjir informasi”. Pengemasan informasi yang menghasilkan produk terseleksi adalah salah satu jawabannya. 2. Kebutuhan Pemakai Informasi. Seiring dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang begitu cepat, maka kebutuhan pemakai informasi juga semakin meningkat, yakni kebutuhan akan informasi yang cepat, tepat dan mudah. Perpustakaan sebagai institusi yang bertanggungjawab kepada transfer informasi ini juga harus dapat melihat fenomena pergeseran orientasi kebutuhan pengguna akan informasi ini, untuk itu perlu dilakukan inovasi berbasis kebutuhan pemakai informasi ini. Pengemasan informasi adalah salah satu bentuk yang dapat dipakai oleh perpustakaan sebagai bentuk inovasi menjawab kebutuhan pemakai informasi ini.
Universitas Sumatera Utara
3. Kebutuhan Peningkatan Layanan Perpustakaan. Perpustakaan sebagai pusat sumber informasi sudah semestinya dapat meningkatkan pelayanan dari waktu ke waktu, mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan tuntutan penggunanya. Perpustakaan yang tidak “mau” meningkatkan dan menyesuaikan layanannya dengan perkembangan global di dunia tentunya akan ditinggalkan oleh penggunanya. Peningkatan layanan perpustakaan ini harus didukung berbagai aspek termasuk kemasan dari informasi yang ingin ditampilkan dan disajikan kepada penggunanya. Untuk itu pengemasan informasi menjadi penting agar pengguna dapat merasakan sebuah peningkatan yang signifikan dan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada saat ini. 4. Orientasi Ekonomis. Informasi yang tak terbentung dan terus bertambah akan menyebabkan perpustakaan menjadi “gudang” informasi yang apabila tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan pengeluaran biaya yang tidak sedikit. Pengguna pun akan semakin sulit menemukan informasi yang tepat dan up to date. Untuk itu perlu diambillangkah penghematan (biaya, ruang dan tenaga) diantaranya dapat dilakukan melalui pengemasan informasi. Secara ekonomis, hasil kemas informasi merupakan produk yang sangat mungkin untuk dijual kepada khalayak umum dengan segmentasi tertentu, sehingga membuka peluang usaha bagi perpustakaan. Selain itu pengguna akanmenghemat banyak waktu, tenaga dan biaya untuk sekedar mendapatkan informasi yang sesuai, mudah, cepat dan tepat. Gray literature penting dalam pengemasan ulang informasi, meskipun mungkin tidak menarik dan sulit untuk diakses. Pengemasan informasi ulang juga dapat dilihat sebagai bagian dari proses konsolidasi informasi. Prosesnya dimulai dengan pemilihan informasi dan evaluasi informasi. Sturges dan Chimsen (1996:85) mengemukakan tiga persyaratan untuk pengemasan ulang informasi: (1) Bahan informasi harus dikumpulkan dan diorganisir secara efisien, (2) Harus ada kapasitas untuk menganalisis bahan informasi dan membuat paket pengemasan informasi baru, (3) Informasi baru harus disebarluaskan secara bebas.
Pendapat lain juga dikemukakan oleh Newton, dkk (1998:167) pengemasan informasi ulang membutuhkan pemikiran kritis untuk menggabungkan informasi dari sumber yang berbeda,
mempertimbangkan
keakuratan,
kelengkapan,
dan
konsistensi
informasi.
Pengemasan informasi harus memiliki presentasi yang jelas, dan telah diuji oleh berbagai
Universitas Sumatera Utara
pengguna. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa dalam pengemasan informasi, informasi harus dikumpulkan dan diorganisir secara efisien, dianalisis dan disebarluaskan. Selain itu informasi yang akan dikemas ulang juga harus dilihat tingkat keakuratannya, kelengkapan dan konsitensi informasinya. Dialog Quantum (2004:1) mencatat bahwa untuk menambah nilai produk informasi, penyedia informasi harus memahami jenis-jenis masalah dalam akses informasi yang paling sering ditemui. Berdasarkan pengetahuan ini, kemasan informasi dapat menambah nilai atau layanan yang tidak tersedia di tempat lain. Komunikasi antar individu adalah salah satu bentuk penting dari pengemasan ulang informasi.
2.3.1 Pemanfaatan Pengemasan Informasi Pengemasan informasi merupakan bagian dari sebuah usaha ekonomis dari perpustakaan atau penyedia informasi yang juga akan membawa dampak ekonomis bagi perpustakaan /penyedia informasi dan juga masyarakat/pengguna yang memanfaatkannya. Menurut Hartinah(2009:4) dalam artikelnya, ada beberapa manfaat ekonomis dari adanya pengemasan informasi diantaranya adalah: 1. Perpustakaan mampu menyediakan kemasan-kemasan informasi yang siap pakai yang dapat dijual kepada masyarakat/pengguna dengan segmentasi yang telah ditentukan, misal informasi bidang kedokteran yang terkemas akan sangat berguna bagi para praktisi dan pemerhati di bidang kedokteran. 2. Banjir informasi yang terus menerus apabila tidak ditangani oleh perpustakaan akan membawa dampak pada pembengkakan cost perawatan dan pengelolaan, sehingga apabila dibandingkan dengan biaya yang dihasilkan dari pemanfaatan informasi akan sangat tidak signifikan. Dengan pengemasan informasi maka perpustakaan dapat menekan biaya (cost) bagi perawatan dan pengelolaan, sekaligus dapat memanfaatkan hasilnya sebagai bentuk layanan“penjualan informasi” di perpustakaan kepada pengguna yang membutuhkan. 3. Bagi pengguna, adanya kemasan informasi ini akan memotong biaya dan juga waktu yang dibutuhkan oleh pengguna dalam mencari, memilih, dan memperoleh informasi yang dibutuhkannya. Hal ini dikarenakan pengguna dengan mudah mendapatkan kemasan informasi yang siap pakai dan disediakan oleh perpustakaan secara mudah, cepat, tepat dan hemat waktu. Misalnya, untuk mendapatkan informasi
Universitas Sumatera Utara
tertentu di perpustakaan, pengguna cukup mengakses database perpustakaan melalui internet yang perpustakaan sebagai “cost institution” menjadi “benefit institution”. Artinya perpustakaan tidak lagi dianggap sebagai lembaga yang hanya “menyedot” biaya dan punya ketergantungan terhadap biaya, menjadi perpustakaan yang mampu memberikan keuntungan dan membiayai kegiatannnya sendiri. Pemanfaatan sumber daya informasi elektronik dapat dilihat dari bagaimana sumber daya informasi elektronik tersebut dimanfaatkan oleh pengguna. Untuk mengetahui bagaimana pengguna memanfaatkan sumber daya informasi di perpustakaan maka perlu dilakukan evaluasi terhadap pemanfaatan sumber daya informasi elektronik suatu perpustakaan.
2.3.2 Prosedur Pengemasan Informasi Suprapto (2008:2) menjelaskan sebelum membuat kemasan informasi, perlu diketahui langkah-langkah dalam proses pengemasan informasi, yaitu: 1. Menyeleksi dan menetapkan topik dari kemasan yang akan dibuat dan informasi yang akan dicakup. Menurut Kothler dalam Suprapto (2008:2) untuk menentukan topik, perlu dikumpulkan berbagai masukan dan ide-ide yang biasanya berasal dari: konsumen/pemakai produk dan jasa (prosentasi paling banyak), ilmuwan, pesaing, karyawan, saluran pemasaran, manajemen puncak/pengambil kebijakan. 2. Menentukan strategi dalam mencari informasi. Kegiatan meliputi: menentukan jenis informasi yang dibutuhkan, dan jenis sumber informasi yang dapat membantu menemukan informasi yang dibutuhkan 3. Menentukan lokasi informasi dan cara mengakses. Kegiatan meliputi: menggunakan katalog perpustakaan, menggunakan indeks majalah, mencari informasi di internet, CD-ROM. 4. Menggunakan informasi dengan cara mengevaluasi dan mensitir informasi. 5. Mensintesa yaitu mengemas informasi. 6. Mengevaluasi produk yang dibuat, dan mengevaluasi proses pembuatannya. Untuk membuat suatu kemasan informasi yang baik, harus didukung oleh informasi penting yang cukup atau memadai. 2.4
Repository Fenomena yang terjadi saat ini, masyarakat mulai gencar mencari informasi melalui
internet. Mudahnya akses ke berbagai sumber informasi melalui internet mendorong perpustakaan khususnya perpustakaan perguruan tinggi untuk menyediakan informasi dalam
Universitas Sumatera Utara
bentuk elektronik yang bisa diakses melalui internet.Repository adalah kumpulan file elektronik yang terdiri dari berbagai karangan ilmiah.
Dalam Mustaine (2008:1) dinyatakan bahwa : The word Repository can refer to a central place where data can be stored or maintained, the term Repository can also refer to a certain place which is specifically used to store digital data, it can refer to a site where e-prints are situated.Repository also means a place where many multiple databases or files are located which is later used for distribution over a specific network. It can also refer to a computer location which is directly accessible to the user without him searching or logging on to the entire network. In short, Repository means a place where anything is stored which can later be used again.
Pendapat di atas dapat diartikan bahwa istilah repository dapat mengacu pada tempat utama dimana data disimpan atau dirawat, suatu tempat tertentu yang secara spesifik digunakan untuk menyimpan data digital, suatu tempat dimana koleksi e-print diletakkan. Pendapat yang hampir sama mengenai repository juga dapat dilihat pada penyataan berikut : A repository is a place where data or specimens are stored and maintained for future retrieval. A repository can be : • • • • • • •
A place where data are stored A place where specifically digital data are stored A site where eprints are located A place where multiple databases or files are located for distribution over a network A computer location that is directly accessible to the user without having to travel across a network. A place to store specimens, including serum or other biological fractions. A place where anything is stored for probable reuse.(Freedom Foundation USA,2007:1)
Dari uraian di atas dapat diartikan bahwa repository adalah suatu tempat dimana data atau spesimen disimpan dan dipelihara untuk ditemukan kembali di masa yang akan datang. Suatu repository dapat berupa : •
Tempat data disimpan.
•
Tempat data digital disimpan.
Universitas Sumatera Utara
•
Tempat e-print diletakkan.
•
Tempat beberapa file atau database diletakkan untuk didistribusikan melalui suatu jaringan.
•
Penempatan komputer yang secara langsung memberi akses kepada pengguna tanpa keharusan masuk dalam suatu jaringan.
•
Tempat untuk menyimpan spesimen, mencakup serum atau pecahan biologi lainnya.
•
Tempat sesuatu disimpan untuk kemungkinan digunakan kembali.
Repository juga dapat diartikan sebagai lokasi berbagai file atau database ditempatkan yang kemudian digunakan untuk didistribusikan melalui suatu jaringan spesifik. Repository juga dapat mengacu pada penempatan komputer yang secara langsung dapat diakses pengguna tanpa dia harus mencari atau masuk dalam keseluruhan jaringan. Singkatnya, repository berarti suatu tempat dimana segala sesuatunya disimpan untuk kemudian dapat digunakan kembali.
2.4.1 Tujuan Repository Repository merupakan hal yang penting bagi suatu perguruan tinggi yang membantu dalam pengelolaan aset kelembagaan sebagai bagian dari strategi informasi mereka. Repository membantu institusi untuk mengembangkan pendekatan yang terkoordinir dan logis untuk mengumpulkan, mengidentifikasi, menyimpan dan temu kembali aset intelektualnya.
Adapun tujuan utama sebuah perpustakaan perguruan tinggi memiliki repository menurut Jain dan Anurag (2008:4) adalah : • • • •
to create global visibility for an institution’s scholarly research; to collect content in a single location; to provide open access to institutional research output by self-archiving it; to store and preserve other institutional digital assets, including unplublished or otherwise easily lost (“grey”) literature (e.g. theses or technical reports. Pernyataan di atas dapat diartikan bahwa tujuan utama repository adalah sebagai
berikut : •
menciptakan visibilitas secara global untuk penelitian ilmiah sebuah lembaga pendidikan / institusi;
Universitas Sumatera Utara
•
mengumpulkan konten / isi dalam satu lokasi;
•
memberikan akses terbuka untuk hasil penelitian institusional;
•
menyimpan dan melestarikan aset digital kelembagaan lainnya, termasuk literatur yang tidak dipublikasikan atau mudah hilang ("grey literature” misalnya tesis atau laporan teknis).
2.4.2 Fungsi Repository Pada sebuah perpustakaan perguruan tinggi, materi yang tersimpan pada repository dapat berupa artikel-artikel dari jurnal riset baik sebelum dicetak (preprint)ataupun setelah dicetak (postprint), format digital dari skripsi / thesis / disertasi, dan juga mungkin merupakan kumpulan data digital pada kegiatan akademik seperti dokumen administrasi, catatan perkuliahan atau materi perkuliahan lainnya.
Menurut Wicaksono (2005:5), fungsi repository adalah : • • •
Tempat menyimpan Structured Information yang dikumpulkan dari berbagai sumber informasi. Sumber referensi bagi proses pembelajaran di Discussion Forum dan Structured Knowledge Creation. Tempat menyimpan pengetahuan yang dihasilkan pada proses pembelajaran di Discussion Forum dan Structured Knowledge Creation.
Pendapat lain, fungsi dari repository, yaitu sebagai berikut : 1. Storage function ; The storage function stores data. 2. Information organization function ; The information organization function manages a repository of information described by an information schema and includes some or all of the following elements: • modifying and updating the information schema; • querying the repository, using a query language; • modifying and updating the repository. 3. Relocation function; The relocation function manages a repository of locations for interfaces, including locations of management functions for the cluster supporting those interfaces. 4. Type repository function; The type repository function manages a repository of type specifications and type relationships. It has an interface for each type specification it stores. 5. Trading function; The trading function mediates advertisement and discovery of interfaces (Joaquin, 1996:1-3)
Universitas Sumatera Utara
Pernyataan di atas dapat diartikan bahwa fungsi utama repository adalah sebagai berikut : 1. Fungsi penyimpanan ; menyimpan data 2. Fungsi organisasi informasi ; mengelola repository informasi yang dijelaskan dengan skema informasi yang mencakup beberapa unsur berikut : • Modifikasi dan pembaruan skema informasi; • Peng-query-an repository dengan menggunakan bahasa query; • Modifikasi dan pembaruan repository. 3. Fungsi relokasi ; mengelola lokasi repository untuk antarmuka, termasuk lokasi dari fungsi-fungsi manajemen yang mendukung. 4. Fungsi jenis repository ; mengelola spesifikasi jenis repository dan tipe hubungan. 5. Fungsi perdagangan ; menangani iklan dan penemuan antarmuka. Dari kedua uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi repository adalah sebagai tempat
menyimpan
data
yang
dikumpulkan
dari
berbagai
sumber
informasi,
mengorganisasikan data dengan skema informasi, mengelola lokasi informasi untuk antarmuka, sebagai sumber referensi bagi proses pembelajaran dan sebagai tempat menyimpan pengetahuan yang dihasilkan pada proses pembelajaran.
Universitas Sumatera Utara