BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dalam bahasa Indonesia, untuk istilah dalam bahasa Belanda disebut “strafbaarfeit” atau “delik”. Istilah strafbaarfeit telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang menimbulkan berbagai arti, umpamanya saja dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dapat atau boleh dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana. Para sarjana Indonesia mengistilahkan strafbaarfeit itu dalam arti yang berbeda, menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu.7 Moeljatno berpendapat: Perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, asal saja dalam pidana itu diingat bahwa larangan tersebut ditujukan pada perbuatannya yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelalaian orang, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian tersebut.8 Sementara perumusan strafbaarfeit, menurut Van Hamel, adalah sebagai berikut: “Strafbaarfeit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum yang patut dipidana dan
7
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2004, Pokok-pokok Hukum Pidana, Jakarta: Pradnya Paramita, hlm. 54. 8 Ibid., hlm. 56.
9
dilakukan dengan kesalahan”. Tindak pidana adalah pelanggaran normanorma dalam bidang hukum lain, yaitu hukum perdata, hukum ketatanegaraan, dan tata usaha pemerintah, yang oleh pembentuk Undangundang ditanggapi dengan suatu hukum pidana. Maka sifat-sifat yang ada dalam
setiap
tindak
pidana
adalah
sifat
melanggar
hukum
(wederrecteliijkheid, onrechtmatigheid). Tiada ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum.9 Dari pendapat diatas maka paling tepat digunakan adalah istilah “tindak pidana” karena mengandung istilah yang tepat dan jelas sebagai istilah hukum, juga sangat praktis digunakan. Selain itu pemerintah diberbagai peraturan perundang-undangan memakai istilah “Tindak Pidana” contohnya mengenai peraturan Tindak Pidana Tertentu. 2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Menurut Lamintang, tindak pidana dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua macam, yaitu unsur-unsur subjektif dan objektif. Unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan pada diri si pelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.10 Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
9
Wiryono Prodjodikoro, 2003, Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, hlm. 1. 10 P.A.F Lamintang, 1990, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cet 2, Bandung: Sinar Baru, hlm. 184-184.
10
a. b. c.
d.
e.
Kesengajaan atau ketidakengajaan (culpa/dolus). Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan pemalsuan dan lain-lain. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Sedangkan unsur-unsur objektif suatu tindak pidana adalah: a. Sifat melanggar hukum. b. Kualitas si pelaku. c. Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.11 Berkaitan dengan unsur-unsur tindak pidana (strafbaarheit) ada beberapa pendapat sarjana yaitu pengertian unsur-unsur tindak pidana menurut aliran monistis dan menurut aliran dualistis. Berikut pandangan para sarjana kedua aliran tersebut: a. Sarjana yang berpandangan aliran monistis yaitu: 1) D. Simons Simons mengatakan bahwa pengertian tindak pidana adalah: Een strafbaar gestelde, onrechtmatige, met schuld verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar persoon. Jadi unsur-unsur tindak pidana menurut Simons adalah: a) Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan); b) Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld); c) Melawan hukum (onrechtmatig);
11
Ibid., hlm. 184.
11
d) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld verband staand); e) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar person).12 Dari unsur-unsur tindak pidana tersebut Simons membedakan adanya unsur objektif dan unsur subjektif dari strafbaar feit adalah: a) Yang dimaksud unsur subjektif adalah: perbuatan orang; b) Akibat yang terlihat dari perbuatan itu; c) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatanperbuatan itu seperi dalam Pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka umum”. Selanjutnya unsur subjektif dari strafbaar feit adalah: a) Orangnya mampu bertanggungjawab; b) Adanya kesalahan (dolus dan culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan.13 2) Van Hamel Strafbaar feit adalah een wetelijk en mensschelijke gedraging, onrechtmatig, strafwardig en aan schuld te wijten. Jadi menurut Van Hamel unsur-unsur tindak pidana adalah: a) Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang; b) Bersifat melawan hukum; c) Dilakukan dengan kesalahan; d) Patut dipidana.14 Dua pendapat sarjana diatas dapat mewakili pendapat aliran monistis. Dari pendapat para sarjana yang beraliran monistis tersebut
12
Sudarto, 1975, Hukum Pidana I A dan I B, Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, hlm. 32. 13 Ibid. 14 Ibid., hlm. 33.
12
dapat disimpulkan bahwa tidak adanya pemisahan antara criminal act dan criminal responsibility. b. Sarjana yang berpandangan dualistis adalah sebagai berikut: 1) Moeljatno Menurut Moeljatno, menyatakan bahwa untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur: a) Perbuatan oleh manusia; b) Memenuhi rumusan Undang-undang (syarat formil); c) Bersifat melawan hukum (syarat materiil) Syarat formil itu harus ada karena keberadaan asas legalitas yang tersimpul dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Syarat materiil pun harus ada pula, karena perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan, oleh karena itu bertentangan dengan atau menghambat tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu.15 2) W.P.J. Pompe Menurut hukum positif strafbaar feit adalah tidak lain dari feit yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang, jadi perbuatan itu adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana.
15
Sudarto, 1990, Hukum Pidana I A dan I B, Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, hlm. 27.
13
Dengan demikian pandangan sarjana yang beraliran dualistis ini ada pemisahan antara criminal act dan criminal responsibility. Menurut Soedarto kedua pendirian itu, baik aliran monistis maupun aliran dualistis, tidak mempunyai perbedaan yang prinsipil dalam menentukan adanya pidana. Apabila orang menganut pendirian yang satu, hendaknya memegang pendirian itu secara konsekuen, agar tidak terjadi kekacauan pengertian. Bagi orang yang berpandangan monistis, seseorang yang melakukan tindak pidana harus dapat dipidana, sedangkan bagi yang berpandangan dualistis, sama sekali belum mencukupi syarat untuk dipidana karena masih harus disertai syarat pertanggungjawaban pidana yang harus ada pada si pembuat atau pelaku pidana. Jadi menurut pandangan dualistis, semua syarat yang diperlukan untuk pengenaan pidana harus lengkap adanya.16 3. Jenis-Jenis Tindak Pidana Awalnya para ahli hukum membagi jenis tindak pidana ke dalam apa yang disebut rechtdelicten dan wetsdelicten. Rechtdelicten adalah delikdelik yang bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis, sedangkan wetsdelicten adalah delik-delik yang memperoleh sifatnya sebagai tindakantindakan yang pantas untuk dihukum, oleh karena dinyatakan demikian di dalam peraturan undang-undang.17 KUHP sendiri membagi tindak pidana menjadi dua yaitu kejahatan (misdijven) dan pelanggaran (overtredingen).
16 17
Ibid., hlm. 28. P.A.F Lamintang, op. cit. hlm. 200.
14
Namun secara umum tindak pidana dapat dibagi sebagai berikut: a. Kejahatan dan pelanggaran; Menurut
M.v.T.,
kejahatan
adalah
“rechtdelicten”,
yaitu
perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undangundang sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Pelanggaran sebaliknya adalah “wetsdelicten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada undang-undang yang menentukan demikian. b. Delik formil dan delik materil; 1) Delik formil adalah delik yang dianggap telah selesai dengan hukuman oleh undang-undang. Contohnya adalah pencurian (Pasal 362 KUHP), pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP), dan sebagainya. 2) Delik materil adalah delik yang dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Contohnya adalah pembunuhan (Pasal 338 KUHP), dan sebagainya.18 c. Delik dolus dan delik culpa (doluese en culpose delicten); 1) Delik dolus, yaitu delik yang memuat unsur-unsur kesengajaan, atau delik-delik yang oleh pembentuk undang-undang dipersyaratkan bahwa delik-delik tersebut harus dilakukan “dengan sengaja”. Contoh: delik yang diatur dalam Pasal 187, 197, 245, 263, 310, 338 KUHP.
18
Ibid., hlm. 202.
15
2) Delik culpa, yaitu delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsurnya, atau menurut Lamintang adalah delik-delik yang cukup terjadi “dengan tidak sengaja” agar pelakunya dapat dihukum. Contoh: delik yang diatur dalam Pasal 195, 197, 201, 203, 231 ayat (4), 395 dan 360 KUHP. 19 d. Delik commisionis, delik ommissionis, dan delik commissionis per ommissinis commissa; 1) Delik commisionis yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan-larangan di dalam undang-undang. Contohnya pencurian, penggelapan, penipuan, dan sebagainya. 2) Delik ommissionis yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah (keharusan-keharusan) menurut undang-undang. Contohnya tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan (Pasal 522 KUHP). 3) Delik commissionis per ommissinis commissa yaitu delik yang berupa pelanggaran
terhadap
larangan
dalam
undang-undang
(delik
commissionis), tetapi melakukannya dengan cara tidak berbuat. Contoh: seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi susunya (Pasal 338, 340 KUHP).20 e. Delik tunggal dan delik berganda (enkevoudigde en samengestelde delicten);
19 20
Sudarto, op. cit,. hlm. 34. Ibid.
16
1) Delik tunggal, yaitu delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali, atau delik-delik yang pelakunya sudah dapat dihukum dengan satu kali saja melakukan tindakan yang dilarang oleh undangundang. 2) Delik berganda, yaitu delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukan beberapa kali perbuatan. Contoh: delik yang diatur dalam Pasal 481 KUHP tentang penadahan sebagai kebiasaan. 21 f. Aflopende delicten dan voortdurende delicten; Aflopende delicten adalah delik-delik yang terdiri dari satu atau lebih tindakan untuk menyelesaikan suatu kejahatan, sedangkan voortdurende delicten adalah delik-delik yang terdiri sendiri dari satu atau lebih tindakan untuk menimbulkan suatu keadaan yang bertentangan dengan suatu norma.22Contoh voortdurende delicten delik-delik seperti yang dirumuskan dalam Pasal 124 ayat (2) angka 4, 228 dan 261 ayat (1) KUHP. Sedangkan contoh aflopend delict terdapat dalam Pasal 279 ayat (1) dan Pasal 453 KUHP.23 g. Delik aduan dan delik biasa (klacht delicten dan gewone delicten); Delik aduan, yaitu delik yang hanya dapat dituntut karena adanya pengaduan dari pihak yang dirugikan. Misalnya delik yang diatur dalam Pasal 310 KUHP dan seterusnya tentang penghinaan, Pasal 284 tentang perzinahan, dan sebagainya. Delik aduan menurut sifatnya dapat
21
P.A.F Lamintang, op. cit. hlm. 205. Ibid., hlm. 206. 23 Ibid,. 22
17
dibedakan atas delik aduan absolut dan delik aduan relatif. Delik aduan absolute misalnya delik yang diatur dalam Pasal 284, 310, 332 KUHP. Delik aduan relatif misalnya delik yang diatur dalam Pasal 367 KUHP tentang pencurian dalam keluarga. Delik biasa pelakunya dapat dituntut menurut hukum pidana tanpa perlu adanya pengaduan.24 h. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya; 1) Delik sederhana adalah delik-delik dalam bentuknya yang pokok seperti dirumuskan dalam undang-undang. Misalnya delik yang diatur dalam Pasal 362 KUHP tentang pencurian. 2) Delik dengan pemberatan adalah delik-delik dalam bentuk yang pokok, yang karena di dalamnya terdapat keadan-keadaan yang memberatkan, maka hukuman yang diancamkan menjadi diperberat. Contohnya delik yang diatur dalam Pasal 365 KUHP. 3) Delik dengan keadaan-keadaan yang meringankan adalah delik-delik dalam bentuk yang pokok, yang karena didalamnya terdapat keadaankeadaan yang meringankan maka hukuman yang diacamkan menjadi diperingan.25 4. Pidana dan Pemidanaan a. Pengertian Pemidanaan Hakim dalam menjatuhkan pidana kepada seseorang terdakwa yang telah melakukan tindak pidana, terlebih dulu harus dapat memenuhi
24 25
Ibid,. hlm. 207. Ibid,. hlm. 213.
18
syarat pembuktian untuk dapat dilakukan pemidanaan atas diri terdakwa, dan pidana yang dijatuhkan karena berhubungan dengan perbuatanperbuatan yang diancam pidana telah terlebih dulu tercantum dalam undang-undang, hal ini sesuai dengan asas legalitas. Salah satu sumber hukum pidana di Indonesia adalah KUHP, yang terdiri dari tiga buku: 1) Buku I, memuat Ketentuan Umum (Algemen Leerstrukken) yang terdiri dari 9 Bab mulai Pasal 1-103 KUHP. 2) Buku II, memuat tentang Kejahatan yang terdiri dari 31 Bab mulai Pasal 104-448 KUHP. 3) Buku III, memuat tentang Pelanggaran, yang terdiri dari 9 Bab mulai Pasal 489-569 KUHP. Menurut Mezger seperti dikutip Soedarto, pengertian hukum pidana adalah aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu dengan suatu akibat yang berupa pidana. Jadi pada dasarnya hukum pidana berpokok pada dua hal yaitu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu dan pidana. 1) Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu Dengan “perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu” itu dimaksudkan perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut “perbuatan yang dapat dipidana” atau disebut “perbuatan jahat” (verbrechen atau crime). Oleh karena dalam perbuatan jahat ini harus ada orang yang melakukannya, maka persoalan tentang “perbuatan tertentu” itu diperinci menjadi dua, ialah perbuatan yang dilarang dan orang yang melanggar larangan itu. 2) Pidana Yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu. Di dalam hukum
19
pidana modern, pidana ini juga meliputi apa yang disebut “tindakan tata tertib” (tucht maatregel, masznahme). Di dalam ilmu pengetahuan hukum adat Ter Haar memakai istilah (adat) reaksi. Di dalam KUHP yang sekarang berlaku jenis-jenis pidana yang dapat diterapkan tercantum dalam Pasal 10 KUHP. 26 Perbuatan yang dinamakan tindak pidana di samping harus memenuhi rumusan undang-undang, juga harus bersifat melawan hukum. Sifat melawan hukum ada dua jenis yaitu: 1) Sifat melawan hukum formil, yang berarti suatu perbuatan bersifat melawan hukum apabila perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-undang, sedangkan sifat melawan hukumnya perbuatan itu harus berdasarkan suatu ketentuan undang-undang. 2) Sifat melawan hukum materiil, yang berarti suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya terdapat dalam undang-undang saja, tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis. 27 Jadi suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila perbuatan tersebut telah memenuhi rumusan undang-undang dan bersifat melawan hukum. Sedangkan orang yang melakukan tindak pidana dapat dipidana apabila terdapat kesalahan yang meliputi mampu bertanggungjawab serta adanya kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).28 Disamping perbuatan itu memenuhi rumusan undang-undang dan bersifat melawan hukum, maka untuk penjatuhan pidana yang menitikberatkan pada perbuatan masih disyaratkan bahwa tidak ada alasan pembenar. Alasan pembenar adalah alasan yang menghapuskan 26
Soedarto, op. cit. hlm. 5. Ibid. 28 Ibid., hlm. 4. 27
20
sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar.29 Dalam hal pemidanaan, ilmu pengetahuan hukum pidana mengadakan pembedaan antara dapat dipidananya suatu perbuatan dan dapat dipidanya si pembuat. Hal ini sesuai dengan syarat pemidanaan, seperti digambarkan oleh Soedarto sebagai berikut: Syarat Pemidanaan
Pidana
Perbuatan
Orang
1) Memenuhi rumusan undang-undang; 2) Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar); 3) Kesalahan; a) Mampu bertanggungjawab b) Dolus atau Culpa (tidak ada alasan pemaaf). 30 Untuk dapat dipidananya seseorang selain perbuatan melawan hukum dan tidak ada alasan pembenar, maka pada diri orang itu harus ada kesalahan. Menurut Soedarto, kesalahan mempunyai tiga arti, yaitu: 1) Kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian “pertanggungjawaban dalam hukum pidana”, didalamnya terkandung makna dapat dicelanya (verwijtbaarheid) si pembuat atas perbuatannya. 2) Kesalahan dalam arti bentuk, arti kesalahan (schuldnorm) yang berupa: 1. Kesengajaan (dolus,opzet,vorsal, atau intention) atau 2. Kealpaan (culpa, onachrzaamheid,
29 30
Moeljatno, 1993, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta, hlm. 137. Soedarto, op. cit. hlm. 30.
21
natatigheid, fahrlassigheid atau negligence). Ini pengertian kesalahan yuridis. 3) Kesalahan dalam arti sempit, ialah kealpaan (culpa) seperti yang disebutkan dalam b.2 diatas. Pemakaian istilah “kesalahan” dalam arti ini sebaiknya dihindarkan dan digunakan saja istilah “kealpaan”.31 Apabila ketiga unsur itu ada maka orang yang bersangkutan bisa dinyatakan bersalah atau mempunyai kemampuan bertanggungjawab sehingga bisa dipidana. Kemampuan bertanggungjawab dengan singkat diterangkan sebagai keadaan batin orang yang normal dan sehat. Ketentuan tentang arti bertanggungjawab dirumuskan dalam Pasal 44 KUHP sebagai berikut: Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ont wikkelink) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana. Menurut KUHP, terdapat dua jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yang membagi dua jenis pidana pokok dan pidana tambahan, sebagai berikut; 1) Pidana Pokok meliputi: a. Pidana mati; b. Pidana penjara; c. Pidana kurungan; d. Pidana denda. 2) Pidana Tambahan meliputi: a. Pencabutan beberapa hak-hak tertentu;
31
Ibid,. hlm. 6.
22
b. Perampasan barang-barang tertentu; c. Pengumuman putusan hakim. Dari uraian diatas jelas bahwa ada dua jenis pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Jenis-jenis pidana sebagaimana disusun seperti tersebut diatas adalah berdasarkan berat ringannya pidana, dan berkaitan erat dengan masalah pemidanaan dan penjatuhan pidana yang diputuskan oleh hakim dalam setiap persidangan. b. Tujuan Pemidanaan Dewasa ini masalah pidana dan pemidanaan, baik dalam bentuk teori-teori pembenaran pidana maupun dalam bentuk kebijakan dipandang sangat penting, sebab dari sini akan tercermin sistem nilainilai sosial budaya suatu bangsa, khususnya menyangkut persepsi suatu bangsa terhadap hak-hak asasi manusia. Menurut Soedarto, masalah pemidaan ini mempunyai dua arti, sebagai berikut: 1) Dalam arti umum, menyangkut pembentuk undang-undang, ialah menetapkan stelsel sanksi hukum pidana (pemidanaan in abstrakto). 2) Dalam arti konkrit menyangkut berbagai badan atau jawatan yang kesemuanya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana itu.32 Menurut H. L. Packer, menyebut “punishment” pembenarannya didasarkan pada satu atau dua tujuan, sebagai berikut: 1) Untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak dikehendaki atau perbuatan yang salah; 2) Untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada si pelanggar. 33
32
Ibid,. hlm. 42.
23
Secara tradisional teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok teori, yaitu teori absolut atau teori pembalasan (retributive vergeldings theorieen) dan teori relatif atau teori tujuan (utilitarian doeltheorieen). Berikut ini diuraikan mengenai kedua teori tersebut di atas, menurut para ahli: 1) Teori absolut Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukansuatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran dari pidana terletak pada ada atau terjadinya kejahatan itu sendiri.34 Menurut Johannes Andenaes tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori absolut ialah untuk “memuaskan tuntutan keadilan” (to satisfy the claims of justice) sedangkan pengaruhpengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder.35 Tuntutan keadilan ini menurut Emanuel Kant, pidana merupakan suatu tuntutan kesusilaan dan pidana sebagai “Katagorische Imperatief” yaitu seseorang harus dipidana oleh Hakim karena ia telah melakukan
33
Muladi dan Nawawi, 1984, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, hlm.
34
Ibid,. hlm. 11. Ibid.
6. 35
24
kejahatan. Pidana bukan suatu alat untuk mencapai suatu tujuan, melainkan mencerminkan keadilan.36 Menurut Nigel Walker penganut teori retributif dapat dibagi dalam beberapa golongan, yaitu: a) Penganut teori retributif yang murni (The Pure Retributivist) yang berpendapat bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si pembuat. b) Penganut teori retributif tidak murni (dengan modifikasi) yang dapat pula dibagi dalam: i. Penganut teori retributif yang terbatas (The Limiting Retributivist) yang berpendapat: Pidana tidak cocok/sepadan dengan kesalahan, hanya saja tidak boleh melebihi batas yang cocok/sepadan dengan kesalahan terdakwa. ii. Penganut teori retributif yang distributif (Retribution in Distribution), disingkat dengan sebutan “distributive” yang berpendapat: Pidana janganlah dikenakan pada orang yang tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak harus cocok/sepadan dan dibatasi oleh kesalahan. Prinsip “tiada pidana tanpa kesalahan” dihormati tetapi dimungkinkan adanya pengecualian misalnya dalam hal “strict liability”.37 2) Teori relatif Menurut teori relatif, memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Tetapi pemidanaan hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Dengan demikian dalam teori ini pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat oleh karena itu, teori ini pun sering disebut teori tujuan (Utilitarian
36 37
Ibid,. hlm. 11-12. Ibid,. hlm. 12-13.
25
Theory).38 Karakteristik atau ciri-ciri pokok antara teori retributif dan teori utilitarian dikemukakan oleh Karl O. Christiansen, yaitu: a) Pada teori retributif: i. tujuan pidana semata-mata untuk pembalasan; ii. didalamnya tidak mengandung tujuan lain; iii. kesalahan satu-satunya syarat adanya pidana; iv. pidana harus seuai dengan kesalahan; v. pidana melihat kebelakang, yaitu sebagai pencelaan yang murni, tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar; b) Pada teori utilitarian: i. tujuan pidana adalah pencegahan (prevention); ii. pencegahan sebagai sarana untuk kesejahteraan masyarakat; iii. hanya karena sengaja atau culpa yang memenuhi syarat untuk dapat dipidana; iv. pidana ditetapkan dengan tujuan sebagai sarana untuk pencegahan kejahatan; v. pidana melihat kedepan (prospektif), pencelaan ataupun pembalasan semata tidak dapat diterima bila tidak membantu pencegahan untuk kesejahteraan 39 masyarakat. Mengenai tujuan pemidanaan untuk pencegahan kejahatan ini, menurut Muladi, bisa dibedakan dalam istilah prevensi spesial dan prevensi general atau sering juga digeunakan istilah “special deterrence” dan “general deterrence”, dijelaskan dengan prevensi special dimaksudkan pengaruh pidana terhadap terpidana. Jadi pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku si terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Teori tujuan pidana serupa ini dikenal dengan sebutan Reformation atau Rehabilitation Theory. Dengan prevensi general
38 39
Ibid,. hlm. 16. Ibid,. hlm. 17.
26
dimaksudkan pengaruh pidana pada masyarakat pada umumnya. Artinya pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana.40 Ada pula teori yang merupakan penggabungan dari keduanya, yang disebut Teori Gabungan (Verengings Theoreen). Teori ini tetap menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun pidana juga mempunyai pengaruh perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general.41 B. Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang bila dilanggar maka pelakunya akan mendapatkan sanksi yang jelas dan sesuai dengan KUHP. Dari jenis tindak pidana dalam KUHP terdapat jenis tindak pidana yang hanya dapat dilakukan penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan, hal ini diatur dalam Bab VII KUHP tentang mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal kejahatan-kejahatan yang hanya dituntut atas pengaduan. Salah satu tindak pidana aduan adalah tindak pidana pencemaran nama baik. 1. Pengertian Pencemaran Nama Baik Ukuran suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik orang lain masih belum jelas karena banyak faktor yang harus
40 41
Ibid,. hlm. 17-18. Ibid,. hlm. 19.
27
dikaji. Dalam hal pencemaran nama baik atau penghinaan yang hendak dilindungi adalah kewajiban setiap orang untuk menghormati orang lain dari sudut kehormatannya dan nama baiknya dimata orang lain. Adanya hubungan antara kehormatan dan nama baik dalam hal pencemaran nama baik tersebut, maka dapat dilihat dahulu pengertiannya masing-masing. Kehormatan adalah perasaan terhormat seseorang dimata masyarakat, dimana setiap orang memiliki hak untuk diperlakukan sebagai anggota masyarakat yang terhormat. Menyerang kehormatan berarti melakukan perbuatan menurut penilaian secara umum menyerang kehormatan seseorang. Rasa hormat dan perbuatan yang termasuk kategori menyerang
kehormatan
seseorang
ditentukan
menurut
lingkungan
masyarakat pada tempat perbuatan tersebut dilakukan.42 Rasa kehormatan ini harus diobjektifkan sedemikian rupa dan harus ditinjau dengan suatu perbuatan tertentu, seseorang pada umumnya akan merasa tersinggung atau tidak. Dapat dikatakan pula bahwa seorang anak yang masih sangat muda belum dapat merasakan tersinggung ini, dan bahwa seorang yang sangat gila tidak dapat merasa tersinggung itu. Maka, tidak ada tindak pidana penghinaan terhadap kedua jenis orang tadi.43 Nama baik adalah penilaian baik menurut anggapan umum tentang perilaku atau kepribadian seseorang dari sudut moralnya. Nama baik seseorang selalu dilihat dari sudut orang lain, yakni moral atau kepribadian
42
Mudzakir, 2004, Delik Penghinaan dalam Pemberitaan Pers Mengenai Pejabat Publik, Dictum 3, hlm 17. 43 Wiryono Prodjodikoro, op. cit. hlm. 98.
28
yang baik, sehingga ukurannya ditentukan berdasarkan penilaian secara umum dalam suatu masyarakat tertentu di tempat mana perbuatan tersebut dilakukan dan konteks perbuatannya.44 Pencemaran nama baik dikenal juga istilah penghinaan, yang pada dasarnya adalah menyerang nama baik dan kehormatan seseorang yang bukan dalam arti seksual sehingga orang itu merasa dirugikan. Kehormatan dan nama baik memiliki pengertian yang berbeda, tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, karena menyerang kehormatan akan berakibat kehormatan dan nama baiknya tercemar, demikian juga menyerang nama baik akan berakibat nama baik dan kehormatan seseorang dapat tercemar. Oleh sebab itu, menyerang salah satu diantara kehormatan atau nama baik sudah cukup dijadikan alasan untuk menuduh seseorang telah melakukan penghinaan.45 Oemar Seno Adji mendefinisikan pencemaran nama baik sebagai menyerang kehormatan atau nama baik (aanranding of geode naam).46 Salah satu bentuk pencemaran nama baik adalah “…, pencemaran nama baik secara tertulis dan dilakukan dengan menuduhkan sesuatu hal,…”. 47 2. Bentuk Pencemaran Nama Baik Pencemaran nama baik terlihat dari 2 macam, yaitu pencemaran nama baik secara lisan, dan pencemaran nama baik secara tertulis. Dalam
44
Mudzakir, op. cit. hlm. 18. Ibid. 46 Oemar Seno Adji, 1990, Perkembangan Delik Pers di Indonesia, Jakarta: Erlangga, 45
hlm. 36. 47
Ibid.
29
bukunya, Oemar Seno Adji menyatakan pencemaran nama baik dikenal dengan istilah penghinaan, dimana dibagi menjadi sebagai berikut :48 a. Penghinaan materiil Penghinaan yang terdiri dari suatu kenyataan yang meliputi pernyataan yang objektif dalam kata-kata secara lisan maupun secara tertulis, maka yang menjadi faktor menentukan adalah isi dari pernyataan baik yang digunakan secara tertulis maupun lisan. Masih ada kemungkinan untuk membuktikan bahwa tuduhan tersebut dilakukan demi kepentingan umum. b. Penghinaan formil Dalam hal ini tidak dikemukakan apa isi dari penghinaan, melainkan bagaimana pernyataan yang bersangkutan itu dikeluarkan. Bentuk dan caranya yang merupakan faktor menentukan. Pada umumnya cara menyatakan adalah dengan cara-cara kasar dan tidak objektif. Kemungkinan untuk membuktikan kebenaran dari tuduhan tidak ada dan dapat dikatakan bahwa kemungkinan tersebut adalah ditutup. Hukum pidana mengatur penghinaan dalam KUHP pada BAB XVI, Pasal 310 KUHP sampai dengan Pasal 321 KUHP, penghinaan dalam bab ini meliputi enam macam penghinaan yaitu: 1) Pasal 310 ayat (1) KUHP mengenai pencemaran; Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seorang, dengan menuduh suatu hal, yang dimaksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Banyak pakar yang menggunakan istilah “menista”. Perkataan “menista” berasal dari kata “nista”. Sebagian pakar menggunakan kata “celaan”. Perbedaan istilah tersebut disebabkan penggunaan kata-kata dalam menerjemahkan kata “smaad” dari Bahasa Belanda. Kata “nista”
48
Ibid,, hlm. 37-38.
30
dan kata “celaan” merupakan kata sinonim.49 Unsur-unsur Pasal 310 ayat (1) KUHP, dibagi dua yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur-Unsur Objektif: a) Barangsiapa; b) Menyerang kehormatan atau nama baik ”seseorang”; c) Dengan menuduhkan suatu hal. Unsur Subjektif: a) Dengan maksud yang nyata (kenlijk doel) supaya tuduhan itu diketahui umum (ruchtbaarheid te geven); b) Dengan sengaja (opzettelijk); 2) Pasal 310 ayat (2) KUHP mengenai pencemaran tertulis; Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka yang bersalah, karena pencemaran tertulis, diancam pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Istilah “menista secara tertulis” oleh beberapa pakar dipergunakan istilah “menista dengan tulisan”. Perbedaan tersebut disebabkan pilihan kata-kata untuk menerjemahkan yakni kata smaadschrift yang dapat diterjemahkan
dengan
kata-kata
yang
bersamaan
atau
hampir
bersamaan.50 Berdasarkan rumusan diatas maka menista dan menista dengan tulisan mempunyai unsur-unsur yang sama, bedanya adalah bahwa
49
Leden Marpaung, 1997, Tindak Pidana Terhadap Kehormatan, Pengertian dan Penerapannya, Jakarta: PT Grafindo Persada, hlm. 11. 50 Ibid., hlm. 17.
31
menista dengan tulisan dilakukan dengan tulisan atau gambar sedangkan unsur-unsur lainnya tidak berbeda. Unsur-unsur tersebut yaitu: a) Barangsiapa; b) Dengan sengaja; c) Menyerang kehormatan atau nama baik ”seseorang”; d) Dengan tulisan atau gambar yang disiarkan; e) Dipertunjukkan pada umum atau ditempelkan. 3) Pasal 311 ayat (1) KUHP mengenai memfitnah; Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis, dalam hal diperbolehkan untuk membuktikan bahwa apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam karena melakukan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Kata “fitnah” sehari-hari umumnya diartikan sebagai yang dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yakni: “perkataan yang dimaksud menjelekkan orang….”. Dalam ilmu hukum pidana, fitnah adalah menista atau menista dengan surat/tulisan tetapi yang melakukan perbuatan itu, diizinkan membuktikannya dan ternyata, tidak dapat membuktikannya.51 Menurut Pasal 313 KUHP, membuktikan kebenaran ini juga tidak diperbolehkan apabila kepada si korban dituduhkan suatu tindak pidana yang hanya dapat dituntut atas pengaduan, dan pengaduan ini in concreto tidak ada.52
51 52
Ibid., hlm. 31. Wirjono Prodjodikoro, op. cit. hlm. 101.
32
Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 311 ayat (1) KUHP tampaknya erat terkait dengan ketentuan Pasal 310 KUHP. Sehingga dapat ditarik unsur-unsur kejahatan yang terkandung yaitu: a) Semua unsur (objektif dan subjektif) dari : i.
pencemaran [Pasal 310 ayat (1)]; atau
ii.
pencemaran tertulis [Pasal 310 ayat (2)]
b) Si pembuat dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkannya itu benar; c) Tetapi si pembuat tidak dapat membuktian kebenaran tuduhannya; d) Apa yang menjadi isi tuduhannya adalah bertentangan dengan yang diketahuinya. 4) Pasal 315 KUHP mengenai penghinaan ringan; Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis, yang dilakukan terhadap seorang, baik dimuka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan, dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Kata “penghinaan ringan” diterjemahkan dari bahasa Belanda yaitu kata eenvoudige belediging; sebagian pakar menerjemahkan kata eenvoudige dengan kata “biasa”, sebagian bakar lainnya menerjemahkan dengan kata “ringan”. Dalam Kamus Bahasa Belanda, kata eenvoudige:
33
sederhana, bersahaja, ringan. Dengan demikian, tidak tepat jika dipergunakan kata penghinaan biasa.53 Unsur-unsur Pasal 315 KUHP: Unsur Objektif: a. Setiap penghinaan yang tidak bersifat pencemaran (dengan lisan) atau pencemaran tertulis; b. Yang dilakukan terhadap seseorang dimuka umum dengan lisan atau tulisan, maupun dimuka orang itu sendiri degan lisan atau perbuatan; c. Dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya Unsur Subjektif: Dengan sengaja. 5) Pasal 317 ayat (1) KUHP mengenai mengadu secara memfitnah; Barangsiapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Maka unsur-unsur dalam Pasal 317 ayat (1) KUHP adalah: Unsur Objektif: a. Mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan; b. Tentang seseorang kepada penguasa; c. Sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang. Unsur Subjektif: Dengan sengaja.
53
Leden Marpaung, op. cit., hlm. 41.
34
Penguasa dalam pengertian semua instansi dan pejabat yang mempunyai wewenang hukum publik. 6) Pasal 318 ayat (1) KUHP mengenai tuduhan secara memfitnah. Barangsiapa dengan sesuatu perbuatan sengaja menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang bahwa dia melakukan sesuatu perbuatan pidana, diancam, karena menimbulkan persangkaan palsu, dengan dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Jadi unsur-unsur Pasal 318 ayat (1) KUHP adalah: Unsur Objektif: Sesuatu perbuatan sengaja menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang bahwa dia melakukan sesuatu perbuatan pidana. Unsur Subjektif: Dengan sengaja. Perbuatan yang dilarang adalah: Dengan sengaja melakukan perbuatan dengan maksud menuduh seseorang secara palsu, bahwa ia telah melakukan perbuatan yang dapat dihukum (tindak pidana), tuduhan mana ternyata palsu. 54 Dalam kejahatan ini, terhadap seseorang yang tidak ada hubungannya dengan seseuatu tindak pidana yang telah terjadi, dilakukan suatu perbuatan, hingga ia dicurigai sebagai pelaku dari tindak pidana itu. Semua penghinaan ini hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang atau korban, yang dikenal dengan delik aduan, kecuali bila penghinaan ini dilakukan terhadap seseorang pegawai negeri pada waktu
54
H. A. K. Moh Anwar, 1994, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid 1, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 145.
35
sedang menjalankan tugasnya secara sah. Objek dari penghinaanpenghinaan diatas haruslah manusia perorangan, maksudnya bukan instansi pemerintah, pengurus suatu organisasi, segolongan penduduk, dan sebagainya.55 Supaya dapat dihukum dengan pasal menista atau pencemaran nama baik, maka penghinaan harus dilakukan dengan cara menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang tertentu dengan maksud tuduhan itu akan diketahui oleh banyak orang baik secara lisan maupun tertulis, atau kejahatan menista ini tidak perlu dilakukan di muka umum, sudah cukup bila dapat dibuktikan bahwa terdakwa bermaksud menyiarkan tuduhan itu.56 Menurut Pasal 310 ayat (3) KUHP, perbuatan menista atau menista dengan tulisan tidak dihukum apabila dilakukan untuk membela kepentingan umum atau terpaksa dilakukan untuk membela diri. Patut atau tidaknya alasan pembelaan diri atau kepentingan umum terletak pada pertimbangan hakim, sehingga apabila oleh hakim dinyatakan bahwa penghinaan tersebut benar-benar untuk membela kepentingan umum atau membela diri maka pelaku tidak dihukum. Tetapi bila oleh hakim penghinaan tersebut bukan untuk kepentingan umum atau membela diri, pelaku dikenakan hukuman Pasal 310 ayat (1) dan (2) KUHP, dan apabila yang dituduhkan oleh si pelaku tidak benar adanya, maka si pelaku dihukum dengan Pasal 311 KUHP, yaitu memfitnah. 57
55
R. Soesilo, 1990, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Serta Komentarnya Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, hlm. 225. 56 Ibid,, hlm. 226. 57 Ibid.
36
3. Pencemaran Nama Baik Merupakan Tindak Pidana Aduan Tindak pidana pencemaran nama baik merupakan tindak pidana atau delik aduan. Delik adalah terjemahan dari kata Strafbaar feit. Menurut Samidjo delik adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan hukum lainnya, yang dilakukan dengan sengaja atau dengan salah (schuld), oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.58 a. Pengertian Tindak Pidana Aduan Pada kejahatan terdapat sejumlah tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan. 59 KUHP secara tegas tidak memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan tindak pidana aduan. Tindak pidana aduan sering disebut juga delik aduan. Pengertian dan defenisi yang jelas dapat ditemui melalui argumentasi dari para pakar di bidang ilmu hukum pidana, antara lain: 1) Menurut Samidjo Delik aduan (klacht delict) adalah suatu delik yang diadili apabila yang berkepentingan atau yang dirugikan melakukannya. Bila tidak ada pengaduan, maka Jaksa tidak akan melakukan penuntutan.60 2) Menurut R. Soesilo ……dari banyak peristiwa pidana itu hampir semuanya kejahatan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan (permintaan) dari
58
Samidjo, 1985, Pengantar Hukum Indonesia, Bandung: Armico, hlm. 154-155. P.A.F Lamintang, op. cit. hlm. 207. 60 Samidjo, op. cit. hlm. 156. 59
37
orang yang kena peristiwa pidana. Peristiwa pidana semacam ini disebut delik aduan.61 3) Menurut P. A. F Lamintang Tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Tindak pidana seperti ini disebut Klacht Delicten.62 Arti penuntutan menurut Pasal 1 angka (7) KUHAP: Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Apakah yang dimaksud dengan pengaduan (klacht)? Pengaduan ialah suatu pernyataan tegas (lisan atau tertulis atau dituliskan) dari seseorang yang berhak (mengadu) yang disampaikan kepada pejabat penyelidik atau pejabat penyidik (Kepolisisan RI) tentang telah diperbuatnya suatu tindak pidana (in casu kejahatan aduan) oleh seseorang, dengan disertai permintaan agar dilakukan pemeriksaan untuk selanjutnya dilakukan penuntutan ke pengadilan yang berwenang. 63 Jadi ada dua unsur esensial pengaduan yaitu: 1) Pernyataan tentang telah diperbuatnya tindak pidana oleh seseorang, disertai
61
R. Soesilo, op. cit. hlm. 87. P.A.F Lamintang, op. cit. hal. 207. 63 Adami Chazawi, 2007. Pelajaran Hukum Pidana 2, Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan dan Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan dan Ajaran Kausalitas. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hlm 201. 62
38
2) Permintaan untuk diadakan pemeriksaan (penyidikan) untuk dilakukan penuntutan pidana ke sidang pengadilan.64 Menurut Adami Chazawi, walaupun ada persamaan sifat dengan laporan, karena laporan juga merupakan pernyataan mengenai telah diperbuatnya tindak pidana, namun ada perbedaan yang mendasar dengan pengaduan. Perbedaan itu adalah: 1) Pada pelaporan cukup sekedar menyampaikan (berisi) keterangan atau informasi tentang adanya peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Sedangkan pada pengaduan disamping berupa informasi tentang diperbuatnya tindak pidana, juga harus disertai permintaan yang tegas kepada pejabat penerima pengaduan agar tindak pidana itu diusut dan kemudian dilakukan penuntutan pidana ke sidang pengadilan; 2) Pelaporan (aangifte) dapat dilakukan oleh siapa saja, baik korban ataupun bukan, baik orang dewasa maupun anak yang belum cukup umurnya (belum dewasa). Sedangkan pengaduan (klacht) hanya dapat dilakukan oleh orang yang berhak saja (korban, kuasanya, walinya dan lain-lain); 3) Pelaporan dapat diajukan mengenai semua tindak pidana (kejahatan maupun pelanggaran). Sedangkan pengaduan hanya dapat dilakukan pada kejahatan-kejahatan (aduan) saja; 4) Pelaporan tidak merupakan syarat untuk dapatnya dilakukan penuntutan pidana terhadap si pembuatnya. Sebaliknya pengaduan adalah merupakan syarat esensial untuk dapatnya Negara melakukan penuntutan pidana.65 Dari pendapat diatas penuntutan delik aduan hanya dapat diterima apabila telah masuk pengaduan dari korban atau dari seseorang yang berhak mengadu/apabila pengajuan suatu delik aduan ke pengadilan tanpa dilengkapi dengan pengaduan (tertulis atau lisan yang dicatat oleh petugas penerima aduan) harus dinyatakan sebagai tidak dapat diterima.
64 65
Ibid. Ibid. hlm. 201-202.
39
Alasan untuk menjadikan delik menjadi delik aduan adalah bahwa dalam hal-hal tertentu, kepentingan seorang yang berhak mengadu akan lebih dirugikan apabila perkara itu disidangkan, dibandingkan dengan kepentingan umum. Sering timbul pertanyaan apakah polisi bila melihat seorang yang melakukan sesuatu delik aduan dapat segera bertindak, ataukah harus menunggu datangnya pengaduan dari orang yang berkepentingan? Jika melihat bunyi undang-undang bahwa yang digantungkan kepada pengaduan itu adalah penuntutannya dan bukan penyelidikannya atau pengusutannya, maka polisi sebagai pegawai penyelidik (bukan pegawai penuntut) sudah dapat bertindak sebelum adanya pengaduan. 66 b. Jenis-Jenis Delik Aduan Kejahatan yang merupakan delik aduan itu tidak terkumpul dalam satu Bab, akan tetapi tersebar dalam pasal-pasal mengenai beberapa jenis kejahatan di Buku II. Menurut Adami Chazawi, kejahatan-kejahatan yang tersebar dalam pasal-pasal Buku II, antara lain ialah: 1) Pasal 284 KUHP: kejahatan zina; 2) Pasal 287 KUHP: bersetubuh dengan perempuan luar kawin yang umurnya belum 15 tahun atau belum waktunya untuk dikawinkan; 3) Pasal 293 KUHP: menggerakkan seseorang yang baik tingkah lakunya untuk melakukan perbuatan cabul dengan dia; 4) Pasal 319 KUHP (jo 310-318 KUHP): segala bentuk penghinaan kecuali Pasal 316 KUHP; 5) Pasal 320 KUHP: pencemaran terhadap orang yang sudah meninggal;
66
P.A.F Lamintang, loc. cit.
40
6) Pasal 321 KUHP: menyiarkan mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan atau gambar yang isinya menghina orang yang sudah meninggal; 7) Pasal 322 KUHP: membuka rahasia yang wajib disimpan karena jabatan atau pencarian; 8) Pasal 323 KUHP: memberitahukan hal-hal khusus tentang suatu perusahaan dimana dia bekerja atau dulu bekerja yang harus dirahasiakannya; 9) Pasal 332 KUHP: melarikan perempuan belum dewasa atas persetujuannya yang tanpa dikehendaki orang tuanya; 10) Pasal 367 KUHP (jo 362, 363, 364, atau 365 KUHP): segala bentuk pencurian dalam kalangan keluarga; 11) Pasal 369 KUHP: kejahatan mengancam; 12) Pasal 370 KUHP (jo 368, 369 KUHP): pemerasan dan pengancaman dalam kalangan keluarga; 13) Pasal 376 KUHP (jo 372-375 KUHP): semua bentuk penggelapan dalam kalangan keluarga; 14) Pasal 394 KUHP (jo 378-393 bis KUHP): semua bentuk penipuan (bedrog) dalm kalangan keluarga, kecuali Pasal 393 bis ayat (2) KUHP.67 Menurut sifatnya Adami Chazawi membedakan delik aduan atas dua bagian yaitu delik aduan mutlak dan delik aduan relatif. Sementara Satochid membedakannya atas delik pengaduaun absolut (absolute klachtdelicten) dan delik aduan relatif (relative klachtdelicten). Dari kedua ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa delik aduan dibedakan atas dua jenis, yaitu delik aduan absolut atau mutlak (absolute klachtdelicten) dan delik aduan relatif (relative klachtdelicten). 1) Delik Aduan Absolut atau Mutlak (Absolute Klachtdelicten) Delik aduan absolut atau mutlak adalah kejahatan yang pada dasarnya adalah berupa kejahatan aduan, artinya untuk segala hal dan atau kejadian diperlukan syarat pengaduan untuk dapatnya negara
67
Adam Chazawi, op. cit. hlm. 203-204.
41
melakukan penuntutan mengenai perkara itu.68 Sifat pengaduan dalam delik aduan absolut (absolute klachtdelicten) ialah, bahwa pengaduan tidak boleh dibatasi pada beberapa orang tertentu, melainkan dianggap ditujukan kepada siapa saja yang melakukan kejahatan yang bersangkutan. Dalam hal ini dikatakan, bahwa pengaduan ini tidak dapat dipecah-pecah (onsplitsbaar). Saat dimulainya pemeriksaan perkara di depan pengadilan, maka pengaduan tersebut tidak dapat ditarik kembali (Pasal 284 ayat 4 KUHP). Dalam tindak pidana aduan absolut yang dituntut adalah peristiwanya, sehingga permintaan penuntutan dalam pengaduan harus berbunyi: “saya minta agar peristiwa ini dituntut”.69 Semua orang yang tersangkut dalam perkara itu harus dituntut dan tidak dapat dibelah (spleit). Akan tetapi meskipun belum ada pengaduan dari yang berkepentingan, polisi tidak dilarang untuk mengadakan pemeriksaan. Kejahatan-kejahatan yang termasuk didalam delik aduan absolut yang diatur dalam KUHP, yaitu kejahatan pada Pasal-pasal: 284, 287, 293, 319 (jo 310-318), 322 serta Pasal 332 KUHP.70 a) Kejahatan Kesusilaan (zedenmisdrijven), yang diatur dalam Pasal 284 KUHP tentang “zina” (overspel), Pasal 287 KUHP tentang “perkosaan” (verkrachting), Pasal 293 KUHP tentang “perbuatan
68
Ibid. P.A.F Lamintang, loc. cit. 70 Adam Chazawi, loc. cit. 69
42
cabul” (ontucht), didalam salah satu ayat dari pasal itu ditentukan bahwa penuntutan harus dilakukan pengaduan. b) Kejahatan Penghinaan, yang diatur dalam Pasal 310 KUHP tentang “menista” (menghina), Pasal 311 KUHP tentang “memfitnah” (laster), Pasal 315 KUHP tentang “penghinaan sederhana” (oenvoudige belediging), Pasal 316 KUHP (penghinaan itu terhadap seorang pejabat pemerintah atau pegawai negeri yang sedang
melakukan
tugas
secara
sah,
untuk
menuntutnya
berdasarkan Pasal 319 KUHP, tidak diperlukan pengaduan). c) Kejahatan membuka rahasia (schending van geheimen), yang diatur dalam Pasal 322 KUHP dan Pasal 323 KUHP, yaitu bahwa guna melakukan penuntutan terhadap kejahatan ini harus dilakukan pengaduan, ditentukan dalam ayat terakhir dari kedua pasal itu. 2) Delik Aduan Relatif (Relative Klachtdelicten) Delik aduan relatif adalah kejahatan yang pada dasarnya bukan berupa kejahatan aduan, melainkan dalam hal-hal atau keadaan tertentu saja kejahatan itu menjadi kejahatan aduan.71 Hanya karena adanya unsur-unsur tertentu saja, syarat pengaduan untuk melakukan penuntutan diperlukan. Sedangkan dalam keadaan biasa artinya tanpa adanya unsur tertentu, syarat pengaduan tidak diperlukan untuk melakukan penuntutan. Contohnya pencurian dalam segala bentuknya (Pasal 362-365 KUHP) pada dasarnya bukan kejahatan aduan, akan
71
Ibid.
43
tetapi bila ada unsur dalam kalangan kelurga atau kejahatan itu dilakukan dalam kalangan keluarga, maka menjadi kejahatan aduan (relatif). Contoh lainnya antara lain Pasal-pasal: 370 (jo 368,369), 376 (jo 372-375), 394 (jp 378-393 KUHP).72 a) Pasal 367 KUHP tentang kejahatan pencurian yang biasa disebut “pencurian di dalam lingkungan keluarga”, b) Pasal 369 jo Pasal 370 jo Pasal 367 KUHP tentang pemerasan dengan menista (afdreigging atau chantage), misalnya A mengetahui rahasia B, kemudian datang pada B dan minta suaya B memberi uang kepada A dengan ancaman, jika tidak mau memberikan uang itu, rahasianya akan dibuka. Oleh karena B takut akan dimalukan, maka ia terpaksa memberi uang itu, c) Pasal 372 jo Pasal 376 jo Pasal 367 KUHP tentang penggelapan yang dilakukan dalam kalangan kekeluargaan, d) Pasal 378 jo Pasal 394 jo Pasal 367 KUHP tentang penipuan yang dilakukan dalam kalangan kekeluargaan. Hubungan
kekeluargaan
harus
dinyatakan
pada
waktu
mengajukan pengaduan. Penuntutan hanya terbatas pada orang yang disebutkan dalam pengaduannya. Apabila, misalnya, yang disebutkan ini hanya si pelaku kejahatan, maka terhadap si pembantu kejahatan, yang mungkin juga berkeluarga dekat, tidak dapat dilakukan
72
Ibid.
44
penuntutan. Dengan demikian pengaduan ini adalah dapat dipecahpecah (splitsbaar). c. Hak Mengadu Bab VII Buku I KUHP, tidak disebutkan mengenai siapa yang mempunyai hak orijiner untuk mengadukan seseorang yang telah melakukan suatu delik aduan. Pada dasarnya orang yang berhak mengajukan pengaduan adalah orang yang terkena kejahatan (korban).73 Pasal 72 KUHP hanya menentukan mengenai siapa-siapa yang berhak maju sebagai pengadu atau yang berhak menggantikan pengadu yang orijiner. Pasal 72 KUHP, menentukan: Pasal 72 KUHP ayat (1) Selama orang yang terkena kejahatan yang hanya dituntut atas pengaduan, belum enam belas tahun dan juga belum cukup umur atau orang yang dibawah pengampuan karena suatu sebab lainnya keborosan, maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah dalam perkara perdata. Pasal 72 KUHP ayat (2) Jika itu tidak ada, atau harus diadukan sendiri, maka penuntutan dilakukan atas pengaduan wali pengawas atau pengampu pengawas, atau majelis yang menjadi pengampu pengawas: juga mungkin atas pengaduan istrinya, atau seorang keluarga sedarah dalam garis lurus atau jika itu tidak ada, atas pengaduan seorang keluarga sedarah dalam garis menyimpang sampai derajat ketiga. Jika tidak ada wakil sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 72 ayat (1), atau wakilnya itu sendiri adalah si pembuat yang harus diadukan, maka orang yang berhak mengajukan pengaduan itu adalah:
73
Ibid., hlm. 205.
45
1) Wali Pengawas; 2) Pengampu Pengawas; 3) Majelis yang menjadi wali pengawas atau menjadi pengampu pengawas; 4) Istrinya; 5) Salah satu dari keluarga sedarah dalam garis lurus, atau jika itu tidak ada, maka pengaduan dilakukan oleh; 6) Salah satu dari keluarga sedarah dalam garis menyimpang sampai derajat ketiga (Pasal 72 ayat 2 KUHP).74 Apabila seorang yang terkena delik aduan belum berusia enam belas tahun dan belum dewasa, atau seseorang yang dibawah pengampunan bukan karena sifat boros, yang berhak maju sebagai pengadu adalah wakilnya yang sah dalam perkara perdata. Hal ini berarti, bila mengadukan bukan wakil yang sah tersebut, maka pengaduan itu tidak sah dan karenanya delik itu tidak dapat dituntut karena syarat keabsahan pengaduan tidak dipenuhi. Bagaimana jika korban yang berhak mengadu kemudian meninggal dunia, apakah dengan demikian hak pengaduan dalam hal perkara itu menjadi hapus? Pasal 73 KUHP, menentukan: Jika yang terkena kejahatan meninggal di dalam tenggang yang ditentukan dalam pasal berikut, maka tanpa memperpanjang tenggang itu, penuntutan dilakukan atas pengaduan orang tuanya,
74
Ibid,. hlm. 206.
46
anaknya, atau suaminya (istrinya) yang masih hidup, kecuali kalau ternyata bahwa yang meninggal tidak menghendaki penuntutan. Dari norma Pasal 73 KUHP, orang yang terlanggar kepentingan hukumnya oleh kejahatan aduan, meskipun kemudian meninggal, maka hak mengajukan pengaduan itu tetap berlangsung selama tenggang waktu hak mengadu masih ada (masih berlangsung) sesuai dengan Pasal 74 KUHP. Hak pengaduan itu beralih pada para ahli warisnya sebagaimana disebutkan secara limitatif dalam Pasal 73 KUHP. Hak pengaduan oleh ahli waris dari korban kejahatan aduan yang dimaksud oleh Pasal 73 KUHP ini tidak berlaku dalam hal kejahatan aduan perzinahan (Pasal 284 ayat 3 KUHP).75 Dapat disimpulkan orang-orang yang berhak untuk mengajukan pengaduan
dalam
kejahatan-kajahatan
yang
diisyaratkan
adanya
pengaduan untuk penuntutan perkaranya, yakni: orang-orang yang terkena peristiwa pidana itu atau dapat juga disebut sebagai “orang-orang terhadap siapa kejahatan itu ditujukan”. Walaupun delik-delik aduan itu tidak diatur secara tersendiri dalam KUHP, maka yang berhak mengajukan pengaduan juga diatur secara tersebar. Namun demikian, generalisasi untuk hal ini dapat dilakukan, yakni bahwa si pengadu adalah orang yang terhina dan menderita secara langsung karena kejahatan itu. Tentang pengaduan ini Pasal 103 KUHAP:
75
Ibid,. hlm. 207.
47
1) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu; 2) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyelidik; 3) Dalam hal pelapor atau pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus disebutkan sebagai catatan dalam laporan atau pengaduan tersebut. d. Tenggang waktu hak mengadu dan menarik kembali pengaduan Pasal 74 KUHP menentukan bahwa tenggang waktu pengajuan pengaduan hanya enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya delik aduan jika ia berada di Indonesia, jika ia berada di luar negeri batas waktunya sembilan bulan. Mengenai tenggang waktu pengaduan terdapat pengecualian pada Pasal 293 ayat (3) KUHP yaitu 9 bulan bila ia bertempat tinggal di Indonesia dan 12 bulan bila berada di luar
Indonesia.76
Pengecualian
ini
dibuat
dengan
perhitungan
kemungkinan kehamilan dari wanita yang bersangkutan. Sekalipun seseorang yang berhak mengadu sudah mengajukan pengaduan, namun kepadanya masih diberikan hak untuk menarik kembali pengaduannya dalam tenggang waktu 3 bulan sejak pengaduan diajukan, akan tetapi haknya untuk mengadu kembali telah hilang. Pengaduan yang telah diajukan dapat ditarik kembali bilamana masih dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan setelah pengaduan diajukan (Pasal 75 KUHP). Dalam hal berlakunya tenggang waktu tiga bulan itu dihitung mulai keesokan hari dari pengajuan pengaduan. Ketentuan boleh
76
Ibid.
48
ditariknya pengaduan ini memberikan kemungkinan apabila setelah pengaduan diajukan, si pengadu berubah pikiran karena misalnya si pembuat telah meminta maaf dan menyatakan penyesalannya atau istilah dalam praktik “telah berdamai”, maka pengadu dapat menarik kembali pengaduannya selama masih dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan. Setelah pengaduan ditarik, maka tidak dapat diajukan lagi.77 Tentang apa sebabnya pembentuk undang-undang mengenai mensyaratkan mengenai perlunya suatu pengaduan dalam tindak pidana diatas, undang-undang sendiri tidak memberikan penjelasannya. Menurut guru besar Von Liszt, Berner, dan Von Swinderen hal tersebut disebabkan oleh dipandang secara objektif dalam beberapa tindak pidana tertentu, kerugian materiil, dan kerugian idiil dari orang yang secara langsung telah dirugikan harus lebih diutamakan daripada kerugian lain pada umumnya.78 Menurut memori Penjelasan, disyaratkannya pengaduan dalam beberapa tindak pidana tertentu berdasarkan pertimbangan bahwa ikut campurnya penguasa dalam sesuatu kasus tertentu, dapat mendatangkan kerugian yang lebih besar bagi kepentingan-kepentingan tertentu dari orang yang telah dirugikan.79 Oleh sebab itu maka pemberian jangka waktu untuk mengajukan pengaduan ini memberikan kesempatan kepada mereka itu untuk mencari jalan keluar yang sebaik-baiknya sehingga baik
77
Ibid. hlm. 209-210. P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, 2010, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 27. 79 Ibid., hlm. 28. 78
49
pelaku maupun yang membantu melakukan, turut melakukan, orang yang membujuk, maupun orang yang menderita kerugian akibat terjadinya delik itu tidak mendapat malu karenanya. C. Badan Hukum 1. Pengertian Badan Hukum Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata sebagai badan hukum, atau dalam bahasa Belanda disebut rechtspersoon atau dalam bahasa Inggris dengan istilah legal person atau legal body, yang pada mulanya dikembangkan pada hukum Romawi, lebih dari seribu tahun yang lalu, tetapi hingga abad VIII, tidak mengalami perkembangan.80 Konsep badan hukum itu sebenarnya bermula dari konsep hukum perdata yang tumbuh akibat perkembangan masyarakat. Pengertian korporasi dalam hukum pidana Indonesia lebih luas dari pengertian badan hukum sebagaimana dalam konsep hukum perdata. Menurut beberapa peraturan perundang-undangan hukum pidana Indonesia dinyatakan bahwa pengertian korporasi itu adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan.81 Menurut Subekti dan Tjitrosudiro, yang dimaksud
80
H. Setiyono, 2001, Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, Malang: Bayumedia Publishing, hlm. 2. 81 Remy Syahdeini, 2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Grafiti Pers, hlm. 43.
50
dengan korporasi, adalah: “Suatu perseroan yang merupakan badan hukum”. Senada dengan pendapat tersebut, Utrecht dan M. Soleh Djindang, mengemukakan bahwa: “Korporasi adalah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu personifikasi.” Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban tersendiri yang terpisah dari hak dan kewajiban anggota masing-masing.82 2. Sejarah Badan Hukum sebagai Subjek Hukum Pidana Subjek perbuatan pidana yang diakui oleh KUHP adalah manusia (naturlijk person). Konsekuensinya, yang dapat menjadi pelaku perbuatan pidana adalah manusia. Hal ini dapat dilihat pada rumusan delik dalam KUHP yang dimulai dengan kata-kata “barangsiapa…”. Kata “barangsiapa” jelas menunjuk pada orang atau manusia, bukan badan hukum. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam ketentuan umum KUHP Indonesia yang digunakan sampai saat ini, Indonesia masih menganut bahwa suatu delik hanya dapat dilakukan oleh manusia. Sedangkan fiksi/badan hukum (rechts person) yang dipengaruhi oleh pemikiran Von Savigny yang terkenal dengan teori fiksi (fiction theory) tidak diakui dalam hukum pidana. Sebab pemerintah Belanda pada saat ini tidak bersedia mengadopsi ajaran hukum perdata ke dalam hukum pidana.83 Dewasa ini dalam kenyataan kemasyarakatan, bukan hanya manusia saja yang oleh hukum diakui sebagai subjek hukum. Untuk memenuhi
82 83
Chaidir Ali, 1991, Badan Hukum, Cet 2, Bandung: Alumni, hlm. 64. Mahrus Ali, op. cit. hlm. 111.
51
kebutuhan manusia itu sendiri, kini dalam hukum juga diberikan pengakuan sebagai subjek hukum pada yang bukan manusia yaitu badan hukum atau korporasi. Badan hukum adalah pendukung hak dan kewajiban berdasarkan hukum yang bukan manusia, yang dapat menuntut dan dapat dituntut subjek hukum lain dimuka pengadilan. Badan hukum sebenarnya hanyalah sekedar ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk adanya suatu badan yang diberi status sebagai subjek hukum, disamping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah (natuurlijk persoon). Usaha menjadikan korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana karena adanya hak dan kewajiban yang melekat padanya. Usaha tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa tidak jarang korporasi mendapat keuntungan yang banyak dari hasil kejahatan yang dilakukan oleh pengurusnya. Begitu juga dengan kerugian yang dialami oleh masyarakat yang disebabkan oleh tindakan-tindakan penguruspengurus korporasi. Oleh karenanya, dianggap tidak adil kalau korporasi tidak dikenakan hak dan kewajiban seperti halnya manusia. Kenyataan inilah yang kemudian memunculkan tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana.84 Pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana di Indonesia dapat ditemukan dalam berbagai perundang-undang di luar KUHP, yang secara khusus mencantumkan korporasi sebagai subjek hukum pidana. Peraturan perundang-undangan yang pertama kali menempatkan korporasi
84
Ibid., hlm. 111-112.
52
sebagai
subjek
hukum
pidana
dan
secara
langsung
dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana adalah Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi.85 Korporasi diakui sebagai subjek hukum pidana terbatas hanya pada peraturan perundang-undangan di luar KUHP. Sedangkan dalam KUHP korporasi sebagai subjek hukum pidana sampai saat ini belum diakui.86 KUHP sendiri saat ini masih tetap menganut subjek tindak pidana berupa “orang” (Pasal 59 KUHP). Subjek tindak pidana korporasi, dapat ditemukan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 1 angka (1) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada intinya menentukan: Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi dengan baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa korporasi telah berkembang menjadi subjek hukum. Menurut Barda Nawawi Arief, walaupun pada asasnya korporasi dapat dipertanggungjawabkan sama dengan orang pribadi, namun ada beberapa pengecualian, yaitu: a. Dilakukan perkara-perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan oleh korporasi, misalnya bigami, perkosaan, sumpah palsu.
85 86
Ibid., hlm. 113-114. Ibid,.
53
b. Dalam perkara yang satu-satunya pidana yang dapat dikenakan tidak mungkin dikenakan kepada korporasi misal pidana penjara atau pidana mati.87 Dari uraian diatas, dapatlah ditarik kesimpulan akhir sebagai berikut: 1. Apakah
subjek
hukum?
Subjek
hukum
adalah
manusia
yang
berkepribadian hukum dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat demikian itu oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban; 2. Siapakah subjek hukum? Jawaban hukum positif ialah bahwa dalam masyarakat dewasa ini mengenai siapa subjek hukum adalah manusia (naturlijkpersoon) dan badan hukum (rechtspersoon).88 3. Badan Hukum Dapat Menjadi Korban Pencemaran Nama Baik Badan hukum merupakan suatu bentukan hukum yang mempunyai hak dan kewajiban. Dikatakan bentukan hukum karena badan hukum memang merupakan ciptaan atau fiksi hukum yang sengaja diciptakan untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Sebagai subjek hukum yang diciptakan oleh undang-undang maka badan hukum memiliki pertanggungjawaban sendiri (eigen aansprakelijkheid), dapat melakukan perbuatan hukum, dapat menggugat maupun digugat di muka pengadilan. Atau dengan kata lain badan hukum diperlakukan sepenuhnya sebagai orang. Badan hukum dalam kasus pencemaran nama baik dapat menjadi korban sejauh mengenai kehormatan dan nama baik dari badan hukum yang
87
Barda Nawawi Arief, 1990, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Pers, hlm.
88
Chaidir Ali, op. cit. hlm. 11.
37.
54
dilakukan dengan sengaja. Karena dalam hal ini pada akhirnya akan berlaku juga bagi manusia yang dicemarkan dan dihina kehormatan dan nama baiknya, yaitu orang-orang yang ada dalam badan hukum tersebut, seperti pengurus dan anggota-angotanya. Maka bila badan hukum dicemarkan maka dapat melakukan penuntutan berdasarkan Pasal 310 KUHP. Berdasarkan yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No 68 K/Kr/1973 tanggal 16 Desember 1976, suatu badan hukum bisa menjadi korban pencemaran nama baik bukan hanya orang pribadi. Terdakwa dalam putusan MA itu adalah Koesnin Faqih. Pengadilan Negeri di Jakarta UtaraTimur menghukum Koesnin dengan penjara selama tiga bulan dengan masa percobaan 7 bulan karena dianggap bersalah melakukan penghinaan ringan sesuai Pasal 315 KUHP.
Disayangkan pada bagian pertimbangan
hukumnya, Majelis Kasasi tak menyinggung secara jelas mengenai bisa tidaknya badan hukum menjadi korban penghinaan. Sementara itu, jika suatu badan hukum dicemarkan maka yang dapat melaporkan tindak pidana tersebut adalah Direktur Utamanya. Hal tersebut didasarkan pada Pasal 1 ayat (5) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas: Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawabpenuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Menurut teori Organisme dari Otto von Gierke, Direksi adalah organ atau alat perlengkapan badan hukum. Seperti halnya manusia
55
mempunyai organ-organ, seperti tangan, kaki, mata, telinga dan seterusnya dan karena setiap gerakan organ-organ itu dikehendaki atau diperintahkan oleh otak manusia, maka setiap gerakan atau aktifitas Direksi badan hukum dikehendaki atau diperintah oleh badan hukum sendiri, sehingga Direksi adalah personifikasi dari badan hukum itu sendiri. Bertitik tolak dari pendapat tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Direksi PT itu bertindak mewakili PT sebagai badan hukum. D. Media Massa dan Pers 1. Pengertian Media Massa dan Pers Media massa (mass media) terdiri dari dua kata yaitu “media” dan “massa”. Penjelasan berikut ini lebih merupakan pemahaman arti kata dalam masyarakat, bukan dari sisi etimologis, karena pengertian media dari waktu ke waktu terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi, sosial politik dan persepsi masyarakat terhadap media.89 Media massa adalah suatu lembaga netral yang berhubungan dengan orang banyak atau lembaga yang netral bagi semua kalangan atau masyarakat banyak. Sering kali media massa juga diartikan sebagai penengah antara massa dan elit, forum yang menjadi perantara antara masyarakat dan pemerintah, dan sebagainya.90 Menurut Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila, istilah pers, atau press berasal dari istilah Latin pressus artinya tekanan, tertekan,
89
Hari Wiryawan, 2007, Dasar-dasar Hukum Media, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm.
90
Ibid, hlm. 56.
54.
56
terhimpit, padat.91 Pers dalam kosa kata Indonesia berasal dari bahasa Belanda yang mempunyai arti sama dengan bahasa Inggris “press”, sebagai sebutan untuk alat cetak. Keberadaan pers dari terjemahan istilah ini pada umumnya adalah sebagai media penghimpit atau penekan dalam masyarakat. Maka lebih tegasnya adalah dalam fungsinya sebagai kontrol sosial, di mana yang juga tidak jarang menjadi sebuah media penekanan terhadap kebijakan tertentu yang dinilai tidak dijalankan sebagaimana mestinya oleh pihak yang seharusnya secara lurus dapat menjalankannya.92 Pengertian pers itu dibedakan dalam dua arti. Pers dalam arti luas adalah media tercetak atau elektronik yang menyampaikan laporan dalam bentuk fakta, pendapat, usulan dan gambar kepada masyarakat luas secara regular. Pers dalam arti sempit adalah media tercetak seperti surat kabar harian, surat kabar mingguan, majalah dan bulletin, sedangkan media elektronik meliputi radio, film dan televisi.93 Pengertian pers menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers: Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Sedangkan pengertian dari surat pembaca adalah rubrik atau halaman khusus dalam penerbitan pers yang disediakan bagi pembaca untuk
91
Samsul Wahidin, op.cit. hlm. 35. Ibid. 93 Ibid. 92
57
mengeluarkan pendapat, komentar, protes, kritik, pujian, maupun simpati tentang suatu hal. Surat-surat yang dipublikasikan dipilih berdasarkan pertiimbangan redaksi penerbitan pers yang bersangkutan. Antara lain harus informatif, menyangkut kepentingan umum, dan bila member kritik harus konstruktif dan member jalan ke luar. Jika menurut pertimbangan redaktur isi surat dianggap membahayakn keselamatan si penulis surat, maka nama dan alamat penulis akan dirahasiakan, biasanya disertai kalimat “nama dan alamat diketahui redaksi”. Meskipun demikian, redaktur juga harus mempertimbangkan permintaan penulis surat untuk tidak dicantumkan jatidirinya. Hal ini dilindungi Kode Etik Jurnalistik tentang sumber berita. Pada prakteknya, penerbitan pers meminta penulis surat agar melampirkan fotokopi KTP dan SIM. Surat-surat yang dimuat tidak mendapat honorarium.94 2. Pengertian Delik Pers Definisi tentang delik pers (drukpers delict/press offence) yang terdiri dari kata delik dan pers, mempunyai pengertian yang saling terkait di antara keduanya. Delik adalah suatu perbuatan yang dapat dipidana, sedangkan pengertian kata pers berasal dari Bahasa Belanda yang artinya menekan atau mengepres, dan dalam bahasa Inggris disebut to press yang artinya menekan. Secara harfiah kata pers mengacu pada pengertian komunikasi yang dilakukan dengan perantara barang cetakan.
94
Kurniawan Junaedhie, 1991, Ensiklopedia Pers Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, hlm. 255. 256.
58
Oemar Seno Adji memberi definisi pers yang dapat ditinjau dari arti sempit dan arti luas yaitu:95 a. Pers dalam arti sempit mengandung di dalamnya penyiaranpenyiaran pikiran, gagasan ataupun berita dengan jalan kata tertulis, b. Pers dalam arti luas memasukkan di dalamnya semua mass media komunikasi yang memancarkan pikiran dan perasaan seseorang baik dengan kata-kata tertulis maupun dengan kata-kata lisan. Doktrin memberikan beberapa pengertian mengenai delik pers sebagai berikut: a. H. B. Vos menyatakan: Suatu delik pers itu semata-mata apabila di dalam isinya sendiri telah mengandung publikasi dari pikiran serta perasaan yang dapat dipidana; demikianlah maka: 1) Delik itu harus telah selesai dengan publikasinya: 2) Di dalam tulisannya itu sendiri juga harus terdapat sifat dipidananya publikasi itu, dengan kata lain untuk setiap orang yang mengerti akan lain untuk setiap orang yang mengerti akan isinya, haruslah menyadari akan dapat dipidananya itu. b. Sedangkan menurut A. Muis, delik pers adalah:96 Delik yang untuk penyelesaiannya memerlukan publikasi dengan menggunakan pers dan terdiri dari pernyataan pikiran atau perasaan yang diancam pidana, atau pernyataan pikiran atau perasaan yang dapat dijatuhi pidana yang untuk penyelesaiannya membutuhkan publikasi dengan pers. Dari berbagai pendapat diatas, maka disimpulkan bahwa untuk dapat digolongkannya suatu perbuatan menjadi delik pers, harus memenuhi syarat atau kriteria esensial yaitu: a. Perbuatan itu harus dilakukan dengan barang-barang cetakan;
95
Oemar Seno Adji, 1997. Mass Media dan Hukum, cet.2. Jakarta: Erlangga. hlm. 13. A. Muis, 1996, Kontroversi Sekitar Kebebasan Pers: Bunga Rampai Masalah Komunikasi, Jurnalistik, Etika dan Hukum Pers, Jakarta: PT. Mario Grafika, hlm. 24. 96
59
b. Perbuatan yang dipidanakan itu harus terdiri atas pernyataan pikiran atau perasaan; c. Dari perumusan delik harus ternyata bahwa publikasi merupakan suatu syarat untuk dapat menumbuhkan suatu perbuatan pidana apabila perbuatan pidana tersebut dilakukan dengan tulisan.97 3. Pertanggungjawaban Atas Pemberitaan Surat Pembaca menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers Undang-undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers mengatur bahwa pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan dari pers, dapat menggunakan hak jawabnya. Kalangan pers mengartikan bahwa sengketa atau perkara tentang pemberitaan pers harus melalui prosedur hak jawab. Apabila ditinjau dari muatan Undang-undang Pers, maka sebenarnya tidak ada satupun ketentuan yang secara jelas mewajibkan ditempuhnya prosedur hak jawab. Berdasarkan Pasal 12 jo Pasal 18 ayat 2 Undangundang No. 40 Tahun 1999, maka pihak perusahaan pers tentunya ikut bertanggungjawab juga terhadap penerbitan Surat Pembaca melalui media massa yang dimiliki oleh perusahaan pers. Apabila dikaitkan dengan pertanggungjawaban pidana, maka hal ini dapat ditinjau dari Pasal 5 ayat 1 jo Pasal 18 ayat 2 Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Pasal 56 KUHP. Adapun pembatasan terhadap penulisan inforrmasi dan opini dalam pers dapat ditinjau dalam Undang-undang Pers. Berdasarkan Pasal
97
Ibid., hlm. 29.
60
5 ayat 1 Undang-undang Pers, masyarakat dalam memberikan opini melalui pers harus menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Berkaitan dengan perbuatan fitnah, maka pembatasan yang dimaksud adalah penulis Surat Pembaca harus menghormati asas praduga tak bersalah. Berarti substansi isi Surat Pembaca tidak boleh menghakimi pihak lain untuk dinyatakan bersalah sebelum ada putusan yang dari pengadilan. E. Tugas dan Wewenang Mahkamah Agung Mahkamah Agung (MA) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi dan bebas dari pengaruh cabangcabang kekuasaan lainnya. Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara. 1. Wewenang Mahkamah Agung Menurut Undang-undang Dasar 1945, wewenang Mahkamah Agung adalah: a. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah MA, kecuali undang-undang menentukan lain; Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kasasi diartikan: Pembatalan atau pernyataan tidak sah oleh Mahkamah Agung terhadap putusan Hakim karena putusan itu tidak sesuai benar dengan undang-undang.
61
Arti tersebut belum tepat. Sementara Mr. M.H. Tirtaamidjaja, menyatakan sebagai berikut: Kasasi itu pada asasnya, jadinya tidak diadakan untuk kepentingan pihak-pihak yang berperkara, meskipun mereka benar-benar berkepentingan dalam hal itu, tetapi ialah untuk kepentingan kesatuan hukum. Oleh sebab itu maksudnya tidak suatu pemeriksaan baru dari seluruh perkara itu pada tingkat ketiga, tidak, maksudnya hanya untuk menyelidiki apakah hakim yang lebih rendah itu, terhadap putusan siapa dimohonkan kasasi, telah memakai hukum itu dengan tepat.98 b. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan c. Wewenangan lainnya yang diberikan undang-undang. 2. Tugas Pokok dan Fungsi Mahkamah Agung Mahkamah Agung mempunyai tugas pokok dan fungsi-fungsi, yaitu: a. Fungsi Peradilan 1) Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, MA merupakan pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar; 2) MA berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir; a) Semua sengketa tentang kewenangan mengadili.
98
Ibid., hlm. 169-170.
62
b) Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 28, 29,30,33 dan 34 Undang-undang MA No. 3 Tahun 2009). c) Semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan Pasal 78). 3) Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil, yaitu wewenang menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan dibawah Undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih tinggi (Pasal 31 Undang-undang MA No. 3 Tahun 2009). b. Fungsi Pengawasan 1) MA melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan yang dilakukan Pengadilan-pengadilan diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara (Pasal 4 dan Pasal 10 Undangundang Ketentuan Pokok Kekuasaan Nomor 14 Tahun 1970). 2) Mahkamah Agung juga melakukan pengawasan : a) Terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan perbuatan Pejabat Pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok Kekuasaan Kehakiman,
63
yakni
dalam
hal
menerima,
memeriksa,
mengadili,
dan
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran dan petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan Hakim (Pasal 32 Undang-undang MA No. 3 Tahun 2009). b) Terhadap
Penasehat
Hukum
dan
Notaris
sepanjang
yang
menyangkut peradilan (Pasal 36). c. Fungsi Mengatur 1) MA dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang tentang MA sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 27 Undang-undang No.14 Tahun 1970, Pasal 79 Undang-undang MA No. 3 Tahun 2009). 2) MA dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur Undang-undang. d. Fungsi Nasehat 1) MA memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain (Pasal 37 Undang-undang MA No. 3 Tahun 2009).
64
2) MA berwenang meminta keterangan dari dan memberi petunjuk kepada pengadilan disemua lingkunga peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. e. Fungsi Administratif 1) Badan-badan Peradilan sebagaimana dimaksud Pasal 10 ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun 1970 secara organisatoris, administratif dan finansial sampai saat ini masih berada dibawah Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 sudah dialihkan dibawah kekuasaan MA. 2) MA berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan (Undang-undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.14 Tahun
1970
tentang
Ketentuan-ketentuan
Pokok
Kekuasaan
Kehakiman). f. Fungsi Lainnya Berdasar Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 serta Pasal 38 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, MA dapat diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.99
99
Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Tugas dan Fungsi Mahkamah Agung”, tersedia di website http://www.mahkamahagung.go.id/pr2news.asp?bid=7, diakses pada tanggal 18 April 2012.