BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Baronang 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Klasifikasi ikan baronang menurut Kuiter (1992) adalah : Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Pisces
Sub kelas
: Teleostei
Ordo
: Perciformes
Famili
: Siganidae
Genus
: Siganus
Spesies
: S. canaliculatus (Park, 1797)
Nama Lokal
: Samadar, Muriat
Gambar 1. Ikan baronang (Siganus canaliculatus), Sumber : www.wikipedia.org Ikan baronang dapat dikenal dengan mudah karena bentuknya yang khas, yaitu kepalanya berbentuk seperti kelinci, sehingga ikan ini disebut juga rabbitfish (Woodland 1990). Ikan baronang berukuran kecil sampai sedang, mendiami perairan panas Indo Pasifik (Munro 1967 dalam Merta 1980). Jari-jari sirip pada sirip punggung, anal dan perut mempunyai kelenjar-kelenjar racun. Ikan baronang termasuk famili Siganidae dengan tanda-tanda khusus diantaranya, bentuk tubuh
7
8
oval sampai lonjong, pipih, tinggi sampai ramping. Dilindungi oleh sisik-sisik lingkaran yang berukuran kecil dan memanjang, mulut kecil posisinya terminal. Rahang dilengkapi dengan deret gigi-gigi yang ramping, gigi seperti mata gunting pemotong. Punggungnya dilengkapi sebuah duri tajam mengarah kedepan antara neural pertama dan biasanya tertanam dibawah kulit. Duri-duri dilengkapi kelenjar atau racun pada ujungnya. Sirip punggung dengan 13 jari-jari keras dan 10 jari-jari lemah. Sirip dubur dengan 7 jari-jari keras dan 9 jari-jari lemah. Sirip dada dengan 1 jari-jari keras di masing-masing sisi serta 3 jari lemah (Allen 1997). Jenis Siganus guttatus mempunyai tubuh berwarna abu-abu kebiruan dengan bagian berwarna keperakan dengan beberapa bintik sebesar bola mata berwarna orange. Bercak besar berwarna kuning terdapat di bawah sirip punggung, sirip ekor, bagian punggung yang lunak dan sirip dubur memiliki deretan berwarna gelap. Lebar badan baronang jenis S. guttatus sekitar 1,8 – 2,3 lebih pendek dari panjang standar. Diantara jenis baronang, baronang Siganus guttatus tergolong yang berukuran besar, yaitu lebih dari 1 kg, paling cepat pertumbuhannya dibanding jenis lain (Woodland 1990). Menurut Woodland
(1990), bentuk morfologi Siganus canaliculatus
adalah sebagai berikut: (a) bentuk badan pipih, ramping, bentuk kepala sedikit cekung dibagian atas mata. Lubang hidung depan dengan sebuah lipatan kecil berwarna gelap, (b) sisiknya kecil-kecil dan tipis, (c) punggung berwarna sedikit coklat atau kehijau-hijauan. Bagian perutnya berwarna keperakan. Tanda-tanda gelap keabu-abuan (dapat berupa bintik atau garis terdapat pada sirip punggung, dubur dan ekor, (d) dapat mencapai panjang maksimum kurang lebih 25 cm. Baronang juga mampu berubah warna dengan cepat untuk menghindar dari bahaya. Warna baronang juga dapat berubah karena pengaruh kondisi lingkungan. Ikan baronang yang hidup di laut mempunyai warna tubuh yang lebih cerah dibanding baronang yang hidup di tambak (Merta 1980).
9
2.1.2 Distribusi Ikan Baronang Gundermann et al. (1983) menyatakan bahwa ikan famili Siganidae menempati sebaran habitat yang luas pada daerah pesisir tropis sampai subtropis di Samudera Hindia dan Pasifik Barat. Pada umumnya ikan baronang hidup terutama di sekitar ekosistem terumbu karang, ekosistem yang banyak ditumbuhi lamun dan rumput laut. Kadang-kadang didapatkan juga di daerah hutan bakau, bahkan di pelabuhan yang pada umumnya telah tercemar (Ranoemihardjo 1985 dalam Marasabessy 1991). Beberapa jenis baronang yaitu S. guttatus dan S. vermiculatus dapat hidup masuk ke perairan sungai dan danau (Setyono dan Susetiono 1990). Ikan baronang sensitif terhadap perubahan lingkungan yang drastis terutama suhu dan salinitas serta kadar oksigen yang rendah. Ikan baronang juga sangat peka terhadap gerakan di sekitarnya. Baronang bersifat fototaksis positif, tertarik pada sinar atau cahaya. Daya toleransi S. canaliculatus terhadap perubahan salinitas 5‰ dengan kisaran temperatur 25-34 0C. Ikan S. canaliculatus sangat sensitif terhadap kandungan oksigen terlarut di bawah 2 ppm, dan pH diatas 9 (Lam 1974). Umumnya Siganidae hidup di kedalaman air kurang dari 15 meter dan diperkirakan ada 19 jenis ikan baronang yang hidup di perairan Indonesia atau sekitar 70,4% dari total jenis spesies ikan baronang yang ada di dunia (Woodland 1990).
2.1.3 Kebiasaan Makanan Berdasarkan berbagai macam makanan yang dimakan, secara garis besar ikan dapat digolongkan menjadi herbivor, karnivora, predator, pemakan plankton, pemakan detritus dan lain sebagainya, tetapi kenyataan dilapangan menunjukkan adanya ikan yang memakan semua jenis makanan yang terdapat di lingkungan ikan baronang berada (Mujiman 1984). Lam (1974) menyatakan bahwa Siganidae merupakan ikan herbivor. Ikan baronang sesuai dengan morfologis dari gigi dan saluran pencernaannya yaitu mulut yang berukuran kecil, dinding lambung agak tebal, usus halus panjang dan
10
mempunyai permukaan yang luas, sehingga ikan ini termasuk pemakan tumbuhtumbuhan. Apabila dibudidayakan, ikan baronang mampu memakan makanan apa saja yang diberikan seperti pakan buatan (Marasabessy 1991). Pada umumnya ikan mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap makanan dan dalam memanfaatkan makanan yang tersedia (Azis 1989). Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diluar negeri maupun di Indonesia, makanan ikan baronang antara lain lamun (seagrass) dari jenis Enhalus dan Halophilla (Martosewojo et al. 1983 dalam Munira 2010). Hal ini juga dikemukakan oleh Merta (1980) bahwa ternyata dari hasil penelitiannya di Teluk Banten, ditemukan dalam isi perut semua jenis ikan Siganus spp. terdapat fragmen lamun. Dari hasil analisa isi lambung S. spinus ditemukan 22 spesies alga dengan tingkat preferensi yang tinggi adalah Enteromorpha compressa, Murayella perichlados, Chondria repens, Cladophoropsis membranacea, Acanthopora spiciferadan Centroceras clavulatum (Bryan 1975 dalam Munira 2010). Supratomo (2000) dalam penelitian di Teluk Hurun Lampung ditemukan jenis makanan S. gutattus berupa daun lamun, Gracilaria sp., Sargassum sp. dan alga tidak teridentifikasi, sedangkan jenis S. canaliculatus yaitu Padina sp., Eucheuma sp., daun lamun dan detritus.
2.1.4 Reproduksi S.canaliculatus jantan mencapai dewasa pada ukuran 11-14 cm dan betina 13-21 cm. Musim pemijahan S.canaliculatus berlangsung sekitar Januari hingga April dan puncaknya pada bulan Februari sampai Maret serta musim kedua pada bulan Juli hingga Oktober. Berdasarkan fase bulan, S. gutattus memijah sekitar fase seperempat bulan pertama di bulan Juni dan Juli, sedangkan S. canaliculatus dan S. spinus memijah sekitar fase bulan baru dari April sampai Juni dan dari bulan Mei sampai Juli (Harahap et al. 2001 dalam Munira 2010). Hal ini menunjukkan bahwa fase atau umur bulan adalah pemicu dalam aktivitas reproduksi bagi ikan Siganidae.
11
2.2 Ciri Morfometrik Karakter morfologis (morfometrik dan meristik) telah lama digunakan dalam biologi perikanan untuk mengukur jarak dan hubungan kekerabatan dalam pengkategorian variasi dalam taksonomi. Morfometrik adalah ciri yang berkaitan dengan ukuran tubuh atau bagian tubuh ikan misalnya panjang total dan panjang baku. Ukuran ini merupakan salah satu hal yang dapat digunakan sebagai ciri taksonomik saat mengidentifikasi ikan. Tiap spesies mempunyai ukuran mutlak yang berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan oleh umur, jenis kelamin dan lingkungan hidupnya. Faktor lingkungan misalnya makanan, suhu, pH dan salinitas merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan (Affandi et al. 1992 dalam Irwan 2008). Menurut Affandi et al. (1992) dalam Irwan (2008) ada 26 karakter morfometrik yang biasa digunakan dalam mengidentifikasi ikan diantaranya panjang total, panjang ke pangkal cabang sirip ekor, panjang baku, panjang kepala, panjang bagian di depan sirip punggung, panjang dasar sirip punggung dan sirip dubur, panjang batang ekor, tinggi badan, tinggi batang ekor, tinggi kepala, lebar kepala, lebar badan, tinggi sirip punggung dan sirip dubur, panjang sirip dada dan sirip perut, panjang jari-jari sirip dada yang terpanjang, panjang jari-jari keras dan jari-jari lemah, panjang hidung, panjang ruang antar mata, lebar mata, panjang bagian kepala di belakang mata, tinggi di bawah mata, panjang antara mata dengan sudut preoperkulum, tinggi pipi, panjang rahang atas, panjang rahang bawah, dan lebar bukaan mulut.
2.3
Habitat Ikan Baronang
2.3.1 Ekosistem Terumbu Karang Salah satu ekosistem yang mempunyai produktivitas tinggi adalah terumbu karang. Terumbu karang merupakan ekosistem yang khas di daerah tropis dan sering digunakan untuk menentukan batas lingkungan perairan tropis dengan subtropis maupun kutub. Ekosistem terumbu karang mempunyai sifat yang sangat menonjol yaitu mempunyai produktivitas dan keanekaragaman jenis biota yang tinggi. Besarnya produktivitas yang dimiliki terumbu karang disebabkan adanya
12
pendaur ulang zat-zat hara melewati proses hayati secara efisien. Ekosistem terumbu karang ditandai dengan perairan yang hangat dan jernih, produktif dan kaya kalsium karbonat (CaCO3) (Nontji 1987). Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik sangat tinggi. Dapat dianalogikan terumbu karang seperti oasis di padang pasir, yang memiliki keanekaragaman biota laut yang kaya. Terumbu karang selain berfungsi sebagai habitat bagi biota-biota laut, juga berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus. Terumbu karang juga merupakan salah satu komponen utama sumberdaya perairan laut (Nontji 1987). Ekosistem terumbu karang adalah unik karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi, kedalaman, eutrofikasi dan cahaya. Perkembangan karang yang paling optimal terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunannya 23 – 25 ºC.Terumbu karang juga dibatasi oleh kedalaman, kebanyakan hewan karang tumbuh pada kedalaman 25 m atau kurang. Cahaya adalah salah satu faktor yang sangat penting bagi pertumbuhan karang. Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan bersama dengan itu kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat dan membentuk terumbu akan berkurang (Nybakken 1992). Berdasarkan kebutuhan akan cahaya, karang di bagi dua kelompok besar yaitu
karang
hermatipik
dan
karang
ahermatipik.
Karang
hermatipik
menghasilkan terumbu (reef) sedangkan karang ahermatipik tidak menghasilkan terumbu (Nybakken 1992). Kemampuan menghasilkan terumbu ini disebabkan oleh adanya sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis di dalam jaringan karang hermatipik. Sel-sel tumbuhan ini dinamakan zooxanthellae. Zoonxanthellae mempengaruhi laju penumpukan zat kapur oleh polip karang (Thamrin 2006). Terumbu karang menyediakan berbagai manfaat langsung maupun tidak langsung. Menurut Nontji 1987 sebagai sumberdaya hayati terumbu karang dapat pula menghasilkan berbagai produk yang mempunyai nilai ekonomis yang penting seperti berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang, kerang mutiara. Bersama dengan ekosistem pesisir lainnya menyediakan makanan dan
13
merupakan tempat berpijah bagi berbagai jenis biota laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.
2.3.2 Ekosistem Padang Lamun Padang lamun merupakan suatu ekosistem yang kompleks dan mempunyai fungsi dan manfaat yang sangat penting bagi perairan wilayah pesisir. Secara taksonomi lamun termasuk kelompok Angiospermae yang hidupnya terbatas pada lingkungan laut dan umumnya hidup diperairan dangkal pesisir. Lamun tumbuh dan berkembang di lingkungan perairan pesisir mulai dari daerah pasang surut sampai kedalaman 40 meter (Kiswara 1997). Tumbuhan lamun memiliki struktur morfologis yang terdiri dari akar, batang, daun, bunga, buah dan biji. Lamun juga memiliki sistem perakaran yang nyata, dedaunan, berbunga, dan sistem transportasi internal untuk gas dan nutrien, serta stomata yang berfungsi dalam pertukaran gas dan nutrien. Akar pada tumbuhan lamun tidakberfungsi penting dalam pengambilan air, karena daun dapat menyerap secara langsung nutrien dari dalam air laut. Tumbuhan lamun dapat menyerap nutrient dan melakukan fiksasi nitrogen melalui tudung akar (McKenzie & Yoshida 2009). Lamun mempunyai bentuk tanaman yang sama halnya seperti rumput di daratan, yaitu mempunyai bagian tanaman seperti rimpang yang menjalar, tunas tegak, seludang atau pelepah daun, helaian daun, bunga dan buah. Bentuk vegetatif lamun mempunyai keseragaman yang tinggi. Hampir semua jenis lamun mempunyai rimpang yang berkembang baik dan bentuk helaian daun yang memanjang (linear) atau bentuk sangat panjang seperti pita dan ikat pinggang, kecuali pada marga Halophila yang umumnya berbentuk bulat telur atau lonjong (Lanyon 1986 dalam Kiswara 2009). Den Hartog (1970); Phillips dan Menez (1988) menyatakan bahwa tumbuhan lamun memiliki beberapa sifat yang memungkinkan dapat berhasil hidup di laut, antara lain : 1.
Mampu hidup di media asin.
2.
Mampu berfungsi normal di bawah permukaan air.
3.
Mempunyai sistem berkembang biak.
14
4.
Mampu melaksanakan daur generatif dalam air.
5.
Mampu berkompetisi dengan organisme lain dalam lingkungan air laut. Kemampuan adaptasi lamun yang cukup baik tersebut menyebabkan lamun
memiliki penyebaran yang luas. Komunitas lamun umumnya terdapat pada daerah mid-interidal sampai kedalaman 50-60 m, dan biasanya sangat melimpah di daerah sublitoral. Lamun dapat hidup pada semua tipe substrat, mulai dari lumpur sampai batu-batuan, tetapi lamun yang luas dijumpai pada substrat lunak (Nybakken 1997). Menurut Nybakken (1988), fungsi ekologis padang lamun adalah : (1) sumber utama produktivitas primer, (2) sumber makanan bagi organisme dalam bentuk detritus, (3) penstabil dasar perairan dengan sistem perakarannya yang
dapat
sebagai perangkap sedimen
(trapping
sediment),
(4) tempat
berlindung bagi biota laut, (5) tempat perkembangbiakan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), serta sumber makanan (feeding ground) bagi biota-biota perairan laut, (6) pelindung pantai dengan cara meredam arus, (7) penghasil oksigen dan mereduksi CO2 di dasar perairan.
2.4 Alat Tangkap Ikan Baronang Alat penangkapan ikan di Indonesia dibagi atas sepuluh jenis alat tangkap yaitu trawl, pukat kantong, pukat cincin, jaring insang, jaring angkat, pancing, perangkap, alat pengumpul kerang dan rumput laut, muroami, dan alat tangkap lainnya (Sudirman dan Mallawa 2004). Alat tangkap yang banyak digunakan nelayan di perairan Kepulauan Seribu khususnya dalam penangkapan ikan baronang yaitu, menggunakan alat tangkap perangkap (bubu dasar) dan jaring. Bubu adalah alat tangkap yang sudah lama dikenal oleh nelayan, terutama untuk menangkap sumber daya ikan di perairan. Bubu dibuat dari anyaman bambu, anyaman rotan, dan anyaman kawat. Bentuknya ada yang seperti silinder, setengah lingkaran, empat persegi panjang atau segitiga memanjang. Bubu termasuk alat tangkap yang pasif, biaya pembuatannya relatif murah dan mudah dalam pengoperasian (Subani dan Barus 1989).
15
Dalam pengoperasiannya dapat memakai umpan atau tanpa umpan, selain itu alat tangkap bubu biasanya digunakan pada daerah karang. Umumnya bubu yang digunakan terdiri dari tiga bagian yaitu badan atau tubuh bubu, lubang tempat mengeluarkan hasil tangkapan, dan mulut bubu (Sudirman dan Mallawa 2004). Alat tangkap selain bubu yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan baronang di perairan Kepulauan Seribu adalah jaring lingkar (Surrounding Gill Net). Alat tangkap jaring lingkar biasanya digunakan untuk menangkap ikan di daerah lamun, pengoperasiannya dengan cara melingkari gerombolan ikan dengan jaring, antara lain untuk menghadang arah lari ikan. Agar gerombolan ikan dapat dilingkari atau ditangkap dengan sempurna, maka bentuk jaring sewaktu operasi dapat membentuk lingkaran, setengah lingkaran, bentuk huruf V atau U, bengkok seperti alur gerombolan ikan (Sudirman dan Mallawa 2004).
2.5 Pertumbuhan Pertumbuhan pada tingkat individu dapat diartikan sebagai pertambahan ukuran panjang atau bobot dari suatu organisme selama waktu tertentu, sedangkan pertumbuhan populasi sebagai pertambahan jumlah individu. Pertumbuhan merupakan proses biologis yang kompleks, sangat dipengaruhi oleh faktor luar dan dalam. Faktor luar seperti jumlah pakan yang tersedia, jumlah ikan-ikan lain yang memanfaatkan sumber-sumber pakan yang sama dan kualitas air. Faktor dalam seperti umur, ukuran dan jenis ikan itu sendiri. Faktor yang umumnya sukar dikontrol adalah keturunan, seks, umur, parasit dan penyakit. Ricker (1975) menyatakan bahwa terdapat dua macam pola pertumbuhan ikan yaitu pola pertumbuhan isometrik dan allometrik. Isometrik apabila pertumbuhan bobot seimbang dengan pertambahan panjang ikan dan pola pertumbuhan allometrik apabila pertumbuhan bobot tidak seimbang dengan pertambahan panjang ikan. Studi tentang pertumbuhan pada dasarnya ditujukan untuk menentukan ukuran badan ikan sebagai fungsi dan waktu. Untuk menghitung pertumbuhan ikan dapat dilakukan dengan menggunakan ukuran panjang tubuh atau bobot
16
tubuh. Di daerah tropis, aspek pertumbuhan ikan yang dipelajari paling banyak mempergunakan pendekatan frekuensi panjang. Analisa frekuensi panjang ini akan mendistribusikan jumlah ikan dalam setiap kelompok panjang. Tahap-tahap dalam menganalisis data ukuran panjang meliputi penentuan selang kelas ukuran panjang dari ikan, menentukan frekuensi panjang masing-masing kelas ukuran dan menentukan nilai tengah dari kelas ukuran panjang (Walpole 1992). Sebaran data frekuensi panjang yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk pendugaan umur ikan. Berdasarkan data panjang dapat ditentukan panjang ikan maksimum (L∞) dan koefisien pertumbuhan (K). Hubungan umur dengan panjang ikan dapat dikonversi untuk mendapatkan data komposisi umur. Kemudian data komposisi umur digunakan dalam pendugaan parameter pertumbuhan ikan (Sparre dan Venema 1999).
2.6 Hubungan Panjang Bobot Hubungan panjang bobot ikan bertujuan untuk melihat pola pertumbuhan ikan dengan parameter panjang dan bobot. Bobot dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjang. Hubungan panjang bobot hampir mengikuti hukum kubik yaitu bahwa bobot ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya, dengan kata lain hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk menduga bobot melalui panjang atau sebaliknya. Selain itu, dapat diketahui juga pola pertumbuhan, kemontokan, dan pengaruh perubahan lingkungan terhadap pertumbuhan ikan (Effendie 2002). Pengukuran panjang tubuh ikan memberikan bukti langsung terhadap pertumbuhan. Peningkatan ukuran panjang umumnya tetap berlangsung walaupun ikan mungkin dalam keadaan kekurangan makanan. Panjang tubuh ikan dapat diukur dengan cara mengamati panjang total, panjang cagak, dan panjang baku. Panjang total adalah panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan bagian kepala sampai ujung terakhir bagian ekornya. Panjang cagak adalah panjang ikan yang diukur dari ujung terdepan sampai ujung bagian luar lekukan sirip ekor, sedangkan panjang baku adalah panjang ikan yang diukur dari ujung terdepan dari kepala sampai ujung terakhir dari tulang punggungnya atau pangkal sirip ekor (Effendie 2002).
17
Effendie (2002) menyatakan bahwa jika panjang dan bobot diplotkan dalam suatu gambar maka akan didapatkan persamaan W = aL b(W=berat, L=panjang, a dan b adalah suatu konstanta). Nilai b berfluktuasi antara 2,5 dan 4 tetapi kebanyakan mendekati 3 karena pertumbuhan mewakili peningkatan dalam tiga dimensi, sedangkan pengukuran panjang diambil dari satu dimensi. Nilai b yang merupakan konstanta adalah nilai pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan ikan. Nilai b=3 menggambarkan pertumbuhan isometrik, yang akan mencirikan ikan mempunyai bentuk tubuh yang tidak berubah atau pertambahan panjang ikan seimbang dengan pertambahan bobot. Nilai b ≠ 3 menggambarkan pertumbuhan allometrik. Jika b<3 menunjukkan pertambahan panjang ikan lebih cepat dari pertambahan bobot. Jika b>3 menunjukkan pertambahan bobot ikan lebih cepat dari pertambahan panjang ikan (Effendie 2002).
2.7 Ekologi Ikan Karang Secara Umum Setiap spesies ikan karang memiliki habitat yang berbeda-beda tergantung ketersediaan makanan dan beberapa parameter fisika seperti kedalaman, kejernihan air, arus dan gelombang. Besarnya spesies yang ditemukan di karang mencermikan habitat tersebut mempunyai kondisi habitat yang mendukung bagi pertumbuhan ikan. Di perairan karang terdapat banyak habitat yang bisa didiami oleh ikan-ikan dibandingkan perairan yang lebih dalam karena tidak terdapat barier untuk berlindung dari arus dan predasi (Allen 1999). Kedalaman perairan untuk ikan karang terbagi menjadi 3 bagian, yaitu: perairan dangkal (0-4 m), intermedit (5-19 m), dan perairan dalam (20 m). batas kedalaman tersebut dapat berbeda tergantung dari jenis habitat dan kondisi perairan laut. Lingkungan dangkal dicirikan dengan adanya gelombang yang rendah di area yang terlindungi atau tertutup seperti pesisir dan laguna. Sebaliknya di luar struktur karang gelombang permukaan terkadang dapat mencapai sekitar 10 m. Jenis ikan karang dan terumbu karang yang baik tersedia pada zona perairan intermedit, karena pada daerah tersebut sinar matahari optimal
18
bagi pertumbuhan karang, gelombang relatif kecil meskipun arus biasanya kencang (Allen 1999).
2.8 Parameter Lingkungan Perairan 1. Suhu Suhu mempengaruhi kecepatan metabolisme, reproduksi dan perubahan bentuk luar dari karang. Menurut Wells (1954) dalam Supriharyono (2000), suhu yang baik untuk pertumbuhan karang adalah berkisar antara 25-290C. Keanekaragaman jenis dan keadaan seluruh kehidupan pantai cenderung bervariasi dengan berubahnya suhu. Distribusi suhu di perairan estuari sebagian besar dipengaruhi oleh kedalaman yang merupakan efek masukan air dari sungai dan pengaruh perubahan pasang surut.
2. Kedalaman Kedalaman merupakan faktor fisika yang berhubungan dengan banyaknya volume air yang masuk dalam suatu perairan. Pengaruh kedalaman berhubungan dengan kecerahan dan arus perairan. Padang lamun membutuhkan penetrasi cahaya yang cukup agar dapat melakukan fotosintesis (Merryanto 2000). Perbedaan tekanan pada setiap kedalaman perairan akan berpengaruh terhadap proses osmoregulasi pada tubuh organisme. Dengan demikian organisme akan berusaha agar tekanan osmosis dalam tubuh organisme berjalan dengan baik.
3. Kecerahan atau Intensitas Cahaya Kecerahan perairan menunjukkan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami, kecerahan sangat penting karena erat kaitannya dengan proses fotosintesis. Tingkat kecerahan yang tinggi sangat mendukung kehidupan lamun dan vegetasi air lain untuk melangsungkan proses fotosintesis (Merryanto 2000). Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan bersama dengan itu kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat dan membentuk terumbu akan berkurang juga (Nybakken 1992).
19
4. Salinitas Salinitas atau kadar garam yaitu jumlah bobot semua garam (dalam gram) yang terlarut dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dalam satuan °/oo (permil). Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nontji, 1993). Secara fisiologis, salinitas mempengaruhi kehidupan hewan karang karena adanya tekanan osmosis pada jaringan hidup. Salinitas optimal bagi kehidupan karang berkisar 32-35 ‰. Oleh karena itu karang jarang ditemukan hidup di daerah muara sungai besar, bercurah hujan tinggi atau perairan dengan salinitas yang tinggi (Nybakken 1992).
5. Arus Arus merupakan gerakan mengalir suatu masa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan densitas air laut atau dapat pula disebabkan oleh gerakan periodik jangka panjang. Arus yang disebabkan oleh gerakan periodic jangka panjang antara lain arus yang disebabkan oleh pasang surut (pasut). Arus yang disebabkan oleh pasang surut biasanya banyak diamati diperairan teluk dan pantai. Disamping itu juga, arus dapat membersihkan polip dari kotoran yang menempel. Oleh karena itu pertumbuhan karang di tempat yang airnya selalu teraduk oleh arus dan ombak, lebih baik daripada di perairan yang tenang dan terlindung (Nontji 1987).
6. Derajat Keasaman Derajat keasaman menyatakan intensitas keasaman atau kebasaan dari suatu cairan yang mewakili konsentrasi ion hidrogen. Menurut Nybakken (1988), kisaran pH yang optimal untuk air laut berkisar antara 7,5-8,5. Menurut Phillips dan Menez (1988), kisaran pH yang baik untuk lamun adalah pada saat pH air normal, yaitu 7,8-8,5 karena pada saat tersebut ion bikarbonat yang dibutuhkan untuk proses fotosíntesis oleh lamun dalam keadaan melimpah. Menurut Tomascik et al. (1997) habitat yang cocok bagi pertumbuhan karang adalah yang memiliki pH yang bersifat basa (berkisar 8,2 – 8,5).
20
2.9 Strategi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pengelolaan perikanan adalah proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi dari aturan-aturan main di bidang perikanan dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas sumber, dan pencapaian tujuan perikanan lainnya (FAO 1997 dalam Widodo & Suadi 2006). Pengelolaan sumberdaya perikanan saat ini menuntut perhatian penuh dikarenakan oleh semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan (Widodo dan Suadi 2006). Secara umum tujuan pengelolaan perikanan dapat dibagi ke dalam empat kelompok yaitu biologis, ekologis, ekonomis dan sosial, tujuan sosial mencakup tujuan politik dan budaya. Beberapa contoh yang termasuk dalam setiap kelompok tujuan tersebut antara lain menjaga spesies target berada pada tingkat yang
diperlukan
untuk
menjamin
produktivitas
yang
berkelanjutan,
meminimalkan berbagai dampak penangkapan atas lingkungan fisik dan nontarget (hasil tangkapan sampingan), memaksimumkan pendapatan bersih bagi nelayan yang terlibat dalam perikanan (tujuan ekonomi) dan memaksimumkan kesempatan kerja bagi masyarakat pesisir (tujuan sosial) (Widodo dan Suadi 2006).