BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Mengenai Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian diatur dalam Bab II buku III KUHPerdata. Dalam Pasal 1313 KUHPerdata dijelaskan bahwa perjanjian adalah “Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari perkataan overeekomst dalam bahasa Belanda. Kata overeekomst tersebut lazim diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut sama artinya dengan perjanjian. Adapula yang berpendapat bahwa perjanjian tidak sama dengan persetujuan.1 Perjanjian merupakan terjemahan dari oveereenkomst sedangkan perjanjian merupakan terjemahan dari toestemming yang ditafsirkan sebagai wilsovereenstemmin (persesuaian kehendak/kata sepakat). Menurut Sudikno Mertokusumo, suatu perjanjian adalah hubungan hukum antara dua orang bersepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Dalam pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian merupakan suatu hubungan hukum oleh dua belah pihak 1
hlm. 97
Sudikno Mertokusumo, 1985, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty,
yang lahir dari sepakat atas sesuatu dan atas sesuatu dan atas perbuatan tersebut menimbulkan suatu akibat hukum.2 Dalam hal ini, Subekti memberikan pengertian perjanjian yang lebih konkrit. Menurut Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain untuk melaksanakan sesuatu hal. 3 Perjanjian merupakan suatu perbuatan, yaitu perbuatan hukum, perbuatan yang mempunyai akibat hukum. Perjanjian juga bisa dibilang sebagai perbuatan untuk memperoleh seperangkat hak dan kewajiban,
yaitu
akibat-akibat
hukum
yang
merupakan
konsekwensinya. Perbuatan hukum dalam perjanjian merupakan perbuatan-perbuatan untuk melaksanakan sesuatu, yaitu memperoleh seperangkat hak dan kewajiban yang disebut prestasi. Prestasi tersebut meliputi perbuatan-perbuatan :4 a. Menyerahkan sesuatu, misalnya melakukan pembayaran harga barang dalam perjanjian jual beli barang. b. Melakukan sesuatu, misalnya menyelesaikan pembangunan jembatan dalam perjanjian pemborongan pekerjaan. c. Tidak melakukan sesuatu, misalnya tidak bekerja ditempat lain selain perusahaan tempatnya bekerja dalam perjanjian kerja.
2
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenai Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty,
hlm.118 3
R. Subekti, 1976, Hukum Perjanjian, Jakarta, Inermasa, hlm.1 http://www.legalakses.com/perjanjian/, diakses pada hari Selasa, tanggal 22 Agustus 2016 pukul 20.10 4
Berdasarkan pengertian yang diberikan, dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu perjanjian memuat hal-hal berikut :5 a. Perbuatan, dalam pengertian yang diberikan oleh KUHPerdata perbuatan yang dimaksud ialah perbuatan hukum, karena perbuatan tersebut memiliki akibat hukum bagi para pihak yang melakukan perjanjian. b. Dalam suatu perjanjian terdapat para pihak. Hal ini tersurat dalam dengan mana satu orang atau lebih, untuk dapat terlaksananya suatu perjanjian, maka harus ada dua belah pihak yang saling mengikatkan diri satu sama lain atas apa yang telah diperjanjikan atau disepakati. Para pihak ini terdiri dari Perorangan dan Badan Hukum. c. Mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih. Dalam perkajian ini terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri. Sebelum suatu perjanjian disusun perlu diperhatikan identifikasi para pihak, penelitian awal tentang masing-masing pihak sampai dengan konsekuensi yuridis yang dapat terjadi pada saat perjanjian tersebut dibuat.6 Setelah subjek hukum dalam perjanjian telah jelas, 5
Ibid, hlm. 2 Salim H.S, 2007, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding , Jakarta, Sinar grafika, Hal. 124. 6
termasuk mengenai kewenangan hukum masing-masing pihak, maka pembuat perjanjian harus menguasai materi atas perjanjian yang akan dibuat oleh para pihak. Dua hal paling penting dalam perjanjian adalah objek dan hakikat daripada perjanjian serta syarat-syarat atau ketentuan yang disepakati.7 Masing-masing pihak yang dimaksud adalah pihak-pihak yang langsung terlibat dalam perjanjian tersebut biasanya terbagi atas perorangan dan badan usaha. Badan usaha sendiri juga dibagi yaitu badan usaha yang berbadan hukum dan badan usaha yang tidak berbadan hukum. Perorangan adalah setiap orang yang dalam melakukan perbuatan hukum bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri, sedangkan usaha perorangan dalam melakukan perbuatan hukum ia diwakili oleh pemiliknya yang hanya seorang bertindak baik untuk dan atas namanya sendiri juga untuk dan atas nama usahanya. Pada dasarnya antara perorangan dengan usaha perorangan tidak terdapat perbedaan, karena keduanya tidak ada pemisahan harta kekayaan artinya harta kekayaan pribadi juga merupakan harta kekayaan perusahaannya. Badan usaha adalah suatu badan yang menjalankan usaha atau kegiatan perusahaan, sedangkan perusahaan pengertiannya lebih condong kepada jenis usaha atau kegiatan dan
7
Ibid, hlm. 120
suatu badan usaha. Suatu Badan usaha dianggap sebagai suatu badan hukum diatur sesuai ketentuan Undang-undang.8 Pasal 1313 KUHPerdata diatas memiliki kekurangan-kekurangan. Menurut Abdulkadir Muhammad, kekurangan-kekurangan tersebut antara lain:9 a. Hanya menyangkut sepihak saja. Kata „ mengikatkan ‟ sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari dua belah pihak saja, tidak dari dua belah pihak. Seharusnya perumusan tersebut „ saling mengikatkan diri ‟. b. Kata perbuatan mencangkup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian “ perbuatan ” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum ( onrechtmatige daad ) yang tidak mengandung suatu konsensus. Seharusnya kata “ persetujuan ”lah yang digunakan perumusan pengertian perjanjian. c. Pengertian perjanjian terlalu luas karena mencangkup juga perlangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Perjanjian yang dikehendaki oleh buku ketiga KUHPerdata sebenarnya hanya perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan yang bersifat personal.
8
http://repository.usu.ac.id/bitstream, diakses pada hari Selasa, Tanggal 22 Agustus 2016,
21.25 9
Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perikatan, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti,
hlm.78
d. Tanpa menyebut tujuan. Dalam rumusan pasal tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihakpihak mengikatkan diri tidak memiliki tujuan yang jelas. 2. Jenis jenis Perjanjian Mengenai perjanjian ini diatur dalam Buku III KUH Perdata, peraturan - peraturan yang tercantum dalam KUH Perdata ini sering disebut juga dengan peraturan pelengkap, bukan peraturan memaksa, yang berarti bahwa para pihak dapa mengadakan peraturan
perjanjian perjanjian
dengan yang
menyampingkan
peraturan-
ada. Oleh karena itu di sini
dimungkinkan para pihak untuk mengadakan perjanjian-perjanjian yang sama sekali tidak diatur dalam bentuk perjanjian itu: a.
Perjanjian bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata. Yang termasuk ke dalam perjanjian ini, misalnya : jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, dan lain-lain.
b. Perjanjian-perjanjian yang tidak teratur dalam KUHPerdata. Jadi dalam hal ini para pihak yang menentukan sendiri perjanjian itu. Dan ketentuan- ketentuan yang ditetapkan oleh para
pihak,
berlaku sebagai
undang-undang bagi
masing-masing pihak.10
10
R. M. Suryodiningrat, 1978, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Bandung, Tarsito, hlm.. 10
3. Asas-asas Perjanjian Asas hukum adalah pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang- undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut. Dengan demikian, asas hukum merupakan pikiran dasar yang bersifat
umum
dan
terdapat
dalam
hukum
positif
atau
keseluruhan peraturan perundang-undangan atau putusan-putusan hakim yang merupakan ciri-ciri umum dari peraturan konkrit tersebut. Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan semua
perjanjian
yang dibuat secara
sah
berlaku
sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jadi, dalam pasal ini terkandung 3 macam asas utama dalam perjanjian, yaitu: asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, dan asas
pacta
sunt-servanda.
Di samping asas-asas itu, masih
terdapat asas itikad baik dan asas kepribadian. a. Asas konsensualisme Menurut pasal 1320 KUHPerdata menyatakan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan para pihak. Subekti berpendapat bahwa kesepakatan yang dimaksud
adalah antara para pihak yang bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak, yaitu apa yang dikehendaki oleh yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain pula.11 Perjanjian yang telah terbentuk dengan tercapainya kata sepakat (consensus) di antara para pihak. Perjanjian ini tidak memerlukan formalitas lain lagi sehingga dikatakan juga perjanjian ini sebagai perjanjian bebas bentuk. Jika perjanjian ini dituangkan dalam bentuk tertulis, maka tulisan itu hanya merupakan alat bukti saja dan syarat
untuk
terjadinya
perjanjian.
Perjanjian
bukan tersebut
dinamakan perjanjian konsensuil. Ada kalanya menetapkan perjanjian itu harus diadakan secara tertulis atau dengan akta Notaris, akan tetapi hal ini ada
pengecualiannya
yaitu
formalitas-formalitas tertentu
undang-undang menetapkan untuk
beberapa
macam
perjanjian karena adanya ancaman batal apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang dimaksud Pasal 1320 KUH Perdata, seperti perjanjian hibah harus dengan akta. b. Asas kebebasan berkontrak Asas kebebasan berkontrak di dalam pustaka-pustaka berbahasa Inggris dituangkan dalam istilah Freedom of
11
R. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, hlm. 78
Contract, Liberty of Contract, ataupun party autonomy. Asas kebebasan berkontrak ini merupakan asas yang bersifat universal yang berarti bahwa asas ini dianut oleh hukum perjanjian di semua negara.12 Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk
secara
bebas
dalam
beberapa
hal yang berkaitan dengan perjanjian, sebagaimana yang dikemukakan Ahmadi Miru, di antaranya:13 1) Bebas
menentukan
apakah
ia
akan
melakukan
perjanjian atau tidak; 2) Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian; 3) Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian; 4) Bebas menentukan bentuk perjanjian; 5) Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat Buku III KUHPerdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak
12
Sutan Rei Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Jakarta, Institut Bankir Indonesia, hlm.22 13 Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 4
dapat
menyimpanginya
(mengesampingkannya),
kecuali
terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.14 c. Asas Itikad Baik Itikad baik atau dalam bahasa Belanda te goeder trouw atau bahasa Inggris in good faith sangat erat kaitannya dengan kepatutan dan keadilan serta ukuran itikad baik ini harus ada para pihak, baik itu kreditur mupun debitur. Menurut HR 9 Februari 1923, unsur-unsur itikad baik dan kepatutan itu ada bila tidak melakukan segala sesuau yang tidak masuk akal.15 Asas itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan
dengan
itikad
baik.
Asas
ini
berkenaan
dengan pelaksanaan perjanjian dan berlaku bagi debitur maupun bagi kreditur. Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemui dalam hukum benda (pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 (pengertian obyektif).16 Dalam hukum benda, itikad baik, artinya kejujuran atau bersih. Seorang pembeli beritikad baik adalah orang jujur, orang bersih. Ia tidak mengetahui tentang adanya cacat-cacat
14
Ibid, hlm. 4 Hardijan Rusli, 1992, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, hlm.119 16 Subekti, 2001, Hukurn Pembuktian, Jakarta, PT. Pradnya Paramita, hlm. 42 15
yang melekat pada barang yang dibelinya, dalam arti cacat mengenai asal-usulnya. Sedangkan pengertian itikad baik dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata adalah bahwa dalam pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Ketentuan Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata juga memberikan kekuasaan pada hakim
untuk
jangan
sampai
mengawasi
pelaksanaan
suatu
perjanjian
pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan
keadilan. d. Asas Pacta Sunt Servanda ( Asas Mengikatnya Perjanjian) Asas ini berarti bahwa para pihak terikat pada perjanjian sah yang mereka buat sebagai undang-undang. Pengertian ini tertuang dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menerangkan bahwa “ janji harus ditepati”. Ketentuan pasal ini memberikan kepastian hukum bagi para pihak. Jadi, perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pembuatanya sebagai undang-undang. Dan kalimat ini pula tersimpul larangan bagi semua pihak termasuk di dalamnya "hakim" untuk mencampuri isi perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak tersebut. Oleh karenanya asas ini disebut juga asas kepastian hukum. Asas ini dapat dipertahankan sepenuhnya dalam hal:
1) Kedudukan para pihak dalam perjanjian itu seimbang; 2) Para pihak cakap untuk melakukan perbuatan hukum. e. Asas kepribadian (personalitas) Ketentuan dalam pasal 1315 KUHPerdata menyatakan bahwa “pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri”. Berdasarkan pasal tersebut, seseorang mengadakan suatu perjanjian untuk kepentingan diri sendiri. Selain itu pula, suatu perjanjian tidak dapat dibuat dan mengikat untuk diri sendiri. Selanjutnya Pasal 1340 menyatakan bahwa perjanjianperjanjian hanya berlaku
antara
pihak-pihak
yang
membuatnya, perjanjian itu tidak dapat membawa rugi atau manfaat kepada pihak ketiga, selain dalam hal yang diatur klaim Pasal 1317. Oleh
karena
perjanjian
itu
hanya
mengikat para pihak yang membuatnya dan tidak dapat mengikat pihak lain.Maka asas ini dinamakan asas kepribadian.
4. Syarat sahnya suatu Perjanjian Suatu perjanjian dianggap sah dan memiliki akibat hukum apabila perjanjian tersebut telah memenuhi syarat-syarat sah suatu perjanjian. Syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata, antara lain :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; c. Suatu hal tertentu; d. Suatu sebab yang halal. Syarat pertama dan kedua adalah syarat yang dipenuhi oleh subyek suat perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif Syarat ketiga dan keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian
oleh
karena
itu
disebut
syarat obyektif. Adapun
penjelasan dari masing-masing adalah sebagai berikut: 1) Kata sepakat berarti persesuaian kehendak, maksudnya memberikan persetujuan atau kesepakatan. Jadi sepakat merupakan pertemuan dua kehendak dimana kehendak pihak yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain dan kehendak tersebut saling bertemu. Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama
secara
timbal
balik.
Dan
dijelaskan
lebih
lanjut bahwa dengan hanya disebutkannya "sepakat" saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara (formalitas) apapun sepertinya
tulisan,
pemberian
tanda
atau
panjer
dan
lain sebagainya, dapat disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai
sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian itu atau
mengikatlah
perjanjian
itu
atau berlakulah
ia sebagai
Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.17 Di dalam KUHPerdata tidak dijelaskan mengenai kata sepakat ini, tetapi di dalam Pasal 1321 ditentukan syarat bahwa tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu
diberikan
karena kekhilafan atau diperolehnya karena dengan paksaan atau penipuan. Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya kata sepakat antara masing-masing pihak harus diberikan secara bebas atau tidak boleh ada paksaan, kekhilafan dan penipuan. Menurut Subekti,
yang
dimaksud paksaan
paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis) paksaan
badan
(fisik).18
adalah
jadi
bukan
Selanjutnya kekhilafan terjadi
apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting
dari
Kekhilafan
barang
tersebut
yang harus
menjadi sedemikian
objek rupa
perjanjian. sehingga
seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut ia tidak akan memberikan persetujuan. Kemudian penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan 17 18
Subekti, 1992, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, hlm. 4. Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, Jakarta, PT. Intermasa, hlm. 23-24.
keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat memberikan perjanjian
unuk membujuk pihak lawannya
perizinannya. Dengan demikian yang
kata
sepakatnya
suatu
didasarkan
paksaan,
kekhilafan, penipuan maka perjanjian itu di kemudian hari dapat dimintakan pembat alannya oleh salah satu pihak. 2) Dalam Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap
orang
perjanjian
adalah
dengan
cakap
ketentuan
untuk membuat suatu oleh
undang-undang
tidakditentukan lain yaitu ditentukan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat suatuperjanjian. Selanjutnya Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan bahwa orang yang tidak cakap membuat perjanjian: a) Orang yang belum dewasa b) Mereka yang berada di bawah pengampuan/perwalian c) Orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh Undang-undang dan semua siapa
undang-undang
telah
orang
melarang
kepada membuat
perjanjian-perjanjian tertentu. Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal
39 dan 40 dinyatakan untuk
penghadap dan saksi paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah. Dalam hal ini
cakap
bertindak
untuk
keperluan
khusus.
Selanjutnya
dalam
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan cukup umur untuk kawin adalah 18 tahun. Sehingga apabila seseorang belum berusia genap
21
tahun
tetapi
telah
kawin
menimbulkan
konsekuensi menjadi cakap bertindak. Dengan demikian dasar
usia
keperluan
cakap khusus
untuk
bertindak,
(telah
diatur
jika
dalam
tidak
untuk
undang-undang
tertenu) maka usia yang dipakai adalah dua puluh satu tahun
atau
telah
menikah
mendasarkan Pasal 1330
KUHPerdata. Selanjutnya
untuk
penjelasan
tentang
orang
perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh undangundang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu, diatur pula dalam Pasal 108 KUHPerdata bahwa
seorang
perempuan
yang
disebutkan
bersuami,
untuk
mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya. Namun hal ini sudah tidak berlaku dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang
Perkawinan,
yakni
Pasal
31
yang
menyatakan: hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan
hak
dan
kedudukan
suami
dalam
kehidupan
rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
Soebekti
menjelaskan
bahwa
dari
sudut
keadilan,
perlulah bahwa orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, karena seorang yang membuat suatu
perjanjian
itu
berarti
mempertaruhkan
kekayaannya, maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh
berhak
bebas
berbuat dengan harta
kekayaannya. 3) Suatu hal tertentu Yang dimaksud dengan suat hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi
itu
sendiri
bisa
berupa
perbuatan
untuk
memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Di dalam KUHPerdata Pasal 1333 ayat (1) menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak menjadi masalah asalkan di kemudian hari ditentukan berdasarkan Pasal 1333 ayat 2.
4) Suatu sebab yang halal Yang dimaksud dengan sebab atau kausa di sini bukanlah sebab yang mendorong orang tersebut melakukan perjanjian.
Sebab
atau
kausa
suatu
perjanjian
adalah
tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak, sedangkan sebagaimana yang telah dikemukakan Soebekti, adanya suatu sebab yang dimaksud tiada lain daripada isi perjanjian. Pada Pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa suatu sebab atau kausa yang halal adalah apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian yang tidak mempunyai sebab yang tidak halal akan berakibat perjanjian itu batal demi hukum. 5. Unsur-unsur Perjanjian Unsur-unsur perjanjian antara lain sebagai berikut :19 a. Unsur Essentialia Unsur essentialia ini merupakanunsur yang harus ada dalam suatu perjanjian. Tanpa adanya unsur ini suatu perjanjian tidak mungkin ada. Sebagai contoh, dalam perjanjian jual beli harus ada
kesepakatan
mengenai
barang
dan
harga.
Tanpa
kesepakatan mengenai barang dan harga, maka perjanjian 19
Herlien Budiono, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian & Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Bandung, Citra Aditya, hlm. 69
tersebut batal demi hukum karena tidak terpenuhinya syarat ketiga syarat sahnya suatu perjanjian dalam pasal 1320 KUHPerdata mengenai adanya hal tertentu yang diperjanjikan. b. Unsur Naturalia Unsur naturalia merupakan unsur yang lazim atau dianggap selalu ada dalam perjanjian. Unsur ini telah diatur dalam undang-undang, sehingga apabila perjanjian tersebut tidak mengaturnya, maka undang-undang yang melengkapinya. c. Unsur Accidentialia Unsur accidentialia merupakan unsur dalam perjanjian yang mengikat para pihak apabila diatur secara tegas dalam perjanjian. Unsur ini merupakan unsur yang ditambahkan oleh para pihak untuk memenuhi kepentingan dan memberikan perlindungan hukum bagi para pihak. 6. Berakhirnya Perjanjian Berakhirnya perikatan berbeda dengan berakhirnya perjanjian. Perikatan dapat berakhir apabila pokok dari perikatan tersebut telah terpenuhi atau terlaksana, sedangkan perjanjian akan berakhir setelah isi dari perjanjian yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak telah terlaksana.20
20
R. Setiawan, 1999, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung, Putra A Bardin, hlm. 69
R. Setiawan berpendapat bahwa suatu perjanjian dapat berakhir antara lain:21 a. Ditentukan dalam persetujuan oleh para pihak Misalnya
:
Penyewa
dan
yang
menyewakan
bersepakat
untuk mengadakan perjanjian sewa menyewa yang akan berakhir setelah 3 tahun. b. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian Misalnya : Perjanian untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan ditentunkan paling lama 5 tahun. c. Para pihak atau undang-undang dapat mentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu, maka perjanjian akan hapus. Misalnya : Dalam perjanjian kerja ditentukan bahwa jika buruh meninggal dunia perjanjian menjadi hapus. d. Penyataan menghentikan persetujuan (opzegging) Opzegging dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak. Opzegging hanya ada pada perjanjian-perjanjian yang bersifat sementara. Misalnya : Baik penyewa maupun yang menyewakan dalam sewa menyewa orang menyatakan untuk mengakhiri perjanjian sewanya.
21
Ibid, hlm. 69
e. Perjanjian hapus karena putusan hakim. Dalam hal ini hakimlah yang menentukan barakhirnya perjanjian antara para pihak. f. Tujuan perjanjian telah tercapai. Misalnya : Dalam perjanjian jual beli bila salah satu pihak telah mendapat uang dan pihak lain telah mendapat barang maka perjanjian akan berakhir. g. Berdasarkan persetujuan para pihak (herroeping). Dalam
hal
ini
para
pihak
masing-masing
setuju
untuk
saling menhentikan perjanjiannya. Misalnya : perjanjian pinjaman pakai berakhir karena pihak yang meminjam telah mengembalikan barangnya.
B. Tinjauan Umum Mengenai Perjanjian Jual Beli 1. Pengertian Perjanjian Jual Beli Menurut Salim H.S. perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian yang dibuat antara pihak penjual dan pembeli. Didalam perjanjian itu pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual beli kepada pembeli dan berhak menerima objek tersebut.22 Sifat perjanjian jual beli pada dasarnya merupakan salah satu bagian dari bagian asas dalam perjanjian. Dalam perjanjian jual beli juga terkandung kesepakatan
22
Salim,H.S. 2005, Hukum Kontrak dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta, Cetakan Ketiga Sinar Grafika, hlm.49
kehendak para pihak untuk saling mengikatkan diri dan menimbulkan kepercayaan diantara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian. Dalam pasal 1458 KUHPerdata ditemukan pengertian bahwa jual beli adalah suatu perjanjian konsensuil dimana secara sederhana dapat dikatakan bahwa pada dasarnya setiap penerimaan yang diwujudkan dalam bentuk pernyataan penerimaan, baik yang dilakukan secara lisan maupun yang dibuat dalam bentuk tertulis menunjukkan saat lahirnya perjanjian. Perjanjian jual beli dilahirkan pada saat detik tercapainya sepakat mengenai barang dan harga oleh kedua belah pihak.23 Unsur yang paling utama dari perjanjian jual beli ialah barang dan harga. Akan tetapi terdapat unsur lain yang termuat dalam jual beli, antara lain sebagai berikut :24 a. Adanya penjual dan pembeli b. Adanya kesepakatan penjual dan pembeli tentang barang dan harga c. Adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan pembeli Apabila namun
ada
terjadi hal
kesepakatan
mengenai
harga
dan
barang
lain yang tidak disepakati yang terkait dengan
perjanjian jual beli tersebut, jual beli tetap tidak terjadi karena tidak
23
Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian Azas Proporsional dalam kontrak Komersil, Jakarta, Kencana, hlm. 122-123 24 Salim, H.S, Op. Cit, hlm.49
terjadi kesepakatan. Akan tetapi, jika para pihak telah menyepakati unsur esensial dari perjanjian jual beli tersebut, dan para pihak tidak mempersoalkan hal lainnya, klausul-klausul yang dianggap berlaku dalam perjanjian tersebut merupakan ketentuan-ketentuan tentang jual beli yang ada dalam perundang-undangan (BW) atau biasa disebut unsur naturalia.25 Walaupun
telah
terjadi
persesuaian
antara
kehendak
dan
pernyataan, namun belum tentu barang itu menjadi milik pembeli, karena harus diikuti proses penyerahan (levering) benda yang tergantung kepada jenis bendanya yaitu : 26 a. Benda Bergerak Penyerahan benda bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata dan kunci atas benda tersebut. b. Piutang atas nama dan benda tak bertubuh Penyerahan akan piutang atas nama dan benda tak bertubuh lainnya dilakukan dengan sebuah akta otentik atau akta di bawah tangan. c. Benda tidak bergerak Untuk
benda
tidak
bergerak,
penyerahannya
dilakukan
dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan, di Kantor Penyimpan Hipotek. 25
Op.cit, hlm. 127. Salim H.S., 2003, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 49. 26
Pengertian mengenai perjanjian jual beli yang tertuang dalam pasal 1457 Kitab Undang-undang Hukum Perdata sebagaimana telah dikemukakan diatas, membebankan kewajiban bagi masing-masing pihak yaitu:27 1)
Kewajiban bagi penjual untuk menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.
2)
Kewajiban bagi pembeli untuk membayar harga barang yang dibeli kepada penjual.
2. Lahirnya perjanjian jual Beli Mengenai kapan perjanjian jual beli dianggap telah terjadi harus dilihat dari jenis perjanjian yang dibuat dan disepakati para pihak. Bila dalam perjanjian yang disepakati oleh kedua belah pihak tidak disyaratkan adanya penyerahan riil, maka perjanjian jual beli seketika dianggap telah terjadi saat kedua belah pihak telah mencapai sepakat tentang barang obyek perjanjian serta harganya meski belum ada penyerahan nyata atas barang dan harga sebagaimana diatur dalam pasal 1458 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau dengan kata lain telah terjai persesuaian kehendak dari para pihak. 3. Subjek dan Objek Perjanjian Jual Beli a. Subjek Hukum terdiri dari manusia dan badan hukum. Oleh sebab itu, pada dasarnya semua orang atau badan hukum
27
Yahya Harahap. M, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung, Alumni, hlm.6
dapat menjadi subjek dalam perjanjian jual beli yaitu sebagai penjual dan pembeli, dengan syarat yang bersangkutan telah dewasa dan atau sudah menikah. Namun secara yuridis ada beberapa orang yang tidak diperkenankan untuk melakukan perjanjian jual beli, sebagaimana dikemukakan berikut ini:28 1) Jual beli Suami istri Pertimbangan hukum tidak diperkenankannya jual beli antara suami istri adalah karena sejak terjadinya perkawinan, maka sejak saat itulah terjadi pencampuran
harta,
yang
disebut harta bersama kecuali ada perjanjian kawin. Namun ketentuan tersebut ada pengecualiannya yaitu:29 a) Jika seorang suami atau istri menyerahkan bendabenda kepada isteri atau suaminya, dari siapa ia oleh Pengadilan telah dipisahkan untuk
memenuhi
apa
yang menjadi hak suami atau istri menurut hukum. b) Jika
penyerahan
dilakukan
oleh
seorang
suami
kepada isterinya, juga dari siapa ia dipisahkan berdasarkan pada suatu alasan yang sah, misalnya mengembalikan benda-benda si
istri yang telah
dijual atau uang yang menjadi kepunyaan istri, jika benda itu dikecualikan dari persatuan.
28 29
Op. Cit, hlm. 50 Ibid.
c) Jika si istri menyerahkan barang-barang kepada suaminya untuk melunasi sejumlah uang yang ia telah
janjikan
kepada
suaminya
sebagai harta
perkawinan. 2) Jual beli oleh para Hakim, Jaksa, Advokat, Pengacara, Juru
Sita
dan
Notaris. Para Pejabat
ini
diperkenankan melakukan jual beli hanya pada
benda-benda
atau
barang
dalam
tidak terbatas
sengketa.
Apabila hal itu tetap dilakukan, maka jual beli itu dapat dibatalkan, serta dibebankan untuk penggantian biaya, rugi dan bunga. 3) Pegawai yang memangku jabatan umum yang dimaksud dalam hal ini adalah membeli untuk kepentingan sendiri terhadap barang yang dilelang. b. Objek Perjanjian Jual Beli Hal-hal yang dapat menjadi objek dalam perjanjian jual beli adalah sesuatu yang berwujud benda/barang (zaak). Barang yang dimaksud merupakan barang yang memiliki nilai kekayaan. Sesuai isi dalam
pasal 1332 KUHPerdata, barang-barang yang dapat
diperjual belikan merupakan barang dalam perdagangan. Barangbarang tersebut dapat berupa barang berwujud ataupun tidak
berwujud, asalkan barang yang menjadi objek perjanjian tersebut sudah ada atau tidak gugur saat perjanjian dibuat.30 Yang dapat menjadi objek dalam jual beli adalah semua benda bergerak dan benda tidak bergerak, baik menurut tumpukan, berat, ukuran, dan timbangannya. Sedangkan yang tidak diperkenankan untuk diperjualbelikan adalah : 31 1) Benda atau barang orang lain 2) Barang
yang tidak
diperkenankan oleh undang-undang
seperti obat terlarang 3) Bertentangan dengan ketertiban, dan 4) Kesusilaan yang baik Pasal
1457
memakai
istilah
Kitab
Undang-Undang
zaakuntuk
menentukan
hukum apa
yang
Perdata dapat
menjadi objek jual beli. Menurut pasal 499 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, zaak adalah barang atau hak yang dapat dimiliki. Hal tersebut berarti bahwa yang dapat dijual dan dibeli tidak hanya barang yang dimiliki, melainkan juga suatu hak atas suatu barang yang bukan hak milik.
30
Ibid, hlm. 182 Op. Cit , hlm. 51
31
4. Harga Harga merupakan unsur essensial dalam perjanjian jual beli. Harga berarti sejumlah uang yang harus diserahkan oleh pembeli kepada penjual sebagai bentuk kontraprestasi atas barang yang telah diserahkan oleh penjual.32 Harga barang harus sepadan dengan nilai sesungguhnya dari benda yang dijual karena bila tidak sepadan (lebih rendah dari rata-rata harga sesungguhnya), maka perjanjian tersebut mengandung unsur penghadiahan terselubung atau bahkan dapat dikatakan sebagai perjanjian hibah (schenking).33 Tetapi harga yang sepadan ini penting, mengingat tujuan jual beli, yaitu jual beli tiada lain bermaksud untuk mendapatkan pembayaran yang pantas atas barang yang dijual. Lagipula harga yang sepadan berguna sebagai alat untuk melindungi penjual dan pembeli dari tindakan kekerasan atau pemaksaan harga yang rendah, juga melindungi penjual dan pembeli atas salah pengertian dan tipu muslihat.34 Harga yang sepadan ini ditentukan dengan persetujuan kedua belah pihak. Ini dapat dilihat dengan jelas pada jual beli dengan cara tawar menawar. Penjual menawarkan suatu harga tertentu dan sebaliknya
32
pembeli
Ibid, hlm. 183. Ibid 34 Harahap, op. cit., hlm. 183 33
juga
menawarkan
suatu
harga
tertentu,
sehingga akhirnya dicapai kesepakatan. Dalam hal barang dijual dengan harga yang tidak dapat ditawar lagi, seraingkali si pembeli belum tentu setuju dengan harga barang yang diminta penjual, karena harga barang dinilai tidak sepadan dengan nilai barang. Jika
si
pembeli membeli
membutuhkannya,
maka
dapat
barang dikatakan
tersebut telah
karena
ia
terjadi suatu
paksaan dalam jual beli dan ini tentu tidak sesuai dengan pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata / tetapi pembeli tidak diharuskan membeli benda tesebut, jadi pembeli dapat saja tidak jadi membeli. Hal ini jika penjual dan pembeli tidak dapat mencapai kesepakatan
dalam
menetapkan
harga
yang
pantas,
kedua belah pihak dapat menyerahkan penentuan harganya kepada pihak ketiga. Jika pihak ketiga gagal menetapkan harga, maka jual beli tersebut dianggap tidak ada. 5. Hak dan Kewajiban Para Pihak Perjanjian Jual Beli a. Kewajiban pihak penjual pada pokoknya diatur pada Pasal 1474 KUHPerdata, yaitu : 1) Kewajiban untuk menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli. 2) Kewajiban memberi pertanggungan atau jaminan bahwa barang yang dijual tidak dibebankan sebagai jaminan atau bebas dari tuntutan pihak manapun.
b. Kewajiban pihak membeli pada pokoknya diatur pada Pasal 1513 yaitu kewajiban melakukan pembayaran atas harga dari barang yang sebelumnya telah disepakati bersama dengan pihak penjual. c. Hak dari pihak penjual yang telah diatur pada Pasal 1513 jo Pasal 1514 KUHPerdata yaitu penjual berhak menuntut pembayaran harga pada waktu dan tempat yang telah penyerahan bersama dalam perjanjian, pada tempat penenyerahan barang dilakukan . d. Menurut Pasal 1478 KUHPerdata penjual berhak menahan barangnya atau tidak menyerahkan kepada pembeli jika pembeli belum membayar harganya . e. Hak pihak pembeli menurut Pasal 1491 KUHPerdata yaitu, pembeli berhak mendapatkan jaminan untuk dapat memiliki barang itu dengan aman dan tentram. Serta jaminan terhadap cacat yang tersembunyi dan sebagainya, yang dapat dijadikan alasan untuk pembatalan pembelian. Dilakukannya penyerahan dlihat dari pasal 1478 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, yang diwajibkan
menyerahkan
membayar
harganya,
berbunyi:
barangnya, jika
sedangkan
si
“si si
penjual pembeli
penjual
tidak
tidak belum telah
mengijinkan penundaan pembayaran kepadanya.35 Jadi dalam hal penjual tidak memberikan kelonggaran kepada pembeli untuk menyelesaikan pembayaran di kemudian hari, pembeli belum membayar harga, maka penjual juga tidak wajib menyerahkan barangnya. Penjual menyerahkan barangnya secara bersamaan ketika pembeli membayar harga barangnya. Jika ternyata penjual lalai menyerahkan barang kepada pembeli, pembeli dapat menuntut pembatalan jual beli sesuai dengan ketentuan pasal 1266 dan 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1266 menyatakan dalam suatu perjanjian timbal balik, bila salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka kelalaian atau keingkaran tersebut adalah merupakan syarat yang membatalkan perjanjian. Maksud dari syarat yang membatalkan adalah perjanjian itu jika diingkari tidak batal dengan sendirinya atau batal demi hukum, tetapi harus dimintakan pembatalan kepada pengadilan. 6. Bentuk-bentuk perjanjian Jual Beli Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan dan tulisan yang dapat bersifat sebagai alat bukti apabila terjadi perselisihan. Untuk beberapa perjanjian tertentu,
35
tertentu sehingga
undang-undang menentukan suatu bentuk apabila
bentuk
itu
tidak
dituruti
maka
Prof.R. Subekti, SH. R. Tjitrosudibio, 2007, Kitab Undang-undang hukum perdata, cet x.tahun, pasal1478.
perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian bentuk tertulis tidaklah hanya semata-mata
merupakan
merupakan
untuk
syarat
alat
pembuktian
saja,
tetapi
adanya perjanjian tersebut. Misalnya
perjanjian mendirikan Perseroan Terbatas harus dengan akta Notaris. Bentuk perjanjian jual beli ada dua yaitu :36 a. Lisan, yaitu dilakukan secara lisan dimana kedua belah pihak bersepakat untuk mengikatkan dirinya melakukan perjanjian jual beli yang dilakukan secara lisan. b. Tulisan, yaitu Perjanjian Jual beli dilakukan secara tertulis biasanya dilakukan dengan akta autentik maupun dengan akta di bawah tangan. Akta Autentik adalah suatu akta yang dibuat di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. Mengenai Akta Autentik diatur dalam pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Berdasarkan inisiatif pembuatnya akta autentik dibagi menjadi dua, yaitu:37 1) Akta Pejabat (acte amtelijke) Akta yang tersebut 36
Pejabat
adalah
akta
yang
dibuat
oleh
pejabat
diberi wewenang untuk itu dengan mana pejabat menerangkan
apa
yang
dilihat
serta
apa
yang
Handri Rahardjo, 2010, Cara Pintar memilih dan mengajukan kredit, Yogyakarta, Pustaka , Yustisia, hlm. 10. 37 Ibid, hlm. 10
dilakukannya. Jadi inisiatifnya tidak berasal dari orang yang namanya diterangkan di dalam akta itu. Contohnya Akta Kelahiran. 2) Akta Para Pihak (acte partij) Akta Para Pihak adalah akta yang inisiatif pembuatannyadari para pihak di hadapan pejabat yang berwenang. Contohnya akta sewa menyewa. 7. Larangan Perjanjian Jual Beli Tertuang dalam pasal 1467-1469 KUHPerdata : a.
Larangan perjanjian jual beli antara suami isteri dengan tujuan untuk
mencegah
terjadinya
percampuran
harta
dalam
perkawinan. b.
Larangan bagi para hakim, jaksa, panitera, pengacara, juru sita, dan notaris untuk bertindak sebagai pembeli yang berkaitan dengan barang-barang dengan tugas jabatan.
c.
Larangan
bagi
pegawai
yang
bertugas
langsung
menyelenggarakan dan menyaksikan penjualan suatu barang untuk bertindak sebagai pembeli bagi dirinya sendiri. 8. Perjanjian Jual Beli Barang Orang Lain Pasal 1471 KUHPerdata memberikan ketegasan bahwa perjanjian jual beli barang kepunyaan orang lain adalah batal. Menurut M.Yahya Harahap, prinsip atas Pasal 1471 KUHPerdata yang telah disebutkan diatas mengandung banyak pertentangan dengan ketentuan pada pasal-
pasal lain di undang-undang yang sama maupun dengan praktek perjanjian jual beli yang terjadi sehari-hari. Salah satu diantaranya yaitu bezit atau pemegang hak atas barang bergerak dianggap sebagai pemilik yang sempurna, sehingga dengan begitu perjanjian jual beli yang dilakukan oleh pemegang barang bergerak kepunyaan orang lain kepada pihak ketiga adalah sah sesuai dengan ketentuan pada Pasal 1977 ayat (2) KUHPerdata.38 9. Musnahnya Perjanjian Barang Jual Beli Menurut Pasal 1472 paragraf kedua memberikan kemungkinan lain mengenai kemusnahan sebagian dari objek perjanjian jual beli mengalami kemusnahan sebagian, pembeli memiliki beberapa pilihan yaitu menghentikan pembelian atau meneruskan pembelian atas objek perjanjian jual beli yang tersisa sebagian dengan kompensasi harga pembayaran yang sesuai.39 Musnahnya perjanjian jual beli : a. Karena tujuan perjanjian sudah tercapai; b. Dengan persetujuan kedua belah pihak sesuai dengan Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata; c. Karena ketentuan undang-undang, misalnya: Pasal 1601 KUHPerdata tentang perburuhan, jika si buruh meninggal, maka perjanjian perburuhan menjadi hapus;
38
Ibid, hlm. 7 Ibid, hlm. 184
39
d. Karena ditentukan oleh para pihak mengenai perjanjian dengan jangka waktu tertentu; e. Karena keputusan hakim; dan f. Karena diputuskan oleh salah satu pihak, yaitu jika salah satu pihak tidak melakukan prestasi, maka pihak lainnya tidak wajib melakukan kontra prestasi.
C. Tinjauan Umum Mengenai Pembatalan Perjanjian Jual Beli 1. Faktor-faktor Pembatalan Perjanjian Jual Beli Menurut peraturan perundang-undangan dan literatur, bahwa faktor-faktor yang melatar belakangi pembatalan perjanjian jual beli tanah yang diikat dengan akta jual beli yang dikeluarkan oleh PPAT adalah :40 a. Tidak terpenuhinya persyaratan yang ditetapkan oleh undangundang untuk jenis perjanjian formil, yang berakibat perjanjian batal demi hukum b. Tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian. c. Terpenuhinya syarat batal pada jenis perjanjian yang bersyarat. d. Pembatalan oleh pihak ketiga atas dasar action paulina. Sedangkan menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, bahwa faktor-faktor yang melatarbelakangi pembatalan
40
http://prodipps.unsyiah.ac.id/Jurnalmih/images/Jurnal/2.2013/2.1.8.2013/12.106.115.budi. sunanda.pdf, diakses pada hari Selasa, Tanggal 27 April 2016, 00.32
perjanjian jual beli yang diikat dengan akta jual beli yang dikeluarkan oleh PPAT dapat dikelompokkan sebagai berikut: a.
Kebatalan perjanjian karena tidak memenuhi syarat objektif sahnya perjanjian, yaitu kesepakatan para pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
b.
Kebatalan perjanjian karena tidak memenuhi sebab yang halal sebagaimana diatur dalam Pasal 1320.
c.
Kebatalan
perjanjian
karena
tidak
memenuhi
syarat
sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Namun, bila dilihat dari kewenangan PPAT dalam membuat akta jual beli tanah, maka faktor-faktor pembatalan perjanjian jual beli tanah meskipun telah memiliki akta jual beli tanah dari PPAT harus memperhatikan hal-hal berikut ini:41 a.
Kedudukan atau status penjual adalah pihak yang berhak menjual tanah.
b.
Penjual adalah pihak yang berwenang menjual.
c.
Pembeli pihak yang diperkenankan membeli tanah.
Secara prinsip suatu perjanjian yang telah dibuat secara sah dapat dibatalkan jika perjanjian tersebut dalam pelaksanaannya akan merugikan pihak-pihak tertentu. Pihak-pihak ini yang berhak untuk memintakan pembatalan, tidak hanya pihak dalam perjanjian tersebut, tetapi meliputi juga setiap individu yang merupakan pihak ketiga di 41
Ibid.
luar para pihak yang mengadakan perjanjian. Dalam hal ini pembatalan atas perjanjian itu dilaksanakan maupun setelah prestasi yang wajib dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang dibuat tersebut dilaksanakan. 42 Adapun sebelum melakukan suatu perjanjian, perlu diketahui bahwa KUHPerdata mengatur ketentuan mengenai syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata Apabila dalam perjanjian ternyata terdapat pelanggaran/cacat terhadap ketentuan yang disebutkan pada pasal 1320 KUHPerdata tersebut, maka perjanjian yang telah dibuat dapat dimintakan pembatalan dan adapula perjanjian yang telah dibuat dianggap batal demi hukum (tanpa dimintakan pembatalan telah dianggap batal). D. Tinjauan Umum Mengenai Perjanjian Jual beli Tanah 1. Pengertian Perjanjian Jual Beli Tanah Boedi Harsono menyebutkan bahwa perjanjian jual beli tanah merupakan perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak milik oleh penjual kepada pembeli yang pada saat itu pula dilakukan pembayaran sesuai harga dan cara pembayaran yang telah disepakati oleh para pihak. Adanya jual beli tanah mengakibatkan beralih nya hak atas tanah dari penjual kepada pembeli.43
42
Ibid. Boedi harsono, 2002, Menuju Penyempurnaan hukum Tanah Nasional, Jakarta, cetakan ke-1, Penerbit Universitas Trisakti, hlm.135 43
Sejak diundangkannya UUPA pada tanggal 24 September 1960 yang menghapus dualisme hukum tanah di Indonesia, pengertian jual beli tanah tidak sama lagi dengan jual beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1457 dan Pasal 1458 KUHPerdata. UUPA menciptakan unifikasi di bidang hukum tanah yang didasarkan pada hukum adat. Oleh karena itu meskipun UUPA tidak mengatur secara khusus mengenai jual beli, dapat dipahami pengertian jual beli tanah dalam Hukum Tanah Nasional adalah jual beli tanah dalam pengertian hukum adat mengingat Hukum Tanah Nasional yang berlaku adalah hukum adat. Dalam UUPA istilah jual beli hanya disebutkan dalam Pasal 26 yaitu yang menyangkut jual beli hak milik atas tanah. Dalam pasalpasal lainnya tidak ada kata yang menyebutkan jual beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan suatu perbuatan hukum yang disengaja untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain melalui jual beli, hibah, tukar menukar, dan hibah wasiat. Jadi, meskipun dalam UUPA hanya disebutkan dialihkan, termasuk salah satunya adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah karena jual beli.
2. Sifat Perjanjian Jual Beli Tanah Undang-undang pokok Agraria indonesia masih merujuk pada hukum adat. Sifat perjanjian jual beli tanah berdasarkan konsep hukum adat menurut Effendi Perangin adalah:44 a. Contant atau Tunai b. Terang c. Riil 3. Syarat Perjanjian Jual Beli Hak atas Tanah Syarat perjanjian jual beli hak atas tanah antara lain, sebagai berikut :45 a. Syarat Materiil 1) Syarat Penjual 2) Syarat Pembeli b. Syarat Formil Merupakan formalitas yang harus dipenuhi dalam transaksi perjanjian jual beli. Formalitas tersebut meliputi akta yang menjadi bukti perjanjian jual beli serta pejabat yang berwenang membuat akta tersebut. Jual beli hak atas tanah merupakan proses peralihan hak yang sudah ada sejak jaman dahulu. Jual beli ini didasarkan pada hukum
44
Effendi Perangin, 1989, Hukum Agraris Indonesia, Jakarta, Rdjawali, hlm.16. Andy Hartanto, 2009, Problematika Hukum Jual Beli Tanah Belum Bersertifikat, Surabaya, Laksbang Mediatama, hlm. 75 45
Adat. Selain itu juga harus memenuhi syarat-syarat seperti: Terang, Tunai dan Rill. Terang artinya di lakukan di hadapan Pejabat Umum yang berwenang, Tunai artinya di bayarkan secara tunai, dan Rill artinya jual beli dilakukan secara nyata. Jadi, apabila harga belum lunas, maka belum dapat dilakukan proses jual beli sebagaimana dimaksud. Dewasa ini, yang diberi wewenang untuk melaksanakan jual beli adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang terdiri dari: a.
PPAT sementara
yakni Camat
yang oleh karena
jabatannya dapat melaksanakan tugas PPAT untuk membuat akta jual beli tanah. Camat disini diangkat sebagai PPAT untuk daerah terpencil atau daerah – daerah yang belum cukup jumlah PPAT nya. b.
PPAT yakni Pejabat Umum yang diangkat oleh kepala Badan Pertanahan Nasional yang mempunyai kewenangan membuat akta jual beli yang bertugas untuk wilayah kerja tertentu.
Adapun prosedur jual beli tanah yang harus ditempuh dalam pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan adalah sebagai berikut: a.
Akta
Jual
Beli
(AJB)
Bilamana
sudah
tercapai
kesepakatan mengenai harga tanah termasuk didalamnya
cara pembayaran dan siapa yang menangung biaya pembuatan Akta Jual Beli (AJB) antara pihak penjual dan pembeli, maka para pihak harus datang ke kantor PPAT untuk membuat akta jual beli tanah. b.
Persyaratan Akta Jual Beli (AJB) Hal-hal yang diperlukan dalam membuat Akta Jual Beli tanah di kantor PPAT adalah sebagai berikut: 1) Syarat-syarat yang harus dibawa penjual: a) Asli sertifikat hak atas tanah yang akan dijual; b) Kartu Tanda Penduduk; c) Bukti Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sepuluh tahun terakhir; d) Surat persetujuan suami isteri serta kartu keluarga bagi yang telah berkeluarga. 2) Syarat-syarat yang harus dibawa oleh Calon Pembeli: a) Kartu Tanda Penduduk b) Kartu Keluarga
c.
Proses pembuatan AJB di Kantor PPAT 1) Persiapan pembuatan AJB sebelum dilakukan proses jual beli: a)
Dilakukan pemeriksaan mengenai keaslian dari sertipikat termaksud di kantor Pertanahan untuk
mengetahui status sertifikat saat ini seperti keasliannya, apakah sedang dijaminkan kepada pihak
lain
atau
sedang
dalam
sengketa
kepemilikan, dan terhadap keterangan sengketa atau tidak, maka harus disertai surat pernyataan tidak sengketa atas tanah tersebut; b) Terkait status tanah dalam keadaan sengketa, maka PPAT akan menolak pembuatan AJB atas tanah tersebut; c)
Calon pembeli dapat membuat pernyataan bahwa dengan membeli tanah tersebut maka tidak lantas menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan batas luas maksimum;
d) Penjual Penghasilan
diharuskan (Pph)
membayar sedangkan
Pajak pembeli
diharuskan membayar bea perolehan hak atas tanah dan anggunan (BPHTB) dengan ketentuan berikut ini: Pajak Penjual (Pph) = NJOP/harga jual X 5 % Pajak Pembeli (BPHTB) = {NJOP/harga jual - nilai tidak kena pajak} X 5%.
2) Pembuatan Akta Jual Beli a)
Dalam pembuatan akta harus dihadiri oleh penjual dan calon pembeli atau orang yang diberi kuasa dengan surat kuasa tertulis;
b) Dalam pembuatan akta harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi; c)
PPAT akan membacakan serta menjelaskan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan bila isi akta disetujui maka oleh penjual dan calon pembeli akta tersebut akan ditandatangani oleh para pihak, sekaligus saksi dan pejabat pembuat akta tanah sendiri;
d) Akta dibuat dua lembar asli, satu disimpan oleh di kantor PPAT dan lembar lainnya akan disampaikan kepada kantor pertanahan setempat untuk
keperluan
balik
nama
atas
tanah,
sedangkan salinannya akan diberikan kepada masing-masing pihak. 3) Setelah Pembuatan Akta Jual Beli a)
Setelah Akta Jual Beli selesai dibuat, PPAT menyerahkan
berkas
tersebut
ke
kantor
pertanahan untuk balik nama sertipikat; dan
b) Penyerahan akta harus dilakukan selambatlambatnya
7
(tujuh)
hari
kerja
sejak
ditandatangani, dengan berkas-berkas
yang
harus diserahkan antara lain: surat permohonan balik nama yang telah ditandatangani pembeli, Akta Jual Beli dari PPAT, Sertipikat hak atas tanah, Kartu tanda penduduk kedua belah pihak, Bukti lunas pembayaran Pph, serta bukti lunas pembayaran bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. 4) Proses di Kantor Pertanahan a)
Saat
berkas
diserahkan
kepada
kantor
pertanahan, maka kantor pertanahan akan memberikan permohonan
tanda balik
bukti nama
penerimaan
kepada
Pejabat
Pembuat Akta Tanah yang selanjutkan akan diberikan kepada pembeli; b) Nama penjual dalam buku tanah dan sertipikat akan docoret dengan tinta hitam dan diberi paraf oleh kepala kantor pertanahan atau pejabat yang ditunjuk; c)
Nama pembeli selaku pemegang hak atas tanah yang baru akan ditulis pada halaman dan kolom
yang terdapat pada buku tanah dan sertipikat dengan dibubuhi tanggal pencatatan serta tandatangan kepala kantor pertanahan atau pejabat yang ditunjuk; dan d) Dalam waktu 14 (empat belas) hari pembeli berhak mengambil sertipikat yang sudah dibalik atas nama pembeli di kantor pertanahan setempat.
E. Tinjauan Umum Mengenai Akta Kuasa 1. Pengertian Akta Menurut S.J Fockema Andeae dalam bukunya “Recht geleerd Handwoorddenboek” kata akta berasal dari bahasa Latin “acta” yang berarti geschrift atau surat, sedangkan menurut R. Subekti dan Tjitrosudibio dalam bukunya Kamus Hukum menyatakan bahwa “acta” merupakan bentuk jamak dari kata “actum” yang berasal dari bahasa latin dan berarti perbuatan-perbuatan.46 Sedangkan Akta dalam bahasa belanda disebut dengan “acte atau akkta” akta memiliki pengertian luas dan sempit yaitu:47
46
Victor M Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1993, Grosse Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi, Jakarta, Rineka Cipta, hlm. 24 47 Alfatika Aunuriella Dini, 2011, Tinjauan Yuridis Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah Yang Dibuat Di Hadapan Notaris, Yogyakarta, Unisba, hlm. 57
a. Pengertian yang luas yaitu suatu perbuatan atau handeling atau perbuatan hukum/rechthandeling. b. Pengertian yang sempit ialah suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai/digunakan sebagai bukti perbuatan hukum tersebut yaitu berupa tulisan yang ditunjukkan kepada pembuktian sesuatu. Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut “acte” atau “akta” dan dalam bahasa Inggris disebut “act” atau “deed” menurut pendapat umum mempunyai dua arti, yaitu: a. Perbuatan (handling) atau perbuatan hukum (nrechtshandeling). b. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai atau untuk digunakan sebagai perbuatan hukum tertentu yaitu berupa tulisan yang ditunjukkan kepada pembuktian tertentu. Akta
adalah
surat
tanda
bukti
berisi
pernyataan
(keterangan, pengakuan, keputusan, dsb) tentang peristiwa hukum yang
dibuat
menurut
peraturan yang berlaku, disaksikan dan
disahkan oleh pejabat resmi. Dengan demikian, maka unsur penting untuk suatu akta ialah kesengajaan untuk menciptakan suatu bukti tertulis dan penandatanganan
tulisan
itu.
Syarat
tersebut dilihat dari Pasal 1874 ketentuan-ketentuan
tentang
penandatangan
KUHPerdata
pembuktian
dari
akta
yang memuat tulisan-tulisan
dibawah tangan yang dibuat oleh orang-orang Indonesia atau yang dipersamakan dengan mereka. 2. Macam Akta a. Akta otentik Pengertian
akta
otentik
dijelaskan
dalam
Pasal
1868
KUHPerdata yaitu suatu akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 165 HIR, 285 RBG juga dijelaskan apa yang dimaksud dengan akta otentik yaitu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu, sebagai bukti yang lengkap bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta orang yang mendapat hak darinya tentang segala hal yang disebut dalam surat itu dan bahkan apa yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan saja sepanjanglangsung mengenai pokok dalam akta tersebut. Sebagaimana dalam undang-undang Nomor 2 tahun 2014 tentang jabatan Notaris dijelaskan bahwa notaris ialah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan berwenang lainnya sebagai yang dimaksud dalam undang-undang ini. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa undangundang menentukan bentuk dari akta otentik dan menyatakan bentuk dari akta otentik dan menyatakan bahwa suatu akta otentik
dibuat dihadapan pegawai yang berwenang yaitu Notaris. Selain itu dapat disimpulkan pula sesuai dengan pengertian akta otentik dalam Pasal 1868 KUHPerdata, suatu akta dapat disebut sebagai akta otentik bilamana memenuhi persyaratan yang ada. Akta otentik menurut Pasal 1868 KUHPerdata pada hakikatnya memiliki kebenaran formal dan kebenaran yang sempurna. Akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna artinya apabila seseorang mengajukan akta otentik kepada hakim sebagai bukti, maka hakim harus menerima dan menganggap apa yang tertulis didalam akta merupakan peristiwa yang nyata terjadi dan hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian. b. Akta di bawah tangan Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat tidak oleh atau tanpa perantara seorang pejabat umum, melainkan dibuat dan ditandatangani sendiri oleh para pihak yang mengadakan perjanjian. Akta dibawah tangan memiliki kekuatan pembuktian yang
sama
dengan
akta
otentik
jika
para
pihak
yang
menandatangani surat perjanjian tersebut mengakui dan tidak menyangkal tanda tangan dalam akta tersebut, tidak menyangkal isi serta apa yang tertulis dalam surat perjanjian itu.48 Menurut Sudikno
Mertokusumo,
akta
dibawah tangan
adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para 48
R. Soeroso, 2010, Perjanjian di Bawah Tangan Pedoman Praktis Pembuatan dan Aplikasi Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 8
pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara pihak yang berkepentingan.49 Dalam Pasal 101 ayat (b) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menyatakan bahwa akta dibawah tangan adalah surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya. 3. Kekuatan Pembuktian Akta Tujuan dilakukan suatu pembuktian dalam persidangan atau dalam suatu sengketa adalah memberikan keyakinan kepada hakim mengnai peristiwa yang diajukan. Selanjutnya hakim diharapkan mengeluarkan putusan atas pembuktian yang diajukan tersebut. Sebagaimana diketahui dalam akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sah dan sempurna. Akta otentik juga memiliki kekuatan pembuktian sebagai berikut :50 a. Kekuatan Pembuktian Lahriyah b. Kekuatan Pembuktian Formal c. Kekuatan Pembuktian Materiil Kekuatan pembuktian dalam akta dibawah tangan tidak memiliki kekuatan pembuktian lahiriyah sebagaimana dalam akta otentik. 49
Sudikno Mertokusumo, 1998, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Yogyakarta, Liberty, hlm.125 50 Abdulkadir Muhammad,Op. Cit, hlm. 90
Kekuatan pembuktian yang terdapat dibawah tangan ialah sebagai berikut :51 a. Kekuatan Pembuktian Formil b. Kekuatan Pembuktian Materiil 4. Akta Kuasa Akta kuasa adalah perjanjian antara pihak Pemberi Kuasa (lastgever, mandate) dengan Penerima Kuasa (lasthebber, mandatory) untuk melaksanakan hal tertentu. Sifat dari akta kuasa yaitu sebagai salah satu bentuk perikatan karena perjanjian maka kuasa harus memenuhi ketentuan 1320 BW, selain itu kuasa menjual ini bersifat garansi kontrak atau sebatas mandat yang diberikan dan tidak boleh melebihi wewenang yang diberikan, karena akan menjadi tanggung jawab penerima kuasanya.52 Akta kuasa merupakan isi surat yang mengandung kalimat yang menyatakan bahwa pihak pertama telah menjual tanah kepada pihak kedua yang telah disetujui oleh seluruh ahli waris pihak pertama serta disaksikan oleh saksi yang dihadirkan masing-masing pihak dengan kisaran harga yang telah disepakati. Selain itu, akta kuasa merupakan keterangan jual beli tanah sebelum diaktakan selanjutnya yakni ijab kabul pembelian dilakukan secara sah dari pihak pertama kepihak kedua, kemudian segala hal yang menyangkut dengan resiko yang
51
Ibid https://taufiqadi.wordpress.com/tag/surat-kuasa-menjual/, diakses pada hari Selasa, tanggal 26 April 2016 pukul 22.30 52
menyangkut pajak atas tanah, biaya pembuatan akta jual beli ke PPAT menjadi tanggung jawab pihak kedua.53
F. Tinjauan Umum Mengenai Akta Yang Tidak Sah dan Sah 1.
Akta Sah Tanah dan bangunan adalah benda tidak bergerak (benda tetap)
sehingga proses jual belinya berbeda dengan jual beli benda bergerak seperti kendaraan, televisi, dan lain-lain. Secara hukum, jual beli benda bergerak terjadi secara tunai dan seketika, yaitu selesai ketika pembeli membayar harganya dan penjual menyerahkan barangnya.54 Hal tersebut berbeda dengan jual beli tanah dan bangunan yang memerlukan akta otentik. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang.Dalam proses jual beli tanah dan bangunan, akta tersebut dibuat oleh Notaris/PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah).Jual beli tanah dan bangunan memang harus dilakukan dengan Akta Jual Beli (AJB) yang dibuat oleh Notaris/PPAT agar akta yang digunakan dalam jual beli tanah merupakan akta yang sah.55 2.
Akta Tidak Sah Dalam perjanjian jual beli tanah haruslah kita teliti dalam prosesnya,
terlebih pada pembuatan akta. Sering kali kita jumpai masalah-masalah dalam perjanjian jual beli yang menyebabkan sengketa hukum pada jual 53
http://harisumiarto.blogspot.co.id/2015/05/surat-kuasa-untuk-menjual.html, diakses pada hari Selasa, tanggal 26 April 2016 pukul 23.00 54 https://gudangcikarang.com/seputar-property/tips-property/penyebab-jual-beli-tanahdianggap-tidak-sah/, diakses pada hari Selasa, tanggal 27 April 2016 pukul 00.25 55 Ibid.
beli dan berakhir di Pengadilan. Maka dari itu sebaiknya menghindari dari masalah yang menyebabkan sengketa hukum tersebut. Adapun hal yang menyebabkan akta tidak sah yaitu pada jual beli tanah dan bangunan yang dilakukan dengan perjanjian di bawah tangan tidaklah sah, dan tidak menyebabkan beralihnya tanah dan bangunan dari penjual kepada pembeli (meskipun pembeli telah membayar lunas harganya). 56
56
Ibid.