BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Pestisida 1. Secara Umum Pestisida adalah substansi kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan berbagai hama. Kata pestisida berasal dari kata pest yang berarti hama dan cida yang berarti pembunuh. Jadi secara sederhana pestisida diartikan sebagai pembunuh hama8. 2. Menurut The United State Federal Environmental Pesticide Control Act (Green,1979)9 a. Semua zat atau campuran zat yang khusus untuk memberantas, mencegah atau menangkis gangguan dari pada serangga, binatang pengerat, nematoda, cendawan, gulma, virus, bakteri, jasad renik yang dianggap hama kecuali virus, bakteri atau jasad renik yang terdapat pada manusia dan binatang lainnya. b. Semua zat atau campuran zat yang dimaksudkan untuk digunakan sebagai pengatur pertumbuhan tanaman atau pengering tanaman. 3. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 1350/ MENKES/SK/XII/2001 10 Pestisida kesehatan masyarakat meliputi semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan masyarakat untuk: a) Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang merusak tanaman, bagian-bagian tanaman, atau hasil-hasil pertanian. b) Memberantas rerumputan. c) Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman tidak termasuk pupuk d) Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan. e) Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan piaraan dan ternak. f) Memberantas atau mencegah hama-hama air.
g) Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan. h) Memberantas atau mencegah binatang-binatang termasuk serangga yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman tanah atau air.
B. Sejarah Pestisida Sejak puluhan abad yang lalu pestisida telah digunakan sebagai bahan pemberantas hama dalam melindungi tanaman. Kapur dan abu kayu pada kira-kira tahun 1200 SM telah digunakan untuk menberantas hama gudang dan demikian pula benih-benih tanaman telah diberi perlakuan dengan ekstrak tanaman maupun dengan pengasapan untuk melindungi dari gangguan serangan hama9. Belerang
telah
lama
diketahui
mempunyai
pengaruh
dalam
usaha
memberantas penyakit tanaman. Pada permulaan abad pertama telah dianjurkan penggunaan arsen (As2O3) untuk melindungi tanaman. Nikotin telah ditemukan sebagai insektisida dalam tahun 1783. Ekstrak Pyrenthrum diketemukan sebagai insektisida dalam tahun 1480. Dalam tahun 1885 Bordeaux mixture (BB) yang merupakan campuran senyawa terusi dengan kapur diketemukan secara kebetulan sebagai fungisida untuk memberantas cendawan pada tanaman anggur. HCN pertama kali digunakan dalam tahun 1886 untuk fumigasi tanaman jeruk di California. Senyawa anorganik Timbalar senat muncul pada tahun 1892 untuk menyemprot hama dikebun buah-buahan. Sedang Sodiumarsenat sebagai herbisida dikenal dalam tahun1900 sebagai soil sterilant kemudian dalam tahun 1927 Rotenon dikenal sebagai insektisida. Dan dalam tahun 1929 diketemukan insektisida sintetis pertama yang diintroduksi sebagai bahan penyemprot nyamuk. BHC (Bezen Hexa Chlorida) atau HCH (Hexa Chloro Hezan) sebagai insektisida diketahui sejak tahun 1933. selanjutnya dalam tahun 1939 DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroetane) dikenal sebagai insektisida yang ampuh (karena persistensinya yang tinggi tidak digunakan lagi dibidang pertanian). Senyawa Organosphospor pertama kali muncul dalam tahun 1945, hasil industri Jerman yang menemukan TEPP, Parathion kemudian Malathion. Sedang Diazinon diketemukan di Swiss. Setelah itu banyak perusahaan kimia yang
mengadakan penelitian dibidang perlindungan tanaman dan sejak itu ribuan senyawa organik sintetik banyak diproduksi untun keperluan pengendalian hama penyakit tanaman seperti serangga, cendawan, gulma, nematoda, rodent dan lain-lain9.
C. Penggolongan Pestisida a. penggolongan pestisida berdasarkan kegunaannya dibedakan menjadi:9 1) Insektisida
:
yaitu zat atau senyawa kimia yang digunakan untuk mematikan atau memberantas serangga.
2) Akarisida
:
memberantas tungau
3) Nematisida
:
memberantas cacing bulat
4) Fungisida
:
memberantas cendawan
5) Herbisida
:
memberantas rumput-rumput
6) Ovisida
:
obat pemberantas telur serangga
7) Rodentisida
:
memberantas tikus
b. Penggolongan pestisida berdasarkan sifat3 1) Bentuk padat 2) Bentuk cair 3) Bentuk gas/asap c. Penggolongan pestisida berdasarkan cara kerja2 Cara kerja pestisida terbagi beberapa macam : 1) Pestisida Kontak, berarti mempunyai daya bunuh setelah tubuh jasad terkena sasaran. Contoh : Gramoxone, Diazinon, Folidol dan BHC 2) Pestisida Fumigan, berarti mempunyai daya bunuh setelah jasad sasaran terkena uap atau gas. Contoh : Methyl bromide, Gammexane dan Karbondisulfida 3) Pestisida Sistemik, berarti dapat ditranslokasi melalui tanaman. Hama akan mati apabila menghisap atau memakan jaringan tanaman. Contoh : Furadan, Curater dan Dimecron. 4) Pestisida Lambung, berarti mempunyai daya bunuh setelah jasad sasaran memakan pestisida.
Contoh : Parathion dan Klerat. d. Penggolongan Pestisida berdasarkan struktur kimia8 1) Golongan Organofosfat Jenis pestisida ini mengandung unsur-unsur phosphat, carbon,dan hidrogen. Pestisida ini terdiri dari satu gugus atau lebih fosfor yang terkait pada molekul organik. Organophosphat dibuat dari suatu molekul organik yang direaksikan dengan fosforilat. Contohnya : Parathion, Malathion dan Tetra Ethyl Pyro Phosphat (TEPP). Di Indonesia yang paling banyak dipakai adalah Diazinon dan Dursband. 2) Golongan Karbamat Karbamat adalah jenis pestisida yang mengandung gugus karbamat. Contoh pestisida yang mengandung gugus karbamat adalah Sevin, Baygon dan Isolan. Sevin dibuat dari alpha napthol yang dikondensaai dengan fosgen dan direaksikan dengan metilamin. 3) Golongan Organochlorin Organochlor adalah pestisida yang mengandung unsur-unsur karbon, hydrogen dan chlorine. Atom-atom chlor dalam komposisinya terikat pada atom hidrokarbon, misal DDT (Dichloro Diphenil Trichloretane), yang dibuat dengan mengkondensasi klorobenzen dan klorat (trichloro asetal dehida). Contahnya Aldrin, Chlordane, DDT, Dieldrin, Endosulfan3.
e. Penggolongan Pestisida berdasarkan Formulasi3 1) Formulasi Cair a. Pekatan yang dapat diemulsikan (emulsifeable concerate disingkat EC) pestisida dengan formulasi ini dibuat dengan melarutkan zat aktif dalam pelarut tertentu dan ditambahkan surfaktan atau bahan pengemulsi, penggunaan dengan penyemprotan dengan volume ultra rendah (“ultra low volume”). Contoh : grothion 50 EC, Basudin 60 EC. b. Pekatan yang larut dalam air (water soluble concentrate = WSC) Pestisida dengan formula ini diencerkan lebih dulu dengan air baru di semprotkan. Contoh : Azodrin 15 WSC c. Pekatan dalam air (Aqueous consentrate). Umumnya yang diformulasikan dalam bentuk ini ialah bentuk garam dari herbisida asam yang mempunyai kelarutan tinggi dalam air. Contoh : 2-metil-4-Klorofenoksiasetat (MCPA), dan 2,4-Diklorofenoksi asetat (2,4-D) d. Pekatan dengan minyak (oil concentrate ) adalah formulasi air yang berisi bahan aktif dalam konsentrasi tinggi yang dilarutkan dalam pelarut hidrokarbon aromatik seperti “xilin” atau “nafta”. Penggunaanya biasa diencerkan dengan pelarut hidrokarbon yang lebih murah (misal solar) baru di semprotkan atau dikabutkan (fogging). Contoh : Sevin 4 oil. e. Formulasi aerosol. Dalam hal ini pestisida dilarutkan dalam pelarut organik, dalam konsentrasi rendah dimasukkan dalam kaleng berisi gas yang bertekanan, dikemas dalam bentuk aerosol siap pakai. Contoh : flygon aerosol. f. Bentuk cairan yang mudah menguap (Liquified gases). Pestisida ini terdapat dalam bentuk gas yang dimampatkan pada tekanan tertentu dalam suatu kemasan. Penggunaannya ialah dengan cara fumigasi kedalam ruangan atau tumpukan bahan makanan atau penyuntikan kedalam tanah. Contoh : Methyl bromide. 2) Formulasi Padat a. Tepung disuspensikan atau wetable powder (WP) atau dispersible powder (DP). Contoh : Basimen 235.
b. Tepung yang dapat dilarutkan atau soluble powder (SP). Contoh : Dowpon M. c. Butiran atau Granule (G). bahan aktif pestisida dicampur dengan bahan pembawa, seperti tanah liat, pasir, tongkol jagung yang ditumbuk. Kadar bahan aktifnya berkisar antara 1-40%. Penggunaan biasa dengan menaburkan. Contoh : Ekaluk 5G. d. Pekatan debu atau Dust concetrate. Kadarnya biasa antara 25-75%. Pestisida dicampur dengan bahan pembawa dalam bentuk debu. Kadar zat aktif biasa 1-10% dengan ukuran partikel < 70 mikron contoh : lannate 2D. e. Umpan atau Bait (B). bahan aktif pestisida dicampurkan dengan bahan pembawa. Biasa terdapat dalam bentuk bubuk, pasta atau butiran. Penggunaannya dicampurkan dengan bahan makanan yang disukai oleh hewan sasaran. Contoh : Zink Fosfit (umpan bubuk), klerat RM. f. Tablet, terdapat dalam 2 bentuk : -
Tablet yang bila kena udara akan menguap jadi fumigan, yang umumnya digunakan untuk gudang-gudang atau perpustakaan. Contoh : Phostoxsin tablet.
-
Tablet yang pada penggunaannya memerlukan pemanasan uap dari hasil pemanasan dapat membunuh atau mengusir hama (nyamuk). Contoh : Fumakkila
g. Padat lingkar. Biasa digunakan dengan membakar. Contoh obat nyamuk bakar Moon Deer 0,2 MC.
D. Faktor-faktor yang mempengaruhi keracunan pestisida 1. Faktor di luar tubuh a. Suhu Lingkungan Lingkungan dalam hal ini termasuk kelemahan udara karena mempengaruhi frekuensi respirasi dan dalamnya jalan nafas. Orang yang mempunyai kapasitas vital paru tinggi akan lebih berisiko daripada orang yang dangkal bernapasnya. Lingkungan juga dapat mempengaruhi penyerapan melalui kulit, suhu dan kontak antara pakaian dengan kulit 11. b. Arah dan kecepatan angin penyemprotan sebaiknya searah dengan arah angin, jika suhu dibawah lebih panas partikel pestisida akan naik (bergerak vertikal)3 . c. Pencampuran pestisida dengan bahan sinergis menyebabkan pestisida tersebut semakin toksik dan sebaliknya dengan bahan antagonis akan menurunkan toksisitasnya3 d. Jenis pestisida dan toksisitas, jenis pestisida adalah anticholinesterase, serta yang memiliki toksisitas tinggi yang dapat beresiko terhadap terkenanya paparan pestisida. e. Lama
bekerja
dengan
pestisida,
semakin
lama
petani
melakukan
penyemprotan secara terus menerus, maka semakin banyak kadar yang masuk dalam tubuh. Faktor eksposisi yang berulang-ulang ini akan menyebabkan kumulasi zat toksik dalam tubuh sehingga melewati ambang batas keracunan sehingga timbullah paparan pestisida11. f. Masa kerja, petani yang berpengalaman cenderung mendapat pemaparan yang rendah. Semakin lama masa kerjanya maka pengalaman dan pengetahuan dalam menyemprot semakin baik. g. Frekuensi menyemprot yaitu sejumlah berapa kali petani melakukan penyemprotan terhadap tanaman setiap minggu/bulannya, semakin sering menyemprot maka semakin tinggi pula resiko keracunannya11. h. Tinggi tanaman, tanaman yang ada dibawah di semprot dibawah sehingga jauh dari wajah penyemprot, sedangkan jenis tanaman yang lain ada diatas
(setinggi lutut bahkan lebih) akan dekat dengan wajah penyemprot sehingga lebih besar risiko keracunan dibanding dengan yang ada dibawah7. i. Kebiasaan memakai APD Petani yang menggunakan baju lengan panjang dan celana panjang (lebih tertutup) akan mendapat efek yang lebih rendah dibandingkan yang berpakaian minim. 2. Faktor di dalam tubuh a. Umur Semakin tua umur petani akan semakin cenderung untuk mendapatkan pemaparan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan menurunnya fungsi organ tubuh termasuk enzim-enzim. b. Jenis kelamin Kadar cholinesterase pada laki-laki lebih tinggi di banding pada wanita. c. Status gizi Seseorang yang mempunyai status gizi baik akan berpengaruh pada daya tahan tubuh sehingga dapat menangkal racun pestisida dan sebaliknya dengan status gizi yang buruk akan dengan mudah terpapar racun pestisida. d. Kadar Hemoglobin Petani yang tidak anemis secara tidak langsung mendapat efek yang lebih rendah. Petani yang anemis memiliki resiko lebih besar, bila bekerja dengan pestisida organofosfat dan karbamat. Petani yang kadar Hb rendah akan memiliki kadar cholinesterase yang rendah. Karena sifat dari organofosfat yang mengikat enzim cholinesterase yang pada akhirnya kholinesterase tidak lagi mampu menghidrolisa acethylcholin. e. Keadaan Kesehatan Menurut Devidson dan Henry (1989), penyakit yang dapat menurunkan aktifitas cholinesterase adalah jenis penyakit : Hepatitis, Cirrosis, Abses dan Matistatik Carsinoma pada leher. Dikarenakan menurunnya kemampuan dari hepar didalam mendetoksifikasi bahan toksik organofosfat. E. Toksisitas Pestisida3
Walaupun pestisida ini mempunyai manfaat yangcukup besar pada masyarakat namun dapat pula memberikan dampak negatif pada manusia dan lingkungan. Pada manusia pestisida dapat menimbulkan keracunan yang dapat mengancam jiwa manusia atau menimbulkan penyakit/cacat3. Besarnya daya racun suatu pestisida dimulai dari toksisitasnya. Toksisitas akut pestisida dapat dinyatakan dengan 2 simbol, yaitu : LD 50 (“Lethal dose 50”) ialah kadar/konsentrasi pestisida yang di perkirakan dapat membunuh 50% binatang percobaan. Satuannya milligram bahan aktif suatu pestisida per kg berat badan binatang percobaan (mg/kg) dan LC 50 (“lethal Concentration”) ialah kadar konsentrasi pestisida yang ada dalam udara ruangan sehingga dapat mematikan atau membunuh 50% binatang percobaan. Toksisitas pestisida sangat tergantung pada cara masuknya pestisida ke dalam tubuh. Pada penentuan toksisitas pestisida peroral, pestisida di berikan melalui makanan dan di peroleh LD 50 oral dan yang melalui kulit diperoleh LD 50 dermal, dan bila pemaparan melalui air atau udara (terhisap) ditentukan LC 50 selama 24 jam, 48 jam, 96 jam dan seterusnya (lama waktu pemaparan).
F. Pengamanan dalam Penggunaan Pestisida Petani hendaknya mengetahui tentang persyaratan, yang terdapat dalam peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor : Per 03/Men/1986 tentang syarat-syarat Keselamatan dan Kesehatan Kerja di tempat kerja yang mengelola pestisida, yaitu : telah berumur 18 tahun keatas, telah mendapat trainning sebelumnya, tidak boleh kontak dengan pestisida lebih dari 5 jam sehari dan 30 jam dalam seminggu, mendapat pemeriksaan berkala 1 kali dalam 6 bulan7. Sulit untuk menghabiskan seluruh larutan pestisida dari dalam alat penyemprot sedang alat penyemprot harus selalu bersih bila sudah dipakai.Cara membersihkan alat semprot yang baik adalah membilasnya dengan air bersih. Demikian pula bagian luar dan bagian-bagian lainnya harus dibersihkan.9 Sebaiknya alat semprot hanya digunakan khusus untuk insektisida atau untuk fungisida atau herbisida. Alat semprot yang tidak digunakan sesudah dibersihkan agar disimpan ditempat yang aman, tidak terjangkau oleh anak-anak.9
Beberapa cara pengamanan yang perlu mendapat perhatian selanjutnya dalam penggunaan pestisida adalah :9 1. Periksalah wadah pestisida sebelum memegangnya kalau-kalau wadahnya bocor. 2. Peganglah wadah/tempat pestisida dengan hati-hati. 3. Bila ada kebocoran/tumpah, jagalah agar setiap orang terutama anak-anak dan ternak menjauh dari tempat tersebut. 4. Jangan sekali-kali menyimpan pestisida atau bekas wadah pestisida dimana saja dekat dengan makanan atau ditempat anak-anak bermain. 5. Jangan sendirian apabila bekerja dengan pestisida. 6. Jangan merokok, minum, makan, atau menyentuh mata dan mulut bila sedang bekerja dengan menggunakan pestisida. 7. cucilah tangan sampai benar-benar bersih, sebelum makan, minum atau merokok, bila sebelumnya telah memegang pestisida. 8. Pakailah sarung karet bersih yang tidak sobek serta pakaian pelindung bila sedang menggunakan pestisida dan gunakan masker bila diperlukan. 9. Pada waktu mengadakan penyemprotan atau penghembusan dengan pestisida usahakan agar pada waktu berjalan tidak melawan arah angin. 10. Bersihkanlah segera pakaian-pakaian yang kena percikan pestisida, demikian pula sarung tangan, setelah selesai bekerja. 11. Bacalah petunjuk/label yang ada dengan teliti, hal ini penting agar pekerjaan berhasil baik, dan bila sewaktu-waktu diperlukan sebagai petunjuk dalam melakukan tindakan darurat seandainya terjadinya kecelakaan dengan pestisida. 12. cucilah peralatan bekas menggunakan pestisida di tempat yang aman, jangan mencuci dikolam atau disungai agar tidak menimbulkan pencemaran yang bisa mencelakakan orang lain.
G. Alat Pelindung Diri (APD) Merupakan salah satu cara untuk mencegah terjadinya kecelakaan atau pada petani penyemprot dapat dikatakan untuk mencegah terjadinya keterpaparan pestisida secara teknis.
Perlindungan tenaga kerja melalui usaha-usaha teknis pengaman tempat peralatan dan lingkungan kerja adalah sangat perlu diutamakan. Akan tetapi bahaya masih belum dapat dikendalikan sepenuhnya sehingga digunakan alat-alat pelindung diri (Personal Protective Devices) alat-alat demikian harus memenuhi persyaratan13: 1. Enak dipakai 2. Tidak mengganggu kerja 3. Memberikan perlindungan efektif Adapun perlengkapan pelindung pestisida menurut keputusan Menteri Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomer:1350/MENKES/SK/XII/2001
pengelolaan pestisida terdiri dari : a. Pelindung kepala (Topi) b. Pelindung mata (Goggle) c. Pelindung pernafasan (Respirator) d. Pelindung badan (Baju overall/apron) e. Pelindung tangan (Glove) f. Pelindung kaki (Sepatu boot)
tentang
H. Reaksi-reaksi Achetyl Cholinesterase dalam Tubuh Manusia 1. Struktur Asetilkolin14 Stuktur yang relatif sederhana yaitu ester asetil dan kolin tampak dalam gambar (1.1). Terdapat sebagian besar dalam Vesikel-vesikel kecil, bening dalam konsenterasi tinggi ditonjolan-tonjolan akhir neuron yang melepaskan asetilkolin (Neuron kolinergik) Asetilkolin terbentuk melalui reaksi kolin dengan asetat. Kolin merupakan amina yang penting yang juga nerupakan prekursor dari fosfolipid fosfatidilkolin dan sfingomielin membran, dan prekursor dari faktor penggiat platelet fosfolipid dan sfingosilfosforilkolin penanda. Kolin secara aktif diambil kedalam neuron kolinergik dengan menggunakan suatu transporter seperti dalam gambar (2.2). Kolin juga dibentuk dalam neuron. Asetat diaktifkan melalui penggabungan gugus aksetat dengan koenzim A reduksi. Reaksi antara asetat aktif (asetilkoenzim
A,
asetil-KoA)
dengan
kolin,
dikatalisis
oleh
enzim
kolinasetiltransferase. Enzim ini ditemukan pada konsentrasi tinggi di sitoplasma ujung-ujung saraf kolinergik. Asetil kolin kemudian diambil kedalam vesikel sinaptik oleh transporter vesikuler, VAChT. Asetil kolin harus segera dihilangkan dari sinaps untuk dapat terjadinya repolarisasi. Pembersihan berlangsung melalui hidrolisis asetilkolin menjadi kolin dan asetat, reaksi yang dikatalisis oleh enzim asetilkolineterase. Enzim ini juga dinamakan cholinesterase sejati atau spesifik. Afinitasnya yang paling kuat adalah terhadap asetilkolin, tetapi juga dapat menghidrolisis ester-ester kolin lain. Dalam tubuh ada beberapa macam esterase. Salah satunya yang ada dalam plasma dapat menghidrolisis asetilkolin, tetapi mempunyai sifat-sifat yang berbeda dari asetilcholinesterase.
Oleh
sebab itu,
enzim
yang
satu
ini
dinamakan
pseudocholinesterase atau cholinesterase nonspesifik. Cholinesterase yang terdapat diplasma ini ada dibawah kendali system endokrin dan dipengaruhi oleh perubahan-perubahan fungsi hati. Sebaliknya, molekul-molekul cholinesterase spesifik tersebar di membran postsinaptik dari sinaps-sinaps kolinergi esterase ini disandikan oleh satu gen tunggal, tetapi dua unit katalitik terbentuk melalui penyambungan alternatif mRNA-nya. Satu terikat pada membran sel melalui
kaitan glikolipid sedangkan yang satu lagi biasanya berekor kolagen. Hidrolisis asetilkolin oleh kolinestrase yang berlangsung cukup cepat dapat menjadi dasar penjelasan perubahan konduktans Na+ dan kegiatan listrik yang terjadi pada peristiwa transmisi sinaptik.
Kolin + Asetil-KoA O
Neuron Kolinergik
Kolin Asetiltransferase
CH-C-O-CH2CH2-N+-CH3 CH3 Asetilkolin
Asetil-KoA + Kolin
CH3 ACh
Asetilkolinesterase Kolin
Kolin
+ Asetat
ACh
ASE Jaringan postsinaptik
Gambar 1.1.Biosintesis asetilkolin.
dan
katabolisme
Gambar 1.2. Peristiwa-peristiwa biokimia yang berlangsung disaraf kolinergik. Ach, Asetilkolin, ACE, Asetilkolinesterase, X, Sumber : Ganong, W.F, Fisiologi Kedokteran, edisi Reseptor. 14.
2. Mekanisme kerja pestisida pada tubuh manusia Cholinesterase yaitu suatu enzim yang terdapat pada cairan ekstra seluler yang berfungsi menghentikan aksi dari pada asethil cholin dengan jalan menghidrolisa menjadi kholin dan asam asetat. Asetil cholin adalah suatu neurohormon yang terdapat antara ujung-ujung saraf dan otot sebagai media kimia yang fungsinya meneruskan rangsangan saraf/impuls ke reseptor sel-sel otot dan kelenjar12.
Pestisida organofosfat yang masuk kedalam tubuh, baik melalui kulit, mulut dan saluran pencernaan serta saluran pernafasan akan mengikat enzim cholinesterase. Fungsi dari enzim cholinesterase ini adalah mengatur bekerjanya saraf. Bila enzim yang berada dalam darah tersebut terikat maka kerjanya saraf jadi terganggu. Dengan demikian gerak otot tak dapat dikendalikan, akhirnya terjadi kekejangan, lumpuh atau pingsan yang bisa menyebabkan kematian9. System kontrol dan komunikasi didalam tubuh manusia dilakukan oleh system hormonal dan system saraf. Melalui system saraf organ-organ dalam tubuh menerima informasi untuk mempergiat/mengurangi aktifitas sel dan pada system saraf stimulus yang diterima dijalarkan melalui serabut-serabut saraf (Akson) dalam bentuk impuls. Kemudian impuls ini akan bertindak sebagai picu untuk mengeluarkan getah (Neurotransmitter) pada ujung akson, yang tersimpan dalam vesikel sel presinap. Table
1.
Indikator
Tingkat
Keracunan
menurut
tingkat
aktifitas
15
cholinesterase dalam darah Aktifitas Cholinesterase 100%-75%
Tingkat Keracunan dan Tindakan Penyelamatan
Normal - Boleh kerja terus, perlu pemeriksaan berkala 75%-50% Keracunan Ringan - Lakukan pemeriksaan ulang, jika hasilnya sama, pekerja jauhkan dari jenis organoposphat - Lakukan pemeriksaan ulang dalam waktu 2 minggu 50%-25% Keracunan Sedang - Lakukan pemeriksaan ulang, jika hasilnya sama, pindahkan pekerja yang bebas pestisida dan bila sakit perlu pemeriksaan dokter. 25%-0% Keracunan Berat dan sangat berbahaya - Lakukan pemeriksaan ulang - Pekerja dilarang bekerja sampai ada rekomendasi dari dokter. Sumber : Bina Kurniawan, dkk, 2004 “Pedoman Praktikum Laboratorium Keselamatan dan Kesehatan Kerja” Undip. 3. Tanda-tanda dan gejala keracunan organofosfat3.
Gejala ini muncul dengan cepat (beberapa menit sampai beberapa jam) dan rangkaian gejala sangat progresif. Gejala keracunan adalah berupa gejala kolinergik/muskarinik yang berlebihan : a. Gejala Permulaan berupa : enek, muntah, rasa lemah, sakit kepala dan gangguan penglihatan. Segera diikuti sesak napas, spasme larings, bronkokonstriksi dan hipersekresi kelenjar lendir hidung dan bronkus (terutama bila OP diinhalasi), hipersaliva, kolik usus dan diare, hipersekresi kelenjar keringat dan air mata, miosis (mungkin juga tidak ada), kelemahan dan
akhirnya
kelumpuhan
otot-otot
rangka.
Dapat
pula
terjadi
bradikardi/takikardi. Gejala SSP : ataksia, hilangnya reflek-reflek, bingung, sukar bicara, kejangkejang disusul paralisis otot-otot pernafasan, pernafasan CheyneStokes dan koma. b. Kematian disebabkan kelumpuhan otot-otot pernafasan, sebagian karena efek perifer dan sebagian karena depresi sentral. Kematian dapat terjadi dalam tempo 5 menit sampai beberapa hari, Karen itu pengobatan harus secepat mungkin diberikan. Dengan pengobatan yang cepat dan tepat, dapat mengatasi keracunan berat dengan berpuluh-puluh kali dosis letal. I. Efek Pestisida Terhadap Organ Tubuh Manusia 1. Keadaan Fungsi Organ Yang Kontak Keadaan fungsi organ yang kontak dengan suatu toksik akan mempengaruhi kerja eksosisi. Ini terutama berlaku untuk sistem respirasi dan kulit. Respirasi dipengaruhi oleh frekuensi pernafasan, beban kerja dan usia yang bersangkutan, juga pada suhu dan kelembaban udara relatif. Absorbsi kulit dipengaruhi oleh kandungan kelembaban, peredaran darah kulit dan keadaan masing-masing lapisan kulit. Jika permukaan lemak kulit rusak bukan hanya zat hipofil saja yang di absorbsi tetapi juga hidrifil 11. 2. Keadaan Fungsi Organ Yang Berfungsi Pada Ekskresi dan Detoksikasi Untuk biotransformasi dan ekresi, keadaan fungsi hati dan ginjal sangat penting. Perubahan metabolisme xenotiatik (zat asing berbahaya) di hati biasanya akan membentuk produk yang mudah diekskresi oleh ginjal. Pada orang dengan
penyakit hati dan insufisiensi ginjal akan lebih peka terhadap zat toksik daripada orang normal11. J. Kerangka Teori Organoposphat
Faktor dari luar tubuh : Suhu Lingkungan Arah dan kecepatan angin Jenis Pestisida Lama bekerja Masa kerja Frekuensi menyemprot Tinggi tanaman Penggunaan APD
-
Faktor dari dalam tubuh : Umur Jenis Kelamin Status Gizi Kadar HB Keadaan Kesehatan
Masuk dalam tubuh : Oral Pernafasan Kulit Sistem Saraf
Aktifitas Kolinesterase Sumber :
3,7,8,9,11,13,14
K. Kerangka Konsep Variabel Bebas -
Umur Lama Kerja Masa kerja Penggunaan APD Arah Penyemprotan Frekuensi Penyemprotan
Variabel Terikat
Aktifitas Kolinesterase dalam darah
* dikendalikan
L. Hipotesa Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, maka Hipotesis : 1. Ada hubungan umur dengan aktifitas cholinesterase darah 2. Ada hubungan lama kerja dengan aktifitas cholinesterase darah 3. Ada hubungan masa kerja dengan aktifitas cholinesterase darah 4. Ada hubungan frekuensi penyemprotan dengan aktifitas cholinesterase darah 5. Ada hubungan penggunaan APD dengan aktifitas cholinesterase darah 6. ada hubungan arah penyemprotan dengan aktifitas cholinesterase darah