perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II Tinjauan Pustaka
A. Kajian Teori 1. Teori-teori Belajar a. Teori belajar Ausubel Menurut pendapat Ausubel yang dikutip oleh Karen Legge dan Philippe Harari (2000: 32) pembelajaran bermakna dapat dicapai dengan kemampuan guru yang dapat menjelaskan, sehingga siswa dapat menghubungkan pengetahuan baru dengan yang telah diketahui. Inti dari teori Ausubel tentang belajar ialah belajar bermakna, belajar bermakna terjadi bila siswa menghubungkan atau mengkaitkan informasi itu pada pengetahuan yang telah dimilikinya. Berbeda dengan belajar bermakna, Belajar hafalan terjadi bila siswa hanya menghafalkan informasi baru, tanpa menghubungkannya dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya. Sesuai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ketika siswa menemukan makna di dalam proses pembelajaran, mereka akan belajar dan ingat apa yang mereka pelajari. Dengan belajar yang bermakna maka akan terjadi pembelajaran yang efektif sehingga dicapai hasil pembelajaran yang optimal. CTL (Contextual Teaching and Learning) merupakan pendekatan pembelajaran yang tepat untuk membantu para siswa mengaitkan makna dalam proses pembelajaran dan sesuai dengan salah satu komponen CTL yakni konstruktivisme serta salah satu komponen CTL. Menurut Elaine B. Johnson (2009: 25) yakni membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna. b. Teori Belajar Bruner Teori konstruktivis Bruner dalam Radha Mohan (2007: 20), merupakan kerangka umum untuk petunjuk dasar di dalam pembelajaran kognitif. Pembelajaran Bruner sebenarnya hanya dibatasi pada pembelajaran matematika dan sains. Teori pembelajaran Bruner memiliki tiga tahap dalam pengembangan intelektual, yakni:
commit to user 10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 11
1) Enactive (pengalaman langsung) Tahap seseorang mempelajari tentang dunia melalui informasi-informasi benda-benda sekitarnya. 2) Iconic (pengalaman piktorial gambar) Mempelajari sesuatu dengan menggunakan gambar dan model. Informasi yang telah diterima akan dianalisis, diubah, dan ditransformasi ke dalam bentuk bentuk yang lebih abstrak, atau konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas 3) Symbolic (pengalaman abstrak) Mendeskripsikan sesuatu kapasitas, untuk berpikir abstrak tentang sesuatu yang dipelajari Bruner menyatakan bahwa pembelajaran itu menitikberatkan pada cara-cara orang memilih, mempertahankan, dan mentransformasi informasi secara efektif. Ketiga langkah tersebut akan berinteraksi untuk memperoleh pengalaman baru berupa pengetahuan, ketrampilan, atau sikap. Dalam proses belajar dengan ketiga fase di atas selalu ada masalah pada banyaknya informasi yang diperlukan agar dapat ditransformasi. Lama tiap fase tidak selalu sama dan tergantung pada hasil yang diharapkan, motivasi belajar, minat, keinginan untuk mengetahui, dan dorongan untuk menemukan sendiri. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa teori belajar Bruner adalah pemrosesan informasi, kejadian-kejadian yang dialami siswa distrukturkan dan diproses dalam ingatan siswa menjadi suatu konsep melalui tiga fase yaitu fase enactive, fase iconic, dan
fase symbolic. Hal ini sesuai dengan CTL (Contextual Teaching and
Learning) yang salah satu komponen, yakni konstruktivisme. Dengan konstruktivisme, siswa akan distimulus untuk mengkonstruksi pengetahuan baru secara bermakna melalui pengalaman nyata, melalui proses penemuan dan mentransformasi informasi ke dalam situasi lain. Dengan menggunakan media pembelajaran kontekstual yang secara efektif membangun pemahaman siswa tingkat SMK serta penilaian yang sebenarnya (authentic assessment) untuk mengukur tingkat keberhasilan belajar siswa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 12
c. Teori Belajar Piaget Teori belajar Piaget sangat berpengaruhi dalam bidang pendidikan kognitif. Menurut pendapat Piaget yang dikutip oleh Hergenhahn&Olson (2009:125) bahwa setiap individu mengalami tingkat-tingkat perkembangan kognitif yaitu: 1) Tahap Sensorimotor (0-2 tahun) Pada periode ini anak berinteraksi dengan lingkungan menggunakan refleks bawaan, yakni dengan panca indranya (sensori) dan tindakan-tindakannya. 2) Tahap Pra-Operasional (2-7 tahun) Pada tahap ini, anak mulai menyusun konsep sederhana berdasakan informasiinformasi yang telah diterima. 3) Tahap Operasional Konkret (7-11 tahun). Pada tingkat ini, anak akan mulai melakukan tindakan telah dipikirkan untuk memecahkan masalah. 4) Tahap Operasional Formal (11 tahun ke atas). Pada tingkat ini anak dapat menggunakan operasi-operasi konkretnya untuk membentuk operasi-operasi yang lebih kompleks. Kemajuan anak pada periode ini adalah ia tidak perlu berpikir dengan pertolongan benda-benda atau peristiwa konkret, tetapi dengan kemampuan berpikir abstrak. Karakteristik dari berpikir operasional formal yaitu siswa sudah dapat merumuskan alternatif hipotesis deduktif dan induktif abstrak dalam menanggapi masalah dan mengecek data terhadap hipotesis untuk membuat keputusan. Intinya menurut Piaget teori belajar sesuai dengan tingkatan perkembangan intelektual dan kemampuan berpikir anak pada usia-usia tertentu. Di berbagai tingkatan usia inilah manusia seringkali berpikir kritis dan mencoba memperoleh informasi yang muncul di lingkungannya. Saat tingkat sensori-motor yang mengandalkan alat-alat indranya, tingkat pra-operasional yang berpikir transduktif, tingkat operasional konkret yang mengedepankan logika dalam berpikir, dan tingkat operasional formal yang mulai berpikir lebih kompleks untuk mengambil keputusan. Pembelajaran materi sifat mekanik bahan pada jenjang SMK, menurut teori belajar Piaget tergolong pada tingkatan usia operasional formal (11 tahun ke atas). Pada jenjang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
tingkat umur 11 tahun ke atas,siswa akan mencoba menggabungkan pengetahuan yang mereka dapatkan dengan penggunaannya dalam bidang teknik otomotif, sehingga pembelajaran yang dilakukan sebaiknya dikemas secara menarik dan mudah dipahami oleh siswa serta membuat siswa termotivasi untuk menggali informasi yang lebih tentang materi yang diajarkan (berpikir kritis). Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan, model, dan media pembelajaran yang menarik, sehingga pembelajaran yang dilakukan menjadi pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Untuk mempelajari fisika diperlukan kemampuan untuk berpikir kritis dan kreatif. Hal ini sesuai dengan salah satu komponen CTL (Contextual Teaching and Learning) yakni berpikir kritis dan kreatif. 2. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) Konteks berasal dari kata kerja Latin “contextere” yang berarti “menjalin kerja sama”. Kata “konteks” merujuk pada “keseluruhan situasi, latar belakang, atau lingkungan” yang berhubungan dengan diri, yang terjalin bersamanya. Pendekatan kontekstual merupakan sebuah strategi pembelajaran yang tidak mengharuskan siswa menghafal faktafakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan dari benaknya sendiri. Pembelajaran kontekstual merupakan model pembelajaran yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi yang terdapat di sekitar siswa, sehingga mendorong siswa dapat membuat hubungan antara pengetahuan yang telah dimilikinya dengan menerapkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Menurut psikologi dasar manusia, semua orang pada dasarnya memiliki dorongan dari dalam dirinya untuk menemukan makna dalam kehidupan mereka. Sesuatu akan bermakna jika sesuatu itu penting dan berarti bagi diri pribadi seseorang. Victor Frankl (1984) dalam Johnson (2009: 62) menyatakan bahwa “pencarian seseorang akan makna adalah motivasi utama hidupnya dan hanya dapat dipenuhi oleh dirinya sendiri”. Dalam ilmu syaraf, otak manusia akan terus berkembang sejalan dengan informasi-informasi yang diterima oleh otak melalui panca indra. Sama halnya dengan pandangan Frankl, bahwa dalam mengolah informasi, otak itu berusaha mencari makna. Dan ketika otak menerima makna, maka otak belajar. Maka sebenarnya otak itu hidup dari kemampuannya untuk menemukan makna dari lingkungannya. Secara berkelanjutan, otak menjalin pola-pola yang menyatukan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
dikenalnya, dan menggabungkan ketrampilan-ketrampilan baru dengan yang lama. Pada saat otak berhasil menghubungkan informasi yang baru dengan pengalaman yang sudah dikenalnya, otak akan menyimpan, namun ketika otak tidak mampu menghubungkan informasi tersebut, maka otak akan menghapusnya. Maka dari itu dibutuhkan suatu pendekatan pembelajaran yang membantu para siswa untuk mengaitkan makna dalam proses pembelajaran. Sesuai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, ketika siswa menemukan makna di dalam proses pembelajaran, mereka akan belajar dan ingat apa yang mereka pelajari. Berdasarkan penjelasan di atas, model pembelajaran kontekstual yang tepat untuk digunakan dalam proses penelitian ini. Menurut Elaine B. Johnson (2009: 19), pengertian pembelajaran kontekstual sebagai berikut: “Pembelajaran kontekstual merupakan proses pendidikan yang membantu siswa untuk memahami materi pembelajaran yang sedang dipelajari dengan menghubungkan subjek-subjek dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari, yakni dengan konteks keadaan pribadi, sosial, budaya. Untuk dapat mencapainya model pembelajaran ini memiliki delapan komponen yakni: membuat keterkaitanketerkaitan yang bermakna, melakukan pekerjaan yang berarti, pembelajaran mandiri, kerjasama, berpikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, mencapai standar yang tinggi, menggunakan penilaian yang sebenarnya”. . Pernyataan di atas mempunyai arti bahwa pembelajaran kontekstual merupakan proses pendidikan yang membantu siswa melihat makna dalam materi-materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari, yakni dengan konteks keadaan pribadi, sosial, budaya mereka. Untuk mencapainya, sistem ini memiliki 8 komponen yakni: 1) membuat keterkaitan-keterkaitan tersebut bermakna, 2) melakukan pekerjaan yang berarti, 3) pembelajaran yang mandiri, 4) kerja sama, 5) berpikir kritis dan kreatif, 6) membantu individu untuk tumbuh dan berkembang, 7) mencapai standar yang tinggi, dan 8) menggunakan penilaian yang autentik. Dirangkum dari Nanang Hanafiah & Cucu Suhana (2009: 67) menyatakan bahwa Komponen-komponen dalam pembelajaran kontekstual yakni: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
1) Konstruktivisme (Constructivism) Merupakan landasan berpikir pembelajaran kontekstual yaitu pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit). 2) Menemukan (Inquiry) Menemukan merupakan inti dari kegiatan pembelajaran kontekstual. Pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat faktafakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. 3) Bertanya (Quetioning) Bertanya dalam pembelajaran kontekstual dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Dengan bertanya siswa dapat menggali informasi, mengkonfirmasi hal-hal yang telah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya. 4) Masyarakat belajar (Learning Community) Konsep masyarakat belajar ditujukan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. 5) Pemodelan (Modelling) Guru bukanlah satu-satunya model pada proses pembelajaran kontekstual, model dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Siswa yang terlibat ini, dapat dikatakan sebagai model. 6) Refleksi (Reflection) Refleksi merupakan cara berpikir tentang hal-hal yang baru dipelajari atau berpikir halhal yang telah dilakukan. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. 7) Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment) Pembelajaran yang benar seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari (learning how to learn), bukan ditekankan pada hasil yang diperoleh diakhir pembelajaran. Kemajuan belajar dinilai dari proses bukan hanya hasil semata. Penilaian autentik menilai pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
Langkah-langkah penerapan pembelajaran kontekstual sebagai berikut: 1) Perlunya pengembangan pemahaman pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan belajar sendiri. 2) Perlu pelaksanaan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik. 3) Perlunya pengembangan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya. 4) Perlu diciptakannya masyarakat belajar. Berdasarkan uraian di atas proses penelitian pengembangan modul akan menerapkan model pendekatan pembelajaran kontekstual untuk media pembelajaran yang akan dikembangkan dengan mengakomodir dari Elaine B. Johnson, Nanang Hanafiah, dan Cucu Suhana dalam penyusunan media ICM. Proses pengembangan media ada beberapa aspek yang telah digunakan di dalam modul yang dikembangkan, yakni: 1) Membuat Keterkaitan-keterkaitan Tersebut Bermakna Dalam proses pembelajaran pada materi sifat mekanik bahan, merupakan materi yang berkaitan dengan bidang keahlian Teknik Sepeda Motor. Karena itu guru berusaha memancing siswa untuk mengaitkan sub-sub materi diajarkan dengan materi bidang keahlian yang telah dipelajari siswa pada pelajaran produktif, sehingga pembelajaran lebih bermakna. 2) Berpikir Kritis dan Kreatif Guru setiap pertemuan menggunakan model, metode, dan media pembelajaran yang mendukung proses pembelajaran yang atraktif, interaktif, dan efisien. Dan berusaha merangsang siswa untuk berpikir kritis terhadap materi yang disampaikan dan kreatif dalam menghubungkan pengetahuan yang dimiliki siswa, sehingga pembelajaran akan lebih bermakna dan diperoleh hasil pembelajaran yang optimal. 3) Pembelajaran yang Mandiri Guru merancang pembelajaran yang memancing siswa menghubungkan pengetahuan akademik dengan kehidupan siswa sehari-hari, yakni untuk mencapai tujuan yang bermakna.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
4) Masyarakat Belajar (Learning Community) Dengan adanya masyarakat belajar, siswa dapat bekerja sama dengan siswa, guru, dan lingkungannya, sehingga memungkinkan siswa untuk mendapatkan pengetahuan lebih. 5) Menggunakan Penilaian yang Autentik. Guru melakukan penilaian untuk mendiskripsikan perkembangan siswa secara afektif, psikomotor dan kognitif. 3. Modul Pembelajaran Interaktif Modul adalah bahan ajar yang disusun secara sistematis dengan bahasa yang mudah dipahami oleh siswa, agar siswa dapat belajar secara mandiri dengan bantuan atau bimbingan minimal dari pendidik (Prastowo, 2011: 106). Menurut Purwanto (2007: 9) “modul adalah bahan belajar yang dirancang sistematis berdasarkan kurikulum tertentu dan dikemas dalam bentuk satuan pembelajaran terkecil dan memungkinkan dipelajari secara mandiri dalam satuan waktu tertentu”. Menurut Hamdani (2011: 219) modul dirumuskan sebagai: “Sarana pembelajaran dalam bentuk tertulis atau cetak yang disusun secara sistematis, memuat materi pembelajaran, metode, tujuan pembelajaran, berdasarkan kompetensi dasar atau indikator pencapaian kompetensi, petunjuk kegiatan belajar mandiri (self instructional) dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menguji diri sendiri melalui latihan yang disajikan dalam modul tersebut“. Tujuan penyusunan modul menurut Andi Prastowo (2011: 105)adalah: a. Agar siswa dapat belajar secara mandiri tanpa atau dengan bimbingan pendidik. b. Agar peran guru tidak selalu dominan dan otoriter dalam kegiatan pembelajaran. c. Melatih kejujuran siswa d. Mengakomodasi berbagai tingkat dan kecepatan belajar siswa. e. Agar siswa mampu mengukur sendiri tingkat penguasaan materi yang telah dipelajari. Andi Prastowo (2011: 330) mengemukakan bahwa: “bahan ajar interaktif adalah bahan ajar yang mengkombinasikan beberapa media pembelajaran (audio, video, teks, atau grafik) yang bersifat interaktif untuk mengendalikan suatu perintah atau pelaku alami dari suatu presentasi”. Karakteristik proses pembelajaran dengan menggunakan media commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
pembelajaran interaktif adalah adanya interaksi siswa dengan media pembelajaran yang digunakan. Jenis interaksi yang terjadi didefinisika sebagai berikut: Menurut Susilana (2007: 22), “ada 3 jenis interaksi antara lain: 1) interaksi yang menunjukkan siswa berinteraksi dengan sebuah program, misalnya siswa diminta mengisi blanko pada bahan ajar terprogram; 2) siswa berinteraksi dengan mesin, misalnya mesin pembelajaran, laboratorium bahasa, komputer atau kombinasi diantaranya; 3) interaksi yang mengatur hubungan antara siswa secara teratur tetapi tidak terprogram sebagai contoh dapat dilihat pada berbagai permainan pendidikan simulasi yang melibatkan siswa dalam kegiatan atau masalah yang mengharuskan mereka untuk membalas serangan lawan atau kerjasama dengan teman seregu dalam memecahkan masalah”. Berdasarkan uraian di atas, dengan adanya modul diharapkan siswa dapat belajar mandiri dan menghindari dominasi guru dalam pembelajaran. Modul dapat mengakomodir berbagai tingkat dan kemampuan siswa dalam memahami materi. Modul pembelajaran yang disusun melibatkan interaksi siswa, sehingga proses pembelajaran menjadi lebih bermakna. Allen dalam Aries Suharso (2012) mengemukakan tentang hubungan antara media dengan tujuan pembelajaran, sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini: Tabel 2.1. Hubungan Jenis Media Pembelajaran dengan Tujuan Pembelajaran Jenis Media 1 2 3 Gambar Diam S T S Gambar Hidup S T T Televisi S S T Obyek Tiga Dimensi R T R Rekaman Audio S R R Programmed Instruction S S S Demonstrasi R S R Buku teks tercetak S R S Keterangan: 1 = Belajar Informasi faktual 2 = Belajar pengenalan visual 3 = Belajar prinsip, konsep dan aturan 4 = Prosedur belajar 5 = Penyampaian keterampilan persepsi motorik 6 = Mengembangkan sikap, opini dan motivasi T = Tinggi S = Sedang R = Rendah commit to user
4 S T S R S T T S
5 R S R R R R S R
6 R S S R S S S S
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa kriteria yang paling utama dalam pemilihan dan pengembangan media harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran atau kompetensi yang ingin dicapai, sebagai contoh: bila tujuan atau kompetensi siswa SMK bersifat visual dan mengutamakan ketrampilan motorik, maka media pembelajaran visual, media film, dan video bisa digunakan. Pengembangan media memiliki kriteria lainnya yang bersifat melengkapi selain berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, seperti: biaya, ketepatgunaan media, kondisi siswa, serta ketersediaan sarana dan prasarana. Modul pembelajaran yang akan dikembangkan modul pembelajaran elektronik yang berbasis kontekstual yang memiliki fungsi yang sama dengan modul cetak. Kelebihan modul pembelajaran elektronik dibandingkan dengan modul cetak yakni: lebih murah dalam proses pembuatan, praktis dalam proses penyebaran, menarik dan interaktif. Modul pembelajaran elektronik lebih interaktif karena melibatkan siswa secara langsung dalam menggunakan media pembelajaran. 4. Modul Pembelajaran Elektronik Modul pembelajaran elektronik merupakan salah satu ragam media pembelajaran mandiri non cetak. Berbeda dengan modul pembelajaran cetak yang hanya dapat memiliki komponen isi gambar saja, modul elektronik memiliki kelebihan dapat diberikan komponen isi gambar, animasi, dan video pembelajaran. Modul pembelajaran elektronik dapat disusun dengan menggunakan beberapa software (perangkat lunak) diantaranya Microsoft Power Point, Adobe Flash CS6, dan Macromedia Flash 8. Modul elektronik dapat digunakan dengan bantuan perangkat komputer, laptop, bahkan dapat dibuka dengan perangkat ponsel pintar (smartphone) yang berbasis Android, sehingga modul pembelajaran elektronik sangat potensial untuk dikembangkan. Pengembangan modul elektronik dengan menggunakan software Adobe Flash CS6 Animasi pembelajaran yang dapat dimasukkan sebagai komponen isi media dapat disusun dengan software Adobe Flash CS6, diantaranya adalah animasi peristiwa atau fenomena fisika dan simulasi percobaan. Komponen isi yang dapat disertakan pada modul elektronik,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20
diharapkan modul elektronik dapat menjadi media yang menarik, efektif, efisien, serta interaktif bagi siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Modul elektronik dapat menampilkan teks, gambar, animasi, dan video melalui piranti elektronik berupa komputer. Modul elektronik dapat mengurangi penggunaan kertas dalam proses pembelajarannya. Selain itu modul elektronik ini diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif pembelajaran yang efisien dan efektif, serta interaktif, sehingga minat dan hasil belajar siswa meningkat. Pengembangan modul elektronik menggunakan program Adobe Flash CS6. Program komputer Adobe Flash CS6 memiliki kelebihan dapat mengontrol akses halaman pembelajaran (jika pembelajaran berisi lebih dari satu materi atau evaluasi yang sifatnya berjenjang), menentukan rangking, menyimpan dan memanggil pesan, dan memberikan saran atau solusi dalam belajar (Nurtantio dan Syarif, 2013). Modul pembelajaran elektronik memiliki kelebihan yakni: 1) praktis, karena mudah digunakan kapan dan dimana saja, 2) menarik, karena modul dapat diberi komponen isi gambar statis, animasi, dan video pembelajaran, dan 3) interaktif, karena melibatkan siswa secara langsung. Modul pembelajaran elektronik ini dapat disusun dengan menggunakan software Microsoft Powerpoint, Adobe Flash CS6, dan Macromedia Flash8. Modul pembelajaran elektronik yang terintegrasi dengan gambar, animasi, dan video pembelajaran diharapkan dapat menghadirkan pengalaman nyata siswa, sehingga siswa dapat terstimulus menggabungkan pengetahuan yang dimiliki siswa dengan materi fisika. Menurut Edgar Dale dalam Arcadius (2010) menggambarkan pentingnya visualisasi dan verbalistis pengalaman dalam menanamkan suatu konsep dan memklasifikasikan pengalaman dalam kerucut pengalaman (cone of experience) sesuai gambar 2.1.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
Gambar 2.1. Kerucut pengalaman Edgar Dale Gambar 2.1 menunjukkan bahwa menurut pemikiran Edgar Dale tentang Kerucut Pengalaman (Cone of Experience) ini merupakan upaya awal untuk memberikan alasan atau dasar tentang keterkaitan antara teori belajar dengan komunikasi audiovisual. Pengetahuan dapat diterima dengan optimal dengan kemampuan verbal, kemampuan visual, dan melibatkan siswa. Berdasarkan kerucut pengalaman Edgar Dale menunjukkan bahwa 90% pengalaman belajar diperoleh dengan bermain peran, melakukan simulasi, dan melakukan hal yang nyata. Untuk memaksimalkan pengalaman belajar siswa, maka perlu dikembangkan media pembelajaran
yang dapat memberikan pengalaman yang nyata
dengan melampirkan komponen isi gambar, animasi, video pembelajaran, dan simulasi percobaan, sehingga dapat mengoptimalkan hasil pembelajaran. Media yang dikembangkan didalam media ini adalah modul pembelajaran elektronik interaktif yang menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual, memiliki komponen isi gambar, animasi, dan video pembelajaran. Media pembelajaran ini disebut dengan media ICM (Integrated Contextual Module). Media ICM merupakan modul pembelajaran elektronik yang disusun menggunakan software Adobe Flash CS6 dengan produk yang berformat swf (shockwave flash) atau exe (aplikasi).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
5. Kreativitas Belajar Kata kreativitas berasal dari “create” yang berarti pandai mencipta. Dalam pengertian yang lebih luas, keativitas berarti suatu proses yang tercermin dalam kelancaran, kelenturan (fleksibilitas) dan originalitas berpikir. Menurut Elizabeth B. Hurlock (2005: 4), “Kreativitas adalah kemampuan untuk menghasilkan komposisi, produk, atau gagasan apa saja yang pada dasarnya baru dan sebelumnya tidak dikenal pembuatnya”. Menurut Joyce Wycoff (2002: 49) beberapa ciri orang kreatif yaitu: 1) berani menghadapi tantangan baru dan bersedia menghadap risiko kegagalan, 2) tidak takut menyatakan pemikiran dan perasaannya, 3) humor berkaitan dengan kreativitas menggabungkan hal-hal sedemikian rupa sehingga menjadi berbeda, tidak terduga dan tidak lazim, 4) menerima intuisi sebagai aspek wajar dalam kepribadiannya. Menurut James J. Gallagher dalam Yeni & Euis (2010: 13) mengatakan bahwa kreativitas merupakan suatu proses mental yang dilakukan individu berupa gagasan, produk baru, atau perpaduan antara gagasan dan produk baru yang akhirnya melekat pada dirinya. Menurut Utami Munandar (2004: 37) menyatakan bahwa “Beberapa ciri pribadi yang kreatif yaitu: imajinatif, mempunyai prakarsa, mempunyai minat luas, mandiri dalam berpikir, senang berpetualang, penuh energi, percaya diri, bersedia mengambil risiko, dan berani dalam berpendirian dan berkeyakinan”. Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri-ciri kreativitas antara lain: a. Bebas dalam berpikir dan bertindak b. Adanya inisiatif menumbuhkan rasa ingin tahu c. Percaya pada diri sendiri d. Mempunyai daya imajinasi yang baik Kreativitas belajar sangat penting dalam pembelajaran fisika berbasis kontekstual, karena siswa dituntut menghubungkan pembelajaran yang telah diberikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa dari pengalaman sehari-hari. Media ICM digunakan untuk membangkitkan kreativitas siswa dalam mempelajari fisika.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
6. Kemampuan Berpikir Kritis Salah satu tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan berpikir pada umumnya dan mengembangkan ketrampilan berpikir kritis pada khususnya. Berpikir kritis dapat diartikan kemampuan yang sangat mendasar untuk kehidupan dan kegiatan manusia bermanfaat bagi aspek kehidupan lainnya. Menurut Hassoubah (2007) berpikir kritis adalah kemampuan memberi alasan secara terorganisasi dan mengevaluasi kualitas suatualasan secara sistemastis. Menurut Elaine B. Johnson (2009: 183) berpikir kritis merupakan sebuah proses yang terarah dan jelas yang digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah, mengambil keputusan, membujuk, menganalisis asumsi, dan melakukan penelitian ilmiah dan menurut Elika Dwi Murwani (2006) berpikir kritis merupakan salah satu ciri manusia yang cerdas. Akan tetapi berpikir kritis akan terjadi apabila didahului dengan kesadaran kritis yang diharapkan dapat ditumbuhkembangkan melalui pendidikan. Menurut Black dan Robert Ennis (dalam Sidharta, 2007: 27) menyatakan bahwa berpikir kritis adalah kemampuan menggunakan logika. Logika merupakan cara berpikir untuk mendapatkan pengetahuan yang disertai pengkajian kebenarannya yang efektif berdasarkan pola penalaran tertentu. Menurut Paul & Elder (2005: 4), berpikir kritis merupakan cara bagi seseorang untuk meningkatkan kualitas dari hasil pemikiran menggunakan teknik sistemasi cara berpikir dan menghasilkan daya pikir intelektual dalam ide-ide yang digagas. Beberapa kriteria yang dapat kita jadikan standar dalam proses berpikir kritis ini adalah kejelasan (clarity), tingkat akurasi (accuracy), tingkat kepresisian (precision) relevansi (relevance), logika berpikir yang digunakan (logic), keluasan sudut pandang (breadth), kedalaman berpikir (depth), kejujuran (honesty), kelengkapan informasi (information) dan implikasi dari solusi yang kita kemukakan (implication). Liliasari mengutip Facione menyatakan bahwa inti berpikir kritis adalah deskripsi yang lebih rinci dari sejumlah karakteristik yang berhubungan, yang meliputi analisis, inferensi, eksplanasi, evaluasi, pengeturan diri dan interpretasi. Oleh sebab itu berpikir kritis sangatlah dalam pendidikan, karena berpikir kritis mencakup seluruh proses commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
mendapatkan, membandingkan, menganalisis, mengevaluasi, internalisasi, dan bertindak melampaui ilmu pengetahuan. Menurut Wingkel (2007: 400), “ kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan untuk mengidentifikasikan dan merumuskan suatu problem, yang mencakup menentukan intinya, menemukan kesamaan dan perbedaan, menggali informasi serta data yang relevan, kemampuan untuk mempertimbangkan dan menilai, yang meliputi membedakan antara fakta dan pendapat, menemukan asumsi atau pengandaian, memisahkan prasangka dan pengaruh sosial, menimbang konsistensi dalam berpikir, dan menarik kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan data yang relevan, serta memperkirakan akibat yang dapat timbul.” Dari pengertian-pengertian di atas, dapat
disimpulkan bahwa dengan
membiasakan siswa berpikir kritis, dapat melatih siswa untuk menemukan keterkaitan yang baru antara pengetahuan yang telah diketahui dengan materi pembelajaran fisika. Siswa dapat menggunakan dan mengaitkan pengetahuan yang dimiliki untuk menyelesaikan suatu masalah (problem solver). 7.
Materi Pokok bahasan sifat mekanik bahan menurut silabus kurikulum 2013 mata pelajaran fisika SMK bidang keahlian Teknik Sepeda Motor, diajarkan kepada siswa kelas X semester genap. Pada pokok bahasan ini terdiri dari tiga kompetensi dasar yakni: a)bertambah keimanannya dengan menyadari hubungan keteraturan dan kompleksitas alam dan jagad raya terhadap kebesaran Tuhan yang menciptakannya, b)mendiskripsikan konsep elastisitas bahan dalam kehidupan sehari-hari, dan c)menguasai konsep hukum Hooke dan rangkaian pegas yang disusun secara seri-paralel. Pada materi sifat mekanik bahan, akan dipelajari tentang efek gaya terhadap perubahan bentuk benda yang dikenai gaya. Jika gaya yang diberikan terlalu besar, benda akan hancur atau patah. Pernahkah kalian bertanya mengapa sepeda motor (standar pabrik) kalian begitu nyaman saat melewati jalan yang bergelombang? Hal ini dikarenakan pada sepeda motor terdapat peredam kejut (shock breaker) di depan dan belakang. Peredam kejut harus terbuat dari bahan (material) yang dapat kembali ke bentuk semula, sehingga ketika mendapatkan tekanan dari luar, akan dapat dengan baik meredamnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
a. Sifat Benda Elastis dan Plastis Dalam materi sifat mekanik bahan, akan kita pelajari tentang sifat ketahanan bahan terhadap gaya yang berperan dan penggunaan sifat ketahanan ini dalam kehidupan kita sehari-hari. Sifat mekanik dari bahan adalah sifat elastis dan sifat plastis. Benda akan menjadi sifat plastis setelah benda melewati batas elastisitasnya. Materi merupakan bagian dari alam semesta yang memiliki sifat khusus dan dapat dimanfaatkan dalam produk dan peralatan sehari-hari, seperti: mesin, komponen elektronika, bahan bangunan, dll. Bahan di alam dapat mencakup bahan logam, non logam, dan bahan campuran. Materi-materi tersebut memiliki batas elastisitas yang beragam. Sifat mekanik bahan bahan itu dapat dibedakan menjadi dua, yakni: 1) Sifat Benda Elastis Merupakan sifat benda yang dapat kembali ke bentuk semula setelah gaya yang berperan pada benda tersebut dihilangkan. Contoh: karet gelang yang ditarik dan setelah dilepas karet gelang kembali kebentuk semula serta pegas yang ditekan dan setelah tekanan dihilangkan, maka pegas akan kembali kebentuk semula. Peristiwa ini menunjukkan sifat elastis pada benda pegas dan karet gelang. 2) Sifat Benda Plastis Merupakan sifat benda yang tidak dapat kembali kebentuk semula setelah dikenai gaya. Contoh: Plastisin yang setelah disentuh tidak dapat kembali kebentuk semula, hal tersebut menunjukkan sifat plastis pada plastisin. b. Elastisitas Elastisitas bahan merupakan tingkat ketahanan bahan terhadap pengaruh gaya, sehingga mengalami deformasi (perubahan bentuk). Bahan yang diberikan gaya akan mengalami deformasi. Deformasi pada benda padat berkaitan erat dengan tegangan (stress) dan regangan (strain) tegangan merupakan perbandingan antara gaya yang menyebabkan deformasi dengan luas penampang benda tegak lurus gaya. Hasil dari tegangan adalah regangan, yang merupakan derajat deformasi. Pada saat benda ditarik dengan gaya tertentu, fase elastis akan ditunjukkan dengan perubahan panjang yang linear terhadap besar gaya yang diberikan benda. Fase elastis akan berakhir dengan mulai tidak commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26
linearnya perbandingan antara gaya yang diberikan dengan perubahan panjang benda. Fase peralihan antara fase elastis dan fase plastis disebut dengan batas elastisitas. Batas elastisitas suatu bahan terjadi setelah melewati sifat elastis dan memasuki sifat plastis. Batas elastisitas akan tampak jika perbandingan antara perubahan panjang benda dengan gaya mulai tidak sebanding seperti ilustrasi grafik pada gambar 2.1. Gaya yang diberikan melampaui batas sifat plastis, akan diakhiri dengan patahnya objek. Batas elastisitas pada setiap bahan memiliki perbedaan. Perbandingan konstan antara tegangan dan
regangan disebut dengan modulus
elastisitas. Gambar 2.2 menunjukkan grafik hubungan gaya yang menarik pada sebuah benda pertambahan panjang suatu benda. Pada grafik linear menunjukkan pertambahan gaya yang linear terhadap pertambahan panjang (elastic region). Grafik yang sudah tidak linear menunjukkan batas elastisitas (elastic limit) yang membuat benda tidak akan kembali ke panjang semula jika gaya dihilangkan. Jika benda diberikan gaya melebihi ambang elastisitasnya, maka benda akan patah.
Gambar 2.2. Grafik hubungan antara gaya (𝐹) dan pertambahan panjang (∆𝐿) 1) Modulus Elastisitas Panjang (Modulus Young) Pada sebuah benda dengan panjang mula-mula 𝑙0 ditarik dengan gaya 𝐹 dengan arah yang tegak lurus terhadap penampang bidang 𝐴.
Gambar 2.3. Benda yang mengalami perpanjangan karena ditarik oleh gaya luar F commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
Maka tegangan tarik merupakan perbandingan antara gaya tarik 𝐹 terhadap luas penampang 𝐴. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:
τ=
F A
(2.1)
Keterangan τ = tegangan (N/m2 atau Pa) F = gaya (Newton) A = luas penampang benda (m2 ) Regangan merupakan perbandingan antar perubahan panjang (∆𝑙) dengan panjang mula-mula (𝑙0 ), sehingga regangan dapat dituliskan: ∆l lo
(2.2)
∆l=l-l0
(2.3)
e= dengan perubahan panjang (∆𝑙):
Keterangan: e = regangan l0 = panjang mula-mula benda (m) l = panjang akhir (m) ∆l = perubahan panjang (m) Modulus elastisitas atau modulus Young merupakan perbandingan antara tegangan dan regangan, sehingga dapat dituliskan sebagai berikut: Y=
F.l0 A.∆l
(2.4)
2) Modulus Elastisitas Geser (Modulus Shear) Deformasi geser merupakan jenis perubahan bentuk benda yang disebabkan oleh gaya yang diberikan saling berlawanan pada kedua permukaannya. Deformasi ini disebabkan oleh tegangan geser atau tegangan shear. Tegangan geser merupakan perbandingan antara gaya geser yang diberikan dengan luas permukaan yang dikenai gaya geser. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 28
Gambar 2.4. a) Gambar balok yang tidak dipengaruhi gaya, b) Gambar balok yang dikenai gaya pada permukaan atas dan bawah secara berlawanan Tegangan geser=
F A
(2.5)
Regangan geser merupakan perbandingan antara jarak horisontal pergeseran objek terhadap posisi awalnya dengan tinggi benda. ∆x h Nilai modulus elastisitas geser atau modulus shear, Regangan geser=
F Tegangan Geser A F.h Modulus Shear= = = Regangan Geser ∆x ∆x.A h
(2.6)
(2.7)
3) Modulus Elastisitas Volume (Modulus Bulk) Elastisitas volume atau elastisitas Bulk merupakan deformasi suatu objek yang disebabkan oleh gaya yang seragam diberikan pada seluruh permukaan benda. Deformasi ini merupakan perubahan volume bujan perubahan bentuk. Tegangan volume atau tegangan Bulk merupakan perbandingan antara gaya seragam yang berperan pada seluruh permukaan benda terhadap luas penampang permukaan. Tegangan bulk pada deformasi ini juga disebut sebagai tekanan.
Tegangan Bulk=
F A
commit to user
(2.8)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
Untuk regangan volume atau regangan Bulk merupakan perbandingan antara perubahan volume yang terjadi terhadap volume awal. Regangan Bulk=
∆V V
(2.9)
Modulus elastisitas volume didefinisikan sebagai: F Tegangan Bulk A F.V 𝑀odulus Bulk= = = ∆V Regangan Bulk ∆V.A V
(2.10)
c. Hukum Hooke Gaya (F) yang diberikan pada sebuah benda, seperti gaya yang secara vertikal diberikan pada objek, sehingga panjang benda akan berubah. Gaya yang berperan dapat dirumuskan sebagai berikut: F=k.∆L
(2.11)
Perubahan panjang benda (∆𝐿)
Gambar 2.5. Pegas yang Memanjang Karena Pengaruh Berat Beban Konstanta pada persamaan 2.11 merupakan perbandingan antara gaya (𝐹) dan perubahan panjang (∆𝐿) yang disebut sebagai konstanta Hooke. 1) Rangkaian Pegas Seri Pegas yang dirangkai secara seri akan mengalami total pertambahan panjang masingmasing pegas yang dirangkai seri, pegas akan menanggung gaya berat yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30
tergantung pada rangkaian seri.
Maka dapat dituliskan persamaannya sebagai
berikut:
Gambar 2.6. Rangkaian Pegas secara Seri Berdasarkan persamaan 2.4 dan 2.11, sehingga menjadi persamaan konstanta pegas sebagai berikut: k=
Y.A l0
(2.12)
Sistem memiliki luas penampang (A) yang sama dan panjang awal total pegas sama dengan penjumlahan panjang awal pada masing-masing pegas. l0 total =l0 1 +l0 2
(2.13)
Dengan menggabungkan persamaan persamaan 2.12 ke dalam persamaan 2.13, maka persamaan konstanta pegas total adalah sebagai berikut: Y.A Y.A Y.A = + k total k1 k2 1 k total
=
1 1 + k1 k2
Untuk sejumlah n pegas yang dirangkai seri, maka konstanta pegas total dapat dinyatakan sebagai berikut: 1 k total
=
1 1 1 + + ⋯+ k1 k2 kn commit to user
(2.14)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
2) Rangkaian Pegas Paralel Pegas yang dirangkai secara paralel akan mengalami pertambahan panjang yang sama, akan tetapi gaya berat yang tergantung pada rangkaian seri ditanggung oleh sejumlah pegas yang dirangkai.
Maka dapat dituliskan persamaannya sebagai
berikut:
Gambar 2.7. Rangkaian pegas secara paralel Gaya berat yang menarik kedua pegas terdistribusi pada kedua pegas, sehingga menyebabkan persamaan perubahan panjang. Kedua pegas memiliki panjang awal yang sama. l0 1 =l0 2
(2.15)
Beban yang tergantung ditahan oleh pegas dengan luas penampang tertentu (A) sesuai dengan persamaan berikut: Atotal =A1 +A2
(2.16)
Gaya berat yang tergantung ditanggung oleh pegas yang dirangkai paralel, jika persamaan 2.12 dimasukkan ke dalam persamaan 2.16 maka persamaan akan menjadi sebagai berikut: 𝑘𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 . 𝑙0 𝑘1 . 𝑙0 𝑘2 . 𝑙0 = + 𝑌 𝑌 𝑌 k total =k 1 +k 2
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 32
Untuk sejumlah n pegas yang dirangkai paralel, maka konstanta pegas total dapat dinyatakan sebagai berikut: k total =k 1 +k 2 + … +k n
(2.17)
B. Penelitian yang Relevan Penelitian pengembangan dengan menggunakan media ICM merupakan penelitian yang dapat membantu dalam proses pembelajaran. Berikut merupakan beberapa penelitian yang terkait dengan pengembangan modul interaktif berbasis kontekstual yang dapat menjadi rujukan antara lain: 1. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sudji Munadi et al (2007) berdasarkan data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa modul pembelajaran konstruktivistik kontekstual berbantuan komputer dalam memiliki kualitas media dari aspek materi dan kualitas tampilan tergolong baik. Penelitian Sudji menunjukkan bahwa modul yang dipadukan dengan komputer memiliki aspek materi dan media yang baik. Hal ini mendasari penelitian ini untuk mengembangkan media pembelajaran berbasis komputer. 2. Menurut Penelitian Meta Kuswandari et al (2013) yang mengembangkan bahan ajar fisika berupa modul pembelajaran kontekstual pada materi pengukuran besaran fisika untuk SMA kelas X telah memenuhi kriteria baik. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan model pengembangan Borg dan Gall. Penelitian Meta memiliki kesamaan dengan penelitian Sudji, sehingga media pembelajaran kontekstual memang berpotensi untuk dikembangkan. 3. Penelitian Mark W Otter et al (2000) merupakan penelitian pengembangan modul pembelajaran kontekstual sebagai pendekatan pada pendidikan Bioengineering. Penelitian ini memiliki kesamaan dengan modul hasil penelitian Meta, oleh karena itu penelitian ini mencoba mengembangkan media pembelajaran kontekstual. 4. Penelitian dan pegembangan oleh Norlidah Alias (2012) tentang modul fisika berbasis gaya belajar sesuai dan kesesuaian teknologi dengan menggunakan model desain instruksional Isman. Modul yang dihasilkan efektif bagi siswa dengan kemampuan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
visual, aktif, dan pemikir. Walaupun kurang efektif untuk siswa berkemampuan verbal, ini menunjukkan bahwa model instruksional Isman telah berhasil diimplementasikan dalam penelitian dan pengembangan
pada modul fisika ini.
Berdasarkan penelitian Norlidah, pengembangan modul menantang untuk dilakukan, meskipun ada beberapa kelemahan. 5. Menurut hasil penelitian Sang Putu Sri Wijaya (2008) yang mengembangkan modul fisika kontekstual untuk meningkatkan hasil belajar fisika. Menurut ahli isi, ahli media, ahli desain, dan siswa memberikan tanggapan bahwa modul fisika kontekstual ini sudah sesuai dan layak untuk digunakan dalam pembelajaran. Penelitian ini hasil penilaian dari aspek isi, media, desain, dan penilaian siswa menunjukkan nilainya baik. Penelitian ini menunjukkan bahwa modul fisika kontekstual memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan. 6. Penelitian yang telah dilakukan Muhammad Ali (2009) tentang pengembangan media pembelajaran interaktif untuk mata kuliah medan elektromagnetik dengan objek penelitian mahasiswa Teknik Elektro UNY (Universitas Negeri Yogyakarta). Kesimpulan dari penilaian ahli media pembelajaran yang diukur berdasarkan dimensi kualitas yang meliputi aspek operasional, tampilan, dan interaksi dinilai layak untuk digunakan dalam proses pembelajaran. Sedangkan umtuk respon mahasiswa mendapat penilaian yang sangat baik. Penelitian ini menunjukan bahwa media pembelajaran interaktif juga memiliki potensi untuk dikembangkan, jika modul yang disusun pada penelitian Sang Putu dikembangkan menjadi modul interaktif mungkin akan lebih menarik. Media ICM merupakan modul elektronik dengan pendekatan pembelajaran kontekstual ini yang akan dikembangkan dalam penelitian ini. 7. Penelitian yang dilakukan oleh Dhimas Ardhiansyah dan Lusia Rakhmawati (2013) tentang pengembangan media pembelajaran e-book interaktif pada mata kuliah elektro digital menggunakan metode penelitian 4 D (define, design, develope, and disseminate). Validasi media dilakukan oleh ahli media, ahli materi, ahli bahasa, dan lembar angket mahasiswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa e-book interaktif dinyatakan valid dan layak digunakan untuk proses pembelajaran. Media ICM yang dikembangkan di dalam penelitian ini merupakan perpaduan antara penelitian Sang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
Putu, Ali, dan Sudji menarik untuk dikembangkan menjadi modul kontekstual elektronik yang interaktif. 8. Penelitian yang telah dilakukan oleh Sabar Nurohman (2011) yang mengembangkan modul elektronik berbahasa Inggris dengan model pengembangan ADDIE (Analysis, Design, Development, Implementation, and Evaluation). Modul elektronik ini dikembangkan dengan menggunakan software Microsoft Office Power Point 2007, modul ini layak digunakan untuk pembelajaran. Model pengembangan yang digunakan di dalam penelitian Sabar, memiliki kelebihan. Model ADDIE memiliki kesederhanaan dalam proses pengembangannya dan akan digunakan di dalam penelitian dan pengembangan media ICM. 9. Juergen Kirstein dan Volkhard Nordmeier (2006) melakukan penelitian dengan mengembangkan eksperimen virtual yang melibatkan siswa secara interaktif dengan menggunakan layar eksperimen interaktif (Interactive Screen Experiment). Hasil penelitian menunjukkan bahwa media layar eksperimen interaktif dapat membantu pembelajaran dengan metode praktikum dengan mengurangi risiko masalah dan kesalahan dibanding dengan melakukan eksperimen yang sebenarnya. Komponen isi penelitian Juergen pada sangat menarik, karena mengembangkan eksperimen virtual. Berdasarkan penelitian Juergen, penelitian ini mengembangkan modul elektronik yang dilengkapi dengan simulasi percobaan hukum hooke. 10. Penelitian yang dilakukan oleh Jorge Fonseca e Trindade (2005) mengembangkan media pembelajaran 3 dimensi secara virtual pada materi fase air (gas, cair, dan padat) untuk pembelajaran SMA tingkat akhir. Media dikembangkan dengan software Mathcad dan 3-D Max untuk menciptakan skenario virtual dari perubahan wujud air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media ini telah berhasil meningkatkan pemahaman siswa tentang perubahan wujud air dan mengatasi miskonsepsinya. Hasil terpenting lainnya adalah terbentuknya karakteristik siswa tentang pemahaman secara konseptual dengan media pembelajaran tiga dimensi yang interaktif. Penelitian Jorge mengatasi miskonsepsi dengan menggunakan media interaktif virtual tiga dimensi. Hal ini yang mendasari penelitian ini untuk mengembangkan media yang interaktif, walaupun bukan media pembelajaran tiga dimensi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
11. Penelitian pembelajaran berbasis kontekstual oleh Agnaldo Arroio (2010) tentang peranan film pada pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, menjelaskan tampilan audiovisual, sehingga membangun pengetahuan tentang fenomena yang terjadi di alam sekitar siswa. Siswa secara kontekstual mampu menghubungkan film yang telah dilihat dengan fenomena alam dan memotivasi belajar sains lebih dalam. Penelitian Agnaldo sangat cocok dengan media yang dikembangkan dalam penelitian ini, karena membangun pengetahuan siswa dengan menghadirkan fenomena yang ada di sekitar siswa. Penelitian Agnaldo dapat dijadikan referensi untuk mengembangkan media ICM karena memiliki pendekatan kontekstual. 12. Penelitian Shelley Yeo et al (2004) tentang kegiatan yang dilakukan siswa saat belajar dengan menggunakan media pembelajaran interaktif. Hasil penelitian Yeo menunjukkan bahwa bahwa media pembelajaran interaktif tidak menumbuhkan keinginan siswa dalam memahami konsep fisika. Hal ini terjadi karena media pembelajaran dilakukan tanpa pengawasan langsung oleh guru, akan tetapi menggunakan kamera pengawas. Berdasarkan penelitian Yeo, penelitian ini akan mengembangkan media interaktif ICM yang dapat menumbuhkan keinginan siswa untuk memahami konsep fisika dengan pengawasan guru. 13. Penelitian David Carr et al (2007) tentang pengembangan perrmainan komputer untuk mengajarkan teori relativitas Einstein. Hasil penelitian menunjukkan media permainan dapat membantu siswa dalam memahami konsep teori relativitas Einstein. Permainan menuntut keterlibatan siswa yang tinggi, hal ini sesuai dengan penelitian ini yang mengembangkan media ICM yang membangun pemahaman siswa tentang teori yang diajarkan dengan melibatkan siswa secara aktif. 14. Penelitian P.A. Hatherly et al (2009) tentang layar eksperimen interaktif pada laboratorium virtual inovatif untuk siswa jarak jauh. Penelitian ini menjawab penelitian Yeo yang membahas kekurangan pengembangan media pembelajaran interaktif. Penelitian Hatherly menggunakan koneksi internet untuk menjalankan medianya dengan menggunakan webcam untuk mengawasi setiap kegiatan siswa secara online. Penelitian Hatherly dapat dijadikan referensi untuk mengembangkan media ICM. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 36
Berdasarkan jurnal-jurnal yang relevan di atas, dalam penelitian akan dikembangkan media ICM (Integrated Contextual Module) yang merupakan modul pembelajaran elektronik yang berbasis kontekstual yang memiliki komponen isi gambar, animasi, dan video pembelajaran. Modul ini diharapkan layak untuk digunakan, efektif meningkatkan kreativitas belajar, dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa, sehingga siswa dapat meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah dengan berpikir kritis terhadap informasi-informasi yang didapat dan kreatif dalam menggunakan pengetahuanpengetahuan yang dimiliki oleh siswa supaya dapat membangun keterkaitan-keterkaitan yang bermakna. Keberhasilan penerapan ICM (Integrated Contextual Module)dapat dilihat dari adanya : 1) validasi ahli media, 2 )validasi ahli materi, 3) validasi ahli bahasa,
4)
validasi oleh guru fisika SMK, 5) validasi oleh teman sejawat, dan 6) peningkatan aspek kreativitas dan kemampuan berpikir kritis siswa. Penelitian ini berhasil melakukan menambah ragam media pembelajaran yang dihasilkan dari penelitian dan pengembangan. Pengembangan media ini sangat menjanjikan, karena seiring perkembangan teknologi informasi. Media ICM perlu diteruskan pengembangannya oleh para guru dan diimplementasikan ke mata pelajaran yang lainnya.
C. Kerangka Berpikir Media
pembelajaran
yang
tepat
dalam
proses
belajar
mengajar
akan
membangkitkan rasa ingin tahu siswa tentang materi lebih jauh dan dalam. Hal ini dapat memotivasi siswa untuk mendalami materi, siswa aktif menggali informasi dengan cara bertanya, berpikir kritis, kreatif dalam memecahkan masalah, mencari referensi yang lain, dan kesadaran belajar akan timbul. Pengembangan media ICM sangat penting, karena dengan adanya media ini siswa harus dapat menemukan keterkaitan-keterkaitan antara pengetahuan fisika dengan pengalaman siswa sehari-hari dan pengetahuan di bidang keahlian Teknik Sepeda Motor, sedangkan guru hanya sebagai pendamping dan mengawasi pembelajaran menggunakan media ICM. Media ICM menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual, siswa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
mencoba menemukan konsep dengan cara menggabungkan pengetahuan fisika dengan pengelaman sehari-hari dan bidang keahlian siswa, sehingga akan terjadi keterkaitanketerkaitan yang bermakna. Skema kerangka berpikir penelitian pengembangan ditunjukkan pada gambar 2.8. Media ICM mengkonstruksikan pengetahuan dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari dan membangkitkan siswa untuk berpikir kritis dan kreatif, sehingga pembelajaran berlangsung lebih bermakna.
Gambar 2.8. Kerangka berpikir penelitian Penelitian dan pengembangan media ICM pada pokok bahasan sifat mekanik bahan bertujuan untuk menganalisis kelayakan dan efektivitas penggunaan media ICM pada pokok bahasan sifat mekanik bahan terhadap kreativitas serta kemampuan berpikir kritis siswa SMK kelas X bidang keahlian Teknik Sepeda Motor. Kelayakan media ICM yang akan dikembangkan, akan ditinjau berdasarkan hasil validasi yang dilakukan oleh ahli media, ahli materi, ahli bahasa, guru fisika SMK, teman sejawat, dan respon siswa pada ujicoba kecil. Kelayakan media ICM pada pokok bahasan sifat mekanik bahan yang akan dikembangkan akan ditinjau dari hasil validasi ahli media dan ahli materi serta efektifitas media ICM dalam meningkatkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis siswa dianalisis dengan merujuk pada Eko Putro Widyoko (2009), sedangkan validasi oleh ahli bahasa, guru fisika SMK, dan teman sejawat analisis validasi akan menggunakan model Gregory. Efektivitas penggunaan media ICM dalam meningkatkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis siswa diukur dengan menentukan gain factor. commit to user