BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pisang Menurut sejarah, pisang berasal dari Asia Tenggara yang oleh para penyebar agama Islam disebarkan ke Afrika Barat, Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Selanjutnya pisang menyebar ke seluruh dunia, meliputi daerah tropis dan sub tropis. Negara-negara pengahsil pisang yang terkenal diantaranya Brasil, Filipina, Panama, Honduras, India, Equador, Thailand, Karibia, Columbia, Meksiko, Venezuela dan Hawai. Indonesia merupakan negara penghasil pisang nomor empat di dunia (Suyanti Satuhu, Achmad Supriyadi, 2000). Pohon pisang selalu melakukan regenerasi sebelum berbuah dan mati, yaitu melalui tunas-tunas yang tumbuh pada bonggolnya. Dengan cara itulah pohon pisang mempertahankan eksistensinya untuk memberikan manfaat kepada manusia. 1. Jenis pisang Menurut Suhardiman, 1997, jenis-jenis pisang dapat dibedakan dalam 3 kelompok, yakni jenis pisang umum, pisang kemersial dan jenis lain. a. Jenis umum Contoh pisang jenis ini adalah: pisang serat (Noe musa textiles) diambil seratnya, pisang hias (Helicona indicak lank), pisang buah (Musa paradisiacal lank) , yang termasuk pisang buah: golongan langsung dimakan
seperti kapok, susu, hijau, mas, raja dan golongan setetlah
dimasak atau diolah, contohnya : pisang tanduk, pisang raja uli, pisang kapas, pisang bengkulu b. Jenis pisang komersial
Banyak terdapat dipasaran baik di pasar umum maupun di supermarket. Contohnya adalah pisang barangan, raja, raja sere, raja uli, raja molo, raja kul, raja nangka, ambon, pisang kapas dan lain-lain. c. Jenis lain Jenis-jenis pisang lain contohnya adalah pisang awak, badak, camar putih, rayap, kawista dan lain lain. 2. Pisang raja nangka Pisang raja nangka merupakan jenis pisang komersial. Pisang ini kulit buahnya tetap berwarna hijau walaupun sudah matang. Kulit buah agak tebal, buahnya berukuran besar. Panjang buah dapat mencapai 28 cm, bentuk buah melengkung. Pisang ini berasal dari Malang Jawa Timur ini hanya berbobot 150 – 180 gram perbuah. Daging buah berwarna kuning kemerahan dengan rasa manis sedikit asam dan aromanya harum (IPTEKnet, 2005) Pisang jenis ini biasanya tidak dikonsumsi langsung sebagai pencuci mulut, tetapi diolah terlebih dahulu menjadi beragam jenis makanan ringan dari pisang yang relatif populer antara lain kripik pisang asal Lampung, sale pisang (Bandung), pisang Molen (Bogor), dan epe dari Makassar (Wikipedia, 2006) Tabel 1 berikut ini adalah komposisi gizi pisang raja nangka TABEL 1 KOMPOSISI GIZI PISANG RAJA NANGKA SEGAR NO
KOMPOSISI
JUMLAH
1
Kalori
( %)
39.75
2
Lemak
(gr %)
0.2
3
Karbohidrat
( gr %
33.79
4
Vitamin B
( mg %)
0.06
5
Vitamin C
( mg %)
10
6
Ca
( mg %)
15
7
Fe
( mg %)
01.2
Sumber: Suyanti Satuhu, 1994
3. Kripik Pisang Kripik pisang merupakan salah satu diversifikasi hasil olahan pisang. Produk ini berbentuk irisan tipis dari buah pisang yang digoreng dengan minyak sehingga menjadi produk dengan kadar air yang rendah. Kripik pisang mempunyai daya simpan yang lama. Produk ini dapat dibuat dari semua jenis pisang khususnya pisang yang mempunyai nilai ekonomi yang rendah dan tidak dimanfaatkan sebagai buah pencuci mulut (deasert) seperti buah pisang raja nangka dan pisang kepok. Oleh karena kripik ini dapat dikonsumsi oleh semua kalangan masyarakat dan merupakan produk yang ”luwes” dipasarkan setiap waktu serta dapat diproduksi setiap saat mengingat produksi dan ketersediaan buah pisang dimasyarakat dan di pasar sangat banyak. Ada berbagai variasi dalam pembuatan kripik pisang. Cita rasa kripik pisang ada yang manis ada juga asin,biasanya garam atau gula yang dimaksudkan
untuk
memberi
rasa
ditambahkan
pada
waktu
akhir
penggorengan, ada juga yang ditambahkan setelah diangkat dari wajan (Suyanti Satuhu , 1994)
Syarat mutu keripik pisang menurut SNI 01 – 4315 – 1996 dapat dilihat pada tabel di bawah ini : TABEL 2 SYARAT MUTU KERIPIK PISANG No
Kriteria Uji
1.
Keadaan 1.1 Bau 1.2 Rasa 1.3 Warna 1.4 Tekstur
Satuan
Persyaratan
-
Normal
-
Khas pisang
-
Normal
-
Renyah
2.
Keutuhan
%
min 70
3
Kadar Air, bb
%
maks 6
4
Lemak, bb
%
maks 30
5
Abu, bb
%
maks 2
6
Cemaran Logam 6.1 Timbal (Pb)
mg/kg
maks 1.0
6.2 Tembaga (Cu)
mg/kg
maks .10
6.3 Seng (Zn)
mg/kg
maks 40
6.4 Raksa (Hg) 7
mg/kg
maks 1.05
Cemaran Mikroba 7.1 Angka Lempengan total
Koloni/g
7.2 E. Coli
APH/g
7.3 Kapang
Kolopi/g
maks 1.0 x 106 3 maks 1.0 x 104
Sumber : Badan POM, 1996
B. Browning ”Browning” (jadi sawah matang) banyak terjadi misalnya jika makanan mengalami perlakuan mekanis. Biasanya mengakibatkan perubahan penampilan (appearance), flavor dan nilai gizi, tapi bisa juga merupakan hal yang dikehendaki, seperti pada kopi, roti bakar. Pada buah-buahan dan sayuran, browning tidak dikehendaki, karena menyebabkan penampilan yang tidak baik dan menimbulkan cita rasa yang lain. Ada dua macam mekanisme dari reaksi browning, yaitu browning enzimatis dan browning non enzimatis. a. Browning Enzimatis Browning ini banyak terjadi pada buah-buahan dan sayuran, seperti kentang, apel, pisang, jika mengalami perlakuan mekanis, dibelah, dikuliti. Tenunan yang rusak, cepat menjadi gelap warnanya setelah berhubungan dengan udara. b. Browning non enzimatis Pada pengolahan oleh panas akan terjadi browning pada berbagai bahan makanan. Browning ini tidak disebabkan oleh enzim oleh karena itu disebut browning non enzimatis. Browning ini dikehendaki karena
menimbulkan bau, aroma, dan cita rasa yang dikehendaki seperti kopi, karamel, roti bakar dan lain-lain (Muchidin Apandi. 1984) Menurut Satuhu , 1994, buah pisang yang dipergunakan untuk keripik ialah buah yang masih mentah. Buah dikupas dan dipotong serong tipis-tipis, kemudian direndam dalam larutan sodium metabisulfit 0,05 %, asam sitrat 0,1 % dan garam 1 % selama 30 menit, kemudian digoreng dengan minyak, ditiriskan dan dikemas. Perendaman pisang setelah dikupas dimaksudkan untuk mengurangi proses browning yang akan mengakibatkan warna coklat pada buah pisang, sehingga warna dari produk kripiknyapun kurang menarik.
C. Pengeringan Pengeringan merupakan cara untuk mengawetkan bahan makanan. Pada cara pengeringan kadar air bahan diturunkan sedemikian rupa sehingga enzim-enzim tidak dapat bekerja dan jasad renik tidak dapat berkembang biak. Banyaknya sisa air yang diperbolehkan adalah berbeda untuk tiap jenis bahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain kadar gula, kadar garam, lamanya penyimpanan dan sebagainya. Pada umumnya kadar air bahan makanan yang telah dikeringkan antara 1 sampai 20 % (Santoso. 1997) Proses
pengeringan
dapat
dilakukan
secara
alamiah
dengan
menggunakan sinar matahari (sundrying) atau penjemuran, sedangkan pengeringan non alamiah (artificial drying) atau buatan menggunakan suatu alat pengering. a. Pengeringan alamiah (sun drying). Pengeringan alamiah merupakan pengeringan yang lazim digunakan karena dilakukan dengan bantuan sinar matahari. Keuntungan menggunakan pengering alami : (1) murah; (2) tidak memerlukan keahlian khusus; (3) mudah dalam prosesnya. Kekurangan dari metode ini antara lain : (1)
tergantung dengan cuaca; (2) sukar menentukan lama penjemuran karena kenaikan suhu tidak dapat diatur; (3) kebersihan kurang terkendali. b. Pengeringan non alamiah (artificial drying) Pengeringan buatan merupakan cara pengeringan yang menggunakan alat pengering. Pada proses ini udara yang dipanaskan disirkulasikan dengan alat penghembus. Keuntungan dari metode ini antara lain : (1) suhu dan aliran udara dapat diatur; (2) proses dapat dikontrol; (3) kebersihan lebih terjamin; (4) tidak memerlukan tempat yang luas; (5) penyusutan bahan tidak sebesar pengeringan alamiah (Marliyati, Sulaiman, Anwar.1992). Mutu yang akan diperoleh dari suatu produk kering khususnya keripik seperti tekstur, warna bisa dicapai bila suhu, waktu, bahan yang dipilih dan proses pengeringan terkendali dengan efektif dan efisien. Hal tersebut dapat dilakukan menggunakan pengering buatan. Untuk pengeringan suatu bahan terdapat berbagai tipe pengeringan yang digunakan. Pemilihan tipe pengering tergantung dari bahan yang akan dikeringkan dan tujuan pengeringan. Dari berbagai macam tipe pengering yang digunakan dalam penelitian dehidrasi buah-buahan dan sayuran di laboratorium dalam skala kecil adalah pengering kabinet. Hal yang menyebabkan penggunaan pengering ini adalah murah pembuatannya dan mudah cara penggunaannya. Pengering ini terdiri dari suatu ruangan dimana rigen-rigen untuk produk yang akan dikeringkan terdapat di dalamnya. Udara dihembuskan dengan menggunakan kipas angin melalui suatu pemanas dan kemudian menembus rigen-rigen pengering yang berisi bahan yang dikeringkan (Norman W Desroiser. 1988) Untuk keberhasilan dalam suatu usaha pengeringan ada beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu : (1) luas permukaan ; (2) suhu pemanasan : (3) kecepatan aliran udara ; (4) tekanan udara. Pengering dapat berlangsung
baik jika terjadi case hardening. Case hardening yaitu suatu keadaan dimana luar (permukaan) bahan sudah kering tapi bagian dalam masih basah. Penyebab Case hardening adalah suhu pemanasan yang terlalu tinggi. Suhu pengeringan untuk buah berkisar 55-70 ° C (Marliyati, Sulaiman, Anwar. 1992)
D. Penggorengan Proses penggorengan (frying) termasuk Deep Frying adalah proses pemasakan yang menggunakan minyak nabati sebagai medium pemanasnya. Salah satu hal yang unik dari penggorengan adalah medium pemanas berupa minyak nabati yang digunakan menggoreng akan menjadi bagian dari makanan yang telah digoreng. Dengan demikian minyak yang digunakan akan membantu menghasilkan mutu masak yang berbeda yang mencirikan karakteristik makanan gorengan. Dibandingkan dengan proses pemasakan lainnya seperti perebusan dan pemanggangan, proses penggorengan mempunyai keunggulan, salah satu diantaranya adalah lebih cepat. Selama proses penggorengan akan terjadi dehidrasi terutama pada bagian terluar dari makanan yang digoreng yang menyebabkan terbentuknya kerak yang renyah. Uap air yang terlepas dari bagian ini akan meninggalkan rongga-rongga
yang kemudian diisi oleh minyak goreng. Minyak yang
terserap inilah yang memberikan pengaruh renyah pada bagian kerak makanan yang digoreng. Banyaknya minyak yang diserap bervariasi dengan jenis makanan yang digoreng dan pada dasarnya tergantung pada perbandingan antara kerak dan bagian dalamnya. Sebagai contoh: kripik kentang
yang mempunyai
permukaan luas serta bagian dalam yang sangat sempit menyerap sampai 30-
40 % minyak. Kentang goreng ( French-fried potatoes) yang mempunyai luas permukanaan lebih kecil daripada bagian dalamnya hanya menyerap 7 – 10 % (Dedi Fardiaz,1996). Operasi penggorengan banyak digunakan di Industri pangan, baik Industri pangan skala kecil maupun industri skala besar, karakteristik penggorengan sebagai suatu satuan operasi adalah bahwa penggorengan menggunakan minyak sebagai medium pemanas dan sekaligus juga minyak akan terserap dalam bahan pangan sehingga menjadi bagian produk akhir yang sangat mempengaruhi mutu secara keseluruhan. Penggorengan yang paling sederhana adalah penggorengan skala rumah tangga, yaitu dengan menggunakan wajan penggoreng biasa yang biasanya berbentuk cekung. Disamping itu ada pula tipe wajan lain yaitu wajan ceper ( gridle) dan pancake. Berdasarkan jenis alat penggorengan dan jumlah minyak yang digunakan, maka proses penggorengan sering dibedakan atas deep fat frying dan shallow atau pan- frying . Shallow frying sering pula disebut sebagai contact frying , karena pada proses ini produk yang digoreng mempunyai kontak yang nyata dengan logam atau wajan penggoreng. Deep fat frying adalah bahwa makanan akan terendam dalam minyak panas selama penggorengan. Dengan demikian maka proses penggorengan akan lebih cepat dan semua permukaan makanan akan terkena perlakuan panas yang relatif seragam (warna kecoklatan juga lebih seragam) Dalam operasi komersialnya system penggorengan deep fat frying ini dibedakan atas system sinambung ( countinuous) dan system batch. Pada deep fat fryer secara bath, produk pangan yang digoreng pada dasarnya dicelupkan pada minyak yang panas, dibiarkan pada beberapa waktu sampai
tingkat pemasakan yang diinginkan dan kemudian diangkat menggunakan saringan (sehingga sisa-sia minyak dapat menetes kembali) Dalam operasi komersial skala besar
system
penggoreng yang
sifatnya sinambung ( continuous) banyak digunakan. Alat ini dilengkapi konveyor yang terbuat dari saringan ( mesh) baja tahan karat yang tercelup dalam minyak panas yang suhunya dikendalikan dengan baik thermostat. Pada dasarnya bahan pangan yang akan digoreng dimasukkan ke dalam minyak
panas
dengan
menggunakan
konveyor
yang
sudah
diatur
kecepatannya. sehingga waktu penggorengannya dapat pula diatur dengan baik (Hariyadi, 1996). 1) Bahan spesifik dalam teknologi penggorengan Selain teknologi proses dan peralatan, ciri khas penggorengan adalah proses penghantaran panas dengan menggunakan minyak makan ( Robertson, 1987). Oleh karena itu, faktor bahan yang menentukan terhadap mutu hasil goreng dapat dikelompokkan kedalam dua kelompok yaitu: a) Minyak Goreng Untuk memperoleh hasil dan proses penggorengan yang baik, minyak yag digunakan harus diganti dengan minyak segar atau ingin melakukan efisiensi makna harus dipelajari frekuensi (tiap berapa kali penggorengan) minyak harus diganti atau dibersihkan agar terbentuknya polimerisasi yang berlebihan dan acrolein dapat dicegah. Acrolein adalah produk oksidasi dan polimerisasi asam lemak yang dapat menjadi allergen dan mengakibatkan tenggorokan gatal. Kondisi wajan harus dijaga dalam kondisi bebas kerak. Faktor utama yang menentukan mutu hasil goreng adalah jenis minyak da atau komposisi asam lemak minyak goreng yang digunakan. Pilihan jenis dan komposisi asam lemak untuk minyak goreng sangat banyak, seperti
minyak kelapa, minyak kelapa sawit dan minyak sawit, minyak biji bunga matahari, minyak jagung, minyak kedelai dan lain-lain. Jenis dan komposisi trigliserida minyak yang digunakan untuk menggoreng, sangat menentukan mutu organoleptik hasil goreng. Oleh karena itu jenis dan komposisi trigliserida minyak goreng sering menjadi “ rahasia sukses” dan merek dagang perusahaan-perusahaan makanan cepat hidang. Pembentukan aroma hasil goreng yang menarik umumnya dihasilkan dari komposisi campuran dari beberapa sumber minyak goreng. Jarang sekali perusahaan-perusahaan makanan cepat hidang tersebut menggunakan satu jenis minyak. Pilihan penggunaan minyak yang kaya akan asam lemak tidak jenuh (poly – unsaturated fatty acid) sebagai minyak goreng yang menyehatkan untuk produk goreng, sebenarnya agak kurang tepat. Kekurang tepatnya disebabkan karena proses penggorengan umumnya dilakukan pada suhu tinggi dan pada suhu penggorengan biasanya asam lemak jenuh akan terdegradasi dan hilang manfaatnya sebagai asam lemak tidak jenuh. Alasan kedua adalah kemungkinan munculnya senyawa monomer aromatis siklis, yaitu senyawa yang paling dihindari terbentuk sebagai akibat proses penggorengan yang umumnya terbentuk dari asam lemak tidak jenuh dan bersifat karsinogenik dan senyawa malonaldehida. Untuk mengawetkan minyak, secara tradisional ibu-ibu rumah tangga sering menggunakan arang sebagai penyerap aroma tengik dan lain-lain. Dalam teknologi modern sering digunakan antioksidan sebagai senyawa pengawet minyak. b) Bahan yang digoreng Dari system pindah panas atau transport massa pada minyak dan bahan yang digoreng, proses penggorengan dapat digambarkan dalam system kotak hitam seperti gambar 1
INPUT OUTPUT (terkontrol) (dikehendaki)
LINGKUNGAN
Bahan minyak goreng Energi panas
PROSES PENGGORENGAN
Hasil
BAHAN YANG DIGORENG
(Tak terkontrol) dikehendaki
MINYAK GORENG
Tak
(Kerak, remah, uap, arang,polimer, jelantah
Umpan balik
Gambar 1: Diagram kotak hitam system keseimbangan massa pada proses penggorengan Pada gambar 1 terlihat bahwa bahan yang digoreng akan menerima energi panas sehingga mengalami peningkatan suhu dan melepaskan air dalam bentuk uap. Minyak selain menghantar panas kedalam bahan yang digoreng juga akan terserap masuk kedalam bhaan (hasil goreng) dan melepaskan material yang lepas selama penggorengan menjadi remah atau
tertinggal
dalam bentuk partikel lembut dalam wajan. Jumlah minyak yang diserap kedalam bahan sangat dipengaruhi pada jenis dan komposisi minyak yang digunakan ( Lawson, 1985). Selama proses penggorengan juga terjadi reaksi pembentukan aroma, karamelisasi, penggerakan pada bahan, pencoklatan serta pelucutan gula, protein dan lemak dari bahan yang digoreng yang oleh pemanasan akan diubah menjadi senyawa warna, polimer, pengaroma atau gas (uap).
Tergantung pada “mutu” tujuan produk akhir yang digoreng, maka kadar air bahan yang digoreng memegang peranan penting. Produk-produk yag dikonsumsi dengan kondisi “ renyah” biasanya didapatkan dari bahan yang telah dikeringkan hingga kadar airnya mencapai minimum atau serendah mungkin. Untuk produk goreng yang dibalut dengan adonan encer atau adonan kering, komposisi tepung goreng menjadi faktor yang terpenting. Sama halnya dengan penggunaan minyak, komposisi jenis dan campuran tepung goreng menentukan “mutu”, kerenyahan, warna dan aroma hasil goreng. Campuran tepung yang berbeda umumnya dilakukan untuk memperoleh sifat-sifat dari derajat gelatinisasi, pembentukan warna dan aroma yang berbeda, sehingga diperoleh hasil goreng yang renyah dan lezat (Ahza,1996). E. Penirisan Bahan makanan yang digoreng seperti keripik pada umumnya mempunyai kadar minyak lebih banyak daripada makanan yang dikukus, mengkonsumsi minyak yang berlebihan sangat tidak baik bagi tubuh. Berbagai cara penirisan yang dilakukan
oleh ibu rumah tangga untuk
mengurangi kadar minyak dalam bahan makanan yang digoreng adalah menggunakan kertas hisap/kertas merang, saringan khusus, Tissue/kitchen towel, dll (Tabloid Nova. 2001) Penirisan keripik sayur, keripik buah dapat juga dilakukan dengan menggunakan sentrifuse dengan tujuan keripik menjadi kering. Alternatif lain dalam penirisan minyak dapat juga menggunakan nyiru atau alas kertas yang mudah menyerap minyak (Hambali, Suryani, Purnama. 2005) F. Kadar Lemak Lemak dan minyak adalah bahan-bahan yang tidak larut dalam air yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Lemak dan minyak yang
digunakan dalam makanan sebagian besar adalah trigliserida yang merupakan ester dari gliserol dan berbagai asam lemak. Komponen-komponen
lain
yang
mungkin
terdapat,
meliputi
fosforlipid, sterol, vitamin dan zat warna yang larut dalam lemak seperti klorofil dan karotenoid. Peran daripada lemak (lipid) dalam makanan manusia dapat merupakan zat gizi yang menyediakan energi bagi tubuh, dapat bersifat psikologis dengan meningkatkan nafsu makan atau dapat membantu memperbaiki tekstur dari bahan pangan yang diolah (Buckle, Dkk. 1987). Lemak dan minyak terdapat pada hampir semua bahan pangan dengan kandungan lemak yang berbeda-beda. Tetapi lemak dan minyak sering kali ditambahkan dengan sengaja ke bahan makanan dengan berbagai tujuan. Dalam pengolahan bahan pangan, minyak dan lemak berfungsi sebagai penghantar panas, seperti minyak goreng, shortening (mentega putih ), lemak (gajih), mentega dan magarin (Winarno, 2004). Menurut SNI 01 – 4315 – 1996 kadar lemak keripik pisang maksimal 30 % tapi sumber lain menyebutkan bahwa Total Lemak pada keripik pisang raja nangka per 100 gr bahan makanan adalah 33.6 gr yang terdiri dari Asam lemak jenuh, saturated, 28.97 g ; Asam lemak tak jenuh, monounsaturated, 1.95 g ; Asam lemak tak jenuh, polyunsaturated, 0.63 g (Riana. 2000) G. Kadar Air Air merupakan bagian yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia dan fungsinya tidak pernah digantikan oleh senyawa lain. Air juga merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa dalam makanan. Bahkan di dalam bahan makanan yang kering sekalipun, seperti buah kering, tepung, serta biji-bijian, terkandung air dalam jumlah tertentu (Winarno, 2004). Karena pentingnya air sebagai komponen makanan diperlukan pemahaman mengenai sifat-sifat air. Air dapat mempengaruhi kemerosotan
mutu makanan secara kimia dan mikrobiologi. Begitu juga, penghilangan (pengeringan) atau pembekuan air penting pada beberapa metode pengawetan makanan (John M de man, 1997). Kadar air yang terkandung di dalam keripik pisang 100 gr per porsi makanan sebesar 4.3 gr (Riana. 2000). H. Sifat Organoleptik Sifat organoleptik adalah pengujian secara subyektif, yaitu pengujian penerimaan selera makan yang berdasarkan atas uji kegemaran dan analisa perbedaan. Untuk menilai atau menguji secara organoleptik diperlukan beberapa persyaratan yaitu : lingkungan dan suasana tenang serta bersih, peralatan yang bebas bau, bahan dan contoh yang tepat, standar bahan contoh yang tepat dan para panelis yang terlatih Dengan demikian dapat diketahui mutu produk yang dihasilkan. (Soewarno T Soekarto, 1985). Pada umumnya sifat organoleptik keripik pisang sangat berpengaruh terhadap tingkat kesukaan masyarakat, maka perlu diperhatikan mutu produk dari keripik pisang tersebut. Menurut SNI 01 – 4315 – 1996 sifat organoleptik keripik pisang adalah bau normal, rasa khas pisang, warna normal, tekstur renyah dan keutuhannya 70 % (Badan POM. 1996).
I. Kerangka Konsep
Dikendalikan - Kematangan CCCCC - Jenis Pisang - Cara Pengeringan - Alat Pemasakan - Suhu Pemasakan - Besar/ketebalan irisan
terikat
Variabel Kadar
Variabel Bebas - lama pengeringan 0jam dan 2jam - Penirisan a. Tiris biasa b. Tiris Tissue
Kadar Air Keripik Pisang Raja Nangka
Sifat Organoleptik
J. Hipotesa 1. Ada pengaruh lama pengeringan dan cara penirisan terhadap kadar lemak keripik pisang raja nangka. 2. Ada pengaruh lama pengeringan dan cara penirisan terhadap kadar air keripik pisang raja nangka. 3. Ada pengaruh lama pengeringan dan cara penirisan terhadap sifat organoleptik keripik pisang raja nangka.