BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Sistem Ketatanegaraan Indonesia Ketatanegaraan merupakan segala sesuatu mengenai tata negara, yakni suatu kekuasaan sentral yang mengatur kehidupan bernegara yang menyangkut sifat, bentuk, tugas negara dan pemerintahannya serta hak dan kewajiban para warga terhadap pemerintah atau sebaliknya. Demokrasi menjadi hal yang paling menjadi orientasi dan kerangka perubahan di era reformasi. Penataan kehidupan berbangsa dan bernegara diarahkan untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis. Istilah demokrasi berasal dari penggalan kata Yunani, yaitu “demos” yang berarti rakyat dan “kratos” yang berarti pemerintahan. Sehingga kata “demokrasi” berarti suatu “pemerintahan oleh rakyat” (Munir Fuady, 2009:1). Tidak jauh berbeda dengan pendapat Jimly Asshiddiqie, konsep negara demokrasi berprinsipkan bahwa sumber legitimasi kekuasaan dalam negara yang dijalankan oleh organ-organnya berasal dari rakyat, sehingga dengan demikian pemerintahan sejatinya berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Jimly Asshiddiqie, 2010:2-7). Menurut Munir Fuady, berdasarkan kepada nilai-nilai yang harus dimiliki oleh demokrasi maka sebuah demokrasi minimal haruslah mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a) Kedaulatan secara inklusif hanya ada pada rakyat; b) Adanya ruang tempat dimana rakyat dapat berpastisipasi secara aktif, disamping berpartisipasi dari parlemen yang juga merupakan wakil-wakil dari rakyat; c) Adanya perlindungan yang maksimal terhadap hak asasi manusia; d) Adanya sistem trias politica; e) Adanya sistem cheks and balances antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif; f) Adanya pengakuan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia;
10
11
g) Adanya pemahaman yang sama (common understanding) diantara rakyat terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah; h) Adanya suatu pemilihan umum yang bebas, rahasia, jujur, dan adil; i) Adanya hak untuk memilih yang merata, dan hak untuk dipilih juga yang merata menentukan wakil-wakilnya dan untuk mengisi jabatan publik; j)
Adanya sumber-sumber informasi alternatif kepada rakyat disamping sumber informasi resmi dari pemerintah yang berkuasa;
k) Adanya sistem yang menjamin bahwa pelaksanaan kekuasaan negara dapat mewujudkan semaksimal mungkin hasil suara dan aspirasi masyarakat yang tercemin dalam suatu pemilihan umum; l) Adanya perlakuan yang sama terhadap golongan minoritas dan golongan rentan; m) Pengambilan putusan dengan sistem one man one vote; n) Adanya sistem oposisi yang kuat; o) Adanya penghargaan terhadap perbedaan pendapat dalam masyarakat; p) Sistem rekruitmen terhadap kekuasaan kekuasaan dan jabatan negara yang dilakukan secara terbuka dan adil; q) Adanya suatu sistem yang dapat menjamin terlaksananya suatu rotasi sistem kekuasaan yang teratur, damai, dan alami; r) Adanya akses yang mudah dan cepat kepada masyarakat luas terhadap setiap informasi tentang kebijakan pemerintah; s) Adanya
sistem yang akomodatif terhadap suara/pendapat/kepentingan
yang ada dalam masyarakat; t) Pelaksanaan sistem pemerintahan yang sesuai dengan prinsip good governance; u) Perwujudan prinsip supremasi hukum dan rule of law; v) Terwujudnya sistem kemasyarakatan yang berbasis masyarakat madani (civil society) (Munir Fuady, 2009:17-18). Untuk menjaga pemerintahan yang demokratis, maka diperlukan konsep penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good government). Salah satu upaya mewujudkan pemerintahan yang demokratsi adalah dengan
12
mengimplementasikan prinsip negara hukum (the rule of law) dalam kehidupan bernegara. Konsep negara hukum bertujuan untuk membatasi kekuasaan negara atau pemerintah agar tidak bertindak sewenang-wenang. Kekuasaan pemerintah yang terbatas atau dibatasi merupakan salah satu ciri dari pemerintahan yang berkedaulatan rakyat atau pemerintahan demokratis (Iriyanto, 2008:2). Menurut Didi Nazmi, pengertian negara hukum adalah negara yang berlandasakan atas hukum dan keadilan bagi warganya. Maksudnya adalah segala kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara atau penguasa, semata-mata berdasarkan hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum (Didi Nazmi Yunas, 1992:13). Hukumlah yang berdaulat dan negara merupakan subjek hukum. Negara dipandang sebagai subjek hukum, sehingga jika ia bersalah dapat dituntut di depan pengadilan karena perbuatan melanggar hukum. Negara hukum juga dapat diartikan bahwasannya kekuasaan negara dibatasi oleh hukum dalam arti bahwa segala sikap, tingkah laku, dan perbuatan baik dilakukan oleh para penguasa atau aparatur negara ataupun dilakukan oleh warga negara harus berdasarkan atas hukum. Ada dua tradisi besar gagasan tentang negara hukum di dunia, yaitu negara hukum dalam tradisi Eropa Kontinental yang disebut rechtsstaat dan negara hukum dalam tradisi Anglo Saxon yang disebut dengan rule of law. Menurut Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebutnya dengan istilah rechtsstaat itu mencakup 4 (empat) elemen penting, yaitu: a) Perlindungan hak asasi manusia; b) Pembagian atau pemisahan kekuasaan; c) Pemerintahan berdasarkan undang-undang; d) Peradilan tata usaha negara (dalam Ni’matul Huda, 2007:57). Sedangkan Albert Van Dicey menyebutkan 3 (tiga) ciri penting dalam setiap negara hukum yang disebutnya dengan istilah the rule of law sebagai berikut: a) Supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk menentang pengaruh dari arbitrary of the land dan meniadakan kesewenang-
13
wenangan, prerogatif, atau discretionary authority yang luas dari pemerintah; b) Persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court; c) Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan (dalam Ni’matul Huda, 2007:57). Meskipun antara konsep rechtsstaat dengan the rule of law mempunyai perbedaan latar belakang, tetapi pada dasarnya keduanya berkenaan dengan perlindungan atas hak-hak kebebasan sipil warga negara dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang kekuasaan negara. Keempat prinsip rechtsstaat tersebut dapat digabungkan dengan ketiga prinsip the rule of law untuk menandai ciri-ciri negara hukum modern di zaman sekarang (Ni’matul Huda, 2007:57). Dari uaraian tersebut, menurut Jimly Asshiddiqie ada dua belas prinsip pokok negara hukum (rechtsstaat) yang berlaku di zaman sekarang. Kedua belas prinsip pokok tersebut merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai negara hukum (the rule of law, ataupun rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya. Dua belas prinsip pokok negara hukum tersebut adalah: a) Supremasi hukum (supremacy ol law); b) Persamaan dalam hukum (equality before the law); c) Asas legalitas (due process of law); d) Pembatasan kekuasaan; e) Organ-organ eksekutif independen; f) Peradilan bebas dan tidak memihak; g) Peradilan tata usaha negara; h) Peradilan tata negara i) Perlindungan hak asasi manusia;
14
j) Bersifat demokratis (democratische rechtsstaat); k) Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare rechtsstaat); l) Transparasi dan kontrol sosial (Jimly Asshiddiqie, 2004:154-162). Sedangkan menurut Arief Sidharta merumuskan pandangannya tentang unsur-unsur dan asas-asas negara hukum itu secara baru, yaitu meliputi 5 (lima) hal sebagai berikut: a) Pengakuan, penghormatan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang berakar dalam penghormatan atas martabat manusia (human dignity); b) Berlakunya asas kepastian hukum. Negara hukum untuk bertujuan menjamin bahwa kepastian hukum terwujud dalam masyarakat. Hukum bertujuan untuk mewujudkan kepastian hukum dan prediktabilitas yang tinggi, sehingga dinamika kehidupan bersama dalam masyarakat bersifat “predictable”. Asas-asas yang terkandung dalam atau terkait dengan asas kepastian hukum itu adalah: 1) Asas legalitas, konstitusionalitas, dan supremasi hukum; 2) Asas undang-undang menetapkan berbagai perangkat peraturan tentang cara pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan pemerintahan; 3) Asas non-retroaktif perundang-undangan, sebelum mengikat undangundang harus lebih dulu diundangkan dan diumumkan secara layak; 4) Asas peradilan bebas, independent, imparial, dan objektif, rasional, adil dan manusiawi; 5) Asas non-liquet, hakim tidak boleh menolak perkara karena alasan undang-undangnya tidak ada atau tidak jelas; 6) Hak asasi manusia harus dirumuskan dan dijamin perlindungannya dalam undang-undang atau UUD Tahun 1945. c) Berlakunya persamaan (similia similius atau equality before the law). Dalam negara hukum, pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang atau kelompok orang tertentu, atau mendiskriminasikan orang atau kelompok orang tertentu. Dalam prinsip ini, terkandung (a) adanya
15
jaminan persamaan bagi semua orang di hadapan hukum dan pemerintahan, dan (b) tersedianya mekanisme untuk menuntut perlakuan yang sama bagi semua warga negara; d) Asas demokrasi dimana setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan atau untuk mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintahan. Untuk itu asas demokrasi itu diwujudkan melalui beberapa prinsip, yaitu: 1) Adanya mekanisme pemilihan pejabat-pejabat publik tertentu yang bersifat langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur
dan adil
yang
diselenggarakan secara berkala; 2) Pemerintah
bertanggung
jawab
dan
dapat
dimintai
pertanggungjawaban oleh badan perwakilan rakyat; 3) Semua warga negara memiliki kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik dan mengontrol pemerintah; 4) Semua tindakan pemerintahan terbuka bagi kritik dan kajian rasional oleh semua pihak; 5) Kebebasan berpendapat/berkeyakinan dan menyatakan pendapat; 6) Kebebasan pers dan lalu lintas informasi; 7) Rancangan undang-undang harus dipublikasikan untuk memungkinkan partisipasi rakyat secara efektif.
e) Pemerintah dan pejabat mengemban amanat sebagai pelayan masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan bernegara yang bersangkutan. Dalam asas ini terkandung hal-hal sebagai berikut: 1) Asas-asas umum pemerintahan yang layak; 2) Syarat-syarat fundamental bagi keberadaan manusia yang bermartabat manusiawi dijamin dan dirumuskan dalam aturan perundang-undangan, khususnya dalam konstitusi; 3) Pemerintah harus secara rasional menata tiap tindakannya, memiliki
tujuan
yang
jelas
dan
berhasil
guna
(doelmatig).
Artinya,
16
pemerintahan itu harus diselenggarakan secara efektif dan efisien (B. Arief Sidharta, 2004:124-125). Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum” menjelaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensi ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap, kebijakan, dan perilaku alat negara dan penduduk harus berdasar dan sesuai dengan hukum. Sekaligus ketentuan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan kekuasaan, baik yang dilakukan oleh alat negara ataupun penduduk. Cita negara hukum menjadi bagian dari perkembangan gagasan kenegaraan Indonesia sejak kemerdekaan. Meskipun dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebelum perubahan, ide negara hukum tidak dirumuskan secara eksplisit. Tetapi dalam penjelasan UUD Tahun 1945 ditegaskan bahwa Indonesia menganut ide “rechtsstaat”, bukan “machtsstaat”. UUD RIS dan UUDS 1950 secara tegas mencantumkan ide negara hukum. Oleh karena itu, dalam amandemen ketiga tahun 2001 terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ketentuan mengenai negara hukum dicantumkan secara tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki UUD Tahun 1945 yang merupakan dasar hukum tertulis dan hukum tertinggi. UUD Tahun 1945 merupakan suatu naskah yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (selanjutnya disebut sebagai PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945 sehari setelah Kemerdekaan Republik Indonesia. UUD Tahun 1945 menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti undang-undang yang dasar semua undang-undang dan peraturan lain suatu negara yang mengatur bentuk, sistem
pemerintahan,
pembagian
kekuasaan,
dan
wewenang
badan
pemerintahan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002:590). UUD Tahun 1945 berisikan naskah yang singkat isinya disertai dengan 16 bab, 37 pasal, 194 ayat, 3 (tiga) pasal aturan peralihan, dan 2 (dua) pasal aturan tambahan. Oleh sebab itu untuk melaksanakan aturan-aturan pokok tersebut makan perlu diatur dalam undang-undang yang lebih rendah.
17
Amandemen UUD Tahun 1945 telah dilakukan sebanyak 4 (empat) tahap pada periode 1999-2002. Perubahan ini akhirnya berimplikasi terhadap lembaga perwakilan di Indonesia. Sehingga pada era reformasi, terjadi masa transisi menuju Indonesia baru dengan sistem ketatanegaraan sebelumnya. Salah satu gagasan fundamental yang telah diadopsi yaitu prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power) dengan segala implikasinya sebagai ganti dari prinsip pembagian kekuasaan (distribution of power) yang berlaku sebelumnya dalam sistematika UUD Tahun 1945. Jika sebelumnya ditentukan dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 bahwa kekuasaan untuk membentuk perundang-undangan berada di tangan Presiden dan dilakukan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), maka dalam perubahan pertama dan kedua UUD Tahun 1945 Pasal 20 ayat (1) kekuasaan untuk membentuk undang-undang berada di tangan DPR, sedangkan Presiden menurut Pasal 5 ayat (1) hanya mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR. Perubahan ini menegaskan terjadinya pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden ke DPR, dengan konsekuensi berubah pula pengertian tentang prinsip pembagian kekuasaan menjadi pemisahan kekuasaan seperti dipahami selama ini (Jimly Asshiddqie, 2007:153). Latar belakang amandemen UUD Tahun 1945: 1. UUD 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berkaitan pada tidak terjadinya checks and balances pada institusiinstitusi ketatanegaraan; 2. UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD 1945 adalah executive heavy yaitu kekuasaan dominan berada di tangan Presiden dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif; 3. UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” dan “fleksibel” sehingga menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir), misalnya Pasal 7 UUD 1945; 4. UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang. Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden
18
dapat merumuskan hal-hal penting sesuai kehendaknya dalam undang-undang (M. Iqbal Hasan, 2002:77-78). Tuntutan reformasi melaluhi perubahan UUD Tahun 1945 telah mengakibatkan terjadinya perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Amandemen UUD Tahun 1945 membuat perubahan yang sangat mendasar karena hampir 90% substansi (normatif) dirubah dan secara esensial telah mengubah UUD Tahun 1945. Hal ini dapat terlihat dengan dibentuknya beberapa lembaga negara (baru) atau mengubah esensi lembaga negara (lama) dan bahkan ada yang dihapuskan. Selain itu pembagian kewenangan baik antar lembaga negara (baru) dan lembaga negara (lama) menjadi berubah secara mendasar (Ady Kusnadi, 2009:9). Salah satu perubahan tersebut dengan bertambahnya lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Selain pada penjelasan di atas, penjelasan mengenai sistem ketatanegaraan Indonesia dapat dikelompokan sebagai berikut: a) Bentuk Negara Dalam ketatanegaraan negara-negara di dunia dikenal 2 (dua) bentuk negara yang sangat dominan dipakai oleh sebuah negara, yaitu bentuk negara kesatuan dan bentuk negara federal. Menurut Ni’matul Huda “negara kesatuan dideklarasikan oleh para pendirinya saat kemerdekaan dengan mengklaim seluruh wilayahnya sebagai bagian dari suatu negara, negara tidak dibentuk berdasarkan kesepakatan. Setelah itu baru dibentuk wilayah atau daerah di bawahnya. Kewenangan yang didapat oleh daerah merupakan pelimpahan dari pemerintah pusat untuk diatur sebagian” (Ni’matul Huda, 2004:22). Sedangkan menurut Miriam Budiardjo menyatakan, bahwa negara kesatuan hanya ada satu pemerintah saja, dalam negara ini ikatan serta integrasi sangat kokoh (Miriam Budiardjo, 2010:270). Kemudian C.F Strong mengemukakan “ciri utama negara federal adalah adanya rekonsiliasi kedaulatan nasional dan kedaulatan negara bagian, selanjutnya syarat utama negara federal adalah adanya rasa kebangsaan dari negara-negara yang membentuk federasi dan tidak adanya
19
niat untuk menjadi satu kesatuan, karena jika mempunyai kehendak bersatu berarti bukan negara federal, tapi telah menjadi negara kesatuan”. Dalam hal ini “kedaulatan keluar, seperti pertahanan keamanan, kebijakan fiskal dan kebijakan luar negeri ada ditangan pemerintahan nasional, sedangkan kedaulatan kedalam tetap berada di tangan pemerintah negara bagian” (dalam Jimly Asshiddiqie, 2010:34). Indonesia menganut bentuk negara kesatuan. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. Hal ini mencerminkan bahwa di Indonesia hanya terdapat seorang kepala negara, satu UUD yang berlaku untuk seluruh warga negaranya, satu kepala pemerintahan, dan satu parlemen. Sehingga pemerintah dalam negara kesatuan memiliki kekuasaan untuk mengatur seluruh urusan pemerintahan dalam negara tersebut. Negara Indonesia sebagai negara kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan kekuasaannya. Hal ini didasarkan pada Pasal 18 UUD Tahun 1945 ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi: (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. (2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menuerut asas otonomi dan tugas pembantuan. b) Bentuk Pemerintahan UUD Tahun 1945 menjelaskan bahwa bentuk pemerintahan Indonesia adalah republik bukan monarki atau kerajan. Hal ini terlihat pada Pasal 1 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. Menurut ajaran Nicollo Machiavelli (1469-1527) ada 2 (dua) bentuk pemerintahan yaitu republik dan monarki atau kerajaan. Pembedan ini didasarkan pada segi cara penunjukan atau pengangkatan kepala
20
negara. Pada bentuk pemerintahan republik pengangkatan kepala negara melaluhi tahap pemilihan, sedangkan pada bentuk pemerintahan monarki atau kerajaan pengangkatan kepala negara berdasarkan pada pewarisan secara turun-temurun. Bentuk perubahan
dari
pemerintahan bentuk
Indonesia
pemerintahan
belum republik
pernah
mengalami
menjadi
bentuk
pemerintahan monarki atau kerajaan. Bangsa Indonesia telah sepakat untuk tidak merubah bentuk negara kesatuan dan bentuk pemerintahan republik. Hal ini ditunjukan pada Pasal 37 ayat (5) UUD Tahun 1945 yang berbunyi “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”.
c) Sistem Pemerintahan Berdasarkan UUD Tahun 1945 Pasal 4 ayat (1) dan (2), yang berbunyi: (1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. (2) Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Menteri. Menjelaskan bahwa pemerintahan Republik Indonesia dipimpin oleh seorang Presiden dan dibantu oleh seorang Wakil Presiden dimana seorang Presiden juga memegang kekuasaan pemerintahan. Hal ini menunjukan bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah Presidensial, dalam arti kepala pemerintahan adalah Presiden dan dibantu oleh seorang Wakil Presiden. Menurut Jimly Asshiddiqie, karakteristik sistem pemerintahan presidensial adalah : 1) Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif; 2) Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif Presiden tidak terbagi dan hanya ada Presiden dan Wakil Presiden saja;
21
3) Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya kepala negara adalah kepala pemerintahan; 4) Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau bawahan yang bertanggung jawab kepadanya; 5) Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif demikian pula sebaliknya; 6) Presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa parlemen; 7) Berlaku prinsip supremasi konstitusi; 8) Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat; 9) Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem pemerintahan parlementer yang terpusat pada parlemen (Jimly Asshiddiqie, 2007:67). Salah satu karakter sistem pemerintahan presidensial yang utama adalah Presiden memegang fungsi ganda, yaitu sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Meski sulit untuk membedakannya secara jelas, jabatan Presiden sebagai kepala negara dapat dikatakan sebagai simbol negara. Sebagai kepala pemerintahan, Presiden merupakan pemegang kekuasaan tunggal dan tertinggi. Presiden tidak hanya memilih anggota kabinet, tetapi juga berperan penting dalam pengambilan keputusan kabinet. Terkait dengan hal ini, segala keputusan dalam sistem pemerintahan presidensial dapat dibuat dengan atau tanpa pertimbangan anggota kabinet. Berdasarkan
teori
pembagian
kekuasaan,
yang
dimaksud
kekuasaan pemerintahan adalah kekuasaan eksekutif. Sebagai kekuasaan eksekutif, penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan Presiden dapat dibedakan antara kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat umum dan kekuasaaan penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat khusus (Bagir Manan, 2003:122). Kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat umum adalah kekuasaan menyelenggarakan administrasi negara. Presiden adalah pimpinan tertinggi penyelenggaraan administrasi negara. Penyelenggaraan
22
administrasi negara meliputi lingkup tugas dan wewenang yang sangat luas, yaitu setiap bentuk perbuatan atau kegiatan administrasi negara. Tugas dan wewenang tersebut dapat dikelompokan ke dalam beberapa golongan: 1) Tugas dan wewenang administrasi di bidang keamanan dan ketertiban umum; 2) Tugas dan wewenang menyelenggarakan tata usaha pemerintahan mulai dari surat menyurat sampai kepada dokumentasi dan lain-lain; 3) Tugas dan wewenang administrasi negara di bidang pelayanan umum; 4) Tugas dan wewenang administrasi negara di bidang penyelenggaraan kesejahteraan umum (Bagir Manan, 2003:122). Sedangkan yang dimaksud dengan kekuasaan penyelenggaraan negara yang bersifat khusus yaitu penyelenggaraan tugas dan wewenang pemerintahan yang secara konstitusional ada pada Presiden pribadi yang memiliki sifat prerogatif. Tugas dan wewenang pemerintahan tersebut adalah Presiden sebagai pimpinan tertinggi angkatan perang, hubungan luar negeri, dan hak memberi gelar dan tanda jasa. Meskipun tugas dan wewenang konstitusional Presiden bersifat prerogatif, tetapi ada dalam lingkungan kekuasan pemerintahan sehingga menjadi bagian dari objek administrasi negara
2. Tinjauan tentang Lembaga Negara Lembaga negara bukan merupakan konsep yang secara terminologis memiliki istilah tunggal dan seragam. Dalam kepustakaan Inggris lembaga negara disebut dengan istilah political institution, sedangkan dalam terminologi bahasa Belanda dikenal dengan istilah staat organen. Negara Indonesia sendiri mengenal istilah lembaga negara, badan negara, maupun organ negara. Menurut Andi Hamzah dalam Kamus Hukum, lembaga negara diartikan sebagai badan atau organisasi kenegaraan (Andi Hamzah, 1986:349). Sedangkan menurut dictionary of Law, institution diartikan sebagai: (1) an
23
oganisation or society set up for particular purpose (sebuah organisasi atau perkumpulan yang dibentuk untuk tujuan tertentu), dan (2) building for a special purpose (bangunan yang dibentuk untuk tujuan tertentu (P.H. Collin, 2004:157). Hans Kelsen dalam bukunya General Theory of Law and State mengenai concept of the state organs mengemukakan bahwa istilah organ atau lembaga negara dapat diuraikan bahwa “whoever fulfills a function determined by the legal order is an organ”. Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata hukum adalah suatu organ. Artinya bahwa organ negara itu tidak selalu berbentuk organik, dalam arti yang luas, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (norm creating) dan atau bersifat menjalankan norma (norm applying). Dalam arti yang sempit yaitu pengertian organ dalam arti materiil dimana individu dikatakan organ negara hanya apabila ia secara pribadi memiliki kedudukan hukum tertentu (dalam Jimly Asshiddiqie, 2010:26-28). Organ atau lembaga negara dapat dibedakan dari perkataan “organ” atau “lembaga swasta”, lembaga masyarakat, atau yang biasa disebut dengan organiasi non pemerintahan atau Non-Government Organization (NGO’s). Oleh karena itu istilah lembaga negara, organ negara, badan negara dan alat perlengkapan negara seringkali dipertukarkan satu sama lain. Penyusunan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebelum perubahan cenderung konsisten menggunakan istilah badan negara, bukan lembaga negara atau organ negara. Untuk maksud yang sama, konstitusi RIS Tahun 1949 dan UUDS Tahun 1950 tidak menggunakan istilah lain kecuali alat perlengkapan negara. Sedangkan UUD Tahun 1945 setelah perubahan keempat tahun 2002 melanjutkan kebiasaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebelum masa reformasi dengan tidak konsisten menggunakan peristilahan lembaga negara, organ negara, dan badan negara (Jimly Asshidiqqie, 2010:28). Perubahan keempat konstitusi dalam bunyi Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 diubah sehingga berbunyi “Semua
24
lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Dengan demikian Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tidak lagi menggunakan istilah badan negara, melainkan lembaga negara (Ady Kusnadi, 2009:70). Menurut Jimly Asshiddiqie, konsep organ atau lembaga negara dapat dibedakan sebagai berikut: pertama, organ negara yang paling luas mencakup setiap individu yang menjalankan fungsi law-creating dan law-applying; kedua, organ negara yang mencakup individu yang menjalankan fungsi lawcreating atau law-applying dan juga mempunyai posisi sebagai atau dalam struktur jabatan kenegaraan atau jabatan pemerintahan; ketiga, badan atau organisasi yang menjalankan fungsi law-creating atau law-applying dalam kerangka struktur dan sistem kenegaraan atau pemerintahan. Keempat, organ atau lembaga negara itu hanya terbatas pada pengertian lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, undang-undang, atau oleh peraturan yang lebih rendah. Kelima, yaitu pengertian organ atau lembaga-lembaga negara yang berada di tingkat pusat yang pembentukannya diatur dan ditentukan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945, karena kedudukannya yang tinggi maka lembaga konstitusional ini disebut sebagai lembaga tinggi negara (Jimly Asshiddiqie, 2010:36). Lembaga negara di Indonesia dalam prakteknya ada yang dibentuk berdasarkan konstitusi, undang-undang, dan ada pula yang dibentuk berdasarkan peraturan presiden. Hierarki atau posisi kedudukannya tentu saja bergantung pada derajat pengaturannya menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Oleh karena itu lembaga negara yang dibentuk berdasarkan konstitusi merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan undang-undang disebut organ undang-undang, sementara yang hanya dibentuk karena peraturan presiden tentu kedudukan dan derajat perlakuan hukumnya lebih rendah (Jimly Asshiddiqie, 2010:37). Sesuai dengan asas negara hukum, setiap penggunaan wewenang harus mempunyai dasar legalitasnya. Sama halnya dengan lembaga-lembaga negara
25
dimana dalam menggunakan wewenangnya harus mempunyai dasar atau pijakan yang jelas apalagi dasar pembentukannya. Dasar pembentukan lembaga negara ada yang dibentuk dan mendapat wewenang dari UUD Tahun 1945 maupun yang dibentuk atau mendapat wewenang selain dari UUD Tahun 1945. Pembentukan selain dari UUD Tahun 1945 dapat dilihat hierarkinya dalam peraturan perundang-undangan yang mengacu pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yaitu: a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c) Undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang; d) Peraturan pemerintah; e) Peraturan presiden; f) Peraturan daerah provinsi; dan g) Peraturan daerah kabupaten/kota. Pembentukan lembaga-lembaga negara harus mempunyai landasan pijak yang kuat dan paradigma yang jelas sehingga keberadaannya membawa manfaat bagi kepentingan publik pada umumnya dan bagi penataan sistem ketatanegaraan pada khususnya. Keberadaan dan pembentukan lembaga negara harus mencerminkan penegasan prinsip konstitusionalisme, prinsip cheks and balances, prinsip integrasi, prinsip kemanfaatan bagi masyarakat (dalam skripsi Sitti Nurlin, 2013:48). berdasarkan Teori Norma Sumber Legitimasi yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie, alat-alat perlengkapan negara dikelompokan menurut bentuk norma hukum yang menjadi sumber atau pemberi kewenangan kepada lembaga terkait. Pada tingkat pusat kelembagaan negara dibedakan menjadi: a) Lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang diatur dan ditentukan lebih lanjut dalam atau dengan undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan keputusan presiden. Lembaga negara pada tingkat konstitusi ini misalnya Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Majelis
26
Permusyawaratan
Rakyat
(MPR),
Mahkamah
Konstitusi
(MK),
Mahkamah Agung (MA), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kewenangan lembaga-lembaga ini diatur dalam konstitusi, dan dirinci lagi dalam
undang-undang,
meskipun
pengangkatan
para
anggotanya
ditetapkan dengan keputusan presiden sebagai pejabat administrasi negara tertinggi; b) Lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang yang diatur atau ditentukan lebih lanjut dalam atau dengan peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan keputusan presiden. Lembaga tingkat kedua ini adalah lembaga yang sumber kewenangannya berdasarkan undang-undang. Proses pemberian kewenangan pada lembaga-lembaga ini melibatkan peran DPR dan Presiden, atau untuk hal-hal tertentu bias melibatkan peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Lembaga negara pada tingkat ini misalnya Kejaksaan Agung, Bank Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan sebagainya; c) Lembaga yang dibentuk berdasarkan peraturan pemerintah atau peraturan presiden yang ditentukan lebih lanjut dengan keputusan presiden. Lembaga negara ini memiliki sumber kewenangan yang murni dari Presiden sebagai kepala pemerintahan, sehingga pembentukannya sepenuhnya bersumber dari beleid Presiden (presidential policy). Artinya, pembentukan, perubahan, ataupun pembubarannya tergantung pada kebijakan presiden. Pengaturan mengenai organisasi lembaga negara yang bersangkutan juga cukup dituangkan dalam peraturan presiden yang bersifat regeling dan pengangkatannya dilakukan dengan keputusan presiden yang bersifat beschiking; d) Lembaga yang dibentuk berdasarkan peraturan menteri yang ditentukan lebih lanjut dengan keputusan menteri atau keputusan pejabat di bawah menteri. Lembaga negara ini dibentuk atas inisiatif menteri sebagai pejabat publik,
berdasarkan
kebutuhan
berkenaan
dengan
tugas-tugas
pemerintahan dan pembangunan di bidang yang menjadi tanggung jawabnya. Menteri dapat membentuk badan, dewan, lembaga, ataupun
27
panitia yang sifatnya tidak permanen dan bersifat spesifik (Jimly Asshiddiqie, 2010:43-44). Sedangkan menurut Luthfi Widagdo Eddyono membagi lembaga negara atau organ negara sebagai berikut: a) Lembaga negara atau organ negara yang wewenangnya diberikan secara atribusi (oleh UUD Tahun 1945); b) Lembaga negara atau organ negara yang wewenangnya diberikan secara delegasi oleh pembuat peraturan perundang-undangan (termasuk komisi independen) yang tidak bertanggung jawab kepada siapapun; c) Lembaga negara atau organ negara yang wewenangnya diberikan secara delegasi oleh pembuat peraturan perundang-undangan (termasuk komisi negara eksekutif) yang bertanggung jawab kepada Presiden atau menteri dan/atau merupakan bagian dari eksekutif (Luthfi Widagdo Eddyono, 2010:41). Berdasarkan UUD Tahun 1945 terdapat 8 (delapan) lembaga negara yang mempunyai kedudukan sederajat, yang secara langsung menerima kewenangan konstitusional dari UUD Tahun 1945. Kedelapan lembagalembaga negara paska amandemen keempat UUD Tahun 1945 adalah: a) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); b) Presiden dan Wakil Presiden; c) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); d) Dewan Perwakilan Daerah (DPD); e) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); f) Mahkamah Agung (MA); g) Mahkamah Konstitusi (MK); h) Komisi Yudisial (KY) (dalam Jamal Wiwoho, 2006:1-247). Delapan lembaga negara tersebut yang diberi kewenangan oleh UUD Tahun 1945 untuk menjalankan sistem pemerintahan, akan tetapi dalam pelaksanaannya masih kurang dapat berjalan sesuai dengan yang dicitacitakan dari konsep kedaulatan rakyat. Terwujudnya efektifitas dan efisiensi baik dalam pelaksanaan pelayanan publik maupun dalam pencapaian tujuan
28
penyelenggaraan pemerintahan juga menjadi harapan masyarakat yang ditumpukan kepada negara. Perkembangan tersebut memberikan pengaruh terhadap struktur organisasi negara, termasuk bentuk serta fungsi lembagalembaga negara. Dari sinilah muncul lembaga-lembaga negara baru yang dapat berupa dewan (council), komite (committe), badan (board), atau otorita (authority) (Deny Indrayana, 2008:264-265). Gejala umum yang seringkali dihadapi oleh suatu negara adalah persoalan mekanisme akuntabilitas, kedudukan dalam struktur ketatanegaraan, dan pola hubungan kerjanya dengan kekuasaan pemerintah. Bentuk organisasi pemerintahan yang semula didominasi oleh bangunan strukur departemen pemerintahan sekarang banyak diisi oleh bentuk-bentuk dewan dan komisi. Sebenarnya semua corak, bentuk, bangunan dan struktur organisasi yang ada hanyalah mencerminkan respon negara dan para pengambil keputusan (decision makers). Karena kepentingan yang timbul itu berkembang sangat dinamis maka corak organisasi negaranya juga berkembang dengan dinamikanya sendiri (Jimly Asshidiqqie, 2009:1). Sri
Soemantri
berpendapat
bahwa
secara
konseptual
tujuan
diadakannya lembaga negara atau alat kelengkapan negara adalah selain untuk menjalankan fungsi negara juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual, lembaga-lembaga itu harus membentuk satu kesatuan proses yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka penyelenggaraan fungsi negara atau yang dijelaskan sebagai actual governmental mechanism (dalam Firmansyah Arifin, 2005:31-32). Jadi meskipun dalam prakteknya tipe lembaga-lembaga negara berbeda namun secara konseptual lembaga-lembaga tersebut harus bekerja dan saling memiliki relasi sedemikian rupa, sehingga membentuk suatu kesatuan untuk mewujudkan tujuan negara jangka panjang. Lebih lanjut struktur ketatanegaraan Republik Indonesia dapat dilihat berdasarkan distribusi kekuasaan dan model hubungan antar lembaga negara dalam UUD Tahun 1945 paska amandemen. Secara umum, model hubungan antar lembaga ini disebut hubungan yang sederajat serta bersifat check and balances. Dalam artian, lembaga-lembaga negara pada dasarnya diletakkan
29
pada kedudukan sejajar, sekaligus dalam model hubungan check and balances, dan tidak lagi bersifat piramidal (Gunawan A. Tauda, 2012:77). Kecenderungan muncul lembaga-lembaga baru terjadi sebagai konsekuensi dilakukannya perubahan terhadap UUD Tahun 1945. Lembagalembaga negara baru tersebut biasa dikenal dengan istilah lembaga negara bantu (state auxiliary organs) baik berupa komisi negara independen (independent regulatory agencies) maupun lembaga negara non struktural lainnya seperti komisi eksekutif (Executive branch agencies).
30
B. Kerangka Pemikiran Sistem Pemerintahan Republik Indonesia
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kedudukan dan wewenang Sekretariat Kabinet
Kedudukan dan wewenang Kantor Staf Presiden
Duplikasi
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Keterangan: Sistem pemerintahan Indonesia adalah Presidensial, dalam arti Presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 meyatakan bahwa “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Ketentuan
tersebut
menunjukan
bahwa
Presiden
memegang
kekuasaan
pemerintah yang berarti Presiden berwenang untuk memutuskan (beslissende
31
bevoegheid) dan mengatur (regelende bevoegheid). Sesuai dengan teori pemberian kewenangan oleh peraturan perundang-undangan (atribusi), Presiden memiliki kewenangan membuat peraturan presiden untuk mengatur (regelende bevoegheid) agar penyelenggaran pemerintahan dapat berjalan. Dalam rangka mewujudkan efektifitas dan efisiensi baik dalam pelaksanaan pelayanan publik maupun dalam pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan. Maka Presiden membentuk lembaga negara untuk membantu Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan, seperti Sekretariat Kabinet dan Kantor Staf Presiden. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2015 tentang Sekretariat Kabinet menjadi dasar berdirinya Sekretariat Kabinet dan Peraturan Presiden Nomor 26 tahun 2015 tentang Kantor Staf Presiden menjadi dasar berdirinya Kantor Staf Presiden. Kedua lembaga negara tersebut merupakan lembaga negara yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Sekretariat Kabinet mempunyai tugas memberikan dukungan pengelolaan manajemen kabinet
kepada
Presiden
dan
Wakil
Presiden
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan. Baik dalam bidang politik, hukum, keamanan, perekonomian, pembangunan manusia, kebudayaan, dan kemaritiman. Sedangkan Kantor Staf Presiden mempunyai tugas menyelenggarakan pemberian dukungan kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam melaksanakan pengendalian programprogram prioritas nasional, komunikasi politik, dan pengelolaan isu strategis. Posisi Sekretaris Kabinet dan Kepala Staf Kepresidenan menarik untuk dicermati. Keduanya berada dalam lingkungan jabatan dengan karakteristik yang serupa dan menandakan kekuasaan dengan fungsi-fungsi yang melekat kepada kedudukan Presiden. Oleh sebab itu, perlu untuk dilakukan penelitian diferensiasi dan analisis kewenangan masing-masing lingkungan jabatan tersebut dalam sistem ketatanegaraan. Bahkan hingga saat ini eksistensi kedua lembaga negara tersebut dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menimbulkan pertanyaan dan perdebatan dikalangan pemerintahan maupun masyarakat yang menjelaskan bahwa dalam menjalankan tugasnya terjadi duplikasi wewenang di antara kedua lembaga
32
negara tersebut. Atas dasar itulah penulis ingin mengkaji lebih jauh terkait dasar pengaturan terhadap Sekretariat Kabinet dan Kantor Staf Presiden melaluhi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2015 tentang Sekretariat Kabinet dan Peraturan Presiden Nomor 26 tahun 2015 tentang Kantor Staf Presiden yang secara spesifik dikhususkan terhadap tinjauan mengenai kedudukan dan wewenang kedua lembaga negara tersebut dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.