BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang terkait dengan perencanaan pajak dikutip dari berbagai sumber : a. Penelitian Fina (2005) yang berjudul “ Analisis Penerapan Perencanaan Pajak untuk Meminimalkan Pajak Penghasilan Terutang Badan pada PT. X”, diperoleh kesimpulan bahwa PT. X tersebut meminimalkan PPh terutang badan dengan mengambil beberapa kebijakan yaitu pemilihan metode pembukuan, pengelolaan transaksi yang berhubungan dengan pemberian kesejahteraan karyawan. Kebijakan yang dilakukan oleh PT. X telah tepat dan benar dalam menentukan transaksi mana saja yang tidak boleh dijadikan biaya berdasarkan undang-undang perpajakan. b. Penelitian Fajar (2005) yang berjudul “ Analisis Perencanaan Pajak untuk Meminimalkan Beban Pajak yang Terutang pada PT. X”, menunjukan bahwa perusahaan telah menyetorkan pajak penghasilan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan oleh fiskus. Perusahaan telah menghitung pajak penghasilan terutangnya sesuai peraturan pajak
yang berlaku.
Perusahaan juga telah melakukan koreksi fiskal terhadap beban dan penghasilan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
1
2
2.2
Pajak
2.2.1 Pengertian Pajak Pajak merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat sebagai warga Negara Indonesia dalam pembiayaan Negara dan pembangunan nasional. Oleh karena itu diperlukan kesadaran masyarakat untuk memenuhi kewajiban perpajakan yang digunakan untuk membiayai dalam pelaksanaan pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama. Menurut Zain ( 2003 : 11), Pajak adalah iuran masyarakat kepada Negara ( yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan – peraturan umum (undangundang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum berhungan dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Menurut Mardiasmo ( 2004 : 1), Pajak adalah iuran masyarakat kepada kas Negara berdasarkan Undang- undang ( yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik ( kontra prestasi ) yang langsung dapat ditunjukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Menurut Resmi ( 2003 : 1), Pajak adalah suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas Negara yang disebabkan oleh suatu keadaan , kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari Negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan secara umum. Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak mempunyai ciri-ciri :
3
a. Pajak merupakan iuran masyarakat kepada Negara dan iuran yang dimaksud adalah uang, non barang. b. Pajak dipungut berdasarkan undang- undang yang sifatnya dapat dipaksakan. c. Pajak dipungut Negara oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. d. Pemerintah tidak memberikan balas jasa secara langsung kepada masyarakat tapi melalui pembangunan yang dibiayai oleh pendapatan Negara terutama dari pajak. e. Pemungutan pajak diperuntukan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan. Pajak merupakan sumber pendapatan utama pemerintah yang digunakan
untuk
membiayai
pengeluaran-pengeluaran
umum
untuk
menyelenggarakan pemerintahan. Pajak diharapkan dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah sebagaimana fungsi pajak itu sendiri.
2.2.2 Fungsi Pajak Pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum, akan tetapi, hal tersebut adalah bagian dari dua fungsi berikut, yaitu: a. Fungsi Penerimaan (Budgetair)
4
Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukan bagi pembiayaan pengeluaran-
pengeluaran
pemerintah.
Sebagai
contoh
yaitu
dimasukannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri. b. Fungsi Mengatur (Regulerend) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintahan dalam bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh pengenaan pajak yang tinggi atas barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif, pajak atas minuman keras untuk mengurangi konsumsi masyarakat ke atas barang tersebut.
2.2.3 Pembagian Jenis Pajak Secara umum pajak yang diberlakukan di Indonesia dapat dibedakan dengan klasifikasi sebagai berikut : a. Menurut Golongan 1. Pajak Langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung wajib pajak yang bersangkutan. Contoh : Pajak Penghasilan. 2. Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai. b. Menurut Sifat
5
1. Pajak Subyektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subyeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Penghasilan. 2. Pajak Objektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan objeknya tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. c. Menurut Pemungut dan Pengelolanya 1. Pajak Pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai. 2. Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh : Pajak Reklame, Pajak Hiburan, dan lain- lain.
2.2.4 Asas Pemungutan Pajak Asas pemungutan pajak
merupakan acuan
untuk
melakukan
pemungutan pajak kepada wajib pajak. Dalam pemungutan pajak, terdapat asas-asas pemungutan pajak yang dikenal dengan nama The Four Cannos atau The Four Maxims (Waluyo, 2005: 13), dengan uraian sebagai berikut: a. Equality (keseimbangan)
6
Pembebanan pajak di antara subjek pajak hendaknya seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya di bawah
perlindungan
pemerintah.
Dalam
hal
equality
ini
tidak
diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi diantara sesama wajib pajak. Dalam keadaan yang sama wajib pajak harus diperlakukan sama dan dalam keadaan berbeda wajib pajak harus diperlakukan berbeda. b. Certainty (kejelasan) Pajak yang dibayar oleh wajib pajak harus jelas dan tidak mengenal kompromi (not arbitrary). Dalam asas ini kepastian hukum yang diutamakan adalah mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif pajak, dan ketentuan mengenai pembayarannya. c. Convenience of payment (pemungutan yang tepat) Pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi wajib pajak, yaitu saat sedekat-dekatnya dengan saat diterimanya penghasilan atau keuntungan yang dikenakan pajak. d. Economic of collections (penghematan pungutan) Pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat (seefisien) mungkin, jangan sampai biaya pemungutan pajak lebih besar dari penerimaan pajak itu sendiri. Karena tidak ada artinya pemungutan pajak jika biaya yang dikeluarkan lebih besar dari penerimaan pajak yang akan diperoleh.
7
2.3
Pajak Penghasilan
2.3.1 Pengertian Pajak Penghasilan Undang- undang pajak penghasilan ini telah beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir kali diubah dengan Undang- undang Perpajakan Republik Indonesia No.17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. Undangundang Pajak Penghasilan mengatur pajak atas penghasilan ( laba ) yang diterima atau yang diperoleh orang pribadi maupun badan. Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2004 : 46.1), Pajak Penghasilan adalah pajak yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan pajak ini dikenakan atas penghasilan kena pajak perusahaan. Menurut Supramono (2005 : 20), Pajak Penghasilan adalah suatu pungutan resmi yang ditujukan kepada masyarakat yang berpenghasilan atau atas penghasilan yang diterima/diperoleh dalam tahun pajak untuk membiayai pengeluaran- pengeluaran Negara. Menurut Suandy (Perpajakan 2,2006 : 81), Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam tahun pajak, apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak. Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak penghasilan merupakan pajak yang dikenakan terhadap setiap penghasilan atau tambahan ekonomis terhadap subjek pajak yang telah memenuhi kriteria. Sehingga terdapat ketegasan bahwa apabila tidak ada subjek pajaknya, maka tidak dapat dikenakan pajak penghasilan.
8
2.3.2 Subjek Pajak Penghasilan Secara garis besar subjek pajak adalah pihak-pihak (orang maupun badan) yang akan dikenakan pajak. Wajib Pajak adalah subjek pajak yang telah memenuhi syarat-syarat objektif sehingga kepadanya diwajibkan pajak. Dengan kata lain setiap Wajib Pajak adalah subjek pajak. Subjek pajak tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Orang Pribadi Kedudukan orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Orang pribadi tidak melihat batasan umur dan juga jenjang sosial ekonomi, dengan kata lain berlaku sama untuk semua (nondiscrimination). b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak Dalam hal ini, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan tersebut dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat
dilaksanakan,
demikian
juga
dengan
tindakan
penagihan
selanjutnya. c. Badan Badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha atau tidak melakukan usaha. Badan terdiri dari
9
perusahaan reksadana yang berbentuk perseroan terbatas maupun bentuk lainnya, perseroan komenditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi massa ataupun organisasi politik, lembaga dana pensiun dan bentuk usaha uraian di atas terlihat bahwa yang dimaksud lainnya. Dari dengan badan sebagai subjek pajak tidaklah semata yang bergerak dalam bidang usaha (komersial), namun juga yang bergerak di bidang sosial, kemasyarakatan dan sebagainya, sepanjang pendiriannya dikukuhkan dengan akta pendirian oleh yang berwenang. d. Bentuk Usaha Tetap Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau juga badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
Sebagaimana telah ditetapkan dalam UU PPh N0. 17 Tahun 2000 pasal 2 ayat 2, subjek pajak terdiri dari 2 (dua) jenis yakni: a. Subjek pajak dalam negeri
10
Subjek Pajak dalam negeri adalah subjek pajak yang secara fisik memang berada atau bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di Indonesia. b. Subjek pajak luar negeri Termasuk sebagai subjek pajak luar negeri adalah sebagai berikut: 1) Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, ataupun berada di Indonesia namun tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. 2) Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, ataupun berada di Indonesia namun tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Selain subjek pajak penghasilan, dalam pemungutan pajak penghasilan juga harus berdasar pada objek pajak penghasilan yang akan dikenakan pajak.
11
2.3.3 Bukan Subjek Pajak Penghasilan Dalam pemungutan pajak penghasilan harus juga diperhatikan adanya elemen- elemen yang bukan merupakan subjek pajak penghasilan. Adapun yang bukan merupakan subjek pajak penghasilan adalah sebagai berikut : a. Badan perwakilan Negara asing b. Pejabat- pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari Negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.. c. Organisasi-organisasi
Internasional
yang
ditetapkan
oleh
Menteri
Keuangan dengan syarat : Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut dan organisasi tersebut tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran anggota. d. Pejabat-pejabat perwakilan oraganisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
2.3.4 Objek Pajak Penghasilan
12
Objek pajak dapat diartikan sebagai sasaran pengenaan pajak dan dasar untuk menghitung pajak terutang. Yang menjadi objek pajak penghasilan adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Menurut pasal 4 ayat 1 Undang- undang No. 17 Tahun 2000 yang termasuk penghasilan sebagai objek pajak antara dengan nama dan bentuk apapun termasuk : a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, premi asuransi jiwa dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya kecuali ditentukan dalam Undang- undang Pajak Penghasilan. b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan c. Laba usaha d. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta termasuk : 1) Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal
13
2) Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota. 3) Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambil alihan usaha. 4) Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus, satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya. f. Bunga termasuk premi, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang. g. Dividen dengan nama dan bentuk apapun, termasuk dividen dari penghasilan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. h. Royalti i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala
14
k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva n. Premi asuransi o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak 2.3.5 Tidak Termasuk Objek Pajak penghasilan Penghasilan yang tidak termasuk dalam kategori penghasilan dan tidak dapat disebut sebagai objek pajak penghasilan antara lain : a. Bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang diterima oleh suatu badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak. b. Harta hibah yang diterima oleh : 1) Keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus atau sederajat. 2) Badan keagamaan, badan sosial, pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. c. Warisan d. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
15
e. Pembayaran klaim dari perusahaan asuransi. f. Dividen dari sebagian laba yang diterima oleh PT, Koperasi, Yayasan, atau organisasi sejenis dan Badan Usaha Milik Negara/Daerah, dari modal pada badan yang didirikan di Indonesia dengan syarat : 1) Dividen berasal dari laba yang ditahan. 2) Bagi PT, BUMN, dan BUMD yang menerima dividen kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut. g. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidangbidang tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. h. Bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham, persekutuan firma, kongsi dan perkumpulan. i. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama lima tahun sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha. j. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura yang berupa bagian laba dari badan pasangan usaha dengan syarat : 1) Pengusaha kecil, menengah, atau menjalankan kegiatan dalam sektorsektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. 2) Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek Indonesia.
16
2.4
Pajak Penghasilan Pasal 23
2.4.1 Pengertian PPh Pasal 23 Pajak Penghasilan pasal 23 termasuk dalam kategori sebagai pajak subjektif, artinya pajak dikenakan karena ada subjeknya yakni yang telah memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dalam peraturan perpajakan. Menurut Harnantoy, (2000: 81), Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah pajak yang diterima atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak dalam negeri dan badan usaha tetap (BUT) yang berasal dari: harta atau modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipungut Pajak Penghasilan Psl-21 dan yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subyek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, badan usaha tetap (BUT) atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya di Indonesia. Menurut Atep dan Jajat, (2006: 127), Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah pajak penghasilan dalam tahun berjalan yang dipotong berdasarkan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Psl21 yang dibayarkan atau terutang oleh bedan pemerintah atau Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak penghasilan pasal 23 merupakan pajak yang diterima atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak dalam negeri dan badan usaha tetap (BUT) yang berasal dari: harta atau modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipungut Pajak Penghasilan Ps-21 yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
17
2.4.2 Subjek Pajak Penghasilan Pasal 23 Berdasarkan ketentuan Pajak Penghasilan pasal 23, Subjek pajak yang ditunjuk menjadi Wajib Pajak dari PPh Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap yang memperoleh penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi dipotong pajak sebesar 15% (lima belas persen) dan bersifat final. Penghasilan berupa bunga simpanan koperasi yang tidak melebihi batas yang ditetapkan dengan menteri keuangan yang dibayarkan koperasi kepada anggotanya tidak dipotong Pajak Penghasilan. Supaya ketentuan ini dapat dilaksanakan dengan baik dan dinamis sesuai dengan perkembangan dunia usaha, maka Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk menetapkan jenis-jenis jasa lain dan besarnya perkiraan penghasilan netto. Dalam menetapkan besarnya perkiraan penghasilan netto, Direktur Jenderal Pajak selain memenfaatkan data dan informasi intern, dapat memperhatikan pendapat dan informasi dari pihakpihak yang terkait. 2.4.3 Objek Pajak Penghasilan Pasal 23 Berdasarkan Undang-undang Pajak No 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, objek pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah:
18
a. Deviden dalam nama dan bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. Termasuk dalam pengertian deviden adalah: 1) Pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun. 2) Pembayaran kembali karena likuidasi. 3) Pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham. 4) Pembagian laba dalam bentuk saham. 5) Pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran. 6) Jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan. 7) Pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah. 8) Pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda-tanda laba tersebut. 9) Bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi. 10) Bagian laba yang diterima oleh pemegang polis. 11) Pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi.
19
12) Pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan. b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.Premium terjadi apabila misalnya surat obligasi dijual atas nilai nominalnya, sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya.,Premi tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi dan diskonto merupakan penghasilan bagi yan membeli obligasi. c. Royalti. Royalti pada dasarnya terdiri dari tiga kelompok: 1) hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, hak paten, hak merek dagang, formula atau rahasia perusahaan. 2) Hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu pengetahuan, misalnya peralatan di industri khusus seperti anjungan pengeboran minyak. 3) Informasi yang belum diungkapkan secara umum, meskipun belum dipatenkan, cirinya informasi tersebut telah tersedia sehingga untuk menghasilkan informasi tersebut tidak perlu melakukan riset lagi. d. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e oleh penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
20
132 Tahun 2000 jo Keputusan Direktur Jenderal Pajak No Kep-395/ PJ/2001 yang dimaksud dengan hadiah di sini adalah sebagai berikut: 1) Dalam pengertian hadiah termasuk hadiah undian, pekerjaan dan kegiatan seperti hadiah undian tabungan, hadiah pertandingan oleh raga dan lain-lain. 2) Penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diberikan sehubungan dengan penemuan bendabenda purbakala. e. Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi. Bunga simpanan yang dibayarkan koperasi kepaddaa anggotanya terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final, batas bunga simpanan. koperasi berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 522/KMK.04/1998 jo, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-43/PJ4/1998 baik untuk orang pribadi maupun badan yang tid dipotong Pajak Penghasilan Final sebesar jumlah yang tidak melebihi Rp 240.000,00 setiap bulannya. f. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. Penghasilan sewa adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan penggunaan harta berger dan atau harta tidak bergerak. Beberapa karakteristik dari sewa yaitu: 1) Adanya penyerahan harta dari pihak yang menyewak kepada pihak yang menyewa untuk digunakan; 2) Adanya perjanjian baik lisan maupun tertulis; dan
21
3) Ada kenyataan bahwa terdapat transaksi sewa. Ada beberapa macam sewa seperti sewa angkutan dan sewa selain angkutan darat dan sewa tanah dan atau bangunan. g. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/ PJ.222/1984 menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan: 1) Jasa teknik adalah pemberian jasa dalam. bentuk pemberian informasi berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan. 2) Jasa manajemen adalah pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam pelaksanaan manajemen dengan balas jasa berupa imbalan manajemen (management fee). 3) Jasa konstraksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan pelaksanaan konstraksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan konstruksi. 4) Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagai rangkaian kegiatan perencanaan dan atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektur, sipil, mekanikal, elektrikal dan tata lingkungan
masing-masing
dengan
kelengkapannya
mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.
untuk
22
2.4.4 Pemotong PPh Pasal 23 Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah pihak-pihak yang membayarkan penghasilan, yang terdiri atas: a. Badan pemerintah; b. Subjek Pajak badan dalam negeri; c. Penyelenggara kegiatan; d. Bentuk usaba tetap; e. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya; dan f. Orang pribadi sebagai WP dalam negeri yang telah mendapat penunjukkan dari Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak Pajak Penghasilan Pasal 23. Sesuai Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-50/PJ/1994, maka Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 meliputi: 1) Akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas. 2) Orang pribadi yang menjalankan usaha dan menyelenggarakan pembukuan. 2.4.5 Dasar Pemotongan PPh Pasal 23 Penghasilan berupa imbalan jasa yang wajib dilakukan pemotongan pajak adalah jasa teknik, jasa manajemen jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain yang diterima atau diperoleh oleh WP selain jasa yang telah dipotong
23
pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Dasar pemotongan pajak dibedakan menjadi dua, yaitu berdasarkan penghasilan bruto dan perkiraan penghasilan netto. a. Pemotongan pajak berdasarkan jumlah penghasilan bruto digunakan untuk penghasilan yang berupa: 1) Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; 2) Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang; 3) Royalti; 4) Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e (oleh penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan. b. Pemotongan pajak berdasarkan perkiraan penghasilan neto digunakan untuk penghasilan yang berupa: 1) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; 2) Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
24
2.4.6 Perkiraan Penghasilan Netto Kewenangan menentukan perkiraan penghasilan neto jasa diatur oleh Direktur Jenderal Pajak. Ketentuan mengenai perkiraan penghasilan neto yang berlaku sekarang adalah didasarkan pada Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.Kep-170/PJ/2002 sebagai berikut:
Tabel 1: Perkiraan Penghasilan Netto PERKIRAAN PENGHASILAN NETO 1. 10% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
JENIS PENGHASILAN
a. Jasa pembasmian hama dan jasa pembersihan b. Jasa katering c. Jasa selain jasa-jasa yang tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada dana anggaran pendapatan belanja negara atau daerah 2. 20% dari Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan jumlah bruto penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat tidak termasuk PPN 3. 40% dari Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan jumlah bruto penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain tidak termasuk sehubungan dengan persewaan tanah dan atau PPN bangunan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor berdasarkan PP No. 5 tahun 2002 (perubahan dari PP 29/1996) dan sewa serta penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat 4. 40% dari a. Jasa teknik dan jasa manajemen jumlah bruto b. Jasa perancang/desain tidak termasuk c. Jasa instalasi/pemasangan: kecuali dilakukan Wajib PPN Pajak yang ruang lingkup dan pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi. d. Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan : perawatan
25
5.
50% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN
6.131/3% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN 7. 262/3% x PPh Bruto
bangunan kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin /sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi e. Jasa pengeboran minyak (jasa drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap. f. Jasa penunjang di bidang penambangan migas. g. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidan penambangan selain migas. h. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan Bandar Udara. i. Jasa penebangan hutan dan land clearing. j. Jasa pengolahan/pembuangan limbah. k. Jasa maklon. l. Jasa recruitment/penyediaan tenaga kerja. m. Jasa perantara. n. Jasa di bidang perdagangn surat-surat berharga kecuali yang dilakukan BEJ, BES, KSEI, KPEI. o. Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan KSEI tidak termasuk sewa gudang yang telah dikenakan Pajak Penghasilan Final berdasarkan PP No. 5 Tahun 2002*)perubahan dari PP 29/1996. p. Jasa Telekomunikasi yang bukan untuk umum. r. Jasa pemanfaatan informasi di bidang teknologi termasuk jasa internet. s. Jasa sehubunganl dengan software computer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan. a. Jasa profesi. b. Jasa konsultan, kecuali konsultan konstruksi. c. Jasa akuntansi dan pembukuan. d. Jasa penilai. e. Jasa aktuaris. Jasa pelaksanaan konstruksi, termasuk jas perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan, jasa instalasi/pemasangan mesin, listrik/telepon/air gas/AC/tv kabel, sepanjang pekerjaannya di bidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikat sebagai pengusaha konstruksi. a. Jasa perencanaan konstruksi. b. Jasa pengawasan konstruksi.
26
Sumber: Atep dan Jajat. 2006. Pemotongan - Pemungutan Pajak Penghasilan dan Kredit Pajak Luar Negeri. PT Elex Media Komputindo. Jakarta. hal 138. Setelah mengetahui apa yang dimaksud pajak penghasilan pasal 23, subjek dan objek pajak penghasilan pasal 23, maka wajib pajak dapat mengetahui apa yang menjadi dasar pajak itu dikenakan, pada umumnya pajak penghasilan merupakan beban yang harus ditanggung oleh perusahaan yang akan mengurangi laba bersih setelah pajak, sehingga wajib pajak berupaya untuk meminimalkan beban pajak dengan cara melakukan perencanaan pajak untuk mengoptimalkan laba perusahaan. 2.5
Perencanaan Pajak
2.5.1 Pengertian Perencanaan Pajak Perencanaan pajak merupakan salah satu fungsi dari manajemen pajak, dimana beban yang paling minimal dapat dicapai dengan perencanaan pajak yang tepat dengan tidak melanggar ketentuan perpajakan yang berlaku, baik itu melalui penghematan pajak (Tax saving) maupun melalui penghindaran pajak (Tax avoidance). Melalui perencanaan pajak yang baik perusahaan dapat mengetahui besarnya jumlah pajak yang paling efisien yang harus dibayarnya. Menurut Erik dan Suwarta (2004 : 11), Perencanaan pajak (Tax Planning) merupakan salah satu fungsi tax managemen yang bertitik tolak pada usaha pencapaian efektivitas dan efisiensi dalam melaksanakan kewajiban perpajakan.
27
Menurut Suandy (2006 :7) Perencanaan pajak adalah tahap pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan. Pada umumnya penekanan perencanaan pajak adalah untuk meminimumkan kewajiban pajak. Menurut Zain (2003 : 67), Perencanaan pajak merupakan tindakan penstrukturan yang terkait dengan konsekuensi potensi pajaknya, yang tekanannya kepada pengendalian setiap transaksi yang ada konsekuensi pajaknya. Dari definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perencanaan pajak secara garis besar adalah suatu proses organisasi usaha wajib pajak atau kelompok wajib pajak sedemikian rupa, sehingga hutang pajaknya, baik pajak penghasilan maupun pajak lainnya berada pada posisi paling efisien, sepanjang hal itu mungkin dilakukan baik oleh peraturan perundangan perpajakan maupun secara komersil. Perlunya perencanaan pajak sebenarnya berangkat dari hal yang sangat mendasar dari sifat manusia, “kalau bisa tidak membayar, mengapa harus membayar; kalau bisa membayar kecil, mengapa harus membayar lebih besar”. Namun semuanya dilakukan dengan itikad baik dan dengan tidak melanggar peraturan perpajakan.
2.5.2 Motivasi Dilakukan Perencanaan Pajak Motivasi yang mendasari perencanaan pajak umumnya bersumber tiga sistem perpajakan yaitu kebijakan perpajakan, undang-undang perpajakan,
28
dan administrasi perpajakan. Ketiga sistem tersebut terjadi menurut proses sesuai dengan urutan waktu penyusunan sistem perpajakan. a. Kebijakan Perpajakan Kebijakan perpajakan merupakan alternatif dari berbagai sasaran yang hendak dituju dalam sistem perpajakan. Dari berbagai aspek kebijakan pajak, terdapat sistem-faktor yang mendorong dilakukannya suatu perencanaan pajak yaitu jenis pajak yang akan dipungut, subjek dan objek pajak, sistem pajak, dan prosedur pembayaran pajak. b. Undang-undang Perpajakan Kenyataan menunjukan bahwa dimanapun tidak ada undang-undang yang mengatur setiap permasalahan secara sempurna. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya selalu diikuti oleh ketentuan-ketentuan lain ( Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, dan Keputusan Direktorat Jendral Pajak). Tidak jarang ketentuan pelaksanaan tersebut
bertentangan
dengan
undang-undang
itu
sendiri
karena
disesuaikan dengan kepentingan pembuatan kebijakan dalam mencapai tujuan lain yang diinginkan. Akibatnya terbuka celah bagi wajib pajak untuk
menganalisis
kesempatan
tersebut
dengan
cermat
untuk
perencanaan pajak yang baik. c. Administrasi Perpajakan Indonesia merupakan Negara dengan wilayah luas dan jumlah penduduk yang banyak. Sebagai Negara berkembang, Indonesia masih mengalami
29
kesulitan dalam melaksanakan administrasi perpajakan secara memadai. Hal ini mendorong perusahaan untuk melaksanakan administrasi perpajakan secara memadai juga melaksanakan perencanaan pajak dengan baik agar terhindar dari sanksi administrasi maupun pidana karena adanya perbedaan penafsiran antara aparat fiskus dengan wajib pajak akibat luasnya peraturan perpajakan yang berlaku dan ystem informasi yang belum efektif.
2.5.3 Jenis- Jenis Perencanaan Pajak Perencanaan pajak merupakan salah satu cara untuk mengefisiensikan beban pajak yang ditanggung oleh wajib pajak. Perencanaan pajak itu sendiri dapat diklaifikasikan menurut jenisnya. Perencanaan pajak terdiri dari: a. Perencanaan pajak nasional (national tax planning) Perencanaan pajak nasional merupakan perencanaan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak dalam negeri yang tidak mempunyai kegiatan usaha di luar negeri dalam upaya mengefisiensikan beban pajak dalam negeri. b. Perencanaan pajak internasional (international tax planning) Perencanaan pajak internasional merupakan perencanaan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak yang mempunyai kegiatan usaha diluar negeri dalam upanya meminimalkan beban pajak dalam negeri dan di negara lain yang mencakup kegiatan usahanya. Perbedaan utama antara perencanaan pajak nasional dengan perencanaan pajak internasional adalah peraturan
30
pajak yang akan digunakan. Dalam perencanaan pajak nasional hanya memperhatikan undang-undang domestik, tetapi dalam perencanaan pajak internasional
di
samping
undang-undang
domestik
juga
harus
memperhatikan perjanjian pajak (tax treaty) dan undang-undang dari negara yang terlibat. Dalam perencanaan pajak nasional (national tax planning), pemilihan atas dilaksanakan atau tidaknya suatu transaksi hanya
bergantung
terhadap
transaksi
tersebut.
Artinya
untuk
menghindari/mengurangi pajak, Wajib Pajak dapat memilih jenis transaksi apa yang harus dilaksanakan sesuai dengan hukum pajak yang ada. Berbeda dengan perencanaan pajak internasional (international tax planning), yang dipilih adalah negara (yuridiksi) mana yang akan digunakan untuk suatu transaksi. Setelah mengetahui secara singkat mengenai perencanaan pajak serta jenis-jenis perencaan pajak itu sendiri, maka wajib pajak harus mengetahui tahap-tahap dalam perencanaan pajak.
2.5.4 Tahap- Tahap Dalam Perencanaan Pajak Dalam globalisasi dan tingkat persaingan yang semakin tajam, seorang manajer dalam membuat suatu perencanaan pajak harus mempertimbangkan adanya kegiatan yang bersifat nasional maupun internasional, maka agar perencanaan pajak dapat berhasil sesuai yang diharapkan, maka rencana
31
tersebut seharusnya dilakukan melalui berbagai urutan tahap-tahap sebagai berikut : a. Menganalisis informasi yang ada (analysis of the exicting data base) Tahap pertama dari proses pembuatan perencanaan pajak adalah menganalisis komponen yang berbeda atas pajak yang terlibat dalam suatu proyek dan menghitung seakurat mungkin beban pajak yang harus ditanggung. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan mempertimbangkan masing-masing elemen dari pajak, baik secara sendiri-sendiri maupun secara total pajak yang harus dapat dirumuskan sebagai perencanaan pajak yang paling efisien. Penting juga untuk memperhitungkan kemungkinan besarnya penghasilan dari suatu proyek dan pengeluaran- pengeluaran lain di luar pajak yang mungkin terjadi. b. Buat suatu model atau rencana besarnya pajak (design of one or more possible tax plans) Model perjanjian internasional dapat melibatkan satu atau lebih tindakantindakan berikut : 1) Pemilihan bentuk transaksi operasi atau hubungan internasional. Pada semua perencanaan perpajakan, paling tidak ada dua Negara yang ditentukan lebih dahulu. Dari sudut perpajakan, proses perencanaan tidak dapat berada di luar tahapan pemilihan transaksi, operasi dan hubungan yang paling menguntungkan.
32
2) Pemilihan Negara asing sebagai tempat melakukan investasi atau menjadi residen dari Negara tersebut. Dalam rencana perpajakan internasional mungkin dapat diperoleh perlakuan khusus dengan memilih dua atau lebih kemungkinan investasi di Negara-negara yang berbeda. 3) Penggunaan satu atau lebih Negara tambahan. Perencanaan pajak internasional sebetulnya merupakan perluasan yang sederhana dari perencanaan pajak nasional melalui penggunaan elemen asing. Apabila paling tidak sudah ada satu elemen dari satu proyek, perencanaan tambahan yuridiksi pajak untuk tujuan meminimumkan peraturan pajak bisa lebih jelas dan sederhana untuk dicapai. c. Mengevaluasi pelaksanaan rencana pajak Perencanaan pajak sebagai suatu perencanaan yang merupakan bagian kecil dari seluruh perencanaan strategi perusahaan, maka perlu dilakukan evaluasi untuk melihat sejauh mana hasil pelaksanaan suatu perencanaan pajak terhadap beban pajak (tax burden), perbedaan laba kotor dan pengeluaran selain pajak atas berbagai alternatif perencanaan. d. Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana pajak (debugging the tax plan) Untuk mengatakan bahwa hasil suatu perencanaan pajak baik atau tidak, tentu harus dievaluasi melalui berbagai rencana yang dibuat. Dengan demikian, keputusan yang terbaik atas suatu perencanaan pajak harus
33
sesuai dengan bentuk transaksi dan tujuan operasi. Perbandingan berbagai rencana harus dibuat sebanyak mungkin sesuai bentuk perencanaan pajak yang diinginkan. Kadang- kadang suatu rencana harus diubah mengingat adanya perubahan peraturan atau perundang- undangan. Tindakan perubahan harus tetap dijalankan walaupun diperlukan penambahan biaya atau kemungkinan keberhasilannya sangat kecil. e. Memutakhirkan rencana pajak (updating the tax plan) Meskipun suatu rencana pajak telah dilaksanakan dan proyek telah berjalan, tetap perlu diperhitungkan setiap perubahan yang terjadi, baik dari segi undang- undang meupun pelaksanaannya yang dapat berdampak terhadap suatu komponen perjanjian. Pemutakhiran dari suatu rencana adalah suatu konsekuensi yang perlu dilakukan sebagaimana dilakukan oleh masyarakat yang dinamis. Dengan memberikan perhatian terhadap perkembangan yang akan datang maupun situasi saat ini, seorang manajer akan mampu mengurangi akibat yang merugikan dari adanya perubahan, dan pada saat yang bersamaan mampu mengambil kesempatan untuk memperoleh manfaat yang potensial.
2.5.5 Tujuan Perencanaan Pajak Perencanaan merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan laba bersih
perusahaan
dengan
mengefisiensikan
beban
pajak.
Strategi
mengefisiensikan beban pajak (penghematan pajak) yang dilakukan oleh
34
perusahaan haruslah bersifat legal, supaya terhindar dari sanksi-sanksi pajak di kemudian hari. Tujuan perencanaan pajak dapat dilihat dari dua pendapat berikut ini, yaitu : Menurut Suandy (2006 : 7), Tujuan perencanaan pajak adalah merekayasa agar beban pajak (Tax burden) dapat ditekan serendah mungkin dengan memanfaatkan peraturan yang ada tetapi berbeda dengan tujuan pembuatan Undang-undang. Menurut Zain (2003 : 67), Tujuan perencanaan pajak adalah bagaimana pengendalian yang dilakukan oleh manajemen sehingga dapat mengefisienkan jumlah pajak yang akan ditransfer ke pemerintah, melalui apa yang disebut sebagai penghindaran pajak (Tax avoidance) dan bukan penyelundupan pajak (Tax evasion) yang merupakan tindakan pidana perpajakan yang tidak dapat ditolerir. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, tujuan dari perencanaan pajak adalah upaya yang dilakukan oleh Wajib Pajak untuk menghemat beban pajak yang akan dikeluarkan atau disetor kepada pemerintah, agar laba perusahaan menjadi optimal. Jika tujuan perencanaan pajak adalah merekayasa agar beban pajak (tax burden) dapat ditekan serendah mungkin dengan memanfaatkan peraturan yang ada tetapi berbeda dengan tujuan pembuat undang-undang, maka tax planning di sini sama dengan tax avoidance karena secara hakikat ekonomis keduanya berusaha untuk memaksimalkan penghasilan setelah pajak (after tax return) karena pajak merupakan unsur pengurang laba yang tersedia baik untuk dibagikan kepada pemegang saham maupun untuk diinvestasikan kembali. Dari tujuan perencanaan pajak, maka wajb pajak dapat membuat strategi yang akan diterapkan dalam perencanaan pajak.
35
2.5.6 Strategi Perencanaan Pajak Perencanaan merupakan fungsi utama manajemen. Secara umum perencanaan merupakan proses penentu tujuan organisasi (perusahaan) dan kemudian menyajikan (mengartikulasikan) dengan jelas strategi (program), taktik (tata cara pelaksanaan program), dan operasi (tindakan) yang diperlukan untuk mencapai tujuan perusahaan secara menyeluruh. Setiap perubahan yang terjadi memerlukan respon strategi baik dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Suatu perencanaan akan memiliki manfaat yang besar bila dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Strategi yang dapat ditempuh untuk menghemat beban pajak secara legal menurut Anonim (2002 : 3-4) antara lain: a. Tax saving (penghematan pajak) Upaya untuk mengefisiensikan beban pajak melalui pemilihan arifftive pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah. b. Tax avoidance (penghindaran pajak) Upaya mengefisiensikan beban pajak dengan cara menghindari dari pengenaan pajak dengan mengarahkan pada transaksi yang bukan objek pajak. c. Penundaan beban pajak Penundaan pembayaran kewajiban pajak dapat dilakukan tanpa melanggar peraturan yang berlaku.
36
d. Mengoptimalkan kredit pajak yang diperkenankan. e. Menghindari pemeriksaan pajak dengan cara menghindari lebih bayar, yaitu dengan cara: 1) Mengajukan pengurangan pembayaran angsuran PPh Pasal 25 ke Kantor
Pelayanan
berdasarkan
Pajak
estimasi
(KPP)
diperkirakan
yang
bersangkutan.
dalam
tahun
Apabila
pajak
yang
bersangkutan akan terjadi kelebihan pembayaran pajak. 2) Mengajukan permohonan pemebebasan PPh Pasal 22 atas impor apabila perusahaan melakukan impor. f. Menghindari pelanggaran terhadap peraturan perpajakan yang berlaku. Dapat dilakukan dengan cara menguasai peraturan perpajakan yang berlaku. Strategi-strategi ini jika dapat dijalankan dengan baik, maka akan menghasilkan perencanaan pajak yang baik pula dan tidak melanggar peraturan perpajakan.
2.5.7 Strategi Perencanaan Pajak Dalam Rangka Mengefisienkan PPh Badan Perencanaan pajak merupakan tindakan atau upaya yang dilakukan oleh wajib pajak dalam rangka mengefisienkan PPh Badan. Upaya-upaya yang dilakukan menurut Indonesian Tax Review (2002 :37) antara lain : a. Pemilihan dasar pembukuan
37
Dasar pembukuan yang diakui Direktorat Jendral Pajak adalah basis akrual (akrual basis) dan basis kas yang dimodifikasi (modified cash basis). Basis akrual yaitu pendapatan dan biaya dicatat dan dilaporkan pada saat timbulnya transaksi, meskipun uangnya belum diterima atau dibayar. Basis kas (cash basis) yaitu pendapatan dan biaya dicatat dan dilaporkan pada saat terjadinya penerimaan dan pengeluaran uang. Basis kas yang diakui oleh Direktorat Jendral Pajak atas pelaporan pendapatan dan biaya dalam rangka menghitung PPh badan sebagai berikut : 1. Penghitungan jumlah penjualan dalam satu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun kredit. Dalam menghitung harga pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan. 2. Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi. 3. Biaya- biaya yang boleh dibebankan adalah biaya-biaya yang telah dibayar. Apabila dibandingkan dengan basis akrual dan basis kas menurut versi perpajakan, yang berbeda hanya biaya administrasi dan umum. Pada basis akrual biaya administrasi dan umum dibebankan pada saat timbulnya kewajiban, sedangkan pada basis kas , biaya tersebut dibebankan pada saat
38
terjadinya pembayaran. Dengan demikian, dari sisi efisiensi beban pajak lebih menguntungkan memilih basis akrual. b. Pengelolaan transaksi yang berhubungan dengan pemberian kesejahteraan karyawan. Strategi efisiensi PPh Badan yang berkaitan dengan biaya kesejahteraan karyawan ini tergantung pada kondisi perusahaan, sebagai berikut : 1) Pada perusahaan yang memperoleh penghasilan kena pajak yang telah dikenakan criter tertinggi (diatas Rp.100.000.000, 00) dan pengenaan PPh Badan yang tidak final, diupayakan seminimal mungkin memberikan kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan karena pengeluaran ini tidak dibebankan sebagai biaya. 2) Pada perusahaan yang dikenakan PPh Badan secara final, diupayakan secara minimal memberikan kesejahteraan kepada karyawan dalam bentuk natura karena pemberian natura dari pemberi kerja merupakan objek PPh pasal 21 sedangkan dari sisi perusahaan, biaya-biaya pemberian natura tersebut tidak mempengaruhi besarnya PPh Badan karena PPh Badan Final dihitung dari persentase atas penghasilan bruto sebelum dikurangi dengan biaya-biaya. 3) Pada perusahaan yang rugi, merubah pemberian natura/kenikmatan menjadi tunjangan hanya akan menaikan PPh pasal 21, sementara PPh Badan tetap nihil.
39
c. Pemilihan metode penyusutan aktiva tetap dan amortisasi atas aktiva tak berwujud Penyusutan dan amortisasi aktiva tetap atau aktiva tidak berwujud yang diakui oleh fiskus sejak tahun 1995 terdiri dari 2 metode, yaitu : 1) Metode garis lurus 2) Metode saldo menurun Penyusutan dengan menggunakan metode garis lurus akan menghasilkan beban
penyusutan
yang
sama
tiap
tahun.
Penyusutan
dengan
menggunakan saldo menurun akan menghasilkan beban penyusutan lebih besar pada awal perolehan atau pembelian aktiva dan akan makin menurun di tahun-tahun berikutnya tetapi pada akhir umur ekonomis aktiva tersebut jumlah akumulasi penyusutannya akan sama. Penyusutan metode saldo menurun ini menguntungkan wajib pajak dari segi likuiditas. d. Transaksi yang berhubungan dengan withholding Tax Dalam dunia usaha tidak jarang perusahaan memiliki transaksi yang mengharuskan adanya pemungutan/pemotongan pihak ketiga dimana pihak yang bersangkutan tidak bersedia dipotong pajaknya. Apabila perusahaan tidak memotong withholding tax ( PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh final, PPh Pasal 26), maka jika dilakukan pemeriksaan oleh fiskus, perusahaan akan dikenakan kewajiban untuk membayar withholding tax dimaksud dengan ditambah denda keterlambatan
40
penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak. Untuk mengatasi hal tersebut dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu : 1) Perusahaan membayar withholding tax, pajak yang dibayarkan ini tidak boleh dibebankan sebagai biaya. 2) Nilai transaksi di gross-up, sehingga jumlah transaksi dalam kontrak sudah termasuk pajak yang harus dipungut. Atas jumlah pajak yang akan dibayar boleh dibebankan sebagai biaya, kecuali untuk PPh Final dan deviden. e. Penyertaan pada Perseroan Terbatas dalam negeri Penyertaan modal saham pada perseroan terbatas dalam negeri dapat dilakukan atas nama perseroan atau perorangan. Apabila modal saham atas nama perorangan, maka dividen yang diperoleh perorangan tersebut merupakan objek PPh dan dikenakan pemotongan PPh pasal 23. Apabila saham atas nama PT, Koperasi, BUMN, BUMD, maka penerima dividen tersebut bukan objek pajak, sehingga tidak dikenakan pajak sepanjang memenuhi persyaratan : 1) Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan 2) Bagi PT, BUMN dan BUMD yang menerima dividen : a) Kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal disetor. b) Mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut diatas (Pasal 4 ayat 3 huruf F undang-undang No.17 Tahun 2000).
41
f. Optimalisasi pengkreditan pajak penghasilan yang telah dibayar Pajak penghasilan yang dapat dikreditkan antara lain PPh atas penghasilan tanah atau bangunan bagi perusahaan yang tidak bergerak di bidang real estate, PPh Pasal 22 atas impor, PPh pasal 22 atas pembelian BBM dari pertamina untuk selain penyalur, PPh final luar negeri karyawan, PPh Pasal 23 atas bunga dari non bank, criteri, PPh Pasal 24 yang dipotong luar negeri. g. Pengajuan penurunan lump-sum Pajak Penghasilan Pasal 25 Apabila kita mengangsur PPh Pasal 25 tetapi seperti tahun lalu dikhawatirkan pada akhir tahun berjalan akan terjadi kelebihan pembayaran pajak. Untuk mengatasinya, mulai bulan april tahun yang bersangkutan, perusahaan dapat mengajukan permohonan penurunan lump-sum PPh Pasal 25 dengan disertai proyeksi laba akhir tahun dan criteri terjadinya penurunan laba. h. Pengajuan SKB (Surat Keterangan Bebas) PPh pasal 22 dan PPh pasal 23 Untuk beberapa jenis withholding tax seperti PPh Pasal 22, PPh Pasal 23 ( yang tidak termasuk PPh final) dapat diajukan permohonan SKB oleh wajib pajak yang memenuhi criteria.
2.5.8 Rekonsiliasi Laporan Keuangan dan Koreksi Pajak Adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya antara akuntansi komersil dan fiskal menimbulkan perbedaan dalam menghitung besarnya
42
penghasilan kena pajak. Perbedaan ini disebabkan adanya perbedaan kepentingan antara akuntansi komersil yang mendasarkan laba pada konsep dasar akuntansi yaitu penandingan antara pendapatan dengan biaya-biaya terkait, sedangkan dari segi fiskal , wajib pajak harus mengacu pada peraturan perpajakan, sehingga laporan keuangan komersil yang dibuat berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan harus disesuaikan/dikoreksi secara fiskal terlebih dahulu sebelum menghitung besarnya penghasilan kena pajak. Perbedaan antara laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu : a. Perbedaan waktu (timing differences) adalah perbedaan yang bersifat sementara karena adanya ketidaksamaan waktu pengakuan penghasilan dan beban antara peraturan perpajakan dengan Standar Akuntansi Keuangan. Perbedaan waktu dapat dibedakan menjadi : 1) Perbedaan waktu positif Apabila pengakuan beban untuk akuntansi lebih lambat dari pengakuan beban untuk pajak atau pengakuan penghasilan untuk tujuan pajak lebih lambat dari penghasilan untuk tujuan akuntansi. 2) Perbedaan waktu negatif Apabila ketentuan perpajakan mengakui beban lebih lambat dari pengakuan beban akuntansi komersial atau akuntansi mengakui penghasilan lebih lambat dari pengakuan penghasilan menurut ketentuan perpajakan.
43
b. Perbedaan tetap (permanent differences) adalah perbedaan yang terjadi karena peraturan perpajakan menghitung laba fiskal berbeda dengan menghitung laba menurut Standar Akuntansi Keuangan tanpa ada koreksi di kemudian hari. Perbedaan tetap dapat dibedakan menjadi 2, yaitu : 1) Perbedaan tetap positif, karena ada laba akuntansi yang tidak diakui oleh ketentuan perpajakan dan pembebasan pajak. 2) Perbedaan tetap negatif, karena disebabkan adanya pengeluaran sebagai beban laba akuntansi yang tidak diakui oleh ketentuan fiscal
Menurut Gunadi (2005: 201), beberapa penyebab perbedaan laporan keuangan fiskal dan komersial diantaranya : a. Perbedaan antara apa yang dianggap penghasilan menurut ketentuan perpajakan dengan praktek akuntansi, misalnya : kenikmatan dan natura, inter company dividen, pembebasan utang, dan penghasilan bentuk usaha tetap karena atribusi force of attraction. b. Ketidaksamaan pendekatan penghitungan penghasilan, metode depresiasi, penerapan norma penghitungan, dan pemajakan dengan metode basis bruto/netto. c. Pemberian relief atau keringanan yang lain misalnya : rugi-laba pelaporan aktiva, penghasilan hibah tidak kena pajak, perangsang penanaman dan penyusutan dipercepat.
44
d. Perbedaan perlakuan kerugian misalnya : kerugian mancanegara atau harta yang tidak dipakai dalam usaha. Perbedaan laporan keuangan menurut pajak (fiskal) dan akuntansi (komersial) tersebut pada waktunya akan dlakukan rekonsiliasi, sehingga didapatkan
laporan
keuangan
yang
siap
untuk
dipublikaskan
dan
dipertanggung jawabkan kepada para pemegang saham perusahaan maupun investor. 2.6
Beban Pajak
2.6.1 Pengertian Beban Pajak Bagi perusahaan pajak yang dikenakan terhadap penghasilan yang diterima atau diperoleh dapat dianggap sebagai beban atau biaya dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan maupun distribusi laba kepada pemerintah. Menurut IAI (2004:46.2) Beban pajak adalah jumlah agregat pajak kini dan pajak tangguhan yang diperhitungkan dalam perhitungan laba atau rugi pada satu periode. Menurut Suandy
(2001:5) Beban pajak
merupakan pengakuan
perusahaan bahwa pajak merupakan suatu beban atau biaya di dalam menjalankan usaha atau kegiatannya. Berdasarkan kedua pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa beban pajak adalah biaya yang harus dikeluarkan perusahaan didalam menjalankan kegiatan usahanya pada satu periode.
45
Untuk dapat menentukan besarnya beban pajak, harus melakukan penghitungan penghasilan kena pajak dengan benar dan tepat, maka wajib pajak perlu memahami biaya-biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan kena pajak (deductible expenses) berdasarkan undang-undang No.17 Tahun 2000 Pasal 6 dan biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan kena pajak (non deductible expenses) berdasarkan undang-undang No. 17 Tahun 2000 Pasal 9.
2.6.2 Biaya yang Boleh Dikurangkan dari Penghasilan Bruto (Deductible Expenses) Biaya- biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebagai berikut : a. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan termasuk biaya pembelian bahan, biaya yang berkenaan dengan pekerjaan/jasa termasuk upah, dan lain-lain atau biaya-biaya yang lazimnya disebut biaya sehari-hari yang dibebankan pada tahun pengeluaran yang diperlukan. b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak atas biaya lain yang mempunyai manfaat lebih dari 1(satu) tahun. c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya disahkan Menteri Keuangan.
46
d. Kerugian karena penjualan/ pengalihan harta. e. Kerugian karena selisih mata uang asing. f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia. g. Biaya beasiswa, magang dan pelatihan.
2.6.3 Biaya yang Tidak Boleh Dikurangkan dari Penghasilan Bruto (Non Deductible Expenses ) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan BUT ada biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan yaitu : a. Pembagian laba dengan nama dan bentuk apapun seperti dividen termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pemegang sisa hasil usaha koperasi. b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota. c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
47
d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, dwiguna, dan beasiswa yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi wajib pajak yang bersangkutan. e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan kecuali penyediaan makan dan minum bagi seluruh pegawai serta penggantian imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan pekerjaan yang dilakukan. g. Harta yang dihibahkan,
bantuan, atau sumbangan dan warisan
sebagaimana dimaksud dimuka, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah. h. Pajak penghasilan i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib pajak atau orang yang menjadi tanggungannya.
48
j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham. k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan dibidang perpajakan.
2.7
Kerangka Pemikiran Secara singkat penelitian ini menerangkan bagaimana perencanaan pajak dapat mengefisienkan pajak penghasilan terutang. Sehingga mengetahui secara finansial perencanaan pajak dalam mengefisienkan pajak terutangnya, dapat dilihat dari laporan rekonsiliasi keuangan komersil dengan fiskal dan koreksi fiskal yang dilakukan perusahaan berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku. Perencanaan pajak dapat dengan memanfaatkan celah-celah peraturan perpajakan yang pada akhirnya akan menghasilkan penghematan jumlah pajak yang akan dibayar ke fiskus.
49
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dibuat kerangka pemikiran sebagai berikut :
Laporan keuangan komersil
Perencanaan Pajak
Kebijakan Perusahaan - Gross Up PPh Psl 23
Pemilihan Transaksi
Rekonsiliasi danKoreksi Fiskal
Beban Pajak Menjadi Minimum