BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Perilaku Agresi
Perilaku agresi menurut pendapat murray (2004), merupakan kebutuhan mennyerang, merugikan, menggangu, membahayakan, merusak, menjahati, mengejek, menuduh secara jahat, menghukum berat atau melakukan tindakan sadis lainnya. Berikutnya Willis Sofyan (2008), berpendapat jika di pandang dari definisi emosional agresi adalah hasil dari proses kemarahan yang memuncak seperti halnya menyerang yakni melakukan tindakan tiba-tiba dengan penuh emosi, merugikan orang lain karena sudah tidak adanya rasa peduli terhadap sesama, mengganggu ketenangan orang lain bahkan sampai membahayakan. Sehingga hukuman baginya adalah punishment yang sangat berarti. Di tegaskan pula oleh Sarwono (2006), menyimpulkan bahwa untuk disebut agresi terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi, yaitu agresi merupakan perilaku, ada dorongan untuk merusak atau menyakiti orang atau benda, sasaran tidak menghendaki perilaku tersebut.
12
2.1.2. Proses Agresivitas Proses-proses belajar sosial yang dapat menimbulkan perilaku agresif menurut C. George Boeree (2008) adalah sebagai berikut: 1.
Classical conditioning. Perilaku agresif terjadi karena adanya proses
mengasosiasikan suatu stimulus dengan stimulus lainnya. Contoh: pelajar STM X yang sering tawuran dengan pelajar STM Y akan mengasosiasikan pelajar STM Y sebagai musuh/ancaman sehingga mereka akan berperilaku agresif (ingin memukul/berkelahi) ketika melihat pelajar STM Y atau orang yang memakai seragam STM Y. 2.
Operant Conditioning. Perilaku agresif terjadi akibat adanya reward yang
diperoleh setelah melakukan perilaku agresif tersebut. Reward tersebut bersifat tangible (memperoleh sesuatu yang dia mau), sosial (dikagumi/disegani oleh kelompoknya), dan internal (meningkatkan self-esteem orang tersebut). Contoh: A sering berkelahi dan menganggu temannya karena ia merasa disegani oleh temantemannya dengan melakukan tindakan agresif tersebut. 3.
Modelling (meniru). Salah satu karakteristik penting dalam proses modeling
ini adalah adanya hubungan emosional yang kuat antara model dengan peniru. Biasanya orang yang ditiru adalah orang yang dikagumi. Belajar sosial yang paling banyak berpengaruh akhir-akhir ini adalah media televisi. Sering terjadi bahwa proses peniruan memang tidak didasari oleh rasionalitas, sehingga orang yang menyaksikan kekerasan di televisi bisa menjadi ikut-ikutan agresif. Bahwa dengan melakukan peniruan itu, peniru merasa diberi reward dari orang yang ditirunya. Meskipun para pakar psikologi masih
13
mempertanyakan sejauh mana TV dan bioskop mempengaruhi perilaku manusia, sebagian besar peneliti memberikan kesimpulan “bahwa menonton kekerasan memang meningkatkan agresi antar pribadi, terutama dikalangan anak kecil”. Kekerasan dalam film dapat menimbulkan perilaku agresif melalui beberrapa cara: a.
Dengan mengajarkan gaya tindakan agresif;
b.
Dengan meningkatkan keterbangkitan;
c.
Dengan membuat orang tidak peka terhadap kekerasan;
d.
Dengan mengurangi kendala pada perillaku agresif, dan
e.
Dengan mengubah tentang cara penyelesaian konflik.
Contoh: seorang anak kecil yang mengagumi seorang petinju terkenal akan cenderung meniru tingkah laku petinju favoritnya tersebut, misalnya menonjok temannya. 4.
Observational Learning. Perilaku agresif terjadi karena seseorang
mengobservasi individu lain melakukannya baik secara langsung maaupun tidak langsung. Contoh: seorang anak kecil memiting tangan temannya setelah menonton acara Smack Down. 5.
Social
Comparison.
Perilaku
agresif
terjadi
karena
seseorang
membandingkan dirinya dengan kelompok atau orang lain yang disukai. Contoh: seorang anak yang bergaul dengan kelompok berandalan jadi ikut-ikutan suka berkelahi atau berkata-kata kasar karena ia merasa harus bertingkah laku seperti itu agar dapat diterima oleh kelompoknya.
14
6.
Learning by Experience.Perilaku agresif terjadi karena pengalaman masa
lalu yang dimiliki oleh orang tersebut. Contoh: anak yang sejak kecil sering mengalami perilaku agresif (berkelahi/dipukuli) cenderung akan menjadi anak yang agresif (suka berkelahi). 2.1.3. Penyebab Perilaku Agresivitas Dalam agresif terdapat beberapa faktor dan tiap faktor agresif dapat berbeda dengan tindakan agresif yang satu dengan agresif yang lainnya tergantung dari tindakan agresif itu sendiri dan dimana tindakan agresif itu terjadi. Akhirakhir ini tindakan agresif banyak terjadi di lingkup sosial baik di sekolah maupun lingkup sosial lainnya.Di bawah ini ada beberapa faktor penyebab terjadinya Agresif atau Agresivitas menurut Davidoff (2005). 1.
Faktor Biologis
Ada beberapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi: a.
Penelitian menunjukkan bahwa gen berpengaruh pada pembentukan sistem
neural otak yang mengatur perilaku agresi. Penelitian yang dilakukan pada binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah dipancing amarahnya, faktor keturunan tampaknya membuat hewan jantan yang berasal dari berbagai jenis lebih mudah marah dibandingkan betinanya.Gen tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresi. b.
Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau
menghambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi. c.
Kimia darah. Kimia darah (khususnya hormon seks yang sebagian
ditentukan faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi.
15
2.
Faktor Naluri atau Insting Menurut Sigmund Freud di dalam buku Alwisol, 2006.Bahwa dalam diri
manusia terdapat dua jenis insting yakni eros ( naluri kehidupan ) dan thanatos (naluri kematian). Agresi adalah ekspresi dari naluri kematian (thanatos). Agresi dapat diarahkan kepada orang lain atau sasaran-sasaran lain (eksternal) dan dapat pula pada diri sendiri (internal).Setiap orang mempunyai insting bawaan untuk berperilaku agresi. Agresi merupakan derivasi insting mati (thanatos) yang harus disalurkan untuk menyeimbangkannya dengan insting hidup (eros). Eros dan thanatos ini harus diseimbangkan untuk menstabilkan mental. 3.
Faktor Amarah Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas sistem saraf
parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin nyata-nyata salah atau mungkin juga tidak.Pada saat marah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam.Bila hal-hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku agresi. 4.
Faktor Frustrasi Frustrasi adalah terhalangnya seseorang oleh sesuatu hal dalam mencapai
suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Frustasi yang disebabkan situasi yang tidak menentu (uncertaint)akan memicu perilaku agresif lebih besar dibandingkan dengan frustasi karena situasi yang menentu. Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresif
16
merupakan salah satu cara berespon terhadap frustasi. Remaja miskin yang nakal adalah akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai.Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berperilaku agresi. 5.
Faktor sosial learning (peran belajar model kekerasan) Menurut perspektif sosiobiologi, perilaku agresi berkembang karena
adanya kompetisi sosial yaitu kompetisi terhadap sumber daya.Dalam hal ini satu macam sumber daya yang dipandang terbatas, diperebutkan oleh dua belah pihak.Perilaku agresi menurut perspektif ini merupakan sesuatu yang fundamental karena merupakan strategi adaptasi dalam kehidupannya.Dalam pandangan ini manusia diharapkan bertindak agresif ketika sumber daya yang penting itu terbatas, ketika mengalami ketidaknyamanan, ketika sistem sosial tidak berjalan dengan baik, dan ketika ada ancaman dari pihak luar (Dunkin dalam Soedardjo dan Helmi). Bandura, Baron, dan Berkowitz menyatakan bahwa perilaku agresi merupakan hasil dari proses belajar sosial. Belajar sosial adalah belajar melalui pengamatan terhadap dunia sosial.Hal ini bertentangan dengan pendapat Sigmund Freud yang menyatakan bahwa sejak lahir setiap individu telah mempunyai insting agresi. Dalam kasus Harris dan Klebold, perilaku agresi mereka sangat mungkin karena proses belajar sosial. Walaupun pembawa acara berulang kali mengingatkan penonton untuk tidak mencontohapa yang mereka saksikan namun diyakini bahwa tontonan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa penontonnya.
17
Pendapat ini sesuai dengan yang diutarakan Davidoff (2005) yang mengatakan bahwa menyaksikan perkelahian dan pembunuhan meskipun sedikit pasti akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model kekerasan tersebut. Dewasa ini tindakan agresi dapat di contoh dari beberapa media anak-anak dan remaja banyak belajar menyaksikan adegan kekerasan melalui Televisi dan juga "games" atau pun mainan yang bertema kekerasan.Acara-acara yang menampilan adegan kekerasan hampir setiap saat dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film kartun, sinetron, sampai film laga. 6.
Kesenjangan Generasi Adanya perbedaan atau jurang pemisah (gap) antara generasi anak dengan
orang tuanya dapat terlihat dalam bentuk kegagalan hubungan komunikasi.Hal ini diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresi pada anak. 7.
Lingkungan Beberapa faktor lingkungan seperti kemiskinan, anonimitas dan suhu
udara yang terlalu panas juga berperan dalam pembentukan perilaku agresi.Bila seorang anak dibesarkan dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresi mereka secara alami mengalami penguatan.Terlalu banyak rangsangan indra dan kognitif seperti di kota-kota besar yang menyajikan berbagai suara, cahaya dan bermacam informasi yang besarnya sangat luar biasa membuat dunia menjadi sangat impersonal, artinya antara satu orang dengan orang lain tidak lagi saling mengenal atau mengetahui secara baik. Lebih jauh lagi, setiap individu cenderung menjadi anonim (tidak mempunyai identitas diri). Bila seseorang merasa anonim
18
ia cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena ia merasa tidak lagi terikat dengan norma masyarakat dan kurang bersimpati pada orang lain. Aksi-aksi demonstrasi yang berujung pada bentrokan dengan petugas keamanan seringkali terjadi pada cuaca yang terik dan panas, tapi bila musim hujan relatif jarang terjadi peristiwa tersebut. Hal ini sesuai dengan laporan US Riot Commission pada tahun 1968 bahwa ketika musim panas, rangkaian kerusuhan dan agresivitas massa lebih banyak terjadi di Amerika Serikat dibandingkan dengan musimmusim lainnya. 8.
Proses Pendisiplinan yang Keliru Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama
yang dilakukan dengan memberikan hukuman fisikdapat menimbulkan berbagai pengaruh buruk bagi remaja. Pendidikan disiplin seperti itu akan membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membenci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain. 9.
Penilaian Kognitif Teori ini menjelaskan bahwa reaksi individu terhadap stimulus agresi
sangat bergantung pada cara stimulus itu diinterpretasi oleh individu. Sebagai contoh, frustrasi dapat menyebabkan timbulnya perilaku agresi jika frustrasi itu diinterpretasi oleh individu sebagai gangguan terhadap aktivitas yang ingin dicapainya.
19
2.1.4. Pemecahan Masalah Agresivitas Perilaku
agresif
merupakan
masalah
utama
dalam
masyarakat
manusia.Kejahatan individual dan kekerasan sosial dalam skala besar sangat merugikan dan membayakan kesejahteraan individu maupun struktur sosial secara umum. Karena itu pemahaman tentang cara mereduksi agresifitas merupakan hal yang sangat penting, Hanurawan, (2004). Adapun cara untuk mengurangi perilaku agresif antara lain: a.
Mengurangi frustrasi.
b.
Orang dapat diajar untuk tidak melakukan agresi dalam situasi tertentu, atau
dapat belajar untuk menekan agresivitas pada umumnya. Misalnya, anak belajar untuk tidak berkelahi dalam kelas, dan pada umumnya juga diajari untuk berhatihati agar tidak saling melukai. c.
Memberi hukuman atau pembalasan, rasa takut terhadap hukuman atau
pembalasan bisa menekan perilaku agresif.Terdapat beberapa strategi untuk mengendalikan dan mengurangi perilaku agresi. a.
Hukuman Menurut kaum behaviorisme, hukuman dapat dipakai untuk mengurangi
perilaku yang tidak diharapkan, yang dalam hal ini adalah perilaku agresif. Namun agar dapat efektif mengurangi suatu tingkah laku, hukuman harus memenuhi tiga syarat: (1) diberikan sesegera mungkin setelah perilaku yang ingin dikurangi muncul, (2) setimpal dengan perilaku yang muncul, (3) diberikan setiap kali perilaku yang ingin dikurangi timbul.
20
b.
Katarsis Katarsis merupakan pelepasan ketegangan dan kecemasan dengan jalan
melampiaskannya dalam dunia nyata. Teori katarsis menyatakan bahwa pemberian kesempatan kepada individu yang memiliki kecenderungan pemarah untuk berperilaku keras (dalam aktivitas katarsis), tapi dalam cara yang tidak merugikan, akan mengurangi tingkat rangsang emosional dan tendensi untuk melakukan perilaku agresi. Sedikit bertentangan dengan teori katarsis, Baron dan Byrne (dalam Hanurawan, 2004) menyatakan bahwa katarsis bukanlah merupakan instrumen yang efektif untuk mengurangi agresi yang bersifat terbuka. Penelitian Robert Arms dan kawan-kawan melaporkan bahwa penonton sepak bola gaya Amerika, gulat, dan hoki ternyata malah semakin menunjukkan sifat kekerasan setelah menonton pertandingan olah raga itu dibanding sebelum menonton.Pada konteks katarsis itu, partisipasi individu dalam aktivitas katarsis non agresi ternyata hanya memiliki pengaruh yang bersifat sementara terhadap rangsang emosional dan tendensi berperilaku agresi dalam dirinya. Setelah melewati jangka waktu tertentu, rangsang dan tendensi itu kemudian akan muncul kembali apabila individu itu bertemu atau berpikir tentang orang yang sebelumnya menyebabkan dirinya marah. c.
Pengenalan Terhadap Model Non Agresif
Menurut teori belajar sosial Albert Bandura, pengenalan terhadap model non agresif dapat mengurangi dan mengendalikan perilaku agresi individu. Dalam penelitian Baron pada tahun 1972 (dalam Hanurawan, 2004) dan penelitian Donnerstein dan Donnerstein pada tahun 1976 (dalam Hanurawan, 2004)
21
ditemukan bahwa individu yang mengamati perilaku model non agresif menunjukkan tingkat agresi yang lebih rendah daripada individu yang tidak mengamati perilaku model non agresif. d.
Pelatihan Ketrampilan Sosial
Pelatihan ketrampilan sosial dapat mengurangi timbulnya perilaku agresi. Pelatihan ketrampilan ini dimaksudkan untuk mengurangi frustrasi yang timbul akibat
ketidakmampuan
dalam
mengekspresikan
dan mengomunikasikan
keinginan kepada orang lain, gaya bicara yang kaku, dan kurang sensitif terhadap simbol-simbol emosional orang lain. 2.1.5. Agresifitas pada Remaja A. Pengertian Remaja Masa remaja merupakan salah satu tahapan dalam perkembanganindividu, seperti halnya masa-masa lain dalam proses perkembangan,masa remaja memiliki ciri-ciri khas yang menandai masa tersebutsebagai masa remaja.Hurlock (2006) mengemukakan bahwa masa remaja adalah masatransisi dari masa anak-anak ke masa dewasa. Masa ini akan ditandaidengan perubahan-perubahan baik fisik, seksual, emosional, religius,moral, sosial maupun intelektualnya.Senada dengan pandangan di atas, Derajat mengatakanbahwa masa remaja berlangsung dari usia 12 sampai 21 tahun.
22
B. Pengetian Agresifitas Remaja Menurut Berkowitz (dalam Dewi Novitasari, 2009) ada beberapa faktor yang seringberpengaruh terhadap agresifitas remaja, yaitu: 1). Kurangnya kasihsayang dari ibu dan bapak, 2). Disipilin orang tua yang keras pada masapertumbuhan, 3). Faktor keturunan, 4). Besarnya stres dalam kehidupandan sejauhmana mereka gagal memenuhi keinginan pribadi danekonomi, 5). Sikap dan
nilai-nilai
tentang
agresi
yang
menonjol
dalamkelompok
masyarakatnya.Kecenderungan remaja berprilaku agresif tidak terlepas juga darifaktor lingkungan dan keluarga, di mana anak atau remaja selaluberinteraksi. Suatu yang ada terjadi di dalam keluarga atau turut mempengaruhi cara berpikir dan tingkah laku remaja. Bandura (dalam Dewi Novitasari, 2009)menyatakan bahwa dalam masyarakat modern ada tiga sumber tingkahlaku agresif, yaitu: 1). Pengaruh keluarga, 2). Pengaruh subkulturmenjadi sumber agresifitasnya adalah komunikasi atau kontak langsung yang berulang terjadi antara semua anggota masyarakat di mana anak tinggal, 3). Modeling yang bersifat simbolis. Di katakan modeling yangbersifat simbolis karena sumber tingkah laku agresif didapat secara tidaklangsung melalui mass madia, misalnya surat kabar, majalah dan televisi.Kuatnya kontak dan interaksi langsung dengan lingkungan secaraberulang-ulang, hal ini akan mempengaruhi terhadap tanggapan danperilaku seseorang remaja. Seperti yang dikemukakan oleh Bandurabahwa tanggapan agresif ditanggapi dengan cara belajar melaluipengataman (modeling) terhadap agresi orang lain dan diangkat sebagaiperilaku sendiri. Oleh sebab itu jelas bahwa tingkah laku agresif akandipengaruhi oleh lingkungan sosial terutama
23
keluarga yang merupakanlingkungan sosial remaja yang paling dekat. Hal ini dapat dimengertikarena sejak kecil sebagain besar waktunya dan kehidupannya beradadalam lingkungan keluarga dan keluarga merupakan tempat pertamabagi seorang melakukan interaksi sosial.
2.2.
Definisi Tawuran
Tawuran menurut Mindarti dalam (bow 2008), adalah istilah yang sering digunakan
masyarakat Indonesia,
khususnya
di
kota-kota
besar
sebagai
perkelahian atau tindak kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok atau suatu rumpun masyarakat. Sebab tawuran ada beragam, mulai dari hal kecil sampai halhal serius yang menjurus pada tindakan perkelahian antar pelajar. Hal ini merupakan suatu penyimpangan sosial. Tawuran ini serigkali menjadi ajang pembuktian bagi para pelajar untuk menunjukkan kekuatan mereka untuk mempertahankan daerah teritorial yang mereka miliki. Adapun hal yang menyebabkan atau menjadi latar belakang dari tawuran inipun beraneka ragam. Sebagaimana kita saksikan di media cetak maupun elektronik, akhir-akhir ini semakin banyak terjadi kasus perkelahian pelajar di sebagian kota besar di Indonesia. Perkelahian pelajar yang dikenal dengan Tawuran Pelajar pada masa sekarang ini mungkin di sebagian masyarakat tertentu bukanlah merupakan suatu pemandangan yang aneh. Tetapi bagi masyarakat berpendidikan khususnya dan juga orang tua yang terkait langsung dalam pelaksanaan pendidikan di lapangan
24
setidaknya akan ikut mencemaskan dalam mencermati fenomena-fenomena tawuran pelajar yang cukup meresahkan tersebut.
2.2.1. Penyebab Remaja Terlibat tawuran Pelajar
Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antarakecenderungan di dalamn diri individu sering disebut keperibadian, walau tidak selalu tepat dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal tawuran pelajar, (Raymond Tambunan, 2008), mengemukakan terdapat sedikitnya
faktor
psikologis mengapa seseorang remaja terlibat tawuran.
1. Faktor internal. Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya ke anekaragaman pandangan budaya, tingkay ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang, tapi pada remaja yang terlibat perkelahian mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa,cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang atau pihak lain pada setiap nasalahnya dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi di temukan bahwa mereka mengalami konflik batin,memiliki emosi yang labil dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan.
25
2. Faktor keluarga. Keluarga adalah lembaga pertama dan utama dalam melaksanakan proses sosialisasi pribadi anak. Di tengah keluarga, anak belajar makna cinta, kasih, simpati, loyalitas dan pendidikan. Keluarga memberikan pengaruh pada pembentukan watak, kepribadian dan perkembangan anak. Baik dan buruknya struktur dan kondisi keluarga memberikan dampak baik dan buruk perkembangan jiwa dan jasmani anak. Adapun faktor keluarga menurut (Kartini Kartono, 2005).
1. Rumah tangga berantakan. Bila rumah tangga yang terus-menerus dipenuhi konflik maka akhirnya akan mengalami perceraian dan mulai menimbulkan hal buruk dalam anggota keluarga teruma pada anak. 2. Perlindungan lebih dari orang tua. Bila orang tua terlalu banyak melindungi dan memanjakan ank, serta menghindarkan mereka dari berbagai kesulitan atau ujian hidup yang kecil, anak-anak pasti akan menjadi rapuh dan tidak akan pernah sanggup belajar mandiri. 3. Penolakan orang tua. Pasangan suami dan istri yang tidak pernah melaksanakan tanggung jawab sebagai ayah dan ibu dari anak-anaknya yang sedang mengalami masalah. Mereka tidak membantunya hanya dianggap sebagai beban, sebagai hambatan dalam meniti karir mereka, maka anak akan mengalami frustasi dan mengalami hal-hal yang negatif. 4. Pengaruh buruk dari orang tua. Tingkah laku criminal dan tindakan asusila dari pihak orang tua dapat membetrikan pengaruh impulsif pada anak.
26
3. Faktor sekolah. Sekolah pertama-tama bukan untuk dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi pintar, tetapi sekolah terlebih dahulu harus di nilai dari kualitas pengajarannya. Menurut Dadang Hawari (dalam Dewi Novitasari, 2009), bahwa kondisi sekolah yang tidak baik dapat mengganggu proses belajar-mengajar pada anak didik, yang menyebabkan anak didik dapat berprilaku menyimpang. 4. Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang seharihari remaja alami juga membawa dampak terhadap munculnya perkalhian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh atau lingkungan yang berprilaku buruk, begitu pula lingkungan kota yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukund untuk munculnya perilaku agresi.
2.2.2. Dampak Tawuran Pelajar
Dampak tawuran pelajar meliputi dampak psikologis dan dampak dalam masyarakat.Dampak psikologis meliputi frustrasi dan stres.Frustrasiadalah suatu keadaan dalam diri individu yang disebabkan tidak tercapainya kepuasan atau suatu tujuan karena adanya halangan atau rintangan untuk mencapai kepuasan atau tujuan tersebut (Fauzi, 2004, h. 62). Frustrasi dapat dialami oleh para korban tawuran karena mereka tidak dapat mencapai tujuan yang mereka inginkan yang disebabkan karena rasa takut akibat aksi tawuran.Stres dirumuskan sebagai setiap tekanan,
ketegangan
yang
mempengaruhi
seseorang
dalam
kehidupan,
27
pengaruhnya bisa bersifat wajar ataupun tidak, tergantung dari reaksinya terhadap ketegangan tersebut” (Gunarsa & Gunarsa, 2004, h. 263). Stres yang terlalu berat dapat mengganggu kondisi mental pelaku tawuran sehingga pelaku tawuran tidak mampu menjalani aktifitasnya seperti biasa.
Dampak dalam masyarakat. Dampak dalam masyarakat menyebabkan merusak identitas bangsa, membahayakan keselamatan diri, merusak citra keluarga dan hubungan antar anggota keluarga, serta merusak fasilitas umum.Merusak identitas bangsa. Tawuran pelajar yang sekarang ini sering terjadi dapat berdampak buruk bagi identitas bangsa Indonesia di mata negara lain. Hal ini membuat bangsa lain melihat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang tidak bisa menyelesaikan suatu masalah dengan cara damai.Membahayakan keselamatan diri. Aksi tawuran tidak akan lengkap jika tidak ada senjata yang digunakan untuk melawan musuhnya. Senjata yang dibawa umumnya senjata tajam yang dapat membahayakan diri sendiri dan bahkan dapat membahayakan orang lain.Merusak citra keluarga dan hubungan antar anggota keluarga. Tidak hanya identitas bangsa yang menjadi buruk, citra keluarga pelaku tawuran pun menjadi buruk. Membangun sebuah citra yang baik di mata masyarakat tidaklah mudah. Namun, jika citra baik yang sudah dibangun lalu dirusak oleh kelakuan anak yang buruk dapat menyebabkan kerenggangan hubungan antar anggota keluarga. Selain itu, orang tua pun akan merasa malu dan kecewa atas tindakan anaknya tersebut.Merusak fasilitas umum. Aksi tawuran selalu identik dengan senjata tajam seperti pisau dan batu. Aksi tawuran yang dilakukan di jalan raya dapat merusak fasilitas umum yang diakibatkan karena pelemparan batu-batu oleh para
28
peserta tawuran. Kerusakan fasilitas umum tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga merugikan pemerintah daerah. Hal ini dikarenakan pemerintah daerah harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk memperbaiki fasilitas umum tersebut.
29