BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3.1.
Landasan Teoritis
3.1.1. Teori Keagenan dan Hubungannya Dengan Penganggaran Daerah Teori keagenan menjelaskan hubungan prinsipal dan agen yang salah satunya berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori prinsipal-agen menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Salah satu pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit, dengan pihak lain (agent) dengan harapan bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang dinginkan oleh prinsipal (dalam hal ini terjadi pendelegasian wewenang). (Abdullah & Asmara, 2006:6). Pendelegasian terjadi ketika prinsipal memilih agen untuk bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipal (Lupia & McCubbins, 2000 dalam Kastowo, 2012:4). Penganggaran dapat dilihat sebagai transaksi berupa kontrak mandat yang diberikan agen (eksekutif) dalam kerangka struktur institusional dengan berbagai tingkatan yang berbeda (Ritonga & Alam, 2010:8). Sesuai dengan apa yang dinyatakan pada teori keagenan, bahwa pihak prinsipal dan agen memiliki kepentingan masing – masing, sehingga benturan atas kepentingan ini memiliki potensi terjadi setiap saat. Agen lebih mampu menonjolkan kepentingannya karena mempunyai informasi yang lebih lengkap dibandingkan pihak prinsipal, karena pihak agenlah yang mempunyai kendali operasional di lapangan. Sehingga pihak agen lebih memilih alternatif yang menguntungkan dengan mengelabui dan
Universitas Sumatera Utara
membebankan kerugian pada pihak prinsipal (Fozard,A, 2001 dalam Ritonga & Alam, 2010:9). Dalam hubungan keagenan di pemerintahan antara eksekutif dan legislatif, eksekutif adalah agen dan legislatif adalah prinsipal (Halim, 2002a; Fozzard, 2001; Mae, 1984 dalam Halim & Abdullah, 2006:56). Seperti dikemukakan sebelumnya, diantara prinsipal dan agen senantiasa terjadi masalah keagenan. Oleh karena itu, persoalan yang sering timbul di antara eksekutif dan legislatif juga merupakan persoalan keagenan. Pada pemerintahan, peraturan perundang – undangan secara implisit merupakan bentuk kontrak antara eksekutif, legislatif dan publik (Halim & Abdullah, 2006:58). Peraturan tersebut memuat segala sesuatu tentang semua kewajiban dan hak pihak – pihak yang bersentuhan dengan pemerintahan dalam konteks hubungan keagenan. Menurut Moe (1984) dan Storm (2000) dalam Abdullah & Asmara (2006:7), hubungan keagenan dalam penganggaran publik adalah antara (1) pemilih – legislatur, (2) legislatur – pemerintah, (3) menteri keuangan – pengguna anggaran, (4) perdana menteri – birokrat , dan pejabat – pemberi pelayanan. Dalam konteks pemerintahan daerah di Indonesia, keagenan dapat dibagi dalam 5 kategori, yaitu: (1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) – Kepala Daerah (KDH), (2) KDH – Rakyat, (3) DPRD – Rakyat, (4) KDH – Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), (5) Kepala SKPD – Staf SKPD (www.syukriy.wordpress.com). Dalam pembahasan anggaran, eksekutif dan legislatif membuat kesepakatan – kesepakatan yang dicapai melalui bargaining sebelum anggaran ditetapkan sebagai suatu produk hukum peraturan daerah atau
Universitas Sumatera Utara
perda (Asmara, 2010:157). Hubungan keagenan ini dapat diminimalisir melalui mekanisme transparansi dan akuntabilitas, pengendalian, dan pemeriksaan pengelolaan keuangan daerah. 3.1.2. Proses Penyusunan APBD di Indonesia Penyusunan APBD didasarkan prinsip sebagai berikut: 1. Sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan daerah; 2. Tepat waktu sesuai dengan tahapan dan jadwal yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang – undangan; 3. Transparan, sehingga memudahkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas – luasnya tentang APBD; 4. Melibatkan partisipasi masyarakat; 5. Memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan; 6. Substansi APBD tidak bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan yang lebih tinggi dan peraturan daerah lainnya. Peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 58 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah pada penjelasan bagian umum disebutkan bahwa penyusunan APBD diawali dengan penyampaian kebijakan umum APBD sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah sebagai landasan penyusunan RAPBD kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD. Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati dengan DPRD, pemerintah daerah bersama dengan DPRD membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah. Untuk menjamin konsistensi dan percepatan pembahasan rancangan KUA dan rancangan PPAS, kepala daerah harus menyampaikan rancangan KUA
Universitas Sumatera Utara
dan rancangan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) tersebut kepada DPRD dalam waktu yang bersamaan, yang selanjutnya hasil pembahasan kedua dokumen tersebut disepakati bersama antara kepala daerah dengan DPRD pada waktu yang bersamaan, sehingga keterpaduan substansi KUA dan PPAS dalam proses penyusunan R-APBD akan lebih efektif. Perubahan paradigma baru dalam pengelolaan dan penganggaran daerah merupakan hal yang tak dapat dipisahkan sebagai akibat penerapan otonomi di Indonesia. Penganggaran kinerja (performance budgeting) merupakan konsep dalam penganggaran yang menjelaskan keterkaitan antara pengalokasian sumberdaya dengan pencapaian hasil yang dapat diukur. Berdasarkan KUA-PPAS yang telah disepakati oleh Pemerintah Daerah dan DPRD maka kepala SKPD selaku pengguna anggaran menyusun Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKA-SKPD) untuk selanjutnya disampaikan ke DPRD untuk dibahas pada pembicaraan R-APBD. Hasil pembahasan kemudian disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah sebagai dasar penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang APBD. Pengajuan Ranperda APBD tersebut disertai dengan penjelasan dan dokumen – dokumen pendukung kepada DPRD. 3.1.3. Belanja Pemerintah memiliki kewajiban – kewajiban yang harus dipenuhi untuk kepentingan publik. Kewajiban-kewajiban tersebut adalah sebagai pelayan kebutuhan dan kepentingan publik. Kewajiban-kewajiban tersebut dapat berupa pembangunan bernagai fasilitas publik dan peningkatan kualitas pelayanan terhadap publik. Untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut diperlukan
Universitas Sumatera Utara
pengeluaran-pengeluaran
daerah.
Pengeluaran-pengeluaran
daerah
tersebut
mempunyai kaitan terhadap kewajiban-kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang. Belanja adalah penurunan manfaat ekonomis masa depan atau jasa potensial selama periode pelaporan dalam bentuk arus kas keluar atau konsumsi aktiva atau terjadinya kewajiban yang ditimbulkan, sebagai akibat pengurangan aktiva/ekuitas neto selain dari yang berhubungan dengan distribusi ke entitas ekonomi itu sendiri (Bastian, 2006:151). Belanja daerah didefinisikan sebagai kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih (Erlina & Rasdianto, 2013:120). Klasifikasi belanja pada pemerintahan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) dan Permendagri Nomor 13 tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Permendagri Nomor 59 tahun 2007 dan adanya perubahan kedua dengan Permendagri Nomor 21 tahun 2011 tentang pengelolaan keuangan daerah. Salvatore Schiavo-Campo- dan Daniel Tommasl (1991) dalam Mursyidi (2009) mengungkapkan bahwa klasifikasi belanja sangat penting dalam: 1. Memformulasikan kebijakan dan mengidentifikasi alokasi sumber daya sektor – sektor; 2. Mengidentifikasi tingkatan kegiatan pemerintah melalui penilaian kinerja pemerintah; dan 3. Membangun akuntabilitas atas ketaatan pelaksanaan dengan otorisasi yang diberikan oleh legislatif.
Universitas Sumatera Utara
2.1.3.1. Belanja Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) Peraturan Pemerintah nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) pada pernyataan nomor 2 paragraf 8 menyebutkan bahwa belanja adalah semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah yang mengurangi Saldo Anggaran Labih dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), Pernyataan Nomor 2 paragraf 39, belanja dibagi menjadi 3 (tiga) jenis yaitu: belanja operasi; belanja modal; belanja lain – lain/ tak terduga. Belanja Operasi terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial. Belanja modal terdiri dari belanja aset tetap, belanja aset lainnya, belanja lain – lain/tak terduga. Menurut PP Nomor 71 Tahun 2010 Tentang SAP, Pernyataan Nomor 2 paragraf 36 – 40, belanja diklasifikasikan menjadi 4 (empat) kelompok besar yaitu: belanja operasi, belanja modal, belanja lain – lain/ belanja tak terduga, dan belanja transfer. Belanja Operasi. Belanja operasi adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari – hari pemerintah pusat / daerah yang memberi manfaat jangka pendek. Belanja operasi meliputi: belanja pegawai, belanja barang, bunga, subsidi, hibah, dan bantuan sosial. Belanja Modal. Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap berwujud yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal
Universitas Sumatera Utara
meliputi: belanja modal tanah; belanja modal peralatan dan mesin; belanja modal gedung dan bangunan; belanja modal jalan, irigasi, dan jaringan; belanja modal aset tetap lainnya; belanja aset lainnya (aset tidak berwujud). Belanja Lain – Lain/ Belanja Tak Terduga. Belanja lain – lain atau belanja tidak terduga adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa dan tidak diharapkan berulang, seperti penanggulangan bencana alam, bencana sosial, dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah pusat/daerah. Belanja Transfer. Belanja transfer adalah pengeluaran anggaran dari entitas pelaporan yang lebih tinggi ke entitas pelaporan yang lebih rendah seperti pengeluaran dana perimbangan oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan dana bagi hasil oleh pemerintah provinsi ke kabupaten/kota serta dana bagi hasil dari kabupaten/kota ke desa. 2.1.3.2. Belanja Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Belanja daerah didefinisikan sebagai kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. (Pasal 1 ayat 51 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 tahun 2011 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah, perubahan kedua atas Permendagri Nomor 13 tahun 2006). Menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, pasal 36 – 53, belanja dikelompokkan menjadi:belanja langsung dan belanja tidak langsung.
Universitas Sumatera Utara
Belanja langsung. Belanja langsung adalah belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan program dan kegiatan. Belanja langsung terdiri dari: belanja pegawai; belanja barang dan jasa;belanja modal. Belanja tidak langsung. Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja tidak langsung terdiri dari: belanja pegawai; belanja bunga; belanja subsidi; belanja hibah; belanja bantuan sosial; belanja bagi hasil, bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga. 2.1.3.3. Rasio Alokasi Belanja Bantuan Sosial, Belanja Hibah, dan Belanja Modal Rasio alokasi belanja bantuan sosial, belanja hibah, dan belanja modal kerap menjadi rebutan kepentingan politik antara legislatif dan eksekutif. Ini menjadi alat pencitraan yang ampuh untuk membentuk opini publik yang akan membawa pengaruh positif terhadap pihak yang mampu memanfaatkannya. Apalagi untuk seorang kepala daerah yang akan kembali mencalonkan diri dalam pemilukada, maka kepala daerah ini akan berusaha menyesuaikan rasio alokasi belanja untuk kepentingan politiknya. Rasio alokasi belanja yang paling ampuh digunakan yaitu rasio alokasi belanja bantuan sosial, belanja hibah dan belanja modal karena belanja tersebut bersinggungan dengan masyarakat luas. Kepala daerah cenderung memperbesar rasio alokasi untuk ketiga jenis belanja diatas. Pada penelitian anggaran 2007-2008 di 41 kota/kabupaten, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menemukan bahwa anggaran bantuan sosial
Universitas Sumatera Utara
disinyalir
menjadi
alat
mempengaruhi
pemilih
oleh
calon
Incumbent
(http://www.seknasfitra.org).
2.1.3.3.1. Rasio Alokasi Belanja Bantuan Sosial Belanja bantuan sosial adalah pengeluaran anggaran untuk pemberian bantuan yang bersifat sosial kemasyarakatan dalam bentuk uang dan/atau barang kepada kelompok/anggota masyarakat (Erlina & Rasdianto, 2013:123). Menurut Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 pasal 1 ayat 15 dan 16 , bantuan sosial adalah pemberian bantuan berupa uang/barang dari pemerintah daerah kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif yang bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial. Resiko sosial adalah kejadian atau peristiwa yang dapat menimbulkan potensi terjadinya kerentanan sosial yang ditanggung oleh individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat sebagai dampak krisis sosial, krisis ekonomi, krisis politik, fenomena alam dan bencana alam yang jika tidak diberikan belanja bantuan sosial akan semakin terpuruk dan tidak dapat hidup dalam kondisi wajar. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia Nomor 81/PMK.05/2012 pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa belanja bantuan sosial adalah pengeluaran berupa transfer uang, barang atau jasa yang diberikan oleh Pemerintah Pusat/Daerah kepada masyarakat guna melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya resiko sosial, meningkatkan kemampuan ekonomi dan/atau kesejahteraan masyarakat. Secara teknis, belanja bantuan sosial dianggarkan dengan menggunakan mekanisme yang berbeda dengan belanja lain. Dalam penganggaran belanja
Universitas Sumatera Utara
bantuan sosial terlebih dahulu harus jelas siapa yang akan menerima belanja bantuan sosial, mengajukan proposal (kecuali untuk yang bersifat “tidak terencana”), ada verifikasi dokumen dan lapangan, dan penyusunan RKASKPD/RKA-Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD). Oleh karena itu, inventarisasi data orang miskin sangat penting, dan sebisa mungkin merupakan data yang valid dan factual (http://www.syukriy.wordpress.com). Pemerintah
daerah
dapat
memberikan
bantuan
sosial
kepada
anggota/kelompok masyarakat sesuai dengan kemampuan keuangan daerah. Anggota/kelompok masyarakat tersebut meliputi: (a) individu, keluarga, dan/atau masyarakat yang mengalami keadaan yang tidak stabil akibat dari krisis sosial, ekonomi, politik, bencana, atau fenomena alam agar dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum; (b) lembaga non pemerintahan bidang pendidikan, keagamaan, dan bidang lain yang berperan untuk melindungi individu, kelompok, dan/atau masyarakat dari kemungkinan terjadinya resiko sosial. 2.1.3.3.2. Rasio Alokasi Belanja Hibah Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan APBN pasal 1 ayat 9 mendefinisikan pendapatan hibah sebagai penerimaan negara dalam bentuk devisa, devisa yang dirupiahkan, rupiah, barang, jasa dan/atau surat berharga yang diperoleh dari pemberi hibah yang tidak perlu dibayar kembali, yang berasal dari dalam negeri atau luar negeri, sedangkan belanja hibah adalah pengeluaran pemerintah berupa pemberian yang tidak diterima kembali, dalam bentuk uang, barang, jasa dan/atau surat berharga, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya (Pasal 1 ayat 10). Selanjutnya dari sisi pendapatan hibah disebutkan lebih lanjut bahwa Menteri Keuangan yang
Universitas Sumatera Utara
bertanggung jawab atas pelaksanaan dan penatausahaan pendapatan hibah, serta harus dikelola dalam APBN, dapat disetorkan ke rekening Kas Negara atau langsung diterima oleh K/L (Pasal 56). Pasal 1 ayat 10 menyebutkan belanja hibah adalah setiap pengeluaran pemerintah berupa pemberian yang tidak diterima kembali, dalam bentuk uang, barang, jasa, dan/atau surat berharga, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya. Sebagaimana pendapatan hibah, belanja hibah juga merupakan kewenangan Menteri Keuangan untuk mengelola belanja hibah. Belanja hibah diberikan secara selektif dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah, rasionalitas dan ditetapkan dengan keputusan kepala daerah (Erlina & Rasdianto, 2013:122). 2.1.3.3.3. Rasio Alokasi Belanja Modal Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan APBN Pasal 93 menyebutkan bahwa belanja modal merupakan pengeluaran anggaran untuk memperoleh atau menambah nilai aset tetap dan/atau aset lainnya (memberi manfaat lebih dari satu tahun, memenuhi batasan minimal kapitalisasi, dan dipergunakan untuk kepentingan umum). Modul bagan akun standar pada program percepatan akuntabilitas keuangan pemerintah tahun 2012 kementerian keuangan republik Indonesia disebutkan bahwa belanja modal adalah pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan/atau aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah. Menurut Halim (2002:73), belanja modal merupakan pengeluaran pamerintah daerah yang
Universitas Sumatera Utara
manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset dan kekayaan daerah. 3.1.4. Daerah KDH Incumbent dan Non-Incumbent Incumbent adalah Orang yang sedang memegang jabatan (bupati, walikota, gubernur, presiden) yang ikut pemilihan agar dipilih kembali pada jabatan itu (www.pemiluindonesia.com), sedangkan Non-Incumbent adalah orang yang tidak sedang memegang jabatan (bupati, walikota, gubernur, presiden) ikut serta sebagai calon yang dipilih untuk menduduki jabatan tersebut di atas dalam suatu pemilihan umum. Daerah KDH Incumbent adalah kabupaten/ kota dimana kepala daerah (KDH) kembali mencalonkan diri dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada), sedangan daerah KDH Non-Incumbent adalah kabupaten/ kota dimana KDH tidak bersedia atau tidak diperbolehkan atau tidak memenuhi syarat menjadi calon peserta dalam pemilukada. 3.2.
Review Penelitian Terdahulu Review penelitian terdahulu (Theoretical Mapping) menjabarkan daftar
peneliti terdahulu dengan topik yang relevan dengan topik yang akan kita gunakan dalam penelitian ini (Lubis, 2012). Terkait dengan bidang penelitian yang akan dilakukan, peneliti bertitik tolak dari beberapa penelitian terdahulu khususnya penelitian yang berkenaan dengan Rasio Alokasi Belanja untuk daerah KDH Incumbent dan Non-Incumbent di Kabupaten/Kota di Indonesia, sperti yang diuraikan dibawah ini.
Universitas Sumatera Utara
1. Ritonga dan Alam (2010) Penelitian ini berjudul, “Apakah Incumbent memanfaatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk mencalonkan kembali dalam pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada)”. Variabel penelitiannya yaitu Independen terdiri dari Incumbent dan non-Incumbent, Dependen terdiri dari proporsi belanja hibah, proporsi belanja bantuan sosial. Teknik Analisis menggunakan Pengujian Normalitas menggunakan One Sample KormogorovSmirnov Test dan Shapiro-Wilk, Pengujian Non Parametrik Wilcoxon Signed Ranks Test, Pengujian Parametrik uji beda dua sampel independen (Independent Sample t-test), Pengujian Non Parametrik Mann Whitney U-Test. Indikator penelitian yaitu proporsi belanja hibah dan bantuan sosial pada daerah Incumbent dan Non-Incumbent. Hasil penelitiannya adalah Proporsi belanja hibah daerah pemilukada Incumbent lebih besar daripada daerah pemilukada non-Incumbent, Proporsi belanja bantuan sosial daerah pemilukada Incumbent lebih besar daripada daerah pemilukada non-Incumbent, Proporsi belanja hibah pada saat pemilukada untuk daerah Incumbent lebih besar daripada sebelum pemilukada. 2. Indrati (2011) Judul Penelitian, “Analisis Rasio Alokasi Belanja antara Daerah Incumbent dan Daerah
Non-Incumbent
Sebelum
dan
Sesaat
Pemilukada”.
Variabel
penelitiannya terdiri dari variabel independen yaitu Incumbent dan NonIncumbent, variabel dependennya adalah belanja hibah, alokasi belanja bantuan keuangan. Analisa data menggunakan statistik deskriptif. Indikator penelitian yaitu rasio alokasi belanja di derah Incumbent dan Non-Incumbent. Hasil
Universitas Sumatera Utara
penelitiannya adalah: Alokasi belanja hibah dan bantuan keuangan kabupaten/kota yang Incumbent-nya bermaksud mengikuti kembali pemilukada lebih besar daripada kabupaten/kota yang Incumbent-nya tidak bermaksud untuk mengikuti kembali pemilukada. 3. Syafrizal dan Fachruzzaman (2013) Judul penelitian yaitu, “Pengaruh Politisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) di Daerah Incumbent di Pulau Jawa dan Daerah Incumbent Luar Pulau Jawa”. Variabel penelitiannya yaitu Incumbent (variabel independen), sedangkan variabel dependennya adalah Rasio Alokasi Belanja Hibah, Rasio Alokasi Belanja Bantuan Sosial. Teknik analisis yang digunakan adalah paired sample t-test, independent sample t-test, dan Mann Whitney Utest. Indikator penelitian ini adalah rasio APBD daerah Incumbent di Pulau Jawa dan diluar Pulau Jawa. Hasil penelitiannya adalah terjadi perbedaan rasio alokasi belanja hibah dimana belanja hibah Incumbent pulau Jawa pada saat pemilukada lebih besar daripada sebelumnya, Terjadi perbedaan rasio alokasi belanja bantuan sosial dimana belanja bantuan sosial Incumbent pulau Jawa pada saat pemilukada lebih besar daripada sebelumnya. 4. Yustistianto (2011) Judul penelitiannya adalah: “Pemanfaatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Dalam Pemenangan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Oleh Incumbent”. Variabel penelitiannya adalah Incumbent sebagai variabel independen, dan variabel dependennya adalah Belanja Bantuan Sosial, Belanja Hibah, Belanja Modal, Belanja Pegawai. Teknik analisis yang digunakan
Universitas Sumatera Utara
adalah paried samples t-test dan wilcoxon. Indikatornya adalah pemanfaatan belanja oleh Incumbent. Hasil penelitiannya yaitu: Belanja bantuan sosial pada saat Pemilukada yang dimenangkan Incumbent lebih kecil dibandingkan dengan empat tahun, tiga tahun, dan satu tahun sebelum Pemilukada, Belanja Hibah pada saat penyelenggaraan Pemilukada yang dimenangkan Incumbent lebih besar dibandingkan dengan empat tahun, tiga tahun, dua tahun dan satu tahun
sebelum
dilakukan
Pemilukada,
Belanja
Modal
pada
waktu
penyelenggaraan Pemilukada yang dimenangkan Incumbent lebih kecil dibandingkan dengan empat tahun, tiga tahun, dan satu tahun sebelum dilakukan Pemilukada kecuali pada dua tahun sebelum pemilukada belanja modal lebih besar, Belanja Pegawai pada penyelenggaraan Pemilukada yang dimenangkan Incumbent lebih besar dibandingkan dengan empat tahun, tiga tahun, dua tahun, dan satu tahun sebelum dilakukan Pemilukada. 5. Masduki, T., dkk (2009) Judul
penelitian
yaitu:
“Governing
Favours:
An
Investigation
Of
Accountability Mechanisms in Local Government Budget Allocation in Indonesia”. Variabel penelitian terdiri dari
Pemilukada sebagai variabel
independen dan variabel dependen terdiri dari: Alokasi Belanja Hibah, Alokasi Belanja Bantuan Sosial. Teknik analisis yang digunakan adalah: teknik investigasi. Indikator penelitian yaitu alokasi belanja hibah dan bantuan sosial pada saat pemilukada. Hasil Penelitian yaitu: Ada peningkatan alokasi belanja hibah dan bantuan sosial dalam APBD pada saat Pemilukada 2008 di Kabupaten Tabanan (Bali), Kota Bau - Bau (Sulawesi Tenggara), dan Kota Bandung (Jawa Barat).
Universitas Sumatera Utara
Ikhtisar Review Penelitian Terdahulu dimuka tercantum pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Ikhtisar Review Penelitian Terdahulu
No
1
Nama Peneliti
Ritonga, dan Alam (2010)
Judul Penelitian
Apakah Incumbent memanfaatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk mencalonkan kembali dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada)
Variabel Penelitian
Independen: Incumbent, Non-Incumbent
Dependen: Proporsi Belanja Hibah, Proporsi Belanja Bantuan Sosial,
Teknik Analisis - Pengujian Normalitas menggunakan One Sample KormogorovSmirnov Test dan ShapiroWilk. -Pengujian Non Parametrik Wilcoxon Signed Ranks Test. -Pengujian Parametrik uji beda dua sampel independen (Independent Sample t-test). -Pengujian Non Parametrik Mann Whitney U-Test
Analisis Rasio Alokasi Belanja antara Daerah Incumbent dan 2
Indrati (2011)
Daerah NonIncumbent Sebelum dan Sesaat
Independen: Incumbent, Non-Incumbent Dependen: Belanja Hibah, Alokasi Belanja Bantuan Keuangan.
Pemilukada
3
Syafrizal, dan Fachruzzam an (2013)
Pengaruh Politisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) di Daerah Incumbent di Pulau Jawa dan Daerah Incumbent Luar Pulau Jawa.
Independen: Incumbent. Dependen: Rasio Alokasi Belanja Hibah, Rasio Alokasi Belanja Bantuan Sosial.
Analisa data menggunakan statistik deskriptif.
Hasil Penelitian - Proporsi belanja hibah daerah pemilukada Incumbent lebih besar daripada daerah pemilukada nonIncumbent - Proporsi belanja bantuan sosial daerah pemilukada Incumbent lebih besar daripada daerah pemilukada nonIncumbent
- Proporsi belanja hibah pada saat pemilukada untuk daerah Incumbent lebih besar daripada sebelum pemilukada
Alokasi belanja hibah dan bantuan keuangan kabupaten/kota yang Incumbent-nya bermaksud mengikuti kembali pemilukada lebih besar daripada kabupaten/kota yang Incumbent-nya tidak bermaksud untuk mengikuti kembali pemilukada
- Terjadi perbedaan rasio alokasi belanja hibah dimana belanja hibah Incumbent pulau Jawa pada saat pemilukada paired sample tlebih besar daripada test, sebelumnya independent - Terjadi perbedaan rasio sample t-test, alokasi belanja bantuan dan Mann sosial dimana belanja Whitney U-test bantuan sosial Incumbent pulau Jawa pada saat pemilukada lebih besar daripada sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara
Lanjutan Tabel.2.1 No
5
Nama Peneliti
Judul Penelitian
Masduki, T., dkk (2009)
Governing Favours: An Investigation Of Accountability Mechanisms in Local Government Budget Allocation in Indonesia
Variabel Penelitian
Teknik Analisis
Independen: Pemilukada Dependen: Alokasi Belanja Hibah, Alokasi Belanja Bantuan Sosial
Teknik investigasi
Hasil Penelitian Ada peningkatan alokasi belanja hibah dan bantuan sosial dalam APBD pada saat pemilukada 2008 di kabupaten Tabanan (Bali), Kota Bau - Bau (Sulawesi Tenggara), dan Kota Bandung (Jawa Barat)
Universitas Sumatera Utara