BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1
Pengertian Pembiayaan Dua fungsi utama bank syariah adalah menghimpun dana dan menyalurkan
dana. Penyaluran dana yang dilakukan bank syariah adalah pemberian pembiayaan kepada debitur yang membutuhkan, baik untuk modal usaha maupun untuk konsumsi. Pengertian pembiayaan menurut Arifin (2003:187) adalah: “Pembiayaan atau financing adalah pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun orang lain.” Menurut Kasmir (2008:102) pembiayaan adalah: “Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.” Berdasarkan kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembiayaan adalah pendanaan atau penyediaan uang dimana didasari oleh kesepakatan atau persetujuan antara bank dan pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan oleh pihak lain yang memerlukan dana dengan jangka waktu yang telah disepakati.
2.1.2
Pembiayaan Bank Syariah Pembiayaan pada bank syariah akan diwujudkan dalam bentuk aktiva
produktif dan aktiva tidak produktif, namun dalam praktiknya pembiayaan lebih banyak diwujudkan dalam bentuk aktiva produktif.
8
9
Pengertian aktiva produktif menurut Mahmoeddin (2010:18) adalah: “Semua penanaman dana dalam rupiah dan valuta asing yang dimaksudkan untuk memperoleh penghasilan sesuai dengan fungsinya.” Menurut Muhammad (2005:304) pengertian pembiayaan adalah: “Pendanaan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan, seperti bank syariah dan dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan kepada nasabah.” Berdasarkan UU No. 21 Tahun 2008 pasal 1 ayat 25 Tentang Perbankan Syariah yang dimaksud dengan pembiayaan adalah: “Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya biltamlik; c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’; d. transaksi pinjam-meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank syariah dan atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.” Berdasarkan kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembiayaan bank syariah adalah semua pendanaan yang dilakukan oleh bank syariah kepada nasabahnya untuk mendukung investasi dan memperoleh penghasilan sesuai dengan fungsinya.
10
2.1.3
Jenis-jenis Pembiayaan Bank Syariah Sesuai dengan akad pengembangan produk, maka bank syariah memiliki
banyak jenis
pembiayaan. Jenis-jenis pembiayaan
menurut Rivai
(2010:686)
pada dasarnya dapat dikelompokkan menurut beberapa aspek, di antaranya: 1. Pembiayaan Menurut Tujuan Pembiayaan menurut tujuannya dibedakan menjadi: a. Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan yang dimaksudkan untuk mendapatkan modal dalam rangka pengembangan usaha. b. Pembiayaan investasi, yaitu pembiayaan yang dimaksudkan untuk melakukan investasi atau pengadaan barang konsumtif. 2. Pembiayaan Menurut Jangka Waktu Pembiayaan menurut jangka waktunya dibedakan menjadi: a. Pembiayaan jangka waktu pendek, pembiayaan yang dilakukan dengan waktu satu bulan sampai dengan satu tahun. b. Pembiayaan jangka waktu menengah, pembiayaan yang dilakukan dengan waktu satu tahun sampai dengan lima tahun. c. Pembiayaan jangka waktu panjang, pembiayaan yang dilakukan dengan waktu lebih dari lima tahun. Jenis pembiayaan pada bank syariah akan diwujudkan dalam bentuk aktiva produktif dan aktiva tidak produktif, yaitu: 1. Jenis aktiva produktif pada bank syariah, dialokasikan dalam bentuk pembiayaan sebagai berikut: a. Pembiayaan dengan Prinsip Bagi Hasil 1. Pembiayaan Mudharabah Pembiayaan Mudharabah adalah perjanjian antara penanam dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
11
2. Pembiayaan Musyarakah Pembiayaan Musyarakah adalah perjanjian di antara para pemilik dana atau modal untuk mencampurkan dana atau modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan di antara pemilik dana atau modal berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. b. Pembiayaan dengan Prinsip Jual Beli 1. Pembiayaan Murabahah Pembiayaan Murabahah adalah perjanjian jual-beli antara bank dan nasabah di mana bank syariah membeli barang yang diperlukan oleh nasabah dan kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin atau keuntungan yang disepakati antara bank syariah dengan nasabah. 2. Pembiayaan Salam Pembiayaan Salam adalah perjanjian jual-beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran harga terlebih dulu. 3. Pembiayaan Istishna Pembiayaan Istishna adalah perjanjian jual-beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan dan penjual. c. Pembiayaan dengan Prinsip Sewa 1. Pembiayaan Ijarah Pembiayaan Ijarah adalah perjanjian sewa-menyewa suatu barang antara bank dengan penyewa dalam waktu tertentu, setelah masa sewa berakhir maka barang sewaan dikembalikan kepada pihak bank. Ijarah sama dengan prinsip jual-beli hanya saja yang menjadi objek adalah dalam bentuk manfaat.
12
2. Pembiayaan Ijarah Muntahiya Biltamlik/Wa Iqtina Pembiayaan Ijarah Muntahiya Biltamlik/Wa Iqtina adalah perjanjian sewa-menyewa
suatu
barang
yang
diakhiri
dengan
perpindahan
kepemilikan barang dari pihak yang memberikan sewa (bank) kepada pihak penyewa. d. Surat Berharga Islam Surat berharga Islam adalah surat bukti berinvestasi berdasarkan prinsip Islam yang lazim diperdagangkan di pasar uang dan/atau pasar modal, antara lain wesel, obligasi Islam, sertifikat dana Islam, dan surat berharga lainnya berdasarkan prinsip Islam. e. Penempatan Penempatan adalah penanaman dana bank syariah pada bank syariah lainnya antara lain dalam bentuk giro, dan/atau tabungan wadiah, dan bentuk-bentuk penempatan lainnya berdasarkan prinsip Islam. f. Penyertaan Modal Penyertaan modal adalah penanaman dana bank syariah dalam bentuk saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan syariah, termasuk penanaman dana dalam bentuk surat utang konversi dengan opsi saham atau jenis transaksi tertentu berdasarkan prinsip Islam yang berakibat bank syariah memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan syariah. g. Penyertaan Modal Sementara Penyertaan modal sementara adalah penyertaan modal bank syariah dalam perusahaan untuk mengatasi kegagalan pembiayaan dan/atau piutang sebagaimana dimaksud dalam ketentuan bank Indonesia yang berlaku, termasuk dalam surat utang konversi dengan opsi saham atau jenis transaksi tertentu yang berakibat bank syariah memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan nasabah.
13
h. Transaksi Rekening Administratif Transaksi berdasarkan
rekening prinsip
administratif Islam
adalah
yang
komitmen
terdiri
atas
dan
kontinjensi
bank
garansi,
akseptasi/endosemen, Irrevocable Letter of Credit (L/C) yang masih berjalan, dan garansi lain berdasarkan prinsip Islam. i. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) SWBI adalah sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip wadiah. 2. Jenis aktiva tidak produktif a. Pinjaman Qardh Pinjaman Qardh atau talangan adalah penyediaan dana dan/atau tagihan antara bank syariah dengan pihak peminjam yang mewajibkan pihak peminjam melakukan pembayaran sekaligus ataupun secara berangsur.
2.2 Jual Beli (Murabahah) Kata Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (ُ )اﻟ ِﺮ ْﺑﺢyang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan), sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah jual-beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui. Hakikatnya adalah menjual barang dengan harga (modal) yang diketahui kedua belah transaktor (penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang diketahui keduanya. Disebutkan dalam ketentuan pasal 3 ayat 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2007 Tentang Peraturan Bank bahwa yang dimaksud dengan Murabahah adalah: “Transaksi jual-beli suatu barang sebesar harga perolehan barang ditambah dengan margin yang disepakati oleh para pihak, di mana penjual menginformasikan terlebih dahulu harga perolehan kepada pembeli.”
14
Menurut Arifin (2010:216) Pembiayaan Murabahah adalah: “Transaksi jual-beli antara bank dengan nasabah, di mana bank mendapat sejumlah keuntungan (bank menjadi penjual dan nasabah menjadi pembeli). Bank membeli barang yang diperlukan nasabah dan menjual kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati.” Menurut Heri Sudarsono (2008:47) Pembiayaan Murabahah adalah: “Jual-beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati antara pihak bank dan nasabah.” Sedangkan menurut Nurhayati (2013:174) dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (No.102, par 11), pembiayaan Murabahah adalah: “Transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.” Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembiayaan Murabahah merupakan bentuk pembiayaan berprinsip jual-beli yang pada dasarnya merupakan penjualan dengan keuntungan (margin) tertentu yang ditambahkan di atas biaya perolehan, penjual memberitahukan kepada pembeli biaya perolehan dan keuntungan yang diinginkannya.
2.2.1
Landasan Hukum Pembiayaan Murabahah Landasan hukum Islam dari jual-beli berdasarkan Murabahah menurut
Rachmadi Usman (2009:178) dapat ditemukan dalam Al-Quran, Hadits, dan ‘Ijma, sebagai berikut: a. QS. Al-Baqarah (2):275 “Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” b. QS. An-Nisa (4):29
15
“Hai orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antaramu.” c. Hadits Riwayat Al-Baihaqi dan Ibnu Majah Dari Abu Said Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya jual-beli itu harus dilakukan suka sama suka.” d. Hadits Riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib Nabi bersabda, “Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual-beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jemawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” e. ‘Ijma Mayoritas Ulama Mayoritas ulama tentang kebolehan jual-beli dengan cara Murabahah sebagaimana dinyatakan Ibnu Rusyd dalam “Bidayah al-Mujtahid Juz 2” dan al-Kasani dalam “Bada’I as-Sana’I Juz 5.”
2.2.2
Cakupan Murabahah Terdapat dua jenis pembiayaan Murabahah menurut Nurhayati (2013:177),
yaitu: 1. Murabahah tanpa pesanan Murabahah jenis ini, bank syariah sebagai penjual melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari pembeli. Murabahah dengan pesanan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat pembeli untuk membeli barang yang dipesannya. Bersifat mengikat berarti pembeli harus membeli barang yang dipesannya dan tidak dapat membatalkan pesanannya. 2. Murabahah berdasarkan pesanan Bank syariah baru akan melakukan transaksi Murabahah atau jual-beli apabila ada nasabah yang memesan barang sehingga penyediaan barang akan dilakukan jika ada pesanan. Pengadaan barang sangat bergantung atau terikat langsung
16
dengan pesanan atau pembelian tersebut tidak terikat, nasabah dapat menerima atau membatalkan barang tersebut.
2.2.3
Manfaat Pembiayaan Murabahah Sesuai dengan sifat bisnis (tijarah), pembiayaan Murabahah memiliki
beberapa manfaat dan juga risiko yang harus diantisipasi. Antonio (2009:106) menyatakan bahwa pembiayaan Murabahah memberi banyak manfaat kepada bank syariah. Salah satunya adalah adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah. Selain itu, pembiayaan Murabahah juga sangat sederhana. Hal tersebut memudahkan penanganan administrasinya di bank syariah. Aplikasi pembiayaan Murabahah dapat digambarkan dalam skema pada gambar 2.1 berikut ini: 1.Negoisasi 2.Akad jual-beli Bank
Nasabah 6. Bayar 5.Terima barang & dokumen
Produsen 3.Beli barang
4.Kirim Gambar 2.1
Skema Pembiayaan Murabahah Sumber: Bank dan Lembaga Keuangan Syariah (Sudarsono, 2008:48)
17
2.2.4
Pembiayaan Jual beli (Murabahah) Pembiayaan jual beli yang dimaksud di sini adalah pembiayaan yang
disalurkan oleh bank syariah dengan prinsip murabahah, salam dan istishna’’. Total pembiayaan jual beli diukur dengan logaritma natural dari nilai pembiayaan jual beli pada akhir tiap tahun. Penggunaan logaritma natural bertujuan agar hasilnya tidak menimbulkan bias, mengingat besarnya nilai pembiayaan jual beli antar bank syariah yang berbeda-beda. Selain itu, dimaksudkan agar data total pembiayaan jual beli dapat terdistribusi normal dan memiliki standar eror koefisien regresi minimal, menurut Mulianti, 2010:60. Total Pembiayaan jual belii,t = Ln (Pembiayaan Prinsip Murabahahi,t+ Pembiayaan Prinsip Salami,t + Pembiayaan Prinsip Istishna’i,t)
2.3 Bagi Hasil (Mudharabah) Mudharabah berasal dari kata adhdharbu fil aedhi, yaitu berpergian untuk urusan dagang. Firman Allah dalam surat 73 ayat 20. “mereka bepergian di muka bumi mencari karunia Allah”. Disebut juga qiradh yang berasal dari kata al-qardhu yang berasal al-qath’u (potongan) karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungan. Menurut Sudarsono (2008:76) dalam buku Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Deskripsi dan Ilustrasi. Secara teknis mudharabah adalah bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (shahibul maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi seratus persen dari modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola. Transaksi jenis ini tidak mewajibkan adanya wakil dari shahibul maal dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi akibat kelalaian dan tujuan penggunaan modal untuk usaha halal. Sedangkan, shahibul maal diharapkan untuk
18
mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba yang optimal. (www.wikipedia.org) Pengertian mudharabah menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 59 paragraph 6) tentang mudharabah adalah:
Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara shahibul maal (pemilik dana) dan mudharib (pengelola dana) dengan nisbah bagi hasil menurut kesepatakan di muka. Landasan syariah dari mudharabah yaitu QS.Al-Muzzammil (20), bahwa Allah SWT berfirman: “...dan dari orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT...”. dalam Al-Hadist disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: dari Shalih bin Shuhaib r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda “Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual”.
2.3.1 Karakteristik Mudharabah Mudharabah memiliki beberapa karakteristik, menurut Wiroso (2005:38) dalam buku Penghimpunana Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah, karakteristik mudharabah sebagai berikut: 1.
Kedua pihak yang mengadakan kontrak antara pemilik dana dan mudharib akan menentukan kapasitas baik sebagai nasabah maupun pemilik. Di dalam akad tercantum pernyataan yang harus dilakukan kedua belah pihak yang mengadakan kontrak dengan ketentuan sebagai berikut: a.
Di dalam perjanjian tersebut harus dinyatakan secara tersurat maupun tersirat tentang tujuan kontrak.
b.
Penawaran dan penerimaan harus disepakati kedua belah pihak di dalam kontrak tersebut.
19
c.
Maksud penawaran dan penerimaan merupakan suatu kesatuan informasi yang sama penjelasannya.
2.
Modal adalah sejumlah uang pemilik dana diberikan kepada mudharib untuk diinvestasikan (dikelola) dalam kegiatan usaha mudharabah. Adapun syaratsyarat yang tercakup dalam modal adalah: a.
Jumlah modal harus diketahui secara pasti termasuk jenis mata uangnya.
b.
Modal harus dalam bentuk tunai, seandainya dalam bentuk asset menurut ulama fiqih diperbolehkan asalkan berbentuk barang niaga dan mempunyai nilai atas historisnya pada saat mengadakan kontrak
c.
Modal harus tersedia dalam bentuk tunai tidak dalam bentuk piutang.
d.
Modal mudharabah langsung dibayar kepada mudharib, pengadaan kontrak dapat dilaksanakan untuk keseluruhan modal dan pembayarannya kepada mudharib dapat dibuat dalam beberapa angsuran.
3.
Keuntungan adalah jumlah yang melebihi jumlah modal dan merupakan tujuan mudharabah dengan syarat-syarat sebagai berikut: a.
Keuntungan ini haruslah berlaku bagi kedua belah pihak dan tidak ada satu pihak pun yang akan memilikinya.
b.
Keuntungan harus menjadi perhatian dari kedua belah pihak dan tidak terdapat pihak ketiga yang akan turut memperoleh bagi hasil darinya. Porsi bagi hasil keuntungan untuk masing-masing pihak harus disepakati barsama pada saat perjanjian ditanda tangani.
c.
Pemilik dana akan menanggung semua kerugian sebaliknya mudharib tidak menanggung
kerugian
sedikit
pun.
Akan
tetapi,
mudharib
harus
menanggung kerugian bila kerugian itu timbul dari pelanggaran perjanjian atas penghilangan dana tersebut. 4.
Jenis usaha/pekerjaan diharapkan mewakili/menggambarkan adanya kontribusi mudharib dalam usahanya untuk mengembalikan/membayara modal kepada penyedia
dana.
Adapun
syarat-syarat
yang
usaha/pekerjaan mudharabah adalah sebagai berikut:
harus
diterapkan
dalam
20
a. Bentuk pekerjaan/usaha mrupakan hak khusus mudharib, tidak ada intervensi manajemen dari pemilik dana meskipun ada pendapat yang memperbolehkan adanya peran serta/partisipasi pemilik dana dalam pekerjaan/usaha tersebut. b. Mudharib tidak boleh melanggar hukum syariah Islam dalam usahanya dan juga harus mematuhi praktik-praktik usaha yang berlaku. c. Mudharib harus mematuhi syarat-syarat yang diajukan pemilik dana asalkan syarat-syarat tersebut tidak bertentangan kontrak mudharabah tersebut. 5.
Modal mudharabah tidak boleh dalam pengusahaan pemilik dana, sehingga tidak dapat ditarik sewaktu-waktu. Penarikan dana mudharabah hanya dapat dilakukan sesuai dengan waktu yang disepakati (periode yang telah ditentukan).
6.
Garansi dalam mudharabah untuk menunjukan adanya tanggung jawab mudharib dalam mengembalikan modal kepada pemilik dana dalam semua pekerjaannya. Tujuan pengenaan jaminan dalam akad mudharabah adalah untuk menghindari moral hazard mudharib., buku untuk mengamankan nilai investasi kita jika terjadi kerugian karena faktor risiko bisnis. Tegasnya bila kerugian yang timbul disebabkan karena faktor risiko bisnis, jaminan mudharib tidak dapat disita oleh shahibul maal.
2.3.2
Rukun Mudharabah Rukun mudharabah menurut Karim (2008:83) dalam buku Bank Islam
Analisis Fiqih dan Keuangan, adalah sebagai berikut: 1. Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana modal) Faktor pertama yaitu harus ada minimal dua pelaku. Pihak pertama bertindak sebagai pemilik modal (shahibul maal) sedangkan pihak kedua bertindak sebagai pelaksana usaha (mudharib). 2. Objek mudharabah (modal dan kerja) Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai objek mudharabah, sedangkan pelaksanaan usaha menyerahkan kerjanya sebagai objek mudharabah. Modal yang diserahkan bisa berbentuk uang atau barang yang dirinci berapa nilai
21
uangnya, sedangkan kerja yang diserahkan bisa berbentuk keahlian, keterampilan, selling skill, management skill, dan sebagainya. Para fuqaha sebenarnya tidak memperoleh modal mudharabah berbentuk barang karena barang tidak dapat dipastikan taksiran harganya dan mengakibatkan ketidakpastian (gharar) sebenarnya
modal
mudharabah.
Namun
para
ulama
Mazhab
Habafi
membolehkannya dan nilai barang yang dijadikan setoran modal harus disepakati pada saat akad oleh mudharib dan shahibul maal, yang jelas tidak boleh yaitu modal mudharabah yang belum disetor, seperti hutang. 3. Persetujuan kedua belah pihak (ijab-qabul) Faktor ketiga, yakni persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi dari prinsip an-taraddin minkum (sama-sama rela). Disini kedua belah pihak harus secara rela bersepakat untuk mengikat diri dalam akad mudharabah. Pemilik dana setuju dengan perannyauntuk mengkontribusikan dana, sementara pelaksana usaha pun setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan kerja. 4. Nisbah keuntungan Faktor yang keempat adalah rukun yang khas dalam akad mudharabah, yang tidak ada dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua belah pihak yang bertransaksi mudharabah. Mudharabah mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahibul maal mendapatkan imbalan atas penyertaan modalnya.
2.3.3 Bentuk-bentuk Mudharabah 1. Mudharabah Mutlaqah Mudharabah mutlaqah menurut Nurhayati (2013:130) adalah: Mudharabah dimana pemilik dana memberikan kebebasan kepada pengelola dana dalam pengelolaan investasinya. Mudharabah mutlaqah, bisa juga disebut investasi tidak terikat, memiliki arti bahwa pihak pengusaha (mudharib) diberi kuasa penuh untuk menjalankan proyek tanpa larangan atau gangguan apapun urusan yang berkaitan dengan proyek itu dan
22
tidak terikat dengan waktu, tempat, jenis, perusahaan dan pelanggaran. Investasi tidak terikat ini pada usaha perbankan syariah diaplikasikan pada tabungan dan deposito. Investasi tidak terikat dari bukan bank (Mudharabah mutlaqah) dalam Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI), bagian V-1) menjelaskan bahwa: 1.
Mudharabah terdiri dari dua jenis, mudharabah muthlaqah (investasi tidak terikat) dan mudharabah muqayyadah (investasi terikat). Bab ini hanya membahas bank sebagai pengelola dana (mudharib) dalam penghimpunan dana pihak ketiga yang dikelompokkan dalam unsur investasi tidak terikat. Untuk mudharabah muqayyadah bank sebagai agen dibahas dalam bagian tersendiri, sedangkan bank sebagai pemiliki dana (shahibul maal) dibahas dalam pembiayaan mudharabah
2.
Investasi tidak terikat bukan merupakan kewajiban atau ekuitas bank, karena bank tidak berkewajiban mengembalikan dana tersebut apabila terjadi kerugian pengolahan dana yang bukan disebabkan kelalaian atau kesalahan bank sebagai mudharib.
3.
Bagi hasil mudharabah dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu bagi hasil (profit sharing) atau bagi pendapatan (revenue sharing). Bagi laba dihitung dari pendapatan setelah dikurangi beban yang dikaitkan dengan pengolahan dana mudharabah sedangkan bagi pendapatan dihitung dari total pendapatan pengolahan mudharabah.
4.
Jika bank menggunakan metode bagi laba (profit sharing) dan usaha mengalami kerugian maka seluruh kerugian ditanggung oleh pemilik dana (shahibul maal), kecuali jika ditemukan adanya kelalaian atau kesalahan bank sebagai pengelola dana (mudharib).
5.
Kelalaian dan kesalahan bank sebagai pengelola dana dapat disebabkan, misalnya: 1) Tidak dipenuhinya persyaratan yang ditentukan didalam akad.
23
2) Tidak terdapat kondisi diluar kemampuan (force majure) yang lazim atau yang telah ditentukan didalam akad, atau 3) Hasil putusan dari badan arbitrase. 6.
Jika bank menggunakan metode bagi pendapatan (revenue sharing) maka pemilik dana (shahibul maal) tidak akan menanggung kerugian kecuali bank dilikuidasi dengan kondisi realisasi aset bank lebih kecil dari kewajiban.
7.
Investasi tidak terikat, antara lain: 1) Tabungan mudharabah, yaitu investasi tidak terikat pihak ketiga pada bank syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati. 2) Deposito mudharabah adalah investasi tidak terikat pada bank syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu dengan pembagian hasil usaha sesuai dengan nisbah yang telah disepakati dimuka antara nasabah dengan bank syariah yang bersangkutan.
2.Mudharabah Muqayyadah (Restricted Investment Account) Mudharabah Muqayyadah menurut Nurhayati (2013:131) adalah : Mudharabah dimana pemilik pemilik dana memberikan batasan kepada pengelola dana, antara lain mengenai tempat, cara dan atau objek investasinya. Mudharabah Muqayyadah (investasi terikat) yaitu pemilik dana membatasi syarat kepada mudharib dalam pengelolaan dana bank dilarang mencampurkan rekening investasi terikat dengan dana bank atau dan rekening lainnya pada saat investasi. Bank dilarang untuk investasi dananya pada transaksi penjualan cicilan tanpa pinjaman atau tanpa jaminan. Bank diharuskan melakukan investasi sendiri melalui pihak ketiga. Jadi, dalam investasi terikat ini pada prinsipnya kedudukan bank sebagai agen dan atas kegiatannya tersebut bank menerima imbalan berupa fee. Mudharabah muqayyadah atau yang biasa disebut dengan investasi terikat terbagi menjadi dua, yaitu:
24
1.
Al-Mudharabah muqayyadah on Balance Sheet Mudharabah muqayyadah on Balance Sheet adalah akad antara pihak pemilik modal dengan pengelola dana untuk melakukan usaha, dimana pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank.
2. Al-Mudharabah muqayyadah off Balance Sheet Mudharabah muqayyadah off Balance Sheet adalah akad dimana bank bertindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan antara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank dalam mencari kegiatan usaha yang akan dibiayai dari pelaksanaan usahanya.
2.3.4 Manfaat Mudharabah Manfaat dari mudharabah (www.zonaeksis.com), antara lain: 1.
Bank akan menikmati peningkatan hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
2.
Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan atau hasil usaha bank sehingga bank tidak mengalami negative spread.
3.
Bank akan selektif dan hati-hati mencari usaha yang bukan hanya sesuai dengan syariah, namun juga mempunyai prospek yang baik.
4. Prinsip bagi hasil dalam mudharabah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah tetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
25
2.3.5
Sistem Bagi Hasil pada Bank Syariah Prinsip distribusi hasil usaha lembaga keuangan syariah, diatur dalam Fatwa
Dewan Syariah Nasional Nomor 15/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha Dalam Lembaga Keuangan Syariah, yakni sebagai berikut: 1.
Pada dasarnya, Lembaga Keuangan Syariah boleh menggunakan prinsip bagi hasil (revenue sharing) maupun bagi untung (profit sharing) dalam distribusi hasil usaha dengan mitranya (nasabahnya).
2.
Dilihat dari segi kemaslahatan (al ashlah), distribusi hasil usaha sebaiknya digunakan prinsip bagi hasil (revenue sharing).
3.
Penetapan prinsip distribusi hasil usaha yang dipilih harus disepakati dalam akad. Dari kutipan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Prinsip Bagi Hasil (revenue sharing) Saat ini lembaga keuangan syariah yang ada di Indonesia pada umumnya menggunakan prinsip revenue sharing, belum ada yang mempergunakan metode pembagian laba (profit sharing). Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam distribusi hasil usaha berdasarkan prinsip bagi hasil (revenue sharing), diantaranya: a. Pendapatan operasi utama Pendapatan operasi utama bank syariah adalah pendapatan dari penyaluran dana pada investasi yang dibesarkan syariah yaitu pendapatan penyaluran dana prinsip jual beli, bagi hasil, ujroh, serta pendapatan penyaluran lain sesuai dengan prinsip syariah. Pendapatan inilah yang akan dibagikan kepada shahibul maal atau sebagai unsur dalam perhitungan distribusi bagi usaha. Besarnya pendapatan yang dibagikan dalam perhitungan distribusi hasil usaha dengan prinsip revenue sharing ini adalah pendapatan dari pengelolaan dana sebesar porsi dana mudharabah yang terikat yang dihimpun tanpa adanya pengurangan beban-beban yang dikeluarkan oleh bank syariah.
26
b. Hak pihak ketiga atas bagi hasil investasi tidak terikat Hak pihak ketiga atas bagi hasil investasi tidak terikat merupakan porsi bagi hasil dari hasil usaha yang diserahkan oleh bank syariah kepada pemilik dana mudharabah mutlaqah. Porsi bagi hasil dari hasil usaha yang diserahkan kepada pemilik dana investasi tidak terikat bukan berarti sebagai beban bank syariah, karena besarnya bagi hasil yang diberikan sangat tergantung pada hasil usaha yang benar-benar terima oleh bank syariah. c. Pendapatan operasional lainnya Pendapatan operasional lain yang diperoleh bank syariah adalah pendapatan atas kegiatan usaha bank syariah dalam memberikan layanan jasa keuangan dan kegiatan lain yang berbasis imbalan seperti pendapatan fee indikaso, fee transfer, fee LC dan fee kegiatan yang berbasis imbalan lainnya. d. Beban operasi Pembagian hasil usaha dengan prinsip revenue sharing semua beban yang dikeluarkan bank, baik beban yang dikeluarkan atau kepentingan bank maupun untuk kepentingan pengelolaan dana mudharabah semua ditanggung oleh bank sebagai mudharib. Beban-beban tersebut tidak diperkenankan digunakan sebagai faktor pengurang dalam pembagian hasil usaha. 2. Prinsip Bagi Untung (profit sharing) Penerapan distribusi hasil usaha dengan prinsip bagi untung (profit sharing) bukanlah hal yang mudah, karena dalam pelaksanaan sangat diperlukan adanya kesiapan semua pihak. Pihak deposan harus siap menerima bagian kerugian apabila dalam pengelolaan dana mudharabah mengalami kerugian yang bukan akibat dari kelalaian mudharib sehingga uang yang diinvestasikan pada bank syariah menjadi berkurang.
27
2.3.6 Pembiayaan Bagi Hasil (Mudharabah) Pembiayaan bagi hasil yang dimaksud di sini adalah total pembiayaan bagi hasil yang disalurkan bank syariah, baik dengan prinsip mudharabah dan musyarakah. Total pembiayaan bagi hasil diukur dengan logaritma natural dari nilai pembiayaan bagi hasil pada akhir tiap triwulan. Penggunaan logaritma natural bertujuan agar hasilnya tidak menimbulkan bias, mengingat besarnya nilai pembiayaan bagi hasil antar bank syariah yang berbeda-beda. Selain itu, dimaksudkan agar data total pembiayaan bagi hasil dapat terdistribusi normal dan memiliki standar eror koefisien regresi minimal meurut Mulianti, 2010:60. Total Pembiayaan bagi hasili,t = Ln (Pembiayaan Prinsip Mudharabahi,t + Pembiayaan Prinsip Musyarakahi,t).
2.4
Profitabilitas Bank Syariah Sebagaimana bank umum lainnya (bank konvensional), tugas utama bank
syariah adalah mengoptimalkan laba, meminimalkan risiko, dan menjamin tersedianya likuiditas yang cukup. Pengertian profitabilitas menurut Mahmoeddin (2010:114), adalah: “Kemampuan bank untuk memperoleh keuntungan.” Tingkat keuntungan yang dihasilkan oleh bank atau yang lebih dikenal dengan istilah profitabilitas merupakan pengukuran mengenai kemampuan bank dalam menghasilkan laba dan aset yang digunakan, dengan demikian profitabilitas dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk mengukur dan mengevaluasi kinerja bank. Triyuwono dan As’udi (2001:87) menyatakan bahwa tujuan keuntungan dalam akuntansi syariah adalah untuk memenuhi salah satu rukun Islam yaitu kewajiban menunaikan zakat, oleh karena itu, keuntungan dalam akuntansi syariah diperlukan untuk menilai jalannya operasional usaha, apakah sudah dilakukan secara efisien atau belum. Hal ini sangat penting untuk melakukan pertanggungjawaban, baik
pertanggungjawaban
kepada
pemilik
(pemegang
saham)
maupun
28
pertanggungjawaban kepada Allah SWT yang dimanifestasikan dalam bentuk penentuan pembayaran zakat. Segala aktivitas penghimpunan dana dan penyaluran dana bank tercermin dalam laporan keuangan dimana proses pencatatan sampai tersusunnya laporan keuangan harus dilakukan dengan benar, sehingga informasi yang dihasilkan dapat digunakan oleh pihak umum. Hal ini menunjukkan bahwa sistem akuntansinya harus menjaga output yang dihasilkan tetap dalam kebenaran, keadilan dan kejujuran sebagaimana halnya hakikat dalam ajaran agama Islam. Laporan keuangan yang diterbitkan bank syariah secara lengkap diisyaratkan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (No.59, 2002:152) yang terdiri dari: 1. Neraca 2. Laporan Laba Rugi 3. Laporan Arus Kas 4. Laporan Perubahan Ekuitas 5. Laporan Perubahan Dana Investasi Terikat 6. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat, Infak, dan Shadaqah 7. Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Qardhul Hasan, dan 8. Catatan atas Laporan Keuangan Mengoptimalkan keuntungan dalam akuntansi syariah tidak berarti bahwa bank hanya melakukan usaha peningkatan keuntungan, lebih dari itu bank juga harus memperhitungkan tingkat investasi modal untuk menjaga agar pendapatan terutama keuntungan terus dapat ditingkatkan. Bank syariah harus mempersiapkan strategi penggunaan dana-dana yang dihimpunnya sesuai dengan rencana alokasi berdasarkan kebijakan yang telah digariskan agar mencapai tingkat keuntungan yang cukup dan tingkat risiko yang rendah. Tingkat keuntungan yang dihasilkan bank dikenal dengan istilah profitabilitas, yang merupakan pengukuran mengenai kemampuan bank untuk menghasilkan keuntungan dari aset yang digunakan.
29
Mahmoeddin (2010:20) menjelaskan bahwa: “Analisa profitabilitas akan dicari hubungan timbal balik antara pos-pos yang ada dalam income statement itu sendiri maupun hubungan timbal balik dengan pos-pos yang ada dalam neraca bank untuk mendapatkan berbagai indikasi yang berguna dalam mengukur efisiensi dan profitabilitas bank yang bersangkutan.” Menurut Arifin (2003:64) bahwa ada dua rasio yang biasanya dipakai untuk mengukur kinerja bank, yaitu: 1. Return On Assets (ROA), adalah perbandingan antara pendapatan bersih (net income) dengan rata-rata aktiva (average assets) atau perbandingan dari laba sebelum pajak dan zakat terhadap total aset yang dapat dirumuskan sebagai berikut: Laba Sebelum Pajak dan Zakat ROA =
X 100% Total Aset
2. Return On Eqity (ROE), didefinisikan sebagai perbandingan antara pendapatan bersih (net income) dengan rata-rata modal (average equity) atau investasi para pemilik bank. Dilihat dari pandangan para pemilik, ROE adalah ukuran yang lebih penting karena merefleksikan kepentingan kepemilikan mereka. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut: Laba Sebelum Pajak dan Zakat ROE =
X 100% Total Equity
Mahmoeddin (2010:20), mengungkapkan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi profitabilitas bank adalah: 1. Kualitas kredit atau pembiayaan yang diberikan dan pengembaliannya 2. Jumlah modal 3. Mobilisasi dana masyarakat dalam memperoleh sumber dana yang murah 4. Manajemen pengalokasian dana dalam aktiva likuid 5. Efisiensi dalam menekan biaya operasi
30
2.5
Kerangka Pemikiran Pembiayaan adalah suatu proses mulai dari analisis kelayakan pembiayaan
sampai kepada realisasinya, sehingga pejabat bank syariah perlu melakukan pemantauan dan pengawasan pembiayaan. Menurut peraturan Bank Indonesia No.8/21/PBI/2006 tentang ketentuan umum bank syariah yang menyebutkan bahwa pembiayaan adalah: “Penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan, tanpa imbalan, atau bagi hasil.” Menurut Karim (2008:90), jenis-jenis pembiayaan syariah menurut tujuannya dibedakan menjadi pembiayaan modal kerja syariah, pembiayaan investasi syariah, dan pembiayaan konsumtif syariah. Akad atau prinsip yang menjadi dasar operasional bank syariah dalam menyalurkan pembiayaan menurut Karim (2008:94) dibedakan menjadi 4 macam yaitu prinsip jual beli (murabahah, salam dan istishna’’), prinsip bagi hasil (mudharabah dan musyarakah), prinsip sewa (ijarah dan ijarah muntahhiyah bittamlik), serta akad pelengkap (hiwalah, rahn, qardh, wakalah, dan kafalah). Berdasarkan statistik Bank Indonesia, pola utama pembiyaan yang mendominasi pada bank syariah adalah prinsip jual beli dan prinsip bagi hasil. Salah satu pembiayaan yang disediakan oleh bank syariah adalah pembiayaan Murabahah dengan prinsip jual beli dan pembiayaan mudharabah yaitu penyaluran dana dengan prinsip bagi hasil. Disebutkan dalam ketentuan pasal 3 ayat 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2007 bahwa yang dimaksud dengan pembiayaan Murabahah adalah: “Transaksi jual-beli suatu barang sebesar harga perolehan barang ditambah dengan margin yang disepakati oleh para pihak, di mana penjual menginformasikan terlebih dahulu harga perolehan kepada pembeli.”
31
Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda. Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian atas harga barang yang dijual. Transaksi jual beli dapat dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahanannya. Karim (2008:89) menyatakan bahwa murabahah merupakan transaksi jual beli di mana bank menyebut jumlah keuntungannya.Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan (margin).Sedangkan salam adalah transaksi jual beli di mana barang yang diperjualbelikan belum ada. Barang diserahkan secara tangguh sementara pembayaran dilakukan secara tunai. Dalam transaksi ini, kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti.Untuk akadistishna’’ menyerupai produk salam, tetapi dalam istishna’pembayaran dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran. Melalui pembiayaan jual beli yang disalurkan, bank syariah akan mendapatkan pendapatan berupa mark up atau margin keuntungan. Menurut Muhammad Syafi’i Antonio (2001 : 95) Pembiayaan mudharabah adalah: ”akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal (100%) sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut” Pembagian hasil usaha mudharabah dapat dilakukan berdasarkan prinsip bagi hasil atau bagi laba. dimana pembagian keuntungan sesuai nisbah kesepakatan antara kedua belah pihak diawal akad. Dalam prinsip bagi hasil usaha berdasarkan bagi hasil, dasar pembagian hasil usaha adalah laba bruto (gross profit) bukan total pendapatan usaha (omset). Sedangkan dalam prinsip bagi laba, dasar pembagian adalah laba bersih yaitu laba bruto dikurangi beban yang berkaitan dengan pengelolaan modal mudharabah.
32
Secara umum, prinsip bagi hasil dalam perbankan syariah dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu: musyarakah, mudharabah, muzara’ah,dan musaqah. Meskipun demikian, prinsip yang paling banyak digunakan adalah musyarakah dan mudharabah (Antonio, 2001). Nurhayati dan Wasilah (2011) menyatakan bahwa secara teknis mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara pemilik dana dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha, laba dibagi atas dasar nisbah bagi hasil menurut kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan bila terjadi kerugian akan ditanggung oleh pemilik dana. Karim (2008:91) menyatakan bahwa musyarakah merupakan semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih di mana mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak berwujud. Keuntungan dan kerugian ditanggung bersama sesuai dengan proporsi yang telah ditetapkan sebelumnya. Melalui pembiayaan bagi hasil yang disalurkan, bank syariah akan memperoleh pendapatan berupa bagi hasil yang menjadi bagian bank. Pembiayaan merupakan suatu proses mulai dari analisis kelayakan pembiayaan sampai kepada realisasinya, sehingga pejabat bank syariah perlu melakukan pemantauan dan pengawasan pembiayaan. Kemungkinan kegagalan yang terjadi dari pembiayaan adalah kemungkinan kegagalan pembiayaan dikaitkan dengan kemampuan debitur untuk membayar kembali pinjamannya. Beberapa literatur menyebutkan bahwa pembiayaan yang dihadapi oleh sebuah bank akan berpengaruh terhadap tingkat profitabilitas bank yang bersangkutan. Profitabilitas menggambarkan kemampuan bank syariah mendapatkan laba melalui semua kemampuan dan sumber yang ada. Pendekatan Return on Assets (ROA) dirasakan tepat untuk digunakan dalam pengukuran tingkat profitabilitas bank syariah yang nantinya akan dihubungkan dengan perhitungan pembiayaan Murabahah dan mudharabah, karena dengan menggunakan Return on Assets (ROA) memperhitungkan
bagaimana
kemampuan
manajemen
bank
syariah
dalam
memperoleh laba secara keseluruhan. Tingkat profitabilitas dengan pendekatan
33
Return on Assets (ROA) bertujuan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengelola aktiva yang dikuasainya untuk menghasilkan income. Menurut Dendawijaya (2001:120) menjelaskan bahwa: “Rasio ROA digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan, semakin besar ROA suatu bank semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut dan semakin baik pula posisi bank tersebut dari segi penggunaan aktiva.” Sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia, bahwa apabila Return on Assets (ROA) hanya mempunyai nilai 0% akan memperoleh nilai positif. Secara umum dikatakan bahwa semakin besar Return on Assets (ROA) semakin baik, itu berarti semakin efisien penggunaan seluruh aktiva di dalam menghasilkan profit. Pembiayaan dengan prinsip jual beli pada bank syariah dilakukan melalui akad murabahah, salam dan istishna’’. Muhammad (2005) menyatakan bahwa salah satu akad dari pembiayaan jual beli yaitu akad murabahah merupakan produk yang paling populer dalam industri perbankan syariah. Hal tersebut dikarenakan beberapa alasan antara lain murabahah adalah suatu mekanisme investasi jangka pendek dan cukup memudahkan dibandingkan dengan sistem profit and loss sharing (PLS); mark up dalam murabahah dapat ditetapkan sedemikian rupa sehingga memastikan bahwa bank dapat memperoleh keuntungan yang sebanding dengan keuntungan bank-bank berbasis bunga yang menjadi saingan bank-bank Islam; murabahah menjauhkan ketidakpastian yang ada pada pendapatan dari bisnis-bisnis dengan sistem PLS; dan murabahah tidak memungkinkan bank-bank Islam untuk mencampuri manajemen bisnis karena bank bukanlah mitra nasabah, sebab hubungan mereka dalam murabahah adalah hubungan antara kreditur dan debitur. Pengelolaan pembiayaan jual beli yang merupakan salah satu komponen penyusun aset terbesar pada perbankan syariah akan mengahasilkan pendapatan berupa margin/mark up. Dengan diperolehnya pendapatan mark up tersebut, maka akan mempengaruhi besarnya laba yang diperoleh bank syariah. Serta pada akhirnya
34
mampu mempengaruhi peningkatan profitabilitas yang tercermin dari ROA (Return on Asset). Pembiayaan bagi hasil pada perbankan syariah dilakukan melalui akad mudharabah dan musyarakah. Pembiayaan bagi hasil merupakan salah satu komponen penyusun aset pada perbankan syariah. Dari pengelolaan pembiayaan bagi hasil, bank syariah memperoleh pendapatan bagi hasil sesuai dengan nisbah yang telah disepakati dengan nasabah (Muhammad, 2005). Pendapatan yang diperoleh akan mempengaruhi besarnya laba yang diperoleh bank (Firdaus, 2009). Besarnya laba yang diperoleh bank syariah akan mampu mempengaruhi profitabilitas yang dicapai. Penelitian sebelumnya dalam jurnal akuntansi ISSN 2301-0164, Fauzan Fahrul dkk (2012) dengan judul Pengaruh Tingkat Risiko Pembiayaan Musyarakah Dan Pembiayaan Murabahah Terhadap Tingkat Profitabilitas Bank Syariah menyatakan bahwa risiko pembiayaan musyarakah dan risiko pembiayaan murabahah secara bersama-sama (simultan) berpengaruh terhadap tingkat profitabilitas bank syariah. Berdasarkan jurnal Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Aulia Fuad Rahman dkk (2011) dengan judul Pengaruh Pembiayaan Jual Beli, Pembiayaan Bagi Hasil, dan Rasio Non Performing Financing terhadap Profitabilitas Bank Umum Syariah di Indonesia, menyatakan bahwa Pembiayaan Jual Beli, Pembiayaan Bagi Hasil, dan Rasio Non Performing Financing berpengaruh terhadap Profitabilitas Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pembiayaan murabahah dan mudharabah memiliki pengaruh terhadap profitabilitas pada bank syariah.
2.6 Hipotesis Hipotesis penelitian dapat diartikan sebagai jawaban yang bersifat sementara terhadap masalah yang diteliti sampai terbukti melalui data yang terkumpul dan pengujian secara empiris
35
Maka berdasarkan kerangka pemikiran di atas hipotesis sementara adalah: Pembiayaan jual beli (Murabahah) dan Pembiayaan bagi hasil (Mudharabah) berpengaruh terhadap Profitabilitas (Return On Asset)