BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tandan Kosong Kelapa Sawit Saat ini Indonesia merupakan produsen minyak kelapa sawit nomor satu di
dunia, menghasilkan 51,54% dari total produksi minyak kelapa sawit dunia pada tahun 2012, yaitu sebanyak 28.500.000 ton (United States Department of Agriculture, 2013) dengan luas areal perkebunan kelapa sawit sebesar 9.074.621 Ha (Dirjen Perkebunan, 2013). Pada proses ekstrasi minyak sawit dari tandan buah segar kelapa sawit, tandan kosong kelapa sawit merupakan salah satu limbah padatnya. Persentase tandan kosong kelapa sawit yang dihasilkan terhadap tandan buah segar kelapa sawit untuk varietas tenera adalah berkisar antara 25,7–28,2 % sedangkan untuk varietas dura berkisar antara 23,7–32,4 % (Ohimain et al., 2013). Dengan demikian, terdapat potensi produksi tandan kosong kelapa sawit di Indonesia sebesar 28.000.000 ton/tahun (basis berat basah). Tandan kosong kelapa sawit merupakan residu biomassa bernilai yang dapat diubah, tidak hanya menjadi energi, tetapi juga sebagai bahan baku untuk produk yang bernilai tinggi seperti panel dan komposit, bahan kimia, pulp dan kertas, kompos dan pupuk biologis. Pengembangan berbagai macam produk dari tandan kosong kelapa sawit ini terkait dengan nutrien dan selulosa yang terkandung di dalamnya.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tandan kosong kelapa sawit terdiri dari komponen biokimia lignoselulosa yaitu lignin (18–23% w/w), selulosa (35% w/w) dan hemiselulosa (25% w/w) (Abdul Azis et al., 1989; Soom et al., 2002).
2.2
Selulosa Selulosa merupakan homopolisakarida linier yang terdiri dari unit β-D-
glukopiranosa yang terhubung oleh sambungan β-1-4. Struktur kimia dasar dari selulosa dapat dilihat pada Gambar 2.1. Masing-masing monomer mengandung 3 gugus hidroksil. Hal ini yang kemudian menjelaskan bahwa gugus hidroksil ini dan kemampuannya untuk membentuk ikatan hidrogen berperan penting dalam pembentukan struktur kristal dan sifat fisik selulosa.
Gambar 2.1 Struktur Kimia Dasar Selulosa (Siqueira, 2010) Rantai dari residu poli-β-(1→4)-D-glukosil berkumpul membentuk serat, yang merupakan ikatan molekul seperti benang panjang (tampak samping) yang distabilkan oleh ikatan hidrogen antarmolekul, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.2. Penelitian selulosa tumbuhan menggunakan infra-red spectroscopy dan x-ray diffraction menunjukkan bahwa bagian utama dari selulosa disusun oleh kristal
Universitas Sumatera Utara
diselingi dengan bagian amorf. Selulosa alami, disebut dengan selulosa I, adalah selulosa kristal. Istilah turunan selulosa, atau disebut juga selulosa II, digunakan berkenaan dengan selulosa yang mengendap pada larutan, umumnya larutan alkali. Hal ini menunjukkan 2 polimorf utama dari selulosa. Pengetahuan tentang ilmu kristal dan biosintesis selulosa menguatkan pendapat bahwa struktur selulosa terdiri dari rantai paralel dimana struktur kristal dari selulosa II digambarkan sebagai antiparalel. Selulosa I bukan merupakan bentuk selulosa yang paling stabil. Ikatan hidrogen tambahan per residu glukosa pada selulosa II membuat alomorf ini menjadi bentuk yang paling stabil secara termodinamik.
Gambar 2.2 Skema Dinding Sel Selulosa dan Susunan Serat Mikro (Siqueira, 2010)
Universitas Sumatera Utara
2.3
Selulosa Mikrokristal Selulosa mikrokristal adalah hasil depolimerisasi parsial selulosa. Wujudnya
putih, tidak berbau, tidak berasa dan merupakan bubuk kristal yang terdiri dari partikel berpori. Pada dasarnya, selulosa mikrokristal terdiri dari kristal-kristal dari ukuran koloid. Kristal-kristal tersebut menggumpal, membentuk partikel dengan diameter 15-20 µm. Gumpalan-gumpalan ini selanjutnya menggumpal selama proses pengeringan bubur selulosa, sehinggga pada akhirnya diperoleh ukuran partikel ratarata sebesar 20-200 µm (Picker-Freyer, 2007). Tanaman kayu dan kapas adalah sumber utama dari selulosa mikrokristal, tetapi biaya produksinya yang tinggi menyebabkan perlu dilakukan penelitian terhadap kemungkinan bahan lain sebagai penghasil selulosa mikrokristal. Selulosa mikrokristal dapat dibuat dari berbagai material yang kandungan selulosanya tinggi, mulai dari selulosa murni, selulosa komersial maupun material lignoselulosa. Lignoselulosa adalah nama kolektif untuk 3 komponen utama tumbuhan, yakni selulosa, hemiselulosa dan lignin. Pada tumbuhan, rantai linier selulosa berkontribusi terhadap kekuatan tarik, sedangkan lignin bertanggung jawab terhadap resistensi kimia, terutama perlindungan terhadap air. Hemiselulosa memberikan ikatan antara selulosa dan lignin. Jadi, terdapat 2 hambatan utama yang menghalangi hidrolisis selulosa pada material lignoselulosa, yaitu: a.
Perlawanan dari kristal selulosa (timbul dari struktur rantai linier selulosa yang berikatan kuat pada serat mikro)
Universitas Sumatera Utara
b.
Perlindungan lignin yang mengelilingi selulosa dan bertindak sebagai rintangan fisik untuk mikroorganisme.
2.3.1 Hidrolisis Selulosa dengan Fraksi Kristal dan Amorf Degradasi kimia selulosa dengan katalis asam adalah proses heterogen yang memiliki beberapa tahap pemotongan rantai makromolekul untuk membentuk produk dengan berat molekul yang rendah (Xiang et al., 2003; Stephens et al., 2008). Aspek fisika dan kimia mengendalikan laju secara keseluruhan dan efisiensi proses depolimerisasi. Telah diketahui dengan baik bahwa struktur serat selulosa, yang ditentukan dengan ikatan hidrogen pada rantai gula yang kuat, menghasilkan stabilitas kimia yang tinggi. Dengan demikian, pemutusan ikatan β-1,4 glycosidic akan bergantung pada interaksi dari katalis asam dan air dengan struktur rantai selulosa. Rejim kristal dari selulosa padat kurang dapat diakses ke zat yang reaktif, sehingga lebih sulit untuk dihidrolisa. Rejim amorf, sebaliknya, dapat dengan mudah dipenetrasi oleh zat kimia karena adanya gangguan rantai lokal yang menghasilkan suatu laju depolimerisasi pada fraksi ini. Beberapa model fenomena telah diusulkan untuk menjelaskan kinetika degradasi selulosa. Salah satu model yang sederhana adalah model Ekenstam, dimana degradasi selulosa awal dianggap sebagai proses orde 0 semu. Tetapi, hasil percobaan menunjukkan bahwa tahapan lanjut dari proses degradasi menyimpang dari kinetika orde 0 dan dalam kasus ini kinetika orde 1 semu pun dapat gagal. Beberapa bukti
Universitas Sumatera Utara
bahwa tahap autokatalitik dapat terjadi adalah berdasarkan sigmoid atau bentuk S dari hasil depolimerisasi sebagai fungsi waktu. Reaksi dalam bejana tertutup tanpa pengendalian pH, atau degradasi pada kondisi asam rendah yang ekstrim adalah situasi dimana pembentukan senyawa asam dapat mempercepat hidrolisis selulosa. Kondisi asam yang rendah mengurangi konversi dari glukosa yang terbentuk menjadi 5-(hydroxymethyl)-2-furaldehide yang merupakan produk yang tidak diinginkan dalam hidrolisis asam selulosa. Mekanisme hidrolisis asam dipertimbangkan untuk kedua fraksi selulosa; kristal dan amorf. k1
..........(2-1)
Ca + H → P + H k2
Cc + H → P + H
..........(2-2)
Dimana Ca dan Cc adalah jumlah awal atau jumlah yang tidak terdegradasi dari rantai selulosa pada fraksi amorf dan kristal, H sebagai agen katalitik asam, P jumlah rantai selulosa yang terdegradasi, dan k1,2 adalah konstanta laju reaksi reaksi orde 2 dari degradasi fraksi amorf dan kristal, dimana k1 > k2 (Gehlen, 2010).
2.3.2 Penelitian Terdahulu mengenai Pembuatan Selulosa Mikrokristal Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memperoleh selulosa mikrokristal dari bermacam-macam bahan baku dan metode pembuatan. Beberapa metode dan teknik pembuatan juga telah dipatenkan.
Universitas Sumatera Utara
Metode dasar dalam pembuatan selulosa mikrokristal dari pulp yang telah dimurnikan pertama kali diperkenalkan oleh Battista et al. (1961) dalam US Patent No. 2.978.446. Metode tersebut yang mendasari proses pembuatan selulosa mikrokristal komersial yang konvensional. Tahap awal pada proses ini adalah repulping pulp yang telah kering, kemudian dilanjutkan dengan hidrolisa asam menggunakan asam mineral seperti HCl atau H2SO4 untuk melarutkan bagian amorf selulosa. Setelah dihidrolisa, selanjutnya sampel dikeringkan, digiling dan disimpan dalam wadah kantong. Kelemahan dari proses ini adalah tahap pemurnian selulosa (repulping) yang dilakukan untuk memperoleh bahan baku dengan kadar α-selulosa yang tinggi. Nguyen (2006) dalam US Patent No. 7.005.514 memperkenalkan metode pembuatan selulosa mikrokristal dengan tahapan yang berbeda, yaitu kontak dengan larutan alkali 30% (w/w) pada suhu 25-70 °C, pencucian, hidrolisis dengan larutan asam 25-75% (w/w) pada suhu 80 °C dan pencucian kembali. Namun, konsentrasi asam yang cukup tinggi menjadi batasan dalam aplikasi proses ini secara komersial. Hanna et al. (2001) dalam US Patent No. 6.228.213 menggunakan metode hidrolisis asam yang dikombinasikan dengan ekstrusi. Asam kuat seperti HCl, H2SO4 dan HNO3 dapat digunakan dengan konsentrasi 1-5%. Proses ini dapat dilakukan dengan satu tahap bila bahan baku yang digunakan berupa selulosa murni, atau dua tahap bila bahan baku yang digunakan lignoselulosa. Ukuran partikel selulosa mikrokristal yang diperoleh dari proses ini tergantung pada bahan baku yang
Universitas Sumatera Utara
digunakan dan kondisi hidrolisis. Temperatur, konsentrasi asam dan kecepatan putaran extruder mempengaruhi hasil yang diperoleh. Soom et al. (2012) dalam Patent WO 2012/021056 A1 memperkenalkan metode pembuatan selulosa mikrokristal dari tandan kosong kelapa sawit. Pada proses ini, tahapan pemurnian untuk menghasilkan α-selulosa dari tandan kosong kelapa sawit dilakukan terlebih dahulu. Selanjutnya, dilakukan hidrolisis α-selulosa untuk menghasilkan selulosa mikrokristal menggunakan larutan H2SO4 0,5-1,5 % pada autoklaf dengan temperatur 121-132 °C selama 1-2 jam. Proses dalam autoklaf yang berlangsung secara batch, menjadi kendala untuk pengembangan proses skala komersial. Selain hidrolisa dengan asam mineral, metode enzim juga diperkenalkan. Stupinska et.al (2007) membuat selulosa mikrokristal dari pulp pinus dengan dua tahap, yaitu irradiasi elektron dan hidrolisis menggunakan enzim selulase Econase CE. Selulosa mikrokristal yang diperoleh melalui metode ini memiliki derajat polimerisasi 150, fase kristal (KWr) 64% serta kekasaran butiran yang sama seperti selulosa mikrokristal komersial tipe 12. Metode hidrolisa dengan enzim menghasilkan produk samping berupa glukosa, sehingga menjadi metode yang lebih diinginkan. Namun, metode ini lebih mahal dan menghasilkan produk selulosa mikrokristal dengan kristalinitas yang lebih rendah (Hanna et al., 2001).
Universitas Sumatera Utara
Penelitian
pembuatan
selulosa
mikrokristal
selanjutnya
lebih
banyak
menggunakan metode asam dengan variasi bahan baku dan/atau kondisi hidrolisa seperti jenis asam, konsentrasi asam, rasio liquor, suhu dan waktu hidrolisa. Asam yang dapat digunakan pada proses hidrolisis antara lain adalah asam klorida (HCl), asam sulfat (H2SO4) dan asam fosfat (H3PO4). Namun, pada suhu tinggi, asam sulfat dan
asam
fosfat
dapat
menggumpalkan
dan
memodifikasi
permukaan
(mengesterifikasi) selulosa mikrokristal yang terbentuk (Hanna et al., 2001). Penelitian yang membandingkan selulosa mikrokristal yang dihasilkan melalui metode hidrolisis dengan HCl dan H2SO4 dilakukan oleh El-Sakhawy dan Hassan (2007) dan Adel et al. (2011). El-Sakhawy dan Hassan (2007) menggunakan pulp ampas tebu, jerami padi dan tangkai kapas sebagai bahan baku. Jenis asam yang digunakan (HCl atau H2SO4) ditemukan berpengaruh terhadap ukuran partikel, stabilitas termal, kekuatan tarik dan kohesi tablet yang dibuat dari selulosa mikrokristal yang dihasilkan. Pada hidrolisis dengan H2SO4, gugus sulfat pada selulosa mikrokristal akan terionisasi pada larutan dan terjadi tolak menolak antar rantai. Hal ini dapat menyebabkan aliran yang lebih mudah bila dibandingkan dengan selulosa mikrokristal yang dibuat menggunakan HCl. Kelemahan lainnya adalah ukuran partikel yang diperoleh lebih besar dan laju degradasi melalui pengurangan berat yang lebih tinggi akibat pemisahan gugus sulfat. Das et al. (2008) menyelidiki pengaruh konsentrasi asam yang digunakan untuk menghidrolisa irisan kapas. Asam yang digunakan adalah H2SO4 dengan konsentrasi
Universitas Sumatera Utara
20, 30, 35, 40, 47 dan 64%. Grafik XRD dari sampel selulosa mikrokristal yang dihasilkan dengan konsentrasi asam yang berbeda, mengungkapkan bahwa penguraian rantai selulosa selama hidrolisis, balutan kristal, penyesuaian molekul, pola ikatan hidrogen antar molekul, memiliki perbedaan yang signifikan tergantung pada konsentrasi asam yang digunakan. Perbedaan ini juga dipengaruhi kondisi penggumpalan selama proses pengeringan dan meningkatkan satu ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel yang berbeda. Dari karakteristik selulosa mikrokristal yang dihasilkan, disimpulkan bahwa konsentrasi H2SO4 yang terbaik adalah 35-47%. Pengaruh waktu terhadap karakteristik selulosa mikrokristal diteliti oleh Azubuike dan Okhamafe (2012) menggunakan bahan baku tongkol jagung dan HCl. Dari variasi waktu yang digunakan, yaitu 15, 30 dan 45 menit, diketahui bahwa sifat psikokimia yang lebih mendekati karakteristik selulosa mikrokristal Avicel PH 101 adalah yang dihasilkan dari hidrolisis selama 15 menit. Namun, selulosa mikrokristal yang dihasilkan dari hidrolisis selama 45 menit memiliki stabilitas termal yang lebih baik. Penelitian mengenai pemanfaatan tandan kosong kelapa sawit sebagai bahan baku selulosa mikrokristal dilakukan antara lain oleh Soom et al. (2009) dan Haafiz et al. (2013). Soom et. al (2009) mengisolasi selulosa dari tandan kosong kelapa sawit berdasarkan ASTM D 1104-56 untuk menghasilkan holoselulosa, diikuti dengan penghilangan fraksi hemiselulosa berdasarkan ASTM D 1103-60. α-selulosa yang dihasilkan selanjutnya dihidrolisa dengan H2SO4 menggunakan autoklaf (steam
Universitas Sumatera Utara
bertekanan) selama 1 dan 3 jam. Berdasarkan kurva difraktogram dari selulosa mikrokristal yang dihasilkan dengan metode ini, terdapat perbedaan yang signifikan dengan selulosa mikrokristal komersial (dari Sigma-Aldrich). Kurva difraktogram selulosa mikrokristal menunjukkan karakteristik selulosa I, sedangkan selulosa mikrokristal dari tandan kosong menunjukkan karakteristik selulosa I dan II (indikasi bahwa terdapat selulosa II dengan persentase yang kecil). Dengan demikian, derajat kristalinitas selulosa mikrokristal yang dihasilkan lebih rendah bila dibandingkan dengan selulosa mikrokristal komersial. Namun, sifat semi kristal dari selulosa mikrokristal tandan kosong tersebut belum diketahui, apakah disebabkan oleh sifat alami bahan baku atau dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti jenis asam yang digunakan, waktu reaksi dan sebagainya. Haafiz et al. (2013) melakukan hidrolisa terhadap pulp tandan kosong dengan prosedur yang diperkenalkan oleh Battista et al. (1950), tanpa memvariasikan kondisi hidrolisis seperti konsentrasi asam, waktu dan suhu reaksi. Hasil yang diperoleh dari data XRD menunjukkan bahwa selulosa mikrokristal yang dihasilkan memiliki derajat kristalinitas yang tinggi dan seluruhnya merupakan selulosa I (tidak ada selulosa II), yang diindikasikan tidak adanya puncak ganda pada 22,6 °. Hal tersebut berbeda dengan selulosa mikrokristal yang dihasilkan dari α-selulosa tandan kosong yang dilakukan oleh Soom et al. (2009). Beberapa penelitian yang telah dipublikasi mengenai pembuatan selulosa mikrokristal dari berbagai bahan baku dan metode dirangkum pada Tabel 2.1.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu mengenai Pembuatan Selulosa Mikrokristal No.
Bahan Baku
Metode
1.
Sekam padi dan kacang
Hidrolisa dengan HCl/H2SO4
2.
Irisan kapas
Hidrolisa dengan H2SO4
3.
Ampas tebu, jerami padi dan tangkai kapas
Hidrolisa dengan HCl/H2SO4
4.
Pulp kayu pinus
5.
Sekam padi dan kacang
Irradiasi dan hidrolisa dengan enzim selulase Hidrolisa dengan HCl/H2SO4
6.
Pulp kayu
7.
Variabel Pengamatan Jenis bahan baku Jenis asam
Yield/CrI/DP/Kondisi Optimum Yield : 41,29-89,01%, CrI : 82-92%, DP : 151- 285
Rujukan Adel et al. (2011)
Konsentrasi asam (20, 30, 35, 40, 47, 64% (w/w))
-
Das et al. (2009)
Jenis bahan baku Jenis asam
CrI : 75-78%
ElSakhawy dan Hassan (2007)
-
DP = 150
Stupinska et al. (2007)
Jenis asam Konsentrasi asam (0,55% w/w) Suhu (80, 100, 120°C) Waktu (30-120 menit)
Kondisi optimum : HCl, konsentrasi asam 2% (w/w), suhu 120°C, waktu 90 menit
Adel et al. (2010)
Hidrolisa dengan HCl
Konsentrasi asam (2,16-3,84 N) Suhu (73- 93°C) Waktu (43,2-76,8 menit)
Kondisi optimum : Konsentrasi HCl 2,5 N Suhu 89 °C Waktu 50 menit
Wu et al. (2001)
Tongkol jagung
Hidrolisa dengan HCl
Waktu hidrolisis (15, 30 dan 45 menit)
CrI : 73-78%
Azubuike dan Okhamafe (2012)
8.
Linter kapas
Hidrolisa dengan HCl
Konsentrasi asam (2,5-15%)
CrI : 71,40-77,80% DP : 150-730
Nada et al. (2009)
9.
Selulosa bakterial dan serat kenaf
Hidrolisa dengan HCl
Jenis bahan baku
CrI : 85% dan 70%
Keshk dan Haija (2011)
10.
Kulit kacang tanah
Hidrolisa dengan HCl
-
CrI : 74%
Azubuike et al. (2012)
Universitas Sumatera Utara
No.
Bahan Baku
Metode
Variabel Pengamatan
Yield/CrI/DP/Kondisi Optimum CrI : 60%
Rujukan
11.
Serat sisal
Hidrolisa dengan HCl
-
12.
Kulit kacang tanah
Hidrolisa dengan campuran asam (HCl + HNO3) di dalam digester bertekanan
-
Ukuran partikel : 75,87 mm
Hemanth et al. (2011)
13.
Limbah kapas
Hidrolisa dengan HCl
-
CrI = 83%
Chauhan et al. (2009)
14.
Jerami padi dan limbah pisang Rami
Hidrolisa dengan enzim
Jenis bahan baku
CrI : 88,8-96,3%
Ibrahim et al. (2013)
Hidrolisa dengan asam
Jenis bahan baku
Yield : 48-52,8%
Jahan et al. (2011)
Ampas tebu dan jerami padi Pulp kayu keras dan kayu lunak
Hidrolisa dengan HCl
Jenis bahan baku
Yield : 98,45% dan 94,6%
Ilindra dan Dhake (2008)
Hidrolisis dengan HCl
Jenis bahan baku Konsentrasi asam (0,025-0,05% dan 0,04-0,10%) Suhu (90-120 °C dan 110-130 °C)
LODP : 450,370 dan 250
Laka dan Chernyavskaya (2007)
18.
Serbuk gergaji
Hidrolisis dengan HCl
-
Yield : 87%
Oyeniyi dan Itiola (2012)
19.
Kulit jeruk
Hidrolisis dengan HCl
-
Yield : 25,3%
Ejikeme (2008)
20.
Kenaf bast, kenaf core dan pulp kayu
Hidrolisis dengan HCl
Jenis bahan baku
Yield : 80, 77 dan 85% CrI ; 77,7, 68,6 dan 76,4%
Wang et al. (2010)
21.
Kertas bekas cetakan
Hidrolisis dengan H2SO4
Jenis bahan baku
Yield : 10,2- 80,5% CrI : 71,6-78,1% DP : 186-207
Uyigue dan Okwonna (2013)
15.
16.
17.
Bhimte dan Tayade (2007)
Universitas Sumatera Utara
No.
Bahan Baku
Metode
Variabel Pengamatan
Yield/CrI/DP/Kondisi Optimum Yield : 69,5 % Kondisi optimum : konsentrasi HCl 6%, ratio material : liquid = 1 : 25 (v/v), jumlah NaOCl = 2,5 ml/ 100 ml
Rujukan
22.
Pomace apel
Hidrolisis dengan HCl
Konsentrasi HCl Rasio material/liquid Jumlah NaOCl yang ditambahkan
Li dan Xue (2011)
23.
Jerami
Hidrolisis dengan HCl
Konsentrasi HCl Suhu Waktu hidrolisis Rasio solid : liquid
Kondisi optimum : konsentrasi HCl 2 mol/l, suhu 70 °C, waktu 90 menit, rasio soild : liquid = 1 : 15
Zhang, et al. (2011)
24.
Tandan aren
Hidrolisis dengan HCl
-
Yield : 16-21,33% (dari tandan aren)
Sumaiyah (2012)
25.
Selulosa bakteri
Hidrolisis dengan H2SO4
Jenis bahan baku
DP = 250
Oliveira et al. (2012)
26.
Fiber kelapa sawit
Hidrolisis dengan H2SO4
-
Ukuran partikel : 6070% 0,480 ± 0,023 µm
Wittaya (2009)
27.
Tandan Kosong kelapa sawit
Hidrolisis dengan H2SO4
Waktu hidrolisis (1 dan 3 jam)
Yield : 1 jam (22%), 3 jam (18%) (dari tandan kosong kelapa sawit)
Soom et al. (2009)
28.
Tandan Kosong kelapa sawit
Hidrolisis dengan HCl
-
CrI : 87%
Haafiz et al. (2013)
Catatan : Penelitian yang tidak memiliki variabel pengamatan, hanya membandingkan hasil dan karakteristik selulosa mikrokristal yang diperoleh dengan selulosa mikrokristal komersial.
2.3.3 Aplikasi Selulosa Mikrokristal Aplikasi selulosa mikrokristal yang paling banyak ditemui adalah pada pembuatan tablet obat, karena dapat mengkombinasikan dua sifat utama yang dibutuhkan pada tablet yaitu ; dapat menghasilkan tablet yang sangat keras dan tablet yang diperoleh dapat terurai dengan cepat di air karena pembengkakan (swelling) partikel selulosa mikrokristal (Ejikeme, 2008). Saat ini, selulosa mikrokristal
Universitas Sumatera Utara
digunakan di berbagai bidang seperti industri farmasi, kosmetik, makanan dan plastik. Dalam bentuk bubuk, selulosa mikrokristal digunakan sebagai pengisi dan pengikat pada tablet medis dan tablet makanan suplemen. Dalam bentuk gel, selulosa mikrokristal digunakan sebagai regulator viskositas, zat pensuspensi, pengemulsi pada berbagai pasta, krim, dan sebagainya (Laka dan Chernyavskaya, 2007). Penelitian penggunaan selulosa nanofiber (termasuk selulosa mikrokristal) sebagai fase penguat pada komposit dimulai sejak dua dekade yang lalu (Dufresne, 2010; Eichhorn et al., 2010). Alasan mendasar dari penggunaan selulosa nanofiber pada material komposit adalah kekakuan kristal selulosa yang tinggi. Hal ini dapat dieksploitasi dengan menguraikan struktur hierarki tanaman menjadi nanofiber dengan kristalinitas yang tinggi, sehingga mengurangi jumlah material amorf yang ada dan diperoleh aspek rasio (L/d) yang tinggi. Nilai aspek rasio tersebut memungkinkan suatu panjang kritis untuk perpindahan tegangan dari matriks ke fase penguat (Khalil et al., 2012). Halasz et.al (2012) meneliti pengaruh selulosa mikrokristal dan nanokristal sebagai pengisi pada komposit PLA (Polylactic Acid) dengan plastisiser Polyethylene Glycol. Pembuatan komposit dilakukan dengan mencampurkan semua komponen pada twin screw co-rotating extruder dengan kecepatan putaran 50 rpm dan suhu 185°C. Lapisan komposit selanjutnya dibuat menggunakan single screw extruder dengan ketebalan 90-110 mikron. Berdasarkan hasil analisa yang dilakukan terhadap
Universitas Sumatera Utara
masing-masing komposit, disimpulkan bahwa kerapuhan PLA berkurang dengan penambahan selulosa mikrokristal dan selulosa nanokristal. Haafiz et.al (2013) membuat komposit PLA yang diisi dengan selulosa mikrokristal yang diperoleh dari tandan kosong kelapa sawit menggunakan metode casting. Variasi komposisi selulosa mikrokristal yang digunakan adalah 1, 3 dan 5 % (w/w). PLA dicampur dan diaduk dengan selulosa mikrokristal pada suhu 60 °C sampai seluruh PLA terlarut sempurna. Suspensi yang terbentuk selanjutnya disonikasi selama 5 menit dan dituangkan ke dalam cetakan kaca untuk memperoleh komposit dengan ketebalan ± 100 µm setelah penghilangan pelarut. Analisa terhadap komposit memperlihatkan bahwa penambahan kadar selulosa mikrokristal akan meningkatkan modulus Young yang disebabkan oleh efek pengerasan yang diberikan oleh selulosa mikrokristal. Namun, kekuatan tarik dan pemuluran saat putus menurun dengan bertambahnya kadar selulosa mikrokristal karena dispersi yang buruk pada matriks PLA dan berakibat terhadap pembatasan pergerakan matriks. Dispersi tersebut terlihat dari hasil analisa morfologi komposit menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy) dan AFM (Atomic Force Microscopy).
2.4
Komposit Polimer Komposit dapat didefinisikan sebagai material yang terdiri dari 2 atau lebih
fase yang berbeda secara fisika dan kimia, yang dipisahkan oleh lapisan antarmuka yang nyata. Komposit menjadi bagian yang penting dari material saat ini karena
Universitas Sumatera Utara
berbagai keuntungannya seperti ringan, tahan korosi, kekuatan yang tinggi dan pemasangan yang lebih cepat. Perbedaan mendasar dari campuran dan komposit adalah 2 komponen utama dalam komposit dapat dikenali, sedangkan pada campuran tidak dapat dikenali. Komposit merupakan kombinasi material yang berbeda komposisinya, dimana masing-masing komponen menahan identitasnya sendiri. Komponen terpisah ini bertindak bersama untuk menghasilkan kekuatan mekanik atau kekakuan yang dibutuhkan (Jose et al., 2012). Material komposit terdiri dari 2 atau lebih fase (fase matriks dan fase terdispersi) dan memiliki sifat-sifat yang signifikan berbeda dari setiap komponen. Fase matriks adalah fase primer yang memiliki karakter kontinu. Matriks biasanya lebih elastis dan sedikit keras. Matriks menahan fase terdispersi dan membagi bebannya dengan fase terdispersi. Fase terdispersi (penguat) tertanam di dalam matriks dalam bentuk yang tidak kontinu. Fase terdispersi biasanya lebih kuat dari matriks, sehingga kadang-kadang disebut dengan fase penguat (Jose et al., 2012). Material penguat pada komposit polimer biasanya berupa serat, tetapi dapat juga berupa mineral tanah. Kekuatan produk sangat bergantung pada rasio material penguat dalam komposit polimer. Komposit polimer sangat populer karena harganya yang rendah dan metode pembuatan yang sederhana. Penguatan polimer dengan jaringan serat yang kuat, memiliki karakter sebagai berikut: a.
Kekuatan yang tinggi
b.
Kekakuan yang tinggi
c.
Ketahanan terhadap pemutusan/pematahan yang tinggi
Universitas Sumatera Utara
d.
Ketahanan terhadap abrasi yang baik
e.
Ketahanan terhadap benturan yang baik
f.
Ketahanan terhadap korosi yang baik
g.
Ketahanan terhadap kelelahan (fatigue) yang baik
h.
Biaya yang rendah
Sedangkan kelemahan utama dari polimer komposit adalah: a. Resistansi termal yang rendah b. Koefisien ekspansi termal yang tinggi
Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat polimer komposit (Jose et al., 2012): 1.
Adhesi pada antarmuka Kelakuan dari material komposit dijelaskan berdasarkan kombinasi kelakuan dari komponen penguat, matriks polimer dan antarmuka serat/matriks pada Gambar 2.3. Untuk mencapai sifat mekanik terbaik, adhesi pada antarmuka harus kuat. Molekul matriks dapat dilabuhkan pada permukaan serat dengan reaksi kimia atau adsorpsi, yang menentukan tingkat adhesi pada antarmuka.
Universitas Sumatera Utara
Bulk matrix Polymer of Different Properties Sizing
Thermal, Chemical, Mechanical, Environments
Adsorbed Material Fiber Chemistry Fiber Topography Fiber Morfology Bulk Fiber
Gambar 2.3 Model Skematis Antarmuka Komposit Polimer (Downing et al., 2000) 2.
Bentuk dan orientasi pemasukan fase terdispersi (partikel, serpihan, serat dan laminar). Partikel tidak memiliki arah tertentu dan digunakan untuk meningkatkan sifat atau mengurangi biaya material isotropik. Bentuk partikel penguat antara lain bola, kubik, trombosit atau bentuk yang teratur atau tidak teratur. Penguatan partikel memiliki ukuran yang kira-kira sama pada semua arah. Komposit laminar terdiri dari 2 lembaran atau panel, yang memiliki arah tertentu untuk memperoleh kekuatan yang tinggi. Lapisan ditumpuk dan disatukan sehingga orientasi arah kekuatan yang tinggi bervariasi terhadap lapisan yang berurutan.
Universitas Sumatera Utara
3.
Sifat matriks Sifat dari polimer akan menentukan aplikasi yang tepat. Keuntungan utama polimer sebagai matriks adalah harga yang rendah, mudah diproses, resistansi kimia yang baik dan densitas yang rendah. Sebaliknya, kekuatan yang rendah, modulus yang rendah dan suhu operasi yang rendah membatasi penggunaannya (Huang dan Talreja, 2006). Polimer yang digunakan adalah polimer termoplastik, polimer termosetting, elastomer dan campurannya.
2.4.1 Polimer Termoplastik Termoplastik terdiri dari rantai molekul linier atau bercabang yang memiliki ikatan intermolekul yang kuat, tetapi ikatan antar molekul yang lemah. Polimer ini dapat dibentuk ulang dengan aplikasi panas dan tekanan dan strukturnya dapat berupa semikristal atau amorf. Contohnya adalah polyethylene, polypropylene, polystirene, nylon, polycarbonate, polyacetal, polyamide-imide, polyether ether ketone, polysulfone, polyphenylene sulfide, polyether imide, dan lain-lain (Jose et al., 2012).
2.4.2
Polimer Termosetting Termoset memiliki struktur sambung-silang atau jaringan dengan ikatan
kovalen pada seluruh molekul. Polimer ini tidak lembut tetapi terurai bila dipanaskan. Bila telah dipadatkan dengan proses sambung-silang, polimer ini tidak dapat dibentuk
Universitas Sumatera Utara
ulang. Contoh yang umum adalah epoxy, polyester, phenolic, urea, melamine, silicone dan polyimide (Jose et al., 2012).
2.4.3
Elastomer Elastomer adalah polimer dengan sifat viskoelastis, umumnya memiliki harga
modulus Young yang rendah dan regangan yang tinggi bila dibandingkan dengan material lain. Masing-masing monomer yang berhubungan untuk membentuk polimer biasanya terbuat dari karbon, hidrogen, oksigen dan silikon. Elastomer adalah polimer amorf yang ada di atas suhu transisi gelas (Tg), sehingga memungkinkan pergerakan ruas. Karet alam, polyisoprene sintetik, polybutadiene, chloroprene rubber, butyl rubber, ethylene propylene rubber, epichlorohydrin rubber, silicone rubber, fluoroelastomer, elastomer termoplastik, polysulfide rubber adalah contoh-contoh dari elastomer (Thomas et al., 2012).
2.5
Pati Pati merupakan karbohidrat, kandungan utama pada tanaman tingkat tinggi
yang diproduksi melalui fotosintesis dalam tanaman hijau. Pati diperoleh dalam seluruh organ tanaman tingkat tinggi yang disimpan dalam biji, umbi, akar dan jaringan batang tanaman sebagai cadangan energi untuk masa pertumbuhan dan pertunasan. Selain sebagai bahan makanan pati juga digunakan dalam industri non pangan, diantaranya perekat, deterjen, keramik, tekstil dan polimer. Pati merupakan polisakarida alami yang dapat diperbaharui dan dibiodegradasi, serta murah harganya.
Universitas Sumatera Utara
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosida dan rantai gula panjang. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung pada panjang rantai atom C-nya, apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya (Winarno, 1988). Untuk menganalisis adanya pati digunakan iodin, karena pati yang berikatan dengan iodin akan menghasilkan warna biru. Pati merupakan polimer karbohidrat dari unit anhidroglukosa (C6H10O5)x, yang terdiri dari dua polisakarida dengan struktur tertentu yaitu amilosa dan amilopektin (Winarno, 1988).
2.5.1 Mekanisme Peleburan dan Transformasi Pati Butiran pati sebagian berupa kristal dalam bentuk aslinya. Bila butiran pati kering dipanaskan, degradasi termal terjadi sebelum titik leburnya tercapai. Dengan demikian, pati tidak dapat dileburkan pada bentuk aslinya. Ikatan hidrogen yang menyatukan molekul pati harus dikurangi agar dapat meleburkan pati asli. Pengurangan ikatan hidrogen dapat dilakukan dengan menggunakan pelarut seperti air. Bila pati dipanaskan pada suatu media yang mengandung air, keadaan fase transisi berubah dari beraturan menjadi tidak beraturan. Proses ini disebut gelatinisasi. Sifat pati di dalam air adalah dasar dari kemampuan pati untuk dapat dilebur. Bila pati dipanaskan dengan pelarut pada suhu kritis, pelarut berinteraksi dengan gugus hidroksil pada pati, selanjutnya mengurangi ikatan hidrogen antara molekul pati. Fenomena ini memungkinkan rantai individu bergerak relatif bebas satu sama
Universitas Sumatera Utara
lainnya, sehingga memungkinkan pati dapat dileburkan. Suhu kritis saat fenomena ini terjadi disebut suhu gelatinisasi (Willet dan Doane, 2002). Pati termoplastik dibentuk melalui destrukturisasi butiran pati asli melalui pemanasan pada suhu yang relatif tinggi, kecepatan pengadukan yang tinggi dan dengan jumlah air yang terbatas (Hulleman et al., 1998). Pengolahan pati alami untuk membuat material bioplastik diperlukan untuk memecah dan meleburkan struktur aslinya. Stabilitas, pemrosesan dan sifat fisik pati termoplastik tergantung pada sifat zona amorf dan kristal dari struktur butiran. Transformasi butiran pati dipengaruhi oleh kondisi proses seperti suhu dan kadar plastisiser. Air dan gliserol adalah plastisiser yang paling umum digunakan. Selama proses termoplastisasi, pengaruh air dan gliserol pada butiran pati merupakan hal yang paling penting karena fungsi plastisiser sebagai pelumas yang dapat memfasilitasi mobilitas rantai polimer dan memperlambat kerusakan produk pati termoplastik (Van Soest et.al. 1996; Wu dan Zhang, 2001; Leblanc et al., 2008; Da Rz et al., 2006; Hulleman et al., 1999).
2.5.2 Pati sebagai Matriks Komposit Termoplastik Pati dari berbagai tanaman merupakan sumber bahan baku plastik biodegradable yang tersedia dengan harga murah bila dibandingkan dengan plastik sintetis (Ma et al., 2008). Dalam kondisi glassy (seperti kaca), pati menjadi rapuh dan sangat sensitif terhadap kelembaban. Untuk proses extruding dan molding, pati sering diubah menjadi pati termoplastik dengan penambahan plastisiser (Dufresne, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Pati yang diperkuat oleh selulosa merupakan salah satu contoh komposit polimer alam. Material ini memiliki beberapa keuntungan diantaranya dapat diperbaharui, terurai, tersedia dalam jumlah yang melimpah dan tidak mahal. Alasan utama dari penggunaan selulosa untuk memperkuat pati adalah perbaikan sifat mekanisnya. Wollerdofer dan Bader (1998) mempublikasikan bahwa pati gandum termoplastik yang diperkuat oleh selulosa memiliki kekuatan mekanis 4 kali lebih baik (37 N/mm2) dibandingkan dengan yang tidak diperkuat sama sekali. Bila dibandingkan dengan bahan pengisi anorganik, keuntungan yang dapat diperoleh dari penggunaan bahan pengisi selulosa antara lain; dapat diperbaharui, tersedia melimpah di seluruh dunia, konsumsi energi yang rendah, biaya yang rendah, densitas yang rendah, kekuatan dan modulus yang tinggi (aspek rasio serat yang diinginkan), tingkat peredaman suara yang tinggi, mudah diproses (karena fleksibilitas dan sifat non abrasif, yang memungkinkan jumlah pengisian yang banyak, sehingga dapat menghemat biaya), dan permukaan yang relatif reaktif.
2.5.3
Penelitian Terdahulu mengenai Komposit Pati Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk mengembangkan pembuatan
komposit pati dengan bahan pengisi selulosa, antara lain melalui proses hot press molding dan foaming, extrusion, serta injection molding (Yu, 2006), terangkum pada Tabel 2.2.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu mengenai Komposit Pati dengan Selulosa sebagai Bahan Pengisi No.
Matriks
Pengisi
Plastisiser
Metode Pembuatan Pencampuran dan casting
Rujukan
1.
Pati kacang polong
Selulosa nanokristal dari serat rami
Gliserol
2.
Pati ubi
Serbuk batang ubi kayu
Gliserol
Pencampuran dan casting
Yusmarlela (2009)
3.
Pati jagung
Serbuk halus tongkol jagung
Gliserol
Pencampuran dan casting
Pasaribu (2009)
4.
Pati jagung
Serat selulosa dari kertas koran bekas
Gliserol
Pencampuran dan hot press molding
Wattanakornsiri et al. (2011)
5.
Pati kacang polong
Selulosa nanokristal dari bambu
Gliserol
Pencampuran dan casting
Liu et al. (2011)
6.
Pati singkong
Selulosa serat nano dari jerami padi
Gliserol
Sritongkham et al. (2012)
7.
Pati beras
Serat kapas, LDPE dan MAPE atau VTMS (compatibilizer)
Gliserol
Pencampuran dan hot compression molding Pencampuran dan hot compression molding
8.
Pati singkong
Selulosa serat tebu
Gliserol
Pencampuran dan hot compression molding
Jeefferie et al. (2011)
9.
Pati beras
Ampas press kelapa sawit
-
Pencampuran dan casting
Wittaya (2009)
2.6
Cao et al. (2008)
Prachayawarakorn et al. (2010)
Singkong (Mannihot esculenta) Singkong (Mannihot esculenta) adalah umbi-umbian yang mengandung pati
dan termasuk famili Euphorbiaceae. Singkong merupakan salah satu sumber energi yang paling penting di wilayah tropis. Meskipun singkong tumbuh dengan baik di tanah yang subur, keuntungannya untuk penanaman yang lebih menguntungkan adalah kemampuan singkong untuk tumbuh di tanah asam dengan tingkat kesuburan
Universitas Sumatera Utara
yang rendah, curah hujan yang sporadis atau musim kering yang panjang. Penanaman yang paling sesuai adalah pada lahan dengan ketinggian 1800 meter di atas permukaan laut, suhu 20-30 °C (optimum pada 24 °C), kelembaban relatif 50-90% (optimum pada 72%) dan curah hujan tahunan 600-3.000 mm (optimum pada 1.500 mm). Secara luas, tanaman ini dikembangkan di Afrika, Asia dan Amerika Latin, serta merupakan tanaman utama keempat di negara-negara berkembang, dengan kisaran produksi pada tahun 2006 sebesar 226 juta ton. Produk singkong dapat digunakan pada industri terutama dari pati (Navia dan Villada, 2012). Akar singkong terdiri dari 3 jaringan : periderm (kulit ari), parenkim kortikal (kulit luar) dan parenkim bagian dalam, dimana sekitar 80% dari berat basah akar berhubungan dengan parenkim atau pulp, yang merupakan jaringan yang menyimpan pati. Kandungan zat kering pada akar singkong berfluktuasi antara 30% dan 40%. Zat kering terdiri dari parenkim (90-95%), yang tersusun atas fraksi nitrogen dan karbohidrat (pati dan gula), sisanya berupa serat (1-2%), lemak (0,5-1,0%, abu dan mineral (1,5-2,4%) dan protein (2,0%). Pati juga merupakan bagian utama dari karbohidrat (96%) yang terdapat pada zat kering akar (FAO, 2007). Pati singkong secara komersial lebih dikenal dengan nama tapioka. Tapioka diperoleh melalui proses penggilingan umbi singkong, dekantasi, pemisahan ampas dengan konsentrat, pengendapan dan pengeringan. Beberapa sifat umum dari pati singkong adalah (Herawati, 2010):
Universitas Sumatera Utara
a.
Pati singkong terdiri dari 17% amilosa dan 83% amilopektin.
b.
Granulanya berbentuk semi bulat dengan salah satu dari bagian ujungnya mengerucut dengan ukuran 5-35 µm.
2.7
c.
Suhu gelatinisasi pati singkong berkisar antara 52-64 °C
d.
Kristalinitas 38%
e.
Kekuatan pembengkakan sebesar 42 µm
f.
Kelarutan dalam air 31%
Gliserol Gliserol adalah senyawa kimia 1,2,3-propanatriol dengan rumus molekul
CH2OHCHOHCHO2OH (The Soap dan Detergent Association, 1990). Senyawa ini ditemukan melimpah di alam dalam bentuk trigliserida, kombinasi kimia antara gliserol dan asam lemak yang merupakan penyusun utama dari hampir seluruh minyak nabati dan lemak hewani. Trigliserida pada tumbuhan berasal dari karbohidrat yang dihasilkan secara fotosintesis dari air dan karbondioksida. Pada hewan, trigliserida terbentuk melalui asimilasi trigliserida yang terdapat dalam makanan dan melalui biosintesis dari makanan pengganti lain, seperti karbohidrat. Secara industri, gliserol adalah produk dari lemak dan minyak yang telah disaponifikasi, dihidrolisa, atau ditransesterifikasi, yang kembali ke wujud padat dan kemudian dimurnikan dengan proses destilasi atau pertukaran ion. Gliserol juga dapat disintesa dari propilene, atau dihasilkan melalui fermentasi atau hidrogenolisis karbohidrat. Gliserol memiliki 1500 macam penggunaan, termasuk aplikasi pada
Universitas Sumatera Utara
kandungan atau bahan pembantu dalam proses pada kosmetik, perlengkapan mandi, produk perawatan, formulasi produk farmasi dan makanan (Pagliaro dan Rossi, 2008). Sebagian besar volume gliserol digunakan untuk makanan hingga busa urethane. Beberapa grade gliserol yang diproduksi sesuai peruntukannya antara lain U.S. Pharmacopeia (USP), Chemically Pure (CP), Food Grade, High Gravity, Dynamite dan Saponification Crude dan Soap Lye Crude. Gliserol dapat menghasilkan efek plastisasi pada material. Efek plastisasi pada gliserol merupakan akibat dari kombinasi sifat-sifat seperti kekuatan pelarut, volatilitas yang rendah dan nonkristalinitas, serta higroskopisitas. Hal ini juga bergantung pada ukuran molekul dan struktur gliserol yang relatif terhadap struktur molekul atau celah (rongga) dari material yang diplastisasi. Sifat pelumasan gliserol pada material juga dapat menjadi faktor penyebab efek ini. Efek plastisasi yang dimiliki gliserol serta ketersediaannya yang melimpah di alam, menjadi alasan penggunaannya sebagai plastisiser dalam pembuatan komposit termoplastik (The Soap dan Detergent Association, 1990).
2.8
Response Surface Methodology untuk Optimasi Proses Response Surface Methodology atau RSM adalah kumpulan dari teknik
matematika dan statistika yang berguna untuk pemodelan dan analisis permasalahan dimana respon dipengaruhi oleh beberapa variabel dan bertujuan untuk mengoptimasi respon. RSM merupakan prosedur berurutan. Jika daerah optimum telah ditemukan,
Universitas Sumatera Utara
suatu model yang lebih rumit, seperti model orde 2 dapat digunakan, dan suatu analisis dapat dilakukan untuk menemukan titik optimum (Montgomery, 2001).
2.8.1
Rancangan Percobaan untuk Model Orde Dua Central Composite Design (CCD) adalah rancangan yang sangat efisien untuk
model orde 2. Terdapat 2 parameter dalam rancangan yang harus dispesifikasi: jarak α run aksial dari titik tengah rancangan dan jumlah titik tengah nc, seperti yang terlihat pada Gambar 2.4. x2
x3
x2 (+1,+1)
(-1,+1)
x1 (0,0)
(-α,0)
(-1,-1)
x1
(α,0)
(+1,-1)
Gambar 2.4 Central Composite Design untuk k=2 dan k=3 (Montgomery, 2001) Kemampuan berputar adalah dasar pemilihan rancangan response surface. Karena tujuan RSM adalah optimasi dan lokasi titik optimum tidak diketahui sebelum melaksanakan percobaan, hal ini menimbulkan pemikiran untuk menggunakan suatu rancangan yang memberikan perkiraan dengan ketepatan yang sama di semua arah.
Universitas Sumatera Utara
CCD dibuat dapat berputar dengan pemilihan α. Nilai α untuk kemampuan berputar
tergantung pada jumlah titik pada rancangan faktorial; pada kenyataannya, α = menghasilkan CCD yang dapat berputar dimana nF adalah jumlah titik yang digunakan dalam rancangan faktorial. Bila daerah peminatan adalah suatu bola, maka rancangan harus meliputi run pada titik tengah yang memberikan varians respon yang stabil. Umumnya, 3-5 run pada titik tengah direkomendasikan. Jika mengggunakan rancangan percobaan RSM perlu dipertimbangkan pemblokiran untuk menghilangkan variabel yang mengganggu. Rancangan percobaan RSM disebut terblok secara ortogonal jika terbagi menjadi blok-blok dimana blok tersebut tidak mempengaruhi perkiraan parameter dari model RSM. Untuk rancangan orde 2 yang diblok secara ortogonal, terdapat 2 kondisi yang harus dipenuhi. Jika terdapat nb pengamatan dalam blok ke-b, maka kondisinya adalah sebagai berikut: 1.
Setiap blok harus menjadi suatu rancangan ortogonal orde pertama, sehingga nb
∑ x iu x ju = 0
i ≠ j = 0, 1, . . ., k
untuk semua b
u =1
dimana xiu dan xju adalah level variabel ke-i dan ke-j dalam run ke-u dari percobaan dengan xou = 1 untuk semua u. 2.
Fraksi total sum of square dari masing-masing variabel dikontribusikan oleh setiap blok yang harus sama dengan fraksi pengamatan total yang terjadi pada blok, sehingga
Universitas Sumatera Utara
nb
2 ∑ x iu
u =1 N
2 ∑ x iu
n = b N
i = 1, 2, . . . , k untuk semua b
u =1
Dimana N adalah jumlah run pada perancangan. Jika k cukup besar, rancangan faktorial dapat dibagi menjadi 2 atau lebih blok. Tabel 2.3 menunjukkan beberapa susunan blok untuk central composite design dengan berbagai nilai k (jumlah variabel). Tabel 2.3 Beberapa Central Composite Design yang terblok secara Ortogonal (Montgomery, 2001) K Blok Faktorial nF Jumlah blok Jumlah titik setiap blok Jumlah titik pusat setiap blok Total jumlah titik setiap blok Blok aksial nA nCA Total jumlah titik pada blok aksial Jumlah titik N pada perancangan (jumlah run) Nilai α Blok ortogonal Dapat diputar
2
3
4
5
5 ½ rep.
6
6 ½ rep.
7
7 ½ rep.
4 1 4 3
8 2 4 2
16 2 8 2
32 4 8 2
16 1 16 6
64 8 8 1
32 2 16 4
128 16 8 1
64 8 8 1
7
6
10
10
22
9
20
9
9
4 3 7
6 2 8
8 2 10
10 4 14
10 1 11
12 6 18
12 2 14
14 11 25
14 4 18
14
20
30
54
53
90
54
169
80
1,4142 1,4142
1,6330 1,6818
2 2
2,3664 2,3784
2 2
2,8284 2,8284
2,3664 2,3784
3,3636 3,3333
2,8284 2,8284
2.8.2 Analisis Response Surface Orde Dua Model orde 2 direpresentasikan dengan persamaan :
Universitas Sumatera Utara
k
k
i=1
i=1
y = β o + ∑ β i x i + ∑ β ii x 2i + ∑ ∑ β ij x i x j + ε
..........(2-3)
i< j
Seandainya kita ingin menemukan level x1, x2, …, xk yang dapat mengoptimasi respon. Titik ini, jika ada, akan menjadi kumpulan dari x1, x2, …, xk dimana turunan
parsial dari = = . . . = = 0. Titik ini disebut dengan titik stasioner, yang dapat mewakili titik maksimum respon, titik minimum respon atau titik sadel. Kita dapat memperoleh penyelesaian matematika secara umum untuk titik stasioner dengan persamaan-persamaan berikut:
dimana,
dan
..........(2-4)
# # " " … # " ' % &
b adalah vektor ( ) 1 untuk koefisien regresi orde pertama dan B adalah matriks ( ) ( simetris dengan elemen diagonal utama berupa koefisien kuadratik murni ++ dan elemen selain diagonal berupa setengah dari koefisien kuadratik campuran +, , . / 0. Turunan dari terhadap elemen dari vektor x sama dengan 0, sehingga
2 0
..........(2-5)
Titik stasioner adalah penyelesaian persamaan 2-5, atau 3 4
5
..........(2-6)
Dengan mensubstitusi persamaan 2-6 ke persamaan 2-4, maka respon pada titik stasioner dapat diperoleh dengan persamaan: ..........(2-7)
Universitas Sumatera Utara