BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Konsep Pembangunaan dan Ekonomi
2.1.1. Pembangunan Ekonomi Terdapat dua hal yang menjadi fokus perhatian dari pembangunan ekonomi khususnya di negara-negara berkembang yaitu bagaimana pembangunan ekonomi suatu negara mampu menurunkan angka kemiskinan dalam jangka pendek, serta memberikan jaminan kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang. Hal ini sejalan dengan pandangan Hayami (2001) bahwa tugas utama ekonomi pembangunan adalah mengeksplorasi kemungkinan pengentasan kemiskinan bagi negara-negara berkembang. Tujuan utama ekonomi pembangunan adalah mendapatkan jawaban dari pertanyaan bagaimana ekonomi negara-negara berpendapatan rendah saat ini dapat diletakkan pada jalur pembangunan ekonomi berkelanjutan untuk mencapai tujuan jangka pendek dalam mengentaskan kemiskinan dan tujuan jangka panjang mencapai kesejahteraan ekonomi. Untuk mencapai tujuan ekonomi pembangunan tersebut terdapat nilai-nilai pokok dan tujuan dari sebuah pembangunan ekonomi. Tiga nilai inti pembangunan tersebut adalah : -
Kecukupan, yaitu kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar.
-
Harga diri menjadi manusia seutuhnya.
-
Kebebasan sikap dari menghamba. Menurut Todaro dan Smith (2006), pembangunan memiliki tiga tujuan utama
yaitu : -
Peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai barang kebutuhan hidup yang pokok.
-
Peningkatan standar hidup.
-
Perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial. Berawal dari serangkaian pertanyaan mendasar yang diajukan Prof. Dudley
Seers mengenai makna pembangunan, Todaro dan Smith (2006) mendefinisikan pembangunan ekonomi sebagai “Kemampuan suatu negara untuk mengatasi
14 masalah-masalah kemiskinan penduduk, tingkat pengangguran, dan perubahanperubahan yang berarti atas penanggulangan masalah ketimpangan pendapatan”. Jika suatu negara telah mampu mengatasi masalah-masalah kemiskinan penduduk, tingkat pengangguran dan perubahan-perubahan yang berarti atas penanggulangan masalah ketimpangan pendapatan maka negara tersebut telah melakukan pembangunan. Jika salah satu dari ketiga masalah mendasar tersebut menjadi semakin buruk maka negara tersebut tidak bisa dikatakan melakukan pembangunan yang positif meskipun pendapatan perkapitanya mengalami peningkatan. Jadi pada intinya keberhasilan pembangunan ekonomi tidak hanya dengan mengukur atau melihat besarnya pendapatan nasional ataupun pendapatan per kapita saja, tetapi termasuk juga di dalamnya pemerataan disitribusi pendapatan di masyarakat. 2.1.2. Ekonomi Wilayah Pembangunan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari kondisi suatu negara atau wilayah yang sangat mungkin berbeda-beda. Perbedaan tersebut menyebabkan kebijakan pembangunan ekonomi suatu negara atau wilayah harus berbeda-beda karena karakteristik spasial yang berbeda. Ilmu ekonomi wilayah membahas atau menganalisis kegiatan ekonomi suatu wilayah (atau bagian wilayah) secara keseluruhan atau melihat berbagai wilayah dengan potensinya yang beragam dan bagaimana mengatur suatu kebijakan yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi seluruh wilayah (Tarigan, 2005) Teori regional adalah penjelasan tentang perilaku ekonomi di dalam ruang atau spasi, ekonomi regional adalah studi tentang perilaku ekonomi masyarakat dalam ruang di dalam suatu pengaturan spasial mengenai proses dan struktur ekonomi sebagai sub sistem dari perekonomian suatu negara (Adisasmita 2005). Berdasarkan pendapat Tarigan dan Adisasmita di atas dapat disimpulkan bahwa ekonomi wilayah sebagai upaya untuk mengatasi masalah-masalah kemiskinan dan ketimpangan, tidak dapat berdiri sendiri atau terlepas dari perilaku ekonomi dalam ruang maupun spasialnya dan kaitan antar wilayah dengan sistem ekonomi di atasnya (ekonomi nasional).
15 2.1.3. Pembangunan Ekonomi Wilayah Pembangunan secara filosofis dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai altenatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Secara konseptual pembangunan adalah suatu proses perbaikan yang berkesinambungan atas suatu masyarakat atau sistem sosial secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih manusiawi dan pembangunan adalah mengadakan atau membuat atau mengatur sesuatu yang belum ada atau belum dilakukan sebelumnya (Rustiadi et al, 2009). Menurut Todaro (2006),
pembangunan harus memenuhi tiga komponen
dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman praktis dalam memahami pembangunan yang paling hakiki yaitu kecukupan memenuhi kebutuhan pokok (subsistence), meningkatkan rasa harga diri atau jati diri (selfesteem) dan kebebasan (freedom) untuk memilih. Todaro (2006) berpendapat bahwa pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multi dimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusional, di samping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan serta
pengentasan
kemiskinan.
Pada
hakekatnya
pembangunan
harus
mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara material maupun spiritual. Menurut Anwar (2001), perubahan total di atas secara incremental maupun paradigma adalah mengarahkan pembangunan kepada terjadinya pemerataan (equity) yang mendukung pertumbuhan ekonomi (efficiency), dan berkelanjutan (sustainability). Tanpa terjadinya pemerataan, efisiensi dan berkelanjutan maka pembangunan tersebut dapat menjadi bumerang bagi suatu wilayah. Di sisi lain, Jhingan (1983) menyatakan bahwa kemiskinan di suatu tempat merupakan bahaya bagi kemakmuran. Ketimpangan pendapatan yang terlalu jauh yang memungkinkan terjadi kemiskinan pada suatu wilayah dapat berkembang
16 pada pemiskinan wilayah-wilayah sekitarnya, yang ditandai dengan urbanisasi dan migrasi penduduk ke suatu wilayah secara terus-menerus dalam jumlah yang tidak terkendali, yang pada akhirnya menimbulkan kekumuhan dan kemiskinan di wilayah baru tersebut. Menurut Meier dan Baldwin dalam Jhingan (1983), pengkajian mengenai kemiskinan bangsa-bangsa bahkan terasa lebih mendesak dari pada pengkajian kemakmurannya. Prof. G. Myrdal dalam bukunya “Economic Theory and Underdevelopment Region“ mengatakan bahwa negara terbelakang seyogyanya tidak menerima tanpa kritik teori-teori ekonomi yang telah diwariskan, tetapi menyaring dan mencocokkan dengan kepentingan dan permasalahan sendiri, karena jika teoriteori tersebut hendak diterapkan tanpa kehati-hatian pada masalah yang dihadapi maka ia akan celaka (Jhingan, 1983). Perlu menjadi perhatian serius bagi para pembuat kebijakan ekonomi adalah apa yang dikatakan Yujiro Hayami dalam bukunya “Development Economics From The Poverty to The Wealth of Nation”, bahwa 16 % penduduk dunia ini mendapatkan 80 % dari pendapatan dunia. Sebaliknya, 3.2 milyar penduduk atau hampir 60 % dari populasi dunia, di negara-negara berpendapatan per kapita di bawah $700 mendapatkan 5 % dari pendapatan dunia. Dengan demikian pelepasan diri dari kemiskinan melalui pembangunan ekonomi harus menjadi tujuan nasional bagi negara-negara berpendapatan rendah (Hayami, 2001). Namun demikian, pengentasan kemiskinan bagi negara-negara berkembang bukan hanya diinginkan dalam konteks kemanusiaan tetapi juga diperlukan bagi negara-negara maju dimana kedamaian dan kesejahteraan sangat penting untuk menjaga stabilitas internasional. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan pemahaman mengenai struktur dan mekanisme ekonomi pendapatan rendah (Hayami, 2001). 2.2.
Teori-Teori Lokasi
Teori lokasi adalah ilmu yang mengkaji tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi atau alokasi geografis dari sumber-sumber yang langka serta hubungannya dengan atau pengaruhnya terhadap lokasi berbagai macam usaha baik ekonomi maupun sosial (Tarigan, 2005). Walaupun teori yang menyangkut
17 pola lokasi tidak banyak berkembang tetapi sudah dirintis oleh beberapa peneliti sejak awal abad 19. Analisis lokasional ini pada awalnya merupakan pertanyaan inti dari ilmu ekonomi wilayah. Analisis yang dikembangkan oleh von Thunen, Weber, Losch dan Christaller di abad 19 dan awal abad 20 pada dasarnya mencari jawabanjawaban tentang dimana dan mengapa aktivitas ekonomi memilih lokasi (Rustiadi et al, 2009) Pada awalnya (hingga tahun 1950-an) teori lokasi hanya didominasi oleh pendekatan-pendekatan geografis-lokasional atau teori lokasi klasik (von Thunen, Weber, Palander, Hotelling, Predohl, Losch dan lain-lain). Sejak tahun 1950-an, teori lokasi berkembang diperkaya
dengan analogi-analogi ilmu ekonomi umum dan
analisis-analisis kuantitatif standar ilmu ekonomi, khususnya
ekonometrika, dynamic model dan model-model optimasi seiring berkembangnya ilmu kewilayahan (regional science). Sejak akhir tahun 1980-an mulai tumbuh pendekatan-pendekatan metodologis kuantitatif yang mempertimbangkan aspekaspek spasial, khususnya dengan dimasukkannya pertimbangan autokeralasi spasial dan heterogenitas spasial. Pada tahap-tahap modern, model-model spatio temporal semakin dikembangkan, khususnya dengan berkembangnya metodemetode statistika spasial, ekonometrika spasial dan Sistem Informasi Geografis, (Rustiadi et al, 2009). 2.2.1.
Teori Pola Produksi Pertanian Von Thunen
Perkembangan teori lokasi klasik diawali dengan analisis lokasi areal pertanian oleh Johann Heinrich von Thunen, seorang ekonom Jerman, pada tahun 1826 dengan tulisannya berjudul Der Isolierte Staat (negara yang terisolasi). Karya ini adalah tonggak penting konsep tata ruang wilayah.
Asumsi yang
digunakan von Thunen adalah suatu negara terisolasi dengan kondisi iklim, tanah, topografi dan alat transportasi yang seragam. Secara keseluruhan, buku tersebut membahas masalah pertanian, ekonomi nasional, upah, suku bunga dan land rent. Teori von Thunen menghubungkan antara konsep ekonomi dengan lokasi spasial sehingga meskipun teorinya sudah lama tetapi tetap berguna sampai saat ini (Rustiadi et al, 2009).
18 Dalam menyusun modelnya, von Thunen menggunakan asumsi-asumsi sebagai berikut : 1. Pusat kota sebagai pusat pemasaran, lokasi di pusat suatu wilayah homogen secara geografis. Bagian pusat adalah pusat pemukiman, pusat industri yang sekaligus merupakan pusat pasar. 2. Biaya transportasi berbanding lurus dengan jarak 3. Petani
secara
rasional
cenderung
memilih
jenis
tanaman
yang
menggambarkan
suatu
menghasilkan keuntungan maksimal. Dalam
menganalisis
modelnya,
von
Thunen
kecenderungan pola ruang dengan bentuk wilayah yang melingkar seputar kota, yang didasarkan pada economic rent dimana setiap tipe penggunaan lahan akan menghasilkan hasil bersih per unit areal yang berbeda-beda, sehingga modelnya disusun berupa zone-zone konsentrik. Konsep von Thunen pada dasarnya menjelaskan bahwa penggunaan lahan sangat ditentukan oleh biaya angkut produk yang diusahakan yang pada akhirnya menentukan sewa ekonomi tanah (land rent). Kesimpulan penting yang dapat diambil dari pengembangan teori von Thunen adalah : 1)
Kecenderungan
semakin menurunnya keuntungan akibat makin jauhnya lokasi produksi dari pasar, namun terdapat perbedaan laju penurunan antar komoditas dan 2) Jumlah pilihan-pilihan menguntungkan yang semakin menurun dengan bertambahnya jarak ke kota atau pusat kota. Rustiadi et al (2009) menyatakan bahwa konsep land rent yang dikembangkan von Thunen untuk aplikasi landuse perkotaan menghadapi sejumlah kendala karena : 1) Penggunaan lahan perkotaan terbesar untuk sektor perumahan, bukan untuk aktivitas produksi; 2) Kota mempunyai struktur sangat kompleks, tidak hanya berdimensi horisontal tetapi juga vertikal sehingga landuse perkotaan juga bercampur baur dan 3) Masih ada kota-kota besar yang mempunyai aksesibilitas tunggal terhadap pasar. Oleh karenanya di kota tidak ditemukan pola konsentris yang rapi, tidak seperti di lokasi pertanian.
19 2.2.2.
Teori Lokasi Alfred Weber
Alfred Weber seorang ahli ekonomi Jerman menulis buku berjudul Uber den Standort der Industrien pada tahun 1909. Jika Von Thunen menganalisis lokasi kegiatan pertanian maka Weber menganalisis lokasi kegiatan industri. Weber mendasarkan teorinya bahwa pemilihan lokasi industri didasarkan atas prinsip minimisasi biaya. Weber menyatakan lokasi setiap industri tergantung pada total biaya transportasi dan tenaga kerja dimana penjumlahan keduanya harus minimum. Tempat dimana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimum adalah identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum. Dalam perumusan modelnya, asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut: 1.
Bidang bahasan adalah suatu wilayah yang terisolasi, iklim yang homogen, konsumen terkonsentrasi pada beberapa pusat dan kondisi pasar adalah persaingan sempurna.
2.
Beberapa sumber daya alam seperti air, pasir dan batu-bata tersedia dimanamana (ubiquitous) dalam jumlah yang memadai.
3.
Material lainnya seperti bahan bakar mineral dan tambang tersedia secara sporadis dan hanya terjangkau pada beberapa tempat terbatas.
4. Tenaga kerja tidak ubiquitous (tidak menyebar secara merata) tetapi berkelompok pada beberapa lokasi dan dengan mobilitas yang terbatas. Berdasarkan asumsi itu, ada tiga faktor yang mempengaruhi lokasi industri, yaitu : Biaya transportasi; Upah tenaga kerja; dan Dampak aglomerasi dan Deaglomerasi. Biaya transportasi dan biaya upah tenaga kerja merupakan faktor umum yang secara fundamental menentukan pola lokasi dalam kerangka geografis. Dampak aglomerasi atau deaglomerasi merupakan kekuatan lokal yang berpengaruh menciptakan konsentrasi atau pemencaran berbagai kegiatan dalam ruang. Biaya transportasi merupakan faktor pertama dalam menentukan lokasi sedangkan kedua faktor lainnya merupakan faktor yang memodifikasi lokasi. Biaya transportasi bertambah secara proporsional dengan jarak. Jadi titik terendah biaya transportasi adalah titik yang menunjukkan biaya minimum untuk angkutan bahan baku dan distribusi hasil produksi.
20 Aglomerasi memberikan keuntungan antara lain berupa: fasilitas seperti tenaga listrik, air, perbengkelan, pemondokan, dan lain-lain. Sering kali pada lokasi seperti ini sudah terdapat pula tenaga kerja yang terlatih. Fasilitas ini akan menurunkan biaya produksi atau kebutuhan modal karena kalau terpisah jauh semua fasilitas harus dibangun sendiri. Aglomerasi Versi Weber. Aglomerasi adalah pengelompokkan beberapa perusahaan dalam suatu daerah atau wilayah sehingga membentuk daerah khusus industri. Aglomerasi juga bisa dibagi mencadi dua macam, yaitu aglomerasi primer di mana perusahaan yang baru muncul tidak ada hubungannya dengan perusahaan lama dan aglomerasi sekunder jika perusahaan yang baru beroperasi adalah perusahaan yang memiliki tujuan untuk memberi pelayanan pada perusahaan yang lama. Beberapa sebab yang memicu terjadinya aglomerasi : 1) Tenaga kerja tersedia banyak dan banyak yang memiliki kemampuan dan keahlian yang lebih baik dibanding di luar daerah tersebut; 2) Suatu perusahaan menjadi daya tarik bagi perusahaan lain; 3) Berkembangnya suatu perusahaan dari kecil menjadi besar, sehingga menimbulkan perusahaan lain untuk menunjang perusahaan yang membesar tersebut; 4) Perpindahan suatu kegiatan produksi dari satu tempat ke beberapa tempat lain; 5) Perusahaan lain mendekati sumber bahan untuk aktifitas produksi yang dihasilkan oleh perusahaan yang sudah ada untuk saling menunjang satu sama lain. Deglomerasi. Deglomerasi adalah suatu kecenderungan perusahaan untuk memilih lokasi usaha yang terpisah dari kelompok lokasi perusahaan lain. Beberapa sebab yang memicu terjadinya deglomerasi: 1) Harga buruh yang semakin meningkat di daerah padat industri; 2) Penyempitan luas tanah yang dapat digunakan karena sudah banyak dipakai untuk perumahan dan kantor pemerintah; 3) Harga tanah yang semakin tinggi di daerah yang telah padat; 4) Sarana dan prasarana di daerah lain semakin baik namun harga tanah dan upah buruh masih rendah. 2.2.3. Teori Lokasi August Losch Berbeda dengan Weber yang melihat persoalan dari sisi produksi, Losch melihat persoalan dari sisi permintaan pasar. Losch mengatakan bahwa lokasi penjual berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang dapat dijaringnya. Makin
21 jauh dari pasar, konsumen enggan membeli karena biaya transportasi (semakin jauh tempat penjualan) semakin mahal. Produsen harus memilih lokasi yang menghasilkan penjualan terbesar. Losch menyarankan lokasi produksi ditempatkan di dekat pasar (Centre Business District).
Kontribusi utama Losch adalah memperkenalkan potensi
permintaan (demand) sebagai faktor penting dalam lokasi industri, Kedua, kritik terhadap pendahulunya yang selalu berorientasi pada biaya terkecil; padahal yang biasanya dilakukan oleh industri adalah memaksimalkan keuntungan (profit– revenue maximation) dengan berbagai asumsi, Losch mengemukakan bagaimana economic landscape terjadi, yang merupakan keseimbangan (equillibrium) antara supply dan demand. August Losch merupakan orang pertama yang mengembangkan teori lokasi dengan segi permintaan sebagai variabel utama. Teori ini bertujuan untuk menemukan pola lokasi industri sehingga diketemukan keseimbangan spasial antar lokasi. Losch berpendapat bahwa dalam lokasi industri yang tampak tak teratur dapat diketemukan pola keberaturan. Teori Losch berasumsi suatu daerah yang homogen dengan distribusi sumber bahan mentah dan sarana angkutan yang merata serta selera konsumen yang sama. Kegiatan ekonomi yang terdapat di daerah tersebut merupakan pertanian berskala kecil yang pada dasarnya ditujukan bagi pemenuhan kebutuhan petani masing-masing. Perdagangan baru terjadi bila terdapat kelebihan produksi. Untuk mencapai keseimbangan, ekonomi ruang Losch harus memenuhi beberapa syarat sebaai berikut : 1) Setiap lokasi industri harus menjamin keuntungan maksimum bagi penjual maupun pembeli; 2) Terdapat cukup banyak usaha pertanian dengan penyebaran cukup merata sehingga seluruh permintaan yang ada dapat dilayani; 3) Terdapat free entry dan tak ada petani yang memperoleh super-normal propfit sehingga tak ada rangsangan bagi petani dari luar untuk masuk dan menjual barang yang sama di daerah tersebut; 4) Daerah penawaran adalah sedemikian hingga memungkinkan petani yang ada untuk mencapai besar optimum dan 5) Konsumen bersikap indifferent terhadap penjual manapun dan satu-satunya pertimbangan untuk membeli adalah harga yang rendah. Pada teori Losch, wilayah pasar bisa berubah ketika terjadi inflasi (perubahan) harga. Hal ini disebabkan karena produsen tidak
22 mampu memenuhi permintaan yang karena jaraknya jauh akan mengakibatkan biaya transportasi naik sehingga harga jualnya juga naik, karena tingginya harga jual maka pembelian makin berkurang. Hal ini mendorong petani lain melakukan proses produksi yang sama untuk melayani permintaan yang belum terpenuhi. Dengan makin banyaknya petani yang menawarkan produk yang sama, maka akan terjadi dua keadaan : 1) Seluruh daerah akan terlayani; 2) Persaingan antar petani penjual akan semakin tajam dan saling berebut pembeli. Losch berpendapat bahwa akhirnya luas daerah pasar masing-masing petani penjual akan mengecil dan dalam keseimbangannya akan terbentuk segienam beraturan. Bentuk ini dipilih karena menggambarkan daerah penjualan terbesar yang masih dapat dikuasai setiap penjual dan berjarak minimum dari tempat lokasi kegiatan produksi yang bersangkutan. Keseimbangan yang dicapai dalam teori Losch berasumsi bahwa harga hanya dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran, oleh karenanya keseimbangan akan terganggu bila salah seorang penjual menaikkan harga jualnya. Keputusan ini mengakibatkan tidak hanya pasar menyempit karena konsumen tak mampu membeli tapi sebagian pasar akan hilang dan direbut oleh penjual yang berdekatan. Untuk memperluas jangkauan pasar dapat dilakukan dengan menjual barang yang berbeda jenis dari yang sudah ditawarkan. 2.2.4 Teori Lokasi Industri Christaller Walter Christaller (1933) menulis buku berjudul Central Places In Southern Germany. Dalam buku ini Christaller mencoba menjelaskan bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya di dalam satu wilayah. Model Christaller ini merupakan suatu sistem geometri dimana angka 3 yang diterapkan secara arbiter memiliki peran yang sangat berarti. Itulah sebabnya disebut sistem K=3 dari Christaller (Tarigan, 2005). Christaller mengembangkan modelnya untuk suatu wilayah abstrak dengan ciri berikut: 1. Wilayahnya adalah daratan tanpa roman, semua adalah datar dan sama. 2. Gerakan dapat dilaksanakan ke segala arah (isotropic surface). 3. Penduduk memiliki daya beli yang sama dan tersebar secara merata pada
seluruh wilayah.
23 4. Konsumen bertindak rasional sesuai dengan prinsip minimisasi jarak atau
biaya. Luas pemasaran minimal sangat tergantung pada tingkat kepadatan penduduk pada wilayah asumsi. Makin tinggi kepadatan penduduk makin kecil wilayah pemasaran minimal, begitu sebaliknya. Wilayah pemasaran minimal disebut thereshold. Tidak boleh ada produsen untuk komoditas yang sama dalam ruang threshold. Apabila ada, salah satu akan gulung tikar atau kedua-duanya akan gulung tikar dan kemudian muncul pengusaha baru. Model Chistaller tentang terjadinya model area perdagangan heksagonal sebagai berikut: 1.
Mula-mula terbentuk areal perdagangan satu komoditas berupa lingkaranlingkaran. Setiap lingkaran memiliki pusat dan menggambarkan threshold dari komoditas tersebut.
2.
Kemudian digambarkan lingkaran-lingkaran berupa range dari komoditas tersebut yang lingkarannya boleh tumpang tindih.
3.
Range yang tumpang tindih dibagi antara kedua pusat yang berdekatan sehingga terbentuk areal yang heksagonal yang menutupi seluruh daratan yang tidak lagi tumpang tindih.
4.
Tiap barang berdasarkan tingkat ordenya memiliki heksagonal sendirisendiri. Dengan menggunakan k=3, barang orde I lebar heksagonalnya adalah 3 kali heksagonal barang orde II. Barang orde II lebar heksagonalnya adalah 3 kali heksagonal barang orde III, dan seterusnya. Tiap heksagonal memiliki pusat yang besar kecilnya sesuai dengan besarnya heksagonal tersebut. Heksagonal yang sama besarnya tidak saling tumpang tindih, tetapi antara heksagonal yang tidak sama besarnya akan terjadi tumpang-tindih.
Berdasarkan model k=3, pusat dari hierarki yang lebih rendah berada pada sudut dari hierarki yang lebih tinggi sehingga pusat yang lebih rendah berada pada pengaruh dari tiga hierarki yang lebih tinggi darinya. Christaller menyatakan bahwa produsen berbagai jenis barang untuk orde yang sama cenderung berlokasi pada titik sentral di wilayahnya dan hal ini mendorong terciptannya kota.
24 Uraian tentang range dan thereshold dapat menjelaskan mengapa terjadi konsentrasi dari berbagai jenis usaha pada satu lokasi tetapi konsep itu tidak dapat menjelaskan mengapa dipasar juga ada kecenderungan bahwa pedagang dari komoditas sejenis juga memilih untuk berlokasi secara berkonsentrasi atau berdekatan. Konsep tidak memungkinkan produsen atau pedagang sejenis berada berdekatan karena pada satu ruang threshold hanya boleh ada satu produsen atau pedagang. Apabila berdekatan harus ada yang gulung tikar dan yang tersisa hanya satu produsen atau pedagang. Jadi kemungkinan penyelesaiannya adalah hanya mungkin lewat penelaahan sikap manusia. Adalah menjadi sifat manusia untuk berusaha mendapatkan barang yang diinginkan dalam batas waktu tertentu dengan harga yang semurah mungkin. Apabila pembeli hanya berhadapan dengan seorang penjual, harga yang ditawarkan penjual menjadi tidak jelas bagi pembeli, apakah harga itu adalah harga terendah yang dapat dia peroleh atau tidak. Dengan berkumpulnya banyak penjual barang sejenis pada lokasi yang sama, pembeli mendapat kesempatan untuk membandingkan harga di antara para penjual dan akan membeli pada penjual yang menawarkan harga terendah (pembeli butuh informasi untuk membuat keputusan). Hal ini membuat lokasi yang memiliki banyak penjual barang sejenis, lebih memiliki daya tarik bagi pembeli ketimbang lokasi yang hanya memiliki sedikit penjual. 2.3. Sektor Informal Seringkali sektor ekonomi dibagi menjadi sektor formal dan informal. Pembagian ini lebih didasarkan pada kaitannya dengan perijinan dan regulasi dari pemerintah setempat. Dikatakan sektor formal bila sektor ekonomi terdaftar pada pemerintah dan informal jika tidak terdaftar. Dikotomi ini menghasilkan implikasi kebijakan yang berbeda pada pemerintah lokal dan nasional.
Bukti empiris
menunjukkan bahwa justru sektor informal yang mampu menjadi katup penyelamat ekonomi nasional selama krisis. Pembahasan sektor informal tidak dapat dipisahkan dari pembahasan sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Usaha dalam skala ini berkembang pesat khususnya di negara-negara berkembang seperti di Indonesia karena keterbatasan lapangan kerja di sektor formal.
25 2.3.1. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Sesuai dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), usaha mikro adalah usaha ekonomi produktif milik orang perorangan dan atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian, baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian, baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Menurut Undang-Undang No. 9/1995
tentang Usaha Kecil, usaha yang
diklasifikasikan sebagai usaha kecil adalah yang memenuhi kriteria: (a) memiliki aset kurang dari atau sama dengan Rp 200 juta di luar tanah dan bangunan, (b) omzet tahunan kurang dari atau sama dengan Rp 1 milyar, (c) dimiliki oleh orang Indonesia, (d) independen, tidak terafiliasi dengan usaha menengah-besar dan (e) boleh berbadan hukum, boleh tidak.
Badan Pusat Statistik (BPS) lebih
menspesifikkan jenis usaha dengan membaginya menjadi usaha mikro, usaha kecil dan usaha menengah berdasarkan jumlah pekerjanya. Usaha mikro adalah usaha dengan jumlah pekerja kurang dari 5 orang termasuk tenaga keluarga yang tidak dibayar. Usaha kecil adalah usaha dengan jumlah pekerja 5-19 orang. Berdasarkan aset usahanya, kriteria usaha kecil adalah yang memiliki nilai kekayaan (aset) bersih di bawah Rp 200 juta di luar tanah dan bangunan usaha atau di bawah penjualan (omzet) maksimal Rp 1 milyar. Di atas kriteria itu adalah usaha menengah. Dewasa ini tercatat ada 2.9 juta unit UMKM yang mampu menyerap tenaga kerja sebesar 66.83 juta atau 89 % angkatan kerja dan memberikan kontribusi berarti (39.8 %) bagi produk domestik bruto (PDB) nasional.
26 Definisi dan kriteria industri kecil dari berbagai departemen disajikan pada Tabel 3. Namun demikian, para ahli ekonomi dan pembangunan di Indonesia seringkali men-generalisasikan industri rumah tangga sebagai sektor usaha kecil menengah (UKM). Tabel 3. Definisi Jenis Usaha dari Berbagai Departemen Organisasi Menneg Koperasi & PKM
Bank Indonesia
Jenis Usaha Usaha Kecil (UU No. 9/1995) Usaha Menengah (Inpres 10/1999) Usaha Mikro (SK Dir BI No. 31/24/KEP/DIR tgl. 5 Mei 1998)
Usaha Kecil (UU No. 9/1995) Menengah (SK Dir BI No. 30/45/Dir/UK tgl. 5 Januari 1997)
Bank Dunia
Usaha Mikro KecilMenengah
Keterangan Kriteria Aset ≤ Rp 200 juta di luar tanah dan bangunan • Omzet tahunan Rp 1 milyar Aset antara Rp 200 juta - Rp 10 milyar Usaha yang dijalankan oleh rakyat miskin atau mendekati miskin. • Dimiliki oleh keluarga, sumber daya lokal dan teknologi sederhana • Lapangan usaha mudah untuk exit dan entry Aset ≤ Rp 200 juta di luar tanah dan bangunan • Omzet tahunan ≤ Rp 1 milyar Aset ≤ Rp 5 milyar untuk sektor industri • Aset ≤ Rp 600 juta di luar tanah dan bangunan untuk sektor non industri manufakturing • Omzet tahunan < Rp 3 milyar Pekerja < 20 orang • Pekerja 20-150 orang • Aset ≤ US$ 500 ribu di luar tanah dan bangunan
Sumber : Ayub (2004)
Realitas membuktikan bahwa sejak terjadinya krisis ekonomi, sektor UKM mampu bertahan bahkan menjadi penyelamat perekonomian nasional. UKM yang saat ini jumlahnya diperkirakan 40,19 juta unit usaha memberi kontribusi yang sangat signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB). Pada tahun 2001 diperkirakan UKM memberi kontribusi terhadap PDB sebesar 54,74 % (Karyadi 2004). Dewasa ini tercatat ada 2,9 juta unit UKM yang mampu menyerap tenaga kerja sebesar 66,83 juta atau 89 % angkatan kerja dan memberikan kontribusi berarti (39,8 %) bagi PDB nasional (Bisnis.com 2004). Dalam konteks pengembangan masyarakat, industri ini sangat berperan dalam mengembangkan masyarakat. Hal ini dilakukan melalui beberapa cara yaitu : (1) Keterlibatan masyarakat sekitar sebagai tenaga kerja berarti menjamin
27 keberlangsungan pendapatannya, (2) Adanya transfer pengetahuan baru bagi masyarakat, baik ilmu produksi, organisasi, manajemen maupun pemasaran, dapat diartikan sebagai pengembangan sumber daya manusia dan (3) Keterlibatan institusi-institusi pembangunan menjamin adanya transfer pengetahuan yang lebih luas bagi masyarakat lokal dan menjamin adanya proses pembelajaran masyarakat. 2.3.2. Usaha Produktif Seringkali terjadi salah kaprah di kalangan birokrat tingkat pemerintahan daerah dalam mengartikan apa yang dimaksud dengan usaha produktif, sehingga terdapat beberapa sektor usaha yang seolah-olah tidak merupakan usaha produktif. Hal ini mengakibatkan sektor tersebut seringkali agak terpinggirkan dalam konteks pembangunan ekonomi. Oleh karenanya maka untuk menyamakan persepsi, terlebih dahulu perlu melihat pengertian dari produksi itu sendiri. Adapun yang dimaksud dengan produksi dalam ekonomi merupakan kegiatan manusia untuk menciptakan dan menambah nilai atau kegunaan suatu barang atau jasa dengan cara mengubah bentuk ataupun tidak (Assauri, 1999). Kegunaan dibedakan atas dasar bentuk, tempat, waktu dan pemilikan, sehingga
usaha
perdagangan barang dan jasa pun merupakan usaha yang produktif. 2.3.3. Pengertian dan Definisi Sektor Informal Tinjauan mengenai sektor informal diawali dari dikotomi pemahaman antara ekonomi informal versus ekonomi formal (economy) yang telah banyak mendapatkan kritikan. Hal ini terutama disebabkan karena adanya
kesulitan
dalam membuat batasan yang jelas antar kedua tipe ekonomi ini. “Sektor informal” bukanlah benar-benar suatu 'sektor' seperti yang lazimnya dipahami dalam konteks formal (seperti sektor pertanian, finansial, manufakturing dan sebagainya), bahkan aktivitas informal terdapat pada beberapa sektor ekonomi. Oleh karenanya, istilah “ekonomi informal” semakin banyak digunakan dibandingkan istilah sektor informal. Lemahnya batasan yang jelas antar ekonomi formal dan informal terjadi karena beberapa kriteria atau kondisi yang digunakan untuk membedakan apakah suatu aktivitas ekonomi dipandang sebagai formal atau informal. Di antara kriteria ini adalah status administratif dari aktivitas ekonomi (terdaftar atau tidak,
28 teregulasi atau tidak), status legal (legal-ilegal), penerimaan melalui norma-norma bersama, kepermanenannya (permanen atau tidak permanen, memiliki domisili yang tetap atau tidak), status membayar pajak (pembayar pajak-bukan pembayar pajak), komprehensivitas organisasi (terstruktur-tidak terstruktur) dan beberapa kondisi lainnya (URDI, ILO 2005). Konsep “sektor informal“ diperkenalkan oleh Keith Hart, ahli ekonomi dari Inggris yang melakukan penelitian tentang kegiatan ekonomi di daerah perkotaan Ghana (Nurul 2009). ILO membedakan sektor informal dengan sektor formal dilihat dari sisi apa yang ada di kedua sektor tersebut. Istilah ini mengacu pada kegiatan-kegiatan ekonomi berskala kecil dan tidak terdaftar (ILO, 2002 dalam Nurul, 2009). Istilah “ekonomi informal” kemudian diperkenalkan sebagai istilah baru yang mengikutsertakan tipe-tipe kesempatan kerja informal yang tidak tercakup dalam definisi statistik ”sektor informal”. Istilah baru ini mencakup, baik unit usaha maupun hubungan kerja (ILO, 2002 dalam Nurul, 2009). Dalam konteks yang berbeda dan menggunakan perspektif yang berbeda, sektor informal dikenal dengan beberapa nama. Sektor ini sering disebut sebagai ekonomi informal, ekonomi tidak teregulasi, sektor tidak terorganisasi atau lapangan kerja tidak teramati. Tipikal sektor ini menunjukkan unit ekonomi dan pekerja yang terlibat dalam beragam aktivitas komersil dan pekerjaan di luar realisme pekerjaan formal (Williams dan Windebank, 1998 dalam Suharto, 2003). Di sebagian negara-negara maju dan berkembang aktivitas sektor informal tidak dimasukkan ke dalam statistika lapangan kerja nasional (Suharto, 2003). Dalam upaya membawa sektor ini untuk mendapat perhatian nasional dan menghilangkan ketakutan akan tingginya level pengangguran, sekarang sudah umum di beberapa negara maju dan berkembang memasukkan sektor informal ke dalam figur nasional (Fortes et al, 1989; Williams & Windebank, 1998). Karena aktivitasnya yang sebagian besar tidak tercatat dan tidak terdaftar dalam neraca pendapatan nasional, maka sektor ini tetap dianggap tidak penting dan tidak tersentuh. Bahkan jika aktivitas ini terdaftar, dalam banyak hal sektor informal tidak mengikuti regulasi perlindungan tenaga kerja, provisi jaminan kerja, dan tindakan proteksi di tempat kerja (ILO, 1998; UNDP, 1997; Williams & Windebank, 1998).
29 Ekonomi informal - dengan PKL sebagai wajah utamanya - dikenal dengan beragam nama dan definisi. Ekonomi ini disebut sebagai irregular economy (Ferman dan Ferman, 1973), subterranean economy (Gutmann, 1977), underground economy (Simon dan Witte, 1982; Houston, 1987), black economy (Dilnot & Morris, 1981), shadow economy (Frey, Weck & Pommerehen, 1982; Cassel & Cichy, 1986) dan informal economy (McCrohan & Smith, 1986). Beberapa media juga memberikan istilah beragam seperti invissible economy, hidden economy, submerged economy, irregular economy, non official economy, unrecorded economy atau clandestine economy (US Department of Labor, 1992). Selain keberagaman definisi dan istilah ini, batas antara ekonomi formal dan informal juga cenderung kabur. Kondisi ini terkait tiga hal. Pertama, karena beberapa kriteria atau kondisi yang dapat digunakan untuk membedakan apakah suatu aktivitas ekonomi dipandang sebagai formal atau informal. Kedua, beberapa aktivitas ekonomi di negara berkembang menunjukkan kombinasi dari kondisi tersebut. Misalnya, aktivitas ekonomi tertentu bisa jadi memiliki domisili yang jelas, terdaftar pada salah satu badan pemerintah, dan secara teratur membayar retribusi tertentu, membayar fee untuk layanan pemerintah tertentu namun masih dipandang sebagai informal karena tidak adanya status legal. Ketiga, keterkaitan yang kuat antara ekonomi informal dan formal. Beberapa aktivitas ekonomi informal seperti industri rumah tangga kecil menyalurkan produknya ke kesatuan bisnis formal, dengan atau tanpa kontrak formal.
Beberapa pemilik properti
komersil formal “mengijinkan” penyedia makanan informal untuk berjualan di propertinya agar dapat menyediakan makanan bagi pegawai atau konsumennya. Juga ada PKL atau 'usaha kecil' yang 'dijalankan dari bawah' oleh bisnis yang dari besaran ekonominya tidak dapat dipandang sebagai usaha kecil dan sebaiknya dipandang menjadi entitas ekonomi formal. Lee dan Eyraud (2007) yang mengkaji perubahan kondisi lapangan kerja di Asia dan Pasifik menyimpulkan bahwa lapangan kerja di Asia semakin “terinformalkan”. Di Indonesia sendiri, ekonomi informal tumbuh pesat selama beberapa tahun terakhir seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.
30 Tabel 4. Lapangan Kerja menurut Aktivitas Ekonomi di Indonesia Ekonomi Formal Informal
1996 37.2 62.8
1998 34.6 65.4
Tahun (dalam %) 2000 2002 35.1 30.4 64.9 69.6
2004 30.3 69.7
2006 30.2 69.8
Sumber : Lee dan Eyraud (2007)
Data ini mengindikasikan bahwa dalam satu dekade terakhir, lapangan kerja sektor formal menunjukkan tren semakin menurun, sedangkan lapangan kerja informal menunjukkan tren semakin meningkat. Tren ini terjadi khususnya karena kegagalan ekonomi formal dalam menyerap pengangguran dan yang belum bekerja (termasuk meningkatnya angkatan kerja baru). Uraian di atas menunjukkan bahwa sektor informal mencakup berbagai sektor dalam perekonomian, seperti sektor informal di sektor pertanian, manufaktur, perdagangan barang dan jasa, dan sebagainya sehingga penggunaan istilah sektor informal dapat menimbulkan kerancuan dalam pengertiannya yang selanjutnya berimplikasi pada penataan dan pemberdayaannya. Demikian pula halnya jika untuk sektor informal digunakan istilah atau nama ekonomi informal. Jika digunakan istilah atau nama ekonomi maka pengertiannya akan sangat luas, padahal bukan itu maksud dari istilah sektor informal (Wiliams & Windebanki, 1998; Suharto, 2003). 2.3.4. Pedagang Kaki Lima (PKL) PKL merupakan salah satu bentuk aktivitas perdagangan sektor informal (Kuntjoro Jakti, 1986). PKL adalah pedagang kecil yang umumnya berperan sebagai penyalur barang-barang dan jasa ekonomi kota. Keberadaan PKL dapat ditemukan, baik di negara maju maupun berkembang (Schneider, 2002). Istilah kaki lima sendiri berasal dari trotoar yang dahulu berukuran lebar 5 feet atau sama dengan kurang lebih 1.5 meter, sehingga dalam pengertian ini PKL adalah pedagang yang berjualan pada kaki lima, dan biasanya mengambil tempat atau lokasi di daerah keramaian umum seperti trotoar di depan pertokoan atau kawasan perdagangan, pasar, sekolah dan gedung bioskop (Widodo, 2000). Pengertian PKL terus berkembang sehingga sekarang menjadi kabur artinya. Mereka tidak lagi berdagang di atas trotoar saja, tetapi di setiap jalur pejalan kaki, tempat-tempat parkir, ruang-ruang terbuka, taman-taman, terminal bahkan di
31 perempatan jalan dan berkeliling ke rumah-rumah penduduk (Sari, 2003). Mc. Gee dan Yeung (1977) memberikan pengertian PKL sama dengan hawker, yang didefinisikan sebagai sekelompok orang yang menawarkan barang dan jasa untuk dijual pada ruang publik, terutama di pinggir jalan dan trotoar. Dalam konteks kota, usaha informal mencakup operator usaha kecil yang menjual makanan dan barang atau menawarkan jasa dan pada gilirannya melibatkan ekonomi uang dan transaksi pasar. Ini disebut sebagai sektor informal perkotaan atau Urban Informal Sector (Suharto, 2003). Sebagai sebuah unit usaha, PKL merupakan kegiatan usaha informal karena tidak mempunyai legalitas usaha. Relasi yang dibangunpun sering merupakan relasi informal dalam artian tidak menggunakan perjanjian tertulis di antara mereka (Nurul, 2009). Pengetahuan tentang karakteristik formal dan informal menjadi penting jika dikaitkan dengan kebijakan. PKL sering dianggap sebagai kegiatan informal dan tidak tercatat sehingga kontribusi ekonomi mereka tidak diperhitungkan dalam kegiatan ekonomi kota. Karena kontribusi ini tidak dihitung maka pendekatan yang diambil Pemerintah Kota terhadap kelompok PKL terutama adalah pendekatan yang bersifat pengaturan/kontrol dan pelarangan (Nurul, 2009). PKL adalah orang yang melakukan usaha produktif dengan menghasilkan suatu barang tertentu atau melakukan usaha jasa perdagangan, baik barang-barang baru maupun bekas dengan menggunakan tempat di trotoar jalan ataupun tepi jalan atau di jalan itu sendiri tanpa mendapat izin secara formal. Wiego (Women in Informal Employment : Globalizing and Organizing) dalam papernya A Policy Response to the Informal Economy, Addressing Informality, Reducing Poverty, pada tahun 2009 menyatakan bahwa terdapat beberapa paradigma terhadap PKL antara lain adalah : 1. Sektor
informal adalah ekonomi tradisional yang akan mati dengan
pertumbuhan industri modern. Produktivitasnya hanya marginal. 2. Keberadaaannya terpisah dari ekonomi formal. 3. Mencerminkan surplus tenaga kerja. 4. Sebagian besar sektor ini adalah pengusaha bisnis ilegal atau tidak terdaftar untuk menghindari regulasi dan pajak.
32 5. Pekerjaan pada ekonomi informal sebagian besar terdiri dari aktivitas untuk bertahan hidup dengan demikian bukan menjadi subyek kebijakan ekonomi. 6. Terutama terdiri dari usaha tidak terdaftar, pedagang jalanan, dan produsen skala sangat kecil. 7. Tidak teregulasi. 8. Karena tidak teregulasi dan tidak kena pajak sebagian yang bekerja pada sektor informal adalah tidak sejahtera. 9. Tidak berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. 2.4. Kebijakan Publik 2.4.1 Konsepsi Kebijakan Publik Fokus utama dalam pembahasan kebijakan publik adalah penciptaan lingkungan yang memungkinkan semua aktor bisnis maupun nirlaba untuk dapat bertahan dalam konteks global maupun domestik. Suatu kebijakan dapat disebut sebagai kebijakan publik apabila memiliki derajat tertentu, dipikirkan atau setidaknya diproses melalui prosedur-prosedur tertentu dan di bawah pengaruh atau kontrol pemerintah (Hogwood dan Gunn, 1986). Kebijakan publik yang baik adalah kebijakan yang mendorong setiap warga masyarakat untuk membangun daya saingnya masing-masing dan bukan semakin menjerumuskan ke dalam pola ketergantungan (Nugroho, 2004). Dengan demikian kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat atau Daerah perlu mengedepankan aspek kemandirian masyarakat dalam meningkatkan daya saingnya, baik dalam konteks global atau domestik. Kebijakan publik merupakan jalan untuk mencapai masyarakat yang dicita-citakan, ditunjukkan seperti pada Gambar 5. Kebijakan Publik Masyarakat pada masa awal
Masyarakat pada masa transisi
Gambar 5. Kebijakan Publik Sumber : Nugroho (2004)
Masyarakat yang dicita-citakan
33 Dengan demikian apa yang dikerjakan dari sebuah kebijakan publik adalah untuk pencapaian tujuan masyarakat secara nasional atau domestik (tingkat daerah), serta mempunyai parameter keberhasilan dari sebuah kebijakan publik. Untuk mencapai tujuannya, kebijakan publik meliputi pengaturan perilaku, mengorganisir birokrasi, mendistrbusikan manfaat dan memungut pajak. Menurut Nugroho (2004), proses dari suatu kebijakan publik mencakup empat komponen yaitu perumusan kebijakan, implementasi kebijakan, monitoring kebijakan dan evaluasi kebijakan.
Perumusan Kebijakan Evaluasi Kebijakan
Implementasi Kebijakan Monitoring Kebijakan
Gambar 6. Proses Kebijakan Publik Sumber : Nugroho (2004)
Proses kebijakan publik di atas menjelaskan beberapa hal yaitu : 1.
Terdapat isu atau masalah publik. Disebut isu apabila masalahnya bersifat strategis, yakni bersifat mendasar, menyangkut banyak orang atau keselamatan bersama, (biasanya) berjangka panjang, tidak bisa diselesaikan oleh orang-orang, dan memang harus diselesaikan.
2.
Isu ini kemudian menggerakkan pemerintah untuk merumuskan kebijakan publik dalam menyelesaikan masalah tersebut. Rumusan kebijakan ini akan menjadi hukum bagi seluruh negara dan warganya, termasuk pimpinan negara.
3.
Setelah dirumuskan kemudian kebijakan publik ini dilaksanakan, baik oleh pemerintah, masyarakat atau pemerintah bersama-sama dengan masyarakat.
4.
Dalam proses perumusan, pelaksanaan dan pasca pelaksanaan, diperlukan evaluasi sebagai sebuah siklus baru sebagai penilaian kebijakan tersebut
34 sudah dirumuskan dengan baik dan benar dan diimplementasikan dengan baik dan benar pula. 5.
Implementasi kebijakan bermuara kepada output yang dapat berupa kebijakan itu sendiri maupun manfaat langsung yang dapat dirasakan oleh pemanfaat.
6.
Dalam jangka panjang kebijakan tersebut menghasilkan outcome dalam bentuk dampak kebijakan yang diharapkan semakin meningkatkan tujuan yang hendak dicapai dengan kebijakan tersebut. Tidak mudah membuat kebijakan publik yang dapat mengakomodasi semua
kepentingan golongan masyarakat karena kebijakan publik akan berhadapan dengan beragam kepentingan masyarakat dan kondisi yang berbeda, terlebih adanya kepentingan politik dari golongan tertentu. Dalam hubungannya dengan aspek politis, terdapat empat hubungan antara kebijakan publik dan politik, yaitu : 1.
Kompetisi Politik.
Merupakan model sistem paling awal dalam bidang
kebijakan. Sumber daya ekonomi akan menentukan tingkat kompetisi dan partisipasi pemilih. Faktor-faktor politik ini menentukan kebijakan publik dalam kesejahteraan, kesehatan, jalan raya, pajak, belanja negara dan sebagainya. Alur kebijakan publik dapat dilihat pada gambar berikut : Sumber Daya Ekonomi
Kompetisi Partisipasi
Kebijakan Publik
Gambar 7. Alur Kebijakan Publik berdasarkan Kompetisi Politik Sumber : http://www.scribd.com
2. Sumber Daya Ekonomi. Variabel pengembang ekonomi lebih berpengaruh dibandingkan karakteristik sistem politik dalam membentuk kebijakan publik di negara bagian. Kompetisi Partisipasi
Sumber Daya Ekonomi
Kebijakan Publik
Gambar 8. Alur Kebijakan Publik berdasarkan Sumber Daya Ekonomi Sumber : http://www.scribd.com
35 3. Perkembangan ekonomi berdampak pada kebijakan publik tetapi bila dampak kebijakan publik dikendalikan, maka faktor politik hanya berpengaruh kecil terhadap outcome kebijakan. 4. Campuran (Hybrid), Sumber daya ekonomi membentuk kebijakan publik secara langsung maupun tidak, dengan mempengaruhi kompetisi dan partisipasi, yang pada gilirannya mempengaruhi kebijakan publik. Kompetisi Partisipasi
Sumber Daya Ekonomi
Kebijakan Publik
Gambar 9. Alur Kebijakan Publik Campuran Sumber : http://www.scribd.com
Menurut Nugroho (2004), kebijakan publik dapat dibagi ke dalam beberapa jenis yaitu : 1.
Berdasarkan makna dari kebijakan publik. Kebijakan publik sebagai hal-hal yang diputuskan pemerintah untuk dikerjakan dan tidak dikerjakan. Kebijakan seperti ini dapat digambarkan dalam sebuah matrik sebagaimana Tabel 5 Tabel 5. Matrik Kebijakan Publik Berdasarkan Makna .
Kegiatan strategis
Masyarakat mampu melaksanakan
I (pemerintah dengan masyarakat) III Pemerintah
Masyarakat tidak mampu untuk melaksanakan
Kegiatan tidak/kurang strategis II Masyarakat IV Pemerintah (dibiarkan)
Sumber : Nugroho (2004)
2.
Berdasarkan bentuknya. Dalam hal ini terdapat 2 bentuk kebijakan yaitu peraturan-peraturan pemerintah yang tertulis dalam bentuk perundangan dan peraturan-peraturan tidak tertulis (konvensi), yang merupakan bentuk kerjasama antara legislatif dengan eksekutif atau yang dibuat hanya oleh eksekutif.
36 Kebijakan yang hanya dibuat oleh eksekutif di Indonesia di antaranya adalah : a. Peraturan Pemerintah (PP) b. Keputusan Presiden (Kepres) c. Keputusan Menteri atau kepala lembaga pemerintah non departemen d. Dan seterusnya. Kebijakan eksekutif pada tingkat daerah di antaranya : a. Keputusan gubernur dan bertingkat keputusan dinas-dinas di bawahnya. b. Keputusan bupati/walikota dan bertingkat keputusan dinas-dinas di bawahnya. 3.
Karakter. Karakter adalah bagian dari kebijkan tertulis formal, yang dalam hal ini kebijakan publik dibagi menjadi 2 yaitu : a. Regulatif versus deregulatif atau restriktif versus non restriktif. b. Alokatif versus distributif atau redistributif. Kebijakan jenis pertama adalah kebijakan yang menetapkan hal-hal yang dibatasi dan hal-hal yang dibebaskan dari pembatasan-pembatasan. Sebagian besar kebijakan publik berkenaan dengan hal yang regulatif atau restruktif dan deregulasi atau non restruktif. Kebijakan jenis kedua
biasanya berupa
kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan anggaran atau keuangan publik. 2.4.2. Instrumen Kebijakan Publik di Daerah Instrumen kebijakan publik di daerah yang dibahas dalam penelitian ini dibatasi hanya kepada kebijakan publik yang menyangkut bidang ekonomi, berhubungan dengan keberadaan sektor informal termasuk PKL. 1. Regulasi Regulasi pada tingkat daerah dapat dilakukan oleh kebijakan eksekutif saja dan atau kebijakan eksekutif bersama dengan legislatif (DPRD). Kebijakan eksekutif pada tingkat daerah (hanya eksekutif dan bersama DPRD) di antaranya : a.
Keputusan gubernur dan bertingkat keputusan dinas-dinas di bawahnya.
b.
Keputusan bupati/walikota dan bertingkat bawahnya.
c.
Peraturan daerah.
keputusan dinas-dinas di
37 Undang-undang No. 32/ 2004 Ayat 20 menyatakan bahwa pada setiap strata pemerintahan (legislatif dan pemerintah; nasional, propinsi, dan kabupaten atau kota) harus mempertimbangkan aspek-aspek kepastian hukum, proporsional, efektivitas dan efisiensi. Undang-undang ini juga mengamanatkan kriteria-kriteria baru untuk pembuatan peraturan daerah, yaitu: kejelasan tujuan, efektivitas, efisiensi, transparansi, kepastian hukum dan partisipasi masyarakat. Proses penyusunan regulasi pada tingkat daerah digambarkan seperti pada Gambar 10 berikut. PEMERINTAH PROVINSI GUBERNUR
BIRO HUKUM
Hanya untuk Pajak, Retribusi, APBD dan RTRW
BAGIAN HUKUM
WALIKOTA/ BUPATI
PEMERINTAH DAERAH EKSEKUTIF LEGISLATIF PUBLIK
DRAFT
LEGISLATIF
TASK FORCE
DINAS
DINAS
DINAS
DINAS
DINAS
Gambar 10. Proses Penyusunan Regulasi pada Tingkat Daerah Sumber : UU 32/2004
Instrumen kebijakan publik pada tingkat daerah yang dimaksudkan untuk pengaturan perilaku, mengorganisir birokrasi, mendistribusikan benefit di antaranya adalah
pajak dan retribusi. Regulasi pajak daerah dan retribusi
dikeluarkan dan dikelola pada tingkat daerah secara berjenjang. 2.
Pajak Pembangunan yang dilakukan Pemerintah Pusat atau Daerah merupakan hasil
dari pendapatan negara setelah dikurangi dengan pengeluaran rutin.
Besar-
kecilnya tabungan pemerintah ditentukan oleh hasil dari pajak-pajak dan hasil keluaran sumber daya alam, dikurangi dengan pengeluaran rutin. Untuk memperbesar tabungan, Pemerintah Pusat atau Daerah berusaha memperbesar hasil dari pajak-pajak dan atau sumber daya alam serta memperkecil pengeluaran
38 rutin, melalui pengawasan yang ketat hingga tidak terjadi kebocoran dan korupsi (Soemitro, 1987). Pajak-pajak yang dipungut dan yang digunakan harus berdasarkan pada undang-undang sehingga memiliki kekuatan paksa dan sanksi hukum, serta menuntut adanya pengawasan. Pajak-pajak ini pada hakekatnya mengenai hidup negara secara ekonomis, bukan hidup secara manusiawi. Kebutuhan negara adalah kelangsungan hidup lembaga-lembaganya, yang mampu melakukan fungsinya masing-masing. Banyak-sedikitnya uang yang diperlukan oleh negara tergantung kepada tingkat ekonomi negara serta rakyatnya. Lebih besar tingkat ekonomi negara, lebih besar kebutuhannya dan lebih besar pula pendapatan (Soemitro, 1987). Pada hakekatnya pajak memiliki tujuan untuk memungut dana dari masyarakat. Definisi pajak menurut Sumihardjo dalam Apip (2006) adalah : “Pajak adalah iuran wajijb, berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang dan jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”. Definisi lainya adalah menurut Soemitro dalam Apip (2006) yaitu : “ Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplus yang digunakan untuk public saving untuk membiayai public investment”. Sementara itu menurut Brotodihardjo dalam Apip (2006), pajak didefinisikan sebagai : “Pajak adalah keseluruhan dari peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkan kembali kepada masyarakat melalui kas negara”. Dari ketiga definisi tersebut terdapat beberapa hal yang dapat dikemukakan, yaitu : a) Pajak dipungut oleh pemerintah (baik pusat atau daerah). b) Tidak mengandung jasa timbal-balik secara langsung. c) Pungutan pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin. d) Pajak digunakan untuk kesejahteraan umum. e) Pajak mencakup barang dan jasa.
39 3.
Retribusi Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau
pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Retribusi dapat disebut sebagai Pajak Daerah dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda). Perbedaan mendasar antara pajak dan retribusi adalah terletak pada timbal-balik langsung. Untuk pajak tidak ada timbal-balik langsung kepada para pembayar pajak, sedangkan untuk retribusi ada timbal-balik langsung dari penerima retribusi kepada pembayar retribusi. 4.
Subsidi Subsidi adalah suatu bentuk bantuan keuangan yang dibayarkan kepada suatu
usaha atau sektor ekonomi. Sebagian besar subsidi yang dibuat oleh pemerintah untuk produsen atau distributor dalam industri guna mencegah penurunan (misalnya industri, sebagai hasil usaha yang tidak menguntungkan) atau kenaikan harga dari produk atau untuk mendorong agar
mempekerjakan lebih
banyak tenaga kerja (seperti dalam kasus subsidi upah). Contoh lainnya adalah subsidi untuk mendorong penjualan ekspor; subsidi pada beberapa makanan untuk mengurangi biaya hidup khususnya di daerah perkotaan; dan subsidi untuk mendorong perluasan lahan produksi dan mencapai kemandirian dalam produksi pangan. Secara
ekonomis
subsidi
dapat
dianggap
sebagai
suatu
bentuk
proteksionisme atau hambatan perdagangan dengan membuat barang dan jasa domestik buatan dalam negeri kompetitif terhadap barang impor. Subsidi dapat mendistorsi pasar dan dapat menimbulkan biaya ekonomi yang besar. Bantuan keuangan dalam bentuk subsidi mungkin berasal dari pemerintahan, tetapi dengan istilah subsidi juga merujuk kepada bantuan yang diberikan oleh orang lain, seperti individu atau lembaga non pemerintah, walaupun ini lebih sering digambarkan sebagai amal. 2.4.3. Sumber-sumber Pendapatan Daerah Dalam Bab III UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
pada
Pasal 3 mengenai Sumber-sumber
40 Penerimaan
Daerah
dalam
Pelaksanaan
Desentralisasi,
sumber-sumber
penerimaan daerah mencakup : a. Pendapatan Asli Daerah. b. Dana Perimbangan. c. Pinjaman Daerah. d. Lain-lain Penerimaan yang sah. Selanjutnya pada Pasal 4, disebutkan bahwa Sumber Pendapatan Asli Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a terdiri dari: a. Hasil pajak daerah. b. Hasil retribusi daerah . c. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan
daerah
lainnya yang dipisahkan. d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah. Dengan demikian, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk mendapatkan pendapatan asli daerah melalui instrumen pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan serta pendapatan asli daerah lainnya yang sah. Tanggal 18 Agustus 2009, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyetujui dan mengesahkan Rancangan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (RUU PDRD) menjadi undang-undang, sebagai pengganti Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000. Pengesahan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) ini sangat strategis dan mendasar di bidang desentralisasi fiskal, karena terdapat perubahan kebijakan yang cukup fundamental dalam penataan kembali hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah. Undang-undang ini mulai berlaku per 1 Januari 2010. UU PDRD mempunyai tujuan sebagai berikut : 1. Memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi sejalan dengan semakin besarnya tanggung jawab daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. 2. Meningkatkan
akuntabilitas
daerah
dalam
penyediaan
layanan
dan
penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah.
41 3. Memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Ada beberapa prinsip pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah yang dipergunakan dalam penyusunan UU ini, yaitu: 1.
Pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tidak terlalu membebani rakyat dan relatif netral terhadap fiskal nasional.
2.
Jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang ditetapkan dalam undang-undang (closed-list).
3.
Pemberian kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak daerah dalam batas tarif minimum dan maksimum yang ditetapkan dalam undangundang.
4.
Pemerintah daerah dapat tidak memungut jenis pajak dan retribusi yang tercantum dalam undang-undang sesuai kebijakan pemerintahan daerah. Pengawasan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan secara
preventif dan korektif. Rancangan Peraturan Daerah yang mengatur pajak dan retribusi harus mendapat persetujuan Pemerintah sebelum ditetapkan menjadi Perda. Pelanggaran terhadap aturan tersebut dikenakan sanksi. Materi yang diatur dalam UU PDRD yang disahkan tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Penambahan Jenis Pajak Daerah Terdapat penambahan 4 jenis pajak daerah, yaitu 1 jenis pajak propinsi dan 3
jenis pajak kabupaten atau kota. Dengan tambahan tersebut, secara keseluruhan terdapat 16 jenis pajak daerah, yaitu 5 jenis pajak propinsi dan 11 jenis pajak kabupaten atau kota. Jenis pajak propinsi yang baru adalah Pajak Rokok, sedangkan 3 jenis pajak kabupaten atau kota yang baru adalah PBB Perdesaan dan Perkotaan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Sarang Burung Walet. Sebagai catatan, untuk kabupaten/kota ada penambahan 1 jenis pajak yaitu Pajak Air Tanah yang sebelumnya merupakan pajak propinsi. a. Pajak Rokok Pajak Rokok dikenakan atas cukai rokok yang ditetapkan oleh Pemerintah. Hasil penerimaan Pajak Rokok tersebut sebesar 70 % dibagi-hasilkan kepada kabupaten/kota di propinsi yang bersangkutan. Walaupun pajak ini merupakan
42 jenis pajak baru, namun diperkirakan pengenaan Pajak Rokok tidak terlalu membebani masyarakat karena rokok bukan merupakan barang kebutuhan pokok dan bahkan pada tingkat tertentu konsumsinya perlu dikendalikan. Di pihak lain, pengenaan pajak ini tidak terlalu berdampak pada industri rokok karena beban Pajak Rokok akan disesuaikan dengan kebijakan strategis di bidang cukai nasional dan besarannya disesuaikan dengan daya pikul industri rokok mengikuti natural growth (pertumbuhan alamiah) dari industri tersebut. Selain itu, penerimaan Pajak Rokok dialokasikan minimal 50 % untuk mendanai pelayanan kesehatan (pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok (smoking area), kegiatan memasyarakatkan tentang bahaya merokok dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya merokok) serta penegakan hukum (pemberantasan peredaran rokok ilegal dan penegakan aturan mengenai larangan merokok). b. PBB Perdesaan dan Perkotaan Selama
ini
PBB
merupakan
pajak
pusat,
namun
hampir
seluruh
penerimaannya diserahkan kepada daerah. Untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, khusus PBB sektor perdesaan dan perkotaan dialihkan menjadi pajak daerah. Untuk PBB sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan masih merupakan pajak pusat. Dengan dijadikannya PBB Perdesaan dan Perkotaan menjadi pajak daerah, maka penerimaan jenis pajak ini akan diperhitungkan sebagai pendapatan asli daerah (PAD). c. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Selama ini BPHTB merupakan pajak pusat, namun seluruh hasilnya diserahkan kepada daerah. Untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, BPHTB dialihkan menjadi pajak daerah. Penetapan BPHTB sebagai pajak daerah akan meningkatkan PAD. d. Pajak Sarang Burung Walet Pajak Sarang Burung Walet merupakan jenis pajak daerah baru, yang dapat dipungut oleh daerah untuk memperoleh manfaat ekonomis dari keberadaan dan perkembangan sarang burung walet di wilayahnya. Bagi daerah yang memiliki potensi sarang burung walet yang besar akan dapat meningkatkan PAD.
43 2. Penambahan Jenis Retribusi Daerah Terdapat penambahan 4 jenis retribusi daerah, yaitu Retribusi Tera/Tera Ulang, Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, Retribusi Pelayanan Pendidikan, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan. Dengan penambahan ini, secara keseluruhan terdapat 30 jenis retribusi yang dapat dipungut oleh daerah yang dikelompokkan ke dalam 3 golongan retribusi, yaitu retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu. a. Retribusi Tera/Tera Ulang Pengenaan Retribusi Tera/Tera Ulang dimaksudkan untuk membiayai fungsi pengendalian terhadap penggunaan alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya oleh masyarakat. Dengan pengendalian tersebut, maka alat ukur, takar, dan timbang akan berfungsi dengan baik sehingga penggunaannya tidak merugikan masyarakat. b. Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi Pengenaan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi ditujukan untuk meningkatkan pelayanan dan pengendalian daerah terhadap pembangunan dan pemeliharaan menara telekomunikasi. Dengan pengendalian ini, keberadaan menara telekomunikasi akan memenuhi aspek tata ruang, keamanan dan keselamatan, keindahan dan sekaligus memberikan kepastian bagi pengusaha. Untuk menjamin agar pungutan daerah tidak berlebihan, tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak melampaui 2 % dari Nilai Jual Objek Pajak PBB menara telekomunikasi. c. Retribusi Pelayanan Pendidikan Pengenaan retribusi pelayanan pendidikan dimaksudkan agar pelayanan pendidikan, di luar pendidikan dasar dan menengah, seperti pendidikan dan pelatihan untuk keahlian khusus yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah dapat
dikenakan
pungutan
dan
hasilnya
digunakan
untuk
membiayai
kesinambungan dan peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dimaksud. d. Retribusi Izin Usaha Perikanan Pengenaan Retribusi Izin Usaha Perikanan tidak akan memberikan beban tambahan bagi masyarakat, karena selama ini jenis retribusi tersebut telah dipungut oleh sejumlah daerah sesuai dengan kewenangannya. Sebagaimana
44 halnya dengan jenis retribusi lainnya, pemungutan Retribusi Izin Usaha Perikanan dimaksudkan agar pelayanan dan pengendalian kegiatan di bidang perikanan dapat terlaksana secara terus-menerus dengan kualitas yang lebih baik. 3. Perluasan Basis Pajak Daerah Perluasan basis pajak daerah, antara lain adalah: a) PKB dan BBNKB, termasuk kendaraan pemerintah; b) Pajak Hotel, mencakup seluruh persewaan di hotel; dan c) Pajak Restoran. 4. Perluasan Basis Retribusi Daerah Perluasan basis retribusi daerah dilakukan dengan mengoptimalkan pengenaan Retribusi Izin Gangguan, mencakup berbagai retribusi yang berkaitan dengan lingkungan yang selama ini telah dipungut, seperti Retribusi Izin Pembuangan Limbah Cair, Retribusi AMDAL, serta Retribusi Pemeriksaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja. 5. Kenaikan Tarif Maksimum Pajak Daerah Untuk memberi ruang gerak bagi daerah mengatur sistem perpajakannya dalam rangka peningkatan pendapatan dan peningkatan kualitas pelayanan, penghematan energi, dan pelestarian atau perbaikan lingkungan, tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah dinaikkan, antara lain: a. Tarif maksimum Pajak Kendaraan Bermotor, dinaikkan dari 5 %. Khusus untuk kendaraan pribadi dapat diterapkan tarif progresif. b. Tarif maksimum Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dinaikkan dari 10 % menjadi 20 %. c. Tarif maksimum Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, dinaikkan dari 5 % menjadi 10 %. Khusus untuk kendaraan angkutan umum, tarif dapat ditetapkan lebih rendah. d. Tarif maksimum Pajak Parkir, dinaikkan dari 20 % menjadi 30 %. e. Tarif maksimum Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (sebelumnya Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C), dinaikkan dari 20 % menjadi 25 %. 6. Bagi Hasil Pajak Propinsi Dalam rangka pemerataan pembangunan dan peningkatan kemampuan keuangan kabupaten/kota dalam membiayai fungsi pelayanan kepada masyarakat,
45 pajak propinsi dibagi-hasilkan kepada kabupaten/kota, dengan proporsi disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Bagi Hasil Pajak Propinsi No 1 2 3 4 5
Jenis Pajak Pajak Kendaraan Bermotor Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor Pajak Air Permukaan Pajak Rokok
Propinsi 70% 70% 30% 50% 30%
Kab/kota 30% 30% 70% 50% 70%
Sumber : UU 32/ 2004
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan secara bertahap dan terus-menerus dan sekaligus menciptakan good governance dan clean government, penerimaan beberapa jenis pajak daerah wajib dialokasikan (di-earmark) untuk mendanai pembangunan sarana dan prasarana yang secara langsung dapat dinikmati oleh pembayar pajak dan seluruh masyarakat. Pengaturan earmarking tersebut adalah: a.
Sebesar 10 % dari penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor wajib dialokasikan untuk pemeliharaan dan pembangunan jalan serta peningkatan sarana transportasi umum.
b.
Sebesar 50 % dari penerimaan Pajak Rokok dialokasikan untuk mendanai pelayanan kesehatan dan penegakan hukum.
c.
Sebagian penerimaan pajak penerangan jalan digunakan untuk penyediaan penerangan jalan. Dengan penetapan UU PDRD ini, diharapkan struktur APBD menjadi lebih
baik, iklim investasi di daerah menjadi lebih kondusif karena Perda-Perda pungutan daerah yang membebani masyarakat secara berlebihan dapat dihindari. 2.5. Pemberdayaan Masyarakat Perhatian terhadap inisiatif pengembangan/pemberdayaan masyarakat bukanlah model pembangunan baru. Inisiatif pengembangan masyarakat sendiri dapat dirunut kembali ke tahun 1920-an, dimana pilot project Etawah, India, telah menggunakan
konsep
pengembangan
masyarakat
untuk
pembangunan
komunitasnya pasca pemerintahan kolonial. Selanjutnya program pengembangan masyarakat ini telah menyebar di negara-negara berkembang selama tahun 1950-
46 an, tetapi pada pertengahan tahun 1960-an mulai ditinggalkan karena sejumlah kegagalan (Korten, 1996). Menurut Korten (1996) kegagalan ini disebabkan oleh beberapa hal di antaranya adalah : (1) kurangnya perhatian terhadap kontrol aset dan hambatan struktural penduduk miskin, (2) program dan target pengembangan masyarakat diformulasikan secara terpusat (tricle down process) dan dijalankan melalui struktur birokrasi konvensional sehingga kurang mendapatkan perhatian masyarakat dan (3) kurangnya usaha pemerintah untuk mengembangkan independensi, keterlibatan, kemandirian dan keswadayaan masyarakat sebagai target pembangunan. Dengan kata lain bahwa kegagalan praktik pengembangan masyarakat
lebih
disebabkan kegagalan dalam menterjemahkan
konsep
pengembangan masyarakat dalam implementasi riil oleh pemerintah. Pada akhir tahun 1960-an dan 1970-an, keadilan dan partisipasi telah menjadi bagian dari agenda pembangunan internasional.
Teori maupun konsep
pembangunan yang menyangkut perbaikan-perbaikan kehidupan masyarakat di bidang ekonomi, sosial, politik maupun lingkungan hidup telah banyak mengalami perubahan yang mendasar. Konsekuensinya, perencanaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik di tingkat lokal maupun regional pada masa sekarang telah banyak mengalami pergeseran yang fundamental (Hilman, 2004). Dalam paradigma baru pembangunan sekarang, kekuasaan pemerintah seharusnya semakin dibatasi hanya pada bidang public goods dan bidang-bidang dimana pihak swasta dan masyarakat tidak punya insentif untuk melakukannya. Dengan paradigma pembangunan tersebut, telah berlangsung perubahan ke arah perbaikan secara terus-menerus dari waktu ke waktu.
Dari hasil pergeseran
tersebut dapat disimpulkan bahwa penekanan hakiki tujuan pembangunan adalah tercapainya pemerataan (equity), pertumbuhan (eficiency), dan keberlanjutan (sustainability) dalam pembangunan ekonomi yang lebih berkualitas. Paradigma baru pembangunan ini mengacu kepada apa yang disebut dalil kedua fundamental ekonomi kesejahteraan (The second fundamental welfare economics), dimana sebenarnya pemerintah dapat memilih target pemerataan ekonomi yang mendorong pertumbuhan yang diinginkan melalui cara transfer,
47 perpajakan dan subsidi, sedangkan aspek ekonomi selebihnya dapat diserahkan kepada persaingan melalui mekanisme pasar. Dengan demikian, penterjemahan dan dalil tersebut kepada paradigma baru pembangunan sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah (Hilman, 2004). Pengalaman empirik menunjukkan bahwa ketidakseimbangan dalam investasi keempat kapital (natural, physical, human, dan social capital) dapat menimbulkan kesenjangan tingkat kehidupan dalam
masyarakat yang pada gilirannya akan
menjadi sumber dari krisis ekonomi, sosial dan lingkungan. Oleh karena itu, paradigma baru ini lebih menekankan kepada proses-proses
partisipatif dan
kolaboratif (participatory and collaborative processes) yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan material, termasuk meningkatnya keadilan dalam distribusi kekuasaan, pengelolaan dan manfaat pembangunan dalam rangka mewujudkan kebebasan dan kemandirian masyarakat banyak. Menurut Sam Landon (1998), dasar penggunaan model pengembangan masyarakat berakar dari beberapa premis utama. Premis tersebut menunjukkan bahwa dalam hubungan antara pemerintahan dan masyarakat, pendekatan berbasis masyarakat dan lokal berpotensi untuk : a.
Membuat masyarakat memiliki posisi yang lebih baik untuk merespon dan beradaptasi dengan kondisi ekologi dan sosialnya dan lebih dapat menunjukkan kepentingan dan preferensinya.
b.
Lebih mengetahui proses dan praktik-praktik manajemen.
c.
Lebih
mampu
memobilisasikan
sumberdayanya
melalui
akses
dan
manajemen yang adaptif. d.
Lebih mampu dalam proses pengambilan keputusan bagi kebutuhan hidupnya. Lebih lanjut, Sam Landon (1998) menyatakan bahwa disamping potensinya,
model pengembangan masyarakat juga memiliki resiko dan kendala. Masyarakat umumnya merupakan kesatuan heterogen (berbeda dalam hal jenis kelamin, umur, kondisi ekonomi, status sosial, grup politik, dan sebagainya). Dimana mereka saling berkompetisi dan memiliki konflik kepentingan masing-masing. Bagi Indonesia, dengan diberlakukannya UU No. 22 dan UU No. 25 tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pusat dan
48 Daerah berimplikasi luas dalam sistem perencanaan pembangunan di wilayahwilayah. Kebijaksanaan desentralisasi melalui otonomi daerah sebenarnya memberi
isyarat
pemberdayaan
tentang
dalam
pentingnya pendekatan pembangunan
rangka
pengembangan
masyarakat
berbasis
lokal (locality
development) dan wilayah (regional development) dibanding dengan pendekatan sektoral dan terpusat. Dengan kata lain, kebijakan otonomi daerah mendorong dilakukannya pengembangan masyarakat lokal dan wilayah. Paradigma baru pengembangan di tingkat lokal dan wilayah pada saat ini didasarkan kepada prinsip-prinsip pembangunan yang menekankan aspek-aspek berikut: 1.
Mengutamakan peran-serta (participation) masyarakat dan memprioritaskan untuk menjawab kebutuhan hidup masyarakat setempat. Pemerintah sebaiknya lebih berperan sebagai fasilitator pembangunan daripada sebagai inisiator dan pelaksana.
2.
Menekankan aspek proses interaktif dibandingkan pendekatan-pendekatan yang menghasilkan “produk-produk” perencanaan berupa master plan dan sejenisnya.
3.
Para pihak (stakeholders) yang berinteraksi bekerjasama secara kolaboratif dengan kedudukan yang setara, dan bebas dan hierarki birokrasi. Sasaran
utama pengembangan
masyarakat
adalah
masyarakat
yang
terpinggirkan, termasuk kaum perempuan dan anak-anak, juga masyarakat lain yang terabaikan. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan bagi orang lain untuk mengikuti kegiatan-kegiatan pemberdayaan. Tahapan-tahapan umum yang digunakan dalam proses pengembangan masyarakat adalah sebagai berikut. Tahap 1. Seleksi wilayah Tahap 2. Sosialisasi pengembangan masyarakat Tahap 3. Proses pengembangan masyarakat, yang terdiri dari: Kajian keadaan pedesaan partisipatif Pengembangan kelompok Penyusunan rencana dan pelaksanaan kegiatan Monitoring dan evaluasi partisipatif
49 Tahap 4. Pemandirian masyarakat 1. Seleksi Wilayah Seleksi wilayah dilakukan sesuai dengan kriteria yang disepakati oleh lembaga, pihak-pihak terkait, dan masyarakat. Penetapan kriteria ini penting agar tujuan lembaga dalam pengembangan masyarakat akan tercapai serta pemilihan lokasi dilakukan sebaik mungkin. 2. Sosialisasi Pengembangan Masyarakat Sosialisasi pengembangan masyarakat adalah suatu kegiatan yang sangat penting untuk menciptakan komunikasi serta dialog dengan masyarakat. Sosialisasi pengembangan masyarakat dapat membantu meningkatkan pengertian masyarakat dan pihak terkait tentang program. Proses sosialisasi sangat menentukan ketertarikan masyarakat untuk berperan dan terlibat di dalam program. 3. Proses Pengembangan Masyarakat Maksud pemberdayakan masyarakat adalah meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya (tujuan umum).
Dalam proses tersebut masyarakat bersama-sama dilibatkan
dalam : a.
Mengidentifikasi dan mengkaji permasalahan, potensi serta peluang.
b.
Menyusun rencana kegiatan kelompok berdasarkan hasil kajian.
c.
Menerapkan rencana kegiatan kelompok.
d.
Memantau
proses
dan
hasil
kegiatan
secara
terus-menerus
(Monitoring dan Evaluasi Partisipatif ). Pelaksanaan tahap-tahap di atas sering bersamaan dan lebih bersifat proses yang diulangi terus-menerus. Pengembangan masyarakat
kerapkali dilakukan
melalui pendekatan kelompok dimana anggota bekerjasama dan berbagi pengalaman dan pengetahuan. Untuk pengembangan kelompok ada kegiatankegiatan khusus yang berjalan bersamaan dengan kegiatan lain. Berkaitan dengan pengembangan masyarakat untuk mandiri dalam meningkatkan taraf hidupnya, maka arah pendampingan kelompok adalah mempersiapkan masyarakat agar benar-benar mampu mengelola sendiri kegiatannya. Dalam semua kegiatan sering dimanfaatkan teknik dan alat visualisasi yang
50 mendukung diskusi antara masyarakat dan memudahkan proses pengembangan masyarakat. Melalui teknik-teknik tersebut, diharapkan bahwa proses kajian, penyusunan rencana kegiatan, penerapan, monitoring dan evaluasi dilakukan secara sistematis. Teknik-teknik kajian yang sering digunakan antara lain Participatory Rural Appraisal (PRA). Monitoring dan evaluasi merupakan suatu tahap yang sangat penting untuk memperbaiki proses secara terus-menerus agar tujuan dapat tercapai. Aspek-aspek yang dimonitor dan dievaluasi meliputi 'proses', 'pencapaian' dan 'dampak' proses pengembangan masyarakat. Dengan perubahan paradigma pembangunan di atas, model pengembangan masyarakat semakin banyak diadopsi oleh peneliti dalam upaya mengembangkan komunitas. Model ini digunakan untuk pengembangan masyarakat mulai dari masyarakat industri, kehutanan, pedesaan, pertanian, nelayan, maupun manajemen sumber daya alam. Ashby dan Sperling (1995), Child (1996), Colchester (1994), Corbridge dan Jewitt (1997) telah menggunakan model pengembangan masyarakat untuk melibatkan masyarakat dalam sistem manajemen hutan. Davos (1998), Christie dan White (1997), ICLRAM dan NSC (1997) telah menggunakan model ini untuk menganalisis manajemen masyarakat nelayan dan perikanan. Gubbels (1997), Hirashima dan Gooneratne (1998) telah menggunakan pendekatan ini untuk pengembangan masayarakat tani dan pedesaan. Terakhir, Dhai (1994) dan Farringtton (1996) telah menggunakan pendekatan ini untuk riset dan manajemen sumber daya alam. Secara umum, peneliti di atas menyimpulkan bahwa model pengembangan masyarakat masih applicable sampai saat ini sepanjang pendekatan yang digunakan tepat. 2.6. Strategi Pemberdayaan Strategi adalah suatu perencanaan induk yang komprehensif, yang menjelaskan bagaimana organisasi akan mencapai semua tujuan yang telah ditetapkan berdasarkan misi yang telah ditentukan (Rangkuti, 1999). Pearce dan Robinson (1997) mendefinisikan strategi sebagai suatu perencanaan, cara, pola, posisi dalam lingkungan organisasi, dan prospektif. Menurut Jauch dan Glueck (1995), manajemen strategik adalah seni dan ilmu dari pembuatan, penerapan dan evaluasi keputusan-keputusan strategik antar fungsi-fungsi yang memungkinkan sebuah organisasi mencapai tujuan-tujuan
51 masa datang. Untuk mengatasi masalah-masalah strategik perlu berpikir secara strategik yang muncul seiring dengan berkembangnya perusahaan/organisasi. Karakteristik dari manajemen strategik adalah : (1) berorientasi pada masa depan, (2) biasanya berhubungan dengan unit bisnis yang sangat kompleks, (3) memerlukan perhatian dari manajemen puncak, (4) akan mempengaruhi kemakmuran jangka panjang dari perusahaan dan (5) melibatkan pengelolaan sejumlah besar sumber-sumber daya perusahaan. Lebih lanjut, Kotler (2000) mendefinisikan manajemen strategik sebagai seni dan ilmu untuk memformulasikan, mengimplementasikan dan mengevaluasi keputusan-keputusan lintas fungsional yang memungkinkan suatu organisasi mencapai sasarannya. Manajemen strategik adalah ilmu yang memadukan manajemen pemasaran, keuangan, produksi/operasi, informasi, penelitian dan pengembangan untuk mencapai keberhasilan organisasi. Menurut Jauch dan William (1995), manajemen strategik terdiri dari tiga tahapan yaitu formulasi strategi, implementasi strategi, dan evaluasi strategi. Lebih lanjut, dinyatakan bahwa formulasi strategik mencakup pengembangan misi bisnis, identifikasi peluang dan ancaman, menentukan kekuatan dan kelemahan, menetapkan sasaran jangka panjang, menyusun alternatif strategi dan memilih strategi tertentu.
Implementasi strategik merupakan tindakan dalam strategi
manajemen yang antara lain menetapkan sasaran tahunan dan kebijakan, memotivasi karyawan, mengalokasikan sumber daya secara efektif. Implementasi strategik dilaksanakan pada tiga tingkat hirarki dalam organisasi yaitu di tingkat organisasi, unit bisnis, dan tingkat fungsional. Evaluasi strategik merupakan tahap akhir dalam manajemen strategik, dimana terdapat tiga kegiatan utama : (1) mengevaluasi faktor internal dan eksternal yang didasarkan pada strategi saat ini, (2) mengukur kinerja, dan (3) mengadakan perbaikan dari kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan. Jauch dan William (1995) membagi strategi menjadi tiga tingkatan dalam struktur organisasi yaitu strategi tingkat organisasi, strategi tingkat unit binis dan strategi tingkat fungsional. Strategi tingkat organisasi menggambarkan arah yang menyeluruh bagi suatu perusahaan dalam pertumbuhan dan pengelolaan berbagai bidang usaha, untuk mencapai keseimbangan produk atau jasa yang dihasilkan.
52 Strategi ini biasanya dibuat sebagai arahan dasar berbagai strategi pada unit usaha dan strategi fungsional yang disusun. Strategi tingkat unit bisnis menekankan pada usaha peningkatan daya saing perusahaan dalam suatu industri atau segmen pasar. Strategi tingkat fungsional menciptakan kerangka kompleks kerja untuk manajemen fungsi seperti produksi, pemasaran, keuangan, dan sumber daya manusia. Berpikir strategik memerlukan beberapa tahapan. Menurut Jauch dan William (1995), tahapan berpikir strategik meliputi lima hal yaitu : (1) identifikasi masalah, (2) pengelompokan masalah, (3) proses abstraksi, (4) penentuan metode pemecahan masalah, dan (5) perencanaan untuk implementasi. Selanjutnya David (1999) menyatakan bahwa dalam identifikasi masalah dilakukan identifikasi masalah-masalah strategik yang muncul dengan melihat gejala-gejala yang mengikutinya. Pengelompokan masalah dilakukan dengan mengelompokkan masalah sesuai dengan sifatnya. Proses abstraksi dilakukan dengan mengidentifikasi masalah-masalah yang paling penting dari tiap kelompok, kemudian melakukan analisa terhadap masalah tersebut dalam rangka mencari faktor penyebab timbulnya masalah. Penentuan metode yang paling tepat untuk menyelesaikan/memecahkan masalah yang telah diidentifikasikan pada tahap sebelumnya. Perencanaan untuk implementasi yaitu produk, pemasok atau penyandang dana. 2.7. Lingkungan Eksternal dan Internal Faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan industri kecil secara garis besar dapat dibagi menjadi faktor eksternal dan internal. Faktor Eksternal.
Menurut David (1999), faktor eksternal merupakan
faktor-faktor yang bersumber dari luar dan biasanya tidak berhubungan dengan situasi operasional suatu organisasi. Faktor eksternal terdiri dari : (1) faktor ekonomi, (2) sosial, (3) politik, (4) teknologi, dan (5)
faktor ekologi.
Lingkungan ini memberi peluang dan ancaman bagi suatu organisasi. Sebuah perusahaan/organisasi
tidak
mempunyai
peranan
yang
berarti
untuk
mempengaruhi lingkungan eksternal secara keseluruhan tanpa dukungan dari organisasi lainnya.
53 Faktor ekonomi. Faktor ekonomi berkaitan dengan sifat dan arah sistem ekonomi tempat suatu organisasi/perusahaan beroperasi.
Faktor ekonomi
mencakup pertumbuhan ekonomi, suku bunga, inflasi, nilai tukar, dan pendapatan per kapita. Faktor sosial-budaya.
Faktor sosial-budaya yang mempengaruhi suatu
organisasi adalah kepercayaan, sikap, opini dan gaya hidup orang-orang di lingkungan eksternal organisasi yang berkembang dari pengaruh kultural, ekologi, demografi, agama, pendidikan dan etnik. Faktor politik. Arah dan pertimbangan faktor-faktor politik merupakan pertimbangan penting bagi organisasi dalam merumuskan strateginya. Faktor politik menentukan parameter legal dan regulasi yang membatasi operasi organisasi. Kegiatan politik tersebut mempunyai dampak besar atas dua fungsi pemerintah yang mempengaruhi lingkungan eksternal organisasi yaitu : a. Fungsi pemasok : keputusan pemerintah mengenai aksesibilitas usaha swasta ke sumber daya alam dan cadangan nasional hasil usaha milik pemerintah. b. Fungsi pelanggan : kebutuhan pemerintah akan produk dan jasa dapat menciptakan, mempertahankan, memperkuat dan meniadakan peluang pasar. Faktor teknologi.
Faktor teknologi berpengaruh untuk menghindari
keusangan dan mendorong inovasi.
Adaptasi teknologi yang kreatif dapat
membuka terciptanya produk baru, penyempurnaan produk yang sudah ada atau penyempurnaan dalam teknik produksi dan pemasaran. Faktor ekologi.
Faktor ini mengacu pada hubungan antara manusia
(organisasi) dan makh,luk hidup lainnya dengan udara, lahan dan air yang mendukung kehidupan mereka. Sinergisme hubungan antara manusia dengan lingkungan menentukan keberlanjutan suatu usaha. Faktor Internal.
Faktor internal adalah kelompok atau individu yang
merupakan bagian internal dari organisasi itu sendiri (David 1999).
Faktor
internal dapat memberikan kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) bagi suatu organisasi/perusahaan. Beberapa faktor internal yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya usaha industri kecil adalah sifat produk, sumberdaya manusia, akses teknologi, ketersediaan modal, dan manajemen home industry. Produk sepatu dan sandal
54 bukan lagi merupakan produk sekunder tetapi sudah menjadi kebutuhan primer masyarakat.
Agar kompetitif, produk ini harus dikembangkan sesuai dengan
keinginan pasar, baik dalam hal kualitas, harga, dan modelnya. Faktor sumber daya manusia terkait dengan ketersediaan tenaga kerja di sekitar lokasi home industry.
Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia akan mempengaruhi
industri kecil dalam melakukan inovasi dan melakukan diversifikasi produk. Faktor akses teknologi terkait dengan lokasi usaha, dalam hal ini kedekatan lokasi usaha dengan sumber-sumber pengetahuan seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan universitas-universitas di wilayah tersebut. Faktor permodalan terkait dengan akses terhadap sumber-sumber finansial seperti bank dan lembaga keuangan lainnya yang dapat digunakan sebagai kekuatan industri kecil untuk memantapkan struktur permodalannya. 2.8. Strategi Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi Terdapat
beberapa
strategi
pertumbuhan
dalam
kaitannya
dengan
pembangunan ekonomi, yaitu : (1) strategi usaha minimum kritis, (2) strategi pembangunan seimbang, dan (3) strategi pembangunan tidak seimbang. 1. Strategi Upaya Minimum Kritis Strategi upaya minimum kritis ini dikemukakan oleh Harvey Leibenstein yang menyatakan bahwa sebagian besar negara berkembang dicekam oleh lingkaran setan kemiskinan yang membuat mereka tetap berada pada tingkat keseimbangan pendapatan per kapita yang rendah. Jalan keluar dari kebuntuan ini adalah dengan melakukan suatu upaya minimum kritis (critical minimum effort) tertentu yang akan menaikkan pendapatan per kapita pada tingkat di mana pembangunan yang berkesinambungan (sustainable) dapat terjadi. Leibenstein mengatakan bahwa dalam tahap transisi dari keadaan keterbelakangan ke keadaan yang lebih maju, dengan pertumbuhan jangka panjang mantap, diperlukan suatu kondisi di mana suatu perekonmian harus mendapatkan rangsangan pertumbuhan yang lebih besar di atas batas minimum kritis tertentu. Menurut strategi ini, setiap ekonomi tunduk pada hambatan dan rangsangan. Hambatan
berdampak
menurunkan pendapatan per kapita dari tingkat
sebelumnya, sedangkan rangsangan cenderung akan meningkatkan pendapatan per kapita. Suatu negara menjadi terbelakang jika besarnya rangsangan terlalu
55 kecil dibandingkan besarnya hambatan yang dihadapi. Jika faktor-faktor yang dapat meningkatkan pendapatan itu mendapat rangsangan yang lebih daripada faktor-faktor yang dapat menurunkan pendapatan, maka strategi minimum kritis dapat tercapai dan suatu perekonomian akan bisa berkembang. Strategi Leibenstein didasarkan pada bukti empiris bahwa laju pertumbuhan penduduk merupakan fungsi dari laju pendapatan per kapita. Laju pertumbuhan penduduk berkaitan erat dengan berbagai tahap pembangunan ekonomi. Mulamula, pada tingkat keseimbangan sub sisten, laju pendapatan, kesuburan dan kematian "sesuai" dengan tingkat kelangsungan hidup penduduk. Jika pendapatan per kapita naik di atas posisi keseimbangan tersebut maka tingkat kematian (mortalitas) akan turun, tetapi tanpa dibarengi penurunan tingkat kesuburan. Akibatnya pertumbuhan penduduk meningkat. Jadi, kenaikan pendapatan per kapita cenderung menaikkan laju pertumbuhan penduduk, tetapi kecenderungan ini hanya sampai titik tertentu. Melampaui titik tersebut, kenaikan pendapatan per kapita akan menurunkan tingkat kesuburan dan ketika pembangunan sudah mencapai tahap maju maka laju pertumbuhan penduduk akan menurun. Di samping pertumbuhan penduduk, terdapat beberapa faktor lain yang memerlukan pelaksanaan upaya minimum kritis. Faktor tersebut adalah skala disekonomis internal akibat tak dapat dibaginya produksi, disekonomi eksternal akibat adanya ketergantungan eksternal, hambatan budaya-kelembagaan yang ada di negara-negara berkembang. Menurut Leibenstein, apakah agen pertumbuhan itu berkembang atau tidak, akan tergantung pada besarnya rangsangan pertumbuhan. Rangsangan tersebut terdiri dari 2 macam yaitu :
Rangsangan zero-sum yang tidak meningkatkan pendapatan nasional tetapi hanya bersifat upaya distributif .
Rangsangan positive sum yang menuju pada pengembangan pendapatan nasional. Hanya tipe kegiatan positive-sum yang akan menghasilkan pembangunan
ekonomi. Kompleknya kondisi yang dihadapi negara berkembang membuat para pengusahanya terlibat pada kegiatan-kegiatan zero-sum. Kegiatan zero-sum tersebut mencakup :
56
Kegiatan bukan dagang (non trade) untuk menjamin posisi monopolistik yang lebih besar, kekuatan politik, dan prestise sosial.
Kegiatan dagang yang membawa ke posisi monopolist yang lebih besar yang tidak menambah sumber-sumber agregat.
Kegiatan spekulatif yang tidak memanfaatkan tabungan tetapi memboroskan sumber kewiraswastaan yang langka,
Kegiatan yang memang-memakai tabungan netto, tetapi investasi yang dilakukannya mencakup bidang-bidang usaha yang nilai sosialnya nihil atau lebih rendah daripada nilai privatnya.
.
Kegiatan zero-sum bukanlah kegiatan yang secara riil dapat menciptakan pendapatan riil tetapi sekedar pemindahan likuiditas dari pemilik yang satu ke pemilik lainnya. Untuk mengatasi pengaruh yang membuat perekonomian berada dalam keadaan keterbelakangan maka diperlukan suatu upaya minimum kritis yang cukup besar guna menopang laju pertumbuhan ekonomi yang cepat yang akan menggairahkan rangsangan positive-sum dan menciptakan kekuatan untuk menandingi kegiatan zero-sum. Sebagai hasil dari upaya minimum kritis itu pendapatan per kapita akan naik dan cenderung menaikkan tingkat tabungan dan investasi, yang pada gilirannya, akan membawa kepada:
Ekspansi agen pertumbuhan.
Meningkatnya sumbangan mereka per unit modal, begitu rasio modal output turun.
Berkurangnya keefektifan faktor-faktor yang merintangi pertumbuhan.
Penciptaan kondisi lingkungan dan sosial yang meningkatkan mobilitas ekonomi dan sosial.
Peningkatan spesialisasi dan perkembangan sektor sekunder dan tersier.
Terciptanya iklim yang cocok bagi perubahan yang lebih mendatangkan perubahan ekonomi dan sosial, khususnya lingkungan yang pada akhirnya menyebabkan menurunnya kesuburan dan laju pertumbuhan penduduk. Teori Leibenstein lebih realistis daripada teori dorongan besar-besaran (big
push theory) dari Rosenstein - Rodan yang menjalankan strategi pertumbuhan dengan memberikan dorongan kuat kepada program industrialisasi secara
57 mendadak pada negara berkembang. Upaya minimum kritis dapat dijadwalkan secara tepat dan dapat dipecah-pecah ke dalam rangkaian upaya yang lebih kecil guna meletakkan ekonomi pada jalur pembangunan yang berkesinambungan. Teori ini juga sesuai dengan gagasan perencanaan demokratis yang dianut oleh sebagian besar negara berkembang. Namun demikian, strategi tersebut mengandung beberapa kelemahan yaitu: a.
Laju pertumbuhan penduduk berkaitan dengan tingkat kematian.
b.
Penurunan tingkat kelahiran bukan dikarenakan kenaikan pendapatan per kapita.
c.
Mengabaikan usaha pemerintah untuk menurunkan tingkat kelahiran.
d.
Tingkat pertumbuhan lebih tinggi dari 3 % tidak menyebabkan lepas landas.
e.
Mengabaikan unsur waktu.
f.
Hubungan kompleks antara pendapatan per kapita dan faju pertumbuhan.
g.
Dapat diterapkan pada ekonomi tertutup.
2.
Strategi Pertumbuhan Seimbang Strategi pertumbuhan seimbang bisa diartikan sebagai pembangunan berbagai
jenis industri secara berbarengan (simultaneous) sehingga industri tersebut saling menciptakan pasar bagi yang lain. Selain itu, strategi pembangunan seimbang dapat juga diartikan sebagai keseimbangan pembangunan di berbagai sektor, misalnya antara sektor industri dan sektor pertanian, sektor luar negeri dan sektor domestik, antara sektor produktif dan sektor prasarana. Singkatnya, strategi pembangunan seimbang mengharuskan adanya pembangunan yang serentak dan harmonis di berbagai sektor ekonomi sehingga semua sektor tumbuh bersama. Dalam menjalankan strategi ini, diperlukan keseimbangan antara sisi permintaan dan sisi penawaran. Sisi penawaran memberikan tekanan pada pembangunan serentak dari semua sektor yang saling berkaitan dan berfungsi meningkatkan penawaran barang. Ini meliputi pembangunan serentak dan harmonis dari barang setengah jadi, bahan baku, sumber daya energi, pertanian, pengairan, transportasi, dan lain-lain serta semua industri yang memproduksi barang konsumen. Sebaliknya, sisi permintaan berhubungan dengan penyediaan kesempatan kerja yang lebih besar dan penambahan pendapatan agar permintaan barang dan jasa dapat tumbuh. Sisi berkaitan dengan industri yang sifatnya saling
58 melengkapi, industri barang konsumen, khususnya industri produk pertanian dan industri manufaktur. Jika semua industri dibangun secara serentak maka jumlah tenaga kerja yang terserap akan sangat besar. Dengan cara ini akan tercipta permintaan barang-barang dari masing-masing industri, dan semua barang akan habis terjual. Pembangunan seimbang dilaksanakan dengan maksud untuk menjaga agar proses pembangunan tidak menghadapi hambatan-hambatan dalam :
Memperoleh bahan baku, tenaga ahli, sumber daya energi (air dan listrik), dan fasilitas-fasilitas untuk mengangkut hasil-hasil produksi ke pasar.
Memperoleh pasar untuk barang-barang yang telah dan yang akan diproduksi. Dengan demikian pembangunan seimbang dapat didefinisikan sebagai usaha
pembangunan yang berupaya untuk mengatur program investasi sedemikian rupa sehingga sepanjang proses pembangunan tidak akan timbul hambatanhambatan'yang bersumber dari penawaran maupun permintaan. Istilah pembangunan seimbang diciptakan oleh Nurkse (1953). Namun demikian, teori ini pertama kali dikemukakan oleh Paul Rosenstein-Rodan (1953), dengan nama the big push theory yang menulis gagasan untuk menciptakan program pembangunan di Eropa Timur dan Eropa Tenggara dengan melakukan industrialisasi secara besar-besaran. Kedua orang ini beranggapan bahwa melakukan industrialisasi di daerah yang kurang berkembang merupakan cara yang tepat untuk menciptakan pembagian pendapatan .yang lebih merata di dunia dan untuk meningkatkan pendapatan di daerah semacam itu agar lebih cepat daripada di daerah yang lebih kaya. Dalam upaya untuk melaksanakan program tersebut berbagai industri haruslah dibangun secara berbarengan. Tujuan utama dari strategi ini adalah untuk menciptakan berbagai jenis industri yang berkaitan erat satu sama lain sehingga setiap industri akan memperoleh eksternalitas ekonomi dari industrialisasi tersebut. Scitovsky mendefinisikan eksternalitas ekonomi sebagai jasa-jasa yang diperoleh dengan cuma-cuma oleh suatu industri dari satu atau beberapa industri lainnya. Dengan demikian jika sebuah perusahaan memperoleh eksternalitas ekonomi, maka biaya produksinya dapat dikurangi dan perusahaan tersebut dapat melaksanakan kegiatannya dengan lebih efisien.
59 Menurut Rosenstein-Rodan (1953), pembangunan industri secara besarbesaran akan menciptakan 3 macam eksternalitas ekonomi yaitu:
Yang diakibatkan oleh perluasan pasar.
Karena industri yang sama letaknya berdekatan.
Karena adanya industri lain dalam perekonomian tersebut.
Menurut Rosenstein-Rodan, eksternalitas yang pertama yang paling penting. Strategi pembangunan seimbang banyak mendapatkan kritikan dari para ahli. Singer dalam Arsyad (1999) mengkritisi pandangan yang menekankan tentang perlunya menciptakan pembangunan yang berbarengan pada berbagai industri. Pandangan tersebut melupakan sektor pertanian sehingga sektor pertanian akan
menghadapi kesukaran untuk
memenuhi pertambahan
permintaan bahan pangan dan bahan baku pertanian yang akan digunakan sektor industri. Jadi, strategi pembangunan seimbang harus diperluas hingga meliputi usaha pembangunan secara besar-besaran di sektor pertanian. Dengan demikian kenaikan produktivitas dan produksi sektor pertanian akan dapat memenuhi kenaikan permintaan sektor industri. Di sisi lain, negara berkembang kurang memiliki kemampuan dalam menyediakan sumber daya untuk pembangunan besar-besaran tersebut. Strategi pembangunan seimbang tidak menyadari masalah utama yang dihadapi negara berkembang yaitu kekurangan sumber daya. Pendapat Hirschman tentang pembangunan seimbang pada hakekatnya hampir sama dengan Singer. Menurut Hirschman (1958) dalam Arsyad (1999), strategi
pembangunan
seimbang
melupakan
kenyataan
historis
yang
menunjukkan bahwa secara gradual (bertahap) kegiatan industri modern telah mulai berkembang pada masa lalu, dan telah sanggup menggantikan beberapa industri rumah tangga maupun menghasilkan barang-barang yang pada mulanya diimpor. Strategi itu juga telah mengabaikan kenyataan sejarah yang menunjukkan bahwa hasil-hasil industri modern telah mengakibatkan kenaikan pengeluaran masyarakat sehingga mengurangi tabungan mereka serta mendorong mereka untuk bekerja lebih giat. Menurut Hirschman, hambatan-hambatan terhadap pembangunan terutama industrialisasi tidaklah serius seperti yang sering
60 dikemukakan orang, termasuk orang yang mencetuskan pandangan tentang perlunya pembangunan seimbang. Hirschman juga mengatakan ketidak-yakinannya apakah negara berkembang sanggup melaksanakan program pembangunan seimbang tanpa adanya bantuan dari luar, karena pelaksanaan pembangunan tersebut memerlukan tenaga-tenaga ahli dalam jumlah besar, yang notabene sangat terbatas jumlahnya di negara berkembang.
Selain itu, Hirschman juga menyatakan bahwa pembangunan
seimbang dapat menciptakan efisiensi dan keuntungan yang lebih tinggi kepada masing-masing industri tetapi juga dapat menimbulkan eksternalitas disekonomis. Misalnya, pembangunan seimbang akan mengajarkan cara-cara bekerja pada masyarakat. Kerugiannya adalah keahlian tradisional tidak berguna lagi, corak kegiatan perdagangan yang lama hancur, dan pengangguran tercipta. Kalau keadaan demikian terjadi maka akan menimbulkan berbagai jenis |biaya sosial (social cost) bagi masyarakat. 3.
Strategi Pembangunan Tak Seimbang Pembangunan tak seimbang merupakan keadaan yang berlawanan dengan
keadaan pada pembangunan seimbang. Istilah ini digunakan untuk menyatakan bahwa program pembangunan disusun sedemikian rupa sehingga dalam perekonomian tersebut akan timbul kelebihan dan kekurangan dalam berbagai sektor
sehingga
menimbulkan
distorsi-distorsi
ketidakstabilan
dalam
perekonomian. Strategi pembangunan tak seimbang dikemukakan oleh Albert Hirschman dan Paul Streeten. Pembangunan tak seimbang adalah pola pembangunan yang lebih cocok untuk mempercepat proses pembangunan di negara berkembang. Strategi pertumbuhan tak seimbang dikemukakan
berdasarkan pertimbangan sebagai
berikut :
Secara historis pembangunan ekonomi yang terjadi coraknya tidak seimbang.
Untuk memnpertinggi efisiensi penggunaan sumber daya yang tersedia.
Pembangunan tak seimbang akan menimbulkan kemacetan (bottlenecks) atau gangguan-gangguan dalam proses pembangunan tetapi akan menjadi pendorong bagi pembangunan selanjutnya.
61 Menurut Hirschman, jika kita mengamati proses pembangunan yang terjadi antara dua periode waktu tertentu akan tampak bahwa berbagai sektor kegiatan ekonomi mengalami perkembangan dengan laju yang berbeda, yang berarti bahwa pembangunan berjalan tidak seimbang. Perkembangan sektor pemimpin (leading sector)
akan
merangsang
perkembangan
sektor
lainnya.
Begitu
pula
perkembangan di suatu industri tertentu akan merangsang perkembangan industriindustri lain yang erat keterkaitannya dengan industri yang mengalami perkembangan tersebut. 2.9. Penelitian Terdahulu Tentang Pedagang Kaki Lima (PKL) 1.
Stigma Negatif PKL Permasalahan PKL pada setiap kota di seluruh Indonesia adalah persoalan
klasik. Kebanyakan Pemda memandang PKL sebagai negative problem. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan yang dikeluarkan yang pada umumnya berisikan penertiban, bukan pemberdayaan. Kompas tanggal 13 Februari 2003 menuliskan hal sebagai berikut : “Belakangan ini, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya kembali melakukan berbagai operasi penertiban terhadap pedagang kaki lima (PKL) yang hingga kini masih memadati sudut-sudut Kota Surabaya. Ruas-ruas jalan protokol yang telah dinyatakan steril dari PKL, ternyata tidak bisa seratus persen bebas PKL….. ... Di mata Pemkot Surabaya, khususnya aparat penegak hukum mungkin benar bahwa keberadaan sektor informal acapkali dinilai selalu melanggar hukum dan menjadikan kota tampak kumuh...” Tindakan Pemda melakukan penertiban ini disebabkan pandangan aparat Pemda yang menganggap bahwa PKL sebagai penyebab timbulnya kemacetan sebagaimana tertuang dalam penelitian Ester (2003) yang mengungkapkan : ”...Salah satu wujud dari sektor informal adalah kegiatan Pedangang Kaki Lima, kegiatan ini timbul karena tidak terpenuhinya kebutuhan pelayanan oleh kegiatan formal yang mana kegiatan mereka sering menimbulkan gangguan terhadap lingkungannya dan sering dipojokkan sebagai penyebab timbulnya kemacetan lalu lintas di kawasan Pusat Kota Sidoarjo, yang mana Pedagang Kaki Lima menggunakan lahan-lahan umum (public land)...” Cara pandang yang sama juga dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung, hal ini dijelaskan oleh Suharto (2003) sebagai berikut : ”...di Kota Bandung misalnya, Pemerintah Kota terus melakukan operasi “penertiban” di tujuh wilayah terpadat (dikembangkan dari lima wilayah
62 sejak tahun 2001), yaitu Jalan Sudirman, Asia Afrika, Dalem Kaum, Kepatihan, Dewi Sartika, Otista, dan kompleks Plaza Bandung Indah. Pemerintah Kota meyakini bahwa wilayah tersebut harus bebas gangguan dari pedagang kaki lima, khususnya bila ada acara-acara kenegaraan (misalnya pertemuan internasional, peringatan konferensi Asia Afrika, kunjungan pejabat pemerintah pusat) ke kota tersebut.” Penolakan terhadap keberadaan pedagang kaki lima dan umumnya sektor informal terjadi di semua kota di Indonesia. Sebagai dampak utama urbanisasi, PKL diakui sebagai fenomena struktural yang akan terus ada (Aswindi, 2002). Sepanjang pengamatan Aswindi (2002), belum ada satu pun kota di Indonesia yang berhasil menghapuskan keberadaan PKL. Kutipan-kutipan di atas seakan menegaskan bahwa PKL menjadi sumber ketidaktertiban,
kemacetan,
dan
ketidakaturan
sebuah
kota.
Namun,
Tempointeraktif.com (2005) melaporkan PKL di Jakarta Barat melalui Asosiasi Pedagang Kaki Lima bisa mengatur diri. Hal ini bisa dilihat di Pasar Taman Surya di Jakarta Barat. 2.
PKL sebagai Alternatif Pekerjaan dan Sumber PAD Fundamen
ekonomi
Indonesia
yang
rapuh
pada
tahun
1997-an
mengakibatkan krisis ekonomi yang merontokkan terutama sektor properti dan perbankan. Kedua sektor ini yang paling banyak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). PKL sebagai salah satu wujud sektor informal, tidak hanya mendatangkan keruwetan, namun juga mendatangkan manfaat yang banyak. Studi Profil Pekerja di Sektor Informal dan Arah Kebijakan Ke Depan yang dilakukan Bappenas menunjukan bahwa sebesar 65.40 % (Sakernas BPS 1998) dan kemudian meningkat menjadi 69.63 % (Sakernas BPS 2002). Hal ini menunjukan bahwa terjadi perpindahan lapangan usaha dari sektor formal ke sektor informal. Satu contoh terkait dengan ungkapan di atas, ditulis oleh Korompis (2005) yang menyatakan bahwa para pengangguran melakukan kompensasi positif dengan memilih bekerja di sektor informal, bahkan yang paling diminati adalah menjadi PKL. Selanjutnya, Korompis (2005) mengungkapkan bahwa PKL mempunyai potensi untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja, terutama bagi tenaga
63 kerja yang kurang memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai untuk bekerja di sektor formal karena rendahnya tingkat pendidikan yang mereka miliki. Studi Bappenas menjelaskan bahwa terdapat empat keunggulan sektor informal. 1. Daya Tahan. Selama krisis ekonomi, terbukti sektor informal tidak hanya
dapat bertahan, bahkan berkembang pesat. Hal ini disebabkan faktor permintaan (pasar output) dan faktor penawaran. Dari sisi permintaan, akibat krisis ekonomi, pendapatan riil rata-rata masyarakat turun drastis dan terjadi pergeseran permintaan masyarakat, dari barang-barang sektor formal atau impor (yang harganya relatif mahal) ke barang-barang sederhana buatan sektor informal (yang harganya relatif murah). Dari sisi penawaran, akibat banyak PHK di sektor formal selama masa krisis, ditambah dengan sulitnya angkatan kerja baru mendapat pekerjaan di sektor formal, maka suplai tenaga kerja dan pengusaha ke sektor informal meningkat. Temuan Purwanugraha et al. (2000) memperkuat pernyataan bahwa pekerjaan sebagai PKL merupakan salah satu pekerjaan yang relatif tidak terpengaruh krisis ekonomi. 2. Padat Karya. Dibanding sektor formal, khususnya usaha skala besar, sektor
informal yang pada umumnya adalah usaha skala kecil bersifat padat karya. Jumlah tenaga kerja di Indonesia yang sangat banyak menyebabkan upah relatif lebih murah jika dibandingkan di negara-negara lain dengan jumlah penduduk yang kurang dari Indonesia. 3. Keahlian Khusus (Tradisional). Bila dilihat dari jenis-jenis produk yang
dibuat di industri kecil (IK) dan industri rumah tangga (IRT) di Indonesia, dapat dikatakan bahwa produk-produk yang mereka buat umumnya sederhana dan tidak terlalu membutuhkan pendidikan formal, tetapi membutuhkan keahlian khusus (traditional skills). Keahlian khusus tersebut biasanya dimiliki pekerja atau pengusaha secara turun-temurun, dari generasi ke generasi. 4. Permodalan. Kebanyakan pengusaha di sektor informal menggantungkan diri
pada uang (tabungan) sendiri, atau dana pinjaman dari sumber-sumber informal (di luar sektor perbankan/keuangan) untuk kebutuhan modal kerja dan investasi mereka.
64 Manfaat lain dari keberadaan PKL dinyatakan oleh Korompis (2005) adalah : ” Pedagang kaki lima merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi yang luas kepada masyarakat, dapat berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional pada umumnya dan stabilitas ekonomi pada khususnya. Bahkan pedagang kaki lima, secara nyata mampu memberikan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berpenghasilan rendah, sehingga dengan demikian tercipta suatu kondisi pemerataan hasilhasil pembangunan. Selain itu, kelompok pedagang kaki lima mempunyai potensi yang cukup besar untuk memberikan kontribusi terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di sektor penerimaan retribusi daerah seiring dengan kebutuhan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah”. Jadi, secara lokal PKL mempunyai peranan ekonomi terhadap masayarakat dalam hal pemerataan dan peningkatan pendapatan sekaligus sebagai potensi penerimaan retribusi daerah untuk pemerintah daerah. Korompis (2005) menemukan bahwa rata-rata penerimaan PAD Pemerintah Kota Manado dari sisi retribusi pasar, restribusi kebersihan dan lainnya yang dibayarkan oleh PKL setiap bulan sebesar Rp 77.708,-/PKL. Angka ini hanya berkisar 51.51 % dari target yang ditetapkan dan diprediksikan setiap bulan, di mana Pemerintah Kota Manado akan dapat menyerap dana retribusi dari seluruh PKL di Kota Manado rata-rata sebesar Rp 175 juta per bulan dengan asumsi Rp 5.000,- per PKL per hari. Laporan Regulation Impact Analysis mengenai PKL di Palembang yang dilakukan oleh Laboratorium Hukum Universitas Sriwijaya (2004), berisi daftar penerima manfaat dari kebijakan penataan PKL melalui peraturan daerah. Daftar penerima manfaat ini disajikan pada Tabel 7.
65 Tabel 7. Penerima Manfaat dalam Pengaturan PKL melalui Peraturan Daerah
Manfaat
Penerima
Kepastian hukum tempat/lokasi berdagang Kesejahteraan meningkat Pasar tertib dan rapi Lalu lintas lancar Keamanan kondusif Pasar mudah dijangkau Saling menghargai meningkat Biaya penertiban turun Biaya sosial PP, PKL rendah Areal parkir cukup Kewibawaan pemerintah kota baik Pendapatan pemerintah naik
Pedagang pasar (PP), PKL PKL dan pedagang pasar (PP) Pemerintah, PKL, PP, masyarakat PP, PKL, pemerintah, masyarakat PP, PKL, pemerintah, masyarakat Konsumen PP, PKL, pemerintah Pemerintah PP, PKL, konsumen Konsumen dan pemerintah Pemerintah, PP, PKL, masyarakat Pemerintah
Sumber : Laboratorium Hukum Universitas Sriwijaya (2004)
Indikator-indikator manfaat dari peraturan daerah mengenai pengaturan PKL di Palembang ditunjukkan pada Tabel 8. Tabel 8. Indikator Manfaat Pengaturan PKL melalui Peraturan Daerah Manfaat Kepastian lokasi/tempat berdagang Kesejahteraan PP-PKL meningkat Pasar rapi dan bersih Lalu lintas lancar Keamanan kondusif Pasar mudah dijangkau Saling menghargai antara PP, PKL, aparatur meningkat Biaya penertiban turun Biaya sosial PP, PKL rendah Areal parkir cukup Pendapatan pemerintah naik
Penerima PP tidak mengeluhkan PKL, PKL merasa aman berjualan Pendapatan per tahun meningkat Tertata baik Tidak macet Keluhan keamanan makin berkurang Waktu tempuh menjadi singkat dan tidak melelahkan Sedikit mungkin terjadinya perselisihan dan pelanggaran Alokasi anggaran diperkecil Tidak ada pungutan liar, tidak ada denda pelanggaran Kendaraan konsumen banyak di tempat parkir PAD meningkat
Sumber : Laboratorium Hukum Universitas Sriwijaya (2004)
Dalam laporan ini diketahui bahwa ada perbedaan manfaat dan biaya sebagai konsekuensi dan dampak dari regulasi PKL oleh Pemda Palembang. Sebagaimana terlihat pada tabel 9 dan tabel 10 berikut :
66 Tabel 9. Manfaat dan Biaya Pengaturan PKL melalui Regulasi (Peraturan Daerah) Kelompok Manfaat Pemerintah Kepastian hukum Kota penataan PKL Kota Tertib Wibawa pemerintah PKL Keabsahan lokasi/ tempat berdagang Perlindungan Hukum Ketenangan berjualan Prospek Pembeli/ Akses ke pasar konsumen Keamanan Sopir Ruas jalur angkot angkot Kelancaran lalu lintas
B/S/K Biaya B Biaya penertiban
B/S/K S
B B B
Pengadaan lokasi Moral Hazard Tempat baru
B K S
B B B B S B B
Pungutan liar Sanksi
K K
Biaya sosial
K
BBM
S
Keterangan : B (Baik), S (Sedang), K (Kurang) Sumber : Laboratorium Hukum Universitas Sriwijaya (2004)
Tabel 10 : Manfaat dan Biaya Mengelola PKL tanpa Regulasi Kelompok Manfaat B/S/K Biaya Pemerintah Kepastian hukum penataan K Biaya penertiban Kota PKL Ketertiban K Pengadaan lokasi Wibawa pemerintah K Moral Hazard PKL Keabsahan lokasi/ tempat K Tempat baru berdagang Perlindungan Hukum K Pungutan liar Ketenangan berjualan K Sanksi Prospek S Pembeli/ Akses ke pasar K Biaya sosial konsumen Keamanan K Sopir angkot Ruas jalan angkot K BBM Kelancaran lalu lintas K
B/S/K B K B K B B B B
Keterangan : B (Baik), S (Sedang), K (Kurang) Sumber : Laboratorium Hukum Universitas Sriwijaya (2004)
Penelitian Suharto (2003) menunjukan bahwa rata-rata manfaat berupa penghasilan PKL di Bandung mampu melebihi upah minimum regional untuk DKI Jakarta. Dengan demikian PKL Kota Bandung memiliki kontribusi yang cukup besar dalam memberikan lapangan pekerjaan layak.
Sementara itu,
penelitian PKL yang dilakukan oleh Bambang Wahyu (2003) di Kota Bogor menunjukan karakteristik dan sebaran PKL. Namun belum membahas pada aspek manfaat keberadaan PKL.
67 2.10. Novelty (Kebaruan) Penelitian-penelitian terhadap PKL tidak terlepas dari penelitian sektor informal baik di negara maju maupun berkembang. Untuk mengetahui kebaruan dari penelitian ini, seperti disajikan dalam tabel 11 berikut adalah ringkaian dari beberapa kajian literatur sektor informal selama 10 tahun terakhir baik dari sumber nasional maupun internasional.. Penelitian ini menawarkan kebaruan dalam beberapa aspek khususnya sampling dan teknik sampling dan metode penelitian yang digunakan. Pertama, dari sisi sampling, penelitian ini menggunakan tiga tipologi sebagai pewakil PKL di kota Bogor.
Penelitian-penelitian di Indonesia seperti Budi
(2006) untuk PKL di Pemalang, Suharto (2003) di Bandung,
Laboratorium
Hukum Universitas Sriwijaya (2004) untuk PKL di Palembang, Korompis (2005) untuk PKL di Bogor, Tohar (2007) di Kota Medan, Rahmawati (2008) di Bogor, menggunakan teknik sampling berdasarkan persentase jumlah seluruh PKL yang ada. Penggunaan tipologi ini adalah hal baru dari sisi penelitian PKL. Kedua, Penelitian mengenai persepsi terhadap PKL umumnya didasarkan pada persepsi masyarakat dan pemerintah lokal (misalnya Tohar, 2003; Budi, 2006; Disperidagkop, 2010).
Penelitian ini memiliki kebaruan karena
memasukkan persepsi toko pesaing (sektor formal yang bergerak dalam penjualan barang atau jasa yang sama) dan persepsi pemasok (sektor formal dan informal yang memasok barang dagangan ke PKL). Persepsi toko pesaing dan pemasok perlu dikaji untuk dapat secara lebih luas menangkap persepsi terhadap PKL. Ketiga, dari sisi metodologi, penggunaan teknik A’WOT adalah hal baru untuk bidang kajian PKL karena menawarkan pembobotan pada faktor-faktor yang mempengaruhi strategi dalam penataan dan pemberdayaan PKL. Kajian terhadap literatur di atas menunjukkan bahwa teknik ini belum digunakan dalam kajian PKL. Kajian PKL di kota Bogor yang dilakukan oleh Rahmawati (2008) lebih membahas pada aspek efektivitas penataan PKL sedangkan PT Oxalis Subur dan Disperindagkop kota Bogor (2010) menggunakan teknik SWOT tanpa pembobotan. Kempat, kebaruan berikutnya dalam penelitian tentang PKL ini sampai pada tahap formulasi seperangkat strategi yang perlu dilakukan secara sinergis dan
68 komprehensif. Seperangkat strategi ini diharapkan dapat diimplementasikan oleh Pemerintah Daerah. Pada penelitian penelitian terdahulu belum ditemukan hasil penelitian berupa seperangkat strategi yang sinergis, melainkan strategi yang dihasilkan masih bersifat parsial. Kelima,
dalam
penyusunan
formulasi
strategi
dan
usulan
relokasi
mempertimbangkan teori teori lokasi. Teori teori lokasi ini penting untuk dipertimbangkan mengingat PKL memiliki kepentingan atas kelangsungan usahanya, dimana kerumunan orang merupakan potensi untuk dapat berjualan. Sementara disisi lain Pemerintah Daerah memiliki keterbatasan ruang dan infrastruktur lainnya, dan Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri.
69 Tabel 11. Kajian Literatur Sektor Informal Selama 10 Tahun Terakhir Tahun
Penulis/peneliti
Judul
Jurnal
2002
Friedrich Schneider
Size And Measurement Of The Informal Economy In 110countries Around The World
Paper, disajikan pada Workshop of Australian National Tax Centre, ANU, Canberra, Australia, Juli 17, 2002
2002
Santosh Mehrotra And Mario Biggeri
Social Protection in the Informal Economy: Home Based Women Workers and Outsourced Manufacturing in Asia
UNICEF Innocenti Research Centre and Department of Economics, University of Florence
Sampling dan teknik sampling, metode Model currency demand dan discrepancy method
Survey di 5 negara Asian – dua negara berpendapatan rendah (India, Pakistan) dan tiga negara berpendapatan menengah (Indonesia, Thailand, Philippines). Metode kuantitatif Menggunakan survey ad hoc rumah tangga, dengan kuisioner dari UNICEF. Studi kasus dengan focus group
Kesimpulan Tidak ada metode terbaik dalam mengukur ekonomi informal; setiap pendekatan memiliki kelemahan dan kelebihan. Ukuran ekonomi informal di sebagian besar negara transisi dan OECD cenderung meningkat selama dekade terakhir. Ekonomi Informal adalah fenomena komplek, terdapat baik di negara maju dan berkembang. Orang menjalankan ekonomi informal dengan beragam alasan, yang terpenting adalah tindakan pemerintah, terutama pajak dan regulasi. Perlindungan sosial diperlukan bagi pekerja wanita Pekerja industri rumah tangga bekerja dalam kodisi eksploitatif dimana mereka mendapatkan bagian yang kecil dari total harga yang dibayarkan konsumen akan produknya Feminisasi pekerjaan berimplikasi penting untk dimensi gender dalam siklus pengembangan sdm dalam rumah tangga. Rendahnya level pendidikan dan masalah kesehatan dari pekerja
70 Tahun
2002
Penulis/peneliti
Edi Suharto
Judul
Human Development And The Urban Informal Sector In Bandung, Indonesia: The Poverty Issue
Jurnal
New Zealand Journal of Asian Studies 4, 2 (Desember, 2002): 115-133.
Sampling dan teknik sampling, metode discussions (FGD) dan survey kuantitatif dengan kuisioner. Desain survey adalah purposif (ad hoc) Menggunakan analisis Value chain Micro-level surveys “multistage cluster sampling technique” (150 orang).
Kesimpulan memerlukan intervensi publik.
Mayoritas (80 persen) PKL masih dikategorikan miskin dan rentan. Profil pedagang kakilima di Bandung berbentuk hexagonal, berbeda dengan bentuk pyramid dari studi keterkaitan antara sektor informal dan kemiskinan di negara berkembang khususnya Amerika Latin Dengan referensi indikator manusia dan modal sosial, PKL dapat dikategorikan tidak ‘miskin’karena memiliki pendidikan dasar yang mencukupi dan akses terhadap jasa kesehatan dan fasilitas perumahan, meski propensitas dalam aktivitas sosial rendah. Indikator pembangunan manusia dan sosial dari pedagang kakilima nampak lebih baik dibandingkan angka nasional.
71 Tahun
Penulis/peneliti
Judul
Jurnal
Sampling dan teknik sampling, metode Review 6 studi kasus di 6 negara Afrika. Menggunakan data primer dan sekunder.
Kesimpulan PKL penting sebagai sumber pendapatan dan lapangan kerja PKl memberikan peluang yang dapat meminimalkan dampak sosial PKL bekerja dalam lingkunga yang keras tanpa infrastruktur dan layanan dasar. Mereka menghadapi masalah pasar dan investasi. Meski mereka membayar retribusi ke pemda, pemda tidak dapat memberikan layanan yang mencukupi. Komunikasi yang lemah antara PKL dan otoritas urban. Asosiasi PKL lemah dan membutuhkan fasilitasi dalam berorganisasi. PKL tidak memiliki akses terhadap pembiayaan formal, dan sebagian besar tergatung pada tabungan sendiri, pembiayaan dari teman dan kerabat.
2003
Winnie V. Mitullah
Street Vending In African Cities: A Synthesis Of Empirical Findings From Kenya, Cote D’ivoire, Ghana, Zimbabwe, Uganda And South Africa
Background Paper for the 2005 World Development Report, 16 Agustus 2003
2003
Ali Tohar
Profil Dan Strategi Pengembangan Sektor Informal Di Kota Medan
Thesis. Program Pascasarjana, Universitas Sumetera Utara
Analisis deskriptif dan regresi berganda
Modal investasi, pengalaman berdagang, jam kerja, modal kerja per bulan dan jam kerja berpengaruh pada pendapatan PKL di kota Medan
2005
Tim Slack
Work, Welfare, and the Informal Economy : An Examination of Family Livelihood Strategies in
Manuscript disiapkan untuk presentasi pada Northeastern U.S. Rural Poverty Conference
in-depth interview, survey dengan telepon, sampel random, multiple
Struktur umur rumah tangga penting dalam memahami partisipasinya dalam ekonomi informal
72 Tahun
Penulis/peneliti
Judul
Jurnal
Rural Pennsylvania
Mei 3-4, 2005 State College, PA
Sampling dan teknik sampling, metode regression analysis
Kesimpulan Jejaring dan norma sosial timbal balik penting dalam memfasilitasi ekonomi informal Pendekatan survey sesuai dalam studi ekonomi informal
2006
Tri widodo
Peran sektor informal terhadap perekonomian daerah : pendekatan delphiIO dan aplikasi
Jurnal ekonomi dan bisnis indonesia vol 21, no.3, 2006, 254-267
Pendekatan survey dan non survey; Analisis IO
Sektor informal berkontribusi positif pada pembangunan DIY melalui peningkatan output, penyediaan lapangan kerja, pendapatan masyarakat Kontribusi positif sektor informal punya batas tertentu dan jika sudah melebihi batasnya maka akan menurun kontribusinya
2006
Ari Sulistyo Budi
Kajian Lokasi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Preferensi Pkl Serta Persepsi Masyarakat Sekitar Di Kota Pemalang
Thesis. Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro, Semarang
Penelitian deskriptif sedangkan analisis yang digunakan adalah analisis distribusi frekuensi, tabulasi silang dan deskriptif kualitatif.
PKL merupakan salah satu alternatif mata pencaharian bagi warga kota Pemalang yang tidak dapat memasuki sektor formal karena mempunyai ciri-ciri mudah dimasuki, tidak membutuhkan pendidikan tinggi, tidak membutuhkan modal yang besar, namun dapat menghasilkan pendapatan yang kadang melebihi sektor formal. PKL cenderung mengelompok dengan sejenisnya. Kegiatan PKL sebagai salah satu sektor informal belum terantisipasi dalam perencanaan tata ruang kota sehingga sarana dan prasarana yang ada biasanya
73 Tahun
Penulis/peneliti
Judul
Jurnal
Sampling dan teknik sampling, metode
Kesimpulan kurang mendukung kegiatan PKL
2007
Sertac Gonec and Harun Tanrivermis
Factor that affecting informal economy of rural turkey
Journal of Applied Sciences, 7(21) :3138-3153, 2007, Asian Network for scientific information
Data primer dari survey 394 rumah tangga dengan simple random sampling Korelasi Pearson dan Analisis regresi berganda
Ukuran usaha, jumlah tenaga kerja keluarga dan akses pasar ditemukan sebagai faktor penting Transformasi struktur informal menjadi formal dapat dilakukan dengan memfasilitasi integrasi usaha dengan pasar
2008
Ishola Rufus Akintoye
Reducing Unemployment Through the Informal Sector: A Case Study of Nigeria
European Journal of Economics, Finance and Administrative Sciences ISSN 1450-2275 Issue 11 (2008)
Data sekunder ketenagakerjaan
Sektor informal sebagai media dalam menurunkan pengangguran di Nigeria Pemerintah dan semua stakeholder yang relevan harus berusaha menurunkan pengangguran memberikan dukungan keberadaan sektor informal
2008
Aloysius Gunadi Brata
Vulnerability Of Urban Informal Sector: Street Vendors In Yogyakarta, Indonesia
Paper prepared for the International Conference on Social, Development and Environmental Studies: Global Change and Transforming Spaces, November 18-19th , 2008, School of Social, Development and Environmental Studies, Faculty of Social Sciences and Humanities, University Kebangsaan Malaysia
Survei lapang, index kerentanan dengan sampel 122 PKL.
Tingkat kerentanan PKL di Yogyakarta adalah sedang
74 Tahun
Penulis/peneliti
Judul
Jurnal
2009
Rudra Suwal dan Bishnu Pant
Measuring Informal Sector Economic Activities in Nepal
Paper Prepared for the Special IARIW-SAIM Conference on “Measuring the Informal Economy in Developing Countries” Kathmandu, Nepal, September 23-26, 2009
2009
Kevin Greenidge, Carlos Holder And Stuart Mayers
Estimating The Size Of The Informal Economy In Barbados
Business, Finance & Economics In Emerging Economies Vol. 4 No. 1 2009
Sampling dan teknik sampling, metode Membandingkan data sektor informal dari hasil dua survey : sensus ekonomi vs survey khusus
unrestricted error correction model dan general-to-specific (GETs) modelling
Kesimpulan Di negara berkembang seperti Nepal sektor informal berkontribusi penting pada ekonomi nasional. Perlu melakukan survei teratur untuk menangkap aktivitas ekonomi sektor informal Sektor informal cukup besar dan tumbuh sepertiga dari besaran ekonomi formal Tingginya derajad informalitas antara sektor formal dan informal Kehilangan signifikan penerimaan pajak langsung akibat sektor informal namun diimbangi dengan lebih tingginya penerimaan pajak tidak langsung (PPN) and kesejahteraan sosial Tidak disarankan menghilangkan sektor informal, tetapi perlahanlahan memformalkannya Signifikansi sektor informal berimplikasi pada kebijakan moneter dan fiskal. Pengaruh spillover antar sektor informal dan formal harus dipertimbangkan dalam desain kebijakan.
75 Tahun 2009
2009
Penulis/peneliti Suparwoko Nitisudarmo
Rob Davies dan James Thurlow
Judul The role of the informal sector in contributing to the urban landscape in Yogyakarta – Indonesia concerning on the urban heat island issue
Formal–Informal Economy Linkages and Unemployment in South Africa
Jurnal Proceedings Real Corp 2009 Tagungsband 22-25 April 2009, Sitges. http://www.corp.at
IFPRI Discussion Paper 00943, International Food Policy Research Institute December 2009
Sampling dan teknik sampling, metode Survey langsung
Model CGA multiregion yang dikalibrasi secara empiris.
Kesimpulan Pedagang Informal dapat menarik wisatawan lokal dan internasional. Penempatan PKL di pedestrian tidak sesuai dengan konsep “place for people” Perlu kerjasama antar stakeholder termasuk Pemkot, LSM, universitas, komunitas PKL dan pemimpin lokal. PKL yang beroperasi di ruang publik tidak mendukung dan memotivasi pembangunan landskap urban yang berimbang dalam hal elemen alami lingkungan urban. Keberadaan PKL sejalan dengan teori simulasi perubahan tata guna lahan akibat migrasi dengan alasan ekonomi Liberalisasi perdagangan menurunkan lapangan kerja nasional. Pada saat yang sama meningkatkan lapangan kerja formal, merugikan produsen informal, dan menguntungkan pedagang informal, yang diuntungkan dari lebih murahnya impor. Subsidi upah bagi pekerja formal berketrampilan rendah mendoroh lapangan kerja nasional tetapi merugikan produsen informal
76 Tahun
Penulis/peneliti
Judul
Jurnal
Sampling dan teknik sampling, metode
Kesimpulan dengan memperberta kompetisi pada pasar produk domestik. Transfer cash tidak kondisional mendorong permintaan produk informal, pada gilirannya meningkatkan lapangan kerja informal tanpa merugikan produsen formal. Arti penting pembedaan antara sektor formal dan informal pada kebijakan sosio-ekonomi.
2009
Andrew Henley, G,Reza Arabsheibani Dan Francisco G. Carneiro
On Defining and Measuring the Informal Sector: Evidence from Brazil
World Development Vol. 37, No. 5, pp. 992–1003, 2009
Data survei rumah tangga Brazil periode 1992–2004. Analisis Regresi
Pengukuran yang tepat sangat penting dalam analisis kebijakan dan desai strategi yang tepat untuk menurunkan informalitas. Informalitas dapat diukur melalui status kontrak kerja, perlindungan jaminan sosial dan sifat pekrjaan dan karateristik pekerjanya. Pengambil kebijakan harus jelas mengenai sub-group dalam sektor informal untuk mendesain kebijakan. Desai kebijakan untuk mendorong dinamisme kewirausahaan dalam ekonomi perlu mempertimbangkan konsekuensi yang tidak diinginkan yang dapat memperburuk proteksi sosial atau legal bagi sub-groups pekerja informal. Di sisi lain kebijakan untuk mendorong proteksi sosial dan
77 Tahun
Penulis/peneliti
Judul
Jurnal
Sampling dan teknik sampling, metode
Kesimpulan legal dapat berdampak buruk terhadap aktivitas kewirausahaan.
2009
Simon Commander, Natalia Isachenkova, dan Yulia Rodionova3
A model of the informal economy with an application to Ukraine
Earlier drafts of the paper were presented at an IZAEBRD Conference on Labour Market Dynamics, Role of Institutions and Internal Labour Markets, held at the University of Bologna, May 5-8 2005, and at a LIRT-HSE’s seminar in the spring of 2009.
Panel dataset dari Ukraine Longitudinal Monitoring Surveys (ULMS) tahun 2003 and 2004 menggunakan mixed multinomial logit model
Perusahaan Privat memilih apakah menjadi formal – dan membayar pajak – atau tetap informal, subyek pelanggaran pajak Perlunya peningkatan efisiensi tenaga kerja di negara-negara transisi
2010
Henky Japina
Analisis Determinan Pendapatan Sektor Informal Di Kecamatan Rantau Utara Kabupaten Labuhan batu
Thesis, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, Ps Ekonomi Pembangunan
model regresi linier berganda dengan alat Metode nonprobability sampling metode Ordinary Least Squares (OLS).
modal kerja, jumlah tenaga kerja dan alokasi waktu usaha secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap pendapatan sektor informal Lama berusaha secara individu tidak berpengaruh signifikan terhadap pendapatan sektor informal di Kecamatan Rantau Utara Kabupaten Labuhanbatu.
2010
Florencia G, Casanova-Dorotan, Phoebe Cabanilla, Maria Corazon Tan and Maria Antonette Montemayor
Informal Economy Budget Analysis in Philippines and Quezon City
Inclusive Cities Research Report No. 6. Women in Informal Employment: Globalizing and Organizing (WIEGO) under the Inclusive Cities Project March 2010
Data sekunder dan FGD.
Budget nasional dan lokal di Philippina akan dapat merubah kehidupan pekerja ekonomi informal yang miskin, khususnya pekerja home industri, PKL dan pemulung di Quezon City, hanya jika pengeluaran publik dapat memberikan mata pencaharian
78 Tahun
Penulis/peneliti
Judul
Jurnal
Sampling dan teknik sampling, metode
Kesimpulan yang layak dan perlindungan sosial, jika mereka diberdayakan secara politis, jika hak asasinya dilindungi, dan jika mendapatkan kualitas hidup lebih baik.
2010
Mohammad Akharuzzaman dan Atsushi Deguchi
Public Management for Street Vendor Problems in Dhaka City, Bangladesh
Proc. of International Conference on Environmental Aspects of Bangladesh (ICEAB10), Japan, Sept. 2010
Survey lapang
PKL menjalankan usahanya secara temporer tanpa sistem manajemen berkelanjutan dengan keterbatasan keterlibatan pemerintah di Dhaka City. Dengan rendahnya rasa tanggung jawab, PKL menghadirkan masalah sampah dan kemacetan di pusat urban. Tetapi banyak warga urban tergantung pada PKL baik sebagai pekerjaan atau untuk berbelanja. PKL adalah sektor perdagangan urban penting di Dhaka City. Namun dengan situasi informal, pemkot sering melakukan penggusuran dan kekerasan Pemkot perlu membangun sistem manajemen untuk PKL agar dapat berusaha dengan tanggung jawab dan pemkot dapat mengumpulkan pajak Sistem management ini sebaiknya dijalankan oleh pemkot, PKL dan masyarakat sebagai kerja masyarakat.
79 Tahun
Penulis/peneliti
Judul
Jurnal
Sampling dan teknik sampling, metode Studi kasus menggunakan data sekunder dan rekapitulasi riset primer yang dilakukan sebelumnya.
Kesimpulan Riset PKL menunjukkan kisaran yang lebar dalam pengalaman, kemampuan menyediakan nilai tambah pada barang dan jasa dan motif bisnis. Mayoritas PKL memiliki ambisi level UMR minimum dan lemah dalam konsep marketing atau nilai tambah produk PKL menyediakan lapangan kerja. Harga PKL lebih murah
2010
John Walsh
The Street Vendors of Bangkok: Alternatives to Indoor Retailers at a Time of Economic Crisis
American Journal of Economics and Business Administration 2 (2): 185188, 2010 ISSN 1945-5488
2011
Krishna Prasad Timalsina
An Urban Informal Economy: Livelihood Opportunity to Poor or Challenges for Urban Governance
Global Journal of Human Social Science, Volume 11 Issue 2 Version 1.0 March 2011, Publisher: Global Journals Inc. (USA)
Data sekunder dan primer Kuisioner open-ended, interview, observasi (partisipatif dan nonpartisipatif) Sampel 30 PKL dengan snowball sampling.
Aktivitas PKL didominasi oleh migran dari pedesaan, dengan pendidikan dan skill rendah. PKL menciptakan peluang dan kesempatan kerja PKL menyediakan barang dengan harga lebih murah Sulit dalam mengontrol dan mengelola PKL Solusi : penyediaan lokasi khusus.
2011
Abdullah Takim
Effectıveness of the Informal Economy in Turkey
European Journal of Social Sciences – Volume 19, Number 2 (2011)
Studi literatur
Menghapuskan kendala finansial sebagai salah satu alasan dasar keberadaan sektor informal akan membantu dalam mengontrol ekonomi informal. Meningkatkan kesadaran sosial dalam mengekang sektor informal. Kurangnya kesadaran sosial
80 Tahun
Penulis/peneliti
Judul
Jurnal
Sampling dan teknik sampling, metode
Kesimpulan terkait dengan ketidakmampuan pemerintah untuk mengamati secara transparan situasi di masa lalu. Perjuangan untuk mengontrol ekonomi informal terlebih dulu dilakukan dengan membangun kebijakan jika volume ekonomi informal ingin diturunkan sampai pada level minimum yang dapat diterima. Kebijakan jangka pendek bukanlah penyelesaian permanen untuk ekonomi informal. Kontrol yang efektif berperan penting dalam menyelesaikan masalah ekonomi informal.