BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Konsep Keuangan Daerah Mekanisme pelaksanaan pembangunan di Indonesia tidak terlepas dari tata
penyelenggaraan pemerintah, baik di pusat maupun di daerah. Menurut UU No. 32 tahun 2004 Pasal 20 Ayat 2, menyatakan bahwa: “Dalam melaksanakan pemerintahan, pemerintah menggunakan asas Desentralisasi, asas tugas Pembantuan, dan asas Dekonsentrasi.” Pengertian Desentralisasi menurut UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 1 butir (7) adalah : “Penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Pengertian Dekonsentrasi menurut UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 1 butir (8) adalah : “Pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.” Pengertian Tugas Pembantuan menurut UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 1 butir (9) adalah : “Penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.” Sedangkan menurut UU No. 32 tahun 2004 Pasal 20 Ayat 3, menyatakan bahwa: “Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan.” Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan di daerah, komponen desentralisasi harus diaktualisasikan secara bersama-sama antara satu dengan yang lainnya dan dilakukan melalui kepala daerah yang memiliki dua fungsi, yaitu selaku kepala pemerintahan daerah dan wakil pemerintah pusat di wilayah yang bersangkutan. Tujuan dari pelaksanaan desentralisasi ini adalah untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis.
Sesuai dengan azas desentralisasi, agar pemerintah daerah dapat mengurus rumah tangganya sendiri dangan sebaik-baiknya, maka kepadanya perlu diberikan sumber-sumber pambiayaan yang cukup. Menyangkut kebutuhan anggaran negara sendiri dalam melaksanakan tugas nasional dan azas dekonsentrasi serta tugas perbantuan, maka sumber Pembiayaan yang dapat diserahkan kepada daerah adalah terbatas. Karena itu setiap daerah diwajibkan menggali segala kemungkinan sumber-sumber keuangan sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan yang antara lain berupa : (1) kepastian tersedianya pendanaan dari Pemerintah sesuai dengan urusan
pemerintah
yang
diserahkan;
(2)
kewenangan
memungut
dan
mendayagunakan pajak dan retribusi daerah dan hak untuk mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah dan dana perimbangan lainnya; (3) hak untuk mengelola kekayaan Daerah dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah serta sumber-sumber pembiayaan. Dengan pengaturan tersebut, dalam hal ini pada dasarnya Pemerintah menerapkan prinsip uang mengikuti fungsi. Di dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, terdapat penegasan di bidang pengelolaan keuangan, yaitu bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara adalah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan pengelolaan keuangan negara dari presiden sebagian diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Ketentuan tersebut berimplikasi pada pengaturan pengelolaan keuangan daerah, yaitu bahwa Kepala daerah (gubernur/bupati/walikota) adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan daerah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan daerah. Dalam melaksanakan kekuasaannya, kepala daerah melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaan keuangan daerah kepada para pejabat perangkat daerah. Dengan demikian pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah
melekat dan menjadi satu dengan pengaturan pemerintahan daerah, yaitu dalam Undang-undang mengenai Pemerintahan Daerah.
2.1.1. Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Dalam melaksanakan pembangunan, pemerintah memiliki tekad untuk melaksanakan pembangunan atas prinsip kemandirian yang bertumpu pada kekuatan sendiri dan manjadikan modal asing hanya sebagai pelengkap, maka upaya mobilisasi sumber daya dan dana terus mendapat perhatian yang besar. Walaupun sumber dana yang dapat digali oleh pemerintah terus meningkat, namun jumlah dana yang dapat dihimpun oleh pemerintah masih sangat kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan yang diperlukan untuk menunjang proses pembangunan yang berkembang dan berkesinambungan. Untuk perencanaan alokasi keuangan yang terbatas tersebut, pemerintah menyusun kegiatan serta sumber-sumber pembiayaan yang dituangkan dalam RAPBN. Sumber-sumber pembiayaan pembangunan diperoleh dari : 1) Pemerintah 2) Swasta, antara lain melalui : (1) kredit perbankan; (2) investasi PMA/PMDN; (3) Swadaya masyarakat. Dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemeritahan Daerah, dipertegas upaya untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintah, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan masyarakat melalui pelaksanaan otonomi Daerah secara berdayaguna dan berhasilguna. Untuk mencapai hal tersebut, titik berat Otonomi Daerah perlu berhubungan langsung dengan masyarakat. Sebagai bagian dari kegiatan pembangunan nasional, peranan pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan tetap mendapatkan perhatian yang cukup besar. Dengan semakin meningkatnya kewenangan pemerintah daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat, maka daerah dituntut untuk lebih aktif dalam memobilisasikan sumber dayanya sendiri disamping mengelola dana yang diterima dari pemerintah pusat secara efisien.
Untuk memperoleh pola perencanaan dan pengelolaan keuangan daerah yang memungkinkan tercapainya sasaran pembangunan secara optimal, perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut : 1) Mengupayakan struktur anggaran yang lebih berimbang dan dinamis; 2) Mendorong pengadaan dan persediaan bahan pokok. Kebijakan tersebut diarahkan untuk pelestarian swasembada pangan/beras dan peningkatan produktivitas komoditi tanaman pangan lainnya; 3) Menciptakan koordinasi dalam rangka keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dalam manciptakan stabilitas daerah yang dinamis; 4) Melakukan upaya penghematan dan pencegahan kebocoran melalui pengendalian pembangunan; 5) Otonomi daerah diberikan oleh pemerintah pusat telah membuka peluang pemerintah daerah untuk menggali potensi sember daya dan dana dalam rangka membiayai kegiatan pembangunan yang telah diprogramkan.
2.1.2. Sumber Keuangan Daerah Nurdjaman Arsjad (1992:119) menjelaskan bahwa : “secara garis besar penerimaan daerah di Indonesia dapat dibagi dalam 4 (empat) kelompok yaitu: Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Pendapatan daerah karena subsidi, Penerimaan-penerimaan daerah yang didapat dari pinjaman.” Uraian terhadap sumber-sumber penerimaan daerah tersebut antara lain : 1) Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang meliputi : e. Pajak-pajak daerah; f. Retribusi daerah; g. Bagian laba perusahaan daerah; h. Penerimaan dari dinas- dinas dan pendapatan lain. 2) Dana Perimbangan c. Dana bagi hasil bersumber dari pajak, antara lain :
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB);
Pajak Penghasilan pasal 25 dan pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan Pajak Penghasilan pasal 21.
d. Dana bagi hasil bersumber dari Sumber Daya Alam, berasal dari :
Kehutanan;
Pertambangan umum;
Perikanan;
Pertambangan Minyak Bumi;
Pertambangan Gas Bumi;
Pertambangan Panas Bumi;
Dana Alokasi Umum (DAU);
Dana Alokasi Khusus (DAK).
3) Pendapatan daerah karena subsidi, secara langsung penggunaannya ditentukan (earmarked) untuk daerah tersebut. Jenis -jenis Bantuan Pembangunan Pemerintah Pusat : (1) Bantuan pembangunan untuk Propinsi. Penggunaan dana bantuan pembangunan dari pusat dibagi atas 2 bagian : a. Bantuan dana yang ditetapkan secara khusus adalah untuk membiayai pembangunan jalan dan jembatan; b. Bantuan dana yang diarahkan, digunakan untuk proyek-proyek produktif, mengembangkan
daerah
minus
dan
kritis
serta
proyek yang dapat meningkatkan taraf hidup rakyat. (2) Bantuan pembangunan untuk Kabupaten/Kota. Ditujukan untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja, serta meningkatkan partisipasi penduduk dalam pembangunan. Bantuan ini terdiri dari : a. Bantuan perkapita penduduk; b. Bantuan perangsang PBB; c. Bantuan Peralatan;
d. Bantuan Pembinaan Program. 4) Penerimaan-penerimaan daerah yang didapat dari pinjaman. Daerah dimungkinkan
mengadakan
transaksi
peminjaman
uang/dana
dari
pemerintah pusat, lembaga keuangan bank/bukan bank. Serta masyarakat baik dalam maupun luar negeri, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
2.1.3. Pengeluaran Daerah Dalam keuangan daerah tidak hanya dilihat dari sisi sumber keuangan daerah, tetapi harus ditelaah dari segi pengeluaran daerah, BPKP (1997) mengemukakan bahwa pengeluaran dearah terdiri dari pengeluaran rutin dan pembangunan. 1) Pengeluaran Rutin, yang terbagi atas : (1)
Belanja Pegawai;
(2)
Belanja barang;
(3)
Belanja pemeliharaan;
(4)
Belanja Perjalanan Dinas;
(5)
Belanja lain-lain;
(6)
Angsuran pinjaman /hutang dan bunga;
(7)
Belanja pensiun;
(8)
Gambaran/subsidi/sumbangan kepada daerah bawahan;
(9)
Pengeluaran yang tidak termasuk bagian lain;
(10) Pengeluaran tidak tersangka. 2) Pengeluaran Pembangunan, yang terbagi atas : (1)
Bidang ekonomi;
(2)
Bidang sosial;
(3)
Bidang umum;
(4)
Subsidi Pembangunan kepada daerah bawahan;
(5)
Pembayaran kembali pinjaman.
Pengeluaran dana pembangunan merupakan dana yang dipergunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang bersumber dari Penerimaan Asli Daerah (PAD) dan sumber penerimaan daerah lainnya.
2.1.4. Hubungan antara Keuangan daerah dengan Keuangan Negara Ditinjau dari segi penyelenggaraan pemerintah daerah, hubungan antara negara dan daerah didasarkan pada prinsip-prinsip pemberian otonomi yang nyata dan bertanggungjawab yang dalam melaksanakannya dilakukan bersamasama antara azas desentralisasi, dekonsentrasi dan azas pemberian bantuan. Dalam hal ini selain daerah mengurus rumah tangganya sendiri juga melaksanakan tugas pemerintan pada umumnya dalam batas-batas wilayah kekuasaannya. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah sistem pembiayaan pemerintah dalam rangka Negara kesatuan yang mencangkup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah secara proporsional, demokratis, adil, transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah, sejalan dengan kewajiban pembagian wewenang serta tata cara
penyelenggaraan
kewenangan
tersebut,
termasuk
pengelolaan
dan
pengawasan keuangannnya. Pengertian tersebut menjelaskan bahwa pemanfaatan sumber daya nasional diarahkan untuk mendukung pembiayaan yang dialokasikan kepada daerah sesuai dengan potensi dan hasil daerah guna melaksanakan otonomi daerah. Pengalokasian sumber daya nasional juga dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan antara daerah yang bersangkutan. Menyadari bahwa masyarakat dan daerah semakin berkembang karena dampak hasil pembangunan maka pemerintah pusat memberikan santunan terhadap pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah karena sumber-sumber dana daerah yang terbatas, seperti: pengalokasian dana perimbangan dari pusat ke daerah. Penyaluran dana dari APBN ke APBD melalui mekanisme
pengurusan
keuangan
negara
serta
selanjutnya
pengeluarannya di daerah melalui pengurusan keuangan daerah.
realisasi
2.2.
Dana Perimbangan Daerah Dana Perimbangan Daerah adalah dana yang bersumber dari penerimaan
APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Berdasarkan aturan desentralisasi fiskal yang ada, proporsi dana perimbangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat dilihat sebagai berikut : Tabel 2.1 Proporsi Dana Perimbangan Antara Pemerintah pusat dan daerah No
JENIS DANA
1
PBB
2 3
BPHTB SDA Sektor Kehutanan (Iuran HPH dan Provisi SD. Hutan) SDA Sektor Pertambangan Umum SDA Sektor Perikanan SDA Sektor Pertambangan Minyak SDA Sektor Pertambangan Gas Alam Reboisasi DAU ( minimal 25 % dari Penerimaan Dalam Negeri dalam APBN) DAK (dapat dialokasikan APBN termasuk Dana Reboisasi)
4 5 6 7 8 9 10
Pemerintah Pusat 10 %
Pemerintah Daerah 90 %
20 % 20 %
80% 80 %
20 % 80% 20% 80% 85% 15% 70% 30% 60% 40% 10 % untuk propinsi 10% untuk Kab/Kota Ditetapkan setiap tahun berdasrakan bidang pengeluaran yang disesuaikan dengan kebutuhan.
Sumber: UU No. 33 tahun 2004.
Sumber-sumber Dana Perimbangan telah diuraikan di atas, dalam skripsi ini penulis akan menguraikan tentang sumber dana perimbangan yang bersumber dari Pajak Bumi dan Bangunan.
2.3.
Pajak
2.3.1. Pengertian Pajak Sebelum membahas mengenai pengertian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), terlebih dahulu akan mengemukakan pengertian pajak secara umum.
Banyak definisi atau batasan pajak yang telah dikemukakan oleh para pakar, yang satu sama lainnya pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu merumuskan pengertian pajak sehingga mudah dipahami. Perbedaannya hanya terletak pada sudut pandang yang digunakan oleh masing-masing pihak pada saat merumuskan pengertian pajak : Menurut P.J.A. Adriani dalam Waluyo (2007;2), pengertian pajak : “Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan.” Menurut Rahmat Soemitro dikutip oleh Mardiasmo (2008;1) pengertian pajak sebagai berikut : “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak dapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang dapat digunakan untuk membayar pengeluaran umum.” Sedangkan pengertian pajak menurut Edwin R.A. Seligman, yang dikutip oleh Waluyo (2007) dalam buku “Perpajakan Indonesia” adalah : “Tax is a compulsory contribution from the person, to the government to depray the expenses incurred in the common interest of all, without reference to special benefit conferred.” Dari pengertian-pengertian yang diungkap di atas, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak adalah : 1) Pajak dipungut berdasarkan serta aturan pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan; 2) Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah; 3) Pajak dipungut oleh negara (baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah);
4) Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari
pemasukannya
masih
terdapat
surplus,
dipergunakan
untuk
membiayai public investment; 5) Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgeter, yaitu mengatur (regulered). Atas dasar kelima unsur tersebut, maka dalam buku “Pengantar Singkat Hukum Pajak”, Rochmat Soemitro (1992) merumuskan definisi pajak sebagai berikut : “Pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan (tegen prestatie) yang secara langsung dapat ditunjukkan, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan yang digunakan sebagai alat pendorong, penghambat atau pencegah untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang keuangan negara”. Definisi tersebut lebih bersifat ekonomis karena penekanannya pada sektor peralihan kekayaan dan manfaat pajak bagi masyarakat. 2.3.2. Fungsi Pajak Pajak memiliki fungsi yang sangat strategis bagi berlangsungnya pembangunan suatu Negara. Pajak antara lain memiliki fungsi sebagai berikut : 1) Fungsi penerimaan (Budgetair) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Dalam APBN pajak merupakan sumber penerimaan dalam negeri. 2) fungsi mengatur (Regulator) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi, misalnya PPnBM untuk minuman keras dan barang mewah lainnya. 3) Fungsi Redistribusi Dalam fungsi redistribusi ini lebih ditekankan unsur pemerataan dan keadilan dalam masyarakat. Fungsi ini terlihat dari adanya lapisan tarif
dalam pengenaan pajak dengan adanya tarif pajak yang lebih besar untuk tingkat penghasilan yang lebih tinggi. 4) Fungsi demokrasi Pajak dalam fungsi demokrasi merupakan wujud system gotong royong. Fungsi ini dikaitkan dengan tingkat pelayanan pemerintah kepada masyarakat pembayar pajak.
2.3.3. Asas-asas Pemungutan Pajak Untuk mencapai tujuan pemungutan pajak perlu memegang teguh asasasas pemungutan dalam memilih alternatif pemungutannya. Sehingga terdapat keserasian pemungutan pajak dengan tujuan dan asas yang masih diperlukan lagi yaitu pemahaman atas perlakuan pajak tertentu. Asas-asas yang dianut dalam sistem pemungutan pajak adalah : 1) Asas domisili (asas tempat tinggal) Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Asas ini berlaku bagi Wajib Pajak dalam negeri. 2) Asas sumber Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari negaranya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. 3) Asas kebangsaan Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Misalnya pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang yang bukan berkebangsaan Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia. Asas ini berlaku bagi Wajib Pajak luar negeri. Asas-asas pemungutan pajak sebagaimana dikemukakan oleh Adam Smith dalam Waluyo (2007;13), dinyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada :
1) Equality Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu pajak dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak atau ability to pay dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan bahwa setiap Wajib Pajak menyumbang uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingannya dan manfaat yang diminta. 2) Certainty Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu, Wajib Pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak yang terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran. 3) Convenience Kapan Wajib Pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak menyulitkan Wajib Pajak. Sebagai contoh pada saat Wajib Pajak memperoleh gaji. Sistem pemungutan ini disebut Pay as You Earn. 4) Economy Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul Wajib Pajak.
2.3.4. Pembagian Pajak Berdasarkan Golongan, Pemungutan, dan Sifat Pembagian pajak dapat dilakukan berdasarkan golongan, wewenang pemungutan, maupun sifatnya. 1) Pembagian Pajak Berdasarkan Golongan, antar lain : (1) Pajak Langsung Pajak langsung adalah pajak yang bebannya harus ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Contoh pajak langsung: Pajak Penghasilan.
(2) Pajak Tidak Langsung Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dialihkan atau digeserkan kepada pihak lain. Contoh pajak tidak langsung: Pajak Pertambahan Nilai. 2) Pembagian Pajak Berdasarkan Wewenang Pemungutannya, antara lain : (1) Pajak Pusat atau Negara Pajak Pusat atau Negara adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada Pemerintah Pusat yang pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak. Pajak Pusat diatur dalam Undang-undang dan hasilnya akan masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Contoh ; Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai. (3) Pajak Daerah Pajak Daerah adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada Pemerintah Daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah. Pajak Daerah diatur dengan Undang-undang dan hasilnya akan masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pajak daerah terdiri dari : a. Pajak propinsi, contohnya : Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. b. Pajak Kabupaten/Kota, contohnya : Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan. 3) Pembagian Pajak Berdasarkan Sifat, antara lain: (1) Pajak Subjektif Pajak Subjektif adalah pajak yang memperhatikan kondisi atau keadaan Wajib Pajak. Dalam menentukan pajaknya harus ada alasanalasan obyektif yang berhubungan erat dengan keadaan materialnya, yaitu daya pikulnya.
Daya pikul adalah kemampuan Wajib Pajak memikul pajak setelah dikurangi biaya hidup minimum. Daya pikul mengandung dua unsur, yaitu: a. Unsur Subjektif, yaitu mencakup segala kebutuhan terutama material disamping moral dan spiritual; b. Unsur Objektif, yang terdiri dari pendapatan (penghasilan), kekayaan, dan belanja (pengeluaran). (2) Pajak Objektif Pajak Objektif adalah pajak yang pada awalnya memerhatikan objek yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar, kemudian baru dicari subjeknya baik orang pribadi maupun badan.
2.3.5.
Tata Cara Pemungutan Pajak
1) Stelsel Pajak Cara pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan tiga stelsel, yaitu: (1) Stelsel Nyata (real stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata mempunyai kelebihan dan kekurangan. (2) Stelsel Anggaran (Fictive Stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh Undang-undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. (3) Stelsel Campuran Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggaran. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan sebenarnya.
2) Sistem Pemungutan Pajak Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi : (1) Official Assessment System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak terutang. Ciri-ciri official assessment system : a.
Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus;
b.
Wajib pajak bersifat pasif;
c.
Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
(2) Self Assessment System Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. Sistem self assessment dalam pemungutan pajak mempunyai ciri dan corak tersendiri, dengan tiga prinsip pokok, yaitu: a. wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada Wajib Pajak sendiri; b. wajib pajak bersifat aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang; c. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. (3) Witholding System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
2.4.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Dasar hukum Pajak Bumi dan Banguna (PBB) adalah Undang-undang No.
12 tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang No. 12 tahun 1994. Asas Pajak Bumi dan Bangunan antara lain : 1) Memberikan kemudahan dan kesederhanaan; 2) Adanya kepastian hukum; 3) Mudah dimengerti dan adil; 4) Menghindari pajak berganda.
2.4.1. Pengertian Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan menurut undang-undang No. 12 tahun 1994, adalah : “Pajak kebendaan atas bumi dan/atau bangunan yang dikenakan terhadap orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai hak dan/atau memperoleh manfaat atas bumi dan/atau memiliki, menguasai dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.” Pengertian Bumi yang dimaksud adalah : “Permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa, tambak perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia.” Pengertian Bangunan yang dimaksud adalah : “Konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.” Termasuk dalam pengertian bangunan adalah : 1) Jalan lingkungan dalam satu kesatuan dengan komplek bangunan; 2) Jalan tol; 3) Kolam renang;
4) Pagar mewah; 5) Tempat olah raga; 6) Galangan kapal, Dermaga; 7) Tanah mewah; 8) Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; 9) Fasilitas lain yang memberikan manfaat.
2.4.2. Objek Pajak Objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagai berikut : 1) Yang menjadi objek pajak adalah bumi dan atau bangunan. 2) Yang
dimaksud
dengan
klasifikasi
bumi
dan
bangunan
adalah
pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta
untuk memudahkan penghitungan pajak yang
terutang. Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan faktorfaktor seperti: letak, peruntukan, pemanfaatan, dan kondisi lingkungan. Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor antara lain: bahan yang digunakan, rekayasa, letak, kondisi lingkungan dan lainlain. 3) Pengecualian objek pajak Objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek pajak yang : (1) Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan tidak untuk mencari keuntungan, antara lain: a. Di bidang ibadah, contoh: mesjid, gereja, vihara, dll; b. Di bidang kesehatan, contoh: rumah sakit; c. Di bidang pendidikan, contoh: pesantren; d. Di bidang sosial, contoh: panti asuhan; e. Di bidang kebudayaan contoh: museum, candi. (2) Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu.
(3) Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah Negara yang belum dibebani suatu hak. (4) Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan atas perlakuan timbal balik. (5) Digunakan oleh suatu badan perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh menteri keuangan. 4) Objek pajak yang digunakan oleh Negara untuk penyelenggaraan pemerintah, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. 5) Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan 1 (satu) tahun sekali untuk masing-masing Kabupaten/Kota. Untuk Kabupaten Garut sendiri, besarnya NJOPTKP yang telah ditentukan sebesar Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Apabila seorang Wajib Pajak mempunyai beberapa Objek Pajak, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu Objek Pajak yang nilainya terbesar, sedangkan Objek Pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi NJOPTKP.
2.4.3. Subjek Pajak Yang menjadi subjek Pajak Bumi dan Bangunan adalah : 1) Orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas bangunan yang kemudian disebut wajib pajak. Dengan demikian tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak. 2) Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Direktur Jendral Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam No. 1 sebagai wajib pajak.
3) Subjek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam No. 2 dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa ia bukan wajib pajak terhadap objek pajak dimaksud. 4) Bila keterangan yang diajukan oleh wajib pajak dalam no. 3 disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib pajak sebagaimana dalam No. 3 dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud. 2.4.4. Tarif Pajak Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5% (lima per sepuluh persen).
2.4.4.1.Dasar Pengenaan Pajak Dasar pengenaan pajak untuk Pajak Bumi dan bangunan adalah : 1) Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). 2) Besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) ditetapkan setiap tiga tahun oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Gubenur/Bupati/Walikota (Pemerintah Daerah) setempat. 3) Dasar penghitungan PBB adalah nilai jual kena pajak (NJKP). Besarnya NJKP adalah sebagai berikut: (1) Objek pajak perkebunan adalah 40%; (2) Objek pajak kehutanan adalah 40%; (3) Objek pajak pertambangan adalah 20%; (4) Objek pajak lainnya (pedesaan dan perkotaan) : a. apabila NJOP-nya > Rp. l .000.000.000,00 adalah 40%; b. apabila NJOP-nya < Rp. l .000.000.000,00 adalah 20%. 4) Besarnya persentase ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional.
Pada dasarnya penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah 3 (tiga) tahun sekali. Namun demikian untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan mengakibatkan kenaikan NJOP cukup besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan 1 (satu) tahun sekali.
2.4.4.2. Cara Menghitung Pajak Besarnya pajak terutang dihitung dengan cara mengkalikan tarif pajak dengan NJKP. Rumus penghitungan PBB = Tarif Pajak x NJKP a. Jika NJKP = 40% x (NJOP - NJOPTKP) maka besarnya PBB : = 0,5% x 40% x (NJOP - NJOPTKP) = 0,2%x (NJOP - NJOPTKP) b. Jika NJKP = 20% x (NJOP - NJOPTKP) maka besarnya PBB : = 0,5% x 20% x (NJOP - NJOPTKP) = 0,1 %x (NJOP - NJOPTKP)
2.4.5. Tahun Pajak, Saat, dan Tempat yang Menentukan Pajak Terutang 1) Tahun pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwim. Jangka waktu 1 (satu) tahun takwim adalah dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember. 2) Saat menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari. 3) Tempat pajak yang terutang : (1) Untuk daerah Jakarta, di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta; (2) Untuk daerah lainnya, di wilayah Kabupaten atau Kota. Tempat pajak yang terutang untuk Batam, di wilayah Propinsi Riau.
2.4.6. Surat
Pemberitahuan
Pajak
Terutang
(SPPT),
Tata
Cara
Pembayaran dan Penagihan. 1) Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) adalah Surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan yang terhutang kepada wajib pajak. 2) Hak Wajib Pajak antara lain : (1) Menerima SPPT PBB untuk setiap tahun pajak; (2) Mendapatkan penjelasan berkaitan dengan ketetapan PBB dalam hal wajib pajak meminta; (3) Mengajukan keberatan dan/atau pengurangan; (4) Mendapatkan Surat Tanda Terima Setoran (STTS) PBB dari Bank/Kantor Pos dan Giro yang tercantum pada SPPT; (5) Mendapatkan Tanda Terima Sementara (TTS) dari petugas pemungut PBB Kelurahan/Desa yang ditunjuk resmi dalam hal pembayaran PBB dilakukan melalui petugas pemungut PBB; (6) Mendapatkan resi/struk ATM/bukti pembayaran PBB lainnya (sebagai bukti pelunasan pembayaran PBB yang sah sebagai pengganti STTS dilakukan melalui fasilitas ATM/fasilitas perbankan elektronik lainnya. 3) Kewajiban wajib pajak antara lain : (1) Mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) dengan lengkap, benar
dan
jelas
dan
menyampaikan
ke
KPP
Pratama/KPPBB/KP2KP/KP4 setempat selambat lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya SPOP oleh subjek pajak; (2) Menandatangani bukti tanda terima SPPT dan mengirimkannya kembali
kepada
Lurah/Kepala
Desa/Dinas
Pendapatan
Daerah/KP2KP/KP4 untuk diteruskan ke KPP Pratama/KPPBB yang menerbitkan SPPT; (3) Melunasi PBB pada tempat pembayaran PBB yang telah ditentukan.
4) Cara mendapatkan SPPT bisa dilakukan dengan cara : (1) Mengambil sendiri di Kantor Kelurahan/Kepala Desa atau di KPP Pratama/KPPBB tempat objek pajak terdaftar atau tempat lain yang ditunjuk; (2) Dalam rangka pelayanan, SPPT dapat dikirim melalui Kantor Pos dan Giro atau diantarkan oleh aparat Kelurahan/Desa; (3) Wajib Pajak dapat menggunakan fasilitas kring pajak (500200) yang merupakan layanan pulsa lokal dari fixed phone /PSTN. 5) Pembayaran dapat dilakukan melalui : (1) Bank atau Kantor Pos dan Giro yang tercantum pada SPPT; (2) Petugas pemungut PBB Kelurahan/Desa yang ditunjuk resmi; (3) Khusus untuk wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pembayaran PBB dapat dilakukan pembayaran secara on-line di Bank-bank yang telah ditunjuk. 6) Pajak yang terutang berdasarkan SPPT harus dilunasi selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak. 7) Pajak yang terutang berdasarkan SKP harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya SKP oleh Wajib Pajak. 8) Pajak yang terutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang bayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. 9) Denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam nomor 3 di atas, ditambah dengan utang pajak yang belum atau kurang bayar ditagih dengan Surat Tagihan Pajak (STP) yang harus dilunasi selambatlambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya STP oleh Wajib Pajak. Menurut ketentuan ini denda administrasi dan pokok pajak sebagaimana yang dimaksud dalam nomor 3 di atas, ditagih dengan menggunakan STP yang harus dilunasi dalam waktu 1 (satu) bulan sejak diterimanya STP tersebut.
10) Tata cara pembayaran dan penagihan pajak diatur oleh Menteri Keuangan. 11) Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), surat ketetapan pajak, dan Surat Tagihan Pajak (STP) merupakan dasar penagihan pajak. 12) Jumlah pajak yang terutang berdasarkan STP yang tidak dibayarkan pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa. Dalam hal tagihan pajak yang terutang yang dibayar setelah jatuh tempo yang telah ditentukan, penagihannya dilakukan dengan Surat Paksa yang saat ini berdasarkan Undang-undang No. 19 tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
GAMBAR 2.1. SISTEM PENGENAAN PBB
Wajib Pajak
SPOP
SPOP tidak benar (data disembunyikan)
SPPT 1 Februari
SPOP tidak dikembalikan
SKP
Seluruh pajak terutang + denda administrasi 25% dari selisih Sumber: DPPKA Kabupaten Garut
Pokok pajak + denda administrasi 25% dari pokok pajak
Pembayaran 31 Juli 200x (paling lambat) apabila terlambat pokok pajak terutang denda 25% perbulan (dengan SPT)
GAMBAR 2.2. TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN SPPT Dirjen Pajak
SPPT
STTS
6 bulan
Wajib Pajak
Bank Unit/Cabang Pos dan Giro Tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
Pembayaran
Sumber: DPPKA Kabupaten Garut
GAMBAR 2.3. PEMBAYARAN BERDASARKAN SURAT KETETAPAN PAJAK Dirjen Pajak
STTS
Surat Ketetapan Pajak
Wajib Pajak
Bank Unit/Cabang Pos dan Giro Tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
Pembayaran
1 bulan
Sumber: DPPKA Kabupaten Garut
GAMBAR 2.4. PEMBAYARAN TIDAK/KURANG DIBAYAR PADA SAAT JATUH TEMPO Dirjen Pajak
STTS
Bank Unit/Cabang Pos dan Giro Tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
Lewat 6 bulan
SPPT Sumber: DPPKA Kabupaten Garut
Wajib Pajak
Wajib Pajak
GAMBAR 2.5. PEMBAYARAN BERDASARKAN STP Dirjen Pajak
STTS
Bank Unit/Cabang Pos dan Giro Tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
1 bulan
STP
Ditambah denda 25% per bulan maksimum 24 bulan
Wajib Pajak
Sumber: DPPKA Kabupaten Garut
2.4.7. Keberatan dan Banding 2.4.7.1.Keberatan 1) wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas : (1) Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT); (2) Surat Ketetapan Pajak (SKP). 2) Ketetapan terhadap SPPT dan SKP harus diajukan masing-masing dalam satu Surat Keberatan tersendiri untuk setiap tahun pajak. Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas SPPT dan SKP dalam hal: (1) Wajib Pajak menganggap luas objek bumi dan atau bangunan, klasifikasi atau Nilai Jual Objek Pajak bumi dan atau bangunan yang tercantum dalam SPPT atau SKP tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya; (2) Terdapat
perbedaan
penafsiran
undang-undang
dan
peraturan
perundang-undangan antara wajib pajak dengan fiskus. 3) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang menerbitkan SPPT dan SKP dengan menyatakan alasan dengan jelas. 4) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT atau SKP oleh Wajib Pajak, kecuali apabila Wajib
Pajak dapat dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. Apabila ternyata batas waktu 3 (tiga) bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak karena keadaan di luar kekuasaannya (Force Major), maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan masih dapat mempertimbangkan dan meminta Wajib Pajak untuk melengkapi persyaratan tersebut dalam batas waktu tertentu. 5) Tanda terima Surat keberatan yang diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat atau sejenisnya merupakan tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan Wajib Pajak. 6) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak. 7) Pengajuan keberatan tidak menunda pembayaran pajak. 8) Sebelum surat keputusan diterbitkan, wajib pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis. 9) Keputusan kepala Kantor Wilayah Direktur Jenderal Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan atas keberatan dapat berupa: (1) Tidak dapat diterima; (2) Menolak; (3) Menerima seluruhnya atau sebagian; (4) Menambah besarnya jumlah pajak yang terutang. 10) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas ketetapan sebagaimana dalam surat ketetapan pajak, Wajib Pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut. 11) Apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka keberatan tersebut dianggap diterima. Keberatan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, Wajib Pajak yaitu apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal diterimanya surat keberatan, Dirjen Pajak tidak
memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan berarti keberatan tersebut diterima.
2.4.7.2.Banding Keberatan banding Pajak Bumi dan Bangunan mengikuti ketentuan tentang banding undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Tata cara penyelesaian banding: 1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. 2) Banding diajukan dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal keberatan dikeluarkan, dengan cara: (1) Tertulis dalam bahasa Indonesia; (2) Mengemukakan alasan-alasan yang jelas dan bukti yang diperlukan; (3) Melampirkan salinan Surat Ketentuan Keputusan. 3) Putusan badan peradilan pajak merupakan putusan akhir dan bersifat tetap. 4) Permohonan banding tidak menunda kewajiban pembayaran pajak yang bersangkutan. 5) Apabila pengajuan banding diterima sebagian atau seluruhnya, maka kelebihan pembayaran dikembalikan dengan ditambah bunga sebesar 2% sebulan (maksimal 24 bulan) dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Putusan Banding.
2.4.8. Pengurangan Pajak Pengurangan diberikan atas Pajak Bumi dan Bangunan terutang yang tercantum dalam SPPT atau SKP. Pengurangan pajak terutang dapat diberikan kepada dan dalam hal:
1) Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak dan atau karena sebab-sebab tertentu lainnya, seperti : (1) Objek
pajak
berupa
lahan
pertanian/perkebunan,
perikanan/perternakan yang hasilnya sangat terbatas; (2) Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang berpenghasilan rendah dan harga jualnya meningkat jika ada pembangunan atau perkembangan lingkungan; (3) Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang berpenghasilan rendah dan semata-mata berasal dari pensiunan, sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi; (4) Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak Badan yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas yang serius sepanjang tahun, sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban rutin perusahaan. Dalam hal ini pengurangan dapat diberikan setinggi-tingginya 75% (tujuh puluh lima persen) dari besarnya pajak terutang, dan ditetapkan berdasarkan pertimbangan kondisi objek pajak serta penghasilan Wajib Pajak. 2) Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan dalam hal objek pajak yang terkena bencana alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa. Termasuk dalam pengertian bencana alam adalah gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan sebabsebab lain yang lusr biasa adalah kebakaran, kekeringan, wabah penyakit dan hama tanaman. Dalam hal ini dapat diberikan sampai dengan 100% (seratus persen) dari besarnya pajak terutang. 3) Wajib Pajak anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan. Besarnya pengurangan ditetapkan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari besarnya pajak terutang.
2.4.9. Pengurangan Denda Administrasi Atas permintaan Wajib Pajak Dirjen Pajak dapat mengurangkan denda administrasi karena hal-hal tertentu. Ketentuan ini memberi kesempatan kepada Wajib Pajak untuk meminta pengurangan denda administrasi kepada Direktur Jenderal Pajak. Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan sebagian atau seluruhnya denda adminstrasi tersebut.
2.4.10. Pejabat (1) Pejabat yang dalam jabatannya atau tugas pelaksanaannya berkaitan langsung dengan objek pajak adalah : (1) Camat; (2) Notaris. 2) Pejabat yang ada hubungannya dengan objek pajak adalah : (1) Kepala Kelurahan atau Kepala Desa; (2) Pejabat Dinas Tata Kota; (3) Pejabat Dinas Pengawasan Bangunan; (4) Pejabat Agraris; (5) Pejabat Balai Harta Peninggalan; (6) Pejabat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan/Direktorat Jenderal Pajak. 3) Adapun kewajiban Pejabat tersebut antara lain : (1) Yang berkaitan langsung dengan objek pajak, wajib: a. Menyampaikan laporan bulanan mengenai semua mutasi dan perubahan keadaan objek pajak secara tertulis kepada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak selambat-lambatnya tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya; b. Memberikan keterangan yang diperlukan atas permintaan Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Yang berhubungan dengan objek pajak wajib memberikan keterangan yang diperlukan atas permintaan Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang.
2.4.11. Sanksi 1) Bagi Wajib Pajak (1) Apabila SPOP tidak disampaikan dan telah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran, ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak. Jumlah pajak terutang dalam Surat Ketetapan Pajak adalah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dihitung dari pokok pajak; (2) Pajak yang terutang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang bayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan, yang dihitung pada saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. (3) Karena kealpaannya sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, dalam hal : a. Tidak
mengembalikan
atau
menyampaikan
SPOP
kepada
Direktorat Jenderal Pajak; b. Menyampaikan SPOP, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan atau dilampirkan keterangan tidak benar. Untuk sebab kealpaan : Dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya sebesar 2 (dua) kali pajak yang terutang. (4) Karena Kesengajaan sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, dalam hal : a. Tidak
mengembalikan
Direktorat Jenderal Pajak;
atau
menyampaikan
SPOP
kepada
b. Menyampaikan SPOP, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan atau dilampirkan keterangan tidak benar; c. Memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; d. Tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau dokumen lainnya; e. Tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan. Untuk sebab kesengajaan : Dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda setinggi-tingginya sebesar 5 (lima) kali pajak yang terutang. Sanksi pidana ini akan dilipatkan dua, apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan atau sejak dibayarkan denda. 2) Bagi Pejabat (1) Sanksi umum Apabila tidak memenuhi kewajiban seperti yang telah diuraikan dimuka dikenakan sanksi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang antara lain: Peraturan pemerintah No. 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disipilin Pegawai Negeri Sipil, Staatsblad 1860 No. 3 tentang Peraturan Jabatan Notaris. (2) Sanksi Khusus Bagi pejabat yang tugas pekerjaanya berkaitan langsung atau ada hubungannya dengan objek pajak ataupun pihak lain yang: a. Tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan dokumen yang diperlukan; b. Tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan;
c. Dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 tahun atau denda setinggi-tingginya Rp.2.000.000,00 (dua juta rupiah).
2.5.
Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan merupakan Penerimaan
Negara (dalam hal ini Pemerintah Pusat) dan disetor sepenuhinya ke rekening Kas Negara. Namun demikian, Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan akan dibagi untuk Pemerintah Pusat dan Daerah dengan imbangan sebagai berikut : 1) 10% (sepuluh persen) untuk Pemerintah Pusat; 2) 90% (Sembilan persen) untuk Daerah. Jumlah 10% (sepuluh persen) bagian Pemerintah Pusat dibagikan kepada seluruh daerah Kabupaten dan Kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan tahun anggaran berjalan, dengan imbangan sebagai berikut : 1) 65% (enam puluh lima persen) dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten dan kota; 2) 35% (tiga puluh lima persen) dibagikan secara insentif kepada daerah kabupaten dan kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai atau melampaui rencana penerimaan sektor tertentu. Jumlah 90% (Sembilan puluh persen) bagian daerah dibagi dengan rincian sebagai berikut: 1) 16,2% (enam belas koma dua persen) untuk daerah propinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Propinsi; 2) 64,8% (enam puluh empat koma delapan persen) untuk daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Kabupaten/Kota; 3) 9% (Sembilan persen) untuk Biaya Pemungutan yang dibagikan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan Daerah. Khusus untuk propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 90% (Sembilan puluh persen) dari hasil penerimaan tersebut merupakan penerimaan bagian Daerah yang dibagikan dengan rincian sebagai berikut:
1) 16,2% (enam belas koma dua persen) untuk daerah propinsi, yang dibagi dengan imbangan : (1) 30% (tiga puluh persen) untuk biaya pendidikan di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan disalurkan melalui rekening khusus dana pendidian; (2) 70% (tujuh puluh persen) untuk daerah Propinsi dan disalurkan melalui rekening Kas Daerah Propinsi. 2) 64,8% (enam puluh empat koma delapan persen) untuk daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan, yang dibagi dengan imbangan: (1) 30% (tiga puluh persen) untuk biaya pendidikan di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan disalurkan melalui rekening khusus dana pendidian; (2) 70% (tujuh puluh persen) untuk daerah Kabupaten/Kota dan disalurkan melalui rekening Kas Daerah Kabupaten/Kota. 3) 9% (Sembilan persen) untuk Biaya Pemungutan yang dibagikan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan Daerah. Dewasa ini Pemerintah Pusat telah merampungkan aturan baru untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Dalam Undang-undang RI No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menetapkan bahwa mulai tahun 2010 Pajak Bumi dan Bangunan akan diubah sebagai Pajak Daerah, yang artinya Pemerintah Daerah akan menerima 100% dari Pajak Bumi dan Bangunan ini tanpa melalui proses bagi hasil antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Pada saat undang-undang ini berlaku, Menteri Keuangan bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri mengatur tahapan persiapan pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak Daerah dalam waktu paling lambat 31 Desember 2013.