23
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjaun Kebijakan Dividen
Kebijakan dividen merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan
keputusan pendanaan perusahaan. Menurut Martono dan Harjito (2003;253):
“Kebijakan dividen merupakan keputusan apakah laba yang diperoleh perusahaan
pada akhir tahun akan dibagi kepada pemegang saham dalam bentuk dividen atau akan ditahan untuk menambah modal guna pembiayaan investasi di masa yang akan datang. Menurut Riyanto (2001;265), “Dividen adalah bersangkutan dengan penentuan pembagian pendapatan (earning) antara penggunaan pendapatan untuk dibayarkan kepada pemegang saham sebagai dividen atau untuk digunakan di dalam perusahaan yang berarti pendapatan tersebut haraus ditahan dalam perusahaan” Menurut Weston & Copeland (1997;125) “Kebijakan dividen menetukan pembagian laba antara pembayaran kepada pemegang saham dan investasi kembali kembali perusahaan.” Dari ke-3 pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan dividen adalah suatu keputusan terhadap laba, apakah akan dibagikan sebagao dividen kepada pemegang saham atau ditahan dalam perusahaan. 2.1.1. Pendapat Mengenai Kebijakan Dividen Ada 2 pendapat mengenai relevansi kebijakan dividen, yaitu (1) pendapat yang menyatakan bahwa dividen tidak relevan, dan (2) pendapat yang menyatakan bahwa dividen adalah relevan dalam kaitannya dengan kemakmuran pemegang saham ( Martono dan Harjono 2003;253)
23
24
1. Pendapat tentang ketidakrelevanan dividen (Irrelevant Theory) Pendapat ini dikemukakan oleh Modigliani dan Miller (MM). MM
menyatakan bahwa Dividend Payout Ratio (DPR) hanya merupakan
bagian kecil dari keputusan pendanaan perusahaan, tidak mempengaruhi kekayaan pemegang saham. MM beragumentasi bahwa nilai perusahaan
ditentukan oleh kemampuan aktiva perusahaan untuk menghasilkan laba
atau kebijakan investasi. Dalam hal ini, MM berasumsi bahwa adanya
pasar modal sempurna dimana tidak ada biaya transaksi, biaya
pengambangan (floatation cost) dan tidak ada pajak.
2. pendapat tentang relevansi dividen ( Relevant Theory) sejumlah argumentasi diajukan untuk mendukung posisi yang kontradiksi yaitu bahwa dividen adalah relevan untuk kondisi yang tidak pasti. Argumen-argumen tersebut antara lain: a. Preferensi atas Dividen Para investor tertentu mungkin mempunyai pilihan dividen daripada keuntungan sebagai akibat perubahan harga saham (Capital Gain). Dividen akan diterima saat ini dan terus menerus tiap tahun sedangkan capital gain akan diterima untuk waktu yang akan datang jika harga saham naik. Pembayaran dividen merupakan alternatif pemecahan dalam kondisi ketidakpastian para investor tentang kemampuan perusahaan menghasilkan profitabilitas. b. Preferensi atas investor Bila pajak capital gain lebih kecil dari pada pajak penghasilan dividen, maka perusahaam mungkin lebih menguntungkan untuk menahan laba tersebut. Sebaliknya apabila pajak penghasilan dividen lebih kecil dari pajak capital gain, maka lebih menguntungkan bila perusahaan membayar dividen. c. Biaya Pengambangan Biaya pengambangan (floatation cost) adalah biaya yang berhubungan dengan penerbitan surat berharga. Ketidakrelevanan pembayaran dividen didasarkan pada pemikiran bahwa pada saat terdapat peluang
24
25
investasi yang menguntungkan namun dividen tetap dibayarkan, maka
dana yang dikeluarkan oleh perusahaan harus diganti dengan dana
yang diperoleh dari pendanaan eksternal. Padahal dana eksternal
tersebut menimbulkan biaya pengambangan, sehingga adanya biaya pengambangan menyebabkan keputusan menahan laba lebih baik
daripada membayar dividen.
d. Baiaya transaksi dan pembagian sekuritas
Para pemegang saham yang berkeinginan mendapat laba sekarang.
Harus membayar biaya transaksi bila menjual sahamnya untuk memenuhi distribusi kas yang mereka inginkan karena pembayaran
dividennya kurang. Pasar yang sempurna juga mengasumsikan bahwa sekuritas dapat dibagi secara tak terbatas. Namun kenyataannya bahwa unit sekuritas terkecil adalah 1 lembar saham. Hal ini akan menjadi alat untuk menghindari penjualan saham sebagai pengganti dividen. e. Pembatasan Institusional Hukum sering membatasi jenis-jenis saham biasa yang boleh dibeli para investor institudional (lembaga) tertentu. Sering pemerintah melarang lembaganya untuk investasi saham pada perusahaan yang tidak memberikan dividen. Menurut Atmaja (1994;351) ada beberapa teori tentang kebijakan dividen, antara lain: 1. Teori dividen tidak relevan dari Modigliani dan Miller Menurut MM,nilai suatu perusahaan tidak di tentukan oleh besar kecilnya DPR, tetapi ditentukan oleh laba bersih sebelum pajak (EBIT) dan kelas resiko perusahaan. Pernyataan MM ini didasarkam pada beberapa asumsi penting yang “lemah” seperti: a. Pasar modal sempurna dimana semua investor adalah rasional. b. Tidak ada biaya saham baru jika perusahaan menertibkan saham baru. c. Tidak ada pajak. d. Kebijakan investasi perusahaan tidsk berubah
25
26
Beberapa ahli menentang pendapat MM dengan menunjukan bahwa
adanya biaya emisi saham baru akan mempengaruhi nilai perusahaan.
Beberapa ahli lain menyoriti asumsi tidak adanya pajak. Jika ada pajak
maka penghasilan investor dari dividen karena pajak pada capital gain akan dikenai pajak. Seandainya tingkat pajaknya sama, investor lebih suka
menerima kapital gain dari pada dividen dan keuntungan diakui.
2. Teori The Bird in the Hand
Gordon dan Lintner menyatakan bahwa sendiri (Ks) perusahaan akan naik jika DPR rendah karena investor lebih suka menerima dividen daripada capital gain. Menurut mereka, investor memandang dividen yield (D1/P0) lebih pasti daripada capital gain yield (g). MM menganggap bahwa argumen Gordont dan Lintner ini merupakan suatu kesalahan (MM menggunakan istilah “The Bird in the Hand Fallacy”). Menurut MM, Pada akhirnya investor akan kembali menginvestasikan dividen yang diterima pada perusahaan yang sama atau perusahaan yang memiliki risiko yang hampir sama.
3. Teori perbedaan Pajak Teori ini diajukan oleh Litzenberger dan Ramaswamy, mereka menyatakan bahwa karena adanya pajak terhadap keuntungan dividend dan capital gain, para investor lebih menyukai capital gain karena dapat menunda pembayaran pajak. Oleh karena itu investor mensyaratkan suatu tingkat keuntungan yang lebih tinggi saham yang memberiakan dividend yield yang tinggi dan capital gain yield yang rendah, dari pada saham dengan dividen yield rendah capital gain yield yang tinggi. 4. Teori “Signaling Hypothesis” Ada bukti empiris bahwa jika ada kenaikan dividen, sering diikuti dengan kenaikan harga saham dan sebaliknya. Fenomena ini dapat dianggap sebagai bukti bahwa investor lebih menyukai dividen daripada capital gain. Seperti teori dividen yang lain, teori ini juga sulit dibuktikan secara empiris. Adanya nyata bahwa perubahan dividen mengandung
26
27
beberapa informasi. Tapi sulit dikatakan apakah kenaikan dan penurunan
harga setelah adanya kenaikan dan penurunan dividen semata-mata
disebabkan oleh efek “sinyal” atau karena efek “sinyal” dan preferensi
terhadap dividen.
5. Teori “Clientele Effect” Teori ini menyatakan bahwa kelompok (clientele) pemegang
saham yang berbeda akan memiliki preferensi yang berbeda terthadap
kebijakan dividen perusahaan. Kelompok pemegang saham yang
membutuhkan penghasilan saat ini lebih menyukai suatu DPR yang tinggi. Sebaliknya kelompok pemegang saham yang tidak begitu membutuhkan uang saat ini lebih senang jika perusahaan menahan sebagian laba bersih perusahaan. Jika ada perbedaan pajak bagi individu maka kelompok pemegang saham yang dikenai pajak lebih tinggi lebih menyukai caoital gain karena dapat menunda pembayaran pajak. Kelompok ini lebih senang jika perusahaan membagi dividen yang kecil. Sebaliknya kelompok pemegang saham yang dikenai pajak relatve rendah cenderung menyukai dividen yang besar.
2.1.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Dividen Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen suatu perusahaan diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Kebutuhan Dana Untuk Membayar Utang Apabila suatu perusahaan akan memperoleh utang baru atau menjual obligasi untuk membiayai perusahaan, sebelumnya harus sudah direncanakan bagaimana caranya untuk membayar kembali utang tersebut. Utang dapat dilunasi pada hari jatuhnya dengan mengganti utang tersebut dengan utang baru. Atau alternatif lain ialah perusahaan harus
27
28
menyediakan dana sendiri yang berasal dari keuntungan untuk melunasi
utang tersebut. Apabila perusahaan menetapkan bahwa pelunasan utangnya akan
diambilkan dari laba ditahan, berarti perusahaan harus menahan sebagian
besar dari pendapatannya untuk keperluan tersebut, ini berarti bahwa
hanya sebagian kecil saja dari pendapatan atau earning yang dibayarkan
sebagai dividen. Dengan kata lain perusahaan harus menetapkan dividend payout ratio yang rendah.
2. Likuiditas Likuiditas perusahaan merupakan pertimbangan utama dalam banyak kebijakan dividen. Karena dividen bagi perusahaan merupakan kas keluar, maka semakin besar posisi kas dan likuiditas perusahaan secara keseluruhan akan semakin besar kemampuan perusahaan untuk membayar dividen. Perusahaan yang sedang mengalami pertumbuhan dan profitable akan memerlukan dana yang cukup besar untuk membiayai investasinya, oleh karena itu mungkin akan kurang likuid karena dana yang diperoleh lebih banyak diinvestasikan pada aktiva tetap dan aktiva lancar yang permanen. Likuiditas perusahaan sangat besar pengaruhnya terhadap investasi perusahaan dan kebijakan pemenuhan kebutuhan dana. Keputusan investasi akan menentukan tingkat ekspansi dan kebutuhan dana perusahaan, sementara itu keputusan pembelanjaan akan menentukan pemilihan sumber dana untuk membiayai investasi tersebut.
28
29
3. Tingkat Pertumbuhan Perusahaan
Makin cepat tingkat pertumbuhan suatu perusahaan, makin besar kebutuhan akan dana untuk membiayai pertumbuhan perusahaan tersebut.
Makin besar kebutuhan dana untuk waktu mendatang untuk membiayai
pertumbuhannya, perusahaan tersebut biasanya lebih senang untuk
menahan earning nya daripada dibayarkan sebagai dividen kepada para
pemegang saham dengan mengingat batasan-batasan biayanya. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa makin cepat tingkat pertumbuhan perusahaan makin besar dana yang dibutuhkan, makin besar kesempatan untuk memperoleh keuntungan, makin besar bagian dari pendapatan yang ditahan dalam perusahaan, yang ini berarti makin rendah dividend payout rationya. Apabila
perusahaan
telah
mencapai
tingkat
pertumbuhan
sedemikian rupa sehingga perusahaan telah well established, dimana kebutuhan dananya dapat dipenuhi dengan dana yang berasal dari pasar modal atau sumber dana eksteren lainnya, maka keadaannya adalah berbeda. Dalam hal yang demikian perusahaan dapat menetapkan dividend payout ratio yang tinggi. 4. Keadaan Pemegang Saham Jika perusahaan itu kepemilikan sahamnya relatif tertutup, manajemen biasanya mengetahui dividen yang diharapkan oleh pemegang saham dan dapat bertindak dengan tepat. Jika hampir semua pemegang saham berada dalam golongan high tax dan lebih suka memperoleh capital
29
30
gains, maka perusahaan dapat mempertahankan dividend payout ratio
yang rendah. Dengan dividend payout ratio yang rendah tentunya dapat diperkirakan apakah perusahaan akan menahan laba untuk kesempaan
investasi yang profitable. Untuk perusahaan yang jumlah pemegang
sahamnya besar hanya dapat menilai dividen yang diharapkan pemegang
saham dalam konteks pasar.
5. Pembatasan Hukum
Pembatasan hukum tertentu bisa membatasi jumlah dividen yang bisa dibayarkan perusahaan. Menurut Arthur J Keown, at al menyatakan bahwa batasan hukum ada dua kategori : a. Pembatasan
menurut
Undang-Undang,
dapat
mengahalangi
perusahaan dalam membayar dividen. Batasan-batasan ini mungkin saja berbeda, biasanya perusahaan tidak membayar dividen karena kewajiban perusahaan melebihi assetnya, jika jumlah dividen melebihi akumulasi laba (laba ditahan), dan jika dividen dibayarkan dari modal yang diinvestasikan dalam perusahaan. b. Adalah unik bagi tiap perusahaan dan hasil dari batasan dalam kontrak hutang dan saham preferen. Untuk meminimumkan resiko, investor seringkali menerapkan aturan pembatasan atas manajemen sebagai syarat investasi mereka dalam perusahaan. Batasan ini bisa meliputi aturan bahwa dividen takkan diumumkan sebelum utang dibayar kembali. Juga perusahaan mungkin disyaratkan mempertahankan
30
31
jumlah modal kerja tertentu. Pemegang saham preferen bisa menuntut
agar dividen biasa tidak akan dibayar jika saham preferen tidak dibayarkan.
6. Pengawasan Terhadap Perusahaan Variabel penting lainnya adalah kontrol atau pengawasan terhadap
perusahaan. Ada perusahaan yang mempunyai kebijakan hanya membiayai
ekspansinya dengan dana yang berasal dari sumber interen saja. Kebijakan
tersebut dijalankan atas dasar pertimbangan bahwa kalau ekspansi dibiayai dengan dana yang berasal dari hasil penjualan saham baru akan melemahkan control dari kelompok dominan di dalam perusahaan. Demikian pula kalau membiayai ekspansi dengan uang akan memperbesar risiko financialnya. Mempercayakan pada pembelanjaan interen dalam usaha mempertahankan control terhadap perusahaan, berarti mengurangi dividen payout ratio nya.
2.1.3
Tipe-Tipe Kebijakan dividen
Secara umum ada 3 dasar dari kebijakan dividen (Astuti, 2004;146) a. Kebijakan dividen dengan presentase tetap pembayaran dividen tunai. Kebijakan ini dikenal dengan nama constant-payout-ratio dividen policy. Dengan kebijakan ini perusahaan kurang dapat memperkirakan junlah pembayaran dividen yang akan dilakukan setiap periode. Junlah pembayaran dividen dengan presentase tetap dari EPS akan mempengaruhi
31
32
harga saham di pasar. Pada saat laba menurun maka pembayaran dividen
juga menurun dan hal ini akan menyebabkan harga saham menurun juga.
b. Kebijakan dividen biasa
Pada kebijan dividen biasa atau reguler dividen policy, perusahaan
membayar dividen per lembar saham dalam junlah rupiah yang tetap setiap
periode. Kebijakan ini meniadakan keragu-raguan para investor atau
pemegang saham, sekaligus menginformasikan bahwa perusahaan dalam keadaan baik dan lancar. Dengan kebijakan ini pembayaran dividen per lembar saham hampir tidak pernah turun.
c. Kebijakan dividen rendah plus ekstra Kebijakan ini dikenal dengan nama low regular and extra dividen policy. Menurut kebijakan ini perusahaan membayar dividen tunai secara rutin setiap periode dalam jumlah yang tetap dan rendah, jika laba perusahaan periode yang berdangkutan sangat baik maka jumlah pembayaran tetap tersebut akan ditambah dengan pembayaran ekstra. Dengan jumlah pembayaran regular atau biasa yang tetap ini menjamin kepastian bagi pemilik saham dan karena jumlahnya rendah, hal ini juga akan menentramkan perusahaan. Bila ada laba yang sangat bagus perusahaan akan membayarkan exstra dividen bagi pemegang saham. 2.1.4. Dividend Payout Ratio Menurut Robet Ang (1997:623) dividend payout ratio merupakan perbandingan antara dividend per share dan earning per share, sedangkan menurut Suad Husnan (2001:316) perusahaan hanya dapat membagikan dividen jika 32
33
perusahaan mampu menghasilkan laba yang semakin besar, jika laba yang dihasilkan besarnya tetap, perusahaan tidak bisa membagikan dividen yang
semakin besar, karena hal ini berarti perusahaan akan membagikan modalnya
sendiri.
Menurut Indriyo dividend payout ratio adalah perbandingan antara dividen
yang dibagikan desemangan laba bersih yang didapatkan dan biasanya disajikan
dalam bentuk paersentase. Semakin tinggi dividend payout ratio akan menguntungkan para investor tetapi dari pihak perusahaan akan memperlemah internal financial karena memperkecil laba ditahan. Tetapi sebaliknya semakin kecil dividend payou ratio akan merugikan para investor tetapi internal financial perusahaan akan semakin kuat. Dividend payout ratio dapat diukur sebagai dividen yang dibayarkan dibagi dengan laba yang tersedia untuk pemegang saham umum. Perusahaan yang mempunyai risiko tinggi cenderung untuk membayar dividend payout rationya lebih kecil. Dividend payout ratio dapat dihitung dengan menggunakan rumus : DPR =
2.2.Tinjauan Kebijakan Utang Menurut Setiawan dalam Soesito, pengertian utang adalah sebagai salah satu alat pendanaan yang merupakan sebuah contractual claim atas cash flow perusahaan
(bukan
sebuah
fungsi)
33
dari
kinerja
operasinya.
Hal
ini
34
mengindikasikan bahwa dalam klaim utang berarti kreditur berhak atas cash flow setelah perusahaan memenuhi semua kewajibannya.
Menurut
Munawir (2004) utang adalah semua kewajiban keuangan
perusahaan kepada pihak lain yang belum terpenuhi, di mana utang ini merupakan sumber dana atau modal perusahaan yang berasal dari kreditor.
Utang terdiri atas utang lancar (utang jangka pendek) dan utang tidak lancar (utang jangka panjang). 1.
Utang lancar (utang jangka pendek) Utang
lancar
yaitu
kewajiban
keuangan
perusahaan
yang
pelunasannya atau pembayarannya akan dilakukan dalam jangka pendek (satu tahun sejak tanggal neraca) dengan menggunakan aktiva lancar yang dimiliki oleh perusahaan. 2.
Utang tidak lancar (utang jangka panjang) Utang tidak lancar yaitu kewajiban keuangan yang jangka waktu pembayarannya (jatuh temponya) masih jangka panjang (lebih dari satu tahun sejak tanggal neraca).
Kebijakan utang merupakan bagian dari perimbangan jumlah utang jangka pendek (permanen), utang jangka panjang, saham preferen dan saham biasa dan perusahaan akan berusaha mencapai suatu tingkat struktur modal yang optimal (Soesito, 2008:388). Dengan adanya kebijakan utang akan meningkatkan tingkat risiko atas arus pendapatan perusahaan. Semakin besar utang, semakin besar pula kemungkinan terjadinya perusahaan tidak mampu membayar kewajiban tetap 34
35
berupa bunga dan pokoknya. Risiko kebangkrutan akan semakin tinggi karena bunga akan meningkat lebih tinggi daripada penghematan pajak. Oleh karena itu,
perusahaan harus sangat hati-hati dalam menentukan kebijakan utangnya karena
peningkatan penggunaan utang akan menurunkan nilai perusahaannya (Sujoko
dan Soebiantoro, 2007).
Dari sudut pasar pemegang utang jangka panjang, risiko utang lebih kecil
dibanding saham biasa atau saham preferen. Meskipun begitu, utang dianggap
memiliki keunggulan terbatas dipandang dari segi laba, dan dianggap lemah dipandang dari segi pengendalian. Hal ini dapat dijelaskan oleh Weston dan Copeland (1997), sebagai berikut: 1.
Dari segi risiko, utang dipandang lebih menguntungkan dibanding saham biasa atau saham preferen karena utang memberi prioritas dalam hal pendapatan dan juga dalam hal likuidasi. Utang juga memiliki masa jatuh tempo yang pasti dan dilindungi oleh akad (covenants) dalam indenture.
2.
Dari segi laba, para pemegang obligasi memiliki hasil pengembalian tetap, kecuali dalam kasus obligasi pendapatan (income bonds) atau surat utang dengan suku bunga mengambang. Pembayaran bunga tidak tergantung pada tingkat laba perusahaan atau suku bunga pasar yang sedang berlaku. Meskipun demikian, utang tidak pernah dapat ikut menikmati laba perusahaan yaitu saat perusahaan bisa berhasil menarik laba yang maksimal. Sering kali utang jangka panjang bisa dibatalkan sebelum waktunya. Jika hal ini terjadi, misalnya obligasi
35
36
ditarik melalui opsi tarik, investor akan menerima kembali uangnya,
yang harus ditanam kembali agar dana tersebut tidak mati.
3.
Dari segi pengendalian, pemegang obligasi biasanya tidak memiliki
hak suara. Meskipun begitu, jika sampai obligasi dinyatakan tak dapat
dibayar, pemegang obligasi dapat mengambil alih kendali perusahaan.
Financial leverage menunjukkan proporsi atas penggunaan utang untuk
membiayai investasinya. Perusahaan yang tidak mempunyai leverage berarti menggunakan modal sendiri 100%. Penggunaan utang itu sendiri bagi perusahaan mengandung tiga dimensi : 1. Pemberi kredit akan menitikberatkan pada besarnya jaminan atas besarnya kredit yang diberikan, 2. dengan menggunakan utang maka apabila perusahaan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari beban tetapnya maka pemilik perusahaan keuntungannya akan meningkat, dan 3. dengan menggunakan utang maka pemilik memperoleh dana dan tidak kehilangan pengendalian perusahaan. Debt ratio dihitung dengan membagi total utang dengan total aktiva. Semakin tinggi rasio ini maka semakin besar risiko yang dihadapi, dan investor akan meminta tingkat keuntungan yang semakin tinggi. 2.2.1
Teori Tentang Kebijakan Hutang a. Static trade of theory
36
37
Static trade off berasumsi bahwa struktur modal suatu perusahaan
ditentukan dengan mempertimbangkan manfaat pengurangan pajak ketika utang meningkat di satu sisi dan meningkatnya agency cost
(biaya agensi) ketika utang meningkat pada sisi yang lain. Ketika
manfaat pengurangan pajak masih lebih tinggi dibandingkan dengan
perkiraan agency cost maka perusahaan masih bisa meningkatkan
utangnya dan peningkatan utang harus dihentikan ketika pengurangan pajak atas tambahan utang tersebut sudah lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan agency cost. Model Static Trade off ini merupakan evolusi atau pengembangan dari teori irrelevance-nya Modigliani dan Miller dan saat ini merupakan mainstream dari teori struktur modal. Zaenal Arifin (2005) dalam Annisa’u (2007) mendasarkan pada Trade off perusahaan berupaya mempertahankan struktur modal yang ditargetkan dengan tujuan memaksimumkan nilai perusahaan. b. Pecking order theory Secara singkat teori ini menyatakan bahwa : a.
Perusahaan menyukai internal financing (pendanaan dari hasil operasi perusahaan berwujud laba ditahan).
b.
Apabila pendanaan dari luar (eksternal financing) diperlukan, maka perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling aman terlebih dulu, yaitu dimulai dengan penerbitan obligasi, kemudian diikuti oleh sekuritas yang berkarakteristik opsi (seperti obligasi konversi),
37
38
baru akhirnya apabila masih belum mencukupi, saham baru
diterbitkan. Sesuai dengan teori ini, tidak ada suatu target ratio, karena ada dua
jenis modal sendiri, yaitu internal dan eksternal. Modal sendiri yang
berasal dari dalam perusahaan lebih disukai daripada modal sendiri
yang berasal dari luar perusahaan (Suad Husnan, 1996). Menurut
(Myers, 1996 dalam penelitian Susetyo 2006) perusahaan lebih menyukai penggunaan pendanaan dari modal internal, yaitu dana yang berasal dari aliran kas, laba ditahan dan depresiasi. Urutan penggunaan sumber pendanaan dengan mengacu pada packing order theory adalah : internal fund (dana internal), debt (utang), dan equity (Kaaro, 2001). Dana internal lebih disukai karena memungkinkan perusahaan untuk tidak perlu “membuka diri lagi” dari sorotan pemodal luar. Kalau bisa memperoleh sumber dana yang diperlukan tanpa memperoleh “sorotan dan publisitas publik” sebagai akibat penerbitan saham baru. Dana eksternal lebih disukai dalam bentuk utang daripada modal sendiri karena dua alasan. Pertama adalah pertimbangan biaya emisi. Biaya emisi obligasi lebih murah dari biaya emisi saham baru (Suad Husnan, 1996), hal ini disebabkan karena penerbitan saham baru akan menurunkan harga saham lama. Kedua, manajer khawatir kalau penerbitan saham baru akan ditafsirkan sebagai kabar buruk oleh pemodal, dan membuat harga saham akan turun. Hal ini disebabkan
38
39
antara lain oleh kemungkinan adanya informasi asimetrik antara pihak
manajemen dengan pihak pemodal. c. Agency Theory
Teori ini dikemukakan oleh Michael C Jenson dan William H.
Meckling pada tahun 1976 (Horne dan Wachowicz, 1998;482)
manajemen merupakan agen dari pemgang saham, sebagai pemilik
perusahaan. Para pemegang saham berharap agen akan bertindak atas kepentingan mereka sehingga mendelegasikan wewenang kepada agen. Kegiatan pengawasan tentu saja membutuhkan biaya yang disebut biaya agensi. Biaya agensi menurut Horne dan Wachowicz (1998;482) adalah biaya-biaya yang berhubungan dengan pengawasan manajemen untuk menyakinkan bahwa manajemen bertindak konsisten sesuai dengan perjanjian kontraktual perusahaan dengan kreditor dan pemeganga saham. Semakin besar peluang timbulnya pengawasan, semakin tinggi tinkat bunga, dan semakin rendah nilai perusahaan bagi pemgang saham. Biaya pengawasan berfungsi sebagai diisensif dalam penerbitan obligasi, terutama dalam jumlah besar. d. Signaling Theory Isyarat atau signal menurut Brigham dan Houston (1999; 36) adalah suatu tindakan yang diambil manajemen perusahaan yang memberi petunjuk bagi para investor tentang bagaimana manejemen memendang prospek perusahaan. Dalam Brigham dan Houston (1999; 36), perusahaan dengan prospek yang menguntungkan akan mencoba
39
40
menghindari penjualan saham dan mengusahakan setiap modal baru
yang melebihi target struktur modal yang normal. Perusahaan yang kurang menguntungkan akan cenderung untuk menjual sahamnya.
e. Asymmetric Information Theory
yang diperlukan dengan cara-cara lain, termasuk penggunaan hutang
Gordon Donaldson dalam Myers (1984) mengajukan teori tentang asimetri informasi (pecking order) manajemen perusahaan tahu lebih banyak tentang perusahaan dibanding investor di pasar modal. Jika manajeman perusahaan ingin memaksimumkan nilai untuk pemegang saham saat ini maka ada kecenderungan bahwa: a) jika perusahan mempunyai prospek yang cerah, manajeman tidak akan menerbitkan saham baru tetapi menggunakan laba di tahan, b) jika prospek kurang baik manajemen menerbitkan saham baru untuk memperoleh dana. Dengan adanya asimetri informasi para investor tahu kecenderungan ini sehingga mereka melihat penawaran saham baru adalah sinyal buruk, sehingga harga saham perusahaan cenderung turun. Implikasi dari hal ini adalah perusahaan seharusnya berusaha memperkecil penerbitan saham, sehingga para manajer lebih menyukai membiayai kesempatan investasinya dengan laba ditahan, diamana tidak ada masalah asimetri informasi dan menggunakan hutang yang memilikki resiko lebih rendah. Hal ini konsisten dengan POT (Bayless dan Diltz, 1994).
40
41
2.2.2 Debt To Asset Ratio
Rasio ini menekankan pentingnya pendanaan hutang dengan jalan
menunjukkan persentase aktiva perusahan yang didukung oleh hutang. Rasio ini juga
menyediakan informasi tentang kemampuan perusaaandalam mengaptasi kondisi
pengurangan aktiva akibat kerugian tanpa mengurangi pembayaran bunga kepada kreditor. Nilai rasio yang tinggi menunjukkan peningkatan dari ressiko pada kreditor (Darsono 2005: 54). DAR dapat dihitung dengan rumus :
2.3 Tinjauan Nilai Perusahaan Horne (2002:3) menyatakan bahwa, “value is represented by the market price of the company’s common stock, wich, in turn, is reflection of the firm’s investment, financing and devidend decisions.” Maksudnya adalah nilai perusahaan ditunjukan oleh harga saham perusahaan yang mencerminkan keputusan-keputusan investasi, pendanaan dan dividen. Menurut Sartono (2001:226) berpendapat bahwa, “Nilai perusahaan merupakan penjumlahan nilai modal sendiri (E) dan nilaihutang (D)”. Dalam penelitian Sugihen (2003), dikatakan bahwa
“nilai perusahaan
adalah ekspektasi nilai investasi pemegang saham (harga pasar ekuitas) dan atau ekspektasi nilai total perusahaan (harga pasar ditambah dengan nilai pasar utang, atau sama dengan ekspektasi harga pasar aktiva).” Known, Scott dan Martin (2001: 849), terdapat variabel-variabel kuantitatif yang dapat digunakan untuk memperkirakan nilai suatu perusahaan antara lain :
41
42
a. Nilai Buku Nilai buku merupakan jumlah aktiva dari neraca dikurangi kewajiban yang
ada atau modal pemilik. Nilai buku tidak menghitung nilai pasar dari suatu
perusahaan secara keseluruhan karena perhitungan nilai buku berdasarkan pada data historis dari aktiva perusahaan.
b. Nilai Pasar Perusahaan Nilai pasar saham adalah suatu pendekatan untuk memperkirakan nilai
bersih dari suatu bisnis. Apabila saham didaftarkan dalam bursa sekuritas
dan secara luas diperdagangkan, maka pendekatan nilai dapat dibangun berdasarkan nilai pasar. Pendekatan nilai merupakan suatu pendekatan yang paling sering digunakan dalam menilai perusahaan besar, dan nilai ini dapat berubah dengan cepat.
c. Nilai appraisial Perusahaan yang berdasarkan appraiser independent akan mengijinkan pengurangan terhadap
goodwill apabila harga aktiva perusahaan
meningkat. Goodwill dihasilkan sewaktu nilai pembelian perusahaan melebihi nilai buku aktivanya. d. Nilai arus kas yang diharapkan Nilai ini dipakai dalam penilaian merger atau akuisisi. Nilai sekarang dari arus kas yang telah ditentukan akan menjadi maksimum dan harus dibayar oleh perusahaan yang ditargetkan (target firm), pembayaran awal kemudian dapat dikurangi untuk menghitung nilai bersih sekarang dari merger. Nilai sekarang (present value) adalah arus kas bebas dimasa yang akan datang. 2.3.1 Penilaian Nilai Perusahaan Menurut Keown (2001:849) menyatakan bahwa terdapat beberapa alternatif untuk menilai nilai perusahaandiantaranya adalah : a. Price Book Value
42
43
Rasio ini mengukur nilai yang diberikan pasar keuangan kepada
manajemen dan organisasi perusahaan sebagai perusahaan yang terus
tumbuh. b. Book Value (Nilai Buku)
Secara sederhana bisa dihitung dengan cara membagi selisih antara
total aktiva dengan total hutang dengan jumlah saham yang beredar.
Nilai buku tidak menghitung nilai pasar dari suatu perusahaan karena didasarkan pada data historis yang ada di dalam perusahaan. Walau nilaibuku dari suatu perusahaan secara jelas bukanlah faktor yang penting sebaiknya jangan diabaikan. Nilai buku dapat digunakan sebagai titik permulaan untuk dibandingkan dengan analisa yang lain. c. Enterprise value Enterprise value dikenal juga sebagai firm value (niali perusahaan) merupakan konsep penting bagi investor, karena enterprise value merupakan indikator bagaimana pasar menilai perusahaan secara keseluruhan. Hal ini karena dalam perhitungan enterprise value dimasukan juga faktor-faktor yang tidak dimasukan dalam perhitungan kapitalisasi pasar suatu perusahaan. Di bawah ini adalah rumus untuk menghitung enterprise value : Enterprise Value = Kapitalisasi Pasar + Utang dengan Beban Bunga- kas
Kapitalisasi Pasar= Harga Pasar Saham x Jumlah Saham yang Beredar
Terlihat bahwa aspek dari struktur permodalan suatu perusahaan juga penting dalam mengukur nilai perusahaan. Utang dan Kas juga perlu
43
44
diperhitungkan dalam mengukur nilai perusahaan, ibaratkan saja jika
perusahaan dijual kepada pemilik baru. Pembeli harus membayar
sebesar nilai ekuitas (biasanya pada harga yang lebih tinggi daripada
harga pasar) dan menanggung hutang perusahaan. Untuk menilai hutang yang ditanggung, pembeli dapat menguranginya dengan kas
yang ada di dalam perusahaan. Dengan kata lain dalam perhitungan
enterprise value utang dan kas diperhitungkan untuk memperoleh nilai
wajar perusahaan, bukan hanya sahamnya saja. d. Price Earning Ratio Method Alternatif ini memerlukan informasi mengenai proyeksi futures earning perusahaan, expected return for equity invesment, expected return on invesment dan historical price earning ratio. Informasiinformasi tersebut digunakan untuk menetukan target price earning ratio dan kemudian dibandingkan dengan rata-rata industrinya. e. Discounted Cashflow Approach Melalui cara ini penilai akan mendiskontokan expected cashflow dan membandingkannya dengan market value perusahaan. f. Nilai Appraisial Nilai appraisial suatu perusahaan dapat diperoleh dari appraised independent. Nilai ini sering dihubungkan dengan biaya penempatan. Nilai appraisial dari suatu perusahaan akan bermanfaat sewaktu digunakan dalam hubungannya dalam metode penilaian yang lain. Nilai appraisial juga akan berguna dalam situasi tertentu seperti dalam perusahaan keuangan, perusahaan sumber daya alam atau organisasi yang beroperasi dalam keadaan rugi. g. Nilai Pasar Saham Nilai pasar saham sebagaimana dinyatakan dalam kondisi pasar modal adalah pendekatan lain untuk memperkirakan nilai bersih dari suatu bisnis. Pendekatan nilai adalah salah satu yang paling sering
44
45
dipergunakan dalam menilai perusahaan besar dan sering juga
digunakan untuk menentukan harga perusahaan.
Pendekatan chop-shop pertama kali diperkenalkan oleh Dean Lebaron dan Laurence Speidell of Batterymarch Management. Secara khusus ia
menekankan untuk mengidentifikasikan perusahaan multi indistri yang
h. Nilai Chop-Shop
berada di bawah nilai dan akan bernilai lebih apabila dipisahkan
menjadi bagian-bagian. Pendekatan chop-shop menekankan nilai
perusahaan dengan berbagai segmen bisnis mereka. Pendekatan chopshop secara aktual terdiri dari 3 tahap, yaitu : 1) Mengidentifikasikan berbagai segmen bisnis perusahaan dan mengkalkulasikan rasio kapitalisasi rata-rata untuk perusahaan dalam industri tersebut. 2) Mengkalkulasikan nilai pasar teoritis di atas setiap rasio kapitalisasi. 3) Rata-ratakan nilai pasar tertulis untuk menentukan nilai chop-shop perusahaan.
Penilaian nilai perusahaan pada umumnya menggunakan tiga pendekatan diantaranya : 1. Berdasarkan Harga Saham Menurut Fama (1978) dalam Wahyudi (2006), nilai perusahaan akan tercermin dari harga sahamnya. Harga pasar dari saham perusahaan yang terbentuk antara pembeli dan penjual disaat terjadi transaksi disebut nilai pasar perusahaan, karena harga pasar saham dianggap cerminan dari nilai aset perusahaan sesungguhnya. Dalam penilaian saham dikenal adanya tiga jenis nilai, yaitu nilai buku, nilai pasar dan nilai intrinsik. Nilai buku merupakan nilai yang dihitung berdasarkan pembukuan perusahaan penerbit saham. Nilai pasar adalah nilai saham di pasar yang ditunjukan oleh harga saham tersebut di pasar.
45
46
Sedangkan nilai intrinsik, atau yang dikenal juga dengan nilai teoritis, adalah
nilai saham yang sebenarnya atau yang seharusnya terjadi.
Investor berkepentingan untuk mengetahui informasi dari ketiga nilai tersebut sebagai dasar penilaian kinerja saham. Keputusan membeli atau
menjual harga saham akan sangat bergantung kepada hasil perbandingan nilai
intirnsik dengan nilai pasar saham yang dilakukan investor. Menurut Husnan (2001:288), pedoman perbandingan yang digunakan adalah sebagai berikut: a. Apabila nilai intrinsik (NI) > nilai pasar (NP), maka saham undervalued
(harganya terlalu murah). Keputusan yang dapat diambil investor adalah membeli atau menahan saham apabila telah dimiliki sebelumnya. b. Apabila nilai intrinsik (NI) < nilai pasar (NP), maka saham overvalued (harganya terlalu mahal). Keputusan yang diambil investor adalah menjual saham. c. Apabila nilai intrinsik (NI) = nilai pasar (NP), maka harga saham wajar dan berada pada kondisi seimbang. Untuk mengetahui nilai saham, ada banyak pendekatan yang dilakukan investor. Namun secara keseluruhan pendekatan tersebut dapat dikategorikan ke dalam dua klasifikasi, yaitu analisis fundamental dan analisis teknikal. 2. Rasio Tobin’s Q Nilai perusahaan diukur dengan Tobin’s Q. Nilai perusahaan juga dapat diukur dengan rasio Tobin’s Q (Q Ratio). Rasio ini dikembangkan oleh James Tobins pada tahun 1969 dari Yale University, penerima Nobel di bidang ekonomi, yang memberikan hipotesa bahwa kombinasi dari nilai pasar seluruh perusahaan dalam pasar modal harus sama dengan biaya penggantinya
(replacement
costs).
Q
ratio
merupakan
rasio
membandingkan nilai pasar saham perusahaan dengan nilai bukunya. Tobin’s Q dihitung dengan rumus : {
}
46
yang
47
Keterangan :
CP
= Closing Price
TL
= Total Liabilities = Inventory
I
CA
= Current Assets
TA
= Total Assets
Nilai Q yang rendah (antara 0 dan 1) berarti bahwa biaya pengganti dari
suatu asset perusahaan adalah lebih besar dibandingkan dengan nilai dari
harga sahamnya. Ini mengimplikasikan bahwa saham tersebut dinilai rendah (undervalued). Pengukuran dari penilaian saham ini adalah faktor pendorong di balik pengambilan keputusan investasi dalam model Tobins’Q. 3. Price to Book Value Nilai perusahaan yang dibentuk melalui indikator nilai pasar saham, sangat dipengaruhi
oleh
peluang-peluang
investasi.
Pengeluaran
investasi
memberikan sinyal positif tentang pertumbuhan perusahaan di masa yang akan datang, sehingga meningkatkan harga saham sebagai indikator nilai perusahaan (signaling theory). Untuk pertumbuhan harga saham, nilai perusahaan dapat diukur dengan Price Book Value (PBV). Menurut (Brigham dan Gaspenki, 2000) Price to Book Value adalah perbandingan antara harga saham dengan nilai buku per saham. Dimana nilai buku per saham (book value per share) adalah perbandingan antara modal dengan jumlah sahamyang beredar ( shares outstanding). 2.3.2
Price to Book Value Nilai perusahaan sangat penting karena dengan nilai perusahaan yang
tinggi akan diikuti oleh tingginya kemakmuran pemegang saham. Kemakmuran pemegang saham dan perusahaan dipresentasikan oleh harga pasar dari saham yang merupakan cerminan dari keputusan investasi, pendanaan (financing) , dan
47
48
managemnet asset. Oleh karena itu penulis menggunakan rasio Price to Book Value untuk mengetahui perkembangan harga pasar dari saham.
Menurut Brigham (2006), Price to Book Value merupakan rasio yang
mengukur nilai yang diberikan pasar keuangan kepada manjemen dan organsisasi
perusahaan sebagai perusahaan yang terus tumbuh. Rasio ini membandingkan antara harga pasar per lembar saham (market price per
share) dengan nilai buku per lembar saham. Dimana nilai buku per lembar saham value per share) adalah perbandingan antara modal dengan jumlah saham (book
yang beredar. Nilai buku (book value per share) menunjukan aktiva bersih (net assets) per lembar saham yang dimiliki oleh pemegang saham. Rumus Price to Book Value dan Book Value adalah sebagai berikut:
Dimana Book Value per Share dihitung dengan menggunakan rasio :
Harga pasar per lembar saham (market price per share) adalah ukuran yang penting karena harga pasar per lembar saham merupakan nilai yang dicatat pada saat saham dijual oleh perusahaan, maka besarnya nilai pasar bursa pada saat tertentu ditentukan oleh pelaku pasar. Harga pasar saham ditentukan oleh permintaandan penawaran saham bersangkutan di pasar bursa. Nilai buku per lembar saham (book value per share) tidak menunjukan ukuran kinerja saham yang penting, tetapi nilai buku per lembar saham dapat mencerminkan berapa besar jaminan yang akan diperoleh oleh pemegang saham apabila perusahaan penerbit saham dilikuidasi.
48
49
Horne dan Waehowice (2002) dalam bukunya Prinsip-Prinsip Manajemen Keuangan mendefinisikan nilai pasar per lembar saham merupakan harga yang
berlaku dimana saham diperdagangkan.
Nilai pasar cenderung naik bila suatu saham mengalami kelebihan
permintaan, dan bila terjadi kelebihan penawaran, maka nilai pasar suatu saham
akan cenderung turun (Denda:2004)
Semakin tinggi harga pasar saham, semakin berhasil perusahaan
menciptakan nilai bagi pemegang saham. Keberhasilan perusahaan menciptakan
nilai tersebut tentunya memberikan harapan kepada pemegang saham berupa keuntungan yang lebih besar pula (Sartono:2001). Price to Book Value yang tinggi mencerminkan harga saham lebih tinggi dibandingkan nilai buku per lembar saham.
49