BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Status Gizi Status gizi merupakan suatu keadaan tubuh akibat interaksi antara asupan energi dan protein serta zat-zat gizi esensial lainnya dengan keadaan kesehatan tubuh (Sri, 2008). Status gizi menjadi sangat penting karena salah satu faktor risiko untuk terjadinya kesakitan dan kematian. Status gizi yang baik bagi seseorang akan berkontribusi terhadap kesehatannya dan juga terhadap kemampuan dalam proses pemulihan. Status gizi masyarakat dapat diketahui melalui penilaian konsumsi pangannya berdasarkan data kuantitatif maupun kualitatif (Supariasa et al, 2013). Definisi lain mengenai status gizi adalah ekspresi dari keseimbangan zat gizi dengan kebutuhan tubuh yang diwujudkan dalam bentuk variable tertentu. Ketidakseimbangan antara zt gizi dengan kebutuhan tubuh akan menyebabkan kelaianan paotologi bagi tubuh manusia. Kelainan patologi yang terjdi disebut malnutrition atau kelainan gizi (Gibson, 2005). Untuk menentukan klasifikasi status gizi harus memiliki ukuran baku yang sering disebut reference. Baku antropometri yang sering digunakan di Indonesia yaitu World Health Organization-National Centre for Health Statistik (WHO-NCHS). Berdasarkan baku WHO-NCHS status gizi dibagi menjadi empat yaitu, gizi lebih (over weight), gizi baik (well nourished), gizi kurang (under weight), dan gizi buruk (severe PCM) (Supariasa et al, 2013).
2.2 Penilaian Status Gizi Peran dan kedudukan Penilaian Status Gizi (PSG) di dalam ilmu gizi merupakan untuk mengetahui status gizi pada individu atau masyarakat. Menurut Hartriyanti (2007), PSG adalah interpretasi dari data yang didapatkan dengan menggunakan berbagai metode untuk mengidentifikasi populasi atau individu yang berisiko atau dengan status gizi buruk. Metode penilaian status gizi terdiri dari dua metode yaitu, metode langsung dan metode tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung meliputi metode biokimia, antraopometri, klinik dan biofisik. Sedangkan metode tidak langsung adalah metode konsumsi makanan, statistik vital dan faktor-faktor ekologi. Metode penilaian status gizi yang banyak digunakan yaitu antropometri (Supariasa et al, 2013).
Antropometri Metode antropometri merupakan ilmu yang mempelajari secara khusus tentang pengukuran tubuh manusia untuk merumuskan perbedaan-perbedaan ukuran pada tiap individu atau kelompok. Secara umum, antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan konsumsi energi dan protein dilihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh (Tjahyani, 2011). Penentuan status gizi dengan menggunakan metode antropometri memiliki beberapa keuntungan sebagai berikut: 1. Prosedur pengukurannya sederhana, aman, tidak invasive sehingga dapat dilakukan di lapangan dan cocok dengan jumlah sampel yang besar. 2. Alat yang dibutuhkan tidak mahal, mudah di bawa, serta tahan dan dapat dibuat atau dibeli di setiap wilayah.
3. Tidak membutuhkan tenaga khusus dalam pelaksanaannya. 4. Metode yang digunakan tepat dan akurat, sehingga standarisasi pengukuran terjamin. 5. Hasil yang diperoleh menggambarkan keadaan gizi dalam jangka waktu yang lama dimana tidak dapat diperoleh dengan tingkat kepercayaan yang sama dengan teknik lain. 6. Prosedur ini dapat membantu mengidentifikasi tingkat malnutrisi ringan sampai berat. 7. Metode ini dapat digunakan untuk mengevaluasi terjadinya perubahan yang terjadi dari satu generasi ke generasi berikutnya, suatu fenomena yang dikenal sebagai secular trend. 8. Dapat digunakan sebagai skrining test untuk mengidentifikasi individu yang memeliki resiko tinggi terjadinya malnutrisi. Untuk ukuran antropometri terdiri dari dua tipe yaitu, ukuran pertumbuhan tubuh dan komposisi tubuh. Ukuran pertumbuhan meliputi, tinggi badan atau panjang badan, lingkar kepala, lingkar dada, tinggi lutut. Sedagkan pengukuran komposisi tubuh dapat melalui ukuran, berat badan, lingkar lengan atas, dan tebal lemak bawah kulit. Ukuran pertumbuhan lebih menggambarkan pada keadaan gizi masa lampau dan ukuran komposisi tubuh menggambarkan keadaan gizi masa sekarang (saat pengukuran) (Sri, 2008). Indikator status gizi yang didasarkan pada ukuran Berat Badan (BB) dan Tinggi Badan (TB) disajikan dalam bentuk indeks yang terkait dengan Umur (U) atau kombinasi antara keduanya. Indeks antropometri yang sering digunakan antara lain,
berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) Anak Umur 0-60 Bulan Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) Anak Umur 0-60 Bulan Berat Badan menurut Panjang Badan (BB/PB) atau Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) Anak Umur 060 Bulan
Gizi Buruk Gizi Kurang Gizi Baik Gizi Lebih
Ambang Batas (Z-Score) <-3 SD -3 SD sampai dengan <-2 SD -2 SD sampai dengan 2 SD >2 SD
Sangat Pendek Pendek Normal Tinggi
<-3 SD -3 SD sampai dengan <-2 SD -2 SD sampai dengan 2 SD >2 SD
Sangat Kurus Kurus Normal Gemuk
<-3 SD -3 SD sampai dengan <-2 SD -2 SD sampai dengan 2 SD >2 SD
Kategori Status Gizi
Sangat Kurus <-3 SD Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD Normal -2 SD sampai dengan 2 SD Gemuk >2 SD Sumber : Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, 2011 Indeks Masa Tubuh menurut Umur (IMT/U) Anak Umur 0-6 Bulan
2.3 Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi 2.3.1 Faktor Langsung Faktor secara langsung yang mempengaruhi status gizi pada balita gizi kurang atau gizi buruk antara lain: 1. Asupan Makanan Asupan gizi sangat mempengaruhi status gizi seseorang. Anak yang mendapatkan asupan yang baik tetapi sering mengalami diare dapat menyebabkan anak menderita gizi kurang. Asupan makanan juga tergantung pada pendapatan, agama, adat istiadat, dan pendidikan keluarga. 2. Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi dapat berdampak pada gizi kurang dan sebaliknya gizi kurang akan memperparah penyakit infeksi yang diderita. Penyakit infeksi yang paling sering menyebabkan gangguan gizi adalah ISPA terutama tuberkulosis dan diare. Sehingga dapat dilihat interaksi antara asupan makanan yang kurang dan infeksi merupakan dua hal yang saling mempengaruhi (Soekirman, 2000).
2.3.2 Faktor Tidak langsung Faktor secara tidak langsung yang mempengaruhi status gizi pada balita gizi kurang atau gizi buruk antara lain: 1. Ketahanan Pangan Kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga dalam jumlah yang cukup dan baik mutunya. Hal ini terkait dengan masalah pekerjaan atau penghasilan keluarga. Apabila penghasilan tidak cukup untuk membeli bahan makanan, maka asupan gizi tiap anggota keluarga akan berkurang yang berdampak pada kesehatan dan perkembangan otak mereka. Ketahanan pangan tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau. Ketersediaan pangan yang kurang dapat berakibat pada kurangnya pemenuhan asupan nutrisi dalam keluarga itu sendiri. Rata-rata asupan kalori dan protein anak balita di Indonesia masih di bawah Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dapat mengakibatkan anak balita mengalami gizi kurang atau gizi buruk. Oleh karena itu penanganan masalah gizi ini tidak hanya melibatkan sector kesehatan saja, namun juga melibatkan lintas sektor lainnya. Ketersediaan pangan merupakan salah satu faktor penyebab kejadian status gizi kurang. Hasil penelitian Fauziati (2007) menyatakan bahwa, diantara 50
keluarga yang berasal dari keluarga dengan ketahanan pangan atau ketersediaan pangan keluarga cukup, terjamin terdapat 20% berstatus gizi lebih, 32 keluarga dengan ketahanan pangan dengan tingkat kelaparan tingkat ringan terdapat 43,7% dengan status gizi kurang, 16 keluarga rawan pangan tingkat sedang terdapat 68,7% balita dengan status balita gizi kurang, 2 keluarga rawan pangan tingkat berat 100 % berstatus gizi buruk. Hal ini dipengaruhi oleh rendahnya tingkat pendapatan. 2. Pola Asuh Pola pengasuhan salah satunya berkaitan dengan pola konsumsi dalam keluarga. Pola konsumsi ini ditentukan oleh jumlah dan frekuensi pangan yang tersedia, pemasakan, distribusi dalam keluarga serta kebiasaan makan perorangan (Soekirman, 2000). Pola pengasuhan ini juga yang memiliki arti kemampuan keluarga untuk memberikan perhatian, waktu dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dengan baik seperti, pemberian ASI Eksklusif, makanan pendamping ASI dan waktu penyapihan ASI. 3. Pelayanan Kesehatan dan Sanitasi Lingkungan Tersedianya air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh seluruh keluarga. Sistem pelayanan kesehatan yang ada diharapkan dapat menjamin penyediaan air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan. Ini terkait dengan tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan khususnya pada ibu. Jika makin tinggi pendidikan, pengetahuan ibu kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan serta pola pengasuhan anak (Soekirman, 2000).
Ketiga faktor tersebut saling berkaitan dengan tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki keluarga. Penelitian Nuris (2013) menyatakan bahwa faktor pengetahuan dan sikap ibu dalam pemberian makan anak sangat berhubungan dengan status gizi kurang anak balita. Faktor ekologi lain yang memepengaruhi status gizi kurang pada balita secara tidak langsung yaitu budaya, pengaruh budaya terkait dengan sikap terhadap pemberian makanan misalnya, pantangan, mitos (tahayul dan tabu) dalam masyarakat, jumlah anak yang terlalu banyak dan jarak kelahiran yang terlalu dekat dalam keluarga serta pengoalahan bahan makanan dalam keluarga masih menggunakan cara tradisonal sehingga akan mempengaruhi konsumsi zat gizi dalam suatu keluarga. Selain itu, faktor geografis tempat tinggal mempengaruhi akses terhadap pangan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Besarnya keluarga sehingga dalam pembagian jumlah konsumsi berbeda satu sama lainnya. Berdasarkan penelitian Aeda (2006), tingkat pendidikan ibu dan pendapatan keluarga memiliki pengaruh terhadap status gizi balita. Faktor lain yang mempengaruhi status gizi balita adalah lama kerja ibu, menurut penelitian Utari (2011) bahwa lama kerja berpengaruh terhadap status gizi anak balita.
2.4 Konsumsi Zat Gizi Konsumsi zat gizi merupakan banyaknya atau jumlah asupan zat gizi yang dikonsumsi seseorang dalam bentuk satuan zat gizi masing-masing. Tubuh sangat memerlukan zat gizi yang baik. Zat gizi yang dibutuhkan tubuh terdiri dari dua yaitu zat gizi makro dan zat gizi mikro. Zat gizi makro (makro nutrient) berfungsi untuk menyuplai energi untuk kebutuhan tubuh. Kelompok dari zat gizi makro terdiri dari karbohidrat, lemak, dan protein. Sedangkan kelompok dari zat mikro yaitu golongan vitamin dan mineral (Harper et.al, 1986).
2.4.1
Konsumsi Energi Energi adalah suatu hasil dari metabolisme karbohidrat, protein dan lemak.
Energi memiliki fungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan, pengaturan suhu dan kegiatan fisik. Energi yang berlebihan akan disimpan dalam bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk lemak sebagai cadangan jangka panjang (Ari, 2011). Pangan sumber energi yang kaya lemak antara lain lemak/gajih dan minyak, alpokat, biji berminyak (biji wijen, bunga matahari dan kemiri), santan, coklat, kacangkacangan dengan kadar air rendah dan aneka pangan produk (Rahman, 2012). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013 angka kecukupan energi perorang perhari sebagai berikut :
Tabel 2.2 Angka Kecukupan Energi Perorang Perhari menurut Umur Kelompok Umur Energi (kkal) 0-6 bulan 550 7-11 bulan 725 1-3 tahun 1125 4-6 tahun 1600
2.5 Survei Konsumsi Survei konsumsi merupakan metode yang dapat digunakan untuk menentukan status gizi perorangan atau kelompok. Tujuan dari survei konsumsi yaitu untuk mengetahui kebiasaan makan, gambaran tingkat kecukupan bahan makanan, dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga serta perorangan. Berdasarkan jenis data yang didapat, metode survei konsumsi terdiri dari metode kualitatif, kuantitatif dan gabungan keduanya. Metode kualitatif antaralain, metode frekuensi makanan, dietary
history, metode telepon, metode food list. Metode kuantitatif antara lain, metode recall 24 jam, penimbangan makanan, metode food account, estimate food record, intentory method, dan metode pencatatan. Sedangkan gabungan dari kedua metode tersebut biasanya menggunakan recall 24 jam dan riwayat makanan (Suyanto, 2012). SQ-FFQ adalah salah satu tipe dari Food Frequency Questionnaire yang berisi tambahan berupa porsi makanan (kecil, sedang, dan besar). Food Frequency Questionnaire (FFQ) merupakan sebuah kuesioner yang memberikan gambaran konsumsi energi dan zat gizi lainnya dalam bentuk frekuensi konsumsi seseorang. Frekuensi tersebut antaralain harian, mingguan, bulanan, dan tahunan yang kemudian dikonversikan menjadi konsumsi per hari. FFQ memberikan gambaran pola atau kebiasaan makan individu terhadap zat gizi. Bahan makanan dan makanan yang tercantum dalam FFQ tersebut dapat dibuat sesuai kebutuhan peneliti dan sarana penelitian. Hasil FFQ dapat memberikan prediksi terhadap sumber makanan yang mengandung zat gizi tertentu misalnya vitamin C berasal dari jus buah dan buah segar (Umi, 2007).