BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Jasa
Menurut Tjiptono (2009) ”Service (jasa) umumnya mencerminkan produk tak berwujud
fisik (intangible) atau sektor industry spesifik, seperti pendidikan, kesehatan, telekomunikasi, transporasi, asuransi,perbankan,perhotelan, konstruksi, perdagangan rekreasi dan seterusnya”
Definisi jasa menurut Lovelock (2010): “Services are economic activities offered by one party to another. Often time-based, performances bring about desired result to recipients, objects, or another asset for which purchasers have responsibility”. Berdasarkan pengertian diatas, penulis dapat menyimpulkan jasa pada dasarnya merupakan suau kegiatan yang memiiki beberapa unsur ketakberwujudan yang berhubungan dengannya, dan memberikan manfaat kepada pihak-pihak terkait.Dengan pihak penyedia jasa memperhatikan dan mengetahui karakteristik dari jasa yang mereka sediakan agar dapat memenuhi keperluan dan keinginn konsumen. Misalnya, pelanggan speedy PT. Telkom Indonesia tidak dapat melihat bentuk fisik dari internet speedy seerti apa, hanya bisa menikmatinya saja, dan keberwujudan internet speedy tersebut tidak bisa dimiliki. Brown, et al. (1996:33) dalam Tjiptono (2009:338) mengatakan bahwa pemulihan jasa merupakan rute alternative menuju kepuasan pelanggan (encounter satisfaction). Penyampaian Jasa
Encounter Satisfaction
Kegagalan Jasa
Pemulihan Jasa
1
saat terjadi penyampaian jasa perspektif berfokus pada transaksi menekankan kepuasan
pelanggan pada “moment of truth” yaitu saat konsumen berinteraksi dengan penyedia jasa (Zheitaml & Bitner, 1996). Jadi saat terjadi penyampaian jasa, maka pelanggan akan mempunyai persepsi sendiri dengan membandingkan kinerja jasa dengan ekspektasi jasa pada level frontline penyampaian jasa atau pada transaksi jasa spesifik tertentu (Bitner & Hubert, 1994)
2.2 Service Failure
Hoffman & Bateson, 1997 dalam Tjiptono (2009: 311) menyebutkan bahwa kegagalan
jasa (service failure) didefinisikan sebagai gangguan, keterlambatan atau kemacetan dalam
penyampaian jasa, bisa pula di artikan sebagai jasa yang tidak memenuhi harapan pelanggan.
Menurut Lovelock dan Wrigth (2007:144) menyebutkan bahwa kegagalan jasa adalah
persepsi pelanggan bahwa satu aspek tertentu atau lebih dalam penyerahan jasa tidak memenuhi harapan mereka. Menurut peneliti service failure adalah kegagalan jasa yang dirasakan oleh pelanggan atas layanan yang diberikan oleh penyedia jasa. 2.2.1 Sumber Penyebab Kegagalan Jasa Kegagalan layanan (Service failure) dapat terjadi dalam organisasi yang mengakibatkan kehilangan banyak pelanggandan secara potensial hal ini berarti peusahaan telah kehilangan jutaan dollar. Suatu organisasi tidak akan luput dari kegagalan jasa, baik yang disebabkan dari faktor internal maupun faktor eksternal suatu organisasi. Menurut Fandy Tjiptono (2009:316) penyebab kegagalan jasa terbagi menjadi 4 kategori, seperti di bawah ini : SUMBER PENYEBAB KEGAGALAN JASA No
Kategori
Deskripsi
Contoh
1
Layanan
Layanan yang tidak tersedia:
Masakan
produk keliru
gosong, atau masih mentah.
Harga keliru
2
terlalu
Harus
membayar
mahal
dari
dingin,
lebih
seharusnya;
No
Kategori
Deskripsi
Contoh harus
membayar
ekstra
untuk parkir.
Kamar hotel belum siap
Layanan yang terlalu lambat:
digunakan ; terlalu lama
Menunggu Kelamaan
menunggu
2
masakan.
Tindakan
karyawan yang tidak sepatutnya
Penyedia Jasa
dan
perilaku Humor yang ofensif; sikap kasar; tutur bahasa tidak sopan; bad mood.
3
pesanan
Hal-hal di luar Faktor lingkungan nonmanusia
Cuaca buruk (seperti badai
Kendali Penyedia
salju,
Jasa
seterusnya);
hujan
lebat
dan
Perilaku organisasi lain penundaan
penerbangan;
jaringan listrik padam 4
Pelanggan
Perilaku pelanggan yang tidak Lelah; bisa dihindari
kecelakaan
(persewaan mobil); sakit; cedera.
Perilaku pelanggan yang bisa Tamu hotel datang terlalu dihindari
cepat; ketinggalan bis; lupa memesan.
Perilaku pelanggan lain
Berisik; merokok; mabuk
Tabel 2.1 Sumber Penyebab Kegagalan Jasa Sumber: Fandy Tjiptono (2009:316)
3
2.2.2 Kategori Kegagalan Jasa
Dalam Tjiptono (2009), Hoffman dan Bateson (1997 :327) berkata bahwa kegagalan jasa (service failures) dapat dikategorika ke dalam 3 kategori utama, yaitu: 1. Kegagalan dalam sistem penyampaian jasa (service delivery system failures) Kegagalan dalam sistem penyampaian jasa merupakan kegagalan perusahaan dalam menyediakan
jasa inti. Secara umum, kegagalan dalam system penyampaian jasa terdiri dari respon karyawan terhadap 3 tipe kegagalan, yaitu:
Jasa yang tidak tersedia (unavailable service), yang merujuk pada jasayang normalnya tersedia namun kurang tersedia atau tidak tersedia
Jasa yang lambat secara tidak masuk akal (unreasonably slow service),yaitu jasa
atau karyawan yang pelanggan rasa luar biasa lambat dalammenyelesaikan
fungsinya.
Kegagalan jasa inti lainnya (other core service failures), yaitu gangguanjasa inti lainnya atau tindakan yang tidak sesuai dengan harapan pelanggan. Misalnya makanan yang sudah dingin, pesawat yang kotor, dan bagasi yang keliru di tangani (industry jasa penerbangan)
2. Respon terhadap kebutuhan dan permintaan pelanggan (responses to customer needs and requests) Tipe kedua dari kegagalan jasa ini merujuk pada karyawan yang meresponkebutuhan dan permintaan khusus konsumen secara individual.Kebutuhankonsumen dapat bersifat implisit atau eksplisit.
Kebutuhan implisit (implicit needs) merupakan kebutuhan pelanggan yangtidak diminta namun dapat terlihat jelas oleh penyedia jasa. Sebagaicontoh ialah perhatian terhadap kesehatan pelanggan yang terlihat kurangbaik, atau pemberitahuan kepada pelanggan saat terjadi keterlambatan.
Permintaan eksplisit (explicit requests) merupakan kebutuhan pelangganyang diminta secara jelas.
3. Tindakan karyawan yang tidak tepat dan tidak diharapkan (unprompted and unsolicited employee action) Tipe ketiga kegagalan jasa ini berkaitan dengan kejadian dan sikap karyawan yang baik maupun yang buruk - yang tidak diharapkan oleh pelanggan.Tindakan-tindakan tersebut 4
tidak diminta oleh pelanggan ataupun termasukdalam sistem penyampaian inti. Tipe ini dikategorikan dalam 5 grup, yaitu:
Tingkat perhatian (level of attention), yaitu perhatian baik bersifat positifataupun negatif yang diberikan kepada pelanggan oleh karyawan. Tingkatperhatian negatif
dengan
karyawan
yang
bersikap
buruk,mengabaikan
pelanggan, dan sikap karyawan yang menunjukkan perilakukonsisten dengan
berkaitan
sikap tak acuh.
Tindakan yang tak lazim (unusual action), yaitu kejadian baik maupunyang buruk dimana seorang karyawan merespon dengan sesuatu yang diluar kelaziman. Sayangnya, sebuah tindakan yang tak lazim dapat jugaberarti
kejadian yang negatif. Tindakan karyawan seperti ketidaksopanan,kekasaran, dan
sentuhan tidak pantas dapat dikualifikasikan sebagaitindakan tak lazim.
Norma budaya (cultural norms) merujuk pada tindakan yang secara positifmemperkuat norma-norma budaya seperti persamaan hak, keadilan, dankejujuran,
ataupun
tindakan
melanggar
norma-norma
budaya
suatumasyarakat. Pelanggaran dapat termasuk sikap diskriminasi, tindakan tidakjujur seperti berbohong, berbuat curang, dan mencuri, serta aktifitas lainyang dianggap tidak adil oleh pelanggan.
Gestalt merujuk pada evaluasi pelanggan yang diciptakan secara holistic dan lebih dinyatakan dalam istilah-istilah secara keseluruhan daripada dideskripsikan dalam kejadian yang berlainan.
Kondisi berlainan (adverse conditions) mencakup tindakan karyawan yangpositif maupun yang negatif di bawah kondisi tertekan. Apabila seorangkaryawan mengambil tindakan kontrol efektif terhadap situasi saat orang-orang di sekitarnya ”kehilangan akal”, pelanggan akan terkesan olehtindakan karyawan di bawah kondisi berlainan tersebut.
5
2.2.3 Tanggapan Pelanggan Terhadap Kegagalan Jasa
Menurut Tjiptono (2009:317) paling tidak terdapat 4 kemungkinan respon pelanggan
terhadap kegagalan jasa :
1. Tidak melakukan apa-apa. Maksudnya mereka tidak menyampaikan komplainnya kepada
siapapun. Namun kebanyakan di antara mereka praktis sudah beralih ke pemasok atau penyedia
jasa lain.
2. Berhenti membeli produk/jasa perusahaan yang bersangkutan atau menyampaikan
negative/bad word-of-mouth kepada keluarga, rekan sejawat, maupun orang dekat lainnya
(private action).
3. Menyampaikan komplain secara langsung dan/atau meminta kompensasi kepada perusahaan maupun penyalurnya.Paling tidak, perusahaan mendapatkan umpan balik berharga dari berbagai komplain yang disampaikan dan ada peluang untuk mengatasi masalah sebelum menyebar luas (apalagi sampai merusak perusahaan). Hasil riset TARP menunjukan bahwa hanya 4% diantara para pelanggan yang memiliki masalah yang secara actual menyampaikan complain kepada perusahaan (Albrecht & Zemke, 1985). Sisanya 96% tetap tidak puas dan menyampaikan kepada sekitar Sembilan hingga kesepuluh orang lain mengenai ketidakpuasannya. Manakala mereka mengalami jasa yang mengecewakan, mereka langsung beralih pemasok, melakukan komunikasi gethok luar tular negative atau bahkan kedua-duanya.(Stephens & Gwinner, 1998). 4. Mengadu lewat media massa, (misalnya, menulis di “Surat Pembaca” surat kabar), mengadu ke lembaga konsumen atau instansi pemerintah terkait, dan/atau menuntut produsen /penyedia jasa secara hokum. Ini merupakan bentuk complain yang paling di takuti oleh perusahaan. Komunikasi pemasaran dan Public relations memegang peranan vital dalam mengantisipasi dan menangani kemungkinan terjadinya bentuk complain ini.
6
Terjadi ketidakpuasan
Tidak Mengambil Tindakan
Mengambil Tindakan
Melakukan Private
Melakukan Direct Action
Melakukan Public Action
Berhenti membeli Produk/Merek/Berbelanja di perusahaan tersebut
Menempuh jalur hukum untuk mendapatkan ganti rugi
Memperingatkan Rekan/Keluarga Mengenai produk/merek/perusahaan bersangkutan
Menuntut ganti rugi dari produsen atau distributor
Menempuh jalur hukum untuk mendapatkan ganti rugi
Gambar 2.1 Tanggapan Pelanggan Terhadap Ketidakpuasan Sumber: Fandy Tjiptono (2009) 7
Komplain ke instansi pemerintah/swasta
2.3 Handling Complain
2.3.1 Empat Tipe Respon Terhadap Ketidakpuasan
Berdasarkan hasil studi lebih lanjut yang di lakukan oleh Singh dalam Tjiptono (2009:321) menunjukan bahwa terdapat empat tipe respon terhadap ketidakpuasan :
1. Passive (14%) jarang mengambil tindakan bila merasa tidak puas. Mereka tidak merasa
ada manfaat sosial dari complain. Lagipula, norma pribadi mereka tidak mendukung aktivitas kompain
2. Voices (37%) jarang melakukan private atau public action. Sebaliknya, mereka memilih
meakukan direct action, misalnya komplain langsung ke perusahaan atau penyedia jasa
bersangkutan. Mereka yakin bahwa direct action bakal memberikan manfaat sosial dan norma pribadi mereka mendukung hal itu.
3. Irates (21%) melakukan private action di atas tingkat rata-rata dan direct action dengan tngkat rata-rata, namun public action dengan tingkat yang rendah. Mereka meyakini bahwa complain memiliki manfaat sosial dan norma mereka mendukungnya. 4. Activists (28%) lebih besar kemungkinannya melakukan private, direct, dan khususnya public action. Mereka sangat yakin bahwa complain memberikan manfaat sosial dan norma pribadi mereka mendukung itu. 2.3.2 Faktor Penyebab Pelanggan Tidak Melakukan Komplain Konsumen yang tidak complain belum tentu puas, berdasarkan penelitian A.C Nielsen (Tjiptono 2009: 325) melaporkan bahwa hanya 2% dari parapelanggan yang tidak puas yang secara actual menyampaikan komplain kepada organisasi bersangkutan, beberapa faktor penyebab hal tersebut yaitu : 1. Pelanggan tidak yakin apabila perusahaan bakal melakukan tindakan korektif untuk menyeesaikan masalah. 2. Dibutuhkan waktu untuk menulis surat, menelepon atau datang langsung ke toko untuk menyampaikan complain 3. Sebagian konsumen tidak memahami bagaimana cara menyampaikan complain, misalnya siapa yang harus di kontak, ke mana surat complain harus ditujukan, atau bagaimana 8
mendapatkan mendapakan informasilengkap mengenai orang yang harus di hubungi. Hal ini di perparah dengan birokrasi antar perusahaan yang berbeda-beda.
4. Sebagian konsumen juga semakin merasa enggan untuk melakukan complain karena mengetahui pengalaman complain pelanggan lainnya di masa lalu gagal. 2.4 Service Recovery
Armistead et al., (1995:5) mendefinisikan service recovery merupakan tindakan spesifik
yang di lakukan untuk memastikan bahwa pelanggan mendapatkan tingkat pelayanan yang pas setelah terjadi masalah-masalah dalam pelayanan secara normal. Sedangkan menurut Zemke dan
Bell (1990:43) menyebutkan bahwa service recovery merupakan hasil suatu pemikiran, rencana dan proses untuk menebus kekecewaan pelanggan menjadi puas terhadap organisasi setelah pelayanan yang di berikan mengalami masalah/kegagalan. Menurut penulis, service recovery yaitu, upaya perusahaan dalam memperbaiki kegagalan layanan (service failure) yang telah dirasakan oleh pelanggan. Bowen dan Johnston, 1999 dalam Tjiptono (2009:337) menyebutkan bahwa aktivitas yang di perlukan dalam rangka memulihkan layanan pelanggan meliputi empat aspek. 2.4.1 Aktivitas Dalam Rangka Memulihkan Layanan Pelanggan (Service Recovery) 1. Respon Pengakuan bahwa telah terjadi masalah atau kegagalan jasa; permohonan maaf; empati; respon yang cepat; keterlbatan manajemen. 2. Informasi Penjelasan atas kegagalan yang terjadi; mendengarkan pandangan pelanggan terhadap solusi yang di harapkan; menyepakati solusi; menjamin bahwa menjamin bahwa masalh yangs ama tidak akan terulang lagi; permohonan maaf tertulis.
9
3.Tindakan
Koreksi atas kegagalan atau kesalahan; mengambil langkah-langkah perbaikan, seperti
mengubah prosedur untuk mencegah terulangnya masalah di kemudian hari; melakukan tindak lanjut untuk memeriksa dampk setelah pemulihan jasa.
4.Kompensasi
Token compensation, kompensasi ekuivalen atau pengembalian uang atau “big gesture” compensation.
Seperti dikutip dari Hoffman & Kelley, 2000; Mattila, 2001 dalam Tjiptono (2009:338) mengatakan peranan dalam pemulihan jasa dalam pemasaran jasa sangat krusial.Kepuasan terhadap pemulihan jasa berkontribusi pada minat pembelian ulang, loyalitas dan komitmen pelanggan, trust, komunikasi gethok positif, dan persepsi pelanggan terhadap keadilan atau fairness. Dalam Tjiptono Berry dan Parasuraman (1991:34) menegaskan bahwa organisasi jasa harus berkomitmen untuk : “doing the service very right the second time”. 2.4.2 Proses Pemulihan Jasa yang Efektif dan Komprehensif Hubungan antara pemulihan jasa dan profitabiltas perusahaan dapat di jelaskan dengan konsep “service profit chain” menurut konsep Hesket et.al., 1994, laba di hasilkan dari loyalitas pelanggan, yang berasal dari kepuasan pelanggan terhadap sistem jasa. Sedangkan kepuasan pelanggan diwujudkan oleh karyawan yang puas, loyal dan produktif. Menurut Tjiptono (2009:344) kinerja pemulihan jasa dapat ditingkatkan melalui empat strategi utama, yaitu 1. Rekruitmen, seleksi, pelatihan dan pemberdayaan. Keberhasilan upaya pemulihan jasa banyak di pengaruhi oleh efektivitas karyawan lini depan yang berinteraksi langsung dengan pelanggan dan menerima complain dari mereka. Oleh sebab itu, desain system pemulihan jasa harus berfokus pada kontak pertama dengan pelanggan dan penyusunan kebijakan yang memungkinkan karayawan menangani complain secara efisien. Dengan kata lain, kinerja pemulihan jasa harus diintegrasikan dalam praktik manajemen sumber daya manusia, seperti rekruitmen dan seleksi calon karyawan; pelatihan mengenai 10
keterampilan komunikasi lisan dan tertulis, manajemen stress serta pemecahan masalah; dan pemberdayaankaryawan dalam mengambil tindakan yang dipandang perlu sesegera
mungkin dalam mengatasi masalah yang timbul.
2. Menyusun pedoman dan standar pemulihan jasa. Kinerja perusahaan jasa dapat ditingkatkan dengan cara menyusun pedoman pemulihan jasa yang berfokus pada
penciptaan kepuasan pelanggan dan keadilan (fairness). Salah satu contohnya, Samaritan Health Services di Amerika merancang kebijakan pemulihan jasa spesifik yang mencakup tiga aspek keadilan (outcome, procedural, dan interacional fairness). Standar itu disebut “AAAA” Action Plan for Service Recovery, yang meliputi Anticipate (mengantisipasi dan mengkoreksi masalah sebelum timbul), Acknowledge (mengakui
adanya kesalahan manakala itu terjadi, tanpa mencari kambing hitam atau mencari-cari alasan), Apologize (meminta maaf atas kesalahna yang terjadi, bahkan sekalipun bukan perusahaan atau karyawan yang salah), dan Amends (memberikan kompensasi atas kesalahan
yang
terjadi,
dengan
jalan
mengambil
tindakan
korektif
dan
menindaklanjutinya guna memastikan bahwa masalah itu tidak terpecahkan) 3. Menyediakan kemudahan akses dan respon yang efektif melalui call centers. Selain bermanfaat untuk mengurangi hambatan bagi keputusan pelanggan untuk menyampaikan complain, call centers juga berkontribusi atas ketiga dimensi keadilan melalui kemudahan dan kenyamanan akses (24 jam sehari, 7 hari seminggu) serta respon/ penanganan masalah yang cepat. 4. Menyusun database pelanggan dan produk. Database menyangkut pelanggan (seperti preferensi pelanggan, pembelian, dan insiden jasa), bisa menjadi sumber utama bagi pemecahan masalah dan pemulihan jasa secara cepat dan efektif. Setiap karyawan apapun posisinya wajib memberikan perhatian khusus dari complain dan pertanyaan pelanggan, dan melaporkan setiap kegagalan pada penyelia jasa, sehingga dapat di telusuri sumber masalah kegagalannya.
11
Tahap 1
Tahap 2
Identifikasi kegagalan Jasa
Pemecahan Masalah
Pelanggan
Tahap 3
Tahap 4
Komunikasi dan Klasifikasi kegagalan Jasa
Integrasi Jasa Data dan Perbaikan Jasa Keseluruhan
Perbaikan Sistem Jasa
Kepuasan Pelanggan dan Individual
Kepuasan Pelanggan dan Karyawan Keseluruhan
Mempertahankan loyalitas Pelanggan dan karyawan
Mewujudkan Loyalitas pelanggan dan karyawan
PROFIT
Gambar 2.2 Proses Pemulihan Jasa Sumber : Tax&Brown (1998:76) dalam Fandy Tjiptono (2009:353)
12
2.5 Manfaat Service Recovery
Banyak manfaat yang dapat diambil perusahaan ketika melakukan perbaikan layanan, walaupun
hal tersebut memakan biaya, tenaga dan waktu yang tidak sedikit.Namun inti dari perbaikan layanan yaitu mempertahankan pelanggan sekaligus melakukan peningkatan kualitas layanan.
Manfaat yang dapat di peroleh perusahaan dari usaha atau tindakan dalam memperbaiki
kegagalan layanannya di paparkan oleh Muddied dan Cottam dalam Tjiptono (1993) diantaranya sebagai berikut :
1. Penyedia jasa memperoleh kesempatan lagi untuk memperbaiki hubungannya dengan
pelanggan yang kecewa
2. Penyedia jasa bisa terhindar dari publisitas negative 3. Penyedia jasa akan mengetahui aspek-aspek yang perlu di benahi dalam pelayanan saat ini. 4. Penyedia jasa akan menmgetahui sumber masalah operasinya 5. Karyawan dapat termotivasi untuk memberikan pelayanan yang berkualitas lebih baik. 2.6 Pengaruh Service Recovery terhadap Kepuasan Pelanggan Min-Hsin Huang dalam jurnal nya tahun 2011 yang berjudul Re-examining the effect of service recovery: the moderating role of brand equity mengatakan bahwa “Consumer satisfaction with service recovery refers to a consumer’s subjectively derived favorable evaluation of any result and/or experience associated with a service recovery. As a result, consumer satisfaction is an outcome, whereby consumers compare benefits and sacrifice with experiencing service failure and recovery consequences”. Dengan kata lain, yang dimaksud oleh Min-Hsin Huang yaitu dengan adanya pemulihan layanan, kepuasan konsumen mengacu pada konsumen yang subyektif melakukan evaluasi dari setiap dan hasil / atau pengalaman yang terkait dengan pemulihan layanan. Akibatnya, kepuasan konsumen adalah hasil, dimana konsumen membandingkan manfaat dan pengorbanan yang telah mereka lakukan dengan kegagalan layanan dan konsekuensi pemulihan layanan jasa yang mereka alami. Menurut Zheitaml et.al., (2006:214) research has shown that resolving customer problems effecifely has a strong impact on customer satisfaction, loyalty,word-of-mouth 13
communication, and bottom line performance. Hal ini menjelaskan bahwa pelanggan yang memiliki pengalaman dengan kegagalan layanan lebih merasa puas apabila perusahaan
melakukan upaya untuk memperbaiki kesalahan yang telah di lakukan. Mereka akan lebih loyal dibandingkan dengan pelanggan yang mengalami kegagalan layanan namun tidak dilakukan perbaikan. Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas , penulis melihat adanya pengaruh yang
kuat antara service recovery dengan kepuasan pelanggan. Semakin cepat dan tepat perbaikan
layanan yang di berikan oleh perusahaan, maka pelanggan akan semakin puas dengan
perusahaan.
14