BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Tuna (Thunnus sp.) Menurut Saanin (1984), ikan tuna berdasarkan taksonominya dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Filum Subfilum Kelas Subkelas Ordo Subordo Family Genus Spesies
: Chordata : Vertebrata : Teleostei : Actinopterygii : Perciformes : Scombridei : Scombridae : Thunnus : Thunnus sp.
Berdasarkan ukuran tuna, di Indonesia terdapat dua kelompok tuna yaitu tuna besar dan tuna kecil. Ikan tuna besar yang hidup di perairan laut Indonesia yaitu tuna madidihang (Thunnus albacares), tuna mata besar (Thunnus obesus), tuna albakora (Thunnus alalunga) dan tuna sirip biru (Thunnus maccoyii). Gambar dari beberapa jenis ikan tuna besar seperti pada Gambar 1.
A. Tuna madidihang (Thunnus albacares)
B. Tuna mata besar (Thunnus obesus)
C. Tuna albakora (Thunnus alalunga)
D. Tuna sirip biru (Thunnus maccoyii)
Gambar 1. Jenis-jenis Ikan Tuna Sumber: Maulana (2012)
5
6
Ikan tuna madidihang dan tuna mata besar terdapat di seluruh wilayah perairan laut Indonesia. Tuna albakora hidup di perairan sebelah Barat Sumatera, Selatan Bali sampai dengan Nusa Tenggara Timur. Ikan tuna sirip biru hanya hidup di perairan sebelah Selatan Jawa sampai ke perairan Samudera Hindia bagian Selatan yang bersuhu rendah (Widiastuti 2008). Menurut Widiastuti (2008), ikan tuna memiliki warna biru kehitaman pada bagian punggung dan berwarna keputih-putihan pada bagian perut. Tubuh ikan tuna berbentuk cerutu menyerupai torpedo serta tertutup oleh sisik sisik kecil. Ikan tuna pada umumnya mempunyai panjang antara 40–200 cm dengan berat antara 3-130 kg (Novriyanti 2007). Daging yang dimiliki berwarna merah muda sampai merah tua. Hal ini karena otot tuna lebih banyak mengandung myoglobin dari pada ikan lainnya (Mc Afee et al. 2009). 2.2 Komposisi Kimia Ikan Tuna Ikan tuna merupakan jenis ikan yang mengandung lemak rendah (kurang dari 5%) dan protein yang sangat tinggi (lebih dari 20%). Komposisi gizi ikan tuna bervariasi tergantung spesies, jenis, umur, musim, laju metabolism, aktivitas pergerakan, dan tingkat kematangan gonad (Stansby dan Olcott 1963). Komposisi kimia tuna ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kimia Ikan Tuna (g/100g) Komponen
Komposisi Kimia (g/100g) Madidihang
Tuna ekor biru
Cakalang
Air
74,0±0,28
70,1±1,98
69,9±0,71
Protein
23,2±1,34
25,5±4,03
26,0±0,28
Lemak
2,4±1,41
2,1±0,92
2,0±0,07
Karbohidrat
1,0±1,27
0,9±1,13
0,7±0,42
Abu
1,3±0,4
1,4±0,21
1,4±0,07
Sumber: Wahyuni (2011)
2.3 Keadaan Umum Perusahaan Penanganan Tuna Loin Beku PT. Awindo International merupakan salah satu perusahaan pengolahan hasil perikanan yang terletak di Jalan Muara Baru nomor 12, Kelurahan
7
Penjaringan, Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara. PT. Awindo International tepat berada di komplek Pelabuhan Perikanan Nusantara Samudera Nizam Zachman sehingga dapat mempermudah masuknya bahan baku dari kapal penangkap ikan dan pengiriman barang ke Tanjung Priok untuk di ekspor ke negara tujuan Produk yang dihasilkan PT. Awindo International adalah produk penanganan dari ikan pelagis dalam bentuk loin beku, stik beku, dan fillet beku. Ikan pelagis yang diproduksi yaitu ikan Marlin (Makaira spp.), Swordfish (Xiphias gladius), Oilfish (Lepidocybium flavobruneus), dan Sailfish (Istioporus oriental). Komoditas produksi utama milik PT. Awindo International adalah ikan tuna yang ditangani dalam bentuk tuna loin beku, tuna saku beku, tuna stik beku, serta tuna filet beku. Tujuan ekspor PT. Awindo International adalah Asia (Jepang, Malaysia, dan Cina), USA, dan Uni Eropa. PT. Awindo International telah menerapkan HACCP dalam berproduksi sesuai dengan sertifikat penerapan HACCP dalam Lampiran 1. PT. Awindo International memiliki beberapa fasilitas bangunan untuk menunjang kelancaran proses produksinya, yaitu fasilitas bangunan proses fresh, proses frozen, serta fasilitas penunjang. Tata letak bangunan (layout) perusahaan dapat dilihat pada Lampiran 2. 2.4 Penurunan Mutu Ikan Tuna Ikan tuna yang mati setelah ditangkap akan mengalami serangkaian perubahan yang mengarah pada proses penurunan mutu yang disebabkan oleh tiga kegiatan utama yaitu penurunan secara bakteriologis, kimia, dan fisik. Seluruh proses perubahan ini pada akhirnya dapat mengarah pada pembusukan (Murniyati dan Sunarman 2000). 2.4.1 Kemunduran Mutu Secara Kimiawi Menurut Hadiwiyoto (1993) penurunan mutu secara kimia adalah penurunan mutu yang berhubungan dengan komposisi kimia dan susunan tubuhnya. Penurunan mutu secara kimia terdiri dari penurunan mutu secara autolisis, oksidasi dan akibat histidin.
8
1) Kemunduran Mutu Secara Autolisis Autolisis adalah penguraian protein dan lemak menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti asam amino dan asam lemak. Menurut Ilyas (1983) enzim yang berperan dalam autolisis yaitu enzim proteolysis (pengurai protein) dan enzim liposis (pengurai lemak). Penurunan mutu ditandai dengan rasa, warna, tekstur, dan kenampakan yang berubah. Penurunan mutu secara autolisis berlangsung sebagai aksi kegiatan enzim yang merupakan proses penguraian pertama setelah ikan tuna mati. Kecepatan autolisis sangat tergantung pada suhu, semakin rendah suhu semakin lambat kecepatan autolisis. Kecepatan autolisis tidak dapat dihentikan namun hanya dapat memperlambat laju proses autolisis. Kegiatan enzim dapat direduksi dan dikontrol dengan cara pendinginan, penggaraman, pengeringan, dan pengasaman atau dapat dihentikan dengan cara pemasakan ikan (Ilyas 1983). 2) Kemunduran Mutu Secara Oksidasi Menurut Faustman dan Cassens (1990), oksidasi adalah reaksi antara suatu senyawa kimia dengan oksigen. Salah satu kemunduran mutu ikan tuna yang disebabkan oleh proses oksidasi yaitu terjadinya penambahan kation Fe2+ (ferrous)
dalam
mioglobin
menjadi
bentuk
Fe3+
(ferric)
yang
dapat
mengakibatkan perubahan warna daging ikan tuna dari merah segar menjadi coklat. Penyuntikan
karbonmonoksida
pada
daging
ikan
tuna
dapat
mempertahankan warna merah daging ikan tuna pada saat penyimpanan dan pengangkutan. Senyawa karbonmonoksida dapat bereaksi dengan myoglobin menjadi karboksimioglobin yang merupakan bentuk stabil dari pigmen merah dalam daging ikan tuna. Karboksimioglobin dapat mencegah terjadinya proses oksidasi dibanding oksimioglobin karena senyawa karbonmonoksida memiliki daya ikat yang lebih kuat terhadap mioglobin dibanding oksigen (Livingston dan Brown 1981).
9
3) Penurunan Mutu Akibat Histidin dan Histamin Menurut
Hadiwiyoto
(1993),
histamin
terbentuk
dari
degradasi
histidin yang dikatalis oleh enzim histidine dekarboksilase. Senyawa histamin tidak berbau busuk, tetapi keberadaannya dalam daging ikan menjadi berbahaya. Senyawa histamin bersifat racun dan dapat menimbulkan keracunan yang disebut “Scromboid Food Poisoning”. Kandungan histidin pada protein daging antara 3% dan 5%, tetapi ikan jenis Horse mackerel, Japanese pilchard, mackerel, dan Pacific saury mengandung antara 4% dan 6% histidin, bahkan cakalang, yellowtail, madidihang, daging bluefin tuna mengandung histidin antara 8% dan 9% (Alasalvar et al. 2011). Kandungan histidin bebas pada jaringan ikan tuna lebih tinggi dari spesies ikan lainnya, sehingga kadar histamin dapat meningkat jika dilakukan penyimpanan dan penanganan yang salah (Wahyuni 2011). Penyimpanan ikan pada kondisi suhu rendah sejak ikan ditangkap hingga dikonsumsi merupakan hal yang sangat penting untuk mengurangi kerusakan ikan dan menghindari terjadinya keracunan histamin. Suhu rendah mengontrol bakteri penghasil histamin selama ikan ditangani dan diolah (Widiastuty 2007). 2.4.2
Kemunduran Mutu secara Fisik Penurunan mutu secara fisik adalah kerusakan pada bagian luar tubuh ikan
tuna yang terjadi akibat penanganan dan perlakuan yang kurang baik sehingga dapat mempengaruhi mutu. Penanganan lebih awal akan sangat berpengaruh terhadap kualitas mutu yang dihasilkan. Menurut Kushardiyanto (2010), perubahan fisik ikan yang terjadi pada proses kematian ikan karena diangkat dari air adalah: 1) Lendir yang berada dipermukaan ikan akan keluar secara berlebih saat ikan mati dan ikan akan menggelepar mengenai benda disekelilingnya. Ikan yang terkena benturan benda yang keras, kemungkinan besar tubuh ikan akan menjadi memar dan luka-luka. 2) Ikan mati akan mengalami kekakuan tubuh (rigormortis) yang diawali dari ujung ekor menjalar ke arah bagian kepalanya. Lama kekakuan tergantung
10
dari tingkat kelelahan ikan pada saat kematiannya. Kerusakan ikan akan mulai terlihat yaitu berupa perubahan-perubahan seperti berkurangnya kekenyalan perut dan daging ikan, berubahnya warna insang, berubahnya kecembungan dan warna mata ikan, sisik lebih mudah lepas dan kehilangan kecemerlangan warna ikan, berubahnya bau dari segar menjadi asam. 3) Perubahan tersebut akan meningkat intensitasnya sesuai dengan bertambahnya tingkat penurunan mutu ikan, sehingga ikan menjadi tidak layak untuk dikonsumsi atau busuk. Kesegaran ikan dapat dinilai menggunakan metode inderawi atau organoleptik dengan mengamati bagian tubuh ikan yang sensitif terhadap perubahan mutu dagingnya. Perubahan mutu tersebut seperti warna, rasa, kekenyalan dan kekompakan daging, kondisi mata, kondisi insang, dinding perut, bau atau aroma. 2.4.3 Kemunduran Mutu Secara Bakteriologis Penurunan mutu secara bakteriologis yaitu suatu proses penurunan mutu yang terjadi karena adanya kegiatan bakteri yang berasal dari lingkungan dan dalam tubuh ikan (Junianto 2003). Menurut Sarmono (2002), ikan hidup memiliki kemampuan untuk mengatasi aktivitas bakteri yang terdapat dalam tubuh ikan. Bakteri yang hidup dalam saluran pencernaan, insang, saluran darah, serta permukaan kulit tidak dapat menyerang bagian-bagian tubuh ikan karena masih memiliki daya tahan terhadap serangan bakteri. Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), ikan yang telah mati tidak dapat mempertahankan aktivitas bakteri karena kemampuan daya tahan tubuh ikan telah hilang, sehingga bakteri mulai berkembang biak dengan sangat pesat dan menyerang tubuh ikan. Bakteri menjadikan daging ikan sebagai makanan dan tempat hidupnya. Sasaran utamanya adalah protein ataupun hasil-hasil penguraiannya dalam proses autolisis, dan substansi-substansi non-nitrogen. Penguraian yang dilakukan oleh bakteri ini (disebut bacterial decomposition) menghasilkan pecahan-pecahan protein yang sederhana dan berbau busuk, seperti CO2, H2S, amoniak, indol, skatol, dan lain-lain.
11
Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), setiap jenis bakteri memerlukan suhu tertentu untuk dapat hidup dengan baik. Ada tiga macam jenis bakteri bedasarkan ketahanan terhadap suhu, yang antaranya dapat dilihat pada Tabel 2. Pencegahan yang dilakukan untuk menghambat aktivitas bakteri yaitu dengan menurunkan suhu hingga di bawah 0oC atau menaikkan hingga di atas 100oC. Tabel 2. Kisaran Suhu Bagi Pertumbuhan Bakteri. Jenis Bakteri
Suhu Minimum o
Suhu Optimum o
Suhu Maksimum
Thermophylic
25-45 C
50-55 C
60-80oC
Mesophylic
5-25oC
25-37oC
43oC
Psycrophylic
0oC
14-20oC
30oC
Sumber: Murniyati dan Sunarman (2000)
2.5 Tuna Loin Beku Menurut Ditjenkan (1993), Tuna loin beku adalah suatu produk penanganan hasil perikanan dengan bahan baku ikan tuna segar yang mengalami perlakuan sebagai berikut: -
Sortasi
-
Pemotongan kepala
-
Pemotongan sirip dan ekor
-
Pencucian
-
Pembuatan loin
-
Pembuangan daging hitam
-
Pembuangan kulit dan perapihan
-
Pembekuan dengan atau tanpa penggelasan
-
Pengepakan
-
Penyimpanan beku. Menurut BSN (2006), semua jenis tuna dapat dibuat menjadi produk tuna
loin beku namun pada umumnya bahan baku yang digunakan adalah yellowfin, bluefin, bigeye dan longfin. Produk tuna loin beku dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.
12
Gambar 2. Tuna Loin Beku
2.5.1 Persyaratan Bahan Baku Menurut BSN (2006), bahan baku tuna loin beku adalah semua jenis tuna yang dapat diolah untuk dijadikan produk berupa tuna loin beku. Ikan tuna yang digunakan untuk produksi tuna loin beku harus memenuhi persyaratan di bawah ini: -
Ikan tuna dalam keadaan bersih,
-
Bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan,
-
Bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan,
-
Bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan,
-
Berasal dari perairan yang tidak tercemar. Menurut Fadly (2009), secara organoleptik bahan baku tuna loin beku
dikelompokan menurut standar atau kualitas daging yang terbagi menjadi empat tingkat mutu yaitu grade A, B, C, dan D. Pengujian tingkatan mutu ikan dilakukan dengan menusukkan coring tube yang merupakan suatu alat berbentuk batang, tajam, dan terbuat dari besi. Coring tube dimasukkan pada kedua sisi ikan (bagian belakang sirip atau ekor kanan dan kiri) sehingga didapatkan potongan daging ikan tuna yang selanjutnya dilakukan pengujian organoleptik. Ciri-ciri untuk masing-masing grade adalah sebagai berikut: 1) Grade A Ciri-ciri ikan tuna grade A adalah sebagai berikut: -
Warna daging untuk tuna ekor kuning adalah merah seperti darah segar dan untuk tuna mata besar dagingnya berwarna merah tua seperti bunga mawar
13
-
Mata bersih, terang, dan menonjol
-
Kulit normal, warna bersih dan cerah
-
Tekstur daging untuk tuna ekor kuning keras, kenyal, dan elastis, dan untuk tuna mata besar dagingnya lebut, kenyal dan elastis
-
Kondisi ikan (penampakannya) bagus dan utuh
2) Grade B Ciri-ciri ikan tuna grade B adalah sebagai berikut: -
Warna daging merah, otot daging agak elastis, jaringan daging tidak pecah
-
Mata bersih, terang dan menonjol
-
Kulit normal, bersih, dan sedikit berlendir
-
Tidak ada kerusakan fisik
3) Grade C Ciri-ciri ikan tuna grade C adalah sebagai berikut: -
Warna daging kurang merah
-
Kulit normal dan berlendir
-
Otot daging kurang elastis
-
Kondisi ikan tidak utuh atau cacat, umumnya pada bagian punggung atau dada
4) Grade D Ciri-ciri ikan tuna grade D adalah sebagai berikut: -
Warna daging agak kurang merah dan cenderung berwarna coklat dan pudar
-
Otot daging kurang elastis dan lemak sedikit
-
Teksturnya lunak dan jaringan daging pecah
-
Terjadi kerusakan fisik pada tubuh ikan yang sudah sobek, mata ikan yang hilang, dan kulit terkelupas
2.5.2
Persyaratan Mutu Tuna Loin Beku Persyaratan mutu tuna loin beku harus sesui dengan syarat mutu
berdasarkan SNI 01-4104-2006, seperti yang terlihat pada Tabel 3.
14
Tabel 3. Standar SNI 01-4104-2006 Mutu Tuna Loin Beku JENIS UJI Organoleptik Cemaran mikroba*: ALT Eschericia coli Salmonella Vibrio cholera Cemaran kimia* Raksa (Hg) Timbal (Pb) Histamin Cadmium (Cd) Fisika: Suhu pusat Parasit Catatan* bila diperlukan Sumber: BSN (2006)
2.5.3
SATUAN Skala hedonik 1-9
PERSYARATAN Minimal 7
Koloni/gram APM/gram APM/gram APM/gram
5 x 105 <2 negatif negatif
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maksimal 1 Maksimal 0,4 Maksimal 100 Maksimal 0,5
o
C ekor
Maksimal -18 Maksimal 0
Bahan Pembantu Penanganan Tuna Bahan pembantu yang digunakan untuk penanganan tuna loin beku harus
sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh SNI 01-4104.3-2006 tentang penanganan dan pengolahan tuna loin beku. Bahan pembantu atau penolong terdiri dari air dan es. Air untuk penanganan dan pengolahan harus aman dan saniter dan berasal dari
sumber
yang
diijinkan
dengan
angka
Coliform
(Angka
Paling
Memungkinkan/APM) maksimal 2 dalam 100 ml air serta memiliki tekanan minimal 142,26 g/cm2. Air yang digunakan untuk unit pengolahan harus memenuhi persyaratan air minum dan dilakukan pengujian mikrobiologi, kimia, dan fisika secara berkelanjutan oleh laboratorium yang telah terakreditasi oleh pemerintah (Maulana 2012). Es yang digunakan harus dibuat dari air bersih dan memenuhi persyaratan air minum. Penggunaan es harus ditangani dan disimpan di tempat yang bersih agar terhindar kontaminasi silang dari lingkungan. Es kering digunakan untuk mempertahankan suhu ikan selama proses pengangkutan agar tetap rendah dan terjaga kesegarannya. Es kering merupakan karbondioksida (CO2) yang terkondensasi menjadi bentuk padat, selain itu es kering memiliki temperatur yang lebih rendah dari es biasa yaitu -790C (Maulana 2012).
15
2.5.4
Peralatan Penanganan Tuna Peralatan utama yang digunakan dalam penanganan dan pengolahan tuna
loin beku yaitu, meja kerja stainless steel, timbangan digital, pisau filet, ABF (Air Blast Freezer), cold storage, chilling room, bak penampungan ikan, rak penyusunan ikan, alat suntik CO, vacuum sealer (Lampiran 3). Semua peralatan dan perlengkapan yang digunakan dalam penanganan tuna loin beku harus mempunyai permukaan yang halus dan rata, tidak mengelupas, tidak berkarat, bukan merupakan sumber cemaran jasad renik, tidak retak, dan mudah dibersihkan. Seluruh peralatan dipastikan dalam keadaan bersih, sebelum, selama, dan sesudah digunakan (Maulana 2012). 2.6 Faktor yang Mempengaruhi Mutu Tuna Loin Beku Menurut Ilyas (1983), faktor-faktor yang mempengaruhi mutu produk perikanan adalah suhu, lama proses penanganan, kebersihan, serta cara kerja. 2.6.1
Suhu Suhu memiliki peranan penting dalam upaya mempertahankan mutu
produk beku. Faktor suhu berperan dalam keseluruhan usaha produk, baik sejak awal ditangkap hingga menjadi produk akhir. Suhu ikan tuna di atas 0oC akan mengalami kemunduran mutu yang terjadi secara kimia maupun mikrobiologi (Hadiwiyoto 1993). Proses pembusukan pada ikan tuna yang disimpan pada suhu 3o-5oC terjadi pada hari ke 12. Bakteri pembusuk hidup pada suhu antara 0o-30oC dengan suhu optimal 15oC. Suhu yang diturunkan dengan cepat hingga di bawah 0oC atau pada kisaran suhu -1o-5oC maka proses pembusukan akan terhambat, pada suhu ini kegiatan enzim perusak akan terhambat, sedangkan kegiatan bakteri patogen akan terhenti (Moelyanto 1992). Dasar inilah yang digunakan untuk proses penanganan pada tuna loin beku, yakni penggunaan suhu rendah dengan teknik pendinginan dan pembekuan. Pendinginan merupakan proses pengawetan dengan suhu rendah (-1o-5oC) yang bertujuan untuk menghambat aktivitas mikroorganisme, proses kimia, dan proses fisik lainnya yang dapat mempengaruhi kesegaran mutu. Pembekuan tuna loin merupakan salah satu cara menghentikan terjadinya proses penurunan mutu
16
dengan suhu yang digunakan yaitu -18oC sampai -30oC (Ilyas 1993). Menurut BSN (2006), proses penanganan tuna loin beku harus mempertahankan suhu produk maksimal 4,4oC dan proses pembekuan maksimal -18oC. Suhu tuna loin yang tidak diperhatikan akan berpengaruh terhadap mutu produk akhir tersebut. Keberhasilan penanganan tergantung pada stabilitas suhu selama penanganan. Semakin rendah suhu yang dapat diturunkan dan semakin stabil suhu tersebut dipertahankan selama penanganan, maka mutu atau kualitas yang didapat akan semakin baik (Afrianto dan Liviawaty 1989). 2.6.2
Lama Proses Penanganan Lama proses berkaitan dengan lamanya waktu suatu proses penanganan,
perlakuan dan waktu penyimpanan yang dialami oleh produk beku. Tertundanya waktu proses penanganan dapat mempengaruhi mutu dari produk tersebut, maka dari itu proses penanganan harus dilakukan sesegera mungkin dengan menggunakan suhu rendah antara -1o - 5oC. Semakin panjang waktu penyimpanan produk pada suhu rendah, maka semakin besar pengaruhnya terhadap produk beku tersebut (Ilyas 1983). Produk yang disimpan dalam waktu lama sebaiknya digunakan suhu penyimpanan yang rendah yaitu berkisar pada -18oC untuk mencegah terjadinya dehidrasi pada produk. 2.6.3
Kebersihan Faktor kebersihan memiliki peranan yang sangat penting dalam
pemantapan mutu produk. Faktor kesehatan dan higienis selalu ditunjukkan oleh keadaan bakteri dari kesegaran produk dan faktor suhu produk. Indikator yang digunakan yaitu jumlah bakteri yang terdapat pada produk beku, kondisi tempat penanganan, peralatan, dan bahan yang terlihat dalam proses produksi (Nasution 2009). Sanitasi
perlu diperhatikan baik
bagi
produknya maupun
yang
berhubungan selama proses penanganan. Sarana dan peralatan yang digunakan serta kebersihan para pekerja diusahakan agar terhindar dari kontaminasi silang dengan produk (Ilyas 1983). Faktor kebersihan ini harus diperhatikan karena akan mempengaruhi mutu produk akhir yang dihasilkan.
17
2.6.4
Cara Kerja Kecermatan dalam penanganan harus dilakukan agar tuna loin tidak rusak,
maka dari itu digunakan prosedur penanganan tiap jenis, ukuran dan tujuan pemanfaatan serta pemasarannya. Semua kerusakan tuna loin akan menyebabkan tuna loin tidak terjual, masa simpan yang singkat, berkurang mutunya, dan terjadi penolakan dari negara ekspor (Ilyas 1983). Proses penanganan diperlukan tenaga kerja yang cermat, cepat dan teliti agar didapatkan produk yang memiliki mutu baik dan sesuai standar. 2.7 Kelayakan Dasar Unit Pengolahan Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) berdasarkan pada konsep HACCP sebagai suatu sistem manajemen mutu tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus ditunjang oleh faktor-faktor lain yang menjadi dasar dalam menganalisis besar kecilnya potensi terjadinya bahaya. Penerapan HACCP dapat berjalan lebih efektif jika setiap unit pengolahan yang akan menerapkan HACCP memenuhi persyaratan kelayakan dasar. Persyaratan kelayakan merupakan prosedur yang terdiri dari cara berproduksi yang baik dan benar atau Good Manufacturing Practices (GMP) dan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP). Kedua faktor tersebut merupakan persyaratan dasar yang harus dipenuhi oleh unit pengolahan sebelum menerapkan PMMT/HACCP (Ditjenkan 2001). 2.7.1
Cara Berproduksi yang Baik dan Benar Good Manufactring Practice (GMP) atau Cara Berproduksi yang Baik dan
Benar merupakan suatu pedoman cara berproduksi makanan dengan tujuan agar produsen memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan untuk menghasilkan produk makanan bermutu sesuai dengan tuntutan konsumen (Thaheer 2005). Secara umum GMP untuk produk perikanan mencakup semua aspek operasi
unit
pengolahan
dan
karyawan
seperti
pelakuan/kondisi
yang
dipersyaratkan, waktu yang cepat dan tepat, mempertahankan rantai dingin, bahan baku yang baik, bahan kimia yang diizinkan, jumlah bahan pembantu seperti es harus cukup untuk mempertahankan suhu tetap rendah, cara penimbangan yang
18
benar, alat timbang yang akurat, teknik pengemasan yang tepat dan bahan pengemas yang baik, teknik pelabelan yang memenuhi syarat, serta dilakukan secara teliti dan terampil (Nurrakhmi 2009). 2.7.2
Prosedur Standar Operasi Sanitasi Prosedur Standar Operasi Sanitasi atau Sanitation Standar Operating
Procedure (SSOP) dalam suatu industri pangan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pembinaan mutu secara keseluruhan. Sanitasi dilakukan sebagai usaha mencegah penyakit dari konsumsi pangan yang diproduksi dengan cara menghilangkan atau mengendalikan faktor-faktor didalam pengolahan pangan yang berperan dalam pemindahan bahaya (hazard) sejak penerimaan bahan baku sampai produk akhir didistribusikan (Thaheer 2005). Menurut Food and Drug Administration USA dalam Thaheer (2005), SSOP umumnya meliputi delapan aspek, yaitu: 1) Keamanan Air dan Es Air untuk penanganan dan pengolahan harus cukup aman dan saniter, berasal dari sumber yang diizinkan. Es harus dibuat dari air bersih yang memenuhi persyaratan air minum. Es harus ditangani dan disimpan ditempat yang bersih dalam pengunaannya agar terhindar dari penularan dan kontaminasi dari luar. 2) Kebersihan Permukaan yang Kontak dengan Produk Permukaan peralatan dan perlengkapan yang berhubungan langsung dengan bahan dan produk akhir harus bebas dari lubang-lubang dan celah, halus, tidak menyerap air, tidak berkarat, dan tidak menimbulkan racun. Perlengkapan dan peralatan hendaknya dibuat, dirancang dan ditata dengan baik sehingga mudah dibersihkan dengan sempurna serta menjamin kelancaran proses penanganan dan pengolahan. Peralatan yang sudah tidak dipergunakan lagi dipisahkan dengan peralatan yang masih dipakai. 3) Pencegahan Kontaminasi Silang SSOP ini berisi prosedur-prosedur untuk menghindarkan kontaminasi silang pada produk dari pekerja, bahan mentah, pengemas dan permukaan yang
19
kontak dengan produk. SSOP ini mencakup tindakan-tindakan yang menyangkut pembersihan bahan baku untuk mengurangi kontaminasi silang. 4) SSOP untuk Kebersihan Karyawan Sanitasi ini meliputi fasilitas cuci tangan, sanitasi tangan, serta toilet yang digunakan. Kebersihan personal yang harus senantiasa diperhatikan yaitu, pembersihan rambut, pencucian tangan, dan pembersihan kuku. Perilaku yang bersih dan sehat dari karyawan sangat menunjang kebersihan produk yang dihasilkan. Ruang pengolahan harus mempunyai sejumlah tempat cuci tangan yang cukup, sekurang-kurangnya satu tempat cuci tangan untuk 10 karyawan. Ruang pengolahan harus dilengkapi juga dengan air panas, air dingin, sabun, tissue paper (lap sekali pakai), dan tetap sampah yang bertutup. Tempat cuci tangan harus diletakan di ruang pengolahan yang dapat dilihat oleh pengawas dan dekat pintu masuk ruang pengolahan. Air untuk mencuci tangan harus mengalir dan tidak boleh dipakai berulang. Ruang istirahat harus dilengkapi dengan tempat cuci tangan dan ganti pakaian serta letaknya harus terpisah dari ruang pengolahan. Pabrik pengolahan harus dilengkapi dengan toilet yang cukup. 5) SSOP untuk Pencegahan Pencemaran Pencegahan pencemaran yaitu mencegah tercampurnya bahan non pangan ke dalam produk pangan yang dihasilkan. Sanitasi ini mencakup prosedurprosedur yang digunakan untuk mencegah tercampurnya bahan-bahan non pangan ke dalam produk yang dihasilkan. Bahan-bahan non pangan yang dimaksud meliputi pelumas, bahan bakar, sanitizer, serta cemaran kimia dan cemaran fisik lainnya (Thaheer 2005). Peralatan dan perlengkapan pembantu yang bersentuhan dengan bahan yang diolah, kecuali produk akhir yang dikemas harus selalu dibersihkan dan didesinfeksi sekurang-kurangnya satu kali dalam satu gilir kerja, kemudian dikeringkan dan disimpan dengan cara saniter (Purwaningsih 1995). Pestisida, fumigant, desinfektan dan deterjen harus disimpan dalam ruangan terpisah dan hanya ditangani dibawah pengawasan petugas yang memenuhi tentang bahayanya untuk menghindari kontaminasi terhadap produk (Nasution 2009).
20
6) SSOP untuk Pelabelan dan Penyimpanan Syarat pengemas yang digunakan bereaksi dengan produk dan mampu melindungi produk dan mencantumkan: isi, merk dagang, asal negara, produsen, berat bersih, komposisi, masa kadaluarsa dan persyaratan penyimpanan. Ruang penyimpanan harus terjaga kebersihannya dan sesuai persyaratan dan jenis produk. Produk yang disimpan harus selalu dikontrol agar produk tetap aman dan baik mutunya. 7) SSOP untuk Pengendalian Kesehatan Karyawan Karyawan yang dipekerjakan harus sehat dan tidak menderita penyakit menular atau menyebarkan kuman penyakit menular. Kesehatan para karyawan harus diperiksa secara berkala untuk menghindarkan penularan penyakit baik terhadap produk maupun karyawan lainnya. Setiap karyawan harus dilengkapi dengan pakaian dan perlengkapan kerja sesuai dengan bidangnya masing-masing. 8) Pemberantasan Hama Bagian-bagian ruangan penanganan dan pengolahan yang berhubungan langsung dengan bagian luar harus dilengkapi dengan peralatan untuk mencegah masuknya serangga, tikus, dan hama lainnya. Jalan dan lobang yang dapat dilalui tikus dan serangga harus ditutup dengan saringan (screen) logam yang tahan karat. 2.8 Konsepsi HACCP Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (2007), pengertian Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) adalah suatu sistem manajemen mutu untuk penanganan atau pengolahan makanan khususnya hasil perikanan berdasarkan pada pendekatan sistematis untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bahaya (hazard) selama proses produksi dengan menentukan titik kritis yang harus diawasi secara ketat (Muhandri dan Kadarisman 2006). 2.8.1
Prinsip HACCP Menurut Thaheer (2005) prinsip sistem HACCP yang diadopsi pada SNI
01-4852-1998 terdiri dari tujuh bagian, yaitu:
21
Prinsip 1. Analisis Bahaya Analisis bahaya merupakan proses pengumpulan dan penilaian informasi mengenai bahaya dan keadaan sampai dapat terjadinya bahaya. Penentuan jenis bahaya mana yang berdampak nyata terhadap keamanan pangan serta harus ditangani dalam rencana HACCP. Prinsip 2. Identifikasi Titik Kendali Kritis (CCP) Identifikasi CCP (Critical Control Point) adalah suatu upaya untuk menentukan titik atau tahapan tertentu dimana pengendalian dapat dilakukan dan harus diterapkan untuk mencegah atau mengeliminasi bahaya keamanan pangan, atau menguranginya sampai pada tingkat yang dapat diterima. Tindakan pengawasan dan pengendalian yang tidak dilakukan akan menyebabkan resiko penolakan dan kerugian dari konsumen. Penentuan CCP dapat dilakukan dengan menggunakan pohon keputusan (Lampiran 4) yang menyatakan pendekatan pemikiran logis. Prinsip 3. Menentukan Batas-batas Kritis (Critical Limit) Batas kritis adalah persyaratan dan toleransi yang harus dipenuhi oleh CCP. Batas kritis ini tidak boleh terlampaui, karena batas-batas kritis ini merupakan toleransi yang menjamin bahwa bahaya dapat dikontrol. Batas kritis harus ditentukan untuk setiap CCP. Kriteria yang dipergunakan mencakup pengukuran suhu, waktu, tingkat kelembaban, pH, klorin yang digunakan, jumlah bakteri total, serta parameter yang berhubungan dengan panca indera (organoleptik). Batas kritis menunjukkan perbedaan antara produk yang aman dan tidak aman sehingga proses produksi dapat dilakukan pada tingkat yang aman. Batas kritis ini harus selalu dipantau untuk menjamin bahwa CCP dapat mengendalikan bahaya mikrobiologi, kimia, dan fisik secara efektif. Prinsip 4. Menetapkan Prosedur Pemantauan (Monitoring) Monitoring dalam konsep HACCP adalah tindakan dari pengujian atau observasi yang dicatat oleh unit usaha untuk melaporkan keadaan CCP. Kegiatan ini untuk menjamin bahwa batas kritis tidak terlampaui. Untuk menyusun prosedur monitoring pertanyaan-pertanyaan apa yang harus dievaluasi dengan
22
metode apa, kapan dilakukan, dimana dilakukan, siapa yang melakukan, jumlah dan frekuensi yang ditetapkan harus terjawab. Monitoring batas kritis ini ditujukan untuk memeriksa apakah prosedur pengolahan atau penanganan pada CCP telah terkendali, efektif dan terencana untuk mempertahankan keamanan produk. Prinsip 5. Menetapkan Tindakan Koreksi (Corrective Action) Tindakan koreksi adalah prosedur-prosedur yang harus dilaksanakan ketika ditemukan penyimpangan pada tahap CCP yang melebihi batas kritis. Kegagalan yang terjadi dalam pengawasan pada CCP, maka tindakan koreksi harus dilakukan. Tindakan koreksi harus mengurangi atau mengeliminasi potensi bahaya dan resiko yang terjadi ketika batas kritis terlampaui pada CCP dan menjamin bahwa penyimpangan yang terjadi tidak mengakibatkan potensi bahaya yang baru. Setiap tindakan koreksi yang dilaksanakan harus didokumentasikan untuk tujuan modifikasi suatu proses. Prinsip 6. Menetapkan Prosedur Verifikasi Verifikasi adalah unsur yang sangat penting dari HACCP dan harus selalu disertakan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan informasi tambahan untuk meyakinkan produsen (dan inspektur) bahwa aplikasi hasil HACCP dalam memproduksi makanan yang aman. Pengamatan prosedur dan pengujian, termasuk pengambilan contoh secara acak dan analisis dapat digunakan untuk menentukan apakah sistem HACCP bekerja secara benar. Frekuensi verifikasi harus cukup untuk mengkonfirmasi bahwa sistem HACCP bekerja secara efektif. Prinsip 7. Menetapkan Cara Pencatatan (Record Keeping) Pencatatan (record keeping) merupakan elemen penting dari penerapan HACCP. Catatan tetap memastikan bahwa informasi yang dikumpulkan selama instalasi, modifikasi dan pengoperasian alur proses produksi mudah diakses oleh semua orang yang terlibat dalam proses sebagai auditor luar. Dokumentasi dan pencatatan harus cukup memadai sesuai sifat dan besarnya operasi. Rekaman harus termasuk penjelasan CCP telah didefinisikan, deskripsi prosedur pengendalian dan modifikasi alur, monitoring dan verifikasi data. Data
23
penyimpangan dari praktek normal serta tindakan koreksi (Schothorst, V.M 2004). 2.8.2 Penerapan Prinsip-Prinsip HACCP Menurut BSN (1998) dalam SNI 01-4852-1998 penerapan prinsip-prinsip HACCP terdiri dari tugas-tugas berikut sebagaimana terlihat pada Gambar 3. Tahap-tahap penerapan HACCP sebagai berikut: 1) Pembentukan Tim HACCP Pengembangan rencana HACCP yang efektif dapat dicapai dengan pembentukan sebuah tim HACCP dari berbagai disiplin ilmu. Jika ada beberapa keahlian tidak tersedia, maka diperlukan konsultan dari pihak luar. Seluruh lingkup yang ada harus diidentifikasi oleh program HACCP. Lingkup tersebut harus menggambarkan segmen-segmen mana saja dari rantai pangan tersebut yang terlibat secara umum dalam potensi bahaya yang dimaksudkan (yaitu meliputi semua bahaya atau hanya bahaya tertentu). 2) Deskripsi Produk Penjelasan lengkap dari produk harus dibuat termasuk informasi mengenai komposisi, struktur fisika/kimia (termasuk Aw, pH), perlakuan-perlakuan seperti perlakuan
pemanasan,
pengemasan,
kondisi
pembekuan, penyimpanan
penggaraman, dan
daya
pengasapan, tahan
serta
keadaan metode
pendistribusiannya. 3) Identifikasi Rencana Penggunaan Produk Rencana penggunaan harus berdasarkan pada kegunaan-kegunaan produk untuk pengguna produk atau konsumen. Pengelompokan penggunaan produk perlu diperhatikan apakah sasaran konsumen untuk dewasa, anak-anak atau balita. Cara penggunaan produk perlu diinformasikan agar produk tepat dan baik dalam penggunaannya. 4) Penyusunan Bagan Alur Proses Tim HACCP menyusun bagan alur proses produksi. Diagram alur harus memuat segala tahapan dalam operasional produksi. HACCP yang diterapkan
24
pada suatu operasi tertentu harus dipertimbangkan tahapan sebelum dan sesudah operasi tersebut. 5) Konfirmasi Bagan Alur Produksi Tim
HACCP
sebagai
penyusun
bagan
alur
produksi
harus
mengkonfirmasikan cara kerja produksi dengan semua tahapan dan jam operasi saat produksi serta jika perlu mengadakan perubahan bagan alur produksi dilapangan bila alur produksi tidak sesuai dengan yang disusun. 6) Pencatatan Semua Bahaya yang Berkaitan dengan Tahapan, Pengadaan Suatu Analisis Bahaya dan Menyarankan Berbagai Pengukuran Untuk Mengendalikan Bahaya yang Teridentifikasi Tim HACCP harus membuat daftar analisis bahaya yang mungkin terdapat pada tiap tahapan alur produksi dari awal bahan baku, pengolahan dan menghasilkan produk akhir sampai distribusi ke tangan konsumen. Tim HACCP harus mengadakan analisis bahaya untuk mengidentifikasi program HACCP dimana bahaya yang mungkin ditemukan, karena sifatnya mutlak semua bahaya harus ditiadakan atau dikurangi hingga batas-batas yang dapat diterima, sehingga produksi
pangan
tersebut
dinyatakan
aman.
Tim
HACCP
harus
mempertimbangkan tindakan pengendalian, jika ada yang dapat dilakukan untuk setiap
bahaya.
Lebih
jauh
tindakan
pengendalian
disyaratkan
untuk
mengendalikan bahaya-bahaya tertentu dan jika perlu ditemukan satu bahaya yang harus dikendalikan dengan tindakan pengawasan yang tertentu. 7) Penentuan Titik Kendali Kritis/ Critical Control Point (CCP) Pengendalian bahaya yang sama mungkin ditemukan lebih dari satu CCP pada saat pengendalian dilakukan. Penentuan dari CCP pada sistem HACCP dapat dibantu menggunakan Pohon keputusan (Lampiran 4). 8) Penentuan Batas-Batas Kritis (Critical Limits) pada Setiap CCP Batas-batas kritis harus ditentukan untuk setiap CCP. Beberapa kasus lebih dari satu batas kritis mencakup pengukuran-pengukuran terhadap suhu, waktu, tingkat kelembaban, pH, Aw, keberadaan klorin, dan parameter sensori seperti kenampakan visual dan tekstur.
25
9) Penyusunan Sistem Pemantauan untuk Setiap CCP Pemantauan merupakan pengukuran atau pengamatan dari setiap CCP yang dibandingkan dengan batas kritisnya. Pemantauan dapat memberikan informasi yang tepat untuk dilakukan perbaikan proses dalam memastikan proses dapat mencegah bahaya yang melebihi batas kritis. Penyesuaian proses harus dilaksanakan pada saat hasil pemantauan menunjukkan kecenderungan terjadinya penyimpangan pada suatu CCP. Perubahan proses perlu dilaksanakan sebelum terjadi penyimpangan. Data yang diperoleh dari pemantauan harus dinilai oleh orang yang diberi tugas, berpengetahuan dan berkewenangan untuk melaksanakan tindakan perbaikan yang diperlukan. Pemantauan yang tidak berkesinambungan harus dilakukan pemantauan dengan frekuensi yang cukup untuk menjamin CCP dapat terkendali. Sebagian besar prosedur pemantauan untuk CCP perlu dilaksanakan secara cepat, karena berhubungan dengan proses yang berjalan dan tidak tersedia waktu lama untuk melaksanakan pengujian analitis. Pengujian yang dilakukan berupa uji fisik, kimia dan mikrobiologi. Semua catatan dan dokumen yang terkait dengan kegiatan pemantauan CCP harus ditanda tangani oleh orang yang melakukan pengamatan dan oleh petugas yang bertanggung jawab melakukan peninjauan kembali terhadap alur produksi dalam perusahaan tersebut. 10) Penetapan Tindakan Perbaikan Tindakan perbaikan yang spesifik harus dikembangkan untuk setiap CCP dalam sistem HACCP agar dapat menangani penyimpangan yang terjadi. Tindakan-tindakan perbaikan harus memastikan bahwa CCP telah berada dibawah kendali dan tindakan harus yang tepat. Penyimpangan dan perubahan prosedur produk harus didokumentasikan dalam catatan HACCP.
26
Pembentukan Tim HACCP Deskripsi Produk Identifikasi Rencana Penggunaan Penyusunan Bagan Alir Konfirmasi bagan alir di lapangan Pencatatan Semua Bahaya Potensial yang Berkaitan dengan Analisis Bahaya, Penentuan Tindakan Pengendalian Penentuan Titik Pengendalian Kritis Penentuan Batas Kritis untuk setiap CCP Penyusunan Sistem Pemantauan untuk setiap CCP Penetapan Tindakan Perbaikan untuk setiap Penyimpangan yang terjadi Penetapan Prosedur Verifikasi Penetapan Dokumen dan Pencatatan Gambar 3. Urutan Logis Penerapan HACCP Sumber: BSN (1998)
11) Penetapan Prosedur Verifikasi Penetapan prosedur verifikasi dapat dipergunakan untuk menentukan sistem HACCP bekerja secara benar. Prosedur verifikasi ini meliputi metode audit, verifikasi, pengujian, serta pengambilan contoh secara acak dan analisis. Frekuensi verifikasi harus cukup untuk mengkonfirmasikan bahwa sistem HACCP bekerja secara efektif.
27
12) Penetapan Dokumentasi dan Pencatatan Pencatatan yang efisien serta akurat merupakan hal penting dalam penerapan sistem HACCP. Dokumentasi dan pencatatan harus cukup memadai sesuai sifat dan besarnya operasi.