BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Sistem Lakrimasi Air mata melewati empat proses yaitu produksi dari aparatus atau sistem
sekretori lakrimalis, distribusi oleh berkedip, evaporasi dari permukaan okular, dan drainase melalui aparatus atau sistem ekskretori lakrimalis. Abnormalitas salah satu saja dari keempat proses ini dapat menyebabkan mata kering (Kanski et al, 2011). 2.1.1. Aparatus Lakrimalis Aparatus atau sistem lakrimalis terdiri dari aparatus sekretori dan aparatus ekskretori (Kanski et al, 2011; Sullivan et al, 2004; AAO, 2007), yaitu : 1. Aparatus Sekretorius Lakrimalis. Aparatus sekretorius lakrimalis terdiri dari kelenjar lakrimal utama, kelenjar lakrimal assesoris (kelenjar Krausse dan Wolfring), glandula sebasea palpebra (kelenjar Meibom), dan sel-sel goblet dari konjungtiva (musin). Sistem sekresi terdiri dari sekresi basal dan refleks sekresi. Sekresi basal adalah sekresi air mata tanpa ada stimulus dari luar sedangkan refleks sekresi terjadi hanya bila ada rangsangan eksternal (Kanski et al, 2011; Sullivan et al, 2004; AAO, 2007). 2. Aparatus Ekskretorius Lakrimalis. Dalam keadaan normal, air mata dihasilkan sesuai dengan kecepatan penguapannya sehingga hanya sedikit yang sampai ke sistem ekskresi (Sullivan, 2004). Dari punkta, ekskresi air mata akan masuk ke kanalikulus kemudian bermuara di sakus lakrimalis melalui ampula. Pada 90% orang, kanalikulus superior dan inferior akan bergabung menjadi kanalikulus komunis sebeum ditampung dalam sakus lakrimalis. Di kanalikulus, terdapat katup Rosenmuller yang berfungsi untuk mencegah aliran balik air mata. Setelah ditampung di sakus lakrimalis, air mata akan diekskresikan melalui duktus nasolakrimalis sepanjang 12-18 mm ke bagian akhir di meatus inferior. Disini juga
Universitas Sumatera Utara
terdapat katup Hasner untuk mencegah aliran balik (Sullivan et al, 2004; AOA, 2007).
Gambar 2.1. Anatomi Sistem Lakrimalis (Wagner et al, 2006)
2.1.2. Dinamika Sekresi Air Mata Laju pengeluaran air mata dengan fluorofotometri sekitar 3,4 µL/menit pada orang normal dan 2,8 µL/menit pada penderita mata kering (Eter et al, 2002). Sedangkan menurut Nichols (2004), laju pengeluaran air mata adalah 3,8 µL/menit dengan interferometri. Antara dua interval berkedip, terjadi 1-2 % evaporasi, menyebabkan penipisan 0,1 µm PTF dan 20% pertambahan osmolaritas (On et al, 2006). Distribusi volume air mata pada permukaan okular umumnya sekitar 6-7 µL yang terbagi menjadi tiga bagian, yakni (Sullivan, 2002) : 1. Mengisi sakus konjungtiva sebanyak 3-4 µL. 2. Melalui proses berkedip sebanyak 1 µL akan membentuk TF dengan tebal 6-10 µm dan luas 260 mm². 3. Sisanya sebanyak 2-3 µL akan membentuk tear meniscus seluas 29 mm² dengan jari-jari 0,24 mm (Yokoi et al, 2004). Menurut Wang et al (2006), TF digabungkan dari tear meniscus atas dan bawah saat berkedip.
Universitas Sumatera Utara
Ketebalan TF bersifat iregular pada permukaan okular sehingga tidak ada ketebalan yang tepat untuk ukuran TF (Wang et al, 2006). Menurut Smith et al (2000) ketebalan berkisar antara 7-10 µm sedangkan Pyrdal et al (1992) menyatakan TF seharusnya memiliki ketebalan 35-40 µm dan mayoritas terdiri dari gel musin. Menurut Palakuru et al (2007), TF berada dalam keadaan paling tebal saat segera setelah mengedip dan berada dalam keadaan paling tipis saat kelopak mata terbuka. Dalam penelitian mereka, angka perubahan ketebalan ini menunjukkan nilai yang sama dengan kelompok yang disuruh melambatkan kedipan matanya. Mereka menyimpulkan hal ini disebabkan oleh refleks berair yang segera.
2.1.3. Mekanisme Distribusi Air Mata Mengedip berperan dalam produksi, distribusi dan drainase air mata (Palakuru et al, 2007). Berbagai macam teori mengenai mekanisme distribusi air mata (AAO, 2007). Menurut teori Doane (1980), setiap berkedip, palpebra menutup mirip retsleting dan menyebarkan air mata mulai dari lateral. Air mata yang berlebih memenuhi sakus konjungtiva kemudian bergerak ke medial untuk memasuki sistem ekskresi (Kanski et al, 2011; Sullivan et al, 2004). Sewaktu kelopak mata mulai membuka, aparatus ekskretori sudah terisi air mata dari kedipan mata sebelumnya. Saat kelopak mata atas turun, punkta akan ikut menyempit dan oklusi punkta akan terjadi setelah kelopak mata atas telah turun setengah bagian . Kontraksi otot orbikularis okuli untuk menutup sempurna kelopak mata akan menimbulkan tekanan menekan dan mendorong seluruh air mata melewati kanalikuli, sakus lakrimalis, duktus nasolakrimalis dan meatus inferior. Kanalikuli akan memendek dan menyempit serta sakus lakrimalis dan duktus nasolakrimalis akan tampak seperti memeras. Kemudian setelah dua per tiga bagian kelopak mata akan berangsur-angsur terbuka, punkta yang teroklusi akan melebar. Fase pengisian akan berlangsung sampai kelopak mata terbuka seluruhnya dan siklus terulang kembali (Doane, 1980). TF dibentuk kembali dari kedipan mata setiap 3-6 detik. Saat kelopak mata terbuka, lapisan lemak ikut terangkat.
Universitas Sumatera Utara
2.1.4. Mekanisme Ekskresi Air Mata Ada tiga mekanisme yang dapat menyebabkan penipisan PTF yaitu absorbsi ke kornea (inward flow), pergerakan paralel air mata sepanjang permukaan kornea (tangential flow) dan evaporasi (Nichols et al, 2005). Lain halnya dengan Tsubota et al (1992), Mathers et al (1996), dan Goto et al (2003). Mereka berpendapat bahwa evaporasi hanya berperan minimal menyebabkan penipisan penipisan TF. Akan tetapi, Rolando et al (1983) menunjukkan bahwa evaporasi berperan penting menyebabkan penipisan TF. Smith et al (2008) menyebutkan bahwa hal ini bervariasi sesuai keadaan dan melibatkan kombinasi berbagai mekanisme. Laju evaporasi pada orang normal adalah 0,004 (Craig, 2000), 0,25 (Goto et al, 2003), 0,89 (Mathers, 1996), 0,94 (Shimazaki, 1995), 1,2 (Tomlinson, 1991), 1,61 (Hamano, 1980), 1,94 (Yamada, 1990). Perlu waktu 3-5 menit untuk ruptur PTF (Kimball, 2009).
2.1.5. Kedipan Mata Delapan puluh persen dari mata berkedip secara sempurna, delapan belas persen berkedip secara inkomplit dan dua persen twitch. Bila ditinjau berdasarkan rangsang berkedip, berkedip terdiri dari tiga kategori, yaitu (Acosta et al, 1999; Pepose et al, 1992; Delgado et al, 2003) : 1. Berkedip involunter yaitu berkedip secara spontan, tanpa stimulus dengan generator kedipan di otak yang belum diketahui secara jelas. 2. Berkedip volunter yaitu secara sadar membuka dan menutup kelopak mata. 3. Refleks berkedip adalah berkedip yang dirangang bila ada stimulus eksternal melalui nervus trigeminus dan nervus fasialis. Berkedip melibatkan dua otot yaitu muskulus levator palpebra superior dan muskulus orbikularis okuli (AAO, 2007). Aktivitas berkedip melibatkan nukleus kaudatus (Mazzone et al, 2010) dan girus presentralis media (Kato et al, 2003), dan inhibisi berkedip melibatkan korteks frontal (Stuss et al, 1999; Mazzone et al, 2010).
Universitas Sumatera Utara
2.2.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penglihatan Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penglihatan menurut Corwin
(2001) adalah sebagai berikut : 1. Usia, bertambahnya usia maka lensa mata berangsur-angsur kehilangan elastisitasnya dan melihat ada jarak dekat akan semakin sulit. Hal ini akan menyebabkan ketidaknyamanan penglihatan ketika mengerjakan sesuatu pada jarak dekat, demikian pula penglihatan jauh. 2. Penerangan, pengaruh intensitas penerangan dengan penglihatan sangat penting karena mata dapat melihat objek melalui cahaya yang dipantulkan oleh permukaan objek tersebut. Luminasi adalah banyaknya cahaya yang dipantulkan oleh permukaan objek. Jumlah sumber cahaya yang tersedia juga mempengaruhi kemampuan mata melihat objek. Pada usia tua diperlukan intensitas penerangan yang lebih besar untuk melihat objek. Tingkat luminasi juga mempengaruhi kemampuan membaca teks. Semakin besar luminasi sebuah objek maka semakin besar juga rincian objek yang dapat dilihat oleh mata. Bertambahnya luminasi sebuah objek akan menyebabkan mata bertambah sensitif terhadap kedipan (flicker). Faktor penerangan berpengaruh pada kualitas penerangan yang ditentukan oleh kualitas dan kuantitas penerangan. Sifat penerangan juga ditentukan oleh rasio kecerahan yaitu antara objek dan latar belakang. Penerangan bisa bersumber dari penerangan langsung, misalnya dari penerangan buatan (bola lampu), penerangan yang bersumber dari pantulan tembok, langit-langit ruangan dan bagian permukaan meja kerja (Kroemer et al, 2000). 3. Silau (glare), adalah proses adaptasi berlebihan pada mata sebagai akibat dari retina mata terpapar sinar yang berlebihan (Grandjean, 2000). 4. Ukuran pupil, supaya jumlah sinar yang diterima retina sesuai maka otot iris akan mengatur ukuran pupil. Lubang pupil juga dipengaruhi oleh memfokusnya lensa mata, mengecil ketika mata memfokus pada objek yang dekat. 5. Sudut dan ketajaman penglihatan, sudut penglihatan (visual angle) sebagai sudut yang berhadapan dengan objek pada mata.
Universitas Sumatera Utara
2.3.
Komputer Komputer adalah suatu alat elektronik yang mampu melakukan tugas
menerima input, mengolahnya, dan menyediakan output berupa hasil komputasi. Hasil komputasi akan dikonversi menjadi data visual yang dapat dilihat dengan menggunakan monitor atau Visual Display Terminal (Humaidi, 2005). Visual Display Terminal (VDT) atau yang biasanya disebut dengan monitor adalah bagian yang biasanya ditatap dan menimbulkan gangguan kesehatan mata pada penggunaannya (Fauzia, 2004). Penggunaan komputer baik desktop maupun laptop dalam bekerja sangat membantu manusia dalam menyelesaikan pekerjaannya. Penggunaan komputer dewasa ini sudah merambah semua lapisan masyarakat. Akhir-akhir ini penggunaan laptop lebih diminati dibandingkan dengan desktop (Hendra et al, 2009). Sekitar 90 % pelajar usia 5-17 tahun di Washington dan sekitar 60 % yang berusia diatas 18 tahun menggunakan komputer setiap hari dengan mayoritas menggunakan komputer untuk bekerja, belajar dan mengakses internet (De Bell et al, 2006). Sekitar 100 juta penduduk Amerika Serikat menggunakan komputer untuk pekerjaannya sehari-hari (Izquierdo, 2010). Menurut Gartner (2002) dan Yates (2007) terdapat hampir 1 milyar komputer yang digunakan di dunia. Di Indonesia, menurut Hoesin et al (2007), sekitar 2500 orang di 16 kota menggunakan komputer untuk bekerja. Hal ini jelas menunjukkan bahwa penggunaan komputer telah menjadi primadona untuk memudahkan pekerjaan di segala bidang karena sekitar 75 % pekerjaan di dunia bergantung pada komputer (Kanitkar et al, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Penggunaan Komputer
Mata dipaksa fokus Frekuensi berkedip ↓
Hipofungsi lakrimal Sementara
Mata lelah
Kelopak mata berkedip
Evaporasi air mata ↑ Akous ↓, Musin ↓, Lipid↓
Akous ↓
PTF tidak stabil
Hiperosmolaritas
Break up time ↑
MAP, NFKb
IL-1, TNF-α, MMP-9
Rupture PTF ↑
Kompensasi berkedip
Ruptur semakin luas
Friksi permukaan okular
Evaporasi semakin ↑
Kompensasi gagal Frekuensi berkedip ↓↓ Dialami berulang-ulang Permukaan okular rusak
Gambar 2.2. Patofisiologi Terjadinya Kekeringan Mata Pengguna Komputer
2.4.
Computer Vision Syndrome Survei yang dilakukan oleh American Optometrist Association (AOA)
tahun 2004 menunjukkan bahwa 61 % masyarakat Amerika Serikat mengalami permasalahan yang sangat serius pada penglihatan yang disebabkan oleh
Universitas Sumatera Utara
penggunaan komputer dalam waktu lama (Sheedy, 2004; AOA, 2007). Banyak penelitian menunjukkan timbulnya CVS pada pengguna komputer (Clayton et al, 2005, Khan et ql, 2005; Biljana et al, 2007). Sekitar 88-90% pengguna komputer mengalami CVS (Sirikul et al, 2009; Chu et al, 2011). AOA dan Federal Occupational Safety and Health Administration meyakini bahwa CVS di masa mendatang akan sangat banyak dikeluhkan para pekerja (Sheedy, 2004). Kumpulan gejala akibat bekerja dengan menggunakan komputer dalam jangka waktu lama dikenal dengan istilah Computer Vision Syndrome (AOA, 2003; Miller, 2004; Wimalasundera, 2006; Madhan, 2009). Gejala CVS dibedakan menjadi tiga bagian yaitu gejala pada mata, gejala muskuloskeletal dan gejala umum (AOA, 2007). Sekitar 75-90 % pengguna komputer mengeluhkan gejala oftalmikus (Anshel, 2007). Di Indonesia, menurut Amalia (2010), pengguna komputer yang mengeluhkan gejala oftalmikus sebanyak 92,9 %. Jenis-jenis gejala oftalmikus yang dapat dialami adalah mata lelah (asthenopia), mata kering, merah, kabur, tegang, mata terasa terbakar dan berair (Sitzman, 2005; Blehm et al, 2005; Barar et al, 2007, Bali et al, 2007; Chu et al, Megwas et al, 2009). Berbagai gejala yang timbul pada pekerja komputer yang bekerja dalam waktu yang lama selain diakibatkan oleh cahaya yang masuk ke bola mata, juga dikarenakan mata seorang pekerja ketika menatap komputer maka kedipan mata berkurang sebesar 2/3 kali lebih sedikit dibandingkan normal. Berkurangnya kedipan menyebabkan mata menjadi kering, teriritasi, tegang, lelah dan terasa terbakar (Wardhana, 1996; Sitzman, 2005). Menurut Sheedy (2003), gejala oftalmikus pada CVS dibagi menjadi dua yakni gejala internal meliputi sakit dan tegang pada bola mata serta gejala eksternal yaitu mata seperti terbakar, iritasi, kering disertai refleks pengeluaran airmata. Zunjic (2004) menunjukkan 80 % pengguna komputer mengeluhkan gejala umum terutama nyeri kepala.
Universitas Sumatera Utara
2.5.
Visual Strain Ketegangan mata yang berlebihan dapat menimbulkan efek yaitu
kelelahan mata dan kelelahan umum. Kelelahan visual terdiri dari semua gejala yang muncul setelah stress yang berlebihan. Menurut Pearce (2007), kelelahan visual terbentuk karena : 1. Iritasi yang membakar diiringi dengan lakrimasi. 2. Pandangan ganda. 3. Sakit kepala. 4. Daya akomodasi dan konvergensi berkurang. 5. Ketajaman visual, sensitivitas terhadap kontras dan kecepatan persepsi berkurang. Gejala yang menyakitkan secara komparatif ini terjadi khususnya karena hal-hal yang berat seperti membaca teks yang tidak tercetak dengan baik, cahaya yang tidak cukup, pencahayaan dengan lampu yang berkedip-kedip atau penyimpangan optik seperti hipermetropia. Orang tua tentunya rentan terhadap kelelahan visual. Apabila kondisi seperti diatas dibiarkan berlarut maka akan timbul efek : 1. Berakibat kelelahan visual yaitu keadaan mata yang ditandai dengan adanya perubahan psikofisiologi berupa kelambatan aktifitas motoris, respirasi, perasaan sakit dan berat pada bola mata. 2. Terjadi banyak kesalahan kerja. 3. Kualitas kerja menjadi berkurang. 4. Menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas. 5. Meningkatkan kecelakaan kerja.
2.6.
Kelelahan Mata Kelelahan mata adalah suatu keadaan mata yang ditandai dengan adanya
perubahan psikofisiologi berupa kelambatan aktifitas motoris, respirasi, perasaan sakit dan berat pada bola mata, sehingga mempengaruhi kerja fisik maupun kerja mental (Grandjean, 2000). Kelelahan dapat menyebabkan seseorang kurang waspada dalam menghadapi sesuatu. Dalam keadaan lelah, sinyal-sinyal yang
Universitas Sumatera Utara
berjalan maju mundur diantara talamus dan korteks serebri tidak berfungsi secara optimal yang menyebabkan kesiapsiagaan menurun (Sutajaya, 2004). Kelelahan mata dikenal sebagai asthenopia yaitu ketegangan okular atau ketegangan pada organ visual dimana terjadi gangguan pada mata dan sakit kepala sehubungan dengan penggunaan mata secara intensif. Terdapat tiga jenis asthenopia yaitu asthenopia akomodatif, asthenopia muskuler dan asthenopia neurastenik. Pada pengguna komputer termasuk ke dalam asthenopia akomodatif dimana hal ini disebabkan oleh kelelahan otot siliaris (Ilyas, 2003). Menurut Corwin (2001) upaya mata yang melelahkan menjadi penyebab kelelahan mental. Gejala meliputi sakit kepala, penurunan intelektual, daya konsentrasi dan kecepatan berpikir. Lebih dari itu, bila mata pengguna komputer mencoba mendekatkan objek untuk memperbesar ukuran benda, maka akomodasi dipaksa dan mungkin terjadi pandangan rangkap atau kabur. Hal ini menimbulkan sakit kepala di sekitar daerah atas mata. Susila (2001) juga menyatakan, apabila melihat obyek pada jarak dekat maka mata akan mengalami konvergensi. Konvergensi mata ini berusaha menempatkan bayangan pada daerah retina yang sama di kedua bola mata. Bila usaha ini gagal mempertahankan konvergensi maka bayangan akan jatuh pada dua tempat yang berbeda pada retina. Bila diteruskan ke otak maka orang akan melihat dua obyek. Penglihatan tersebut menyebabkan rasa tidak nyaman. Ketajaman penglihatan juga dapat turun sewaktu-waktu terutama pada saat daya tahan tubuh menurun atau mengalami kelelahan. Gejala umum lainnya yang sering dikeluhkan akibat kelelahan mata adalah sakit punggung, sakit pinggang dan vertigo (Mangunkusumo, 2002). Disamping itu, menurut Mangunkusumo (2002), kelelahan mata juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dikelompokkan atas faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor-faktor tersebut yaitu : A. Faktor Intrinsik : merupakan faktor yang berasal dari tubuh yang terdiri atas : a. Faktor Okular yaitu kelainan mata berupa ametropia dan heteroforia. Ametropia adalah kelainan refraksi pada mata kiri dan mata kanan tetapi tidak dikoreksi. Heteroforia adalah kelainan dimana sumbu
Universitas Sumatera Utara
penglihatan dua mata tidak sejajar sehingga kontraksi otot mata untuk mempertahankan koordinasi bayangan yang diterima dua mata menjadi satu bayangan lebih sulit. Apabila hal ini berlangsung lama maka akan menyebabkan kelelahan mata. b. Faktor Konstitusi yaitu faktor yang disebabkan oleh keadaan umum seperti tidak sehat atau kurang tidur. B. Faktor Ekstrinsik : terdiri atas empat hal yaitu : a. Kuantitas Iluminasi ; cahaya yang berlebihan dapat menimbukan silau, pandangan terganggu dan menurunnya sensitivtas retina. b. Kualitas Iluminasi ; meliputi kontras, sifat cahaya (flicker) dan warna. Kontras berlebihan atau kurang, cahaya berkedip atau menimbukan flicker dan warna-warna terang akan menyebabkan mata menjadi cepat lelah. c. Ukuran obyek yang dilihat ; obyek yang berukuran kecil memerlukan penglihatan dekat sehingga membutuhkan kemampuan akomodasi yang lebih besar. Jika hal ini terjadi terus-menerus, mata menjadi cepat lelah. d. Waktu kerja ; waktu kerja yang lama untuk melihat secara terusmenerus pada suatu obyek dapat menimbulkan kelelahan.
2.7.
Lingkungan Kerja Lingkungan kerja adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kelelahan,
keluhan subjektif dan produktivitas. Lingkungan yang nyaman dibutuhkan oleh para pekerja untuk dapat bekerja secara optimal dan produktif. Kemampuan manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor intern (dalam diri sendiri) dan ekstern (luar). Salah satu faktor dari luar adalah faktor lingkungan kerja yaitu semua keadaan yang terdapat di tempat kerja seperti temperatur, kelembaban udara, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis, bau-bauan, warna dan lain-lain (Wignjosoebroto, 2000). Temperatur ± 49º C, temperatur yang dapat ditahan sekitar 1 jam, tetapi jauh dari kemampuan fisik dan mental menyebabkan aktivitas dan daya tanggap mulai
Universitas Sumatera Utara
menurun, dapat mengurangi kelelahan fisik. Temperatur ± 30º C menyebabkan daya tanggap mulai menurun dan cenderung membuat kesalahan dalam pekerjaan dan menimbulkan kelelahan fisik. Temperatur ± 24º C adalah kondisi optimum dan temperatur ± 10º C kelakuan fisik sudah mulai muncul. Dari penyelidikan juga dapat diperoleh hasil bahwa produktivitas manusia akan mencapai tingkat paling tinggi pada temperatur 24 ºC – 27º C (Wignjosoebroto, 2000). Penerangan adalah merupakan faktor penting dalam sebuah ruangan terutama pada pekerjaan membaca atau menulis. Sesuai dengan rekomendasi intensitas penerangan untuk membaca dan menulis adalah 350-700 lux (Wignjosoebroto, 2000). Menurut Grandjean (1993), penerangan yang tidak didesain dengan baik akan menimbulkan gangguan atau kelelahan penglihatan selama bekerja. Pengaruh dari penerangan yang kurang memenuhi syarat akan mengakibatkan kelelahan mata, kelelahan mental, keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala di sekitar mata, kerusakan organ mata, dan gangguan mata lainnya. Faktor lainnya adalah kelembaban yaitu banyaknya air dalam udara, kelembaban ini berhubungan dan dipengaruhi oleh temperatur udaranya. Suatu keberadaan dimana kelembaban udara tinggi dan udara panas akan menimbulkan pengurangan panas tubuh secara besar-besaran. Pengaruh lainnya adalah semakin cepatnya denyut jantung karena makin aktifnya peredaran darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen (Wignjosoebroto, 2000).
2.8.
Lamanya Penggunaan Komputer Dengan Gejala Computer Vision Syndrome Peningkatan jumlah keluhan oftalmikus dan lamanya waktu bekerja
ditemukan berkaitan erat (Nakazawa et al, 2002; Sen et al, 2007). Penelitian di University of South Carolina mengkategorikan penggunaan komputer menjadi tiga kategori yaitu ringan (kurang dari 2 jam), sedang (2-4 jam), dan berat (lebih dari 4 jam) per hari. Penelitian Taylor (2007), di 16 negara di dunia menunjukkan rata-rata lama penggunaan komputer per harinya adalah sekitar 5 jam. Penelitian Sen et al (2007) menunjukkan hampir setengah dari
Universitas Sumatera Utara
pengguna komputer menggunakan komputer secara terus-menerus tanpa istirahat lebih dari 2 jam per harinya. Penelitian Hoesin et al (2007) di 16 kota di Indonesia menunjukkan rata-rata penggunaan komputer di Indonesia kurang dari 5 janm per hari. Di Bantul, 7 % pengguna komputer menggunakan komputer dalam intensitas yang rendah, 3 % dengan intensitas sedang, 83 % dengan intensitas tinggi (Indriawati et al, 2008). Penelitian Dewi et al (2009) di kantor Samsat Palembang menunjukkan 75 % pekerja menggunakan komputer lebih dari 4 jam. Parwati (2004) menyatakan gejala oftalmikus timbul setelah 2 jam penggunaan
komputer
secara
terus-menerus.
Penelitian
Hiroko
(2007)
menunjukkan variasi 1-4 jam penggunaan komputer atas kejadian CVS. Broumand et al (2008) menunjukkan perburukan gejala pada pengguna komputer lebih dari 2 jam per hari. Penelitian Kanitkar et al (2005) dan Amalia et al (2010) menunjukkan CVS dialami pengguna komputer lebih dari 3 jam per hari. Penelitian Fenga et al (2007) menunjukkan mata kering mayoritas dialami pengguna komputer lebih dari 4 jam per hari. Penelitian Nakazawa et al (2002) menunjukkan peningkatan bermakna keluhan CVS pada pekerja pengguna komputer lebih dari 5 jam per hari. Penelitian Hanne et al (1994) dan Shigenori et al (2002) menunjukkan gejala CVS baru akan timbul pada pengguna komputer lebih dari 6 jam. Penelitian Sen et al (2007) menunjukkan gejala CVS umumnya dikeluhkan setelah 3 jam penggunaan komputer secara terus-menerus atau setelah 6 jam penggunaan komputer tidak terus-menerus.
GEJALA Mata terasa kering
Mata lelah
KELUHAN(%)
SUMBER
47
Jamaliah et al 2002
56
Hiroko, 2007
66
Dehghani et al, 2008
85
Murtopo et al, 2005
46,4
Bhanderi et al, 2008
51
Fenga et al, 2007
65
Dehghani et al, 2008
69,7
Hiroko, 2007
Universitas Sumatera Utara
76,8
Amalia et al, 2010
90,4
Shofwati et al, 2010
97,8
Bali et al, 2007
28,1
Edema et al, 2010
79
Dehghani et al, 2008
Mata terasa perih
31,51
Megwas et al, 2009
Mata terasa gatal
5,48
Megwas et al, 2009
Mata merah
40,6
Edema et al, 2010
61,2
Bali et al, 2007
19,68
Megwas et al, 2009
56,8
Edema et al, 2010
66,4
Bali et al, 2007
5,1
Broumand et al, 2008
10,3
Megwas et al, 2009
10,96
Mocci, 2001
50
Edema et al, 2010
52
Sirikul et al, 2009
Fotofobia
34,8
Bali et al, 2007
Seperti ada benda asing
0
Megwas et al, 2009
Mata terasa terbakar
Mata berair
Penglihatan kabur sesaat
Tabel 2.1. Proporsi Setiap Gejala CVS Yang Dialami Pengguna Komputer
2.9.
Jarak Monitor Dengan Gejala Computer Vision Syndrome Postur tubuh pada saat bekerja dengan komputer umumnya dalam posisi
duduk. Pengguna komputer harus mempertahankan postur tubuh dengan posisi kepala, tangan dan telapak tangan pada keadaan yang tetap. Saat duduk, lutut akan menekuk membentuk sudut 90º, begitupun pada paha dan batang tubuh. Sebagian berat ditopang oleh ischial tuberosities. Sejumlah keluhan dari gangguan sistem muskuloskeletal berhubungan dengan postur tubuh. Daerah lumbal, leher, bahu dan lengan bawah meruupakan bagian tubuh yang paling sering terkena gangguan berhubungan dengan postur
Universitas Sumatera Utara
tubuh. Rasa sakit tersebut dirasakan baik setelah pajanan dalam waktu singkat ataupun lama. Biasanya rasa sakit pada daerah tersebut setelah meningkatnya periode postural stress dan kurangnya istirahat pada daerah tersebut (Pheasant, 1991). Untuk meminimalisasi timbulnya gejala CVS pada para pengguna komputer adalah pengaturan jarak monitor dengan mata dan hal ini tidak lepas dari ukuran huruf juga. Jarak ideal monitor komputer dengan mata pengguna komputer adalah 50 cm. Agar sebuah tulisan dapat dibaca dengan nyaman serta memperhatikan kemampuan mata orang yang akan membacanya, maka tulisan harus tersusun oleh huruf-huruf yang sesuai. Besar kecilnya ukuran huruf tergantung pada jarak pembaca yang kita inginkan. Huruf besar pada awal yang diikuti oleh huruf kecil lebih mudah dibaca daripada huruf besar semua (Kroemer, 2000; Grandjean, 2000). Adapun rekomendasi tinggi huruf yang disarankan adalah sebagai berikut : Jarak dari mata (mm)
Tinggi huruf dan angka (mm)
<50
2,5
501-900
5,0
901-1800
9,0
1801-3600
18,0
3601-6000
30,0
Tabel 2.2. Rekomendasi Tinggi Huruf (Grandjean,2000; Kroemer, 2000)
3.0.
Waktu ideal untuk istirahat NIOSH (1981) dan OSHA (1997) menganjurkan setiap 2 jam
menggunakan komputer maka seorang pengguna komputer harus beristirahat 10 menit. Waktu istirahat lain yang dianjurkan cukup bervariasi yaitu 10 menit setiap 50 menit (Karowski, 1994), 10 menit setiap 1 jam (Kopardekar et al, 1984), 30 menit setiap 3,5 jam (Asfour, 1987), 5 menit setiap 1 jam (Kanitkar et al, 2005), dan 15 menit setiap 2 jam (Adriana, 2008t). Istirahat 5 menit setiap 30 menit atau 10 menit setiap jam menunjukkan peningkatan produktivitas yang sama dan agar
Universitas Sumatera Utara
tidak mengganggu pekerjaan dipilih 10 menit setiap 1 jam (Kopardekar et al, 1994). Di Indonesia, waktu kerja maksimal adalah 8 jam, break 30 menit setiap 4 jam dan rest 8 jam (Menteri Tenaga Kerja RI, 1993). Belum ada regulasi secara spesifik mengenai batas waktu penggunaan komputer bagi pekerja di Indonesia. Di Belanda, pengguna komputer dibatasi menggunakan komputer maksimal 6 jam per hari dan bahkan bagi pekerja Bank yang menggunakan komputer, jam kerja dibatasi 5 jam per hari (Taylor et al, 2007). Istirahat juga dapat diikuti dengan relaksasi menurut rumus 20-20-20 yang artinya waktu istirahat 20 detik setiap 20 menit dengan cara melihat ke arah lain yang berjarak kira-kira 20 kaki dan bisa sambil mengedipkan mata 10 kali. Relaksasi mata lain adalah dengan cara melihat ke tempat yang jauh selama 10-15 detik kemudian melihat ke tempat yang dekat selama 10-15 detik dan ulangi kembali selama 10 kali (Mayoclinic, 2006). Jadi dapat disimpulkan bahwa, istirahat adalah satu manuver yang paling tepat untuk mencegah terjadinya gejala CVS akibat lama menggunakan komputer (Balci et al, 2003; Blehm et al, 2005). Akan tetapi masih sedikit penelitian mengenai jam istirahat yang ideal. Perlu diingat pula bahwa interupsi yang terlalu sering akan membawa dampak yang kurang efektif terhadap pekerjaan yang sedang dikerjakan.
Universitas Sumatera Utara