BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kualitas Kualitas merupakan hal yang paling penting untuk diperhatikan dalam setiap proses produksi, kualitas yang baik akan dihasilkan oleh proses yang terkendali. Kualitas menjadi faktor dasar keputusan konsumen dalam banyak produk dan jasa, tanpa membedakan apakah konsumen itu perorangan, kelompok industri, program pertahanan militer, atau toko pengecer. Akibatnya, kualitas adalah faktor kunci yang membawa keberhasilan bisnis, pertumbuhan, dan peningkatan posisi bersaing. (Sumber : “Pengantar PKS”, hal.3, Gajahmada University Press, Yogyakarta, Montgomery Douglas C, 1993). 2.1.1 Pengertian Kualitas Terdapat dua segi umum tentang kualitas, yaitu kualitas rancangan dan kualitas kecocokan. Dimana pada kualitas rancangan adalah variasi dalam tingkat kualitas yang memang sengaja dibuat. Perbedaan rancangan meliputi jenis bahan yang digunakan dalam pembuatan, daya tahan dalam proses pembuatan, keandalan yang diperoleh, dan perlengkapan atau alat-alat yang lain. Sedangkan untuk kualitas kecocokan adalah seberapa baik produk itu sesuai dengan spesifikasi dan kelonggaran yang disyaratkan oleh rancangan itu. (Sumber : “Pengantar
PKS”,
hal.2,
Montgomery Douglas C, 1993).
Gajahmada
University
Press,
Yogyakarta,
Sedangkan kualitas menurut Tjiptono F. & A. Diana bahwa konsep kualitas sering dianggap sebagai ukuran relatif kebaikan suatu produk atau jasa yang terdiri dari kualitas desain dan kualitas kesesuaian. Kualitas desain merupakan fungsi spesifikasi produk, sedangkan kualitas kesesuaian adalah suatu ukuran seberapa jauh suatu produk memenuhi persyaratan atau spesifikasi kualitas yang telah ditetapkan. (Sumber : “TQM”, hal.2, Penerbit Andi, Yogyakarta, Tjiptono F. and A. Diana, 2001). •
Elemen-elemen yang ada dalam pengertian kualitas antara lain : 1. Kualitas meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan. 2. Kualitas mencakup produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan. 3. Kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya apa yang dianggap merupakan kualitas saat ini mungkin dianggap kurang berkualitas pada masa mendatang). (Sumber : “TQM”, hal.3, Penerbit Andi, Yogyakarta, Tjiptono F. and A. Diana, 2001).
•
Berikut ini akan diberikan definisi kualitas menurut beberapa sumber : a. Juran (1974) Quality is fitness for use. Kualitas adalah kesesuaian dengan tujuan atau manfaatnya. (Sumber : “Manajemen Kualitas”, hal.8, Penerbit Ghalia Indonesia, Yogyakarta, Dorothea.WA, 2002). Atau kualitas adalah
kelayakan
atau
kecocokan
pengguna
(cocok
untuk
digunakan). Terdiri dari 2 aspek utama yaitu: 1. Ciri-ciri produk yang memenuhi permintaan pelanggan. 2. Bebas dari kekurangan. (Sumber : “TQM”, hal.24, Penerbit Andi, Yogyakarta, Tjiptono F. and A. Diana, 2001).
b. Crosby (1979) Quality is conformance to requerements or specification. Kualitas adalah kesesuaian dari permintaan atau spesifikasi (sama dengan persyaratan). Atau kualitas adalah kesesuaian dengan kebutuhan yang meliputi availability, delivery, reliability, maintainability, dan cost effectiveness. (Sumber : “Manajemen Kualitas”, hal.8, Penerbit Ghalia Indonesia, Yogyakarta, Dorothea.WA, 2002). b. Deming (1986) Kualitas adalah suatu tingkat yang dapat diprediksi dari keseragaman dan ketergantungan pada biaya yang rendah dan sesuai dengan pasar. (Sumber : “TQM”, hal.61, Penerbit Andi, Yogyakarta, Tjiptono F. and A. Diana, 2001). Kualitas harus bertujuan memenuhi kebutuhan pelanggan sekarang dan di masa mendatang. (Sumber : “Manajemen Kualitas”,
hal.8,
Penerbit
Ghalia
Indonesia,
Yogyakarta,
Dorothea.WA, 2002). c. Feigenbaum (1991) Kualitas merupakan keseluruhan karakteristik produk dan jasa yang meliputi marketing, engineering, manufacture, dan maintenance, dimana produk dan jasa tersebut dalam pemakaiannya akan sesuai dengan kebutuhan dan harapan pelanggan. (Sumber : “Manajemen Kualitas”,
hal.8,
Dorothea.WA, 2002).
Penerbit
Ghalia
Indonesia,
Yogyakarta,
d. Scherkenbach (1991) Kualitas ditentukan oleh pelanggan; pelanggan menginginkan produk dan jasa yang sesuai dengan kebutuhan dan harapannya pada suatu tingkat harga tertentu yang menunjukkan nilai produk tersebut. e. Hence Kualitas dari suatu produk atau jasa adalah kelayakan atau kecocokan dari produk atau jasa tersebut untuk memenuhi kegunaannya sehingga sesuai dengan yang diinginkan oleh costumer. f. Goetsch and Davis (1994, p.4) Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Dari definisi-definisi diatas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kualitas adalah kesesuaian antara produk yang dihasilkan oleh perusahaan dengan spesifikasi yang diinginkan oleh pelanggan. Meskipun tidak ada definisi mengenai kualitas yang diterima secara universal, dari definisi-definisi yang ada terdapat beberapa kesamaan yaitu dalam elemen-elemen sebagai berikut : a. Kecocokan untuk dipakai b. Kesesuaian dengan spesifikasi c. Menghasilkan produk yang sangat baik d. Keunggulan dalam produk dan jasa e. Kepuasan total pelanggan f. Melampaui harapan pelanggan
Kualitas telah muncul sebagai strategi bisnis baru yang utama. Ini terjadi karena beberapa alasan, meliputi : a. Meningkatkan kesadaran pelanggan akan kualitas dan orientasi pelanggan yang kuat akan penampilan kualitas b. Kemampuan produk c. Peningkatan tekanan biaya pada tenaga kerja, energi dan bahan baku d. Persaingan yang semakin intensif e. Kemajuan yang luar biasa dalam produktivitas melalui program keteknikan kualitas yang efektif. (Sumber : “Pengantar PKS”, hal.5, Gajahmada University Press, Yogyakarta,
Montgomery Douglas C,
1993). 2.1.2 Ciri-ciri Kualitas Setiap
produk
mempunyai
sejumlah
unsur
yang
bersama-sama
menggambarkan kecocokan penggunanya. Parameter-parameter ini biasanya dinamakan ciri-ciri kualitas. Ciri-ciri kualitas ada beberapa jenis : 1. Fisik, yaitu Panjang, berat, voltase, kekentalan. 2. Indera, yaitu Rasa, penampilan, warna. 3. Orientasi waktu, yaitu keandalan (dapatnya dipercaya), dapatnya dipelihara, dapatnya dirawat. (Sumber : “Pengantar PKS”, hal.3, Gajahmada University Press, Yogyakarta, 1993).
Montgomery Douglas C,
2.1.3 Perencanaan Kualitas Perencanaan kualitas meliputi pengembangan produk, sistem, dan proses yang dibutuhkan untuk memenuhi atau melampaui harapan pelanggan. Langkahlangkah yang dibutuhkan menurut The Juran Trilogy adalah : 1. Menentukan siapa yang menjadi pelanggan. 2. Mengidentifikasi kebutuhan para pelanggan. 3. Mengembangkan produk dengan keistimewaan yang dapat memenuhi kebutuhan pelanggan. 4. Mengembangkan sistem dan proses yang memungkinkan organisasi untuk menghasilkan keistimewaan tersebut. 5. Menyebarkan rencana kepada level operasional. 2.1.4 Pengendalian Kualitas Tidak mungkin untuk memeriksa atau menguji kualitas kedalam suatu produk itu harus dibuat dengan benar sejak awal. Ini berarti bahwa proses produksi harus stabil dan mampu beroperasi sedemikian hingga sebenarnya semua produk yang dihasilkan sesuai dengan spesifikasi. Pengendalian proses statistik pada jalur adalah alat utama yang digunakan dalam membuat produk dengan benar sejak awal (Sumber : “Pengantar PKS”, hal.117, Gajahmada University Press, Yogyakarta, Montgomery Douglas C, 1993). Pengendalian kualitas adalah aktivitas keteknikan dan manajemen, yang dengan aktivitas itu kita ukur ciri-ciri kualitas produk, membandingkannya dengan spesifikasi atau persyaratan, dan tindakan penyehatan yang sesuai apabila ada perbedaan antara penampilan yang sebenarnya dan yang standart. (Sumber :
“Pengantar PKS”, hal.3, Gajahmada University Press, Yogyakarta, Montgomery Douglas C, 1993). •
Langkah-langkah dalam pengendalian kualitas menurut The Juran Trilogy, yaitu : 1. Menilai kinerja kualitas aktual. 2. Membandingkan kinerja dengan tujuan. 3. Bertindak berdasarkan perbedaan antara kinerja dan tujuan.
•
Tujuan dari pelaksanaan kualitas adalah : 1. Pencapaian kebijaksanaan dan terget perusahaan secara efisien. 2. Perbaikan hubungan manusia. 3. Peningkatan moral karyawan. 4. Pengembangan kemampuan tenaga kerja.
Dengan mengarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan diatas maka akan terjadi peningkatan produktivitas dan profibilitas usaha. Secara spesifik dapat dikatakan bahwa tujuan pengendalian kualitas adalah : 1. Memperbaiki kualitas produk yang dihasilkan. 2. Penurunan ongkos kualitas (cost of quality) secara keseluruhan. 2.1.5 Perbaikan Kualitas Perbaikan harus dilakukan secara on-going dan terus-menerus. Langkahlangkah yang dapat dilakukan menurut The Juran Trilogy adalah : 1. Mengembangkan infrastruktur yang diperlukan untuk melakukan perbaikan kualitas setiap tahun. 2. Mengidentifikasi bagian-bagian yang membutuhkan perbaikan dan melakukan proyek perbaikan.
3. Membentuk suatu tim proyek yang bertanggung jawab dalam menyelesaikan setiap proyek perbaikan. 4. Memberikan tim-tim tersebut apa yang mereka butuhkan agar dapat mendiagnosis masalah guan menentukan sumber penyebab utama, memberikan
solusi,
dan
melakukan
pengendalian
yang
akan
mempertahankan keuntungan yang diperoleh. (Sumber : “TQM”, hal.55, Penerbit Andi, Yogyakarta, Tjiptono F. and A. Diana, 2001). 2.1.6 Metode-metode Manajemen Kualitas Dalam melakukan perbaikan kualitas, metode-metode yang dapat digunakan antara lain : a. Total Quality Management (TQM) Evolusi gerakan total quality dimulai dari masa studi waktu dan gerak oleh Bapak Manajemen Ilmiah Frederick Taylor pada tahun 1920an. Seiring dengan meningkatnya volume dan kompleksitasnya pemanufakturan, kualitas juga menjadi hal yang semakin sulit. Volume dan kompleksitas mendorong timbulnya quality engineering dan reliability
engineering.
Quality
Engineering
sendiri
mendorong
timbulnya penggunaan metode-metode statistik dalam pengendalian kualitas, yang akhirnya mengarah pada konsep control chart dan statistical process control. Kedua konsep terakhir ini merupakan aspek fundamental dari Total Management. Menurut Ishikawa, Total Quality Management diartikan sebagai perpaduan semua fungsi perusahaan ke dalam falsafah holistic yang dibangun berdasarkan konsep kualitas, team work, produktivitas dan
pengertian serta kepuasan pelanggan. Sedangkan menurut Santoso, TQM merupakan sistem manajemen yang mengangkat kualitas sebagai strategi usaha dan berorientasi pada kepuasan pelanggan dengan melibatkan seluruh anggota organisasi. (Sumber : “TQM”, hal.4, Penerbit Andi, Yogyakarta, Tjiptono F. and A. Diana, 2001). Dari definisi-definisi diatas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa TQM adalah suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungannya. (Sumber : “TQM”, hal.4, Penerbit Andi, Yogyakarta, Tjiptono F. and A. Diana, 2001). •
Prinsip pokok dalam TQM menurut Hensler dan Brunell, yaitu : 1. Kepuasan pelanggan. 2. Respek terhadap pelanggan. 3. Manajemen berdasarkan fakta. 4. Perbaikan berkesinambungan.
•
Unsur pokok dalam TQM menurut Goetsch dan Davis, yaitu : a. Fokus pada pelanggan. b. Obsesi terhadap kualitas. c. Pendekatan ilmiah. d. Komitmen jangka panjang. e. Kerja sama tim (Teamwork). f. Perbaikan sistem secara berkesinambungan. g. Pendidikan dan pelatihan.
h. Kebebasan yang terkendali. i. Kesatuan tujuan. j. Adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan. •
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan kegagalan TQM, antara lain : 1. Delegasi dan kepemimpinan yang tidak baik dari manajemen senior. 2. Team mania. 3. Proses penyebarluasan (deployment). 4. Menggunakan pendekatan yang terbatas dan dogmatis. 5. Harapan yang terlalu berlebihan dan tidak realistis. 6. Empowerment yang bersifat premature. (Sumber : “TQM”, hal.16-21, Penerbit Andi, Yogyakarta, Tjiptono F. and A. Diana, 2001).
b. Plan-Do-Check-Act (PDCA)/Siklus Deming Ada banyak “model perbaikan” yang diterapkan pada proses selama bertahun-tahun sejak gerakan kualitas dimulai. Sebagian besar dari model terseut didasarkan pada langkah-langkah yang diperkenalkan oleh
W.
Edwards
Deming.
Plan-Do-Check-Act
atau
PDCA
menggambarkan logika dasar dari perbaikan proses berbasis data dimana siklus deming ini dikembangkan untuk menghubungkan antara produksi suatu produk dengan kebutuhan pelanggan, dan memfokuskan sumber daya semua departemen (riset, desain, produksi, pemasaran) dala suatu usaha kerja sama untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Siklus PDCA (siklus deming) dapat digambarkan sebagai berikut :
Action (A) Bertindak
Check (C) Memeriksa
A
P
C
D
Plan (P) Merencanakan
Do (D) Melaksanakan
Gambar 2.1. Siklus PDCA Dimana : P (Plan)
: Mengadakan riset konsumen dan menggunakannya dalam perencanaan produk.
D (Do)
: Melaksanakan sesuai dengan rencana untuk menghasilkan produk.
C (Check)
: Memeriksa produk yang dihasilkan, apakah telah sesuai dengan rencana.
A (Action) : Memasarkan produk tersebut. (Sumber : “TQM”, hal.50, Penerbit Andi, Yogyakarta, Tjiptono F. and A. Diana, 2001). c. Six Sigma Six Sigma merupakan sebuah sistem yang komprehensif dan fleksibel untuk mencapai, mempertahankan, dan memaksimalkan sukses bisnis. Six Sigma secara unik dikendalikan oleh pemahaman yang kuat terhadap kebutuhan pelanggan, pemakaian yang disiplin terhadap fakta, data, dan analisis statistik, dan perhatian yang cermat untuk mengelola, memperbaiki dan menanamkan kembali proses bisnis. (Sumber : “The
Six Sigma Way”, hal.xi, Penerbit Andi, Yogyakarta, Cavanagh, Peter S. Pande, Robert P.Neuman, 2002). Six Sigma adalah suatu visi peningkatan kualitas menuju target 3,4 kegagalan per sejuta kesempatan (DPMO) untuk setiap transaksi produk (barang dan/atau jasa). Upaya giat menuju kesempurnaan (zero defect-kegagalan nol). (Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.8, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002).
2.2 Pengertian Data Data adalah catatan tentang sesuatu, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif yang dipergunakan sebagai petunjuk untuk bertindak. (Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.14, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002). 2.2.1 Jenis-jenis Data Berdasarkan data, kita mempelajari fakta-fakta yang ada dan kemudian mengambil tindakan yang tepat berdasarkan pada fakta itu. Dalam konteks pengendalian proses statistikal dikenal dua jenis data, yaitu : 1. Data Atribut (Attributes Data) Merupakan data kualitatif yang dihitung menggunakan daftar pencacahan atau tally untuk keperluan pencatatan dan analisis. Data atribut bersifat diskrit. Jika suatu catatan hanya merupakan suatu ringkasan atau klasifikasi yang berkaitan dengan sekumpulan persyaratan yang telah ditetapkan. Contoh data atribut karakteristik kualitas adalah : ketiadaan label pada kemasan produk, kesalahan proses administrasi buku tabungan
nasabah, banyaknya jenis cacat pada produk, banyaknya produk kayu lapis yang cacat karena corelap, dan lain-lain. Data
atribut
biasanya
diperoleh
dalam
bentuk
unit-unit
nonkonformans/ketidaksesuian atau cacat/kegagalan terhadap spesifikasi kualitas yang ditetapkan. 2. Data Variabel (Variables Data) Merupakan data kuantitatif yang diukurmenggunakan alat pengukuran tertentu untuk keperluan pencatatan dan analisis. Data variabel bersifat kontinyu. Jika suatu catatan dibuat berdasarkan keadaan aktual, diukur secara langsung, maka karakteristik kualitas yang diukur itu disebut sebagai variabel. Contoh data variabel karakteristik kualitas adalah diameter pipa, ketebalan produk kayu lapis, berat semen dalam kantong, konsentrasi elektrolit dalam semen, dll. Ukuran-ukuran berat, panjang, lebar, tinggi, diameter, lebar, tinggi, volume merupakan data variabel. (Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.14, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002).
2.3 Pengendalian Proses Suatu sistem produksi merupakan sebuah hirarki dari proses produksi, terdiri dari proses-proses produksi utama yang terurai menjadi subproses-subproses masing- masing. Pengendalian proses berfokus kepada hasil dan meupakan suatu kombinasi komplek dari proses pengukuran, pembandingan, dan perbaikan. Proses pengukuran dilakukan baik terhadap parameter strategis maupun parameter taktis, misalnya mengukur kondisi operasional saat ini. Hasil pengukuran ini
kemudian dibandingkan dengan nilai sasaran masing-masing yang ingin dicapai. Biasanya terdapat beberapa nilai yang melampaui sasaran, disamping juga terdapat nilai yang masih di bawah target. Jika dirasa perlu, dilakukan beberapa tindakan untuk mengembalikan parameter yang telah diukur tadi sehingga sesuai dengan target semula. Secara umum, terdapat tiga macam metode pengendalian proses, yaitu: 1. Berbasis pelaku
Dimana manusia melakukan pemilihan/pengukuran, pembandingan, serta perbaikan berdasarkan intuisi dengan tujuan/kuantitas pengukuran dan pembandingan yang terbatas. Contoh: pengalaman, aturan pragmatis (sesuai kegunaan). 2. Berbasis tujuan
Dimana manusia – dengan bantuan alat/model analisis matematik/statistik melakukan
proses
pemilihan/pengukuran,
pembandingan,
maupun
perbaikan. Contoh: peta kendali atribut, peta kendali variabel. 3. Berbasis peralatan
Dimana
peralatan
dimanfaatkan
mekanik,
untuk
elektromekanik,
melakukan
dan/atau
keseluruhan
urutan
elektronik proses
pemilihan/pengukuran,pembandingan, maupun perbaikan. Contoh: expert systems, neural networks. Tujuan utama pengendalian proses – terlepas dari metode yang digunakan apakah berbasis pelaku, tujuan, ataukah peralatan – adalah untuk secara konsisten melakukan proses produksi yang selalu mendekati target yang telah ditetapkan
sehingga menghasilkan produk yang memenuhi spesifikasi, mengurangi atau menghilangkan terjadinya pengerjaan ulang ataupun produk cacat. Pada dasarnya pengendalian dan peningkatan proses industri mengikuti konsep siklus hidup proses (process life cycle) seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.2. Interpretasi dari siklus hidup proses industri dapat dilihat dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1: Analisis Sistem Industri Sepanjang Siklus Hidup Proses Industri
Dalam Gambar 2.2 dan Tabel 2.1 dapat diketahui bahwa target dari pengendalian proses adalah membawa proses industri untuk beroperasi pada kondisi No. 3,yaitu proses industri yang memiliki stabilitas (stability) dan kemampuan (capability) hingga mencapai tingkat kegagalan nol (zero defects oriented). 2.3.1 Pengendalian Proses Statistikal Istilah pengendalian proses statistikal (Statistical Process Control – SPC) digunakan untuk menggambarkan model berbasis penarikan sampel yang diaplikasikan untuk mengamati aktifitas proses yang saling berkaitan. Meski SPC merupakan alat bantu yang sangat berguna dalam memastikan apakah proses tetap berada dalam batas-batas yang telah ditetapkan, namun umumnya metode ini tidak
dapat menyediakan cara untuk membuat proses tetap dalam batas kendali. Oleh sebab itu, jelas dibutuhkan campur tangan dan pertimbangan manusia untuk menentukan cara yang efektif dan efisien dalam membuat proses tetap dalam kondisi mampu dan stabil. Pengendalian proses statistikal lebih menekankan pada pengendalian dan peningkatan proses berdasarkan data yang dianalisis menggunakan alat-alat statistika, bukan sekadar penerapan alat-alat statistika dalam proses industri. 2.3.2. Kestabilan dan Kemampuan Proses Kestabilan proses (process stability)—yang berarti ketepatan proses dalam mencapai target yang telah ditentukan—secara tidak langsung menggambarkan bahwa proses dilakukan dengan baik. Hal ini merepresentasikan keadaan proses yang sedang berlangsung, seperti: bahan baku yang datang, mesin-mesin, dan skill operator. Sedangkan kemampuan proses (process capability) adalah suatu ukuran kinerja kritis yang menunjukkan hubungan antara hasil proses dengan spesifikasi proses/produk. Untuk menentukan apakah suatu proses berada dalam kondisi stabil dan mampu, maka dibutuhkan alat-alat atau metode statistika sebagai alat analisis. Prosedur lengkap penggunaan alat-alat statistika untuk pengembangan sistem industri menuju kondisi stabil dan mampu ditunjukkan dalam Gambar 2.3.
Gambar 2.3 : Penggunaan alat statistika untuk pengembangan sistem industry ( Gaspers 2002;204) 2.3.3 Metode Pengendalian Proses Statistikal Alat bantu yang paling umum digunakan dalam pengendalian proses statistikal adalah peta kendali (Control Chart). Fungsi peta kendali secara umum adalah: •
Membantu mengurangi variabilitas produk.
•
Memonitor kinerja proses produksi setiap saat.
•
Memungkinkan proses koreksi untuk mencegah penolakan.
•
Trend dan kondisi di luar kendali dapat diketahui secara cepat. Peta kendali dibuat secara kontinyu dalam suatu interval keyakinan
tertentu, biasanya 3 standar deviasi (3σ). Diagram ini memuat 3 macam garis batas, yaitu: •
Batas kendali atas (Upper Control Limit – UCL)
•
Rata-rata kualitas sampel
•
Batas kendali bawah (Lower Control Limit – LCL) Sampel yang berada dalam rentang UCL – LCL dikatakan berada dalam
kendali (in-control), sedangkan yang berada di luar rentang tersebut dikatakan di luar kendali (out-of-control). Secara umum peta kendali dapat digolongkan dalam 2 kategori, yaitu: •
Peta kendali variabel
•
Peta kendali atribut
•
Peta Kendali Variabel Peta kendali yang digunakan untuk mengamati jenis data variabel adalah
peta kendali X – R – s (Shewhart Control Charts). Peta kendali variabel memantau tingkat rata-rata kualitas melalui peta kendali X , sedangkan pemantauan variabilitas kualitas dapat menggunakan pengukuran rentang melalui peta kendali R atau pengukuran standar deviasi melalui peta kendali s. Apabila terdapat sampel sebanyak 1 sampai 10 maka digunakan peta kendali X – R, namun bila sampel lebih besar dari 10 maka digunakan peta kendali X – s. Pada mulanya, pengendalian proses statistikal hanya dilakukan dengan menggunakan peta kendali. Namun demikian, dalam perkembangannya pengendalian proses statistikal dilakukan dengan menerapkan tujuh metode utama yang umum digunakan (Ishikawa’s Basic Seven), yaitu: •
Diagram Sebab – akibat (Cause – Effect Diagram)
•
Grafik
•
Histogram
•
Diagram Pareto
•
Lembar Periksa (Check sheets)
•
Diagram Sebaran (Scatter Diagrams)
•
Peta Kendali (Control Charts) Disamping metode-metode statistikal di atas, terdapat pula beberapa alat
bantu yang juga sesuai digunakan untuk melakukan pengendalian proses, diantaranya: •
Analisis Kapabilitas
•
Design of Experiment (DOE)
•
Failure Mode and Effects Analysis (FMEA)
•
Gantt Chart
•
Gauge Studies Penggunaan metode-metode statistika dalam industri yang bersifat massal
akan meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku dan proses industri, sehingga memberikan dampak ekonomis bagi industri itu untuk menghadapi persaingan global yang sangat kompetitif.
2.4 Konsep Dasar Six Sigma Pada dasarnya pelanggan akan puas apabila mereka menerima nilai sebagaimana yang mereka harapkan. Apabila produk (barang dan/atau jasa) diproses pada tingkat kualitas Six Sigma, perusahaan boleh mengharapkan 3,4 kegagalan per sejuta kesempatan (DPMO) atau mengharapkan bahwa 99,99966 % dari apa yang diharapkan pelanggan akan ada dalam produk tersebut. Dengan demikian Six Sigma dapat dijadikan ukuran target kinerja sistem industri tentang bagaimana baiknya suatu proses transaksi produk antara pemasok (industri) dan pelanggan (pasar). Semakin tinggi target sigma yang dicapai, kinerja sistem
industri akan semakin baik. Sehingga Six Sigma dapat dipandang sebagai pengendalian proses industri berfokus pada pelanggan, melalui penekanan pada kemampuan proses (process capability). 2.4.1 Sigma Sigma adalah abjad Yunani ( σ ) yang yang menotasikan standart deviasi suatu proses pada statistik yang menunjukkan jumlah variasi atau ketidaktepatan suatu proses. Dengan kata lain, sigma merupakan unit pengukuran statistikal yang mendeskripsikan distribusi tentang nilai rata-rata (mean) dari setiap proses atau prosedur. 2.4.2 Six Sigma Six sigma merupakan suatu visi peningkatan kualitas menuju target 3,4 kegagalan per sejuta kesempatan (DPMO) untuk setiap transaksi produk (barang dan/atau jasa). Upaya giat menuju kesempurnaan (zero defect-kegagalan nol). . (Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.9,
Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, Gaspersz Vincent, 2002). Simbol Sigma ( σ ) sendiri seringkali dihubungkan dengan kemampuan proses yang terjadi terhadap produk yang diukur dengan defect per million opportunities (DPMO). Sumber dari defect atau cacat hampir selalu dihubungkan dengan variasi, misalnya variasi material, prosedur, perlakuan proses. Dengan demikian Six Sigma sendiri telah mengalami pertambahan lingkup seperti keterlambatan deadline, variabilitas lead time, dan lain-lain. Maka perhatian utama dari Six Sigma ini adalah variasi karena dengan adanya variasi maka kurang memenuhi spesifikasi dengan demikian mempengaruhi potensi pasar bahkan juga pertumbuhan pendapatan.
Tingkat kualitas sigma biasanya juga dipakai untuk menggambarkan variasi dari suatu proses. Semakin tinggi tingkat sigma maka semakin kecil toleransi yang diberikan pada kecacatan dan semakin tinggi kemampuan proses. Sehingga variasi yang dihasilkan semakin rendah dan dapat mengurangi frekuensi munculnya defect, biaya-biaya proses, waktu siklus proses mengalami penurunan dan kepuasan konsumen meningkat. (Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Gaspersz Vincent, 2002). Tingkat six sigma sering dihubungkan dengan kapabilitas proses yang dihitung dalam Defect per Million Opportunities (DPMO). Beberapa tingkat pencapaian six sigma sebagai berikut : Tabel 2.2. : Pencapaian Tingkat Six Sigma (Gaspersz, 2002) Tingkat Pencapaian Sigma
DPMO
Hasil
1
691.462
31%
2
308.538
69,2%
Rata-rata industri Indonesia
3
66.807
93,32%
Rata-rata industri Indonesia
4
6.210
99,379%
Rata-rata industri USA
5
233
99,977%
Rata-rata industri USA
6
3,4
99,9997%
Industri kelas mapan/dunia
Keterangan Sangat tidak kompetitif
Pada dasarnya pelanggan akan puas jika mereka menerima nilai sebagaimana yang mereka harapkan. Apabila produk diproses pada tingkat kualitas Six Sigma, perusahaan boleh mengharapkan 3,4 kegagalan per sejuta kesempatan atau mengharapkan bahwa 99,99966 persen dari apa yang diharapkan pelanggan akan ada dalam produk tersebut. Dengan demikian Six Sigma dapat dijadikan ukuran target kinerja sistem industri tentang bagaimana baiknya suatu proses transaksi produk antara pemasok (industri) dan pelanggan (pasar). Semakin
tinggi target sigma yang dicapai, kinerja sistem industri akan semakin baik. Six Sigma juga dapat dipandang sebagai pengendalian proses industri berfokus pada pelanggan, melalui penekanan pada kemampuan proses (process capability). (Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.9, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Gaspersz Vincent, 2002). Berikut ini akan diberikan alasan yang membuat Six Sigma berbeda dari TQM dan program-program kualitas sebelumnya : Tabel 2.3 Kelemahan TQM dan solusi Six Sigma No
Kelemahan TQM
Solusi Six Sigma
1
Kurangnya integrasi
Link (Hubungan) ke “lini dasar” bisnis dan personal
2
Kepemimpinan yang apatis
Kepemimpinan di barisan depan
3
Konsep yang tidak jelas tentang kualitas
Pesan sederhana yang diulang – ulang
4
Gagal untuk menghancurkan penghalang– penghalang internal
Prioritas terhadap fungsi manajemen proses lintas fungsi
5
Pelatihan yang tidak efektif
Blackbelts, Greenbelts, Master Blackbelts
6
Fokus pada kualitas produk
Perhatian pada semua proses bisnis
(Sumber : “The Six Sigma Way”, hal.46, Penerbit Andi, Yogyakarta, Cavanagh, Peter S. Pande, Robert P.Neuman, 2002). − Menurut Gaspersz (2002) dalam aplikasi konsep six sigma terdapat 6 aspek kunci yaitu : 1. Identifikasi pelanggan. 2. Identifikasi produk. 3. Identifikasi kebutuhan dalam memproduksi produk untuk pelanggan. 4. Definisi proses.
5. Menghindari kesalahan dalam proses dan menghilangkan pemborosan yang terjadi. 6. Meningkatkan proses secara terus menerus menuju target yang telah ditetapkan. − Terdapat 6 aspek kunci yang perlu diperhatikan dalam penerapan Six Sigma dibidang manufakturing, yaitu : 1. Identifikasi karakteristik produk yang akan memuaskan pelanggan (sesuai kebutuhan dan ekspektasi pelanggan). 2. Mengklasifikasikan semua karakteristik kualitas itu sebagai CTQ (Critical To Quality) individual. Critical To Quality adalah atribut-atribut yang sangat penting untuk diperhatikan karena berkaitan langsung dengan kebutuhan dan kepuasan pelanggan. CTQ merupakan elemen dari suatu produk, proses atau praktek-praktek yang berdampak langsung pada kepuasan pelanggan. 3. Menentukan apakah setiap CTQ itu dapat dikendalikan melalui pengendalian material, mesin, proses-proses kerja, dll. 4. Menentukan batas maksimum toleransi untuk setiap CTQ sesuai yang diinginkan pelanggan (menentukan nilai USL dan LSL dari setiap CTQ). 5. Menentukan maksimum variasi proses untuk setiap CTQ (menentukan nilai maksimum standart deviasi untuk setiap CTQ). 6. Mengubah desain produk atau proses sedemikian rupa agar mampu mencapai nilai target Six Sigma. (Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.9, 2002).
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent,
Six Sigma tidak muncul begitu saja. Sejak dulu konsep ilmu manajemen sudah berkembang di Amerika, kemudian dilanjutkan dengan gebrakan manajemen Jepang dengan konsep Total Quality. Total Quality Manajemen juga merupakan program peningkatan yang terfokus. Didalam Six Sigma terdapat lebih banyak tool improvement yang bisa dipakai. Selain itu didalam six sigma akan diperkenalkan suatu konsep mengenai defect, opportunity, DPMO, yang menjadi rujukan nilai sigma proses. Kita juga akan diperkenalkan dengan variasi proses (konsep untuk data kontinyu). Bukan berarti di dalam TQM hal tersebut tidak ada, hanya saja TQM tidak terlalu mementingkan pembahasan tersebut. Namun apabila ingin lebih mengenal proses, kita lebih mengetahui bagaimana variasi proses/produk kita, artinya juga berapa sigma dari proses/produk kita, maka Six Sigma lebih memadai dalam hal ini. Berikut ini akan diberikan alasan yang membuat Six Sigma berbeda dengan TQM dan program-program kualitas sebelumnya : a. Six Sigma terfokus pada konsumen. Konsumen, terutama eksternal konsumen selalu diperhatikan sebagai patokan arah peningkatan kualitas. b. Six Sigma menghasilkan Returns of investement yang besar (contohnya pada general electrics). c. Six Sigma mengubah cara manajemen beroperasi. Six Sigma lebih dari sekedar proyek peningkatan kualitas. Ia juga merupakan cara pendekatan baru terhadap proses berpikir, merencanakan dan memimpin untuk menghasilkan hasil yang baik.
2.4.2.1. Konsep Six Sigma Motorola Pada dasarnya pelanggan akan puas apabila mereka menerima nilai sebagaimana yang mereka harapkan. Apabila produk (barang / jasa) di proses pada tingkat kualitas Six Sigma, perusahaan boleh mengharapkan 3,4 kegagalan persejuta kesempatan (DPMO) atau mengharapkan bahwa 99,99% dari apa yang diharapkan pelanggan akan ada dalam produk itu. Dengan demikian Six Sigma dapat dijadikan ukuran target kinerja sistem industri tentang bagaimana baiknya suatu proses transaksi produk antara pemasok (industri) dan pelanggan (pasar). Semakin tinggi target Sigma yang dicapai , kinerja sistem industri akan semakin baik. Six Sigma juga dapat dianggap sebagai strategi terobosan yang memungkinkan perusahaan melakukan peningkatan luar biasa (dramatic) di tingkat bawah. Six Sigma juga dapat dipandang sebagai pengendalian proses industri berfokus pada pelanggan, melalui penekanan pada kemampuan proses (process capability). Pendekatan pengendalian proses 6-sigma Motorola (Motorola’s Six Sigma process control) mengizinkan adanya pergeseran nilai rata-rata (mean) setiap CTQ individu dari proses industri terhadap nilai spesefikasi target (T) sebesar ± 1,5–sigma , sehingga menghasilkan 3,4 DPMO (defect per million opportunities). Dengan demikian berdasarkan konsep Six Sigma Motorola, berlaku penyimpangan :(mean–Target ) = (μ − T ) = ± 1 , 5 σ atau μ = T ± 1,5σ .
Disini μ (mu) merupakan nilai rata–rata (mean) dari proses, sedangkan σ (sigma) merupakan variasi proses.
Proses Six Sigma dengan distribusi normal yang mengizinkan nilai rata–rata (mean) proses bergeser 1,5–sigma dari nilai spesifikasi target kualitas (T) yang diinginkan oleh pelanggan, ditunjukkan dalam Gambar 2.1
T USL
LSL - 1,5 sigma
- 6sigma
- 3sigma
- 2sigma - 1sigma
+1,5 sigma
mean + 1sigma + 2sigma + 3sigma
+ 6 sigma
Keterangan : sigma dalam bagan menunjukkan ukuran variasi dari proses yang stabil mengikuti distribusi normal Gambar 2.4 : Konsep Six sigma Motorola dengan Distribusi Normal bergeser 1,5–Sigma. Sumber : Vincent Gaspersz,2002, hal 11
Konsep Six Sigma Motorola dengan pergeseran nilai rata – rata (mean) dari proses yang diizinkan sebesar 1,5 –sigma (1,5 x standard deviasi maksimum ) adalah berbeda dari konsep Six Sigma dalam distribusi normal yang umum dipahami selama ini yang tidak mengizinkan pergeseran dalam nilai rata – rata (mean) dari proses. Perbedaan itu ditunjukkan dalam Tabel 2.2
Tabel 2.4 : Perbedaan True 6–Sigma dengan Motorola’s 6–Sigma
Sumber : Vinscent Gasperz , 2002, hal 11 2.4.2.2 Penentuan Kapabilitas Proses
Keberhasilan implementasi program peningkatan Six Sigma ditunjukan melalui peningkatan kapabilitas proses dalam menghasilkan produk menuju tingkat kegagalan nol (zero defect). Konsep perhitungan kapabilitas proses menjadi sangat penting untuk dipahami dalam implementasi program Six Sigma. Teknik penentuan kapabilitas proses yang berhubungan dengan CTQ untuk data variabel dan atribut.
Data adalah catatan tentang sesuatu, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif yang dipergunakan sebagai petunjuk untuk bertindak dan dalam konteks pengendalian proses statistika dikenal dua jenis data yaitu : 1. Data atribut ( Attributes Data) merupakan data kualitatif yang dihitung mengunakan daftar pencacahan atau tally untuk keperluan pencatatan dan analisis. Contoh data atribut karakteristik kualitas adalah ketiadaan label pada kemasan produk,banyaknya jenis cacat pada produk. 2. Data Variabel (Variables Data) merupakan data kuantitatif yang diukur menggunakan alat pengukuran tertentu untuk keperluan pencatatan dan analisis. Contoh data variabel karakteristik kualitas adalah diameter pipa, ketebalan produk kayu lapis, berat semen dalam kantong, ukuran-ukuran berat, panjang, lebar, tinggi, diameter, volume merupakan data variabel. Didalam teknik penentuan kapabilitas proses untuk kasus untuk data variabel misalnya; berdasarkan kebutuhan pelanggan diketahui bahwa diameter pipa yang diinginkan adalah 40 mm dengan batas toleransi adalah ± 5 mm. Pelanggan akan menolak setiap pipa yang diserahkan apabila diketahui berdiameter diatas 45 mm, dan dibawah 35 mm. Dalam konteks program peningkatan kualitas Six Sigma, menyatakan CTQ yang perlu diperhatikan adalah diameter pipa dengan spesifikasi sebagai berikut: 1. CTQ (Critical-to-Quality)
= Diameter pipa
2. Spesifikasi target (T)
= 40 mm
3. Batas spesifikasi atas (Upper specification limit = USL )
= 45 mm
4. Batas spesifikasi bawah (Lower specification limit = LSL )
= 35 mm
5. Rata-rata (mean) proses
= X-bar
6. Standar deviasi proses S S
= R-bar/d2 atau
(
Σ xi − x = n −1
)
2
dimana d2 adalah koefisien untuk pendugaan standar deviasi tergantung pada ukuran contoh sampel. 7. Kapabilitas proses Cpm
=
(USL – LSL )
{6
(x − bar − T )2 + S 2
}
Indeks kapabilitas proses (Cpm) digunakan untuk mengukur tingkat pada
mana suatu output proses berada pada nilai spesifikasi target kualitas (T) yang diinginkan oleh pelanggan. Semakin tinggi nilai Cpm menunjukkan bahwa output proses itu semakin mendekati nilai spesifikasi target kualitas (T) yang diinginkan oleh pelanggan, yang berarti pula bahwa tingkat kegagalan dari proses semakin berkurang menuju target tingkat kualitas kegagalan nol (zero defect oriented). Jika mengetahui berapa persen range (interval) toleransi spesifikasi bagi nilai rata-rata (interval toleransi spesifikasi= USL – LSL) menyimpang dari nilai target (T), maka : % Off-target = Absolut (X-bar – T) / (USL – LSL) ⊗ 100 %
2.4.3 Faktor Penentu Dalam Six Sigma
Dijelaskan pula bahwa faktor penentu dalam pelaksanaan Six Sigma ini antara lain : a. Costumer centric Pelanggan adalah tujuan utama Six Sigma dimana kualitas dari produk diukur melalui perspektif pelanggan dengan jalan : 1) Voice of coctumer (VOC), menyatakan keinginan pelanggan. 2) Requirements, masukan dari VOC ditransfer secara spesifik dengan elemen yang dapat diukur. 3) Critical to quality (CTQ), permintaan yang paling penting bagi pelanggan. 4) Defect, bagian yang kurang memenuhi spesifikasi. b. Financial Result Total Quality Management (TQM) dikenal lebih dahulu dari pada Six Sigma. Pada TQM sendiri susah menentukan hal mana yang dijadikan prioritas utama bahkan hampir semua proyek yang dikerjakan mengenakan biaya pada pelanggan dan penanam saham, sehingga dapat menghasilkan banyak biaya. TQM sering dipimpin oleh pihak yang paling kurang pemahaman terhadap pengendalian kualitas dan cenderung menemukan cara pengukurannya sendiri. Sedangkan Six Sigma mengakomodasikan penurunan biaya dan kenaikan pendapatan. c. Management Engagement Pada penerapan Six Sigma ini selain pada proses juga memerlukan perhatian dan kerjasama pada semua lini manajemen perusahaan.
d. Resources Commitment Komitmen untuk maju lebih ditekankan daripada jumlah personel yang terlibat dalam implementasi ini. e. Execution Infrastructure Six sigma didukung oleh infrastruktur yang berisi orang-orang dari top management sampai operasional dimana keseluruhannya memiliki fokus yang sama yaitu kepuasan pelanggan. (Sumber : “Lean Six Sigma”, McGraw-Hill Companies, Inc George, Michael L, 2002).
2.5. DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, dan Control)
DMAIC merupakan proses untuk peningkatan terus-menerus menuju target Six Sigma. DMAIC dilakukan secara sistematik, berdasarkan ilmu pengetahuan dan fakta. Proses ini menghilangkan langkah-langkah proses yang tidak produktif, sering berfokus pada pengukuran-pengukuran baru, dan menetapkan teknologi untuk peningkatan kualitas menuju target Six Sigma. (Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.8, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz
Vincent, 2002). Define (D) Control (C)
Improve (I)
Measure (M)
Analyze (A)
Gambar 2.5 Proses DMAIC
2.5.1 Define (D)
Merupakan langkah operasional pertama dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini, yang paling penting untuk dilakukan adalah identifikasi produk dan atau proses yang akan diperbaiki. Kita harus menetapkan prioritas utama tentang masalah-masalah dan atau kesempatan peningkatan kualitas mana yang akan ditangani terlebih dahulu. Pemilihan proyek terbaik adalah berdasarkan pada identifikasi proyek yang sesuai dengan kebutuhan, kapabilitas, dan tujuan organisasi yang sekarang. Secara umum setiap proyek Six Sigma yang terpilih harus mampu memenuhi kategori : 1. Memberikan hasil-hasil dan manfaat bisnis 2. Kelayakan 3. Memberikan dampak positif kepada organisasi (Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.33, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002). 2.5.2 Measure (M)
Merupakan langkah operasional kedua dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Terdapat 3 hal pokok yang harus dilakukan dalam tahap Measure, yaitu : 1. Memilih atau menentukan karakteristik kualitas (CTQ) kunci yang berhubungan langsung dengan kebutuhan spesifik dari pelanggan. 2. Melakukan pengumpulan data melalui pengukuran yang dapat dilakukan pada tingkat proses, output dan/atau outcome.
3. Mengukur kinerja sekarang (current performance) pada tingkat proses, output, dan/atau outcome untuk ditetapkan sebagai baseline kinerja (performance baseline) pada awal proyek Six Sigma. (Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.72, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002). 2.5.2.1 Penentuan Kapabilitas Proses Untuk Data Variabel
Membahas tentang teknik memperkirakan kapabilitas proses dalam ukuran pencapaian target sigma untuk data variabel (data yang diperoleh melalui pengukuran langsung). Data ini dihitung untuk keperluan pencatatan dan analisis. Tabel 2.5. Cara memperkirakan Kapabilitas Proses Untuk Data Variabel (Pipa) Langkah
Tindakan
Persamaan
Hasil Perhitungan
1
Proses apa yang anda ingin ketahui?
-
Pembuatan pipa
2
USL
45 mm
LSL
35 mm
4
Tentukan nilai batas spesifikasi atas (Upper Spesification Limit) Tentukan nilai batas spesifikasi bawah (Lower Spesification Limit) Tentukan nilai spesifikasi target
T
40 mm
5
Berapa nilai rata-rata (mean) proses
X-bar
37 mm
6
Berapa nilai standar deviasi dari proses Hitung kemungkinan cacat yang berada diatas nilai USL /(DPMO)
S
2 mm
P{z ≥ (USL–X-bar) / S} ⊗ 1.000.000 *) P{z ≤ (LSL–X-ar) / S} ⊗ 1.000.000 **) = (langkah 7)+ (langkah 8)
32
3
7 8
Hitung kemungkinan cacat yang berada diatas nilai LSL /(DPMO)
9
Hitung kemungkinan cacat per satu juta kesempatan (DPMO) dari proses diatas Konversi DPMO (langkah 9) ke dalam nilai sigma (Tabel lampiran 5) Hitung kemampuan proses diatas dalam ukuran nilai Sigma
10 11
12
Hitung kapabilitas proses diatas dalam indeks kapabilitas proses
-
158.655 158.687 2,50 ***)
Kapabilitas proses adalah 2,50 Sigma (rendah,tidak kompetitif) Cpm = (USL – LSL)/ 0,46 ****(rendah 6 ( X − bar − T ) 2 + tidak kompetitif) -
{
Catatan:
*)
P{z ≥ (USL–X-bar) / S} ⊗ 1.000.000 = P{z ≥ (45 – 37 )/ 2} ⊗ 10 = P {z ≥ 6
4} ⊗ 10 ={1–P(z ≤ 4} ⊗ 10 = (1–0,999968) ⊗ 10 = 32 6
6
6
**)
P{z ≤ (LSL–X-bar) / S} ⊗ 1.000.000 = P{z ≤ (35 – 37 )/ 2} ⊗ 10 = P {z ≤ -
***)
1} ⊗ 10 = 0,158655 ⊗ 10 =158.655 (Lihat tabel lampiran 1) Dari tabel lampiran 5 angka DPMO = 158.687 adalah paling dekat dengan DPMO =158.655 pada nilai Sigma =2,50.
6
6
****)
6
Cpm = (USL – LSL)/
{6
}
{6
( X − bar − T ) 2 + S 2
}
= (45–35)/
(37 − 40) 2 + 22 = 10 / 21,63 = 0,46
(Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.23, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002). Untuk menganalisa kualitas suatu produk yang memiliki berbagai macam variabel ( produk memiliki variabel lebih dari satu), maka produk tersebut analisanya tiap – tiap variabel. Untuk lebih jelasnya seperti tabel di bawah ini. Tabel 2.6
\(Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.230, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002). 2.5.2.2 Pengukuran Baseline Kinerja (performance baseline)
Baseline
kinerja
dalam
proyek
Six
Sigma
biasanya
diterapkan
menggunakan satuan pengukuran DPMO dan tingkat kapabilitas sigma (sigma level). Sesuai dengan konsep pengukuran yang biasanya diterapkan pada tingkat
proses, output dan outcome, maka baseline kinerja juga dapat ditetapkan pada tingkat proses, output dan outcome. Pengukuran biasanya dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana output dari proses dapat memenuhi kebutuhan pelanggan. (Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.112, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002). 2.5.2.3 Mengukur Tolok Ukur Kinerja (Performance Baseline)
Proyek peningkatan kualitas Six Sigma akan berfokus pada upaya-upaya giat dalam peningkatan kualitas menuju kegagalan nol (zero defect) sehingga memberikan kepuasan total kepada pelanggan. Oleh karenanya, sebelum suatu proyek Six Sigma dimulai, maka harus diketahui tingkat kinerja yang sekarang (current performance), atau dalam terminologi Six Sigma disebut sebagai tolok ukur kinerja (performance baseline).Setelah mengetahui tolok ukur kinerja ini, maka kemajuan peningkatan peningkatan yang dicapai setelah memulai proyek Six Sigma dapat diukur sepanjang masa berlangsung proyek Six Sigma itu. Tolok ukur kinerja dalam proyek Six Sigma biasanya ditetapkan menggunakan satuan pengukuran DPMO (Defects Per Million Opportunities) dan SQL (Sigma Quality Level). Hasil pengukuran pada tingkat output dapat berupa data variabel maupun data atribut, yang akan ditentukan kinerjanya menggunakan satuan pengukuran DPMO (Defects Per Million Opportunities) dan SQL (kapabilitas sigma). Rumus yang digunakan adalah : •
Rata-rata sampel dalam subgrup – X (Pyzdek, 2003: 394) adalah:
•
Rata-rata sampel keseluruhan – X (Pyzdek, 2003: 395) adalah:
•
Rentang – R (Pyzdek, 2003: 394) adalah:
•
Standar deviasi – s (Gaspersz, 2002: 128) adalah:
(d2 dilihat dalam Tabel Lampiran 1) •
Probabilitas cacat dalam DPMO untuk 1 batas spesifikasi (Gaspersz, 2002: 131) adalah:
•
Probabilitas cacat dalam DPMO untuk 2 batas spesifikasi (Gaspersz, 2002: 124) adalah:
•
Kapabilitas Sigma – SQL (Tabel Lampiran 5)
(Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.124, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002).
2.5.3 Analyze (A)
Merupakan langkah operasional ketiga dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini yang perlu diperhatikan adalah beberapa hal sebagai berikut : 1. Menentukan kapabilitas / kemampuan dari proses. Process capability merupakan suatu ukuran kinerja kritis yang menunjukkan proses mampu menghasilkan sesuai dengan spesifikasi produk yang telah ditetapkan oleh manajemen berdasarkan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan. 2. Mengidentifikasi sumber-sumber dan akar penyebab kecacatan atau kegagalan. Untuk mengidentifikasi sumber-sumber penyebab kegagalan, dapat menggunakan Fishbone diagram (cause and effect diagram). Dengan analisa cause and effect, manajemen dapat memulai dengan akibat sebuah masalah, atau dalam beberapa kasus, merupakan akibat atau hasil yang diinginkan dan membuat daftar terstruktur dari penyebab potensial.(Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.200, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002). Setelah akar-akar penyebab dari masalah ditemukan, maka dimasukkan ke dalam cause and effect diagram yang telah mengkategorikan sumber-sumber penyebab berdasarkan prinsip 7M, yaitu : 1) Manpower ( Tenaga Kerja ). 2) Machines ( Mesin-mesin ). 3) Methods ( Metode Kerja ). 4) Material ( Bahan Baku dan Bahan Penolong ).
5) Media (Surat Kabar). 6) Motivation ( Motivasi ). 7) Money ( Keuangan ). (Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.241, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002). 2.5.3.1. Menganalisis Stabilitas dan Kapabilitas Proses Perhitungan Stabilitas Proses
a. Satu Batas Spesifikasi (USL atau LSL) Rumus yang digunakan (Gaspersz, 2002: 214) adalah:
b. Dua Batas Spesifikasi (USL dan LSL) Rumus yang digunakan (Gaspersz, 2002: 206) adalah:
Perhitungan Kapabilitas Proses
a. Satu Batas Spesifikasi (USL atau LSL), (Gaspersz, 2002: 218) adalah:
b. Dua Batas Spesifikasi (USL dan LSL), (Gaspersz, 2002: 210) adalah:
dimana; SL= Batas Spesifikasi CTQ yang diinginkan pelanggan USL = Batas Atas Spesifikasi CTQ yang diinginkan pelanggan LSL = Batas Bawah Spesifikasi CTQ yang diinginkan pelanggan UCL = Upper Control Limit (Batas Kendali Atas) LCL = Lower Control Limit (Batas Kendali Bawah) T= Target spesifikasi CTQ yang diinginkan pelanggan S= Standar deviasi proses Smaks = Nilai batas toleransi maksimum standar deviasi X= Nilai rata-rata contoh (sample mean) proses Analisis kapabilitas proses digunakan secara luas dalam dunia industri untuk mengukur kemampuan perusahaan/pemasok dalam memenuhi spesifikasi kualitas. Terdapat berbagai indeks kapabilitas proses, namun dalam skripsi ini akan digunakan 2 macam indeks, yakni: •
Cpk (Indeks Kapabilitas Proses Aktual) Kelemahan utama indeks Cp adalah pada kenyataannya sangat sedikit proses yang tetap berpusat pada rata-rata proses. Untuk memperoleh pengukuran akan kinerja proses yang lebih baik, maka harus dipertimbangkan di mana rata-rata proses berlokasi relatif terhadap batas spesifikasi. Cpk mencari jarak terdekat lokasi pusat proses dengan USL atau LSL kemudian dibagi dengan rentang proses.
Kapabilitas proses potensial pada proses dengan tingkat kualitas Six Sigma:
dimana: USL = batas spesifikasi atas (Upper Specification Limit) LSL = batas spesifikasi bawah (Lower Specification Limit) µ= rata-rata proses σ= simpangan/standar deviasi •
Cpm (Indeks Kapabilitas Proses Taguchi) Indeks kapabilitas proses Cpm (disebut juga Taguchi Capability Index) digunakan untuk mengukur pada tingkat mana output suatu proses berada pada nilai spesifikasi target kualitas (T) yang diinginkan oleh pelanggan. Semakin tinggi nilai Cpm menunjukkan bahwa output proses itu semakin mendekati nilai spesifikasi target kualitas (T) yang diinginkan pelanggan, yang berarti pula bahwa tingkat kegagalan dari proses semakin berkurang menuju target tingkat kegagalan nol. Dengan demikian indikator keberhasilan program peningkatan kualitas Six Sigma dapat dilihat melalui nilai indeks kapabilitas proses Cpm yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Beberapa keuntungan penggunaan indeks Cpm adalah: ⇒ Indeks Cpm dapat diterapkan pada suatu interval spesifikasi yang tidak
simetris, dimana nilai spesifikasi target kualitas tidak berada tepat di tengah nilai USL dan LSL. ⇒ Indeks Cpm dapat dihitung untuk tipe distribusi apa saja, tidak
mensyaratkan data harus berdistribusi normal. Hal ini berarti perhitungan Cpm adalah bebas dari persyaratan distribusi data serta tidak memerlukan uji normalitas lagi untuk mengetahui apakah data yang dikumpulkan dari proses itu berdistribusi normal atau tidak. Dalam program peningkatan kualitas Six Sigma, biasanya dipergunakan kriteria sebagai berikut: ⇒ Cpm ≥ 2,00
Proses dianggap mampu dan kompetitif (perusahaan berkelas dunia). ⇒ 1,00 ≤ Cpm ≤ 1,99
Proses dianggap cukup mampu, namun perlu upaya-upaya giat untuk peningkatan kualitas menuju target perusahaan berkelas dunia yang memiliki tingkat kegagalan sangat kecil menuju nol (zero defect oriented). Perusahaan-perusahaan yang memiliki nilai Cpm yang berada di kisaran ini memiliki kesempatan terbaik dalam melakukan program peningkatan kualitas Six Sigma. ⇒ Cpm < 1,00
Proses dianggap tidak mampu dan tidak kompetitif untuk bersaing di pasar global.
2.5.3.2.
Mengidentifikasi
Sumber-Sumber
Penyebab
Kecacatan
atau
Kegagalan
Suatu solusi masalah yang efektif adalah apabila berhasil ditemukan sumber sumber penyebab masalah itu kemudian mengambil tindakan untuk menghilangkan akar-akar penyebab tersebut. Untuk dapat menemukan akar penyebab dari suatu masalah, perlu dipahami prinsip yang berkaitan dengan hukum sebab-akibat, yaitu: • Suatu akibat terjadi hanya jika penyebabnya itu ada pada titik yang sama dalam ruang dan waktu. • Setiap akibat memiliki paling sedikit dua penyebab dalam bentuk: a. Controllable Causes: penyebab itu berada dalam lingkup tanggung jawab dan wewenang manusia sehingga dapat diambil tindakan untuk menghilangkan penyebab itu. b. Uncontrollable Causes: penyebab yang berada di luar pengendalian manusia. Menemukan akar penyebab dari suatu masalah dapat dilakukan dengan menerapkan prinsip “5 Why’s”, yaitu dengan bertanya “mengapa” sebanyak lima kali tentang terjadinya suatu akibat maka akan dapat ditemukan dan dipahami sebab-sebab yang melatarbelakanginya. Selanjutnya akar-akar penyebab dari masalah yang ditemukan melalui bertanya “Why” beberapa kali itu dapat dimasukkan ke dalam Diagram Sebab – Akibat.
Diagram Sebab – Akibat
Diagram sebab-akibat (atau juga disebut Diagram Tulang-ikan, Diagram Ishikawa) dikembangkan oleh Kaoru Ishikawa dan pada awalnya digunakan oleh bagian pengendali kualitas untuk menemukan potensi penyebab masalah dalam proses manufaktur yang biasanya melibatkan banyak variasi dalam sebuah proses. Namun kemudian digunakan secara luas dalam setiap aspek kegiatan bisnis ketika diperlukan pemilahan penyebab timbulnya masalah untuk kemudian disusun dalam suatu hubungan yang saling berkaitan. Dalam industri manufaktur, pembuatan diagram sebab-akibat ini dapat menggunakan
konsep
“5M-1E”,
yaitu:
machines,
methods,
materials,
measurement, men/women, dan environment. Sedangkan dalam bidang pelayanan dapat memakai pendekatan “3P-1E” yang terdiri dari: procedures, policies, people, serta equipment.
2.5.4 Improve (I)
Merupakan langkah operasional keempat dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Langkah ini dilakukan setelah sumber-sumber dan akar penyebab dari masalah kualitas teridentifikasi. Pada tahap ini ditetapkan suatu rencana tindakan (action Plan) untuk melaksanakan peningkatan kualitas Six Sigma. Tool yang digunakan untuk tahap improve ini adalah FMEA (Failure Mode and Effect Analysis). (Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.282, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz Vincent, 2002). 2.5.4.1 Failure Mode Effect Analysis (FMEA)
FMEA adalah sekumpulan petunjuk, sebuah proses, dan form untuk mengidentifikasi
dan
mendahulukan
masalah-masalah
potensial
(kegagalan). (Sumber : “The Six Sigma Way”, hal.402, Penerbit Andi, Yogyakarta, Cavanagh, Peter S. Pande, Robert P.Neuman, 2002). Definisi FMEA yang lain yaitu suatu prosedur terstruktur untuk mengidentifikasi dan mencegah sebanyak mungkin mode kegagalan. Mode kegagalan ini meliputi apa saja yang termasuk dalam kecacatan desain, kondisi di luar batas spesifikasi yang telah ditetapkan atau perubahan-perubahan dalam produk yang menyebabkan terganggunya fungsi dari produk itu. Pada dasarnya FMEA terbagi menjadi 2 yaitu FMEA Design yang dipergunakan untuk memprediksi kesalahan yang akan terjadi pada desain proses produk, sedangkan FMEA process untuk mendeteksi kesalahan pada saat proses telah dijalankan. Dengan menggunakan FMEA maka akan meningkatkan keandalan dari suatu produk dan pelayanan sehingga meningkatkan kepuasan pelanggan yang menggunakan produk dan pelayanan tersebut.
Tahapan FMEA sendiri adalah : 1. Menetapkan batasan proses yang akan dianalisa, didapatkan dari tahap define dari proses DMAIC. 2. Melakukan pengamatan terhadap proses yang akan dianalisa. 3. Hasil pengamatan digunakan untuk menemukan kesalahan / defect potensial pada proses. 4. Mengidentifikasi potensial cause (penyebab dari kesalahan / defect yang terjadi). 5. Mengidentifikasikan akibat (effect) yang ditimbulkan. 6. Menetapkan nilai-nilai (dengan jalan brainstorming) dalam point : -
Keseriusan akibat kesalahan terhadap proses lokal, lanjutan dan terhadap konsumen (severity).
-
Frekuensi terjadinya kesalahan (occurance).
-
Alat kontrol akibat potential cause (detection).
7. Memasukkan kriteria nilai sesuai dengan 3 kriteria yang telah dibuat sebelumnya. 8. Dapatkan nilai RPN (Risk Potential Number) dengan jalan mengalikan nilai SOD (Severity, Occurance, Detection). 9. Pusatkan perhatian pada nilai RPN yang tertinggi, segera lakukan perbaikan terhadap potential cause, alat control dan efek yang diakibatkan. 10. Buat implementation action plan, lalu terapkan. 11. Ukur perubahan yang terjadi dalam RPN dengan langkah-langkah yang sama diatas.
12. Apabila ada perubahan maka pusatkan perhatian pada potential cause yang lain. Tidak ada angka acuan RPN untuk melakukan perbaikan. 2.5.4.1.1 Severity
Severity merupakan suatu estimasi atau perkiraan subyektif tentang bagaimana pengaruh buruk yang dirasakan akibat kegagalan dalam proses produk atau jasa. Adapun skala yang menggambarkan severity dapat diinterpretasikan pada tabel 2.4 berikut : Tabel 2.7. Skala Penilaian Severity Rating
Kriteria
1 2 3
Negligible severity Mild severity Mild severity
4
Moderat severity
5
Moderat severity
6
Moderat severity
7
High severity
8
High severity
9
Potential safety problem
Deskripsi Pengaruh buruk yang dapat diabaikan
Pengaruh yang ringan atau sedikit Pengaruh yang ringan atau sedikit Pengaruh buruk yang moderat (masih berada dalam batas toleransi) Pengaruh buruk yang moderat (masih berada dalam batas toleransi) Pengaruh buruk yang moderat (masih berada dalam batas toleransi) Pengaruh buruk yang tinggi (berada di luar batas toleransi) Pengaruh buruk yang tinggi (berada di luar batas toleransi) Akibat yang ditimbulkan sangat berbahaya (berkaitan dengan keselamatan atau keamanan potensial)
2.5.4.1.2 Occurrence
Occurrence menunjukkan nilai keseringan suatu masalah terjadi karena potensial cause. Adapun skala yang menggambarkan occurrence dapat diinterpretasikan pada tabel 2.5 berikut :
Tabel 2.8. Skala Penilaian Occurrence Rating
Tingkat Kegagalan
1
1 dalam 1.000.000
2 3 4 5 6 7 8
1 dalam 20.000 1 dalam 4.000 1 dalam 1.000 1 dalam 400 1 dalam 80 1 dalam 40 1 dalam 20
9
1 dalam 8
10
1 dalam 2
Deskripsi Tidak mungkin bahwa penyebab ini yang menyebabkan mode kegagalan Kegagalan akan jarang terjadi Kegagalan akan jarang terjadi Kegagalan agak mungkin terjadi Kegagalan agak mungkin terjadi Kegagalan agak mungkin terjadi Kegagalan adalah sangat mungkin terjadi Kegagalan adalah sangat mungkin terjadi Hampir dapat dipastikan bahwa kegagalan akan terjadi Hampir dapat dipastikan bahwa kegagalan akan terjadi
2.5.4.1.3 Detection
Detection merupakan alat kontrol yang digunakan untuk mendeteksi potential
cause.
Adapun
skala
yang
menggambarkan
detection
dapat
diinterpretasikan dalam tabel 2.8 berikut : Tabel 2.9. Skala Penilaian Detection Rating
Degree
Deskripsi
1
Very high
Otomatis proses dapat mendeteksi kesalahan yang terjadi (komputerisasi)
2
Very high
Hampir semua kesalahan dapat dideteksi oleh alat kontrol (visual pada bentuk barang dan double checking)
3
High
Alat kontrol cukup andal untuk mendeteksi kesalahan (visual pada bentuk barang)
4
High
Alat kontrol relatif andal untuk mendeteksi kesalahan (visual pada bentuk barang)
5
Moderate
Alat kontrol bisa mendeteksi kesalahan (visual pada susunan barang)
6
Moderate
Alat kontrol cukup bisa mendeteksi kesalahan (visual pada susunan barang)
7
Low
Keandalan alat kontrol untuk mendeteksi kesalahan
Rating
Degree
Deskripsi rendah (pengamatan fisik)
8
Low
Keandalan alat kontrol untuk mendeteksi kesalahan sangat rendah (perubahan warna)
9
Very low
Alat kontrol tidak bisa diandalkan untuk mendeteksi kesalahan (feeling berdasar pengalaman masa lalu)
10
Very low
Tidak ada alat kontrol yang bisa digunakan untuk mendeteksi kesalahan
2.5.5 Control (C)
Merupakan langkah operasional kelima dalam program peningkatan kualitas Six Sigma. Pada tahap ini hasil-hasil peningkatan kualitas didokumentasikan dan disebarluaskan, praktek-praktek terbaik yang sukses dalam meningkatkan proses distandarisasikan dan disebarkan, prosedur-prosedur didokumentasikan dan dijadikan pedoman kerja standar, serta kepemilikan atau tanggung jawab ditransfer dari tim Six Sigma kepada pemilik atau penanggung jawab proses, yang berarti proyek Six Sigma berakhir pada tahap ini. Standarisasi dimaksudkan untuk mencegah masalah yang sama atau praktek-praktek lama terulang kembali. (Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.293, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz, Vincent, 2002).
2.6
Penggunaan Metode Six Sigma
Secara umum metode Six Sigma yaitu merupakan suatu visi peningkatan kualitas menuju target 3,4 kegagalan persejuta kesempatan (DPMO) untuk setiap tansaksi produk (barang/jasa),upaya menuju kesempurnaan (zero defect– kegagalan nol). Pengendalian proses statistik metode Six Sigma yaitu merupakan salah satu alat pengendali kualitas yang digunakan sebagai proses kontrol
kecacatan suatu produk (barang/jasa) apakah memenuhi suatu batas spesifikasi produk yang telah ditetapkan. 2.6.1
Tinjauan Keberhasilan Penerapan Six Sigma di Industri
Banyak perusahaan–perusahaan dunia bahkan Indonesia pada saat ini telah menerapkan sistem pengendalian kualitas menggunakan metode Six Sigma sebagai salah satu alat untuk mengendalikan laju proses operasi diperusahaannya, demi terciptanya suatu kepuasan pelanggan yang beraneka ragam. a) Six Sigma Motorola Inc
Implementasi Six Sigma di perusahaan Motorola Inc, mencapai beberapa keberhasilan yang patut dicatat dai aplikasi progam Six Sigma, salah satunya sebagai berikut: 1. Peningkatan produktivitas rata – rata : 12,3% per tahun. 2. Penurunan COPQ (cost of poor quality) lebih dari 84% 3. Eliminasi kegagalan dalam proses sekitar 99,7% 4. Penghematan biaya manufakturing lebih dari $ 11 miliar. 5. Peningkatan tingkat pertumbuhan tahunan rata – rata 17% dalam penerimaan, keuntungan, dan harga saham Motorola. b) Six Sigma di General Electric
Perusahaan General Electric telah menunjukkan keberhasilan penerapan Six Sigma melalui suatu proses yang disebut “The MAIC Process at GE” yang menghasilkan manfaat atau hasil–hasil bagi organisasinya, seperti terjadi kerugian kecil pada investasi Six Sigma dari General Electric (GE’s Six Sigma) pada tahun 1996, sehingga pada tahun 1997 setelah implementasi Six Sigma perusahaan GE memperoleh beberapa manfaat antara lain :
1. Mendapatkan tambahan hasil bersih lebih dari $ 330 juta 2. Manajemen General Electric menargetkan penghematan sekitar $8 milyar–12 milyar pertahun melalui penghilangan produktivitas diseluruh lini bisns General Electric 2.6.2
Manfaat dan Implementasi Six Sigma
Perusahaan pada saat ini telah banyak menerapkan dan menetapkan sitem kualitas ISO 9001 : 2000, dengan mengintegrasikan sistem kualitas dengan program peningkatan kuliatas Six Sigma. Penggunaan progam Six Sigma yang bertujuan merekomendasikan suatu desain dan penilaian dari suatu sistem manajemen kualitas serta menjamin bahwa organisasi tersebut akan memberikan suatu produk (barang / jasa) yang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan, sehingga permintaan akan pelanggan dapat terpenuhi dengan baik yang mempunyai sifat sangat komplek dan luas.
2.7 Seven Tools
Tidak mungkin untuk memeriksa atau menguji kualitas kedalam suatu produk itu harus dibuat dengan benar sejak awal. Ini berarti bahwa proses produksi harus stabil dan mampu beroperasi sedemikian hingga sebenarnya semua produk yang dihasilkan sesuai dengan spesifikasi. Pengendalian kualitas adalah aktivitas keteknikan dan manajemen, yang dengan aktivitas itu kita ukur ciri-ciri kualitas produk,
membandingkannya
dengan
spesifikasi
atau
persyaratan
dan
mengansumsi, tindakan penyehatan yang sesuai apabila ada perbedaan antara penampilan yang sebenarnya dan yang standar.
Pengendalian proses statistik pada jalur adalah alat utama yang digunakan dalam membuat produk dengan benar sejak awal (Sumber : “Pengantar PKS”, Gajahmada University Press, Jogyakarta, Montgomery, Douglas C,
1993).
Terdapat alat-alat pengendalian kualitas yang memiliki tujuan yang sama, atau yang biasa lebih dikenal dengan nama Seven tools, Seven tools adalah 7 alat yang dipakai untuk mengendalikan kualitas dengan macam kegunaan dan fungsi yang berbeda namun memiliki tujuan yang sama. Seven tools tersebut antara lain : 1. Histogram
Histogram mempunyai bentuk seperti diagram batang yang dapat digunakan untuk mengetahui harga rata-rata atau central tendency dari nilai data yang terkumpul, harga maksimum dan minimum data, range data, besar penyimpangan atau dispersi terhadap harga rata-rata, bentuk distribusi data yang terkumpul. 2. Check Sheet
Adalah alat bantu untuk memudahkan proses pengumpulan data. Berupa lembaran dengan tabel-tabel untuk pengisian data. Informasi dari lembar pengecekan dipakai untuk menyelidiki trend masalah setiap saat. 3. Diagram Pareto
Diagram ini berguna untuk menunjukkan persoalan utama yang dominan dan perlu segera diatasi dengan suatu grafik yang meranking klasifikasi data dalam urutan terbesar ke terkecil dari kiri ke kanan. 4. Defect Concentration Diagram
Merupakan salah satu alat pengendalian kualitas yang digunakan sebagai alat untuk memastikan lokasi defect yang dapat memberikan
informasi tentang penyebab potensial defect. Konsep utama adalah menunjukkan secara langsung letak cacat yang terjadi pada spesimen dengan memberi tanda khusus pada gambar spesimen. 5. Cause-Effect Diagram
Diagram ini disebut juga dengan diagram tulang ikan karena bentuknya seperti ikan. Selain itu disebut juga dengan diagram Ishikawa karena yang menemukan adalah Prof. Ishikawa yang berasal dari Jepang. Diagram ini digunakan untuk menganalisa dan menemukan faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan dalam menentukan karakteristik kualitas output kerja, mencari penyebab-penyebab yang sesungguhnya dari suatu masalah. Ada 4 faktor penyebab utama yang signifikan yang perlu diperhatikan yaitu : metode kerja, mesin / peralatan lain, bahan baku, dan pengukuran kerja. (Cavanagh, Peter S. Pande, Robert P.Neuman 2002, “The Six Sigma Way”, Penerbit Andi, Jogyakarta).
Mengapa hanya diklasifikasikan pada 4 point, karena menurut Dr. Kaoru Ishikawa dalam bukunya teknik pengendalian mutu menyatakan hampir separuh kasus yang terjadi di lantai produksi disebabkan oleh bahan mentah, pengukuran, mesin atau peralatan dan metode kerja. Yang kemudian keempat penyebab tersebut mengakibatkan dispersi produk pada histogram bertambah besar. Menurut Vincent, akar-akar penyebab dari masalah yang ditemukan melalui ” Mengapa” beberapa kali kepada staf produksi dan
pihak manajemen, maka dimasukkan ke dalam diagram sebab-akibat yang telah mengkategorikan sumber-sumber penyebab berdasarkan prinsip 7M, yaitu : 1. Manpower (tenaga kerja) : berkaitan dengan kekurangan dalam pengetahuan (tidak terlatih, tidak berpengalaman), kekurangan dalam keterampilan dasar yang berkaitan dengan mental dan fisik, kelelahan, stress, ketidakpedulian, dll. 2. Machines (mesin-mesin) dan peralatan : berkaitan dengan tidak ada sistem perawatan preventif terhadap mesin-mesin produksi, termasuk fasilitas dan peralatan lain, tidak sesuai dengan spesifikasi tugas, tidak dikalibrasi, terlalu complicated, terlalu panas, dll. 3. Methods (metode kerja) : berkaitan dengan tidak ada prosedur dan
metode
kerja
yang
benar,
tidak
diketahui,
tidak
terstandarisasi, tidak cocok, dll. 4. Materials (beban baku dan bahan penolong) : berkaitan dengan ketiadaan spesifikasi kualitas dari bahan baku dan bahan penolong yang digunakan, ketidaksesuaian dengan spesifikasi kualitas bahan baku dan bahan penolong yang ditetapakan, ketiadaan penanganan yang efektif terhadap bahan baku dan bahan penolong itu, dll. 5. Media : berkaitan dengan tempat dan waktu kerja yang tidak memperhatikan
aspek-aspek
kebersihan,
kesehatan,
dan
lingkungan kerja yang kondusif, kekurangan dalam lampu
penerangan, ventilasi yang buruk, kebisingan yang berlebihan, dll. 6. Motivation (motivasi) : berkaitan dengan ketiadaan sikap kerja yang benar dan profesional (tidak kreatif, bersikap reaktif, tidak mampu bekerja sama dalam tim, dll), yang dalam hal ini disebabkan oleh sistem balas jasa dan penghargaan yang tidak adil kepada tenaga kerja. 7. Money (keuangan) : berkaitan dengan ketiadaan dukungan finansial (keuangan) yang mantap guna memperlancar proyek peningkatan kualitas Six Sigma yang akan diterapkan.
Money
Media
Akar Penyebab
Akar Penyebab
Materials
Methods
Akar Penyebab
Akar Penyebab
Akar Penyebab
Akar Penyebab
Akar Penyebab
Motivation
Machines
Manpower
AKIBAT
Gambar 2.6 Diagram Sebab Akibat
(Sumber : “Pedoman Implementasi Six Sigma”, hal.241, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Gaspersz, Vincent, 2002).
6. Scatter Diagram (Diagram Pencar)
Diagram ini digunakan untuk menemukan atau melihat korelasi dari suatu faktor penyebab yang berkesinambungan terhadap faktor lain. Dari penyebaran Scatter dapat dianalisa hubungan faktor sebab akibat. 7. Control Chart (Peta kontrol)
Peta kontrol pada dasarnya merupakan alat analisa yang dibuat mengikuti metode statistik dimana data yang berkaitan dengan kualitas produk atau proses diplot dalam sebuah peta dengan batas kontrol atas (BKA) dan batas kontrol bawah (BKB). Prosedur pengendalian proses Statistik pada jalur yang paling sederhana dapat dilakukan dengan grafik pengendali. Adapun 3 kegunaan pokok grafik pengendali : 1. Pemantauan dan pengawasan suatu proses. 2. Pengurangan variabilitas proses. 3. Penaksiran parameter produk atau proses.