BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis Regresi Berganda Analisis regresi merupakan analisis untuk mendapatkan hubungan dan model matematis antara variabel dependen (Y) dan satu atau lebih variabel independen (X). Menurut Drapper dan Smith dalam Astuti (2013), hubungan antara satu variabel dependen dengan satu atau lebih variabel independen dapat dinyatakan dalam model regresi linier. Secara umum hubungan tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut Y = β0 + β1X1 + ... + βpXp + ε , dimana Y variabel dependen, sedangkan β0, β1, ..., βp adalah parameter yang tidak diketahui, dan ε adalah error regresi. Jika dilakukan pengamatan sebanyak n, maka model pengamatan ke-i adalah Y = β0 + β1Xi1 + ... + βpXip + εt ,
i = 1,2,...,n
(2.1)
Jika diubah dalam matrik maka dapat dinyatakan sebagai berikut:
Y= ( )
X=[
]
β=
= (
)
(2.2) ( )
kalau disederhanakan menjadi Y = Xβ + ε , dimana Y adalah vektor berukuran nx1, X matriks berukuran n x k , β vektor berukuran kx1, dan ε vektor berukuran nx1. Matriks X mempunyai rank kolom penuh yaitu k, dimana k = p+1. Dalam
7
model regresi berganda ada asumsi normalitas yaitu
. Pengujian
kesesuaian model secara serentak dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut: H0 : β1 = β2 = ... = βp = 0 H1 : Paling sedikit ada satu βk
0, k=1,2,...,p
Tabel 2.1. ANOVA Sumber Variasi Regresi
Sum Square ∑ ̂
Error
∑
Total
̅
̂
Db P
Mean Square
Fhit
n - (p + 1)
SSR+SSE
n-1
Statistik uji dalam pengujian tersebut adalah Fhit =
(2.3)
dengan : MSR
: Mean Square Regression (Rataan Kuadrat Regresi)
MSE
: Mean Square Error (Rataan Kuadrat Sisa)
dengan keputusan model regresi sesuai untuk data yang digunakan jika Fhit > Fα;v1;v2 dimana v1 = p dan v2 = (n-p-1). Setelah dilakukan pengujian secara serentak, maka langkah selanjutnya adalah melakukan uji signifikansi secara parsial, untuk mengetahui variabel mana saja secara statistik signifikan mempengaruhi variabel dependen. Bentuk rumusan hipotesisnya adalah sebagai berikut : H0 : βk = 0 H1 : βk
0, dengan k=1,2,...,p
Dengan taraf signifikansi α = 0,05
8
Statistik uji yang digunakan dalam pengujian secara parsial adalah thit =
̂
(̂)
,
(2.4)
dengan keputusan tolak H0 jika | thit | >
dimana df = n-2-k (n adalah
jumlah pengamatan dan k adalah jumlah variabel independen). 2.2 Pemodelan Spasial Hukum pertama tentang geografi dikemukakan oleh Tobler (1979), menyatakan bahwa segala sesuatu saling berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi sesuatu yang dekat lebih mempunyai pengaruh daripada sesuatu yang jauh (Anselin dalam Septiana, 2011). Hukum tersebut merupakan dasar pengkajian permasalahan berdasarkan efek lokasi atau metode spasial. Hukum tersebut merupakan dasar pengkajian permasalahan berdasarkan efek lokasi atau metode spasial. Dalam pemodelan, apabila model regresi klasik digunakan sebagai alat analisis pada data spasial, maka dapat menyebabkan kesimpulan yang kurang tepat karena asumsi error saling bebas dan asumsi homogenitas tidak terpenuhi. Anselin (1988) mendeskripsikan dua efek spasial dalam ekonometrika meliputi efek dependensi spasial dan heterogenitas spasial. Efek dependensi spasial menunjukkan adanya keterkaitan (autocorrelation) antar lokasi obyek penelitian (cross sectional data set). Heterogenitas spasial mengacu pada keragaman bentuk fungsional dan parameter pada setiap lokasi. Lokasi-lokasi kajian menunjukkan ketidakhomogenan dalam data. Secara umum regresi spasial dinyatakan pada persamaan (2.5) dan (2.6) (LeSage, 1999; dan Anselin 1988). y = ρW1y + Xβ + u
(2.5) 9
dengan u = λW2u + ε
(2.6)
ε ~ N(0,σ2I) dimana y
: Vektor variabel dependen, ukuran n x 1
X
: matriks variabel independen, ukuran n x (k+1)
β
: Vektor parameter koefisien regresi, berukuran (k+1) x 1
ρ
: Parameter koefisien spasial lag variabel dependen
λ
: Parameter koefisien spasial lag pada error
u
: Vektor error pada persamaan (2.5) berukuran n x 1
ε
: Vektor error pada persamaan (2.6) berukuran n x 1, yang berdistribusi normal dengan mean nol dan varians σ2I
W1,W2 : Matriks pembobot, berukuran n x n I
: Matrik identitas, berukuran n x n
n
: Banyaknya amatan atau lokasi (i = 1, 2, 3, ..., n)
k
: Banyaknya variabel independen (k = 1, 2, 3, ..., l)
Error regresi (u) yang diasumsikan memiliki efek lokasi random dan mempunyai autokorelasi secara spasial. W1 dan W2 merupakan pembobot yang menunjukkan hubungan continguity atau fungsi jarak antar lokasi dan diagonalnya bernilai nol. Berikut ini adalah bentuk matrik persamaan (2.5) dan (2.7). u=[ ε=[
y=[
]
]
] 10
]
W1 atau W2 = [ ] In = [
X=[
]
Pada persamaan (2.5), ketika X = 0 dan W2 = 0 akan menjadi spasial autoregressive order pertama seperti pada persamaan (2.7). y = ρW1y + ε
(2.7)
ε = N(0,σ2I) Persamaan (2.7) tersebut menunjukkan variansi pada y sebagai kombinasi linear variansi antar lokasi yang berdekatan dengan tanpa variabel independen. 1.
Pada persamaan (2.5) jika nilai W2 = 0 atau λ = 0 maka akan menjadi model regresi spasial Mixed Regressive-Autoregressive atau Spatial Autoregressive Model (SAR) seperti pada persamaan (2.8). y = ρW1y + Xβ + ε
(2.8)
ε~ N(0, σ2I) Model persamaan (2.8) mengasumsikan bahwa proses autoregressive hanya pada variabel dependen. 2.
Jika persamaan (2.5) nilai W1 = 0 atau ρ = 0 maka akan menjadi model Spatial Error Model (SEM) seperti pada persamaan (2.9). y = Xβ + λW2u + ε
(2.9)
ε ~ N(0, σ2I) λW2u menunjukkan spasial struktur λW2 pada spatially dependent error (ε).
11
3.
Jika persamaan (2.5) nilai W1,W2 ≠ 0, λ ≠ 0 atau ρ ≠ 0 disebut Spatial Autoregressive Moving Average (SARMA) dengan persamaan sama seperti pada persamaan (2.5) Apabila ρ = 0 dan λ = 0, maka persamaan menjadi model regresi linear
sederhana yang estimasi parameternya dapat dilakukan melalui Ordinary Least Square (OLS) seperti pada persamaan (2.10). y = Xβ + ε
(2.10)
ε~ N(0, σ2I) Yang berarti dalam model persamaan (2.10) tersebut tidak terdapat efek spasial. 2.3 Spatial Error Model (SEM) Uji Residual SEM berbasis Maximum Likelihood Estimation dilakukan untuk mengetahui SEM. Anselin (1988) memaparkan bahwa tes untuk menguji Residual Spatial Autocorrelation ada 3 metode yaitu: Wald, Likelihood Ratio Test (LRT), dan Lagrange Multiplier (LM). LRT merupakan metode yang sering dipakai untuk enferensi dari SEM. Hipotesis yang dikemukakan adalah H0 : λ = 0 (tidak ada dependensi error spasial) H1 : λ
0 (ada dependensi error spasial)
Arbia (2006) mengemukakan inferensi dari LRT dengan persamaaan sebagai berikut. LRT = -2 {
]
|
|
12
}
[
(2.11)
dengan B = λW dimana λ = koefisien error spasial yang bernilai |λ| < 1 dan W merupakan matriks pembobot spasial. H0 ditolak jika statistik uji LRT > 2.4 Metode Maximum Likelihood Estimation (MLE) Estimasi parameter dilakukan dengan menggunakan metode MLE. Langkah pertama adalah dengan membentuk fungsi likelihood dari persamaan (2.8). Pembentukan fungsi likelihood tersebut dilakukan melalui error (ε) sehingga menjadi persamaan (2.13) dan persamaan (2.10).
(2.12)
⁄
= |
| |
dengan
⁄
= |
(
)
(2.13)
(
)
(2.14)
| adalah fungsi Jacobian, yaitu differensial persamaan
(2.12) terhadap y. Substitusi persamaan (2.14) pada persamaan (2.13) menghasilkan persamaan (2.14) maka didapatkan fungsi likelihood yaitu |
=
⁄
|
|
((
))
) ( (2.15)
13
Sehingga fungsi logaritma natural (ln Likelihood) yang didapat adalah pada persamaan (2.16) |
ln (L) = )) = ))
|
((
|
) (
|
((
) ( (2.16)
Dari persamaan (2.16) tersebut akan didapatkan estimasi parameter β. Sebuah estimator ML untuk β diperoleh dengan memaksimumkan fungsi ln likelihood persamaan (2.16), yaitu dengan mensubstitusikan β sama dengan nol. Estimasi ini sama dengan Generalised Least Square estimator (GLS estimator), ̂
̂
, sehingga dapat dianggap sebagai estimator kuadrat yang dihasilkan
pada regresi y* pada X* y* = ̂
̂
dan X* = ̂
̂
, sehingga estimasinya adalah
[
]
2.5 Matriks Pembobot
(2.17)
Salah satu hal yang sangat penting dalam analisis spasial adalah penentuan bobot atau penimbang. Cara untuk memperoleh matriks pembobot atau penimbang spasial (W) yaitu dengan menggunakan informasi jarak dari ketetanggan (neighborhood), atau kedekatan antara satu region dengan region yang lain. Lokasi yang dekat dengan lokasi yang diamati diberi pembobot besar,
14
sedangkan yang jauh diberi pembobot kecil. Pemberian koding pembobotan menurut Bivand dalam Kissling dan Carl (2007), diantaranya pada persamaan (2.18), (2.19), dan (2.20). 1.
2.
Kode biner Wij = {
(2.18)
Row Standardization Didasarkan pada jumlah tetangga pada satu baris yang sama pada matriks pembobot
3.
̂
(2.19)
∑
Varians stabilization Menstabilkan varian dengan menjumlahkan semua baris dan kolom. ̂
(2.20)
∑
Tobler dalam Anselin (1988), merumuskan hukum first law of geography
yang berbunyi “everything is related to everything else, but near things are more related than distant things” artinya segala sesuatu saling berkaitan satu sama lainnya, wilayah yang lebih dekat cenderung akan memberikan efek yang lebih besar dari pada wilayah yang lebih jauh jaraknya. Ada beberapa metode untuk mendefinisikan hubungan persinggungan (contiguity) antar wilayah tersebut. Menurut LeSage (1999), metode contiguity terdiri dari: 1.
Linier contiguity (persinggungan tepi) adalah lokasi yang berada di tepi kiri maupun kanan dari lokasi yang menjadi perhatian diberi pembobotan wij = 1, sedangkan untuk lokasi lainnya adalah wij = 0.
15
2.
Rook contiguity (persinggungan sisi) adalah lokasi yang bersisian dengan lokasi yang menjadi perhatian diberi pembobotan wij = 1, sedangkan untuk lokasi lainnya adalah wij = 0.
3.
Bishop contiguity (persinggungan sudut) adalah lokasi yang titik sudutnya bertemu dengan sudut lokasi yang menjadi perhatian diberi pembobotan wij = 1, sedangkan untuk lokasi lainnya adalah wij = 0.
4.
Double linier contiguity (persinggungan dua tepi) adalah lokasi yang berada di sisi kiri dan kanan lokasi yang menjadi perhatian diberi pembobotan wij = 1, sedangkan untuk lokasi lainnya adalah wij = 0.
5.
Double rook contiguity (persinggungan dua sisi) adalah lokasi yang berada di kiri, kanan, utara dan selatan lokasi yang menjadi perhatian diberi pembobotan wij = 1, sedangkan untuk lokasi lainnya adalah wij = 0.
6.
Queen contiguity (persinggungan sisi-sudut) adalah lokasi yang bersisian atau titik sudutnya bertemu dengan lokasi yang menjadi perhatian diberi pembobotan wij = 1, sedangkan untuk lokasi lainnya adalah wij = 0. Dalam
penelitian
ini
menggunakan
pembobot
Queen
contiguity
(persinggungan sisi-sudut) karena matriks pembobot ini mensyaratkan adanya pengelompokan wilayah yang memiliki persinggungan antara sisi dan sudut dari wilayah tersebut, dimana Wij = 1 untuk wilayah yang bersisian (common side) atau titik sudutnya (common vertex) bertemu dengan wilayah yang menjadi perhatian, Wij = 0 untuk wilayah lainnya.
16
2.6 Pemilihan Model Terbaik Kriteria pemilihan model terbaik yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan Akaike Info Criterion (AIC) Dinotasikan dengan AIC = -2Lm + 2m
(2.22)
dimana : Lm = Maksimum log-likelihood m
= jumlah parameter dalam model.
Model dengan nilai yang kecil adalah yang terbaik (Wei, 1990). 2.7 Komponen-komponen Penyusun IPM Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah indeks komposit yang disusun dari tiga komponen : lama hidup yang diukur dengan Angka Harapan Hidup ketika lahir (e0), pendidikan yang diukur berdasarkan Rata-rata Lama Sekolah dan Angka Melek Huruf, serta standar hidup yang diukur dengan Pengeluaran per Kapita (PPP-Puchasing Power Parity / paritas daya beli – dalam rupiah). Perubahan angka yang terjadi pada komponen IPM sangat dipengaruhi oleh beberapa variabel atau indikator pendukung. Jenis variabel atau indikator tersebut terbagi ke dalam indikator input, proses dan output. Sebagai contoh : angka harapan hidup merupakan indikator dampak (output) dari angka kematian bayi sebagai sasaran pembangunan. Angka kematian bayi sendiri dipengaruhi oleh cakupan imunisasi, penolong persalinan dan lain sebagainya (merupakan indikator proses).
17
Pada penelitian ini akan dibahas komponen-komponen penyusun IPM sebagai variabel-variabel yang mempengaruhi IPM di Jawa Tengah. Variabelvariabel yang digunakan adalah sebagai berikut. 1.
Angka Harapan Hidup (e0) Angka Harapan Hidup pada suatu umur x adalah rata-rata tahun hidup yang masih akan dijalani oleh seseorang yang telah berhasil mencapai umur x, pada suatu tahun tertentu, dalam situasi mortalitas yang berlaku di lingkungan masyarakatnya. AHH saat lahir adalah rata-rata tahun hidup yang akan dijalani oleh bayi yang baru lahir pada suatu tahun tertentu. AHH merupakan alat untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk pada umumnya, dan meningkatkan derajat kesehatan pada khususnya. AHH yang cukup tinggi di suatu daerah merupakan salah satu indikator dari keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan. Pernyataan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa lama hidup seseorang dipengaruhi oleh tingkat kesehatan yang tinggi, asupan gizi dan kalori yang baik dan kepedulian terhadap program sosial lainnya termasuk kesehatan lingkungan dengan
cara
merawatnya
yang
cukup
tinggi,
termasuk
program
pemberantasan kemiskinan. Dengan demikian harapan hidup panjang lagi akan lebih terwujud. Idealnya AHH dihitung berdasarkan Angka Kematian Menurut Umur (Age Specific Death Rate/ASDR) yang datanya diperoleh dari catatan registrasi kematian secara bertahun-tahun sehingga dimungkinkan dibuat
18
tabel kematian. Tetapi karena sistem registrasi penduduk di Indonesia belum berjalan dengan baik maka untuk menghitung AHH digunakan cara tidak langsung dengan program Mortpak4. AHH Propinsi Jawa Tengah Tahun 2011 adalah 71,55 tahun. Artinya bayi-bayi yang dilahirkan pada tahun 2011 diperkirakan dapat mencapai hampir usia 72 tahun. Sumber data lain untuk mendapatkan variabel penyusun indikator ini adalah Sensus penduduk dan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS). 2.
Angka Melek Huruf Angka Melek Huruf (AMH) adalah persentase penduduk usia 15 tahun keatas yang bisa membaca dan menulis serta mengerti sebuah kalimat sederhana dalam hidupnya sehari-hari. AMH merupakan salah satu komponen di bidang pendidikan yang diukur dengan kemampuan untuk membaca dan menulis. Semakain tinggi nilai komponen ini, maka akan semakin tinggi mutu sumber daya manusianya. Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan modal yang sangat berarti bagi pembangunan, baik pembangunan manusianya sendiri maupun pembangunan secara keseluruhan. AMH dapat digunakan untuk:
Mengukur keberhasilan program-program pemberantasan buta huruf, terutama di daerah pedesaan di Indonesia dimana masih tinggi jumlah penduduk yang tidak pernah bersekolah atau tidak tamat SD.
Menunjukkan kemampuan penduduk di suatu wilayah dalam menyerap informasi dari berbagai media.
19
Menunjukkan kemampuan untuk berkomunikasi secara lisan dan tertulis. Sehingga angka melek huruf dapat berdasarkan kabupaten mencerminkan potensi
perkembangan
intelektual
sekaligus
kontribusi
terhadap
pembangunan daerah. AMH didapat dengan membagi jumlah penduduk usia 15 tahun keatas yang dapat membaca dan menulis dengan jumlah penduduk usia 15 tahun keatas kemudian hasilnya dikalikan dengan seratus. (2.25) dimana
: : AMH ( penduduk usia 15 tahun keatas) pada tahun t : jumlah penduduk (usia diatas 15 tahun) yang bisa membaca dan menulis pada tahun t : jumlah penduduk usia 15 tahun keatas
Sumber data AMH dapat dihitung menggunakan data Susenas pertanyaan "Dapat membaca dan menulis" di seksi Keterangan Pendidikan. Melek huruf adalah mereka yang bisa membaca menulis huruf latin dan huruf lainnya. AMH yang cukup tinggi merupakan langkah awal yang cukup baik sebagai pijakan untuk membangun sumber daya manusia di masa yang akan datang. Fakta terakhir menunjukkan bahwa semakin baik sumber daya manusianya, maka penguasaan terhadapa ekonomi / kesejahteraan akan semakin dominan. Ini dibuktikan dengan penguasaan ekonomi oleh negaranegara maju yang notabene sumber daya alamnya cukup terbatas, akan tetapi
20
karena penguasaan teknologi yang bagus menjadikannya sebagai salah satu penguasa ekonomi dunia. Sebaliknya,
Angka
Buta
Huruf
menunjukkan
ketertinggalan
sekelompok penduduk tertentu dalam mencapai pendidikan. Angka Buta Huruf ini juga merupakan cerminan besar kecilnya perhatian pemerintah, baik pusat maupun lokal terhadap pendidikan penduduknya. 3.
Kemampuan Daya Beli (PPP) Daya beli adalah kemampuan masyarakat dalam membelanjakan uangnya dalam bentuk barang maupun jasa. Kemampuan daya beli menggambarkan tingkat kesejahteraan yang dinikmati oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sebagai dampak semakin membaiknya tingkat ekonomi agar dapat dikatakan memenuhi standar hidup layak. Meningkatnya pendapatan diharapkan kemampuan daya beli akan meningkat pula, dengan syarat kenaikan pendapatan tidak dibarengi kenaikan harga barang dan jasa yang jauh lebih tinggi. Dasar penghitungan kemampuan daya beli tidak secara langsung dikaitkan dengan salah satu indikator pendapatan yang sudah dikenal luas yaitu PDRB. Alasannya karena tolok ukur pendapatan daerah, produksinya tidak langsung dirasakan oleh penduduk, alasan lainnya karena pendapatan orang yang sama belum tentu mempunyai kemampuan daya beli yang sama bila kedua orang tersebut mempunyai temat tinggal yang berbeda. Sehingga perlu dilakukan penghitungan daya beli yang representatife.
21
Kemampuan daya beli antar daerah berbeda-beda dengan rentang tertinggi 732.720 dan yang terendah 360.000. Semakin rendahnya nilai daya beli suatu masyarakat berkaitan erat dengan kondisi perekonomian pada saat itu yang sedang memburuk, yang berarti semakin rendah kemampuan masyarakat untuk membeli suatu barang atau jasa. Idealnya untuk mengukur daya beli, pendekatan yang terbaik adalah dengan mengukur tingkat pendapatan (income) dengan disposable income. Namun, permasalahannya sulit sekali untuk megukur pendapatan seseorang karena setiap orang tidak hanya mendapatkan pendapatan dari gaji pokok mereka tetapi mereka juga kerap mendapat tambahan-tambahan dari sumber-sumber penghasilan yang lain. Nilai pengeluaran perkapita tidak dapat digunakan untuk keterbandingan antar wilayah mana yang daya belinya lebih baik. Selain itu 27 komoditi yang digunakan untuk mengukur daya beli tidak mencerminkan kondisi spesifik lokal dimana komoditas tiap daerah mungkin berbeda.
22