10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dan Batasan Pulau-Pulau Kecil 2.1.1. Definisi Pulau Kecil Dalam praktek, secara visual kita dengan sangat mudah dapat mengetahui, minimal mengenal, mana daratan yang dapat digolongkan sebagai pulau dan mana yang tidak. Nunn (1994) diacu dalam Adrianto (2005) mengkritik bahwa walaupun pulau telah dibicarakan selama berabad-abad, namun definisi lengkap tentang sebuah pulau masih sulit ditemukan. Definisi paling mudah adalah bahwa pulau merupakan daratan yang dikelilingi oleh laut. Dengan demikian seluruh daratan (termasuk kontinen) di dunia ini adalah pulau karena struktur alam bumi memang hanya terdiri dari daratan dan air. Fairbridge (1968) diacu dalam Adrianto (2005) memberikan definisi lain bahwa pulau adalah daerah daratan laut (ocean basins) yang memiliki karakteristik berbeda dengan daratan kontinen. Terkait dengan definisi ini kemudian Salm (1984) diacu dalam Adrianto (2005) mengajukan karakteristik dua pulau yaitu pulau-pulau oseanik dan kontinental, di mana pulau kontinental memiliki beberapa karakteristik kontinen sedangkan oseanik sama sekali tidak. Dalam konteks pulau kecil, ada beberapa definisi pulau kecil yang digunakan dalam berbagai studi tentang pulau-pulau kecil di dunia. Towle (1979) diacu dalam Debance (1999) diacu dalam Adrianto (2005) misalnya menggunakan definisi pulau kecil menurut The Commonwealth Secretary yaitu pulau yang memiliki luas kurang dari 10.000 km2 dan penduduk kurang dari 500.000 jiwa. Definisi ini juga digunakan oleh UNESCO dalam sekuel Man and the Biospherenya yang ke-5 yaitu Sustainable Development and Environmental Management of Small Islands (Beller et.al 1990 diacu dalam Adrianto 2005).
11
Tabel 1 Karakteristik Pulau Oseanik, Pulau Kontinental dan Daratan Kontinen No
Characteristics Geographical
1
2
Geological
Oceanic Islands Remote from continent Bounded by wide Seas, Small areas, Equable air temperatures
Continent Island Close to continents, Bounded in part by narrow areas, Large or small areas, Less equable air temperatures
Volcanic or coralline
Sedimentary or metamorphic
Few valuable minerals
Some minerals
Continent Very large areas Often very large seasonal and or diurnal temperature ranges Sedimentary or metamorphic or igneous Minerals Various soils
3
Biological
4
Historical
5
Economic
Permeable soil Impoverished overall biotic variety
Various soils Less impoverished overall biotic variety
High turnover of species Mass breeding of marine vertebrates
Lower species turnover
Often mass breeding of marine vertebrates Late discovery by humans Often early discovery Recent settlement Early or late settlement Few terrestrial resources Wide range of terrestrial resources Marine resources important Marine resources important Distant from major market
Nearer larger market
Full range of biotic variety Usually low species turnover Few marine vertebrates breeding ashore Often early discovery Settlement by humans Wide range of terrestrial resources Often marine resources unimportant Market relatively accessible
Sumber : Dimodifikasi dari Salm (1984) diacu dalam Adrianto (2005)
2.1.2. Batasan Tentang Pulau-Pulau Kecil Dengan perbandingan luas daerah lautan dan daratan sebagai 3:2 memberikan daerah pesisir dan lautan Indonesia memiliki berbagai macam sumberdaya alam. Teristimewa sumberdaya alam yang dapat pulih kembali seperti berbagai jenis ikan, udang, kepiting dan sebagainya, dan sejak lama dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia sebagai salah satu sumber bahan makanan utama, terutama sebagai sumber protein hewani. Masih ada sumberdaya alam lain dan jasa lingkungan yang belum diusahakan, ataupun kalau sudah, masih berada pada taraf yang masih rendah dan perlu untuk dimanfaatkan secara lebih baik untuk kesejahteraan bersama masyarakat Indonesia terutama masyarakat pesisir yang selama ini lebih banyak merupakan objek dari kegiatan pembangunan di daerah pesisir dan lautan. Pulau kecil merupakan habitat yang terisolasi dengan habitat lain, sehingga keterisolasian ini akan menambah keanekaragaman organisme yang hidup di pulau tersebut serta dapat juga membentuk kehidupan yang unik di pulau tersebut.
12
Selain itu pulau kecil juga mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi spesies endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen. Akibat ukurannya yang kecil maka tangkapan air (catchment) pada pulau ini yang relatif kecil, sehingga air permukaan dan sedimen lebih cepat hilang ke dalam air. Jika dilihat dari segi budaya, maka masyarakat pulau kecil mempunyai budaya yang umumnya berbeda dengan masyarakat pulau kontinen dan daratan (Dahuri 1998). Kepmen Kelautan dan Perikanan No. 41/2000 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis pada Masyarakat menyebutkan bahwa definisi pulau kecil adalah pulau yang ukuran luasnya kurang dari 10.000 km2 dengan jumlah penduduk kurang dari 200.000 jiwa. Selain dari sisi ukuran luas dan jumlah penduduk, pulau kecil menurut Kepmen ini memiliki ciri insular yang tinggi, daerah tangkapan air yang relatif kecil, dan mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi (DKP 2000). Kepmen KP No. 41 Tahun 2000 ini juga menyebut bahwa untuk pulau dengan ukuran kurang dari 2.000 km2 terdapat pedoman khusus yang menyangkut kegiatan ekonomi yang sesuai dengan ukuran pulau tersebut. Kegiatan tersebut mencakup kegiatan konservasi sumberdaya alam, budidaya, pariwisata bahari, usaha penangkapan ikan yang berkelanjutan, industri teknologi tinggi non-ekstraktif, pendidikan dan penelitian, dan lain sebagainya. Setelah keluarnya UU no 27 tahun 2007 tentang pengelolaan daerah pesisir dan pulau-pulau kecil definisi ditingkat nasional sudah mulai ada kejelasan dengan mendefinisikan bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 Km2 (dua ribu kilometer persegi) dengan ekosistimnya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada definisi yang baku tentang pulau-pulau kecil selain bahwa luas lahan dan populasi menjadi indikator utama bagi definisi tersebut. Sebagai perbandingan, di Jepang tidak mengenal istilah pulau kecil (small islands) namun lebih pada pulau terpencil (remote islands). Dengan demikian salah satu fokus utama perhatian pemerintah Jepang terhadap pulau-pulaunya adalah apakah pulau tersebut memiliki ciri insularitas yang tinggi atau tidak. Dengan kata lain, karakteristik pulau oseanik atau kontinental menjadi salah satu indikator bagi pengelolaan pulau-pulau di Jepang. Namun demikian, dalam konteks pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia
13
yang didasarkan pada penjelasan-penjelasan di atas maka terdapat 3 hal yang dapat dipakai untuk membuat suatu batasan pengertian pulau kecil yaitu: (i) batasan fisik (menyangkut ukuran luas pulau); (ii) batasan ekologis (menyangkut perbandingan spesies endemik dan terisolasi); dan (iii) keunikan budaya. Kriteria tambahan lain yang dapat dipakai adalah derajat ketergantungan penduduk dalam memenuhi kebutuhan pokok. Apabila penduduk suatu pulau dalam memenuhi kebutuhan pokok hidupnya bergantung pada pulau lain atau pulau induknya maka pulau tersebut dapat diklasifikasikan sebagai pulau kecil. 2.1.3. Problem Ekonomi Pulau-Pulau Kecil Karakteristik ekonomi lain dari pulau-pulau kecil adalah tingkat ketergantungan yang tinggi dari bantuan atau subsidi dari pihak luar yang dalam konteks negara kepulauan adalah dari pemerintah pusat atau dalam konteks SIDS (small islands development states) adalah dari negara lain, misalnya negaranegara pulau yang masuk dalam kategori the common wealth (sekutu Inggris). Karakteristik ini membuat subsidi per kapita dari pulau-pulau kecil menjadi lebih tinggi dibandingkan daerah lain. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1984 negara-negara pulau (SIDS) menerima subsidi sebesar US$ 248 per kapita dari ODA, lebih besar dibandingkan dengan negara-negara berkembang yang sebesar US$ 14 per kapita dan US$ 21,8 per kapita untuk the least developed countries (Hein, 1990) diacu dalam Adrianto (2005). Pengurangan sama sekali tingkat bantuan/subsidi untuk pulau-pulau kecil merupakan hal yang dipandang tidak realistik meskipun dalam jangka panjang. Karena pulau-pulau kecil memiliki banyak keterbatasan baik dalam konteks ekonomi maupun ekosistem, maka pemberian subsidi yang tepat sasaran masih merupakan strategi yang diperlukan bagi pengelolaan ekonomi pulau-pulau kecil. Karakteristik penting lain dari pulau-pulau kecil yang terkait dengan pengembangan ekonomi daerah adalah tingkat insularitas. Pulau-pulau kecil memiliki tingkat insularitas yang tinggi karena sebagian besar jauh dari daratan induknya. Persoalan ekonomi pulau-pulau kecil yang terkait dengan karakteristik insularitas ini terutama yang terkait dengan persoalan transportasi dan komunikasi, lingkungan ekonomi yang cenderung monopolistik, melimpahnya sumberdaya dan dominasi sektor jasa.
14
Beberapa hal lain yang menjadi ciri keterbatasan ekonomi daerah pulaupulau kecil terkait dengan ukuran fisik (smallness) disajikan pada Tabel 2.2 di bawah ini. Tabel 2 Keterbatasan ekonomi pulau-pulau kecil terkait dengan ukuran fisik (Smallness) No Keterbatasan 1 Terbatasnya sumberdaya alam dan ketergantungan terhadap komponen impor yang tinggi 2 Terbatasnya substitusi impor bagi ekonomi pulau. 3 Kecilnya pasar domestik dan ketergantungan terhadap ekspor untuk menggerakkan ekonom pulau. 4 Ketergantungan terhadap produk-produk dengan tingkat spesialisasi tinggi 5 Terbatasnya kemampuan untuk mempengaruhi harga lokal 6 Terbatasnya kemampuan untuk menentukan skala ekonomi 7 Terbatasnya kompetisi lokal 8 Persoalan yang terkait dengan administrasi publik Sumber : Adrianto (2005)
Transportasi di pulau-pulau kecil merupakan persoalan yang khas mengingat tingkat insularitas mengakibatkan biaya transportasi yang relatif mahal per km-nya dibanding daerah lain yang lebih dekat dengan daratan induk. Apalagi apabila sistem transportasi antar pulau belum terbentuk dengan baik, sehingga membuat biaya transportasi menjadi semakin mahal. Transportasi feri dari Jepara ke Kepulauan Karimunjawa lebih mahal dibanding lokasi lain dengan jarak tempuh yang sama. Skala yang tidak ekonomis untuk sektor transportasi ini juga dipengaruhi oleh sulitnya membangun jaringan di pulau-pulau oseanik. Berbeda dengan kawasan kontinental yang mampu membangun jaringan transportasi terkait antar daerah, kasus untuk pulau-pulau kecil menjadi sulit karena tidak jarang jarak antar pulau sangat jauh dan pembangunan jaringan antar pulau menjadi sangat mahal (Adrianto 2005). Terkait dengan persoalan transportasi, terdapat tendensi adanya sistem monopoli dan oligopoli di daerah pulau-pulau kecil (Hein 1990; McKee dan Tisdell 1990)(diacu dalam Fachrudin 2006). Hal ini terkait dengan industri perdagangan di mana karena terbatasnya pilihan terhadap suplier, sehingga cenderung menjadi monopoli. Tabel 2.3 menyajikan karakteristik pulau-pulau kecil dilihat dari sifat insularitas seperti yang disampaikan oleh Adrianto (2005).
15
Tabel 3 Keterbatasan ekonomi pulau-pulau kecil terkait dengan tingkat insularitas No Keterbatasan 1 Biaya transportasi per unit produk 2 Ketidakpastian suplai 3 Volume stok yang besar 4 Ketergantungan terhadap produk-produk dengan tingkat spesialisasi tinggi 5 Terbatasnya kemampuan untuk mempengaruhi harga lokal 6 Terbatasnya kemampuan untuk menentukan skala ekonomi 7 Terbatasnya kompetisi lokal 8 Persoalan yang terkait dengan administrasi publik Sumber : Adrianto (2005)
2.2.
Konsep Pembangunan Daerah
2.2.1. Pengertian Pembangunan dan Pengembangan Daerah Dalam banyak hal istilah pembangunan dan pengembangan banyak dilakukan dalam hal yang sama dan dalam bahasa Inggrisnya adalah development, sehingga untuk berbagai hal, istilah pembangunan dan pengembangan dapat saling dipertukarkan. Namun beberapa kalangan di Indonesia cenderung menggunakan secara khusus istilah pengembangan untuk beberapa hal yang spesifik. Beberapa pihak lebih senang menggunakan istilah pengembangan daerah/kawasan dibandingkan dengan pembangunan daerah/kawasan untuk istilah regional development. Demikian juga banyak yang lebih senang menggunakan istilah pengembangan masyarakat dibanding dengan istilah pembangunan masyarakat. Secara umum perbedaan istilah pembangunan dan pengembangan di Indonesia memang sengaja dibedakan karena istilah pengembangan dianggap mengandung konotasi “pemberdayaan”, “kedaerahan’ atau “kedaerahan” dan lokalitas. Namun sekali lagi sebenarnya secara umum kedua istilah tersebut diartikan secara tidak berbeda untuk proses yang selama ini secara universal dimaksudkan sebagai pembangunan atau development. Ada juga yang berpendapat bahwa kata ”pengembangan“ lebih menekankan pada proses meningkatkan dan memperluas. Dalam pengertian bahwa pengembangan melakukan sesuatu yang tidak dari nol atau tidak membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada, melainkan melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah ada tetapi kualitas dan kuantitasnya diperluas. Jadi dalam hal pengembangan masyarakat tersirat pengertian bahwa masyarakat yang dikembangkan sebenarnya sudah memiliki kapasitas (bukannya tidak memiliki sama sekali), namun perlu dikembangkan kapasistasnya (capacity building).
16
Dalam penelitian ini, lebih memilih menggunakan istilah pengembangan daripada istilah pembangunan sebab penelitian ini terkait dengan analisis spasial dan variabel-variabel yang diamati adalah potensi sumberdaya perikanan yang sudah ada sebelumnya, sehingga penelitian ini memetakan dan menganalisis dan merumuskan potensi yang lebih startegis untuk dikembangkan. Secara filosofis proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistimatis dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Dengan perkataan lain proses pembangunan adalah proses memanusiakan manusia. Pembangunan tidak hanya pada pemenuhan kebutuhan pokok saja, tetapi manusia mempunyai kebutuhan lain yang sangat banyak jumlahnya dan sangat luas jenisnya. Terdapat perkembangan pemikiran dan pendekatan dari pertumbuhan dengan stabilitas (growth with stability), yang pada hakekatnya menghendaki masyarakat yang lebih berkeadilan dan selanjutnya menempatkan peranan sumberdaya manusia (SDM) pada posisi utama dan terutama dalam pembangunan, baik sebagai konsumen maupun sebagai faktor produksi. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dipandang sebagai faktor kunci bagi keberhasilan pembangunan yang dapat menjamin kemajuan ekonomi dan kestabilan masyarakat. Dalam hubungan ini harus diarahkan bukan saja meningkatkan physical capital stock, tetapi ditujukan pula untuk human capital stock. Capital stock adalah untuk menunjang penciptaan lapangan kerja, dan human resources untuk menyediakan tenaga yang terampil. Pembangunan harus merupakan suatu kemajuan dan kemampuan internal dalam masyarakat yang bersangkutan, merupakan suatu proses penciptaan lapangan kerja, peningkatan produktivitas, kontribusi dan partisipasi aktif dan kreatif masyarakat lokal dalam pembangunan. Peningkatan partisipasi masyarakat lokal merupakan upaya pemberdayaan masyarakat. Konsep pemberdayaan masyarakat merupakan perkembangan paradigma pembangunan yang berorientasi pada manusia (people-oriented), partisipatif (participatory), pemberdayaan (empowerment) dan keberlanjutan (sustainable).
17
Daerah-daerah yang terbelakang atau tertinggal memiliki ketergantungan yang kuat dengan daerah luar. Mereka melakukan kegiatan pembangunan ekonomi untuk menghilangkan keterbelakangan (backwardness) yang berarti pula untuk
mengurangi
ketergantungan
(dependency).
Namun
dalam
upaya
pembangunan ekonomi dihadapi hambatan dibidang sosial (sikap, perilaku dan pandangan hidup, kelembagaan, ilmu pengetahuan dan teknologi). Daerah-daerah yang terbelakang harus melakukan perubahan yang mendasar dan fundamental diperlukan ketersediaan sumberdaya manusia yang berkualitas dan terampil (Rustiadi, Saefulhakim, Panuju 2007). Menurut Saefulhakim bahwa perubahan kearah kemajuan merupakan kata kunci pembangunan. Perubahan terjadi karena didorong oleh empat model proses yaitu: (1) proses alamiah (natural process), (2) mekanisme pasar, (3) proses perencanaan (planning process), atau (4) kombinasi antar berbagai proses tersebut. Pembangunan merupakan perubahan terencana (planned changes), sehingga
perubahan
tanpa
perencanaan
tidak
dapat
dikatakan
sebagai
pembangunan (Saefulhakim 2008). Perubahan kearah berbagai bentuk kemajuan berpangkal dari adanya berbagai bentuk: (1) kekhasan subtansial (unique substances), dan (2) keterkaitan fungsional (functional interaction) antar berbagai kekhasan tersebut, yang berlangsung pada ruang dan waktu yang tepat. Dalam konteks pembangunan daerah, berbagai bentuk kekhasan ini dapat berupa karakteristik wilayah, keanekaragaman sumberdaya, institusi pelaku (produsen, konsumen dan pemerintah) serta berbagai aktivitas ekonomi yang tersebar secara spasial antar daerah.
18
KEMAJUAN
KEKHASAN
KETERKAITAN
Kemajuan: resultante keterkaitan fungsional antar kekhasan pada ruang-waktu yang tepat (Saefulhakim 2008)
Gambar 2 Segitiga Pembangunan 2.2.2. Tetrahedron Kemajuan Perputaran roda perubahan kearah kemajuan (pembangunan) terkait dengan kontribusi/peran banyak pihak/instansi yang pada prinsipnya dapat dikelompokan kedalam empat pihak yaitu; (1) institusi keilmuan, (2) pemerintahan, (3) dunia usaha, dan (4) masyarakat luas. Pembangunan yang menjamin kemajuan yang berkelanjutan adalah kemajuan yang berbasis pada perkembangan ilmu pengetahuan, pemerintah yang lebih bersih dan kredibel (adil), dunia usaha yang semakin adil dan profesional, serta masyarakat luas yang semakin aktif berpartisipatif produktif. Dengan demikian, pembangunan harus semakin terukur peranannya
dalam penguatan
basis
pengetahuan,
peningkatan
kapasitas
pemerintahan, peningkatan kapasitas ekonomi dan peningkatan pemberdayaan masyarakat. Konsep pembangunan yang terlalu menyederhanakan bahwa semuanya akan ikut mendapatkan penguatan dengan hanya mendorong pertumbuhan ekonomi (tricle down effect) tidak mendapat dukungan emperik yang luas (Sen 1992 diacu dalam Saefulhakim 2008). 2.2.3. Model Pembangunan Dengan menggunakan terminologi model dinamik proses pembangunan dapat diklasifikasi kedalam empat model dasar yaitu; (1) model stimulus response, (2) model self-referencing, (3) model goal-seeking, dan (4) model goal
19
setting. Keempat model dasar ini bisa dipandang sebagai tahapan pembangunan dari paling primitif hingga paling maju (Saefulhakim 2008). Pada tahap model stimulus-response, roda aktivitas pembangunan hanya bergerak manakala mendapat ‘rangsangan’ dari luar. Ketika ‘rangsangan’ dari luar itu berhenti, aktivitas pembangunan juga berhenti. Selanjutnya, pada tahapan model self-referencing, perputaran roda aktivitas pembangunan tidak bergantung pada ada–tidaknya rangsangan dari luar. Waktu rangsangan dari luar berhenti aktivitas pembangunan tetap melaju, karena telah mampu membangun rangsangan secara internal (mandiri). Namun belum jelas kaitannya dengan ‘tujuan’ perputaran roda pembangunan pada model ini ‘asal ada aktivitas’. Pada tahapan model Goal-seeking, perputaran roda aktivitas pembangunan seperti pada model goal-seeking. (1) tidak tergantung pada ada tidaknya rangsangan dari luar, sehingga walau rangsangan dari luar berhenti, aktivitas pembangunan tetap melaju, karena telah mampu pembangunan rangsangan secara internal (mandiri), dan (2) kaitannya dengan tujuan sudah jelas, perputarannya tidak lagi bersifat asal ada aktifitas. Dibandingkan dengan model sebelumnya, ada tiga perbedaan yaitu; (1) tujuan telah dirumuskan secara mandiri oleh stakholder internal, (2) keterkaitan antar stakehorder internal yang awalnya hanya sekedar terkait (rural urban and interregional linkages) telah berimbang menjadi hubungan yang berbasis
kesetaraan
saling
menguatkan
(rural-urban
and
interregional
partnership) dan (3) hubungan eksternal yang semula bersifat ketergantungan (exsternal resourse dependent) telah berkembang pada hubungan yang lebih bermartabat (external resourse partnership). Dengan perkembangan pola demikian, pada tahapan model ini perputaran aktivitas pembangunan lebih jelas arahnya terhadap penguatan kapasitas sumberdaya internal setiap waktu secara berimbang dan bermartabat. Pembangunan dengan model Goal-seeking inilah pembangunan dalam pengertian sejati (Saefulhakim 2008). 2.2.4. Pergeseran Peranan Pemerintah-Masyarakat serta Kecenderungan Desentralisasi Pembangunan Dalam pandangan konsep ekonomi Keynesian, awalnya peranan pemerintah adalah mendorong pembangunan untuk menanggulangi kegagalan pasar (market failure). Namun fakta empirik juga menunjukan bahwa diberbagai negara, proses
20
pembangunan cenderung mengarah pada government failure (kegagalan pemerintah) yang dampaknya sering lebih parah dari market failure karena menciptakan transacton cost tinggi yang menurunkan efisensi ekonomi, serta menghambat pemerataan dan pertumbuhan. Selanjutnya menurut Anwar (2000) (dikutip dari Rustiadi, Saefulhakim dan Panuju 2007), di Indonesia hal ini diperparah oleh kultur (priyaisme) elit masyarakat disamping kapitalis pemerintah yang rendah (lack of government). Dalam paradigma pembangunan sekarang, kekuasaan pemerintah harus semakin dibatasi pada bidang pengelolaan ”public good” dan dibidang swasta dan masyarakat tidak punya inisiatif untuk melakukannya. Government policy failure dapat terjadi akibat pelaksanaan pembangunan secara top-down dan sentralistik, dimana pemerintah pusat sering kali tidak mengetahui kondisi ekosistim dan tata-nilai masyarakatnya yang tersebar luas secara spasial. Hal ini didorong oleh kesalahan pengaturan perencanaan (design) program dan proyek pembangunan yang berdampak pada pemiskinan masyarakat di daerah (Rustiadi, Saefulhakim dan Panuju 2007). Dalam paradigma perencanaan daerah yang modern perencanaan daerah diartikan sebagai bentuk kajian yang sistimatis dari aspek fisik, sosial dan ekonomi untuk mendukung dan mengarahkan pemanfaatan sumberdaya yang terbaik untuk meningkatkan produktifitas dan memenuhi kebutuhan masyarakat (public) secara berkelanjutan. Awal dari proses perencanaan daerah adalah beranjak dari adanya kebutuhan untuk melakukan perubahan sebagi akibat dari adanya perubahan pengelolaan maupun akibat perubahan-perubahan keadaan (peningkatan kesejahteraan, bencana alam, perkembangan sosial dan lain-lain). Jadi pada dasarnya harus ada dua kondisi yang harus dipenuhi dalam perencanaan daerah (Clayton dan Dent 1993): (1) kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan
dan
(2)
adanya
polical
will
dan
kemampuan
untuk
mengimplementasikan perencanaan yang disusun. Dengan demikian penyusunan perencanaan daerah bukan merupakan sesuatu keharusan tanpa sebab, memalinkan lahir dari adanya kebutuhan (Rustiadi, Saefulhakim dan Panuju 2007).
21
Dalam
tiga
dekade
terakhir
telah
terjadi
pergeseran
paradigma
pembangunan. Cara pandang pembangunan yang berorientasi pada laju pertumbuhan ekonomi dengan basis peningkatan inventasi dan teknologi luar semata (perspektif materialistik) yang didominasi oleh peranan pemerintah, telah bergeser kearah pemikiran pembangunan yang menekankan pada kemampuan masyarakat untuk mengontrol keadaan dan lingkungannya. Paradigma baru yang berkembang lebih menekankan pada proses patisipatif dan kolaboratif (participatory and collaborative process) yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan material, termasuk meningkatnya keadilan dalam distribusi pemilikan, pengelolaan dan pemanfaatan pembangunan serta kebebasan dan kemandirian. Di Indonesia diberlakukannya UU 22/1999 yang diperbaharui melalui UU 32/2004 mengenai pemerintahan daerah berimplikasi terhadap luas dalam sistim perencanaan pembangunan di daerah-daerah. Otonomi daerah mengisyaratkan pentingnya pendekatan pembangunan berbasis pembangunan daerah dibanding pendekatan sektoral serta lebih berperannya masyarakat dan pemerintah di daerah dalam pembangunan. Pembangunan yang berbasis pembangunan daerah dan lokal memandang penting keterpaduan antar sektoral, antar spasial (keruangan), serta antar pelaku (institusi) pembangunan di dalam dan antar daerah. Sehingga setiap program-program
pembangunan
sektoral
dilaksanakan
dalam
rangka
pembangunan daerah. Namun demikian, berbagai permasalahan yang menyangkut otonomi daerah juga telah muncul kepermukaan. Orientasi untuk mendapatkan penerimaan daerah (PAD) sebesar-besarnya cenderung menyebabkan eksploitasi besar-besaran atas sumberdaya alam. Sikap ego antar pemegang otoritas daerah dapat mengakibatkan konflik yang semakin memperparah kondisi sumberdaya alam dan lingkungan hidup (Rustiadi, Saefulhakim dan Panuju 2007).
22
Sumber: Adrianto, (2005)
Gambar 3 Kerangka pengelolaan daerah laut dan pesisir diera otonomi daerah (UU no 32 tahun 2004) 2.2.5. Ekonomi Keterkaitan Seperti kita ketahui bahwa keterkaitan dan berbagai terminologi sepadannya, merupakan kata kunci sentral dalam kajian pembangunan. Nilai-nilai ekonomi yang lahir dari berbagai bentuk keterkaitan ini, berakar dari tiga dimensi nilai ekonomi yaitu, (1) nilai ekonomi kekhasan (economies of uniquess), (2) nilai ekonomi skala/ukuran (economis of scale) dan (3) nilai ekonomi cakupan (economis of scope). Dalam prespektif teori lokasi (location theory), kesemuanya ini terkait dengan adanya tiga pilar konfigurasi ruang yaitu; (1) ketaksempurnaan mobilitas faktor produksi (imperfect factor mobility), (2) ketaksempurnan pemilihan/pemisahan antara faktor produksi (imperfect factor divisibility), dan (3) ketaksempurnaan mobilitas barang dan jasa (imperfect mobility of goods and services) (Saefulhakim 2008). Ketaksempurnaan pemilihan/pemisahan antar faktor produksi berimplikasi bahwa pemilahan/pemisahan akan berkonsekuensi pada peningkatan biaya-biaya. Dengan demikian, kerjasama antar institusi pemilik/faktor produksi yang berbeda menjadi penting untuk menekan biaya-biaya itu. Fenomena ini didalam terminologi ekonomi struktur industri (economies of industrial structure) terkait dengan konsep ekonomi cakupan (economies of scope). Ekonomi cakupan ini juga bisa terjadi pada suatu fenomena antar beberapa unit kelembagaan aktivitas ekonomi terdapat faktor yang menjadi perhatian bersama (common factor). Biaya
23
penanganan faktor yang demikian bila dilakukan oleh masing-masing unit kelembagaan akan jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya penanganannya yang dilakukan secara bersama. Penguasaan basis pengetahuan untuk mampu secara jeli mengidentifikasi ketaksempurnaan pemilihan/pemisahaan antar jenis faktor produksi dan faktor produksi yang merupakan perhatian banyak pihak, menjadi landasan penting dalam membangun hubungan kerjasama dengan pihak mana dan dalam hal apa (Saefulhakim 2008). Setiap aktivitas ada batas skala operasi optimalnya yang dalam terminologi ekonomi dikenal dengan skala ekonomi (economies of scale). Analisis titik impas (breack even ponit Analysis) adalah salah satu instrument yang digunakan. Suatu kegiatan yang dioperasikan bahwa batas skala ekonomi akan berkonsekuensi pada biaya-biaya tinggi (high cost economy). Dalam perspektif ekonomi keterkaitan, pembangunan dapat dibagi kedalam dua proses utama, yaitu (1) pengembangan keterkaitan (linkage development) dan (2) penataan struktur keterkaitan kearah yang lebih berimbang (linkage reform). Tanpa adanya keterkaitan fenomena yang akan terjadi adalah apa yang menurut Greertz (1981) disebut sebagai involusi (involution). Segala potensi yang dimiliki tidak berkembang bahkan mengalami pembusukan. Dengan demikian berbagai pembangunan keterkaitan menjadi penting. Selanjutnya, struktur keterkaitan ini perlu dipantau perkembangannya. Jika perkembangannya mengarah ke pola yang timpang, fenomena yang terjadi adalah eksploitatif. Penataan ulang struktur keterkaitan kearah yang semakin berimbang menjadi semakin penting. Keseimbangan akan lebih menjamin pola hubungan yang saling memperkuat (mutual strengthening) dan pembangunan mengarah kepada kemajuan secara berkelanjutan (Saefulhakim 2008). 2.2.6. Pemodelan Keterkaitan Spasial Pada umumnya dalam merubah kinerja pembangunan kearah yang lebih baik, asumsi yang harus dibangun yakni adanya faktor-faktor atau instrument yang harus dipetakan atau diperhatikan dengan membuat model hubungan yang kemudian disimulasikan untuk membuat kebijakan mengenai instrument mana yang tepat, dan potensi apa yang harus dikembangkan dalam mendorong kinerja pembangunan.
24
Model di atas dapat ditunjukkan dengan model matematik secara konvensional melalui model regresi Cob-Douglas yang menghubungkan antara beberapa variabel penjelas dengan variabel tujuan. Model ini secara interaktif menjelaskan bahwa suatu aspek atau kinerja pembangunan dipengaruhi oleh berbagai aspek yang tidak bekerja sendiri melainkan suatu interaksi dari berberbagai aspek (bekerja secara simultan/secara interaktif) contoh bahwa sistim produksi ditentukan oleh faktor modal, lahan dan tenaga kerja yang tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Pendekatan itu merupakan hasil perkalian dari faktor-faktor tersebut bukan hasil penjumlahan sehingga bila salah satu tidak ada maka aspek yang lain tidak ada manfaatnya. Untuk memudahkan estimasi dari berbagai parameter maka perlu didilinearkan atau di log-kan. Tetapi hal ini masih bersifat konvensional karena belum memperhatikan aspek-aspek intra spasial. Secara matetatisnya dapat ditulis sebagai berikut.
keterangan; yi : xi,j : b0 : bj :
nilai variabel tujuan untuk individu sampel ke i, nilai variabel penjelas ke j untuk individu sampel ke-i, parameter konstanta (intercept), dan parameter koefisien untuk variable penjelas ke-j.
Jika setiap individu sampel menyatakan lokasi, maka model pada persamaan di atas mengasumsikan bahwa apa yang terjadi di suatu lokasi tertentu ke-i (yi) hanya dipengaruhi oleh karakteristik lokasi tersebut (xi,j). Asumsi demikian dalam banyak hal tidak realistis, sebagai contoh intensitas serangan hama dan penyakit tanaman yang terjadi pada suatu petak sawah tertentu, tidak hanya ditentukan oleh karakteristik lingkungan dan pola budidaya yang dilakukan pada petak sawah tersebut, tetapi juga intensitas serangan hama dan penyakit, karakteristik dan pola budiadaya di petak-petak sawah sekitarnya. Kinerja pembangunan pada suatu wilayah tertentu, tidak hanya ditentukan oleh karakteristik lingkungan dan manajemen pembangunan yang ada di wilayah tersebut, tetapi kinerja pembangunan, karakteristik serta manajemen pembangunan yang dilakukan di wilayah-wilayah sekitanya dan wilayah-wilayah lain yang terkait dalam sistem ekologi-ekonomi.
25
Namun pendekatan yang umum tersebut, masih ada anggapan bahwa sistim wilayah sebagai wilayah tertutup sehingga didalam pendekatan pemodelan tidak ada yang disebut komponen interaksi spasial yang masuk didalam pemodelannya. Pembangunan yang tidak memperhatikan aspek-aspek dari wilayah lain merupakan pendekatan a-spatial. Dalam ilmu wilayah dikenal bahwa kinerja pembangunan suatu daerah bukan hanya ditentukan oleh instrument atau potensi yang dimiliki tetapi dipengaruhi oleh instrument atau potensi dan kinerja pembangunan yang ada di daerah lain dan kondisi ini yang harus dipetakan. Instrument tersebut dapat mempengaruhi sampai sejauh mana, baik dari aspek positif dan negatifnya sehingga dapat mengatur konteks pembangunan dalam pendekatan spasial. Untuk dapat mengakomodasi fenomena keterkaitan antar satu lokasi dengan lokasilokasi lain di sekitarnya dan lokasi-lokasi yang merupakan satu sistem jaringan ekologi-ekonomi dengannya dalam literatur “ekonomirtika spasial” disebut sebagai Spatial Durbin Model (Saefulhakim, 2008). Untuk mengakomodasikan peran interaksi antar daerah maka dibuat “Matriks Interaksi Spasial” yang menggambarkan bagaimana pola-pola interaksi maka regresi di atas dimodifikasi menjadi model regresi spasial sehingga bentuk model persamaaan di atas dirubah menjadi;
keterangan; In
: matriks identitas ukuran (n x n)
Wn,k : matriks ukuran (n x n) yang menyatakan pola interaksi spasial tipe ke-k antar n buah daerah (disebut kontiguitas spasial tipe ke-k)
26
2.4. Beberapa Penelitian Terkait dengan Pengembangan Sumberdaya Ekonomi Kabupaten Wakatobi 2.4.1. Model Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil dalam Rangka Pengembangan Wilayah Kepulauan Wakatobi Penelitian dengan judul Model Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Dalam Rangka Pengembangan Wilayah Kepulauan Wakatobi ini dilaksanakan pada tahun 2004 di empat pulau di Gugusan Kepulauan Wakatobi yaitu; Pulau Wanci, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko. Tujuan penelitian ini adalah; (1) mengkaji pemanfaatan sumberdaya mangrove untuk pemukiman penduduk terhadap aspek kelestarian biomassa kepiting pada lingkungan mangrove, biomassa ikan balanak pada lingkungan lamun dan biomassa ikan kerapu pada lingkungan terumbu karang, (2) mengkaji pemanfaatan terumbu karang untuk fondasi rumah di laut terhadap kelestarian terumbu karang dan biomassa ikan kerapu pada lingkungan terumbu karang, (3) mengkaji kontribusi sektor ekonomi dalam pengelolaan wilayah Kepulauan Wakatobi terhadap; keterkaitan langsung kedepan dan kebelakang keterkaitan langsung dan tidak langsung kedepan dan kebelakang, pengganda pendapatan, daya kepekaan, pengganda tenaga kerja, konsumsi tenaga kerja, konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, investasi, ekspor pertumbuhan ekonomi dan PDRB, dan dampak negatif aktivitas sektor ekonomi dan lingkungan mangrove, lamun dan terumbu karang, dan (4) menyusun model pengelolaan pulau-pulau kecil dalam rangka pengembangan wilayah Kepulauan Wakatobi. Dari hasil analisis yang dilakukan, beberapa informasi yang penting yang terkait dengan penelitian ini adalah; (1) pemanfaatan sumberdaya mangrove dan terumbu karang untuk kebutuhan pemukiman penduduk telah menurunkan biomassa kepiting dan degradasi terumbu karang. Penambahan 1 ha wilayah pemukiman, menurunkan biomassa kepiting mangrove sebesar 23,75 kg/pertahun dan degradasi terumbu karang rata-rata sebesar 355,33 m3/tahun, dan (2) dalam rangka pengembangan wilayah Kepulauan Wakatobi kedepan maka langkah mencapai tingkat pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja yang tinggi serta kelestarian sumberdaya alam dan kelautan ada sembilan sektor dari 19 ekonomi yang ada antara lain; sektor industri lainnya, sektor perdagangan, sektor
27
angkutan dan komunikasi, sektor perikanan, sektor penggalian dan pertambangan, sektor peternakan, sektor bahan makanan dan minuman dan sektor lembaga keuangan. 2.4.2. Pendekatan Penataan Ruang dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil (Studi Kasus; Pulau Kaledupa Taman Nasional Kepulauan Wakatobi Sulawesi Tenggara) Penelitian ini dilaksanakan di Gugus Pulau Kaledupa pada tahun 2003. Tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah; (1) menganalisis apakah pemanfaatan ruang selama ini telah sesuai ditinjau dari segi kesesuaian lahan, (2) menghasilkan penataan ruang wilayah Pulau Kaledupa dalam bentuk rekomendasi penataan ruang serta acuan arahan pembangunan dengan memperhatikan kondisi fisikgeografis dan sosial ekonomi budaya masyarakat dalam konteks pembangunan wilayah secara terpadu dan berkelanjutan. Dari hasil kajian dan analisis yang dilakukan ada beberapa informasi yang terkait dengan penelitian ini yaitu; klasifikasi kesesuaian kawasan untuk pengembangan perikanan di Gugus Pulau Kaledupa seperti; untuk budidaya laut; sangat sesuai seluas 45,287 Km2 dan sesuai seluas 31,823 km2. Mencermati beberapa hasil penelitian di atas, maka ada beberapa hal yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya antara lain; (1) penelitian sebelumnya sebagian besar terfokus pada suatu
kajian tema atau
sektor tertentu saja sedangkan panelitian ini lebih konfrehensif melihat berbagai aspek potensi sumberdaya ekonomi dan kinerja pembangunan wilayah, (2) penelitiannya sebelumnya melihat aspek wilayah masih bersifat agregat sedangkan pada penelitian ini lebih rinci pada satuan wilayah desa dan pulau, (3) penelitian sebelumnya hanya menganalisis berbagai driving forces intra wilayah saja, sedangkan dalam peneliti ini menganalisis berbagai keterkaitan dan pengaruh potensi sumberdaya ekonomi intra maupun antar wilayah dalam mendorong kinerja pembangunan pada suatu wilayah. Dengan menganalisis berbagai aspek potensi ekonomi dan keterkaitannya baik intra maupun antar wilayah sangat memungkinkan untuk melakukan perumusan kebijakan pembangunan lebih terpadu, baik antar sektor maupun antar wilayah.