BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi dan prevalensi diare Menurut Depkes RI (2000), diare merupakan buang air besar lembek atau cair, dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari). Diare pada bayi dan anak, dapat diukur dengan jumlah feses yang lebih banyak dari 10 g/kgBB/24jam atau melewati batas normal pada dewasa 200 g/kgBB/24jam. Menurut WHO (World Health Organization) angka kesakitan diare pada tahun 2010 yaitu 411 penderita per 1000 penduduk. Berdasarkan data profil kesehatan Indonesia tahun 2010 jumlah kasus diare yang ditemukan sekitar 213.435 penderita dengan jumlah kematian sebanyak 1.289, dan sebagian besar (70-80%) terjadi pada anak-anak (DepKes RI, 2010). Diare terbagi menjadi diare akut dan kronis. Diare akut berdurasi 2 minggu atau kurang, sedangkan diare kronis lamanya lebih dari 2 minggu. Sepuluh persen diare akut karena infeksi berlanjut menjadi diare kronis (Deddy dkk., 2008).
2.2. Diare Akut Diare akut adalah diare yang gejalanya tiba-tiba dan berlangsung 14 hari atau kurang. Penyebab diare akut yang paling umum adalah karena infeksi bakteri, virus, dan parasit. Diare karena infeksi terjadi akibat mengkonsumsi makanan atau minuman yang telah terkontaminasi terutama oleh bakteri ataupun virus. Pada umumnya, apabila gangguan ini tanpa komplikasi tidak perlu ditangani dengan
5
terapi obat, kecuali rehidrasi oral dengan oralit bila terdapat bahaya dehidrasi. Pada diare akibat infeksi bakteri yang sangat serius perlu dilakukan terapi dengan antibiotik (Ganiswarna, 1995). Berdasarkan penyebab terjadinya, diare akut dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu diare akut spesifik dan diare akut non spesifik. Diare akut spesifik disebut juga diare infeksius karena disebabkan oleh infeksi sedangkan diare akut non spesifik adalah diare yang tidak disebabkan oleh infeksi (non infeksius) (Umar, 2004). 2.2.1. Patofisiologi diare akut karena infeksi Menurut Alimul (2006) dan Ngastiyah (2005), terjadinya diare akut karena infeksi diawali dengan adanya mikroorganisme (kuman) yang masuk dalam saluran pencernaan yang kemudian berkembang dalam usus dan merusak sel mukosa usus yang dapat menurunkan daerah permukaan usus. Selanjutnya terjadi perubahan kapasitas usus yang akhirnya mengakibatkan gangguan fungsi usus dalam penyerapan cairan dan elektrolit. Terdapatnya toksin pada bakteri juga dapat menyebabkan sistem transport aktif dalam usus sehingga sel mukosa mengalami iritasi yang menyebabkan peningkatan sekresi cairan dan elektrolit. Infeksi dikategorikan menjadi dua yaitu infeksi parenteral dan infeksi internal. Infeksi parenteral yaitu infeksi dibagian tubuh lain diluar alat pencernaan, seperti Otitis Media Akut (OMA). Infeksi internal yaitu infeksi yang terjadi dalam saluran pencernaan dan merupakan penyebab utama terjadinya diare. Infeksi internal meliputi:
6
1. Infeksi bakteri : Vibrio, E.coli, Salmonella, Shigella Compylobacter, Yersenia dan Aeromonas. 2. Infeksi virus : Enterovirus (Virus ECHO, Coxsackie dan Poliomyelitis, Adenovirus, Rotavirus dan Astrovirus). 3. Infeksi parasit : Cacing (Ascaris, Trichuris, Oxyuris, dan Strongylodies), Protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, dan Trichomonas homonis), dan jamur (Candida albicans). 2.2.2. Terapi diare akut karena infeksi Penata laksanaan terapi pada pasien diare akut karena infeksi adalah sebagai berikut : A. Penggantian cairan tubuh Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga hidrasi yang adekuat dan keseimbangan elektrolit selama episode akut. Idealnya, cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 gram natrium klorida, 2,5 gram natrium bikarbonat, 1,5 gram kalium klorida, dan 20 gram glukosa per liter air. Cairan rehidrasi oral tersedia secara komersial dalam paket yang mudah disiapkan. Jika sediaan secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral pengganti dapat dibuat dengan menambahkan ½ sendok teh garam, ½ sendok teh baking soda, dan 2-4 sendok makan gula per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus jeruk diberikan untuk mengganti kalium (Umar, 2004). B. Mengeleminasi penyebab infeksi menggunakan antibiotik Salah satu penegakan terapi pada pasien diare akut akibat infeksi oleh bakteri adalah dengan pemberian antibiotik untuk mengeliminasi penyebab infeksi. Idealnya terapi antibiotik diberikan berdasarkan kultur dan resistensi kuman. Akan tetapi dalam praktek klinik, terapi antibiotik secara empiris dapat dilakukan seperti yang tercantum pada tabel 2.1 (Umar, 2004). 7
Tabel 2.1. Antibiotik Empiris untuk Diare Infeksi Bakteri Organisme Pilihan pertama Pilihan kedua Campylobacter, Ciprofloksasin 500 mg Salmonella/Shigella Shigella atau oral Ceftriaxon 1 gram IM/IV Salmonella spp 2x sehari, 3-5 hari sehari TMP-SMX(trimethoprim/ sulfamethoxazole) oral 2x sehari, 3 hari Campilobakter spp Azithromycin, 500 mg oral 2x sehari Eritromisin 500 mg oral 2x sehari, 5 hari Vibrio Cholera Tetrasiklin 500 mg oral Resisten Tetrasiklin 4x sehari, 3 hari Ciprofloksasin 1 gram Doksisiklin 300 mg oral, oral 1x sehari dosis tunggal Eritromisin 250 mg oral 4x sehari 3 hari Traveler diarrhea Ciprofloksasin 500 mg TMP-SMX(trimethoprim/ sulfamethoxazole) oral 2x sehari, 3 hari Clostridium difficile Metronidazol 250-500 Vancomycin, 125 mg oral mg 4x sehari 4x sehari, 7-14 hari, 7-14 hari oral atau IV
2.3. Antibiotik Antibiotik adalah bahan kimia yang dihasilkan oleh mikroba yang dalam konsentrasi tertentu mempunyai kemampuan menghambat atau membunuh mikroba lain. Pada perkembangannya bahan yang dapat dikelompokkan sebagai antibiotik bukan hanya hasil alamiah saja, akan tetapi bahan-bahan semisintetik yang merupakan hasil modifikasi bahan kimia antibiotik alam (Sumadio dan Harahap, 1994). Sensitivitas bakteri terhadap antibiotik tergantung kepada kemampuan antibiotik tersebut untuk menembus dinding sel bakteri. Pemberian antibiotik diindikasikan pada pasien dengan gejala infeksi seperti demam, feses berdarah, 8
leukosit pada feses yang dialami pelancong, dan pada pasien dengan immunocompromised.
Pemberian
antibiotik
yang
tidak
spesifik
dapat
menyebabkan kematian mikroflora usus yang bermanfaat untuk menjaga homeostasis tubuh. Sehingga penggunaan antibiotik selama episode diare akut dapat meningkatkan risiko terjadinya diare yang berkepanjangan seperti yang tercantum pada tabel 2.2 (Wanke, 1991). Tabel 2.2. Persentase Kejadian Diare Akibat Pengobatan Antibiotik No. Antibiotik Persentase kejadian diare Metronidazol, sefalosporin, tetrasiklin, 1. azitromisin, klaritromisin, 2-5 % fluoroquinolones, dan eritromisin. 2. Ampisilin 5-10 % 3.
Amoksisilin-klavulanat
10-25 %
Cefixime
15-20 %
4.
2.4. Metronidazol Metronidazol merupakan antibiotik pilihan pertama secara empiris yang digunakan untuk diare akibat infeksi bakteri (Umar, 2004). Metronidazol aktif terhadap sebagian besar bakteri anaerob, tetapi tidak memiliki aktivitas klinis terhadap bakteri aerob. Dalam in vitro, minimum inhibitory concentrations (MIC) dari metronidazol adalah <8 μg/mL. Spektrum antibakteri meliputi gram-positif anaerob (Clostridium, Eubacterium, Peptococcus, Peptostreptococcus); gramnegatif anaerob [Kelompok Bacteroides fragilis (B. fragilis, B. distasonis, B. ovatus, B. thetaiotaomicron, B. vulgatus), dan Fusobacterium]; serta protozoa parasit (Entamoeba histolytica dan Trichomonas vaginalis) (Anonim, 2012).
9
Setelah pemberian oral, metronidazol diserap dengan baik, dan konsentrasi puncak plasma terjadi antara satu dan dua jam setelah pemberian. Pemberian secara oral dengan dosis 250 mg, 500 mg, dan 2.000 mg menghasilkan puncak konsentrasi plasma sebesar 6 μg/mL, 12 μg/mL, dan 40 μg/mL. Studi menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan bioavailabilitas antara laki-laki dan perempuan (Anonim, 2012). Metronidazol terikat pada protein plasma kurang dari 20%. Metronidazol terdapat juga di dalam cairan serebrospinal, air liur, dan air susu ibu dalam konsentrasi yang sama dengan yang ditemukan dalam plasma. Konsentrasi bakterisida metronidazol juga telah terdeteksi di nanah dari abses hati (Anonim, 2012). Rute utama dari eliminasi metronidazol dan metabolitnya adalah melalui urin (60% sampai 80% dari dosis), dengan ekskresi feses 6% sampai 15% dari dosis. Metabolit yang muncul dalam hasil urin terutama dari sisi rantai oksidasi [1(Bhydroxyethyl)-2-hidroksimetil-5-Nitroimidazole dan 2-metil-5-Nitroimidazole1-ylacetic acid] dan glukuronida konjugasi, dengan jumlah metronidazol tidak berubah sekitar 20% dari total. Kedua senyawa induk dan metabolit hidroksil memiliki aktivitas antimikroba secara in vitro. Pembersihan ginjal metronidazol adalah sekitar 10 mL/min/1.73 m². Rata-rata eliminasi paruh metronidazol pada subyek sehat adalah delapan jam (Anonim, 2012). Menurut (Jhon et al., 1983), clearance dialisis peritoneal berkisar antara 14,0 sampai 17,3 ml/menit. Rata-rata, dalam dialisis peritoneal memiliki clearance total 20% (kisaran 14-27%). Jumlah total metronidazol yang mengalami ekskresi 10
selama periode dialisis (selama 2 jam) adalah 50,8 ± 13,5 mg, kurang lebih 10% dari dosis yang diberikan yaitu 500 mg. Hasil ini mirip dengan yang dilaporkan dalam studi pasien dengan fungsi ginjal normal dan orang-orang dengan stadium akhir penyakit ginjal yang tidak memakai dialisis.
2.5. Probiotik Probiotik berasal dari bahasa Yunani yang artinya “untuk hidup”. Istilah ini memiliki pengertian yang sangat bertolak belakang dengan antibiotik. Probiotik merupakan suatu kultur tunggal ataupun campuran dari mikroorganisme hidup yang bila dikonsumsi oleh manusia atau hewan akan menjaga keseimbangan mikroorganisme alami yang ada dalam tubuh inangnya (Lee and Salminen, 1999; Soeharsono, 2010). Bakteri probiotik adalah bakteri yang dapat meningkatkan kesehatan manusia (Kneifel et al., 1999). Mekanisme bakteri probiotik untuk meningkatkan kesehatan dengan memproduksi senyawa antimikroba seperti asam laktat, H2O2, bakteriosin, renterin, dan senyawa penghambat pertumbuhan bakteri patogen; berkompetisi dengan bakteri patogen dalam penyerapan nutrien dan sisi penempelan pada sel epitel usus; serta menstimulasi sistem imunitas dan mampu meningkatkan aktivitas metabolisme mikroflora dalam saluran pencernaan (Hoover, 1999). Bakteri probiotik mampu bertahan hidup selama pengolahan, penyimpanan, dan di dalam saluran pencernaan, meskipun terdapat berbagai rintangan seperti air liur, asam lambung, dan asam empedu. Selain itu bakteri probiotik dapat berkembang biak, tidak beracun serta tidak patogen (Kullen and Klaenhamer, 1999). Bakteri probiotik yang tumbuh di dalam usus dapat
11
menempel (adhesi) pada sel epitel dan membentuk koloni pada usus manusia, serta bersifat antagonis terhadap bakteri patogen (Fuller, 1999). Beberapa spesies dari genus Lactobacillus menghasilkan senyawa antibakteri seperti bakteriosin, risin, dan renfisin, sehingga terhindar dari diare yang beberapa penyebabnya adalah bakteri Helicobacter pylori dan Clostridium difficile. Beberapa Bakteri Asam Laktat (BAL) yang diklaim sebagai bakteri probiotik antara lain Lactobacillus acidophilus, Lactobacillus reuteri, Lactobacillus casei, dan Bifidobacterium karena merupakan mikroflora alami saluran pencernaan. Secara umum, probiotik yang digunakan untuk mencegah diare adalah Lactobacillus acidophilus dikombinasikan dengan Lactobacillus bulgaricus, Lactobacillus rhamnosus GG (Marteau et al., 2001).
2.6. Lactobacillus acidophilus Genus Lactobacillus merupakan bakteri gram-positif, anaerob, tidak menghasilkan spora, non motil, dan tidak menghasilkan katalase (katalase negatif) namun menghasilkan asam laktat sebagai asam utama (Dickson et al., 2005). Genus Lactobacillus umumnya berbentuk batang. Bentuk batang dari genus Lactobacillus bervariasi dari berbentuk batang panjang, batang ramping, batang lurus, batang melengkung atau batang pendek yang menyerupai coccus (Chandan and Kilara, 2006). Gambar bentuk dari genus Lactobacillus ditunjukkan pada gambar 2.1.
12
Gambar 2.1. Ragam Jenis Bentuk Batang Genus Lactobacillus (Kunkel, 2007) Keterangan: (a) Lactobacillus berbentuk batang secara umum, (b) Lactobacillus berbentuk batang panjang dan ramping, (c) Lactobacillus berbentuk batang melengkung dan pendek menyerupai coccus. Sebagian besar genus Lactobacillus merupakan BAL homofermentatif yang tumbuh optimal pada pH 6,2 dan suhu 37°C pada media MRS (de Man Regosa and Sharpe). Produk akhir dari fermentasi glukosa oleh genus Lactobacillus adalah asam laktat, asam asetat, dan H2O2. Metabolit ini membuat lingkungan yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan mikroorganisme patogen. Genus Lactobacillus memainkan peran penting dalam mengontrol pH usus melalui produksi asam yang menurunkan pH usus sehingga membatasi pertumbuhan bakteri patogen. Pertumbuhan genus Lactobacillus pada kondisi anaerob lebih subur jika dibandingkan pada kondisi aerob dan dapat memproduksi asam laktat sebanyak 11,65 mg/mL (Widyastuti, 2000). Salah satu spesies dari genus Lactobacillus adalah Lactobacillus acidophilus. Lactobacillus acidophilus adalah kelompok bakteri gram-positif, berbentuk batang, dan merupakan spesies alami pada usus. Lactobacillus acidophilus dapat bertahan melintasi lambung karena tahan terhadap enzim pencernaan (pH 1-5) pada lambung, dan asam empedu. 13
Selain itu, Lactobacillus acidophilus dapat menempel pada mukosa usus, dan menunjukkan pemulihan yang baik dalam feses setelah pemberian oral (Lee and Salminen, 1999).
2.7. Metode Difusi Cakram Beberapa metode yang digunakan untuk mengukur potensi suatu antibakteri diantaranya metode difusi cakram dan metode dilusi (Black, 1999). Metode difusi cakram (Kirby-Bauer) merupakan metode uji antibakteri yang digunakan pada penelitian ini. Prinsip pada metode ini ialah agen antibakteri yang akan digunakan yaitu disk standar metronidazol, kemudian ditempelkan pada media MRS (de Man Regosa and Sharpe) yang telah diinokulasikan suspensi bakteri uji menggunakan kapas steril. Waktu peresapan bakteri uji dalam media agar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi ukuran diameter zona hambat antibakteri pada metode difusi cakram (Kirby-Bauer). Suspensi bakteri uji yang telah diinokulasikan pada media, dibiarkan beberapa menit untuk memberikan kesempatan suspensi bakteri tersebut menyebar secara merata pada media agar. Waktu peresapan bakteri uji yang digunakan pada penelitian ini adalah selama 5-15 menit. Karena menurut Soemarno (2000), waktu peresapan bakteri uji tersebutlah yang memberikan hasil hambatan paling optimal. Waktu peresapan bakteri uji yang tidak optimal dapat mempengaruhi optimalnya hasil suatu uji antibakteri (Goldman and Green, 2004; Soemarno, 2000). Suhu dan waktu inkubasi yang digunakan pada metode ini yaitu suhu 35º-37º C selama 18-24 jam. Selama inkubasi berlangsung, antibakteri yang diujikan akan berdifusi dari cakram ke segala arah pada media MRS agar. Zat 14
dengan berat molekul kecil akan berdifusi lebih cepat dibandingkan dengan yang memiliki bobot molekul besar. Zona bening yang dihasilkan disebut zona hambat, yang muncul disekitar cakram dengan kandungan zat aktif yang mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Black, 1999). Diameter zona hambat diukur menggunakan jangka sorong (Lay dan Hastowo, 1994). Berdasarkan cara tersebut maka akan didapatkan hasil yang dapat dibaca sebagai berikut: a. Zona radikal yaitu suatu daerah disekitar disk dimana sama sekali tidak ditemukan adanya pertumbuhan bakteri. Potensi antibakteri diukur dengan mengukur diameter dari zona radikal. b. Zona iradikal adalah suatu daerah disekitar disk dimana pertumbuhan bakteri dihambat oleh antibakteri tetapi tidak dimatikan (Anonim, 1993). Metode difusi cakram (Kirby-Bauer) paling sering digunakan karena memiliki beberapa keuntungan yaitu ekonomis, sederhana (mudah dikerjakan) dan reprodusibel. Metode difusi cakram (Kirby-Bauer) sering dianjurkan untuk digunakan oleh WHO (World Health Organization) dan NCCLS (Nation Comitte for Clinical Laboratory Standards) (Depkes RI, 1999).
15