BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi permukiman yaitu faktorfaktor fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Faktor-faktor tadi menjadi landasan bagaimana permukiman itu selanjutnya. Jadi tumbuh kembangnya suatu kawasan permukiman dipengaruhi oleh banyak faktor. Hal ini juga dikemukakan oleh Sumaatmadja mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuhnya suatu permukiman yaitu faktor fisik yang mempengaruhi pertumbuhan dari permukiman penduduk adalah keadaan hidrografi, keadaan tanah, iklim, morfologi, dan sumber daya lainnya. Faktor fisis ini mempengaruhi bentuk, kecepatan dan perluasan permukiman. Kedalam faktor sosial berkenaan dengan permukiman penduduk ini termasuk karakter demografinya struktur dan organisasi sosial, dan relasi sosial diantara penduduk
yang
mempunyai
permukiman
penduduk.
Faktor
budaya
yang
mempengaruhi pertumbuhan penduduk yaitu tradisi setempat, daya seni, kemampuan teknologi, dan kemampuan ilmu pengetahuan berkenaan dengan pemanfaatan sumber daya setempat. Faktor ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan permukiman yaitu harga tanah, kemampuan daya beli penduduk setempat. Sedangkan yang termasuk faktor politik adalah keadaan pemerintah dan kenegaraan dengan segala peraturan dan kebijaksanaan setempat
9 Universitas Sumatera Utara
10
Menurut Komarudin (1997;110) bahwa peremajaan kota adalah meliputi usaha-usaha rehabilitasi untuk memperbaiki struktur di bawah standar sehingga memenuhi standar yang seharusnya; konservasi adalah menyangkut rehabilitasi dan pemeliharaan dengan maksud meningkatkan mutu suatu daerah; redevelopment yaitu pembongkaran, pembersihan dan pembangunan kembali suatu daerah. Sementara Danisworo dalam Komarudin (1997: 83-112) bahwa kita harus akui pula bahwa tumbuhnya permukiman-permukiman spontan dan permukiman kumuh merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses urbanisasi.
2.1
Pengertian Kawasan Kumuh
2.1.1
Pengertian kumuh Kumuh adalah kesan atau gambaran secara umum tentang sikap dan tingkah
laku yang rendah dilihat dari standar hidup dan penghasilan kelas menengah. Dengan kata lain, kumuh dapat diartikan sebagai tanda atau cap yang diberikan golongan atas yang sudah mapan kepada golongan bawah yang belum mapan. Adapun sebab kumuh dan akibat kumuh menurut (Kurniasih, 2007) yaitu: a. Sebab Kumuh. Kumuh adalah kemunduran atau kerusakan lingkungan hidup dilihat dari segi fisik, yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alam seperti air dan udara dan segi masyarakat/sosial, yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh manusia sendiri seperti kepadatan lalu lintas, sampah.
Universitas Sumatera Utara
11
b. Akibat Kumuh. Kumuh adalah akibat perkembangan dari gejala-gejala kondisi perumahan yang buruk, penduduk yang terlalu padat, fasilitas lingkungan yang kurang memadai, tingkah laku menyimpang, budaya kumuh, apati dan isolasi. Tumbuhnya pemukiman kumuh merupakan akibat dari urbanisasi, migrasi yang tinggi, masyarakat berbondong-bondong datang ke kota untuk mencari nafkah. Hidup di kota sebagai warga dengan mata pencaharian terbanyak pada sektor informal. Pada dasarnya pertumbuhan sektor informal bersumber pada urbanisasi penduduk dari pedesaan ke kota, atau dari kota satu ke kota lainnya. Hal ini disebabkan oleh lahan pertanian di mana mereka tinggal, sudah terbatas, bahkan kondisi desa pun tidak dapat lagi menyerap angkatan kerja yang terus bertambah, sedangkan yang migrasi dari kota ke kota lain, kota tidak lagi mampu menampung, karena lapangan kerja sangat terbatas. Akhirnya dengan adanya pemanfaatan ruang yang tidak terencana di beberapa daerah, terjadi penurunan kualitas lingkungan bahkan kawasan pemukiman, terutama di daerah perkotaan yang padat penghuni, berdekatan dengan kawasan industri, kawasan bisnis, kawasan pesisir dan pantai yang dihuni oleh keluarga para nelayan, serta di bantaran sungai, dan bantaran rel kereta api (Marwati, 2004).
2.1.2
Pengertian kawasan kumuh Kawasan kumuh adalah kawasan di mana rumah dan kondisi hunian
Universitas Sumatera Utara
12
masyarakat di kawasan tersebut sangat buruk. Rumah maupun sarana dan prasarana yang ada tidak sesuai dengan standar yang berlaku, baik standar kebutuhan, kepadatan bangunan, persyaratan rumah sehat, kebutuhan sarana air bersih, sanitasi maupun persyaratan kelengkapan prasarana jalan, ruang terbuka, serta kelengkapan fasilitas sosial lainnya (Kurniasih, 2007). Dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, yang menyatakan bahwa: ......untuk mendukung terwujudnya lingkungan pemukiman yang memenuhi persyaratan keamanan, kesehatan, kenyamanan dan keandalan bangunan, suatu lingkungan pemukiman yang tidak sesuai tata ruang, kepadatan bangunan sangat tinggi, kualitas bangunan sangat rendah, prasarana lingkungan tidak memenuhi syarat dan rawan, yang dapat membahayakan kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni, dapat ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan sebagai lingkungan pemukiman kumuh. Sementara itu permukiman kumuh dilihat dari aspek sosial budaya adalah lingkungan
yang
berpenghuni
padat
(melebihi
500
orang/ha),
mayoritas
berpenghasilan rendah, keterampilan rendah, masih berorientasi pada daerah asal dan rawan masalah kamtibmas (Bianpoen,1991; dalam Komarudin,1996). Disamping itu struktur sosial penghuni lingkungan pemukiman sangat majemuk dengan beragam norma sosial. Sehingga menyulitkan upaya membentuk suatu lembaga yang berbasis pada komunitas atau upaya-upaya peningkatan kesejahteraan bersama (Herlianto, 1992). Oleh karena itu setiap penanganan permukiman kumuh harus secara serius melaksanakan identifikasi asal-usul tumbuh kembangnya lingkungan permukiman kumuh guna membantu melakukan rekonstruksi nilai-nilai sosial budaya yang ada dan berlaku di dalamnya, termasuk keterkaitan dengan konfigurasi struktur sosial
Universitas Sumatera Utara
13
budaya kota (Emil Salim, 1992). Dari aspek tata lingkungan, permukiman kumuh memiliki sarana dan prasarana lingkungan yang sangat minim atau hampir tidak ada sehingga rawan banjir, rawan penyakit, permukiman diatas tanah negara, atau tanah orang lain ataupun daerah-daerah terlarang seperti dekat sungai, pasar, terminal dan diluar peraturan perundang-undangan yang berlaku (Komaruddin, 1996). Secara umum salah satu penyebab munculnya permukiman kumuh adalah terbatasnya akses penduduk miskin kepada kapital komunitas (Community Capital). Kapital komunitas ini meliputi kapital terbangun, individu dan sosial serta lingkungan alam (Hamid, 2001). Kapital terbangun meliputi informasi, jalan, sanitasi, drainase, jaringan listrik, ruang terbuka, perumahan pasar, bangunan-bangunan pelayanan publik, sekolah dan sebagainya. Kapital individu antara lain meliputi pendidikan, kesehatan, kemampuan dan keterampilan. Kapital sosial, antara lain meliputi koneksitas dalam suatu komunitas, cara manusia berinteraksi dan berhubungan dengan yang lainnya. Sedangkan kapital lingkungan alam meliputi sumberdaya alam, pelayanan ekosistem dan estetika alam (Hamid, 2001; Kwanda, 2001). Jadi pemukiman kumuh adalah lingkungan hunian atau tempat tinggal/rumah beserta lingkungannya, yang berfungsi sebagai rumah tinggal dan sebagai sarana pembinaan keluarga, tetapi tidak layak huni ditinjau dari tingkat kepadatan penduduk, sarana dan prasarananya, fasilitas pendidikan, kesehatan serta sarana dan prasarana sosial budaya masyarakat. Penyebab utama timbulnya permukiman kumuh dari aspek ekonomi adalah
Universitas Sumatera Utara
14
ketiadaan modal, rendahnya pendapatan, umumnya bekerja di sektor informal karena terbatasnya akses terhadap lapangan kerja yang ada. Tingkat pendapatan yang rendah menyebabkan daya beli yang rendah pula atau terbatasnya kemampuan untuk mengakses pelayanan sarana dan prasarana dasar, sehingga semakin memperburuk pembangunan fisik dari permukiman (Sugandy, 1991; Komaruddin, 1996). Dengan demikian tingkat pendapatan penghuni lingkungan permukiman kumuh rendah, merupakan permasalahan yang dapat menghambat perbaikan suatu permukiman. Permasalahan sosial ekonomi merupakan salah satu pendorong meningkatnya arus urbanisasi dari desa ke kota, dari daerah pinggiran ke pusat kegiatan ekonomi sehingga menumbuhkan lingkungan pemukiman kumuh baru (Redjeki, 2002). Sementara menurut Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Depkimpraswil) permukiman kumuh dapat diklasifikasikan ke dalam dua klasifikasi yaitu: 1. Fisik dilihat dari faktor berpenghuni padat > 500 orang/ha, tata letak bangunan kondisinya buruk dan tidak memadai, konstruksi bangunan kondisinya buruk dan tidak memadai, ventilasi tidak ada, kalau ada kondisinya buruk dan tidak memadai, kepadatan bangunan kondisinya buruk dan tidak memadai, keadaan jalan kondisinya buruk dan tidak memadai, drainase tidak ada dan kalau ada kondisinya buruk dan tidak memadai, persediaan air bersih tidak tersedia kalau tersedia kualitasnya kurang baik dan terbatas, tidak/kurang lancar kondisinya buruk atau tidak memadai.
Universitas Sumatera Utara
15
2. Non fisik dilihat dari faktor tingkat kehidupan sosial ekonomi rendah, pendidikan didominasi SLTP ke bawah, mata pencaharian bertumpu pada sektor informal, disiplin warga rendah.
2.1.3 Kebijakan penataan permukiman kumuh Secara umum terdapat dua hal yang melatar belakangi kebijakan pembangunan rumah susun sederhana yaitu kondisi perumahan perkotaan yang serba tidak memadai dan belum terbangunnya sistem perumahan yang tanggap terhadap kebutuhan rumah. Kondisi perumahan yang tidak memadai ditandai oleh tingginya angka kebutuhan perumahan di satu sisi dan kelangkaan tanah perkotaan di sisi lain. Kondisi yang tidak berimbang ini menjadikan masyarakat berpenghasilan rendah tidak mampu mengakses kebutuhan rumahnya secara formal, akibatnya muncul kantong-kantong permukiman informal yang tidak layak huni. Menurut Dun (2000:22) kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan didalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Lebih lanjut Leung (1971:70) menyatakan kebijakan memiliki 3 unsur yaitu kebijakan harus merupakan suatu keinginan dari urusan-urusan negara, kebijakan harus dilaksanakan secara sadar dengan maksud tertentu berupa keputusan dan tindakan, dan kebijakan harus dapat dikenal dan mempunyai hubungan yang erat antara keinginan dan urusanurusan Negara serta hubungan antara keputusan dan tindakan. Kebijakan Penataan Permukiman Kumuh adalah: 1. Meningkatkan kualitas kehidupan dan penghidupan penghuni perumahan
Universitas Sumatera Utara
16
dan permukiman kumuh dengan mengadakan perumahan dan permukiman yang lebih baik. 2. Mewujudkan lingkungan perumahan dan permukiman yang ditata secara tertib dan memenuhi persyaratan pembangunan. Berdasarkan kutipan di atas, dapat disimpulkan peremajaan kota merupakan salah satu upaya meningkatkan kualitas lingkungan pada ruang-ruang marjinal yang telah menurun kualitasnya. Berkaitan dengan rencana kebijakan penataan sebagian kawasan kumuh Kecamatan Medan Denai dengan pembagunan rumah susun yang merupakan upaya Pemerintah Kota dalam memperbaiki dan menata lingkungan permukiman perkotaan, model yang akan digunakan penataan kumuh tersebut yaitu di bangunnya rumah susun. Proses pelaksanaan rencana kebijakan tersebut, tidak mudah diimplentasikan karena banyak tantangan baik dari pihak masyarakat maupun dari pihak politis yang tidak menginginkan rencana kebijakan penataan kawasan kumuh dengan pembangunan rumah susun berjalan dengan lancar.
2.1.4
Strategi penanganan kawasan kumuh Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah baik pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah dalam mengatasi masalah kawasan kumuh ini. Mulai dari program pengentasan kemiskinan yang dianggap sebagai penyebab utama munculnya kawasan kumuh sampai kepada program-program yang lebih bersifat spesifik. Untuk menanggulangi persoalan kawasan kumuh, perlu dikembangkan upaya peningkatan kemampuan masyarakat dan membuka peluang agar mereka mampu
Universitas Sumatera Utara
17
memperbaiki kehidupannya dan menjangkau permukiman yang lebih layak. Programprogram diatas merupakan suatu program yang pada dasarnya diarahkan pada upaya penyadaran dan peningkatan kemampuan masyarakat sehingga komunitas masyarakat kumuh dapat “menggusur dirinya sendiri”. Melalui program-program ini diharapkan pemerintah dapat dibantu dalam mengembangkan kebijakan dan program yang berkesinambungan bagi penanganan permasalahan kawasan kumuh melalui berbagai pendekatan untuk memperbaiki kehidupan dan penghidupan mereka. Melalui pendekatan-pendekatan yang dilakukan, pemerintah dan masyarakat diharapkan dapat bekerja bersama untuk memperbaiki kondisi fisik, sosial dan ekonomi golongan masyarakat ini. Beberapa strategi fisik yang dilakukan dalam penanganan kawasan kumuh yaitu: 1. Pembangunan Rumah Susun. Pembangunan rumah susun ini diprioritaskan pada kawasan-kawasan kumuh yang tingkat kekumuhannya sudah sangat tinggi (K4) atau kondisi lingkungan
permukiman
yang
sudah tidak
layak
huni,
dimana
infrastruktur yang tersedia sangat terbatas, kepadatan bangunan sangat tinggi, KDB tinggi, lahan terbatas, namun status lahan umumnya merupakan lahan hak milik, dan berada di kawasan pusat kota. Bangunan rumah susun ini dilengkapi oleh beberapa fasilitas lingkungan seperti balai pertemuan, TK, SD, lapangan parkir, listrik, Air Bersih, taman lingkungan, TPS, pengolahan limbah, dan lain-lain. Pembangunan
Universitas Sumatera Utara
18
dan pengelolaan rumah susun ini dilakukan oleh Pihak Perumnas bekerjasama dengan Pemda. Penguasaan tanah dilakukan dengan sistem ganti rugi, sedangkan sistem penjualannya dilakukan dengan pemberian subsidi terhadap penduduk asli, dibandingkan dengan harga jual terhadap penduduk pendatang. a. Pembangunan Rumah Susun Milik. Bangunan bertingkat yang dibangun dalam satu lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan kamar mandi/WC dan dapur baik bersatu dengan unit hunian maupun terpisah dengan penggunaan komunal yang perolehannya dibiayai melalui kredit kepemilikan rumah subsidi atau atau tidak subsidi (Peraturan Pemerintah Pasal 1 No 31 Tahun 2007). Jenis rusun ini banyak diminati karena status kepemilikannya. Pembayaran unit rusunami dapat dilakukan secara kredit ataupun tunai. Umumnya fasilitas yang ditawarkan lebih lengkap dan lebih mewah. Pengelolaan fasilitas tersebut menjadi tanggungjawab penghuni sepenuhnya. Oleh karena itu dibentuk sebuah tatanan organisasi pengurus yang selanjutnya dinamakan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun atau PPRS. Rusunami dibagi 2 yaitu rusunami subsidi mendapat bantuan keringanan harga dari pemerintah, harga tiap unitnya berkisar 86-144 juta rupiah dan tidak dikenakan PPN 10%, dan rusunami non subsidi tidak mendapat bantuan keringanan
Universitas Sumatera Utara
19
harga dari pemerintah. Umumnya harga tiap unit lebih dari 144 juta rupiah dan dikenakan PPN 10%. b. Pembangunan Rumah Susun Sewa. Pembangunan rumah susun sewa ini diprioritaskan pada kawasankawasan kumuh yang berada pada lahan-lahan yang ilegal (bantaran sungai, taman kota, sempadan pantai, dan lain-lain) yang umumnya ditempati oleh kaum migran yang sebagian besar merupakan pekerja informal dan buruh dengan tingkat pendapatan yang rendah. Selain diperuntukan bagi kaum squatter, model rumah susun sewa ini dapat juga dilakukan untuk meremajakan kota pada kawasan kumuh dengan tingkat kekumuhan cukup kumuh sampai sangat kumuh (K2-K4). Bangunan rumah susun sewa ini dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang (infrastruktur) seperti air bersih, pengolahan sampah (TPS), pengolahan limbah, parkir, listrik, dan lain-lain. Pelaksanaan pembangunan rumah susun sewa ini dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah bekerjasama dengan instansi terkait lainnya. Pendekatan yang ditempuh terhadap masyarakat harus ditangani secara terpadu dan bersama-sama. Selama proses pembangunan berlangsung masyarakat penghuni mendapat jaminan berupa dana untuk pindah sementara, sedangkan setelah selesai penghuni dibebankan harga sewa yang disesuaikan dengan kemampuan masyarakat berdasarkan hasil kesepakatan bersama.
Universitas Sumatera Utara
20
Terdapat perbedaan antara Rusunami bersubsidi (Rumah Susun Milik Sendiri) dan Rusunawa (Rumah Susun Sewa) pada Tabel 2.1: Tabel 2.1 Perbedaan Rusunawi bersubsidi dan Rusunawa Keterangan Status kepemilikan Sasaran Harga tarif Pembangunan Pengelolaan Fasilitas
Rusunawa Sewa Penghasilan < Rp 1,7 juta Rp 175.000,- – Rp 341.000,-/bulan Pemda dengan Kementrian Perumahan Rakyat Unit Pelaksana Teknis (UPT) Rusun Tempat ibadah, lapangan, taman bermain, parikir, dll
Rusunami Bersubsidi Hak Milik. Penghasilan < Rp 4,5 juta. Rp 86 juta – Rp 144 juta. Perusahaan Pengembang. Perhimpunan Penghni rumah Susun (PPRS). Tempat ibadah, taman hijau, lapangan olahraga, kolam renang, mini market, dll.
2. Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (RsH). Untuk memudahkan masyarakat berpenghasilan rendah, pemerintah juga telah memberikan kemudahan dalam memiliki Rumah Sederhana Sehat (RsH), melalui penerbitan Keputusan Menteri Permukimaan dan Prasarana Wilayah Nomor 24/KPTS/M/2003 tentang Pengadaan Perumahan dan perrmukiman dengan dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan. Pemerintah telah menyempurnakan konsep rumah sederhana dan rumah sangat sederhana (RS dan RSS) dengan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat/RsH) yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Kimpraswil Nomor 403/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis Rumah Sederhana Sehat. Dalam pedoman tersebut terdapat
Universitas Sumatera Utara
21
empat macam konstruksi bangunan rumah yang dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat, yang semula hanya satu pilihan (rumah tembok) menjadi rumah jenis tembok, setengah tembok, kayu tidak panggung, dan kayu panggung. Program ini dirasakan cocok untuk menangani kawasan kumuh (K2) yang
menempati
daerah-daerah
bantaran/sempadan,
hal
ini
dimaksudkan untuk mengamankan bantaran/sempadan dari aktivitas yang
mengganggu
fungsi
lindung
sekaligus
mendistribusikan
penduduk pada daerah-daerah yang masih jarang penduduknya (tingkat kepadatan rendah). 3. Program Perbaikan Kampung (KIP). Program perbaikan kampung (KIP) merupakan program untuk memperbaiki komponen infrastruktur dalam kampung. Program ini dilaksanakan secara terpadu dengan sektor-sektor terkait. Kawasan kumuh yang mendapatkan prioritas program ini yaitu kawasan kumuh dengan tingkat kekumuhan kurang kumuh (K1) sampai Kumuh (K3), dimana infrastruktur terbatas atau kurang, sering terkena banjir atau genangan, merupakan kampung-kampung tua, dan pendapatan perkapita masyarakat rendah. Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan mutu kehidupan, terutama bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah melalui penataan lingkungan dan peningkatan serta penyediaan prasarana dasar, sehingga akan
Universitas Sumatera Utara
22
meningkatkan jumlah keluarga yang bertempat tinggal pada rumahrumah yang layak huni dan sehat. Teknis pelaksanaan program ini adalah perbaikan dan peningkatan sanitasi lingkungan, rehabilitasi kualitas rumah menjadi rumah yang layak huni. 4. Pembongkaran atau Penggusuran Rumah-rumah liar di Bantaran atau Sempadan. Kegiatan ini bertujuan untuk mengamankan bantaran/sempadan sebagai kawasan lindung (konservasi) dari bahaya banjir disamping menjaga keindahan kota. Kegiatan ini diprioritaskan pada perumahanperumahan kaum migran (squatter) yang menempati kawasan ini. Sebagai solusinya pemerintah harus menyediakan kawasan perumahan sederhana pada lokasi-lokasi yang masih kosong (lahan tidak produktif). Kegiatan yang dapat dilakukan berupa
penertiban
bangunan-bangunan liar di bantaran sungai dan sempadan pantai sesuai dengan Rencana Tata Ruang yang ada dan menata dan mengembangkan daerah hijau disepanjang bantaran sungai dan pantai. Program ini dapat diterapkan pada kawasan kumuh (K2) yang menempati daerah-daerah dimana status lahannya bukan merupakan hak milik masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk mengamankan sempadan/bantaran dari aktivitas yang mengganggu fungsi lindung sekaligus mendistribusikan penduduk pada daerah-daerah yang masih jarang penduduknya (tingkat kepadatan rendah).
Universitas Sumatera Utara
23
5. Program Penataan Ulang (Land Consolidation). Program land consolidation adalah suatu program penataan ulang kawasan permukiman di atas lahan yang selama ini telah dimanfaatkan sebagai lokasi permukiman. Program land consolidation dapat digunakan apabila telah memenuhi persyaratan antara lain
tingkat
penguasaan lahan secara tidak sah (tidak memiliki bukti primer pemilikan/penghunian) oleh masyarakat cukup tinggi, tata letak permukiman tidak/kurang berpola, dengan pemanfaatan yang beragam (tidak terbatas pada hunian), berpotensi untuk dikembangkan menjadi kawasan fungsional yang lebih strategis dari sekedar hunian. 6. Pemindahan penduduk (Resettlement). Pemindahan penduduk atau resettlement adalah suatu program penataan kawasan permukiman kumuh melalui pemindahan penduduk yang biasanya memakan waktu dan biaya sosial cukup besar, termasuk kemungkinan
timbulnya
keresahan
bahkan
kerusuhan
oleh
masyarakat. Pemindahan penduduk dilakukan dikarenakan kawasan tersebut berada pada kawasan tidak layak sehingga perlu direhabilitasi dan dapat memberikan nilai ekonomi, sosial, dan estetika serta fisik lingkungan bagi kehidupan kota.
2.2
Rumah Susun Menurut Undang-undang No.16 Tahun 1985 pasal 1 ayat 1 tentang rumah
Universitas Sumatera Utara
24
susun, bahwasannya rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horisontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Jadi rumah susun merupakan suatu pengertian yuridis arti bangunan gedung bertingkat yang senantiasa mengandung sistem kepemilikan perseorangan dan hak bersama, yang penggunaannya bersifat hunian atau bukan hunian. Secara mandiri ataupun terpadu sebagai satu kesatuan sistem pembangunan. Satuan rumah susun adalah rumah susun yang tujuan digunakan sebagai tempat hunian. Bagian bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama. Benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun tetapi yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama. Tanah bersama adalah sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang diatasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan ijin bangunan. Tujuan penyediaan rumah susun adalah untuk memenuhi kebutuhan rumah yang layak terutama bagi MBR dengan kepastian hukum dalam pemanfaatannya serta untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah perkotaan dengan memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan menciptakan lingkungan permukiman yang lengkap, serasi, dan seimbang. Sehingga rumah dapat dijadikan sarana pembinaan keluarga dalam pembentukan kepribadian, watak serta pendidikan
Universitas Sumatera Utara
25
yang baik sesuai dengan harkat dan martabat manusia (UU No 16 Tahun 1985 dan UU No 4 Tahun 1992). Hal ini juga dijelaskan oleh (Budihardjo;1994) mengungkapkan bahwa selain untuk bermukim, bagi masyarakat miskin perkotaan terutama di Indonesia, fungsi rumah juga untuk kegiatan informal yang dilakukan di teras rumah untuk menambah penghasilan keluarga. Tujuan penyediaan rumah susun untuk MBR (rumah susun sederhana) diimplementasikan melalui sistem penyelenggaraan pembangunan rumah susun sederhana beserta regulasi penyelenggaraannya. Pembangunan rumah susun sederhana (rusuna) sudah banyak diselenggarakan di kota-kota besar di Indonesia. Adapun umur ekonomis struktur dan fisik bangunan akan dapat dipertahankan sesuai rencana apabila konstruksi sesuai dengan persyaratan teknis dan penghunian sesuai dengan persyaratan administratif, seperti yang dipersyaratkan dalam regulasi tentang rumah susun. Implikasi dari hal itu adalah diperlukannya sistem pengelolaan yang dapat menjaga interaksi pengaturan antara pemanfaatan bangunan dan penghunian rusuna agar tetap harmonis dan berhubungan dengan baik. Sebab bila tidak maka kemerosotan kualitas bangunan dan penghuninya akan terjadi. Kebijakan pembangunan rumah susun sederhana merupakan sebagai bagian dari pengembangan wilayah perkotaan dalam implementasinya perlu memperhatikan aspek-aspek yang menjadi pertimbangan pengembangan wilayah perkotaan. Budihardjo (1998:24-26) mengemukakan bahwa serangkaian kebijakan dalam pengembangan daerah perkotaan sebagai wilayah permukiman dapat digolongkan
Universitas Sumatera Utara
26
sebagai berikut: 1. Perbaikan lingkungan fisik wilayah permukiman; 2. Perluasan lingkungan wilayah permukiman; 3. Perluasan jaringan wilayah pemukiman dengan jalan mendorong pertumbuhan permukiman di sekitar kota; 4. Pemencaran kawasan industri ke pinggir kota; 5. Menciptakan kantong-kantong rekreasi di pinggiran ataupun ditengah kota; 6. Penyediaan sarana insidentil berskala massif untuk menampung migrasi; 7. Perbaikan pelayanan umum secara bertahap tetapi menetap. Serangkaian kebijakan tersebut minimal meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Penetapan areal (zone) perumahan murah di kawasan-kawasan rakyat yang sudah ada; 2. Penetapan pola pembagian kapling yang memungkinkan dibangunnya rumah inti pada tahap pertama; 3. Penyediaan
lembaga
kemasyarakatan
yang
mendukung
pola
pengembangan; 4. Penyediaan sarana pelayanan umum yang memadai; 5. Menerapkan standarisasi pola pembuatan dan pemeliharaan rumah yang ada untuk tiap areal; 6. Pembentukan lembaga swadaya masyarakat untuk mengawasi ketentuan dan keputusan agar tidak menyimpang (Budihardjo, 1998:33).
Universitas Sumatera Utara
27
Penerapan kebijakan tersebut di atas akan membuat kerasan segenap penghuni perumahan atau rumah susun dan bahkan menjadi berkah bagi para tetangga (Jatman, 1983 dalam Budirahardjo, 1998:167). Berdasarkan kutipan diatas, dirujuk bahwa rencana kebijakan penataan kawasan kumuh dengan pembangunan rumah susun di kawasan Medan Denai merupakan tindakan pemerintah kota dalam meningkatkan kota. Sebagai keluarannya adalah terbangunnya rumah susun, sedangkan dampak dari terbangunnya rumah susun sederhana adalah tertatanya permukiman warga masyarakat sekitar kawasan rumah susun sederhana, untuk dapat mengimplementasikan rencana kebijakan penataan kawasan kumuh dengan pembangunan rumah susun itu tidak mudah. Menurut Jones (1984:23) beberapa tantangan yang akan dihadapi oleh implementor dalam mengimplementasikan suatu kebijakan adalah: 1. Permasalahan-permasalahan
dan
kebutuhan
secara
terus
menerus
didefinisikan kembali dalam proses kebijakan. 2. Pembuat kebijakan kadang-kadang mendefinisikan suatu permasalahan yang dihadapi masyarakat yang sesungguhnya oleh masyarakat itu sendiri bukan merupakan masalah. 3. Program-program yang mensyaratkan partisipasi antar lembaga dan masyarakat sering menimbulkan interprestasi yang berbeda-beda dalam melihat tujuan dan inkonsistensi terhadap tujuan program sering tidak diselesaikan kembali. 4. Program diimplementasikan tanpa mempersiapkan diri untuk mempelajari
Universitas Sumatera Utara
28
kegagalan. 5. Program sering merefleksikan suatu pendapat daripada kenyataan.
2.2.1
Tujuan pembangunan rumah susun sederhana Pembangunan rumah susun sederhana bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan
rumah susun layak huni dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan menengah bawah di kawasan perkotaan (Jakstra, 2007).
2.2.2
Prinsip pengaturan rumah susun sederhana Pengaturan rumah susun tertuang dalam UU No 16 Tahun 1985 dan PP No 4
Tahun 1988. Rumah susun untuk optimasi penggunaan tanah perkotaan. Konsep tata ruang diarahkan vertikal terutama untuk permukiman berkepadatan tinggi dan peremajaan kawasan kumuh. Regulasi ini juga mengatur tentang pengelolaan dan lokasi rumah susun. Lokasi rumah susun harus sesuai peruntukkan tata ruang dan keserasian
lingkungan.
Inter-koneksi
jaringan
lokal
dengan
jaringan
kota
dimungkinkan serta mudah dicapai angkutan dan terjangkau pelayanan air bersih dan listrik. Sedangkan dari Jakstra Rusun (2007) dinyatakan bahwa lokasi rusuna berada atau disyaratkan pada kawasan pusat kegiatan kota dan kawasan–kawasan khusus yang memerlukan rumah susun seperti kawasan industri, kawasan pendidikan dan kawasan campuran. Selain itu bagi kota yang memiliki penduduk lebih dari 1,5 juta jiwa dan kepadatan penduduk di atas 200 jiwa/ha sudah seharusnya mengarahkan
Universitas Sumatera Utara
29
pembangunan perumahan ke arah hunian vertikal. Pembangunan apartemen rakyat/rusuna adalah yang layak, murah dan terjangkau, selain harus berada di lokasi yang strategis dan memiliki aksesibilitas yang bernilai ekonomi tinggi (Keppres No 22 Tahun 2006) (Tabel 2.2). Tabel 2.2 Tingkat kebutuhan pengadaan rumah susun berdasarkan jumlah penduduk Klasifikasi Kawasan Kepadatan Kebutuhan Rusun
Kepadatan Rendah < 150 jiwa/ha Sebagai alternatif untuk kawasan tertentu
Kepadatan Sedang 15-200 jiwa/ha Disarankan untuk pusat-pusat kegiatan kota dan kawasan tertentu
Kepadatan Tinggi 201-400 jiwa/ha Disyaratkan
Sangat Padat > 400 jiwa/ha Disyaratkan
Sumber: Kepres No 22/2006 Kota metropolitan, kota besar, dan bagi kota sedang yang memiliki permasalahan khusus sudah harus mempertimbangkan pengembangan hunian vertikal (Dirjen Cipta Karya, DPU : 2007). Lokasi pembangunan rusunawa ditetapkan sendiri oleh masing-masing pemerintah daerah sesuai dengan kebijakan lokal yang berdasar pada kriteria dan peraturan nasional/regional yang berlaku. Hal-hal yang menjadi dasar pertimbangan pemilihan lokasi antara lain: 1. Penanganan kawasan permukiman kumuh, yang diawali dengan pemetaan kawasan kumuh dan kajian kelayakan untuk menetapkan tingkatan kekumuhan sehingga memerlukan upaya peremajaan yang berdampak pada kebutuhan akan hunian vertikal sewa sebagai salah satu solusi. 2. Tinjauan terhadap RTRW untuk menentukan kelayakan lokasi dari fungsi lahan dan tata guna tanah. 3. Tinjauan sosial dan ekonomi yang dapat meyakinkan bahwa komunitas
Universitas Sumatera Utara
30
yang akan dipindahkan dan nantinya bakal menghuni rusunawa di lokasi yang baru tidak kehilangan kehidupan dan penghidupannya yang paling mendasar. Dalam membangun rusunawa perlu memperhatikan aspek–aspek seperti aspek ekonomi, aspek lingkungan, aspek tanah perkotaan, aspek investasi, aspek keterjangkauan. Aspek ekonomi berkaitan dengan lokasi yang dekat dengan tempat kerja atau aktivitas sehari–hari sehingga menghemat pengeluaran rumah tangga. Sedangkan aspek keterjangkauan berkaitan dengan penetapan tarif sewa yang mampu dibayar oleh masyarakat penghuni rumah susun sederhana. Ada beberapa hal yang perlu direnungkan dalam bertautan dengan upaya memasyarakatkan rumah susun di Indonesia yaitu: a. Pertama, pentingnya penciptaan citra rumah susun sebagai rumah idaman di masa depan. Mengingat bahwa masyarakat kita berpola paternalistik, seyogyanya kelompok sasaran yang pertama-tama dibantu adalah kalangan menengah ke atas, yang pola hidupnya juga cukup berdisiplin. b. Kedua, agar terbuka peluang untuk subsidi silang dan mewadahi mobilitas internal serta mencegah kesan ekslusif, perlu dirancang perumahan susun yang mampu menampung berbagai tingkat sosialekonomi calon penghuni dengan penataan yang serasi. c. Ketiga, mengingat masih kuatnya rasa kekerabatan (mangan ora mangan asal kumpul), bila perlu diberikan prioritas bagi sekelompok keluarga yang memiliki hubungan erat untuk menempati unit-unit yang
Universitas Sumatera Utara
31
berdekatan. Hubungan erat di sini tidak harus berarti hubungan darah, tetapi bisa dalam bentuk hubungan sekerja. Hasil penelitian dari tim Puslitbang Pemukiman pun menunjukkan bahwa rumah susun yang dihuni seluruhnya oleh pegawai salah satu instansi tertentu ternyata lebih terpelihara, lebih guyub, dan lebih kental komunikasinya dibandingkan rumah susun yang penghuninya berasal dari lingkungan kerja yang berbeda-beda. d. Keempat, kebanyakan dalam pengaturan ruang dalam setiap unit rumah akan memberikan daya tarik tersendiri, karena setiap penghuni memperoleh kebebasan untuk menunjukkan jati dirinya lewat penampilan dan tata ruang rumahnya.
2.2.3. Prinsip dasar pembangunan rumah susun sederhana Pembangunan Rumah Susun di kawasan Provinsi Sumatera Utara didasarkan pada konsep pembangunan berkelanjutan, yang menempatkan manusia sebagai pu sat pembangunan.
Dalam
pelaksanaannya,
menggunakan
prinsip
tata
kelola
pemerintahan yang baik (good governance) dan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Prinsip dasar pembangunan Rumah Susun meliputi: 1. Keterpaduan yaitu pembangunan Rumah Susun dilaksanakan dengan prinsip keterpaduan kawasan, sektor, antar pelaku, dan keterpaduan dengan sistem perkotaan. 2. Efisiensi dan efektivitas yaitu memanfaatkan sumber daya yang tersedia
Universitas Sumatera Utara
32
secara optimal, melalui peningkatan intensitas penggunanaan lahan dan sumber daya lainnya. 3. Penegakan hukum yaitu mewujudkan adanya kepastian hukum dalam bermukim bagi semua pihak, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan yang hidup di tengah masyarakat. 4. Keseimbangan dan keberlanjutan yaitu mengindahkan keseimbangan ekosistem dan kelestarian sumber daya yang ada. 5. Partisipasi yaitu mendorong kerjasama dan kemitraan pemerintah dengan badan usaha dan masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam proses perencanaan, pembangunan, pengawasan, operasi dan pemeliharaan, serta pengelolaan rumah susun. 6. Kesetaraan yaitu menjamin adanya kesetaraan peluang bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah untuk dapat menghuni Rumah susun yang layak bagi peningkatan kesejahteraannya. 7. Transparansi dan akuntabilitas yaitu menciptakan kepercayaan timbalbalik antara pemerintah, badan usaha dan masyarakat melalui penyediaan informasi yang memadai, serta dapat mempertanggungjawabkan kinerja pembangunan kepada seluruh pemangku kepentingan. Menurut Yudohusodo (1991), dalam membangun rumah susun perlu diperhatikan beberapa aspek,yaitu: 1. Aspek ekonomi. Rumah susun sewa yang berdekatan dengan tempat kerja, tempat usaha
Universitas Sumatera Utara
33
atau tempat berbelanja untuk keperluan sehari-hari akan sangat membantu menyelesaikan masalah perkotaan, terutama yang menyangkut masalah transportasi dan lalu lintas kota. 2. Aspek lingkungan. Pada setiap lingkungan perumahan yang dibangun membutuhkan sejumlah rumah tambahan bagi masyarakat yang mempunyai tingkat sosial ekonomi yang berbeda. Melalui penerapan subsidi silang masih dimungkinkan membangun sejumlah rumah sewa yang dibiayai oleh lingkungan itu sendiri. 3. Aspek tanah perkotaan. Rumah susun sewa yang secara minimal dapat memenuhi kebutuhan masyarakat pada saat ini, tidak akan lagi memenuhi kebutuhan masyarakat di kemudian hari. Program peremajaan lingkungan dengan membangun kembali perumahan sesuai dengan standar yang dituntut, harus dilaksanakan agar lingkungan perkotaan tetap dapat terjamin kualitasnya. Dengan dikuasainya tanah dimana rumah susun sewa itu dibangun, program peremajaan lingkungan di masa mendatang dengan mudah dapat dilaksanakan. 4. Aspek investasi. Pembangunan rumah susun sewa untuk masyarakat berpenghasilan rendah secara ekonomis kurang menguntungkan. Besarnya sewa tidak dapat menutup seluruh biaya investasinya. Akan tetapi apabila ditinjau dari nilai
Universitas Sumatera Utara
34
tanah perkotaan yang selalu meningkat sesuai dengan perkembangan kotanya, maka cadangan tanah yang dikuasai pemerintah akan selalu meningkat harganya. Dengan nilai tanah tersebut, akan terpenuhi pengembalian sebagian atau seluruhnya biaya investasi. 5. Aspek keterjangkauan. Untuk dapat mencapai sasaran yang tepat maka tarif sewa disesuaikan dengan kemampuan masyarakat, atas dasar penghasilan yang nyata dan besarnya pengeluaran rumah tangga. Letak keberhasilan pembangunan dan penghunian rumah susun sewa tergantung pada lokasinya. 6. Aspek keruangan, estetika dan sosial. Memperhatikan
pola
masyarakat penghuni rumah
susun
dengan
memperhatikan konsep rumah susun yang baik untuk mencegah kegagalan dari rumah susun. 7. Aspek kriteria calon penghuni rumah susun. Kriteria calon penghuni rumah susun adalah masyarakat kumuh dimana pemerintah melakukan pendekatan terhadap masyarakat agar masyarakat mengerti mengapa harus tinggal di relokasi ke rumah susun sehingga pencitraan rumah susun sebagai rumah idaman di masa depan. Dari semua aspek di atas masing-masing mempunyai nilai yang pasti harus dilengkapi, tetapi juga tidak menutup kemungkinan dilakukannya beberapa penyesuaian tergantung pada lokasinya. Penyiapan lahan untuk pembangunan rumah susun dengan melakukan konsolidasi lahan dimana pemilik lahan dapat mendapatkan
Universitas Sumatera Utara
35
manfaat (ekonomi dan sosial) sebesar-besarnya dari lahan yang dimilikinya secara berkelanjutan, sesuai dengan teori Sabbarudin (2003:22). Dari aspek ekonomi tentunya akan sangat menguntungkan karena dekat dengan akses utama kota, tetapi dari sisi investasi akan kurang menguntungkan. Karena diperlukan kajian lebih dalam lagi untuk menyeimbangkan kelima aspek ini agar pembangunan rumah susun sewa di daerah bantaran sungai dapat diterapkan dan memberikan manfaat yang semaksimal mungkin.
2.2.4
Konsep rumah susun Rumah susun harus memenuhi syarat-syarat minimum seperti rumah biasa
yakni dapat menjadi tempat berlindung, memberi rasa aman, menjadi wadah sosialisasi, dan memberikan suasana harmonis. Pembangunan rumah susun diarahkan untuk mempertahankan kesatuan komunitas kampung asalnya. Pembangunannya diprioritaskan pada lokasi di atas bekas kampung kumuh dan sasaran utamanya adalah penghuni kampung kumuh itu sendiri yang mayoritas penduduknya berpenghasilan rendah. Mereka diprioritaskan untuk dapat membeli atau menyewa rumah susun tersebut secara kredit atau angsuran ringan (peraturan Pemerintah RI No 4 Tahun 1988). Hamzah (2000:28-35) menyatakan bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pembangunan rumah susun adalah: a. Persyaratan teknis untuk ruangan. Semua ruangan yang dipergunakan untuk kegiatan sehari-hari harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan udara luar
Universitas Sumatera Utara
36
dan pencahayaan dalam jumlah yang cukup. b. Persyaratan untuk struktur, komponen dan bahan-bahan bangunan harus memenuhi persayaratan konstruksi dan standar yang berlaku yaitu harus tahan dengan beban mati, bergerak, gempa, hujan, angin, hujan dan lainlain. c. Kelengkapan rumah susun. Jaringan air bersih, jaringan listrik, jaringan gas, saluran pembuangan air, saluran pembuangan sampah, jaringan telepon/alat komunikasi, alat transportasi berupa tangga, lift atau eskalator, pintu dan tangga darurat kebakaran, alat pemadam kebakaran, penangkal petir, alarm, pintu kedap asap, generator listrik dan lain-lain. d. Satuan rumah susun yaitu mempunyai ukuran standar yang dapat dipertanggungjawabkan dan memenuhi persyaratan sehubungan dengan fungsi dan penggunaannya, memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti tidur, mandi, buang hajat, mencuci, menjemur, memasak, makan, menerima tamu dan lain-lain. e. Bagian bersama dan benda bersama antara lain bagian bersama berupa ruang umum, ruang tunggu, lift, atau selasar harus memenuhi syarat sehingga dapat memberi kemudahan bagi penghuni, benda bersama harus mempunyai dimensi, lokasi dan kualitas dan kapasitas yang memenuhi syarat sehingga dapat menjamin keamanan dan kenikmatan bagi penghuni. f. Lokasi rumah susun persyaratan antara lain harus sesuai peruntukan dan
Universitas Sumatera Utara
37
keserasian dengan memperhatikan rencana tata ruang dan tata guna tanah, harus
memungkinkan
berfungsinya
dengan
baik
saluran-saluran
pembuangan dalam lingkungan ke sistem jaringan pembuang air hujan dan limbah, harus mudah mencapai angkutan, harus dijangkau oleh pelayanan jaringan air bersih dan listrik. g. Kepadatan dan tata letak bangunan. Harus mencapai optimasi daya guna dan hasil guna tanah dengan memperhatikan keserasian dan keselamatan lingkungan sekitarnya. h. Prasarana lingkungan. Harus dilengkapi dengan prasarana jalan, tempat parkir, jaringan telepon, tempat pembuangan sampah. i. Fasilitas lingkungan. Harus dilengkapi dengan ruang atau bangunan untuk berkumpul, tempat bermain anak-anak, dan kontak sosial, ruang untuk kebutuhan sehari-hari seperti untuk kesehatan, pendidikan dan peribadatan dan lain-lain.
2.2.5
Kelembagaan pengelola rumah susun sederhana Manajemen sering dikaitkan dengan suatu aktivitas yang menyangkut
pengelolaan. Di dalam pengertian manajemen terdapat aktivitas utama untuk bersama–sama bekerja sama menuju sasaran yang sama dengan suatu perencanaan yang tepat dan didukung oleh sumber daya yang baik. Aktivitas utama tersebut dilakukan secara efektif dan efisien agar dapat memberikan pelayanan yang baik bagi
Universitas Sumatera Utara
38
yang terlibat dalam manajemen. Efisiensi berarti melakukan sesuatu dengan tepat, sedangkan efektif berarti melakukan sesuatu yang tepat. Proses manajemen secara prinsip ada 4 (empat) fungsi yaitu merencanakan, mengorganisasikan, memimpin, dan mengendalikan. Pemahaman terhadap “merencanakan” lebih kepada penggunaan metode
untuk
memikirkan
sasaran
dan
tindakan
yang
tepat,
sedangkan
“mengorganisasikan” adalah lebih kepada mengatur dan mengalokasikan wewenang serta sumber daya untuk mencapai sasaran. “memimpin” diartikan sebagai aktivitas dalam mengarahkan, mempengaruhi, dan memotivasi untuk melaksanakan tugas. Selanjutnya
“mengendalikan”
lebih
kepada
bagaimana
memastikan
bahwa
manajemen sedang bergerak mencapai tujuan. Fungsi–fungsi tersebut saling melengkapi satu sama lain (Stoner, 1996:6-15). Fungsi manajemen tersebut digunakan untuk pengaturan hubungan antar manusia. Pengaturan ini mencakup siapa yang diatur, apa yang diatur, kenapa diatur, bagaimana mengaturnya, dan dimana harus diatur. Di sini ada penetapan tujuan dan sasaran serta bagaimana mencapainya (Hasibuan, 2003:1-5, 17, 30-41) (Tabel 2.3). Tabel 2.3. Elemen Sistem Manajemen Merencanakan Perencananaan,pem programan,Pembia yaan yang efektif. Evaluasi program Berjalan
Mengorganisasi
Memimpin
Mengendalikan
Struktur organisasi Kepemimpinan dan Perbaikan Sistem yang efektif pengambilan Manajemen Sistem pendukung keputusan Operasional keputusan bekerja manajemen yang efektif Kendali Mutu
Dari pemahaman tersebut terdapat dua aspek pokok manajemen yaitu fungsi dan pengaturan. Elemen sistem manajemen adalah fungsi, sedangkan derivatif dari
Universitas Sumatera Utara
39
fungsi adalah pengaturan. Sehingga sistem manajemen yang diterapkan pada rumah susun sederhana mengutamakan sistem perawatan dan pemeliharaan yang dikendalikan oleh pengelola untuk bagaimana mengatur, mengorganisir penghuni dan mengarahkan agar tetap menuju sasaran bersama yaitu menempati hunian yang layak, sehat, dan nyaman. 1. Pengelola rumah susun sederhana. Salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh penghuni rumah susun adalah pembentukan perhimpunan penghuni, yang diberi kedudukan sebagai Badan Hukum. Perhimpunan penghuni berkewajiban untuk mengurus kepentingan bersama para pemilik dan penghuni, serta dapat membentuk atau menunjuk badan pengelola yang bertugas untuk menyelenggarakan pengelolaan yang meliputi pemeliharaan, perbaikan dan pengawasan terhadap penggunaan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama (UU No 16 Tahun 1985). Pembentukan perhimpunan penghuni disyahkan oleh Bupati atau Walikota. Sedangkan yang menjadi anggota perhimpunan penghuni adalah subjek hukum yang memiliki atau menyewa beli atau yang memanfaatkan rumah susun yang berkedudukan sebagai penghuni. 2. Hak dan kewajiban penghuni. Penghuni/Penyewa mempunyai hak-hak menempati rusunawa untuk keperluan tempat tinggal, menggunakan fasilitas umum dan fasilitas sosial dalam lingkungan rumah susun sederhana sewa, mengajukan keberatan
Universitas Sumatera Utara
40
atas pelayanan yang kurang baik oleh pengelola, mendapat penjelasan, pelatihan
dan
bimbingan
terhadap
pencegahan,
pengamanan
dan
penyelamatan terhadap bahaya kebakaran. Sedangkan penghuni/penyewa mempunyai kewajiban membayar sewa dan segala iuran yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, membayar rekening listrik dan air bersih sesuai ketentuan, membuang sampah setiap hari di tempat yang ditentukan, memelihara sarana rumah susun yang disewa dengan sebaik-baiknya, mematuhi ketentuan tata tertib tinggal di rumah susun sederhana sewa. 3. Hak atas barang bersama, benda bersama dan tanah bersama. Hak atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama sesuai dengan UU Nomor 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun berlaku atas sarana rumah susun yang dimiliki oleh perseorangan atau badan hukum yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah. Penghuni memiliki hak memanfaatkan bagian bersama, benda bersama, tanah bersama yang didasarkan atas luas sarana rumah susun yang disewa.
2.2.6
Pembangunan rumah susun di Indonesia Rancangan rumah susun di Indonesia yang berorientasi pada masyarakat
menengah ke bawah mengandung tiga prinsip dasar. Hal ini dilakukan berangkat dari keinginan untuk melayani masyarakat, tanpa memaksa harus mengubah pola perilaku mendasar calon penghuni. Tiga prinsip dasar tersebut adalah tatanan komunal,
Universitas Sumatera Utara
41
kegiatan dalam dan kegiatan luar dan arsitektur tropis. 1. Tatanan komunal. Rumah susun dapat dirancang sebagai rumah tunggal bagi keluarga besar, seperti rumah adat Madura, Dayak dan Aceh. Intinya adalah sebuah ruang besar di tengah. Disekitar ruang itu ada dapur dan kamar mandi yang mengelompok. 2. Kegiatan dalam luar rumah. Pada rumah susun, pengertian ruang bersama tidak 100 persen terbuka. Pola ini ternyata efektif dan dapat diterima denga baik. Tatanan communal space dengan private space diberikan tekanan yang jelas. Konsep in door berlaku tatanan ruang dalam kavling rumah dan konsep out door berlaku pada tatanan ruang umum. 3. Arsitektur tropis. Aspek lain yang cukup menarik sebagai muatan rancangan rumah susun di Indonesia adalah penggunaan prinsip bangunan tropis yang diterapkan secara konsisten dan konsekuen. Ada tiga unsur dasar arsitektur tropis yaitu suasana teduh, banyak angin dan menyatu dengan alam sekitar. Oleh karena itu rumah susun perlu dilengkapi dengan tanaman. Pada lantai yang lebih tinggi, warga didorong menyediakan tanaman di balkon. Agar terasa teduh, tiap balkon diberi atap. Standart perencanaan rumah susun di kawasan perkotaan di Indonesia adalah: 1. Kepadatan bangunan, dimana dalam mengatur kepadatan atau intensitas
Universitas Sumatera Utara
42
bangunan diperlukan perbandingan yang tepat meliputi luas lahan peruntukkan, kepadatan bangunan, KDB dan KLB. 2. Lokasi dimana rumah susun dibangun pada lokasi yang sesuai dengan rencana tata ruang, rencana tata bangunan dan lingkungan yang terjangkau layanan transportasi umum, serta dengan mempertimbangkan keserasian dengan lingkungan sekitarnya. 3. Tata letak dimana rumah susun harus mempertimbangkan keterpaduan bangunan, lingkungan, kawasan, dan ruang serta memperhatikan faktorfaktor kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan dan keserasian. 4. Jarak antar bangunan dan ketinggian
dimana rumah susun ditentukan
berdasarkan persyaratan terhadap bahaya kebakaran, pencahayaan dan pertukaran udara secara alami, kenyamanan serta kepadatan bangunan sesuai dengan tata ruang kota. 5. Jenis dan fungsi
dimana rumah susun adalah untuk hunian dan
dimungkinkan dalam satu rumah susun/kawasan rumah susun memiliki jenis kombinasi fungsi hunian dan fungsi usaha. 6. Luas lantai rumah susun dimana minimum 21 m2 dengan fungsi utama sebagai ruang tidur atau ruang serbaguna serta dilengkapi dengan kamar mandi dan dapur. 7. Kelengkapan dimana rumah susun harus dilengkapi prasarana, sarana dan utilitas yang menunjang kesejahteraan, kelancaran serta kemudahan penghuni dalam menjalankan kegiatan sehari-hari.
Universitas Sumatera Utara
43
8. Transpotrasi vertikal dimana rumah susun bertingkat rendah dengan jumlah maksimum 6 lantai menggunakan tangga sebagai transportasi vertikal, sedangkan yang bertingkat tinggi dengan jumlah lebih dari 6 lantai menggunakan lift sebagai transportasi vertikalnya. Klasifikasi rumah susun yang akan didirikan di Indonesia berdasarkan golongan penghuni rumah susun yaitu: 1. Untuk golongan kecil dikembangkan tipe hunian tipe 18, tipe 36, tipe 54 dengan bahan bangunan sederhana. 2. Untuk golongan menengah dikembangkan dengan tipe 36, tipe 54 dan tipe 70 dengan bahan bangunan yang lebih baik. 3. Untuk golongan atas dengan tipe dengan luas per unit 100 m2 dan bahan bangunan yang digunakan berkualitas tinggi.
2.3
Konsep Karakteristik Masyarakat Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia karakteristik adalah ciri-ciri khusus
atau mempunyai sifat khas sesuai dengan perwatakan tertentu. Karakteristik adalah ciri khas seseorang dalam meyakini, bertindak ataupun merasakan. Berbagai teori pemikiran dari karakteristik tumbuh untuk menjelaskan berbagai kunci karakteristik manusia (Boeree 2008;426). Karakteristik adalah ciri-ciri dari individu yang terdiri dari demografi seperti jenis kelamin, umur serta status sosial, seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, ras/suku, status ekonomi dan sebagainya (Widianingrum,1999). Karakteristik juga
Universitas Sumatera Utara
44
dinilai dari fisik bangunan dan lingkungan. Yang berupa kondisi lingkungan dan kondisi rumah, luas bangunan, kualitas rumah. Hal Karakteristik masyarakat dari fisik bangunan dan lingkungan, digunakan untuk
pengelompokkan karakteristik
masyarakat sehingga dapat mengetahui upaya yang dilakukan pada lingkungan dan masyarakat (Widianingrum,1999). Menurut Efendi demografi berkaitan dengan struktur penduduk, umur, jenis kelamin dan status ekonomi sedangkan data kultural mengangkat tingkat pendidikan, pekerjaan, agama, adat istiadat, penghasilan dan sebagainya. Menurut Selo Sumarjan, 1974 masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Sedangkan menurut Koentjaraningrat, 1994 masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontiniu dan terikat oleh suatu rasa identitas yang sama. Terdapat unsur-unsur yang ada dalam suatu masyarakat yang harus diperhatikan, yaitu: 1. Harus ada perkumpulan manusia. 2. Telah bertempat tinggal dalam waktu yang lama disuatu tempat tertentu. 3. Adanya aturan atau undang-undang yang mengatur masyarakat untuk menuju kepentingan dan tujuan bersama. Ciri-ciri yang dimiliki oleh masyarakat yaitu: 1. Interaksi diantara sesama anggota masyarakat. 2. Menempati wilayah dengan batasan-batasan tertentu. 3. Saling tergantung satu dengan yang lainnya.
Universitas Sumatera Utara
45
4. Memiliki adat istiadat tertentu/kebudayaan. 5. Memiliki identitas.
2.4
Konsep Pemberdayaan Masyarakat Salah satu tujuan pembangunan adalah berupaya untuk meningkatkan
kapasitas masyarakat untuk dapat terlibat dan berpartisipasi dalam proses transformasi sosial (social transformation) melalui keterlibatannya dalam kegiatan ekonomi, sosial dan politik. Untuk itu pemerintah berperan dalam mengarahkan dan mengkoordinasikan
berbagai
kebijakan
dan
program
yang
terarah
untuk
meningkatkan kapasitas masyarakat atau pemberdayaan masyarakat dengan mengembangkan peran dan keterlibatan pelaku-pelaku di lingkungan pemerintah dan di masyarakat. Konsep pemberdayaan masyarakat muncul dari antitesis terhadap model pembangunan ekonomi dan industrialisasi yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Kritik proses tersebut dibangun dari asumsi dan kerangka logik sebagai berikut: 1. Proses pemusatan kekuasaan terbangun dari pemusatan penguasaan faktor produksi. 2. Pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja yang lemah dan masyarakat pemilik produksi yang kuat. 3. Kekuasaan akan membangun struktur atau sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan ideologi yang manipulatif untuk memperkuat legitimasi.
Universitas Sumatera Utara
46
4. Kooptasi sistem pengetahuan, sistem hukum, sistem politik dan ideologi, secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat yaitu, masyarakat berdaya dan masyarakat tidak berdaya. Menurut Friedman (dalam Sabaruddin 2003:4), pemberdayaan harus dimulai dari rumah tangga atau keluarga. Pemberdayaan keluarga adalah pemberdayaan yang mencakup aspek sosial, politik dan psikologis. Pemberdayaan sosial adalah usaha bagaimana keluarga yang lemah untuk memperoleh akses informasi, akses pengetahuan dan keterampilan, akses untuk berpartisipasi dalam organisasi sosial, dan akses sumber-sumber keuangan. Sementara dalam relokasi ke rumah susun, masyarakat harus membentuk suatu organisasi. Sabaruddin (2003;22) mengungkapkan bahwasannya para penghuni permukiman kumuh harus memobilisasi dan membentuk sebuah organisasi dengan seorang pemimpin yang mampu membantu menghindarkan mereka dari berbagai ancaman penggusuran, bernegosiasi dengan pemerintah, menggabungkan dukungan dari organisasi lain diluar dan mengeratkan partisipasi dalam perencanaan lahan, alokasi plot lahan, penghancuran bangunan. Pemberdayaan politik adalah usaha bagaimana keluarga yang lemah untuk memiliki akses dalam proses pengambilan keputusan publik yang mempengaruhi masa depan mereka. Serta pemberdayaan psikologis adalah usaha bagaimana membangun kepercayaan diri setiap keluarga yang lemah agar mereka dapat berinteraksi dengan masyarakat dalam mengembangkan kegiatan sosial ekonominya. Berdasarkan kutipan di atas, salah satu pendekatan pemberdayaan masyarakat,
Universitas Sumatera Utara
47
yaitu perlu melibatkan masyarakat dalam proses penataan ruang maupun dalam proses membangun atau menjadikan masyarakat subjek pembangunan sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
2.5
Tingkat Relokasi Kawasan Kumuh Sesuai dengan UU No 4 Tahun 1992 bahwasannya suatu lingkungan
dinyatakan kumuh ketika persyaratan keamanan, kesehatan, kenyamanan dan keandalan bangunan, suatu lingkungan permukiman yang tidak sesuai tata ruang, kepadatan bangunan sangat tinggi, kualitas bangunan sangat rendah, prasarana lingkungan tidak memenuhi persyaratan dan rawan. Sehingga dapat membahayakan kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni. Secara garis besar menurut Sinulingga (2005), suatu permukiman kumuh mempunyai ciri terdiri dari: 1. Penduduk sangat padat antara 250-400 jiwa/ha. Pendapat para ahli perkotaan (MMUDP 90) menyatakan bahwa apabila kepadatan suatu kawasan telah mencapai 80 jiwa/ha maka timbul masalah akibat kepadatan ini, antara perumahan yang dibangun tidak mungkin lagi memiliki persyaratan fisiologis, psikologis dan perlindungan terhadap penyakit. 2. Jalan-jalan sempit tidak dapat dilalui oleh kendaraan roda empat, karena sempitnya, kadang-kadang jalan ini sudah tersembunyi dibalik atap-atap rumah yang sudah bersinggungan satu sama lain. 3. Fasilitas drainase sangat tidak memadai, dan malahan biasa terdapat jalanjalan tanpa drainase, sehingga apabila hujan kawasan ini dengan mudah
Universitas Sumatera Utara
48
akan tergenang oleh air. 4. Fasilitas pembuangan air kotor/tinja sangat minim sekali. Ada diantaranya yang langsung membuang tinjanya ke saluran yang dekat dengan rumah, ataupun ada juga yang membuangnya ke sungai yang terdekat. 5. Fasilitas penyediaan air bersih sangat minim, memanfaatkan air sumur dangkal, air hujan atau membeli secara kalengan. 6. Tata bangunan sangat tidak teratur dan bangunan-bangunan pada umumnya tidak permanen dan malahan banyak yang darurat. 7. Kondisi 1 sampai 6 membuat kawasan ini sangat rawan terhadap penularan penyakit. 8. Pemilikan hak atas lahan sering tidak legal, artinya status tanahnya masih merupakan tanah negara dan para pemilik tidak memiliki status apa-apa. Selain kawasan kumuh yang menepati lahan-lahan yang legal, yang disebut “Slum Area”, kawasan kumuh seringkali juga muncul pada lahan-lahan tanpa hak yang jelas, baik secara status kepemilikan maupun secara fungsi ruang kota yang umumnya merupakan lahan bukan untuk tempat hunian tanpa seijin pemiliknya, yang karenanya pada umumnya membawa konsekuensi terhadap tidak layaknya kondisi hunian masyarakat tersebut, karena tidak tersedia fasilitas sarana dan prasarana dasar bagi lingkungan huniannya. Kawasan kumuh juga akibat penurunan kualitas lingkungan dan hunian. Dengan bertambahnya jumlah penghuni rumah. Perubahan hunian ini akan merubah wajah suatu hunian. Hal ini akan berpengaruh pada penyediaan fasilitas sarana
Universitas Sumatera Utara
49
prasarana lingkungan yang harus bertambah juga jika jumlah permukiman bertambah. Maka terjadi ketidakseimbangan terhadap lingkungan. Hal ini dipertegas oleh faktor penduduk dan rumah tangga merupakan faktor dominan yang menyebabkan ketidakseimbangan dengan lingkungan tersebut (Shaw, 1991). Kawasan kumuh tersebut harus cepat diatasi untuk keberlangsungan lingkungan dan penghidupan masyarakat. Sehingga perlu adanya kebijakan penataan permukiman kumuh.
2.6
Tingkat Kesiapan Masyarakat Menurut Leavitt (1978) sikap adalah kecenderungan untuk melihat kepada
sesuatu yang mungkin agak spesifik dengan cara-cara tertentu. Azjen (1988) dalam Sarwono (2002) an attitude is a disposition to respond favourably or unfavourably to anobject, person, institution or event. Menurut Walgito (2002) sikap adalah organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relatif yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respon atau berperilaku dalam cara tertentu yang dipilihnya. Sikap yang ada pada diri seseorang akan dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu faktor fisiologis dan psikologis, serta faktor eksternal dapat berwujud situasi yang dihadapi oleh individu, norma-norma yang ada dalam masyarakat, hambatan-hambatan atau pendorong-pendorong yang ada dalam masyarakat. Adanya sikap dapat menciptakan suatu tindakan ataupun tidak sama sekali. Kecenderungan untuk melihat sesuatu secara spesifik dengan cara tertentu atau
Universitas Sumatera Utara
50
disebut dengan sikap dapat menjadi pemicu seseorang untuk melakukan suatu tindakan. Terkadang sikap pun tidak dilanjutkan menjadi tindakan karena suatu hal. Penyimpulan sikap tidak dapat dibuat berdasarkan satu tindakan pada satu saat saja. Cara yang lebih tepat adalah menggunakan kriteria observasi berulang yakni apakah berulang kembali pada waktu-waktu yang berbeda (Sarwono, 2002). Perubahan yang terjadi di masyarakat secara nyata dapat dilihat dari perubahan sosial yaitu perubahan struktur sosial yang meliputi sikap-sikap dan pola perilaku atau kebiasaan bertindak. Hal ini sesuai pendapatnya Soemardjan Perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga permasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosial termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola tingkah laku. Jadi perubahan sosial merupakan suatu perubahan di dalam masyarakat baik itu keluarga, maupun individu yang ada pada suatu lingkungan. Adapun perubahan tersebut menyangkut nilai, sikap-sikap dan pola tingkah laku. Menurut (Syani,2002) bahwa kendala dalam menghadapi proses perubahan tersebut menjadi benturan budaya dan kepentingan hidup. Horto (1993) juga mengungkapkan sebuah sistem sosial kebanyakan berasal dari jalinan hubungan bersifat tradisional. Komunitas disatukan oleh ikatan yang merupakan gabungan antara hubungan antar tetangga. Kenyataan manusia dalam masyarakat cenderung untuk berpegang teguh pada suatu kebiasaan, merupakan suatu yang wajar dan dapat dimengerti. Karena semua tindakan yang dilakukan pada umumnya erat kaitannya dengan upaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya baik biologis maupun psikologis, maka pada
Universitas Sumatera Utara
51
dasarnya manusia lebih menyukai dan lebih menginginkan cara-cara hidup yang selalu dilakukannya tanpa perubahan yang signifikan. Jika kendala lain dalam pencapaian tujuan pelaksanaan program yaitu yang menyangkut masalah kesiapan masyarakat atau komunitas itu sendiri dalam merubah tingkah laku mereka yang selama ini mereka lakukan atau mereka jalani, hal ini akibat dari setiap manusia cenderung untuk melakukan adaptasi terhadap lingkungan agar apa yang ada di sekitarnya dapat berdaya guna. Dalam proses ini manusia menata kehidupannya sedemikian rupa sehingga mampu mengatasi berbagai masalah yang ditemui dalam lingkungannya. Seperti yang dijelaskan Marans (dalam Yafiz,1994) pada proses penghunian terjadi penyesuaian akibat kebutuhan. Proses penyesuaian tersebut terjadi karena adanya kebutuhan penghuni untuk menyesuaikan diri terhadap rumah yang dihuninya atau penyesuaian wadah fisik menurut kebutuhan setiap penghuninya. Dan penyesuaian ditunjukkan oleh penghuni terlihat pada perubahan-perubahan yang dilakukan (Berry dalam Altman, 1980; Sarwono, 1992). Penyesuaian ini perlu karena jiwa kebiasaan tersebut telah berlangsung dalam waktu yang cukup lama, maka pola kehidupan masyarakat tersebut menjadi suatu kebiasaan yang akan menjadi kebiasaan turun temurun sehingga mereka yang telah menetap pada suatu lingkungan tertentu akan merasa kesulitan untuk merubah pola kehidupannya waktu yang singkat akibat mereka akan enggan untuk pindah pada lingkungan yang lain. Senada dengan hal itu pentingnya faktor kebiasaan dalam pelaksanaan suatu kegiatan juga dikemukakan oleh Adi (2001:215), faktor lain yang dapat menghambat suatu perubahan adalah faktor kebiasaan.
Universitas Sumatera Utara
52
2.7
Karakteristik Kesiapan Masyarakat Untuk Tinggal di Rumah Susun Menurut Potter (1982:23) dalam Kuntjoro kesiapan adalah kekuatan yang
besifat relatif dari individu dalam mengidentifikasi keterlibatan dirinya kedalam bagian organisasi. Hal ini dapat ditandai dengan tiga hal yaitu: 1. Penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi. 2. Kesiapan dan kesediaan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh atas nama organisasi. 3. Keinginan untuk mempertahankan keanggotaan di dalam organisasi (Mowday 1982:27) dalam Kuntjoro. Teers (1985:50) dalam Kuntjoro mendefinikan kesiapan sebagai rasa sebagai rasa identifikasi merupakan kepercayaan terhadap nilai organisasi, keterlibatan yaitu kesiapan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi yang bersangkutan, loyalitas yaitu keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi. Dunhan (1994:370) dalam Kuntjoro terdapat tiga komponen berkaitan dengan kesiapan yaitu: a. Komponen afektif berkaitan
dengan
emosional, identifikasi
dan
keterlibatan masyarakat dalam suatu organisasi. b. Komponen normatif merupakan perasaan individu tentang kewajiban yang harus diberikan kepada organisasi. Komponen normatif berkembang sebagai hasil dari pengalaman sosialisasi, tergantung dari sejauh apa perasaan kewajiban yang di miliki oleh individu. c. Komponen continuance berarti komponen yang berdasarkan persepsi
Universitas Sumatera Utara
53
tentang kerugian dan keuntungan jika tinggal atau meninggalkan suatu organisasi. Turner (dalam Yunus, 2008; 191-193) dalam “teori mobilitas tempat tinggal” mengemukakan ada tiga stratum yang berkaitan dengan lama bertempat tinggal di perkotaan yang menentukan pilihan bertempat tinggal, yaitu: 1. Golongan yang baru datang di kota (bridgehead). 2. Golongan yang sudah agak lama tinggal di daerah perkotaan (consolidator). 3. Golongan yang sudah lama tinggal di daerah perkotaan (status seekers). Turner dalam Yunus (2008; 191-193) juga mengatakan lama tinggal akan mempengaruhi kualitas hidup individu, semakin lama seseorang atau keluarga bermukim pada suatu tempat, maka motivasi mereka untuk meningkatkan kualitas hidupnya semakin besar, hal ini didorong oleh sifat manusia yang tidak pernah puas dengan apa yang telah dimilikinya sehingga akan berusaha terus memperoleh sesuatu yang lebih dari apa yang dinikmati dimasa lalu dan saat sekarang. Menurut Turner (dalan Panudju, 1999;166-168) merujuk pada teori Maslow, terdapat keterkaitan antara kondisi ekonomi seseorang dengan skala prioritas kebutuhan hidup dan prioritas kebutuhan perumahan. Menentukan prioritas tentang rumah seseorang atau sebuah keluarga yang berpendapatan rendah cenderung meletakkan prioritas utama pada lokasi rumah yang berdekatan dengan tempat kerja yang dapat memberikan kesempatan kerja, sebab dengan kesempatan kerja yang cukup dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari untuk mempertahankan hidupnya.
Universitas Sumatera Utara
54
Prioritas kedua adalah status kepemilikan rumah dan lahan, sedangkan bentuk dan kualitas rumah merupakan prioritas terakhir yang penting pada tahap ini adalah tersedianya rumah untuk berlindung dan istirahat dalam upaya mempertahankan hidupnya. Seiring dengan meningkatnya pendapatan, prioritas kebutuhan perumahan akan berubah, status kepemilikan rumah maupun lahan menjadi prioritas utama, karena dengan kejelasan status tanah dan rumah mereka dapat bekerja dengan tenang untuk meningkatkan pendapatannya. Hal lain juga diungkapkan oleh Wolpert dalam Ley (1983;239) yang menyatakan prioritas dalam pertimbangan untuk pindah disebabkan karena adanya tekanan pada keluarga sehubungan dengan adanya perubahan kebutuhan keluarga terhadap kondisi lingkungan perumahan yaitu karena adanya perubahan ukuran keluarga.
2.8
Strategi dan Kebijakan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Strategi pembangunan Kota Medan secara umum dilakukan untuk mengatasi
beberapa issu strategis: 1. Kebutuhan
pertumbuhan
investasi,
ekonomi
dan
pembiayaan
pembangunan yang tinggi untuk menghadapi persaingan ekonomi global. 2. Permasalahan sosial budaya, pelayanan umum dan kebutuhan tata pemerintahan yang baik. 3. Tantangan
Penataan
Ruang
dan
pengelolaan
lingkungan
yang
berkelanjutan.
Universitas Sumatera Utara
55
4. Penyediaan Permukiman dan pelayanan infrastruktur belum memadai. Pertumbuhan penduduk dan perkembangan Kota Medan sebagai Kota Metropolitan menuntut penyediaan perumahan, permukiman dan infrastruktur yang handal. Terdapat beberapa issu strategis penyediaan perumahan/permukiman dan infrastruktur Kota Medan, diantaranya yaitu: 1. Tingginya harga rumah. 2. Daya beli masyarakat. 3. Pembiayaan
pembangunan
pemerintah
dan
investasi
dan
permukiman
bidang
perumahan/permukiman yang terbatas. 4. Kelembagaan
pembangunan
perumahan
yang
berorientasi kepada masyarakat dan bekerjasama dengan swasta. 5. Status tanah. 6. Kurangnya masyarakat miskin untuk memperoleh akses yang luas dalam bidang perumahan dan permukiman. 7. Pembangunan kota yang belum terbangun secara terstruktur dalam satu konsep pengembangan seperti Kasiba dan Lisiba. 8. Kebutuhan rumah susun. 9. Terdapatnya rumah kumuh. 10. Masih rendahnya pelayanan sarana dan prasarana permukiman. Hingga saat ini telah dilakukan berbagai upaya dalam rangka pemenuhan kebutuhan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang salah satunya berupa penyediaan lahan bagi perumahan pada beberapa lokasi seperti di Kelurahan
Universitas Sumatera Utara
56
Nelayan Indah Kecamatan Medan Labuhan seluas 15 ha dimana telah dibangun 8 ha untuk perumahan nelayan sebanyak 1300 unit, kemudian di Kelurahan Sei Mati Kecamatan Medan Labuhan seluas 6 ha, dan di Kelurahan Tanjung Mulia seluas 3 ha. Selain dengan penyediaan lahan bagi perumahan, juga telah dibangun beberapa rumah susun baik milik maupun sewa yang tersebar di 9 lokasi di Kota Medan. Adapun kesembilan lokasi tersebut adalah sebagai berikut: 1. 2 buah Twin Blok di Martubung (Kemenpera). 2. 3 buahTwin Blok di Sei Mati (Cipta Karya). 3. 1 buah Twin Blok di Tanjung Mulia (Cipta Karya). 4. 2 buah Twin Blok di Kampus USU (Kemenpera). 5. 1 buah Twin Blok di Kampus Medan Area (Kemenpera). 6. 1 buah Twin Blok di Kampus UMSU (Kemenpera). 7. 1 buah Twin Blok di Kampus UIN (Kemenpera). 8. 10 Blok di Suka Ramai. Adapun program pengembangan permukiman hingga tahun 2030 yaitu: 1. Program Penataan Permukiman Kumuh. Hingga tahun 2030, program penanganan permukiman kumuh yang diperlukan di Kota Medan adalah penataan dan pembangunan serta peningkatan kualitas kawasan permukiman kumuh di 46 lokasi permukiman kumuh di Kota Medan, Konsolidasi lahan di kawasan permukiman kumuh di Kampung Aur, Penataan dan Pembangunan perumahan bagi nelayan di Medan Belawan dan Medan Labuhan yang
Universitas Sumatera Utara
57
terintegrasi dengan pengembangan Minapolitan, Pengendalian perumahan di sempadan sungai Deli dan di sempadan anak-anak sungainya, Pengendalian perumahan sempadan rel kereta api di pusat Kota, Pengendalian perumahan di kawasan Mangrove di Kecamatan Medan Belawan, Urban Renewal kawasan kumuh di pusat primer dan sekunder kota. 2. Program penataan
lingkungan
permukiman yang berkualitas dan
berkelanjutan, antara lain Pembangunan Kasiba, Pembangunan Lisiba, relokasi pemukiman kumuh di pusat kota dan Polonia, Pembangunan rumah susun dan apartemen di Pusat Kota dan Kawasan Polonia untuk relokasi permukiman di pusat kota dan Polonia. 3. Program pengembangan permukiman jangka menengah hingga tahun 2015. Secara operasional implementasi pelaksanaan pengembangan perumahan dan permukiman tahun 2010-2015 dijabarkan ke dalam berbagai program pokok, antara lain survey kegiatan perumahan dan permukiman Kota Medan, perencanaan kegiatan perumahan dan permukiman Kota Medan, persiapan kegiatan perumahan dan permukiman Kota Medan, pengawasan kegiatan
perumahan
dan
penimbunan/pematangan
lahan,
permukiman pembuatan
Kota
database,
Medan, perencanaan
pembangunan pasar tradisional, pembangunan dan penataan pasar tradisional, pembangunan rumah susun, pematangan lahan untuk
Universitas Sumatera Utara
58
penyediaan perumahan bagi masyarakat miskin. Terlaksananya pembangunan rumah susun baru sebanyak 5 unit sampai Tahun 2015. Untuk setiap sasaran 5 (lima) tahunan tersebut, maka ditetapkan sasaran untuk setiap tahunnya sebagai berikut: 1. Tahun 2011 menjadi 1 lokasi. 2. Tahun 2012 menjadi 2 lokasi. 3. Tahun 2013 menjadi 3 lokasi. 4. Tahun 2014 menjadi 4 lokasi. 5. Tahun 2015 menjadi 5 lokasi. Sementara itu permasalahan permukiman di Kota Medan, terutama adalah masalah permukiman kumuh. Terdapat 46 lokasi permukiman kumuh di Kota Medan yang perlu segera diatasi untuk mewujudkan Kota Medan bebas dari permukiman kumuh. Terdapat 3 tipologi permukiman kumuh di Kota Medan, yaitu: 1. Permukiman padat dan kumuh nelayan. 2. Permukiman padat dan kumuh bantaran sungai. 3. Permukiman padat dan kumuh di pusat kota (Daerah CBD). Dalam RPKPP yaitu suatu rencana yang memuat rencana aksi program strategis untuk penanganan persoalan permukiman dan pembangunan infrastruktur keciptakaryaan. Dalam pelaksanaannya, RPKPP disusun berdasarkan prioritas strategis pengembangan kota dan perlu mengacu pada Strategi Pembangunan Kota (SPK), Strategi Pembangunan Permukiman dan Infrastruktur Perkotaan (SPPIP) dan Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah
Universitas Sumatera Utara
59
(RP4D) yang ada. SPPIP dan RP4D ini menjadi acuan utama bagi penetapan kawasan yang akan diprioritaskan dan dasar arahan bagaimana persoalan pembangunan yang terdapat pada kawasan permukiman prioritas tersebut harus diselesaikan. Adapun dalam konteks suatu wilayah atau kota, kawasan permukiman prioritas tersebut dapat berupa: 1. Kawasan permukiman dan lingkungan perumahan kumuh dalam areal perkotaan atau perdesaan yang memiliki nilai ekonomis dan atau nilai strategis tinggi, yang apabila ditangani dapat meningkatkan nilai kawasan serta memberikan manfaat bagi peningkatan perekonomian wilayah atau kota yang bersangkutan. 2. Kawasan permukiman yang memiliki dominasi permasalahan terkait bidang keciptakaryaan (permasalahan kekumuhan, permasalahan sanitasi lingkungan yang tidak memadai, dan lain-lain), sehingga dibutuhkan penanganan melalui bidang keciptakaryaan. 3. Kawasan permukiman yang dilengkapi/disertai dengan fungsi khusus dalam skala pembangunan wilayah kota atau wilayah yang lebih luas. Termasuk dalam kriteria ini seperti kawasan pariwisata, kawasan konservasi kultural, kawasan agro industri, dan sejenisnya. 4. Kawasan perdesaan yang berada dipinggiran areal perkotaan, dan berfungsi sebagai hinterland dan atau buffer/penyangga bagi kota induknya. 5. Kawasan permukiman yang potensial terkena bencana (alam maupun
Universitas Sumatera Utara
60
konflik sosial) yang perlu diselesaikan segera agar program lain dapat diselenggarakan pada waktunya. Dimana
berdasar
hasil
penilaian
RPKPP
(Penyusunan
Rencana
Pengembangan Kawasan Permukiman Prioritas) kota Medan 2010 dengan beberapa kriteria dan hasil telah menetapkan ”Kecamatan Medan Denai” sebagai kawasan prioritas penanganan permukiman di Kota Medan.
2.9
Studi Kasus Keberhasilan dan Kegagalan Rumah Susun Studi kasus ini dilakukan terhadap beberapa kasus relokasi masyarakat kumuh
ke rumah susun baik program relokasi yang mengalami keberhasilan maupun yang mengalami kegagalan. Dari studi kasus yang dilakukan, maka akan diambil beberapa parameter atau variabel mengapa relokasi ini dapat berhasil atau mengalami kegagalan. Dari faktor kegagalan dan keberhasilan relokasi masyarakat ke rumah susun, maka akan tersusun variabel dimana variabel ini sangat berguna untuk menentukan variabel selanjutnya pada penelitian masyarakat kumuh pinggiran Saluran Sulang Saling untuk pindah ke rumah susun. Adapun studi kasus yang dilakukan yaitu pada: 1. Permukiman kumuh nelayan ke rumah susun Kedaung Kelurahan Sukamaju Bandar Lampung. a. Kondisi permukiman kumuh nelayan. Secara fisik, permukiman kumuh nelayan berada di Lingkungan III Kelurahan Kangkung. Lingkungan ini dinamakan Ujung born atau juga
Universitas Sumatera Utara
61
dikenal Gudang Lelang. Nama Gudang Lelang dikarenakan dahulu pernah menjadi tempat Pelelangan Ikan (TPI). Permukiman kumuh nelayan dibangun mengikuti sepanjang garis pantai. Rumah penduduk dibangun di atas lahan basah yang datar berpasir dan berlumpur yang dipengaruhi air pasang surut. Sebagian rumah dibangun di atas tiang (pile dweling). Pemilik rumah biasanya adalah keturunan dari keluarga perintis yang membuka kawasan ini. Luasan rumah bervariasi tergantung pada jumlah keluarga. Seiring dengan pertumbuhan penduduk maka permukiman nelayan tumbuh dan berkembang secara organis atau tanpa perencanaan. Walaupun pada prinsipnya menurut undang-undang pemerintah daerah ini merupakan daerah yang bukan diperuntukkan bagi permukiman, yang secara langsung diketahui oleh para pemukim. Bagi mereka lokasi rumah yang utama adalah dekat dengan air karena terkait dengan keberadaan perahu yang merupakan alat utama transportasi bagi keberlangsungan hidup mereka, dan juga sebagai tempat sandaran keberadaan perahu mereka. Penyediaan sarana dan prasarana sangat terbatas. Saluran limbah dan air hujan tidak ada, begitu pula dengan tempat pembuangan sampah. Limbah rumah tangga langsung dibuang dibawah rumah mereka. Prasarana air bersih juga tidak ada. Untuk kebutuhan air bersih, warga biasanya membeli dari pedagang air pikulan. Prasarana jalan juga tidak ada, warga membangun dengan swadaya murni. Walaupun termasuk kumuh, tetapi secara keruangan memiliki lokasi yang
Universitas Sumatera Utara
62
strategis, dekat dengan pusat perniagaan hasil laut yaitu TPI Gudang Lelang, dan juga pabrik es dimana es tersebut dipakai untuk mengawetkan ikan di kapal. Selain itu terdapat pelayanan umum kantor Koramil Telukbetung Selatan, kantor Kelurahan Kangkung, kantor polisi, ruko, bank dan sarana hiburan seperti karaoke, bilyard, bioskop. Mobilitas warga dilayani dengan keberadaan sarana transportasi becak dan angkutan kota yang beroperasi 24 jam. Secara ekonomi, pekerjaan mereka sebagai Nelayan merupakan pekerjaan yang telah turun temurun. Mereka menganggap bahwasannya bagi mereka yang mampu akan dapat menyekolahkan anak-anak mereka sampai ke SMA dan Perguruan Tinggi hingga anak-anak mereka tidak sebagai nelayan lagi. Tetapi yang terjadi dari 292 KK hanya 26 KK yang dapat menyekolahkan anak mereka sehingga secara turun temurun mereka menjadi nelayan. Pendapatan para nelayan bervariasi. Untuk menambah kebutuhan kebanyakan keluarga menutupi pengeluaran dengan istri dan anak yang bekerja. Profesi yang banyak dijumpai yaitu pedagang ikan dan pedagang kelontong. Secara sosial, pada permukiman Kumuh Nelayan ini, kebanyakan anakanak mereka baik Wanita maupun Pria membantu dalam nelayan sehingga mereka banyak yang putus sekolah. Rendahnya tingkat pendidikan berpengaruh pada pengetahuan. Sehingga pengetahuan yang rendah ini menyebabkan kondisi kesehatan nelayan banyak menimbulkan penyakit
Universitas Sumatera Utara
63
bagi mereka. Sementara hubungan keeratan sosial cukup tinggi dengan mereka yang saling mengenal satu sama lain. Banyak pekerjaan yang dilakukan mereka secara bersama-sama. Keeratan sosial pada masyarakat akan timbul jika ada faktor yang dimiliki mereka bersama seperti kesamaan mata pencaharian, kesamaan senasib sebagai kaum migran, kesamaan keturunan atau keluarga. Secara
budaya,
dalam
rangka
mempertahankan
kelangsungannya,
masyarakat sangat bergantung kepada perahu dan kapal. Sehingga mereka memilih lokasi rumah sedapat mungkin agar dapat dekat dengan perahu. Jarak yang jauh dari sarana berlabuh akan mengakibatkan munculnya rasa kurang aman terutama pada saat musim Barat. Fenomena yang ditemukan dan sering dijumpai adalah kebiasaan melakukan Buang Air Besar (BAB) di pantai. Budaya masyarakat nelayan sangat dipengaruhi oleh system kepercayaan agama Islam. Pandangan masyarakat terhadap Keluarga Berencana dianggap tabu atau dosa. Sehingga tiap keluarga mempunyai anak yang banyak. b. Latar Belakang Relokasi. Latar belakang relokasi dilatarbelakangi oleh keinginan pemerintah menjadikan wilayah pesisir Kota Bandar Lampung sebagai kawasan pesisir wisata pantai. Dalam relokasi hal yang dilakukan pertama kali adalah sosialisasi kepada warga. Dimana penduduk akan diberikan ganti rugi sesuai dengan nilai tanah dan nilai rumah bagi rumah yang terkena
Universitas Sumatera Utara
64
pengembangan sesuai dengan data yang dikumpulkan. Pada pendataan di dapat bahwasannya kepemilikan tanah dibagi atas 2 yaitu milik sendiri dan milik Negara. Sehingga jika tanah milik sendiri akan diganti harga tanah dan harga rumah, sementara yang diatas tanah Negara atau permukiman liar akan diganti nilai rumah saja. Sementara pada relokasi terjadi konflik yang mengarah kekerasan. Faktor ini terjadi dikarenakan: 1. Terlibatnya aparat keamanan dalam masalah pertanahan dari masalah perdata menjadi masalah kelanjutan bangunan. 2. Faktor merebaknya calo-calo tanah. Para calo menggunakan cara kasar dengan memaksa para pemilik tanah untuk menjual tanah kepada para calo sehingga menimbulkan keresahan. 3. Rasa takut dikalangan pemilik tanah terhadap kemungkinan jatuh miskin sesudah kehilangan hak atas tanah beserta bangunan di atasnya. Yang terjadi masyarakat yang memiliki tanah setelah dapat ganti rugi merelokasi keluarga mereka dengan pindah ke Kelurahan sekitar tepi pantai. Sementara mereka yang tinggal di atas sempadan pantai memilih kompensasi rumah sangat sederhana tipe 21. Tetapi yang berjalan rumah yang dibangun tidak mencukupi seluruh warga yang terkena penggusuran. Sehingga Pemerintah melakukan pembangunan rumah susun sewa sehingga masyarakat yang tidak tertampung di rumah yang dibangun secara sederhana itu untuk tinggal di rumah susun. Sementara dalam perencanaan sampai dengan pengimplementasian rumah susun masyarakat
Universitas Sumatera Utara
65
tidak pernah dilibatkan. Alasan pemerintah tidak melibatkan masyarakat yaitu waktu yang singkat untuk segera dapat menampung masyarakat yang tidak tertampung di rumah sederhana. Setelah pembangunan rumah susun selesai, maka 48 warga segera dipindah ke rumah susun, yang diikuti dengan sosialisasi dari Pihak Pemerintah tentang tata tertib tinggal di rumah susun yang dilakukan sebanyak 2 kali. c. Kondisi masyarakat nelayan pasca pindah ke rumah susun. Secara ekonomi, profesi yang dilakukan pada keluarga nelayan tidak mengalami perubahan, dimana bapak sebagai nelayan ibu-ibu sebagai pedagang ikan dan anak sebagai pemungut ikan. Perubahan yang terjadi pada ibu-ibu yang berjualan kelontong yang tidak dapat lagi berjualan akibat telah tinggal di
rumah susun. Sementara
perubahan yang paling signifikan adalah meningkatnya pengeluaran rumah tangga. Jarak yang jauh antara rumah susun dengan pusat ekonomi mereka menambah biaya transportasi mereka. Tidak hanya itu saja, mereka harus mengeluarkan uang bagi keluarga yang memiliki perahu sebagai tempat perahu mereka bersandar. Sementara pada awalnya retribusi rumah susun Rp 15.000,- sudah termasuk untuk air minum tidak berlangsung seperti itu. Air minum dihitung terpisah dari retribusi yang ditetapkan. Yang terjadi tunggakan pembayaran air minum selama 4 bulan sehingga membuat pihak PDAM memutus air minum ke rumah susun tersebut.
Universitas Sumatera Utara
66
Secara sosial, salah satu dampak dari relokasi yaitu munculnya perubahan sosial yang baru yaitu terganggunya jaringan sosial masyarakat. Dalam komunitas nelayan sistem kekerabatan lebih dominan unit keluarga. Sementara pada relokasi tersebut, relokasi secara parsial bukan berdasarkan kelompok kekerabatan atau komunitas. Munculnya perasaan tertekan akibat dipisahkan dari kerabatnya dan kesulitan bersosialisasi. Persoalan yang muncul lagi adalah kurangnya hubungan dengan masyarakat asli di sekitar rumah susun. Ada juga persoalan lain yaitu wabah malaria. Hal ini diakibatkan adanya perubahan lingkungan terlebih kelurahan Sukamaju adalah endemic malaria. Secara budaya, karakteristik budaya ditandai adanya ketidakmampuan beradaptasi dengan hunian baru yang bersifat vertikal. Kebiasan membuang sampah sembarangan dapat ditekan. Masyarakat cenderung lebih mengutamakan kebersihan dan sanitasi lingkungan. Namun kebiasaan melakukan Buang Air Besar ditepi laut atau diatas kapal tidak dapat dihilangkan. Secara fisik lingkungan, karakteristik fisik lingkungan baru masyarakat nelayan adalah tinggal di rumah susun. Permukiman rumah susun ini terletak dikawasan permukiman dan jauh dari pusat aktivitas ekonomi nelayan. d. Kegagalan Relokasi Ke Rumah Susun Sementara faktor penyebab kegagalan relokasi permukiman Nelayan ke
Universitas Sumatera Utara
67
rumah susun disebabkan oleh: 1. Pada proses relokasi pihak swasta tidak melibatkan masyarakat untuk melakukan diskusi bahkan mereka menggunakan aparat keamanan dalam pembebasan tanah. 2. Pihak Pemerintah yang berpihak kepada pihak swasta untuk mendirikan taman rekreasi. 3. Rumah susun tidak sesuai dengan persepsi masyarakat yaitu jarak yang terlalu jauh, luas rumah yang sempit, dan status rumah sewa. 4. Relokasi
yang
dilakukan
terhadap
masyarakat
Nelayan
tidak
berpengaruh terhadap sumber-sumber produksi termasuk pendapatan dan mata pencaharian. Akan tetapi terjadi peningkatan biaya hidup yang signifikan. 5. Terjadi perubahan sosial dalam pola interaksi sosial dimana dahulunya terbentuk dari struktur keluarga batih yang telah menimbulkan hubungan kekerabatan menjadi keluarga inti saja. Kebiasaan dan tingkat pendidikan yang rendah membuat masyarakat Nelayan mengalami kesulitan beradaptasi dengan lingkungan sosial di sekitar rumah susun yang bukan berprofesi sebagai nelayan. 6. Kebiasaan yang dilakukan dahulunya belum biasa beradaptasi terhadap kebiasaan hidup di rumah susun, misalnya melakukan BAB di WC tertutup. Yang terjadi penghuni rumah susun sebanyak 40 KK kembali bermukim di
Universitas Sumatera Utara
68
Kelurahan Kangkung. Faktor utama mereka untuk kembali di dukung dengan dibukanya TPI Ujung Bom Kelurahan Kangkung. Dengan membuka lagi permukiman ini, pemerintah Kota tidak dapat menggusurnya kembali dikarenakan lemahnya hukum di Bandar Lampung. Sehingga akhirnya permukiman ini semakin berkembang. 2. Relokasi penduduk warga Kali Adem yang ber KTP Jakarta ke Rumah Susun Cinta Kasih Tzu Chi 2 Muara Angke. a. Kondisi Permukiman Kali Adem Latar belakang penghuni dan rumah susun, sebagian besar masyarakat Kali Adem berada pada kisaran umur 21-37 tahun yakni sebesar 55%. Kisaran umur 38-54 tahun adalah sebesar 35% dan umur 55-71 tahun adalah sebesar 10%. Dari Pendidikan sebagian besar masyarakat Kali Adem berpendidikan hingga SD yakni sebesar 55%. Masyarakat Kali Adem yang tidak bersekolah sebesar 22,5% sedangkan yang bersekolah hingga SLTP adalah sebesar 12,5%. Untuk masyarakat Kali Adem yang bersekolah hingga SLTA adalah sebesar 10% dan tidak ada yang berpendidikan hingga Universitas. Pendidikan tertinggi dalam keluarga masyarakat Kali Adem telah mencapai tingkat universitas yakni sebesar 2,5%. Sebagian besar pendidikan tertinggi dalam keluarga masyarakat Kali Adem ada pada tingkat SLTP sebesar 45%. Untuk pendidikan tertinggi pada tingkat SD adalah sebesar 27,5% dan tingkat SLTA sebesar 25%. Tidak didapati keluarga masyarakat Kali Adem yang tidak berpendidikan.
Universitas Sumatera Utara
69
Jumlah terbesar dari masyarakat Kali Adem yang memiliki anak berusia di bawah tujuh adalah sebesar 85% dengan kisaran 0-1 orang anak. Kisaran 23 anak memiliki jumlah masyarakat Kali Adem sebesar 12,5% sedangkan untuk kisaran 4-5 orang anak adalah sebesar 2,5%. Jumlah masyarakat Kali Adem yang berada pada kisaran penghuni 3-5 orang yakni sebesar 72,5%. Kisaran penghuni 6-8 orang adalah sebesar 25% dan kisaran penghuni 9-11 orang adalah sebesar 2,5%. Rumah susun Cinta Kasih Tzu Chi 2 Muara Angke dibangun dengan 600 unit rumah susun yang terdiri dari 5 lantai dengan tiap unitnya 36 m2 yang dibangun diatas lahan seluas 1,6 ha. Rumah susun ini terdiri dari 7 gedung dan 28 blok. Gedung A hingga F dihuni oleh warga gusuran dari Kali Adem, gedung E dihuni oleh warga gusuran yang tanahnya digunakan untuk pembangunan Rumah Sakit Paru-paru dan Gedung G yang hingga saat ini belum terisi karena diperuntukkan untuk warga korban gusuran. Pada setiap rumah susun dilengkapi dengan meja makan, satu tempat tidur besar, 1 tempat tidur anak-anak dan lemari. Ruang yang ada pada setiap rumah meliputi 2 kamar tidur, ruang tamu, dapur dan 1 kamar mandi. Untuk dapat menempati tersebut, warga didata oleh pihak Kelurahan, lalu dapat surat tunggu hingga pembangunan rusun selesai. Selain dengan unit hunian rumah susun, fasilitas rusun juga dilengkapi mes, kios, gudang, dapur operasional, serta tempat tinggal pengelola, rumah sakit dan sekolah. Penggusuran warga Kali Adem ke rumah susun dikarenakan:
Universitas Sumatera Utara
70
1. Daerah Kali Adem akan dibuat menjadi jalan menuju pelabuhan baru yang sedang dibangun di Muara Angke dimana pelabuhan tersebut akan dijadikan Pelabuhan Wisata. 2. Untuk mencegah terjadinya banjir di Muara Angke. 3. Mempermudah akses-akses kapal boat dari pantai Marina Ancol menuju Pulau Bidadari Kepulauan Seribu. Secara fisik bangunan, kondisi rumah di Kali Adem berasal dari papan dan sisa bahan bangunan. Pada umumnya, rumah mereka berbentuk panggung yang bawahnya adalah sungai dan berada di bantaran bahkan hingga ke tengah sungai. Sebagian besar rumah di Kali Adem tidak beruangan, biasanya untuk pembatas ruang hanya diberikan sekat atau bahkan tidak sama sekali. Kamar mandi ada yang di letakkan di dalam atau luar rumah. Untuk mandi dan mencuci menggunakan air sungai sedangkan untuk minum membeli air yang dipikul. Rumah yang ada dibuat sendiri ataupun dapat mengontraknya. Secara ekonomi, pengeluaran yang dihitung adalah pengeluaran rata-rata perbulan. Sebagian besar masyarakat Kali Adem memiliki pengeluaran dengan kisaran Rp583.000,- sampai dengan Rp1.198.000,- dengan jumlah sebesar 50%. Masyarakat Kali Adem yang memiliki pengeluaran dengan kisaran Rp1.198.100,- sampai dengan Rp1.813.100,- adalah sejumlah 40% dan
yang
memiliki
pengeluaran
Rp1.813.200,-
sampai
dengan
Rp2.428.200,- adalah sebesar 10%.
Universitas Sumatera Utara
71
b. Keberhasilan relokasi ke Rumah Susun. Kondisi permukiman rusun Cinta Kasih Tzu Chi 2 Muara Angke, berada dalam naungan Yayasan Cinta Kasih Tzu Chi yang berpusat di Taiwan dan membuka cabang di Indonesia yang bertempat di ITC Mangga Dua lantai 6. Saat program normalisasi dilaksanakan Yayasan Cinta Kasih Tzu Chi bekerjasama dengan Pemerintah Kotamadya Jakarta Utara
dalam
pembangunan rusun. Rusun yang dibangun yakni Rusun Cinta Kasih Tzu Chi 1 di Cengkareng yang menampung warga Kali Angke serta Rusun Cinta Kasih Tzu Chi 2 bagi warga Kali Adem. Rusun ini memiliki luas sebesar 36 m2 dan telah dilengkapi dengan 2 tempat tidur, meja makan, dan lemari. Ruangan yang ada pada rusun ini terdiri dari 2 kamar tidur, kamar mandi, dapur dan ruang tamu. Sewa untuk rusun adalah sebesar Rp 90.000,- per bulan ditambah dengan biaya untuk listrik (1300 watt) dan air sesuai pemakaian masing-masing. Fasilitas yang terdapat pada rusun ini adalah lapangan bola, tempat parkir, tempat menjemur pakaian, lapak, pos hansip, musholla, taman, WTP, dan STP. Secara kualitas bangunan Rusun, sikap terhadap kualitas bangunan terdiri atas tiga bagian. Sebagian besar masyarakat Kali Adem menjawab setuju untuk ketiga bagian tersebut yakni bagian dinding sebesar 45%, bagian cat sebesar 82,5% dan bagian lantai sebesar 45%. Secara kelengkapan fasilitas Rusun, sikap terhadap kelengkapan fasilitas rusun terbagi menjadi tiga. Sebagian besar masyarakat Kali Adem
Universitas Sumatera Utara
72
menjawab setuju untuk ketiga bagian tesebut. Untuk bagian pelayanan kerusakan dengan jumlah sebesar 37,5%, bagian ketersediaan ruangan sebesar 72,5% dan ketersediaan kepentingan bersama sebesar 72,5%. Secara budaya, sikap terhadap fungsi rusun meliputi tempat tinggal, tempat mengasuh anak, tempat beristirahat, tempat berkumpul keluarga dan tempat berlindung dari panas dan hujan. Sebagian besar masyarakat Kali Adem menjawab
setuju
untuk
masing-masing
bagian.
Sikap
terhadap
kenyamanan rusun meliputi keamanan, lingkungan yang bersih, rapi, luas yang memadai, dan indah. Secara ekonomi, sikap terhadap peluang berusaha terbagi menjadi membuka lapak, berjualan di luar/dalam rumah, dan kredit. Sementara untuk biaya tinggal di rusun terbagi menjadi dua yakni sewa rusun dan iuran bersama. Jumlah masyarakat Kali Adem yang menjawab setuju dan tidak setuju untuk bagian sewa rusun memiliki jumlah yang sama yakni 32,5%. Untuk bagian iuran bersama, mayoritas masyarakat Kali Adem menjawab setuju dengan jumlah sebesar 67,5%. Diketahui pula dari pengelola bahwa warga yang menghuni di rusun ada yang membayar sewa secara teratur dan ada yang menunggak. Masyarakat Kali Adem yang menyatakan tidak setuju dengan sewa rusun yang sesuai beralasan bahwa hasil tangkapan di laut sedang kosong sehingga tidak dapat membayar rumah. Sosial di Rusun, sikap untuk kebutuhan sosial di rusun terbagi menjadi
Universitas Sumatera Utara
73
lima. Untuk bagian menghargai pinjaman barang, sebagian besar masyarakat Kali Adem menjawab setuju sebesar 82,5%. Mayoritas jawaban untuk bagian kebebasan berkegiatan adalah setuju dengan jumlah sebesar 42,5%. Untuk bagian hubungan yang rukun mayoritas menjawab setuju sebesar 57,5% sedangkan bagian komunikasi mayoritas menjawab setuju dengan jumlah 60%. Bagian kerjasama yang baik, mayoritas menjawab setuju dengan besar 87,5%. Untuk faktor eksternal yang mempengaruhi sikap sosial masyarakat adalah kondisi rumah mereka sewaktu di Kali Adem. Hal ini dikarenakan mereka membandingkan
kehidupannya
antara
Kali
Adem
dengan
rusun.
Sedangkan untuk kebijakan pemerintah tidak mempengaruhi sikap karena warga hanya mengikuti saja kebijakan tersebut dan tidak ada lagi kebijakan dari pemerintah setelah mereka tinggal di rusun. c. Pengelolaan Rumah Susun. Pengelolaan rusun Cinta Kasih Tzu Chi dikelola secara terpadu dan memiliki manajerial yang baik. Untuk menempati rusun warga harus memiliki izin yang dikeluarkan oleh gubernur DKI. Hal ini dilakukan untuk menghindari pengalihan unit yang kerap menjadi kendala keberadaan rumah susun di DKI. Sehingga jika ada penghuni yang coba mengoperalih maka akan langsung dikeluarkan dari rusun. Terbukti dengan sudah ada 76 kepala keluarga yang diusir akibat melakukan itu. Belum lagi adanya sanksi-sanksi tegas jika terjadi pelanggaran tata tertib, sehingga warga
Universitas Sumatera Utara
74
menjadi tertib. Penghuni sebelum tinggal di rumah susun harus menandatangi sebuah surat perjanjian yang berisi yaitu: 1. Bersedia dan taat terhadap tata tertib penghunian rusun dengan peraturan bersedia dan sanggup membayar uang iuran pengelolaan lingkungan setiap bulan, tagihan rekening pemakaian listrik, tagihan pemakaian air bersih. 2. Tidak mengoperasikan/memberikan atau menjual atau mengontrakkan unit rusun yang saya pakai kepada pihak lain dengan alasan apapun. 3. Tidak akan membantu/menjembatani atau memfasilitasi pengoperalihan unit rumah kepada pihak lain yang tidak berhak. 4. Tidak merubah atau menambah bentuk bangunan unit rusun yang saya pakai tanpa ada persetujuan terlebih dahulu dari pihak pengelola. 5. Apabila saya tidak mentaati/melanggar/tidak melaksanakan maksud dan tujuan surat perjanjian yang saya tandatangani saya bersedia dengan sukarela dan ikhlas untuk mengosongkan unit rusun yang saya pakai dengan cara mengembalikan kepada pihak pengelola. Aturan lain yang tidak tertulis meliputi larangan berjualan selain ditempat yang telah ditentukan pengelola, dilarang membawa barang-barang yang kotor, larangan menjemur pakaian selain ditempat yang telah ditentukan pengelola. Pembayaran uang sewa Rp 90.000,- per bulan. Pemakaian listrik dan air
Universitas Sumatera Utara
75
disesuaikan dengan banyaknya pemakaian per rumah. Pembayaran iuran dilakukan setiap awal bulan ke loket pembayaran yang ada pada kantor pengelola. Lalu pengelola akan melanjutkan pembayaran seluruh iuran warga seperti listrik kepada PLN sedangkan untuk sewa rusun dan air dikelola langsung oleh pengelola untuk memperbaiki kerusakan bangunan di rusun, pembayaran satpam dan tukang sapu. Jika warga belum membayar uang sewa maupun listrik dan air selama 3 bulan tetapi tidak mengosongkan rumah, maka pihak pengelola melakukan pemanggilan. Pengelola memiliki 4 kriteria bagi warga yang belum membayar semua iuran rusun, yakni: 1. Warga yang tidak mampu tetapi mau membayar. 2. Warga tidak mampu tetapi tidak mau membayar. 3. Warga mampu tetapi tidak mau membayar. 4. Warga mampu tetapi pura-pura tidak bisa membayar. Seluruh kriteria tersebut akan dicek oleh pengelola melalui penghasilan, jumlah anak dan akan disurvei ke rumahnya masing-masing. Lalu kriteria no 1 dan 2 kebijakan yang akan diambil yaitu akan diajukan ke Yayasan dan adanya pengurangan biaya sebesar 50% sampai dengan 100% dari biaya yang harus dibayarkan. Kriteria nomor 3 dan 4 kebijakan yang diambil penurunan daya listrik dari 1300 watt menjadi 450 watt. Pengelola sama sekali tidak mengambil untung dari rumah susun tersebut. Dengan iuran itu, rusun yang ditopang oleh pengelola swasta ini, pengelola harus
Universitas Sumatera Utara
76
menutupi biaya operasional yang mencapai hingga Rp 50-100 juta setiap bulannya. 3. Kegagalan relokasi pada lingkungan Perumahan Massal Rumah Susun Tanah Abang Dan Kebon Kacang, Jakarta Pusat. Dalam proses perencanaan rumah susun desain rumah susun kendala utama yang dihadapi adalah biaya yang harus ditekan serendah mungkin namun tetap memberikan akomodasi yang memadai. Dengan kata lain, bagaimana menciptakan
ukuran-ukuran
ruang
yang
minimum,
bagaimana
mengoptimalkan penggunaan ruang, dan bagaimana membuat denah-denah perencanaan yang sederhana dan mudah dibangun. Pendekatan
ini
menghasilkan
lingkungan
hunian
yang
mempunyai
karakteristik khas yaitu kepadatan tinggi, ruangan-ruangan terbatas, dan kedekatan fisik antar rumah yang sangat ketat secara horisontal maupun vertikal. Adapun rangkuman hasil penelitian dari Rumah Susun Tanah Abang dan Kebon Kacang, Jakarta Pusat adalah sebagai berikut tuntutan privasi penghuni rumah susun dipengaruhi oleh faktor individu dan faktor lingkungan fisik. Terbukti adanya hubungan yang signifikan antara privasi dengan penghasilan, jenis pekerjaan, dan lama huni. Faktor lingkungan fisik yang terbukti ada hubungannya secara signifikan adalah luas unit hunian, kepadatan unit hunian, dan tipe rencana lantai. 1. Tipe rencana lantai berpengaruh pada jenis privasi berupa keinginan untuk
Universitas Sumatera Utara
77
menjauh dari gangguan kebisingan dan keinginan untuk membatasi keakraban dengan orang tertentu saja. Pada tipe cluster tingkat keinginan untuk menjauh dari gangguan kebisingan adalah tinggi, sedangkan pada tipe linier rendah. 2. Ada hubungan yang sangat signifikan antara privasi dan kesesakan; makin tinggi tuntutan privasi, makin tinggi persepsi kesesakannya. 3. Untuk mencapai tingkat privasi yang diharapkan, penghuni rumah susun melakukan
mekanisme
kontrol
berupa
perilaku
ruang
pribadi,
teritorialitas, dan perilaku lainnya. Beberapa indikasi dari adanya mekanisme kontrol tersebut adalah tidak terpenuhinya ruang yang cukup untuk menjaga jarak dengan orang lain pada koridor dan tangga, pemberian identitas tertentu pada unit hunian atau blok bangunan, dan adanya peraturan-peraturan tertentu yang dibuat oleh penghuni. Dari segi desain arsitektur, diperoleh beberapa temuan sebagai berikut: 1. Di samping ukuran ruangan-ruangan yang dirasakan sempit oleh penghuni, denah-denah yang ada kurang memberikan fleksibilitas penggunaan ruang pada penghuninya. Dimensi ruangan yang kecil pada rumah susun merupakan konsekuensi logis dari biaya yang harus ditekan serendah mungkin sesuai kemampuan kelompok sasaran yang dituju, namun demikian harus tetap disediakan wadah yang memadai bagi keluarga yang menghuninya. Untuk itu rancangan ruang dan furniture peralatan harus mempunyai fleksibilitas tinggi dan berfungsi ganda.
Universitas Sumatera Utara
78
Fleksibilitas penggunaan ruang dan penggunaan furniture memungkinkan penghuni menata ruang tinggalnya menjadi bermacam-macam pola, misalnya pola siang dan pola malam. Dalam menyediakan ruangan berfungsi ganda, ruang makan seharusnya digabung dengan ruang dapur, tidak dengan ruang tamu seperti diterapkan di rumah susun yang ada. Untuk tipe sangat kecil yang dihuni keluarga (tipe 21) ternyata dihuni oleh rata-rata 5 orang, harus disediakan ruang tinggal berfungsi ganda yang dapat dibagi menjadi minimal dua ruang untuk orang tua dan anak-anak. Ruang tinggal tidak dibagi menjadi ruang tidur dan ruang duduk, tetapi ruang I dan ruang II yang masing-masing berfungsi ganda. 2. Dalam desain unit hunian di RSKK maupun RSTA, tidak ada ruang peralihan antara selasar dan ruang tinggal. Untuk menyediakan privasi yang cukup, harus dibuat ruang peralihan dari yang bersifat publik (selasar) ke yang privat (ruang tinggal). Diusulkan untuk menempatkan ruang kerja yang berfungsi ganda mempersiapkan bahan masakan, setrika, "ngobrol" dengan tetangga, dan lain-lain sebagai ruang peralihan tersebut, yang menjadi bantalan penyangga (buffer) antara selasar dengan ruang tinggal tempat berbagai aktivitas keluarga. 3. Ukuran lebar selasar dan tangga dirasakan tidak memadai oleh penghuni RSTA, sedangkan bagi penghuni RSKK hanya selasar yang dirasakan sempit. Ukuran lebar selasar dan tangga harus mempertimbangkan jarak sosial atau jarak untuk hubungan yang bersifat formal dan tidak akrab
Universitas Sumatera Utara
79
yaitu 1,3 m sampai 4 m. Namun dengan ukuran 1,5 m seperti lebar tangga di RSKK sudah dirasakan memadai oleh penghuni. 4. Tipe rencana lantai linier ganda dengan rumah-rumah yang berhadapan untuk memperkembangkan rangsangan sosial atau interaksi ketetanggaan yang menyenangkan, di samping menyediakan ruang bersama pada tiap lantai bangunan. 5. Guna minimasi biaya dan menyediakan fleksibilitas yang tinggi pada penghuni untuk menata huniannya, konstruksi bangunan rumah susun dapat dibatasi pada bagian-bagian yang kepemilikan dan kontrolnya kolektif, sedangkan bagian yang dimiliki dan penataannya diputuskan oleh individu. Penelitian lebih jauh perlu dilakukan untuk mengungkap efek lanjutan pada penghuni rumah. Kesalahan atau kekurangan yang bersifat teknis bangunan pada desain rumah dalam
perumahan
massal
akan
dikalikan
berlipat
ganda
sehingga
mengakibatkan kerugian atau pemborosan besar. Tetapi kegagalan memahami interaksi perilaku dan lingkungan fisik tersebut dapat mendatangkan kerugian yang jauh lebih besar bahkan malapetaka berupa hancurnya lingkungan rumah susun secara keseluruhan, lingkungan fisik maupun sosialnya.
2.10
Variabel Terpilih Bertitik tolak dari beberapa teori dan pandangan yang telah disebutkan diatas,
maka variabel yang akan digunakan dalam pelitian tingkat kesiapan masyarakat
Universitas Sumatera Utara
80
kumuh untuk relokasi ke rumah susun seperti pada Tabel 2.4. Tabel 2.4 Variabel Penelitian Terpilih No 1.
Sasaran Identifikasi Kawasan Kumuh
Sumber Kurniasih (2007)
Komarudin (1996)
Penjelasan teori Variabel terpilih Kawasan kumuh 1. kepadatan bangunan, adalah kawasan di 2. persyaratan rumah sehat, mana rumah dan 3. kebutuhan sarana air kondisi hunian bersih, sanitasi maupun masyarakat di persyaratan kelengkapan kawasan tersebut prasarana jalan, ruang sangat buruk tidak terbuka, serta sesuai dengan kelengkapan fasilitas standar yang berlaku sosial lainnya tidak sesuai dengan standar. Permukiman kumuh 1. Aspek sosial budaya dilihat dari aspek a. lingkungan yang sosial budaya, aspek melebihi 500 orang/ha tata lingkungan, b. Berpenghasilan rendah aspek ekonomi c. Keterampilan rendah 2. Aspek tata lingkungan Permukiman kumuh memiliki sarana dan prasarana lingkungan yang sangat minim 3. Aspek ekonomi a. Ketiadaan modal b. Rendahnya pendapatan c. daya beli yang rendah pula pembangunan fisik dari permukiman
Emil Salim (1992)
Identifikasi asal usul 1. identifikasi permukiman permukiman kumuh kumuh 2. nilai-nilai sosial budaya Dalam suatu rencana yang 1. Kawasan permukiman RPKPP kota memuat rencana dan lingkungan Medan 2010 aksi program perumahan kumuh dalam strategis untuk areal perkotaan atau penanganan perdesaan yang memiliki persoalan nilai ekonomis dan atau permukiman dan nilai strategis tinggi pembangunan 2. Kawasan terpilih infrastruktur Kecamatan Medan Denai keciptakaryaan
Universitas Sumatera Utara
81
Tabel 2.4 (Lanjutan) No 2.
Sasaran Identifikasi Rencana Kebijakan Pembangunan Rumah Susun
Sumber UndangUndang No 16 Tahun 1985
Budihardjo (1998:2426)
Jakstra, 2007
Yudohusodo (1991),
Penjelasan teori Variabel terpilih Rumah Susun 1. Perencanaan Rumah adalah bangunan susun secara vertikal gedung bertingkat 2. Perencanaan rumah susun yang dibangun untuk permukiman dalam suatu berkepadatan tinggi dan lingkungan peremajaan kawasan kumuh Kebijakan Variabel kebijakan pembangunan rumah pembangunan rumah susun susun sederhana 1. Perbaikan lingkungan merupakan sebagai fisik bagian dari 2. Perluasan lingkungan pengembangan 3. Perluasan jaringan wilayah perkotaan 4. Pemencaran kawasan industri ke pinggir kota; 5. Menciptakan kantongkantong rekreasi 6. Penyediaan sarana insidentil berskala 7. Perbaikan pelayanan umum Mengatur pada 1. Pembangunan rumah tujuan pembangunan susun untuk masyarakat rumah susun, berpenghasilan menengah pemilihan lokasi ke bawah rumah susun dan 2. Lokasi rusuna pada kebijakan kawasan pusat kegiatan pembangunan rusun kota 3. Kota dengan penduduk lebih dari 1,5 juta jiwa dan kepadatan penduduk di atas 200 jiwa/ha sudah seharusnya mengarahkan pembangunan perumahan ke arah hunian vertikal. Faktor perencanaan 1. Aspek ekonomi rumah susun Berhubungan dengan pencapaian, Aspek lingkungan 2. Aspek tanah perkotaan 3. Aspek investasi 4. Aspek keterjangkauan
Universitas Sumatera Utara
82
Tabel 2.4 (Lanjutan) No
Sasaran
Sumber Hamzah (2000:2835)
Kitay, Michael G;1985
3.
Identifikasi Potter Kesiapan (1982:23) Masyarakat untuk tinggal di rumah susun
Penjelasan teori Variabel terpilih Beberapa syarat 1. Persyaratan teknis untuk yang harus di penuhi ruangan dalam membangun 2. Persyaratan untuk rumah susun struktur, komponen dan bahan-bahan bangunan 3. Kelengkapan rumah susun 4. Satuan rumah susun 5. Bagian bersama dan benda bersama 6. Lokasi rumah susun 7. Kepadatan dan tata letak bangunan 8. Prasarana lingkungan 9. Fasilitas lingkungan Model penyediaan 1. Pemanfaatan tanah negara lahan yang lazim 2. Penguasaan lahan negara digunakan maupun oleh Pemda pada lahan yang telah yang tidak dihuni dilaksanakan untuk penduduk penyediaan rumah 3. Penguasaan lahan negara susun sederhana dihuni penduduk dengan diberikan ganti rugi oleh Pemda atau diberikan kompensasi berupa rumah tinggal yang telah disediakan oleh pengembang kekuatan yang Hal ini dapat ditandai besifat relatif dari dengan tiga hal yaitu : individu dalam 1. Penerimaan terhadap mengidentifikasi nilai-nilai dan tujuan keterlibatan dirinya organisasi kedalam bagian 2. Kesiapan dan kesediaan organisasi. untuk berusaha dengan sungguh-sungguh atas nama organisasi 3. Keinginan untuk mempertahankan keanggotaan di dalam organisasi
Universitas Sumatera Utara
83
Tabel 2.4 (Lanjutan) No
4.
Sasaran
Sumber Teers (1985:50)
Penjelasan teori Variabel terpilih Kesiapan dan Kesiapan sebagai kesediaan untuk 1. rasa sebagai rasa berusaha dengan identifikasi merupakan sungguh-sungguh kepercayaan terhadap atas nama organisasi nilai organisasi, 2. keterlibatan yaitu kesiapan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi yang bersangkutan, 3. loyalitas yaitu keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi. Dunhan Komponen Kesiapan Dalam Kuntjoro terdapat (1994:370) tiga komponen berkaitan dengan kesiapan yaitu: 1. Komponen afektif berkaitan dengan emosional, identifikasi dan keterlibatan masyarakat dalam suatu organisasi. 2. Komponen normatif merupakan perasaan individu tentang kewajiban yang harus diberikan kepada organisasi. 3. Komponen continuance berarti komponen yang berdasarkan persepsi tentang kerugian dan keuntungan jika tinggal atau meninggalkan suatu organisasi. Keberhasilan Permukiman Melakukan relokasi 1. Pemerintah membangun dan Kegagalan Kumuh tetapi mengalami rumah susun tapa Rumah Susun Nelayan Ke kegagalan dan keterlibatan warga. Rumah akhirnya masyarakat 2. Terjadi kegagalan reokasi Susun kembali ke dikarenakan tidak Kedaung kehidupan semula. melibatkan warga dalam Kelurahan relokasi. Sukamaju
Universitas Sumatera Utara
84
Tabel 2.4 (Lanjutan) No
Sasaran
Sumber Bandar Lampung
Lingkungan Perumahan Massal Rumah Susun Tanah Abang Dan Kebon Kacang, Jakarta Pusat
Penjelasan teori
Kegagalan relokasi dikarenakan Kesalahan atau kekurangan yang bersifat teknis bangunan pada desain rumah dan kegagalan memahami interaksi perilaku
Variabel terpilih 3. Rumah susun tidak sesuai dengan persepsi masyarakat yaitu jarak yang terlalu jauh, luas rumah yang sempit, dan status rumah sewa 4. Terjadi peningkatan biaya hidup yang signifikan. 5. Terjadi perubahan sosial dalam pola interaksi sosial . Dari segi desain arsitektur, diperoleh beberapa temuan sebagai berikut: a. Di samping ukuran ruangan-ruangan yang dirasakan sempit oleh penghuni, denah-denah yang ada kurang memberikan fleksibilitas penggunaan ruang pada penghuninya. b. Dalam desain unit hunian di RSKK maupun RSTA, tidak ada ruang peralihan antara selasar dan ruang tinggal.
c. Ukuran lebar selasar dan tangga dirasakan tidak memadai oleh penghuni d. Diusulkan tipe rencana lantai linier ganda dengan rumah-rumah yang berhadapan untuk memperkembangkan rangsangan sosial atau interaksi ketetanggaan yang menyenangkan, Relokasi Keberhasilan Keberhasilan rusun karena : Penduduk relokasi dikarenakan 1. Sikap terhadap Warga Kali perencanaan yang kenyamanan rusun Adem Yang matang dan. meliputi keamanan,
Universitas Sumatera Utara
85
Tabel 2.4 (Lanjutan) No
Sasaran
Sumber Ber Ktp Jakarta Ke Rumah Susun Cinta Kasih Tzu Chi 2 Muara Angke
Penjelasan teori melibatkan masyarakat Kali Adem sebagai penghuni
Variabel terpilih 2. lingkungan yang bersih. rapi. luas yang memadai, dan indah. 3. Peluang Berusaha di Rusun 4. Sikap terhadap peluang berusaha terbagi menjadi membuka lapak, berjualan di luar/dalam rumah, dan kredit. 5. Biaya Tinggal di Rusun 6. Sikap untuk biaya tinggal di rusun terbagi menjadi dua yakni sewa rusun dan iuran bersama. 7. Kebutuhan Sosial di Rusun 8. Kualitas Bangunan Rusun 9. Kelengkapan Fasilitas Rusun 10.Tingkatan Sikap Masyarakat merasa nyaman untuk bersikap
Sumber: Hasil Analisis Data
Universitas Sumatera Utara