BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini dibahas teori-teori yang digunakan sebagai landasan dan dasar pemikiran yang mendukung analisis dan pemecahan permasalahan dalam penelitian ini. 2.1
Kajian Ergonomi Istilah “ergonomi” berasal dari dari bahasa Yunani yaitu ergon (kerja) dan
nomos (hukum). Ergonomi dapat didefinisikan sebagai studi tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, engineering, manajemen dan desain perancangan (Nurmianto, 1996). Ergonomi merupakan ilmu yang bersifat multi-disipliner yang mana terdiri dari berbagai disiplin ilmu seperti anatomi, biologi, psikologi, fisiologi, dan sosiologi. Ergonomi membahas studi mengenai sistem dimana manusia, fasilitas kerja, serta lingkungan saling berinteraksi untuk mencapai tujuan utamanya yakni menyesuaikan kondisi kerja dengan manusia. Pada umumnya, setiap pekerjaan yang tidak dilakukan secara ergonomis berdampak pada ketidaknyamanan, biaya produksi yang tinggi, kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang meningkat, serta performansi kerja yang menurun dimana menyebabkan efisiensi dan daya kerja menurun. Oleh sebab itu, ilmu ergonomi perlu diterapkan oleh setiap komponen (pekerja) dalam suatu sistem untuk mencapai produktivitas kerja yang setinggi-tingginya namun dengan tetap menciptakan kenyamanan, kesehatan, dan keselamatan dari komponen itu sendiri. Menurut Suma’mur (1989), ergonomi bisa mengurangi beban kerja. Dengan evaluasi secara fisiologi (menilai fisik) atau psikologi (menilai mental), beban kerja dapat diukur dan dapat diberikan anjuran/usulan sistem kerja (jika diperlukan). Keseimbangan antara target kerja dan beban kerja perlu diperhatikan untuk meningkatkan produktivitas kerja. Secara umum tujuan dari penerapan ergonomi menurut Tarwaka (2011) yaitu:
II - 1
1. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan cedera dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental, mengupayakan promosi dan kepuasan kerja. 2. Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas kontak sosial, mengelola dan mengordinir kerja secara tepat guna dan meningkatkan jaminan sosial baik selama kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak produktif. 3. Menciptakan keseimbangan rasional antara berbagai aspek yaitu aspek teknis, ekonomis, antropologis dan budaya dari setiap sistem kerja yang dilakukan sehingga tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup yang tinggi. Seperti yang dinyatakan Manuaba (2003), manfaat penerapan ergonomi yaitu (1) Pekerjaan bisa cepat selesai, (2) Risiko kecelakaan kerja berkurang, (3) Man-days/hours tidak banyak yang hilang, (4) Risiko penyakit akibat kerja berkurang, (5) Gairah/kepuasan kerja meningkat, (6) Biaya ekstra untuk kecelakaan/penyakit akibat kerja bisa ditekan, (7) Absensi/tidak masuk kerja rendah, (8) Kelelahan berkurang, (9) Rasa sakit berkurang, (10) Produktivitas kerja meningkat. 2.2
Gangguan Musculoskeletal Keluhan musculoskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot rangka
yang dirasakan oleh seseorang, mulai dari keluhan yang ringan sampai keluhan yang sangat sakit (Tarwaka, 2011). Keluhan muskuloskeletal merupakan istilah lain dari Musculo Skeletal Disorders (MSDs) atau Repetitive Strain Injuries (RSIs) atau Work-related Upper Extremity Disorders (UEDs) (Melhorn, 1996). Keluhan musculoskeletal dapat diklasifikasikan menjadi 2 macam yaitu keluhan sementara dan keluhan menetap (Tarwaka, 2011). Keluhan sementara (reversible) yaitu keluhan musculoskeletal yang terjadi saat otot menerima beban statis, artinya rasa sakit segera menghilang jika pembebanan dihentikan. Adapun keluhan menetap (persistent) yaitu terjadi karena otot rangka menerima beban yang sifatnya statis. Sementara itu, keluhan menetap yaitu keluhan musculoskeletal yang bersifat menetap, artinya rasa sakit pada otot rangka masih tetap terasa meskipun beban telah menghilang. Beberapa faktor penyebab terjadinya gangguan musculoskeletal disebutkan dalam buku Tarwaka (2011), antara lain:
II - 2
1. Peregangan otot yang berlebihan Terkadang beberapa aktivitas kerja membutuhkan pengerahan tenaga yang besar (berlebihan), seperti aktivitas mengangkat, mendorong, menarik, dan menahan beban yang tergolong berat. Peregangan otot dikatakan berlebihan saat pengerahan tenaga yang dikeluarkan melampaui batas optimum kekuatan otot. Apabila hal tersebut sering terjadi maka dapat mengakibatkan keluhan/gangguan otot. 2. Aktivitas yang berulang (repetitive) Beberapa pekerjaan dilakukan secara berulang (repetitive), seperti aktivitas mencangkul, menumbuk, dsb. Keluhan otot terjadi karena saat aktivitas dilakukan berulang maka otot diharuskan selalu bekerja dan tidak memperoleh kesempatan untuk relaksasi (beristirahat), sehingga dapat menyebabkan terjadinya cedera otot. 3. Sikap kerja yang buruk Sikap kerja yang buruk merupakan sikap kerja saat posisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi normal. Posisi normal yang dimaksud yaitu titik pusat gravitasi tubuh. Sikap kerja buruk disebut juga sikap kerja tidak normal atau tidak alamiah. Sikap kerja dapat dilakukan dengan jongkok, duduk, berdiri, berjalan, ataupun sikap lainnya yang berkenaan dengan beban seperti mengangkat, membawa, mendorong, dan menarik beban. Sikap kerja yang buruk umumnya terjadi karena fasilitas kerja tidak sesuai dengan karakteristik manusia. Ketidaksesuaian tersebut memaksa pekerja melakukan gerakan kerja di luar sikap alamiah pekerja sehingga menyebabkan terjadinya cedera otot. 2.3
Postur Kerja Postur merupakan posisi bagian-bagian tubuh tertentu saat bekerja, yang
mana ditentukan oleh ukuran tubuh, desain area kerja dan task requirements, serta ukuran peralatan lainnya yang digunakan untuk bekerja (Pulat, 1992). Postur kerja adalah pengaturan sikap tubuh manusia saat melakukan pekerjaan. Postur kerja bergantung pada jenis pekerjaan yang dilakukan. Postur kerja yang sering dilakukan antara lain jongkok, duduk, berdiri, serta sikap tubuh lainnya. Dalam melakukan pekerjaan, postur kerja satu orang dengan orang lain berbeda sehingga kekuatan yang dihasilkan juga berbeda. Postur kerja yang benar dapat menciptakan
II - 3
kenyamanan, sedangkan postur kerja yang salah dapat menyebabkan cedera musculoskeletal. Postur yang salah adalah posisi kerja yang terjadi karena tidak seimbangnya interaksi antara pekerja dan alat kerja atau dimungkinkan adanya alat kerja yang kurang sesuai dengan antropometri pekerja (Budiman, 2015). Sebagai contoh postur kerja yang salah yaitu membungkuk, memutar (twisting), miring (bending), dsb. Postur kerja yang salah sering disebut juga sikap kerja yang tidak normal atau tidak alamiah. Adanya pertimbangan ergonomi terkait postur kerja bisa digunakan untuk mendapatkan usulan postur kerja yang lebih baik dan lebih nyaman bagi pekerja. 2.4
Metode Rapid Entire Body Assessment (REBA) Rapid Entire Body Assessment (REBA) adalah metode penilaian postur
kerja yang menilai faktor resiko gangguan tubuh keseluruhan (Hignett and McAtamney, 2000). REBA bisa digunakan secara cepat untuk menilai postur kerja manusia mulai dari postur leher, punggung, lengan, pergelangan tangan, serta kaki pekerja. Metode ini juga dipengaruhi oleh faktor coupling, beban eksternal yang menimpa tubuh, serta aktivitas yang dilakukan pekerja. Pada metode REBA, tubuh manusia dibagi 2 grup untuk penilaian postur tubuh, yaitu grup A dan grup B. Grup A terdiri dari batang tubuh (trunk), leher (neck), dan kaki (legs). Sementara grup B terdiri dari lengan atas (upper arm), lengan bawah (lower arm), dan pergelangan tangan (wrist). Masing-masing grup tersebut diberi skala skor postur tubuh dan penyataan tambahan (adjusment). Penilaian postur kerja dimulai dari pengisian skor tiap komponen pada grup A dan grup B sesuai dengan kondisi postur tubuh yang diteliti. Lalu tandai skor sesuai hasil skor pada tahap sebelumnya, dimana tabel A untuk grup A dan tabel B untuk grup B. Untuk grup A ditambahkan skor beban/kekuatan dan untuk grup B ditambahkan skor coupling untuk masing-masing tangan. Adapun skor A adalah skor dari tabel A dijumlahkan dengan skor beban/kekuatan dan skor B adalah skor dari tabel B dijumlahkan dengan skor coupling. Lalu tandai skor C pada tabel C sesuai hasil skor A dan skor B sehingga didapatkan skor REBA dengan jumlah dari skor C dan skor aktivitas. Dengan demikian dapat diketahui tingkatan/level resiko postur kerja.
II - 4
Grup A 1. Batang Tubuh (Trunk)
Gambar 2.1 Postur Tubuh Bagian Batang Tubuh (Trunk) Sumber: Hignett dan McAtamney, 2000
Tabel 2.1 Skor Postur Tubuh Bagian Batang Tubuh (Trunk) Pergerakan Batang Tubuh
Skor
Posisi normal (tegak lurus)
1
0o-20o (ke depan maupun belakang)
2
<-20o atau 20o-60o
3
>60o
4
Adjusment
+1 jika batang tubuh berputar/bengkok/bungkuk
2. Leher (Neck)
Gambar 2.2 Postur Tubuh Bagian Leher (Neck) Sumber: Hignett dan McAtamney, 2000
Tabel 2.2 Skor Postur Tubuh Bagian Leher (Neck) Pergerakan Leher
Skor
10o-20o
1
>20o (ke depan maupun belakang)
2
Adjusment +1 jika leher berputar/bengkok
II - 5
3. Kaki (Legs)
Gambar 2.3 Postur Tubuh Bagian Kaki (Legs) Sumber: Hignett dan McAtamney, 2000
Tabel 2.3 Skor Postur Tubuh Bagian Kaki (Legs) Pergerakan Kaki
Skor
Posisi normal/seimbang
1
Adjusment +1 jika lutut antara 30o-60o
(berjalan/duduk) +2 jika lutut >60o Bertumpu pada satu kaki lurus
2
4. Beban (Load) Tabel 2.4 Skor Beban (Load) Beban
Skor
<5 kg
0
5-10 kg
1
>10 kg
2
Adjusment
+1 jika kekuatan cepat
Grup B 5. Lengan Atas (Upper Arm)
Gambar 2.4 Postur Tubuh Bagian Lengan Atas (Upper Arm) Sumber: Hignett dan McAtamney, 2000
II - 6
Tabel 2.5 Skor Postur Tubuh Bagian Lengan Atas (Upper Arm) Pergerakan Lengan Atas
Skor
Adjusment
20o (ke depan maupun ke belakang)
1
+1 jika bahu naik
>20o (ke belakang) atau 20o-45o
2
+1 jika lengan berputar/bengkok
o
o
45 -90
3 +1 jika miring, menyangga
>90
o
4
berat dari lengan
6. Lengan Bawah (Lower Arm)
Gambar 2.5 Postur Tubuh Bagian Lengan Bawah (Lower Arm) Sumber: Hignett dan McAtamney, 2000
Tabel 2.6 Skor Postur Tubuh Bagian Lengan Bawah (Lower Arm) Pergerakan Lengan Bawah
Skor
60o-100o
1
<60o atau >100o
2
7. Pergelangan Tangan (Wrist)
Gambar 2.6 Postur Tubuh Bagian Pergelangan Tangan (Wrist) Sumber: Hignett dan McAtamney, 2000
II - 7
Tabel 2.7 Skor Postur Tubuh Bagian Pergelangan Tangan (Wrist) Pergerakan Pergelangan Tangan
Skor
0o-15o (ke atas maupun ke bawah)
1
>15o (ke atas maupun ke bawah)
2
Adjusment +1 jika pergelangan tangan putaran menjauhi sisi tengah
Adjusment 8. Coupling (kopling) Tabel 2.8 Skor Kopling Kopling
Skor
Keterangan
Baik
0
Kekuatan pegangan baik
Sedang
1
Pegangan bagus tetapi tidak ideal atau kopling cocok dengan bagian tubuh
Kurang baik
2
Pegangan tangan tidak sesuai walaupun mungkin
Tidak dapat diterima
3
Kaku, pegangan tidak nyaman, tidak ada pegangan atau kopling tidak sesuai dengan bagian tubuh
9. Beban (force/load) Beban diberi skor sebagai berikut:
Skor 0 untuk beban <2 kg (pembebanan sesekali)
Skor 1 untuk beban 2-10 kg (pembebanan sesekali)
Skor 2 untuk beban 2-10 kg (pembebanan statis atau berulang-ulang)
Skor 3 untuk beban >10 kg (berulang-ulang atau sentakan cepat) Tabel 2.9 Skor Aktivitas
Aktivitas Postur statik
Skor 1
Keterangan 1 atau lebih bagian tubuh statis/diam, contoh: memegang lebih dari 1 menit
II - 8
Pengulangan
1
Tindakan berulang-ulang, contoh: mengulangi > 4 kali per menit (tidak termasuk berjalan)
Ketidakstabilan
1
Tindakan menyebabkan jarak yang besar dan cepat pada postur (tidak stabil)
Tingkatan/level resiko postur kerja dengan metode REBA dan tindakan yang harus dilakukan dapat dilihat pada Tabel 2.10. Tindakan perbaikan yang mungkin dilakukan adalah merancang ulang sistem kerja berdasarkan prinsip ergonomi. Tabel 2.10 Tingkatan/Level Resiko Postur Kerja dan Tindakannya Skor 1
Level Resiko
Level Tindakan
Tindakan
Dapat diabaikan
0
Tidak diperlukan perbaikan
2-3
Kecil
1
Mungkin diperlukan perbaikan
4-7
Sedang
2
Perlu dilakukan perbaikan
8-10
Tinggi
3
Segera dilakukan perbaikan
11-15
Sangat tinggi
4
Dilakukan perbaikan sekarang juga
2.5
Antropometri dalam Ergonomi Antropometri adalah salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan dalam
mendesain alat atau tempat kerja sebagai upaya untuk memperoleh kondisi kerja yang aman, nyaman, sehat, efektif, dan efisien, serta produktivitas kerja yang maksimal (Suma’mur, 1995). Antropometri merupakan studi yang mempelajari pengukuran fisik tubuh manusia secara sistematis yaitu mengenai dimensi bentuk dan ukuran tubuh yang dapat digunakan dalam klasifikasi dan perbandingan antropologis (Tarwaka, 2011). Data antropometri diperlukan agar rancangan suatu produk dapat sesuai dengan operatornya. Pada pengolahan data antropometri yang digunakan adalah data antropometri hasil pengukuran dimensi tubuh manusia yang berkaitan atau mengoperasikan rancangan produk.
II - 9
2.5.1
Antropometri Statis Antropometri statis disebut juga antropometri struktural, yaitu pengukuran
dimensi tubuh yang dilakukan saat tubuh dalam kondisi diam atau posisi statis. Antropometri statis meliputi dimensi otot rangka seperti antara pusat sendi (antara siku dan pergelangan tangan) dan dimensi kontur seperti dimensi permukaan tubuh dan kulit. Di bawah ini ditunjukkan standar pengukuran dimensi tubuh beserta nama dimensi antropometri secara umum.
Gambar 2.7 Dimensi Antropometri Statis Posisi Berdiri Sumber: Chuan, dkk., 2010
II - 10
Gambar 2.8 Dimensi Antropometri Statis Posisi Duduk Sumber: Chuan, dkk., 2010
Gambar 2.9 Dimensi Antropometri Tangan dan Kaki Sumber: Chuan, dkk., 2010
Keterangan nama dimensi antropometri: 1. Tinggi badan (stature) 2. Tinggi mata berdiri (eye height) 3. Tinggi bahu berdiri (shoulder height)
II - 11
4. Tinggi siku berdiri (elbow height) 5. Tinggi pinggang berdiri (hip height) 6. Tinggi tangan menggenggam (knuckel height) 7. Tinggi ujung jari (fingertip height) 8. Tinggi kepala duduk (sitting height) 9. Tinggi mata duduk (sitting eye height) 10. Tinggi bahu duduk (sitting shoulder height) 11. Tinggi siku duduk (sitting elbow height) 12. Tebal paha (thigh thickness) 13. Panjang buttock-lutut (buttock-knee length) 14. Panjang buttock-popliteal (buttock-popliteal length) 15. Tinggi telapak kaki-lutut (knee height) 16. Tinggi telapak kaki-popliteal (popliteal height) 17. Lebar sisi bahu (shoulder breadth (bideltoid)) 18. Lebar bahu bagian atas (shoulder breadth (biacromial)) 19. Lebar pinggul (hip breadth) 20. Tebal dada (chest (bust) depth) 21. Tebal perut (abdominal depth) 22. Panjang bahu-siku (shoulder-elbow length) 23. Panjang lengan bawah (elbow-fingertip length) 24. Panjang rentang tangan ke depan (upper limb length) 25. Jangkauan depan menggenggam (shoulder-grip length) 26. Panjang kepala (head length) 27. Lebar kepala (head breadth) 28. Panjang tangan (hand length) 29. Lebar tangan sampai metakarpal (hand breadth) 30. Panjang kaki (foot length) 31. Lebar kaki (foot breadth) 32. Panjang depa (span) 33. Panjang rentangan siku (elbow span) 34. Jangkauan ke atas (vertical grip reach) 35. Jangkauan ke samping (vertical grip reach)
II - 12
36. Jangkauan ke depan (forward grip reach) 37. Berat badan (body weight) 2.5.2
Persentil dalam Antropometri Distribusi normal umumnya digunakan pada penetapan data antropometri
dalam suatu perancangan tertentu. Distribusi normal dapat diketahui dari nilai ratarata dan simpangan standar dari data yang diperoleh. Adapun persentil adalah nilai yang menunjukkan prosentase tertentu dari sekelompok orang yang memiliki ukuran dimensi antropometri pada atau di bawah nilai tersebut. Sebagai contoh menurut Nurmianto (2008), 95% populasi adalah sama dengan atau lebih rendah dari 95% persentil dan 5% populasi adalah sama dengan atau lebih rendah dari 5% persentil. Berikut ini nilai-nilai persentil yang umum diterapkan dalam perhitungan antropometri menurut Tarwaka (2011), dimana 𝑥 adalah rerata dan 𝑆𝐷 adalah standar deviasi dari populasi. Tabel 2.11 Macam Persentil dan Cara Perhitungannya dalam Distribusi Normal
2.6
Persentil ke-
Cara Perhitungan
99 95 90 50 10 5 1
𝑥 + 2,325 𝑆𝐷 𝑥 + 1,645 𝑆𝐷 𝑥 + 1,28 𝑆𝐷 𝑥 𝑥 − 1,28 𝑆𝐷 𝑥 − 1,645 𝑆𝐷 𝑥 − 2,325 𝑆𝐷
Penelitian Terdahulu Sebelumnya sudah banyak dilakukan penelitian mengenai evaluasi postur
kerja dan beban kerja. Beberapa penelitian diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Muhammad Hanafi (2010) Penelitian yang dilakukan berjudul “Perancangan Ulang Fasilitas Kerja Alat Pembuat Gerabah dengan Mempertimbangkan Aspek Ergonomi (Studi Kasus: Sentra Industri Gerabah, Bayat, Klaten)”. Tujuan dari penelitian ini adalah merancang ulang alat pembuat gerabah guna mengurangi beban kerja pekerja gerabah. Tools yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner Nordic Body Map (NBM), metode 10 denyut (ten pulse methods), metode Rapid
II - 13
Upper Limb Assessment (RULA), dan pengukuran antropometri. Kuesioner NBM diberikan kepada 6 pekerja, yang mana diketahui terdapat keluhan pada bagian tubuh leher bagian bawah, punggung, pinggang ke belakang, pantat, siku kiri, siku kanan, paha kiri, dan paha kanan. Penilaian beban kerja digolongkan dalam kategori beban kerja sedang. Sementara penilaian postur kerja menunjukkan perlu dilakukan tindakan perbaikan dalam waktu dekat. Penelitian yang dilakukan menghasilkan desain tambahan pada alat rancangan lama antara lain sandaran punggung dapat diatur maju mundur sehingga pekerja dapat bersandar pada sandaran punggung. Selain itu pada putaran bawah ditambahkan bearing sehingga saat pekerja mengayuh putaran bawah akan terasa lebih ringan, serta tempat duduk juga dapat diatur ketinggiannya. 2. Argadia Teguh Widodo dan Rahmaniyah Dwi Astuti (2015) Penelitian yang dilakukan berjudul “Perancangan Alat Bantu untuk Memperbaiki Postur Kerja pada Aktivitas Memelituran dalam Proses Finishing”. Tujuan dari penelitian ini adalah merancang alat bantu yang dapat memperbaiki postur kerja saat melakukan proses finishing pemelituran untuk mengurangi keluhan dan menurunkan level resiko postur kerja. Pengumpulan data yang dilakukan meliputi pengambilan gambar postur kerja, data keluhan pekerja, data kebutuhan pekerja, dan data antropometri pekerja. Tools yang digunakan adalah metode Rapid Entire Body Assessment (REBA) untuk menilai postur kerja dan Nordic Body Map (NBM) untuk mengidentifikasi adanya keluhan tubuh akibat kerja. Hasil penilaian postur kerja menunjukkan bahwa postur kerja awal sebelum diterapkan rancangan alat bantu merupakan sikap kerja yang kurang ergonomis saat melakukan proses kerja. Berdasarkan penilaian metode REBA ketiga postur kerja yang dinilai pada rangkaian proses kerja finishing pemelituran termasuk dalam level tindakan 3 yaitu perlu segera dilakukan perbaikan. Sementara itu, hasil kuesioner Nordic Body Map menunjukkan adanya keluhan di 13 titik segmen tubuh, sehingga terlihat adanya dampak proses kerja yang tidak ergonomis yang dilakukan. Oleh sebab itu, dirancang suatu fasilitas kerja berupa alat bantu yang dapat memperbaiki postur kerja
II - 14
aktivitas finishing pemelituran. Dalam perancangan alat bantu dilakukan penentuan dimensi yang sesuai dengan kebutuhan pekerja dan antropometri tubuh pekerja. Rancangan alat bantu yang dihasilkan mampu mengurangi keluhan yang dirasakan pekerja saat melakukan proses kerja serta dapat menurunkan level resiko postur kerja yang awalnya high risk menjadi low risk.
II - 15