4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Pengertian Hasil Hutan Bukan Kayu FAO (1995) dalam Hidayati (2005) menyatakan bahwa Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) adalah komoditi baik berupa barang yang diperoleh dari makhluk hidup (terkecuali kayu) maupun jasa yang dihasilkan dari hutan dan lahan lainnya. FAO memperkirakan 80% dari populasi penduduk di negara berkembang menggunakan HHBK untuk kebutuhan bagi kesehatan dan nutrisi. Peran HHBK untuk saat ini pun semakin lama semakin meningkat. Pada tahun 1999 diperkirakan nilai perdagangan HHBK di dunia mencapai US$1,100 juta, dengan rata-rata tingkat pertumbuhan pasarnya 20%/tahun (Dephut 2009). Contoh HHBK menurut Statistik Kehutanan Indonesia (2011) yaitu rotan, gondorukem, damar, terpentin, kopal, arang, gaharu, kemendangan, minyak kayu putih, madu, kokon, dan benang sutera.
2.2 Pohon Agathis sp. Agathis sp. merupakan famili Araucariaceae dengan nama daerah Damar sigi, Kayu sigi (Sumatra); Damar, Ki dammar (Jawa); Bindang, Damar bindang, Damar pilau (Kalimantan); Damar, Damar kapas, Damar warna, Hulu sinua (Sulawesi); Damar puti, Damar raja, Koano, Kolano (Maluku); Damar putih, Damar papeda, Kesi, Kosima (Irian Jaya). Daerah penyebarannya Sumatra Barat, Sumatra Utara, seluruh Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya. Tinggi pohon dapat mencapai 55m. Panjang Batang bebas cabang 12-25 m, diameter 150 cm atau lebih, bentuk batang silindris dan lurus. Tajuk berbentuk kerucut dan berwarna hijau dengan percabangan mendatar melingkari batang. Kulit luar berwarna kelabu sampai coklat tua, mengelupas kecil-kecil berbentuk bundar atau bulat telur. Pohon tidak berbanir dan mengeluarkan damar yang lazim disebut kopal (Martawijaya et al. 2005).
5
Whitmore (1977) menyatakan bahwa kopal merupakan eksudat dari kulit pohon Damar yang merupakan cairan kental berwarna jernih atau putih yang semakin lama semakin keras setelah terkontaminasi dengan udara. Menurut SNI (2001), kopal adalah getah padat yang diperoleh dari pohon Agatis (Agathis sp.), yang umumnya berwarna kuning bening atau kuning pucat. Menurut Tantra (1976) dalam Hendrayus (1992), Agathis di Indonesia terdiri dari 3 jenis, yaitu: 1. Agathis loranthifolia Salisb, Agathis philippinensis Warb, Agathis celebica Warb, Agathis macrostachys Warb, Agathis hamii M. Dr, Agathis beckingi M. Dr. dan Agathis alba, yang ditanam di Jawa dengan sinonim Agathis dammara Rich. 2. Agathis borneensis Warb dengan sinonim Agathis baccani Warb, Agathisendertii M. Dr, Agathis latifolia M. Dr, Agathis rhomboidalis Warb, Agathis flevescens Ridl. 3. Agathis labillardieri Warb yang tumbuh di Irian Jaya.
2. 3 Penyadapan Kopal Riyanto (1980) menyatakan bahwa ada 4 macam cara penyadapan kopal, yaitu : 1. Cara primitif, yaitu cara yang dilakukan dengan memukuli kulit Agathis dengan batu pada batang setinggi 1,0 m sampai dengan 1,5 m. Kulit yang luka mengeluarkan getah dan mengalami peradangan kondisi demikian dapat menyebabkan pembusukan dan kanker batang. 2. Cara tradisional, yaitu cara penyadapan yang menggunakan kudi (semacam parang dengan bagian tengah membentuk busur) sebagai alatnya. Bagian tengah alat ini digunakan untuk membuat luka sadapan dengan mencacah secara acak pada sekeliling pohon setinggi 1,0 m sampai dengan 1,5 m. Setelah enam hari kopal mengental dan dipungut sekaligus dilakukan pembaharuan sadapan. Cara ini meninggalkan bekas-bekas kallus yang tumbuh tidak teratur dan juga dapat menyebabkan pembusukan batang.
6
3. Cara Penyadapan menurut PK No. 13/1977 Unit I Jawa Tengah Menurut petunjuk kerja penyadapan ini, pohon dimulai pada umur 35 tahun dengan diameter batang telah mencapai 50 cm. Luka dibuat dengan membagi batang menjadi dua irisan sadapan yang berlawanan arah, irisan pertama lebarnya 1,0 cm dengan kedalaman setebal kulit, panjang sekitar 40 cm membentuk sudut 60° terhadap arah tegak. Irisan satu dengan lainnya berjarak 15 cm, dimana titik irisan pertama berjarak 60 cm dari permukaan tanah, pembaharuan setiap minggu selebar 0,5 cm. Kelemahan metode ini yaitu waktu pengerjaan relatif lama dan menurunnya hasil kopal yang diperoleh. 4. Cara koakan, yaitu cara penyadapan yang menggunakan alat sadap berupa kadukul dengan mencacah pada bagian permukaan batang pohon pada ketinggian 0,5 m sampai dengan 1 m dari pangkal pohon dan berukuran 10 cm x 5 cm. Cara ini dikembangkan sejak pertengahan tahun 1979 oleh KPH Banyumas Timur. Menurut Vlies dan Tames dalam Manuputty (1955), saluran-saluran damar terdapat pada kulit bagian dalam, berjalan tangensial antara kambium dan kambium gabus. Kulit bagian dalam Agathis terlihat saluran-saluran dammar yang lebar dan terang. Jika dilukai tentu terdapat aliran yang keras oleh karena banyak saluran dammar yang terpotong. Salverda (1937) dalam Manuputty (1955) menyatakan bahwa jumlah saluran kopal yang berada dalam kulit yang masih hidup itu, semakin ke dalam semakin bertambah. Jika suatu luka dibuat pada kulit dalam, maka sesudah beberapa detik kopal mengalir dari saluran-saluran dan merupakan titik-titik pada permukaan luka itu. Jika kopal mengeras, saluran dammar itu menjadi tersumbat dan luka itu harus diperbaharui setelah kopal diambil. Saluran kopal searah dengan putaran batang yang besarnya 10° sampai dengan 18° kearah kanan atau rata-rata 14° dari arah vertikal (Riyanto 1980). Menurut Manuputty (1955), istilah kopal dapat dibedakan dari damar (berasal dari suku Dipterocarpaceae), perbedaan tersebut yaitu pada kopal tidak terdapat lubang-lubang udara, sulit dihaluskan, larut dalam alkohol, tidak larut dalam minyak tanah dan terpentin serta akan menyala besar jika terbakar. Sedangkan damar mempunyai banyak lubang udara, bisa dihaluskan, tidak larut
7
dalam alkohol, larut dalam minyak tanah dan terpentin serta akan meleleh atau menetes bila terbakar. Penyembuhan luka pada penyadapan dengan kambium tidak terpotong menunjukkan hasil sebesar 94,4%, sedangkan jika kambiumnya terpotong penyembuhan luka tersebut hanya 11,1%. Pada penyadapan tradisional dalam periode yang sama belum terjadi penyembuhan luka. Hal ini disebabkan karena kedua cara sebelumnya kambium pohon terpotong, padahal kambium tersebut berfungsi sebagai pembentuk xylem dan floem (Sumantri dan Sastrodimedjo 1976).
2.4 Produktivitas Kopal Menurut Riyanto (1980), potensi kopal secara kuantitatif pada dasarnya dipengaruhi dua faktor pokok, yaitu : 1. Faktor pasif yang terdiri dari kualitas tempat tumbuh, umur pohon, kerapatan tegakan, sifat genetik dan ketinggian tempat tumbuh dari permukaan laut. 2. Faktor aktif yang terdiri dari kuantitas dan kualitas tenaga sadap, perlakuan kimia, dan pelakuan mekanis, seprti penutupan luka dengan plastik. Menurut Dulsalam dan Sumantri (1985), tutup plastik hitam dan tutup plastik putih dapat melindungi luka sadapan dari sinar matahari yang mengakibatkan getah tidak cepat beku. Menurut Soenarno et al. (1984), faktor yang mempengaruhi hasil sadap getah kopal adalah teknik/sistem penyadapan, keadaan sosial dan ekonomi penyadap, lingkungan tumbuh dan faktor genetis. Vlies dan Tammes (1940) dalam Hendrayus (1992) menyatakan bahwa aliran kopal pada waktu penyadapan dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya jumlah pelukaan dalam satu pohon, interval waktu pembaharuan luka, waktu penyadapan dan perlakuan pada permukaan luka sadap.
8
2. 5 Kualitas kopal Menurut SNI (2001) No 01-5009.10-2001, penetapan mutu kopal dapat dilakukan dengan cara uji visual dan uji laboratorium. Penetapan mutu kopal berdasarkan uji visual meliputi uji warna, kebersihan, bau, ukuran butir kopal dan kekeringan. Penetapan mutu kopal berdasarkan uji laboratorium meliputi bilangan asam, bilangan penyabunan, titik lunak, kadar abu dan kadar kotoran. Uji laboratorium dilaksanakan apabila diperlukan atau untuk pembuatan contoh standar mutu kopal. Cara uji visual : 1. Prinsip Pengujian dilakukan secara visual, dengan menggunakan uji organoleptik. 2. Peralatan Contoh standar mutu kopal, timbangan dan saringan/ayakan dengan ukuran 1 cm x 1 cm, bambu, lembaran plastik, alat pemukul (palu) dan alat penampi (tampah) dan seng rata. 3. Prosedur pengujian secara visual a. Uji warna Membandingkan warna contoh kopal dengan warna contoh standar mutu kopal pada tempat yang terang (dengan penerangan yang cukup). b. Uji ukuran butiran Kopal diayak dengan saringan/ayakan ukuran 1 cm x 1 cm, di atas lembaran plastik. Kopal yang lolos dari ayakan disebut kopal butir kecil, sedangkan yang tidak lolos disebut kopal butir besar. c. Uji kekeringan Kopal diayak dengan saringan/ayakan akuran 1 cm x 1 cm. Butir kopal yang lolos dari ayakan menunjukkan butir kopal telah kering angin, sedangkan yang tidak lolos dan terlihat menggumpal/lengket, selanjutnya ditampi dengan alat penampi untuk memisahkan kopal butir besar yang kering udara dengan kopal yang masih basah/lembab, yang ditunjukkan dengan adanya butir kopal yang menggumpal/ lengket. Untuk memperbaiki mutu kopal, kopal yang masih basah/lembab dihamparkan di atas kepang
9
dari bambu untuk dikeringkan lebih lanjut. Kopal yang masih menggumpal/lengket sebelumnya dihancurkan dengan menggunakan alat pemukul. d. Uji kebersihan Membandingkan contoh kopal dengan kebersihan contoh standar mutu kopal pada tempat yang terang (dengan penerangan yang cukup). e. Uji bau Contoh kopal di uji dengan indra penciuman hingga tercium bau khas kopal. Menurut Koppel (1988), sebelum dikirimkan ke Amerika Serikat dan Eropa, kopal mengalami pengolahan diantaranya dilakukan sortasi besarnya potongan-potongan dan mengeluarkan kotoran-kotoran atau mengerik bagian luar kopal dari debu terutama potongan-potongan yang besar agar menjadi bersih sehingga harga menjadi lebih tinggi. Apabila kopal dalam keadaan lengket dikumpulkan, maka dengan sendirinya akan banyak potongan-potongan rekahan yang ikut serta. Kopal yang lengket itu akan menggumpal menjadi satu dengan cepat dan menjadi bongkahan-bongkahan yang besar.
2. 6 Peranan Stimulansia Penggunaan stimulansia dapat memberikan efek panas terhadap getah sehingga getah lebih lama dalam keadaan cair dan mudah mengalir keluar dalam saluran getah serta mempengaruhi tekanan turgor dinding sel sehingga getah cepat keluar dan saluran getah dapat terbuka dalam waktu yang relatif lama. ETRAT merupakan formulasi terbaru dimana mengandung ZPT (Ethylene) dan stimulansia organik dalam satu larutan. Dengan demikian ETRAT mempunyai 2 fungsi yaitu meningkatkan kapasitas produksi getah dan memperlancar keluarnya getah. Ethylene
adalah senyawa berbentuk gas, senyawa ini dapat memaksa
pematangan buah, menyebabkan
daun tanggal dan merangsang penuaan.
Tanaman sering meningkatkan produksi ethylene sebagai respon terhadap strees dan sebelum mati. Pembentukan getah di dalam tanaman dapat ditingkatkan dengan mengaktifkan ethylene di dalam tanaman ( ethylene endogen) dan adanya stress (pembuatan luka sadap). Dengan demikian peningkatan produksi getah
10
dapat dilakukan dengan memberikan zat yang mengandung ethylene (eksogen) yang mana akan
merangsang pembentukan ethylene endogen pada tanaman
sehingga proses metabolisme sekunder dapat ditingkatkan (Santosa 2011). Stimulansia pada hakekatnya berfungsi sebagai perangsang etilen pada tanaman dan selanjutnya menaikkan tekanan osmosis serta tekanan turgor yang menyebabkan aliran getah bertambah cepat dan lebih lama. Etilen pada hakekatnya adalah suatu hormon pertumbuhan yang banyak berperan pada perubahan suatu tanaman, antara lain terjadi perubahan dalam membran yang permeabel dari dinding saluran getah sehingga selama ada aliran getah, air masuk dalam saluran getah dan jaringan-jaringan disekitarnya (Moir 1970 dalam Hidayati 2005). Menurut Whitmore (1977), bahan kimia yang dapat digunakan untuk merangsang keluarnya getah kopal antara lain asam sulfat, kreosot, seng sulfida, amoniak dan lain sebagainya.
2.7 Manfaat kopal Menurut Sutisna et al. (1998), kopal digunakan sebagai bahan pernis, linoleum, dupa, cat, dll. Menurut Komesakh dan Pertadiredja (1973) dalam Hendrayus (1992), penyadapan pohon Agathis mulai berkembang sejak tahun 1870 saat industri cat dan vernis mulai berkembang di Eropa dan Amerika. Menurut Radjiman (1997) dalam Santosa (2006), manfaat kopal adalah untuk pembuatan bahan vernis, linoleum, pembuatan cat reflektor, bahan cat jalan raya, minyak cat, kemenyan obor, bahan untuk membuat kulit dan pencegah gigitan pacet. Menurut Sumadiwangsa (1973) dalam Santosa (2006), kopal digunakan untuk bahan cat, vernis, spiritus, lak merah, email, plastik, vernis bakar, bahan sizing, bahan pelapis untuk tekstil, linoleum, water proofing, tinta cetak, perekat dan cairan pengering.