BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PROTEIN DALAM SISTEM PANGAN Protein merupakan polimer yang disusun oleh asam amino, dengan jumlah yang lebih banyak dari peptida (2-50 asam amino), bahkan mencapai ratusan. Struktur protein dapat disusun oleh sekitar 100-2.000 unit asam amino. Berat molekul protein dapat mencapai sekitar 5.500 hingga 220.000 Dalton1 (Kusnandar 2010). Protein tersusun atas rangkaian 20 jenis asam amino yang berikatan kovalen dalam urutan yang khas. Semua asam amino yang ditemukan dalam protein memiliki susunan dasar yang sama, yaitu gugus karboksil dan gugus amina yang diikat pada atom karbon kiral (kecuali glisin). Perbedaan antar asam amino terletak pada rantai sampingnya (gugus R) yang bervariasi dalam hal struktur, ukuran, muatan listrik, serta kelarutannya dalam air. Lehninger (1995) mengutarakan bahwa ada empat golongan asam amino, yaitu golongan dengan gugus R non-polar (hidrofobik), golongan dengan gugus R polar tapi tidak bermuatan, golongan dengan gugus R bermuatan positif, dan golongan dengan gugus R bermuatan negatif. Protein dapat digolongkan berdasarkan karakternya, antara lain berdasarkan susunan molekulnya, kelarutannya, adanya senyawa lain dalam molekul, tingkat degradasi, dan fungsinya. Menurut Kusnandar (2010), perbedaan rantai samping asam amino dalam protein membuat protein dapat dibagi ke dalam beberapa bentuk makromolekul, yaitu struktur primer, sekunder, tersier dan, kuartener. Struktur primer merupakan susunan linier asam amino dalam protein. Struktur sekunder adalah struktur polipeptida yang terlipat-lipat yang merupakan bentuk tiga dimensi dengan cabangcabang rantai polipeptidanya tersusun saling berdekatan. Struktur sekunder ini memberikan bentuk αheliks dan β-sheet. Struktur tersier merupakan susunan dari struktur sekunder yang satu dengan yang lainnya. Sedangkan struktur kuartener adalah struktur protein yang melibatkan lebih dari satu rantai polipeptida yang terbentuk oleh adanya interaksi antar beberapa rantai molekul protein berbeda melalui ikatan-ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, interaksi elektrostatik, dan jembatan sulfida. Kusnandar (2010) juga memaparkan bahwa protein dapat dikelompokan menjadi protein sederhana (simple protein), protein konjugasi (conjugated protein), dan protein turunan (derived protein). Protein sederhana adalah protein yang hanya mengandung residu asam amino. Protein sederhana dapat dikelompokkan menjadi protein globular dan protein fibrilar. Protein globular memiliki struktur molekul bulat (spherical), seperti albumin, globulin, histon, dan protemin. Protein fibrilar memiliki bentuk serat dan bersifat tidak larut dalam air. Protein ini banyak mengandung asam amino prolin, hidroksiprolin, sistein, dan sistin, yang biasanya menyusun struktur jaringan daging mamalia ataupun unggas. Selanjutnya, protein konjugasi, yaitu protein yang berikatan dengan molekul lainnya, seperti karbohidrat (glikoprotein), lemak (lipoprotein), logam (metaloprotein), dan fosfor (fosfoprotein). Sedangkan protein turunan adalah protein yang telah dimodifikasi sifat fungsionalnya, baik secara enzimatis maupun kimia. Protein hasil modifikasi ini dapat berubah sifat kelarutannya dalam air, sifat koagulasi, ataupun panjang rantainya. Skema pembentukan struktur protein bertahap dari primer ke kuartener hingga menjadi sebuah sistem pangan dalam curd tahu dapat dilihat pada Gambar 1.
1
Berat molekul protein sering juga dinyatakan dalam satuan Dalton, dimana satu Dalton sama dengan unit saru masa atom (atomic mass unit). Dengan demikian, protein dengan berat molekul 50.000 memiliki massa atom 50.000 Dalton atau 50 kDa (kilodalton).
Gambar 1. Ilustrasi pembentukan struktur protein dari asam amino yang sederhana hingga ke bentuk komples sebagai sistem pangan pada produk tahu (iopscience.iop.org, Kusnandar 2010, kvhs.nbed.nb.ca 2008, www.genome.gov 2006, Yasir 2007)
2.1.1 Sifat Fisikokimia Protein Protein memiliki sifat fisikokimia yang dipengaruhi oleh jumlah dan jenis asam amino penyusunnya. Berat molekul protein yang sangat besar akan menghasilkan dispersi koloidal jika
4
protein dilarutkan dalam air. Apabila dalam suatu larutan protein ditambahkan garam, daya larut protein akan berkurang, akibatnya protein akan terpisah sebagai endapan. Peristiwa pemisahan protein ini disebut salting out. Dalam larutan asam (pH rendah), gugus amino bereaksi dengan H+, sehingga protein bermuatan positif. Bila pada kondisi ini dilakukan elektrolisis, molekul protein akan bergerak ke arah katoda yang bermuatan negatif. Sebaliknya, dalam larutan basa (pH tinggi), molekul protein akan bermuatan negatif, sehingga molekul protein akan bergerak menuju anoda yang bermuatan positif. Pada pH tertentu yang disebut titik isoelektrik (pI), muatan gugus amino dan karboksil bebas akan saling menetralkan sehingga molekul bermuatan nol. Menurut Suciono (1995), pada titik isoelektriknya, muatan total masing-masing asam amino dalam protein sama dengan nol, artinya terjadi kesetimbangan antara gugus bermuatan positif dengan gugus bermuatan negatif. Interaksi elektrostatik antar asam amino akan maksimum karena muatan yang tidak sejenis cenderung untuk tarik menarik, fenomena ini dapat diamati melalui terjadinya penggumpalan protein.
2.1.2 Sifat Fungsional Protein Sifat fungsional protein adalah sifat-sifat protein baik fisik maupun kimia yang mampu mempengaruhi tingkah laku protein dalam sistem pangan selama proses, penyimpanan, persiapan dan konsumsi. Protein memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap sifat fungsional dan kualitas dari sebagian besar produk pangan seperti susu, daging, keju, telur, dan roti. Mutu organoleptik dari produk pangan tersebut tergantung dari sifat fisik, kimia serta interaksi komponen protein (Kinsella 1982). Sifat-sifat fungsional protein akan mempengaruhi mutu organoleptik produk pangan, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Sifat fungsional yang dapat dihasilkan protein Sifat Umum
Kriteria Fungsional
Organoleptik
Warna, flavor
Kinestetik
Tekstur, mouthfeel, kehalusan, kekeruhan
Hidrasi
Kelarutan, pengembangan, absorpsi air, gelling, sineresis, viskositas, ketebalan
Struktural
Elastisitas, kohesifitas, chewiness, adhesi, agregasi, pembentukan ikatan
Rheologi
Viskositas, gelasi
Enzimatik
Koagulasi (rennet), keempukan (papain)
Sumber: Kinsella (1979)
Produk dengan karakteristik tertentu membutuhkan komponen mayor (contoh protein, karbohidrat, lemak) maupun komponen minor (contoh emulsifier) dengan karakter tertentu. Sifat sensori suatu produk seringkali terbentuk melalui interaksi antara komponen mayor dan komponen minor tersebut. Masing-masing komponen memiliki sifat fisikokimia yang unik (Damodaran 1982). Sehingga, produk pangan yang satu dengan lainnya membutuhkan karakteristik protein yang berbeda sesuai dengan interaksi yang terjadi, seperti yang terinci pada Tabel 2.
5
Tabel 2. Sifat fungsional protein serta mekanisme pembentukannya dalam sistem pangan Sifat Fungsional Daya ikat
Mekanisme Ikatan hidrogen dengan air, pemerangkapan
Sistem Pangan Daging, sosis, bakery, cake
air oleh protein Viskositas
Pengikatan air
Sup
Kohesi-adhesi
Protein bertindak sebagai material adhesif
Daging, sosis, produk pasta
Elastisitas
Ikatan hidrofobik, ikatan disulfida dalam gel
Daging, bakery
Sumber: Kinsella (1982)
Sementara itu, Chaftel et al., (1985) mengklasifikasikan sifat fungsional protein ke dalam tiga golongan, yaitu: 1) sifat hidrasi, yaitu sifat yang ditentukan oleh interaksi protein-air, misalnya absorpsi air, kelarutan, dan viskositas; 2) sifat yang berhubungan dengan interaksi protein-protein, misalnya pengendapan, gelasi dan pembentukan serat-serat protein; 3) sifat permukaan yang terutama berhubungan dengan tegangan permukaan, misalnya pembentukan buih.
2.2 PROTEIN KEDELAI Protein merupakan komponen kimia tertinggi yang terkandung dalam kacang kedelai. Kedelai mengandung jumlah protein yang bervariasi (38-49%) (Saidu 2005). Menurut Koswara (1992), zat gizi dominan yang terdapat dalam kedelai adalah protein dan karbohidrat. Per 100 gramnya, kedelai kering mengandung 34.9 gram protein, 34.8 gram karbohidrat, 18.1 gram lemak, dan 227.0 mg kalsium. Sebagian besar protein terdapat pada bagian hipokotil dan kotiledonnya. Hanya 8.8% protein yang terdapat pada kulitnya. Menurut Liu (1997), protein kedelai mengandung asam amino esensial yang lengkap dengan metionin sebagai asam amino pembatas. Leusin, isoleusin, lisin, dan valin merupakan asam amino yang paling tinggi yang terkandung di dalam kedelai. Kandungan protein yang tinggi menyebabkan protein memiliki peran yang penting dalam memberikan sifat-sifat fungsional yang khas Belitz dan Grosch (1999) menjelaskan bahwa protein kedelai juga dapat digolongkan ke dalam 4 fraksi berdasarkan kelarutannya, yaitu albumin (larut dalam air), globulin (larut dalam larutan garam), prolamin (larut dalam alkohol 70%) dan glutelin (larut dalam basa encer) (Belitz dan Grosch, 1999). Mereka menambahkan bahwa fraksinasi protein kacang-kacangan berdasarkan kelarutannya, seperti yang dilakukan oleh Osborne, menghasilkan tiga fraksi protein paling dominan dalam kacangkacangan, yaitu albumin, globulin, dan glutelin. Pada kedelai, distribusi ketiga fraksi protein tersebut terdiri atas 10% albumin, 90% globulin, dan 0% glutelin. Melalui ultrasentrifugasi, protein kedelai dapat digolongkan menjadi empat golongan utama, yaitu protein 2S, 7S, 11S, dan 15S. Protein 7S dan 11S merupakan dua protein utama yang menyusun globulin dengan jumlah masing-masing sekitar 18.5% dan 31% dari total protein kedelai. Liu et al. (2008) menjelaskan bahwa baik globulin 7S maupun globulin 11S terdiri atas subunit-subunit protein. Glisinin atau protein 11 S tersusun atas polipeptida asam dan basa yang saling dihubungkan oleh ikatan disulfida. Betaconglisinin atau protein 7S, merupakan protein dengan struktur trimer yang terdiri atas 3 tipe subunit (α’, α dan β). Dan menurut Mujoo et al. (2003), polipeptida asam glisinin
6
memiliki berat molekul sekitar 35 kD, sedangkan polipetida basanya memiliki berat molekul sekitar 20 kD. Betaconglisinin merupakan protein trimer yang tersusun atas 3 subunit, yaitu α’, α dan β. Subunit α’ memiliki berat molekul sekitar 72 kD, sedangkan α dan β memiliki berat molekul masingmasing sekitar 68 dan 52 kD. Blazek (2008) menambahkan bahwa glisinin merupakan protein heksamer (AB 6) dengan berat molekul berkisar 300-380 kD. Subunit-subunit glisinin terdiri atas polipeptida asam (A) dan polipeptida basa (B) yang dihubungkan oleh ikatan disulfida. Kombinasi subunit-subunit tersebut memberikan berat molekul sekitar 180 kD tergantung dari subunit penyusunnya. Dan menurut Lewis & Chen (1978), β-conglisinin merupakan glikoprotein yang mengandung 3.8-5.4% karbohidrat. Jenis gula yang terdapat dalam protein ini adalah manosa dan glukosamin.
2.3 KOAGULASI PROTEIN 2.3.1 Ekstraksi Kedelai Ekstraksi kedelai menghasilkan suspensi yang tidak hanya mengandung air dan protein, melainkan juga senyawa organik lain yang jumlahnya makro maupun mikro, seperti karbohidrat, lemak, dan asam fitat. Senyawa ini dapat berinteraksi dengan protein kedelai. Namun, interaksi tersebut tidak selamanya berdampak positif terhadap tekstur tahu yang dihasilkan, contohnya asam fitat. Karena, menurut Kakade (1974) asam fitat dapat bereaksi dengan protein menjadi kompleks fitat-protein sehingga terjadi perubahan konfigurasi protein. Perubahan konfigurasi protein berpengaruh terhadap proses pengikatan ion Ca2+ pada gugus fungsi tertentu. Koswara (1992) menjelaskan bahwa kedelai mentah mengandung 1.4% asam fitat yang tersebar merata di seluruh bagian biji. Asam fitat merupakan senyawa pengkelat mineral Zn, Ca, Mg, dan Fe. Jumlahnya tidak dapat diturunkan dengan pemanasan, tetapi dapat dihirolisis oleh enzim fitase. Fitase dapat diaktivasi dengan perendaman dalam air hangat. Hidrolisis mengubah asam fitat menjadi inositol dan asam fosfat. Bentuk ini tidak akan merusak sifat fungsional protein kedelai. Perendaman dengan air hangat pada pembuatan curd kedelai dapat digantikan dengan melakukan pemanasan pendahuluan. Tahap tersebut dilakukan pada saat pendidihan bubur kedelai, pembilasan ampas kedelai, dan pemanasan kembali untuk pengkondisian suhu koagulasi. Pemanasan ini, yang dilakukan sebelum penambahan garam kalsium, akan memicu pembentukan ikatan silang antara ion kalsium dan molekul protein. Pemanasan akan memodifikasi struktur globular protein susu kedelai menjadi bentuk agregat yang kompak dalam sebuah struktur jaringan tiga dimensi. Pemanasan awal sebelum koagulasi mengubah struktur molekul protein dari fase koloid yang stabil menjadi struktur jaringan tiga dimensi melalui dua tahapan, yaitu denaturasi, agregrasi, dan, dilanjutkan ke tahap ketiga dengan adanya penambahan ion positif (koagulan) yang disebut gelasi (Aguilera 1995, Clark and Ross-Murphy 1987, & Schmidt 1981).
2.3.2 Proses Koagulasi Tahapan utama dalam pembuatan produk berbasis curd adalah tahap koagulasi protein (pengendapan protein). Koagulasi adalah perubahan bentuk dari susu cair menjadi padatan yang berbentuk gel. Koagulasi protein dilakukan dengan bantuan koagulan penggumpal protein susu. Koagulasi protein akan mempengaruhi struktur curd yang dihasilkan, sehingga secara tidak langsung
7
proses ini akan menentukan mutu tekstur produk akhir. Proses penggumpalan merupakan tahapan proses paling menentukan sifat-sifat fisik dan organoleptik dalam pembuatan tahu. Penambahan koagulan dengan jenis dan konsentrasi tertentu berpengaruh terhadap tekstur curd yang akan diperoleh. Johnson dan Wilson (1984) menyatakan bahwa jumlah koagulan yang dibutuhkan tergantung pada kadar padatan yang terdapat dalam sari kedelai. Koagulasi protein sari kedelai berlangsung pada pH 4.1-4.6. Melalui koagulasi tersebut, akan diperoleh padatan curd dan suspensi cair whey. Curd mengandung protein yang sebagian besar terdiri dari globulin. Whey ekstrak kedelai yang merupakan hasil samping dari koagulasi, mengandung albumin, protease, pepton, nitrogen non protein, gula, antitripsin, urease, lipoksidase, serta enzimenzim lain dan bahan lain yang larut dalam air (Smith, 1958). Menurut Shurtleff & Aoyogi (1986), penambahan bahan penggumpal sebaiknya dilakukan setelah sari kedelai mencapai suhu 70-90oC, hal ini tergantung dari jenis bahan penggumpal yang digunakan.
2.3.3 Jenis Koagulan Poysa & Woodrow (2004) menyatakan bahwa koagulan yang berbeda akan memberikan tekstur serta flavor yang berbeda pula. Lebih rinci lagi Beddows & Wong (1987) menyatakan bahwa kalsium sulfat, yang merupakan koagulan yang umum dipakai dalam produksi tahu, akan membantu memudahkan protein dalam sari kedelai uantuk beragregasi. Kalsium sulfat juga akan berinteraksi dengan protein untuk menciptakan ikatan silang antar polimer protein. Kombinasi panas dengan mekanisme kerja kalsium tersebut akan menghasilkan struktur tahu. Menurut Shurtleff dan Aoyagi (1984), bahan penggumpal tahu dapat digolongkan menjadi beberapa golongan, yaitu : 1) golongan garam klorida atau nigari, 2) golongan garam sulfat, 3) golongan lakton, dan 4) golongan asam. Contoh senyawa dari keempat golongan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Beberapa golongan bahan penggumpal tahu yang umum digunakan Golongan
Jenis yang umum digunakan
Garam klorida (nigari)
nigari alami, MgCl2.6H2O, air laut, CaCl2, CaCl2.2H2O
Garam sulfat
CaSO4 dan MgSO4.7H2O
Lakton
C6H10O6 (glukono-δ-lakton)/GDL
Asam
Asam laktat, sari buah jeruk, asam asetat, cuka (larutan asam asetat 4%)
Sumber: Shurtleff dan Aoyogi (1984)
2.3.3.1 Garam Klorida (Nigari) Pada koagulan golongan garam, kation logam yang terdapat dalam garam (seperti Mg2+ atau Ca2+) bereaksi dengan protein sari kedelai dan mengendapkannya bersama dengan lemak untuk menghasilkan curd. Menurut Wolf & Cowan (1971), penggunaan koagulan garam menyebabkan terjadinya koagulasi pada pH di atas titik isoelektrik protein globulin kedelai. Garam dapat diperoleh langsung dari alam, contohnya nigari. Shurtleff & Aoyogi (1986) menjelaskan bahwa nigari alami
8
diekstrak dari air laut dengan menghilangkan sebagian besar (NaCl) dan air. Koagulan jenis ini mengandung komponen mineral air laut alami terutama magnesium klorida. Penggunaan koagulan jenis nigari membutuhkan waktu pembuatan tahu yang cukup lama karena koagulan jenis ini harus ditambahkan sedikit demi sedikit dan perlahan-lahan, akibatnya dibutuhkan teknik yang baik dalam pembuatan tahu. Selain itu, penggunaan koagulan nigari akan menghasilkan tahu dengan tekstur yang cenderung kurang lembut.
2.3.3.2 Garam Sulfat Garam sulfat merupakan golongan koagulan yang paling umum digunakan dalam pembuatan tahu. Jenis yang paling umum adalah kalsium sulfat (garam gypsum) dan magnesium sulfat (garam Epsom). Garam hidrat CaSO4.2H2O memiliki kelarutan yang sangat rendah di dalam air. Sehingga, koagulan ini akan terdispersi perlahan di dalam sari kedelai sehingga memberikan waktu koagulasi yang lambat (Shurtleff dan Aoyogi, 1984). Mekanisme pembentukan gel protein dengan bantuan garam kalsium dapat dilihat pada Gambar 2. Menurut Obatolu (2007), semakin lambat waktu koagulasi dari koagulan, semakin baik rendemen tahu yang akan diperoleh. Cai et al., (1997) mengkorelasikan antara kandungan air yang tinggi dengan rendemen tahu yang diperoleh. Menurutnya, tahu dengan kandungan air yang tinggi akan memberikan penampakan yang lembut, sebaliknya, tahu dengan kandungan air rendah akan memberikan penampakan tekstur kasar.
Gambar 2. Mekanisme gelasi protein dengan koagulan kalsium sulfat dan GDL (Kohyama et al. 1995)
2.3.3.3 Lakton Pada dasarnya, koagulan golongan lakton berbeda dengan nigari maupun garam sulfat. Lakton, yang dikenal sebagai glukono delta-lakton, merupakan koagulan yang umum digunakan untuk memperoleh tahu Jepang dengan tekstur sangat lembut. Tahu ini dikenal dengan sebutan tahu sutra (silken tofu). Ketika koagulan dicampur dengan sari kedelai dan dipanaskan, lakton akan
9
menghasilkan asam glukonat yang mengkoagulasikan protein sari kedelai menjadi curd tahu sutra (Shurtleff dan Aoyogi, 1984).
2.3.3.4 Asam Koagulan asam yang digunakan untuk mengendapkan protein kedelai antara lain asam laktat, asam asetat dan sari buah jeruk. Asam laktat diperoleh melalui aktivitas bakteri asam laktat. Keberadaan asam laktat akan menurunkan pH sari kedelai menjadi 4.5 yang merupakan titik isoelektrik bagi protein globulin sari kedelai sehingga terjadi koagulasi protein kedelai. Di Indonesia, koagulan asam diperoleh melalui fermentasi whey hasil pengolahan tahu sebelumnya. Fermentasi dilakukan selama semalam. Whey hasil fermentasi kemudian diinokulasikan kembali pada whey hasil pengolahan tahu hari berikutnya untuk memperoleh koagulan yang baru. Penggunaan koagulan yang berbeda akan memberikan tingkat kekerasan yang berbeda pada curd yang dihasilkan. Hang & Jackson (1967) meneliti sifat-sifat curd asetat, kalsium sulfat, dan asam laktat. Hasil analisa sifat-sifat curd kedelai disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Sifat-sifat curd hasil koagulasi dengan beberapa koagulan Kadar Air (%)
Kadar Proteina (%)
Kekerasan b (mm)
Asam asetat 4% pH 4.5
77.6
56.3
126
Kalsium sulfat
84.8
51.3
142
Asam laktat
76.9
52.4
82
Bahan Penggumpal
a
pengukuran berdasar basis kering pengukuran dengan penetrometer dengan beban 50 g selama 10 detik Sumber: Hang & Jackson (1967)
b
2.4 CURD TAHU Tahu merupakan gel protein yang dibuat dengan menambahkan koagulan ke dalam susu2 kedelai yang dipanaskan (Poysa & Woodrow 2002). Gel hasil penggumpalan protein inilah yang selanjutnya disebut curd. Proses pembentukan struktur curd diperlukan dalam proses pembuatan beberapa produk pangan diantaranya dalam proses pembuatan keju dan tahu. Kemampuan pembentukan gel dari protein susu serta proses pembentukan curd adalah proses penting dalam menghasilkan produk berbasis susu protein (Zayas, 1997).
2
Susu dianalogikan sebagai koloid cair yang tersusun utama atas air dan protein. Susu kedelai diperoleh dari ekstraksi proteib kedelai dengan penghancuran dan penyaringan sedangkan susu sapi diperoleh secara alamaiah dari ambing induk sapi.
10
2.4.1 Gelasi Protein Kinsella (1976), mendefinisikan gelasi sebagai sifat struktural, hidrasi, tekstural, dan reologi dari protein. Sedangkan Schmidt (1981) mendefinisikan gel sebagai fenomena agregasi protein di mana interaksi polimer-polimer dan polimer-solven setimbang sehingga jaringan atau matriks tersier terbentuk. Dan gel menurut Foegeding (1989) adalah suatu unit struktur yang konsisten dan saling berhubungan dengan fase cair berada di seluruh matriks tiga dimensinya. Gel terbentuk ketika sebagian protein unfolded membentuk segmen uncoilded yang berinteraksi pada titik tertentu sehingga membentuk jaringan tiga dimensi. Zayas (1997) menambahkan bahwa formasi gel tiga dimensi tersebut merupakan hasil dari ikatan hidrogen, interaksi ion dan hidrofobik, ikatan Van der Waals, dan ikatan kovalen disulfida. Gel bervariasi dalam hal sifat reologinya, yang meliputi kekerasan, kelengketan, kohesivitas, dan adhesivitas. Oleh karena itu, protein sering digunakan untuk menghasilkan sifat reologi (tekstur) tertentu melalui fenomena gelasi protein. Sifat unik dari gel protein adalah bentuknya yang padat tetapi memiliki karakteristik seperti cairan. Mekanisme gelasi dalam pembuatan tahu melibatkan dua tahap utama, yaitu denaturasi protein akibat panas dan agregasi hidrofobik akibat koagulasi. Pada tahap pertama, sisi hidrofobik dari protein kedelai yang terletak di sebelah dalam molekul akan terekspos ke luar. Maka, protein yang terdenaturasi bermuatan negatif akan dinetralkan oleh ion positif dari koagulan, seperti ion Ca2+ (Kohyama and Nishinari 1993). Selanjutnya, pada tahap kedua, protein yang telah dinetralisasi tersebut akan teragregasi oleh adanya interaksi hidrofobik. Interaksi hidrofobik ini terjadi secara acak (deMan et al. 1986), dan berperan dalam pembentukan struktur gel (Kohyama et al. 1995). Ilustrasi mekanisme pembentukan gel oleh koagulan CaSO4 tahap demi tahap dapat dilihat pada Gambar 3. Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3, berbeda dengan tahu yang dikoagulasi oleh GDL, GDL mengkoagulasi protein dengan cara mengubah nilai pH suspensi dan meningkatkan konsentrasi ion H+. Sehingga ion H+ inilah yang menetralkan muatan negatif protein. Sedangkan, pada koagulasi yang dilakukan garam kalsium, kalsium berikatan dengan gugus karboksil bebas dari protein kedelai (Saio et al.1969). Sebagian besar sisi protein yang diikat oleh kalsium adalah gugus imidiazole dari histidin (Appu Rao & Narasinga Rao 1975). Dengan kata lain, ion kalsium akan berikatan silang dengan molekul protein. Fenomena inilah yang dikatakan dengan terkoagulasinya susu kedelai membentuk curd (Lee & Ra 1978). Dengan adanya ikatan silang tersebut, koagulasi akan berlangsung lebih cepat daripada koagulasi oleh GDL. Namun, koagulan CaSO4 masih tergolong koagulan lambat seperti GDL (Blazek 2008). Adapaun garam kalsium yang dapat mengkoagulasi protein kedelai dengan cepat adalah CaCl2 dan MgCl2. Hal tersebut dikarenakan kelarutan CaSO4 (0.24 g/100mL pada 20°C dalam bentuk dihidrat CaSO4.2H2O) dalam air yang lebih rendah daripada garam kalsium lainnya (CaCl2 74.5 g/100mL pada 20 °C) (American Chemical Society 2006). Zayas (1997) mengutarakan kembali bahwa gel dapat terbentuk karena adanya pemanasan, penambahan koagulan kalsium ataupun keduanya. Pada proses pembentukan gel, transisi dari bentuk alami menjadi bentuk terdenaturasi merupakan prekursor penting dalam interaksi protein-protein. Derajat denaturasi protein penting dibutuhkan dalam pembentukan gel. Jaringan gel akan terbentuk setelah sebagian protein terdenaturasi. Pembentukan gel protein mempengaruhi sifat fungsional lainnya seperti kemampuan menahan air dan pengikatan lemak. Kapasitas pembentukan gel ini merupakan kriteria yang seringkali digunakan untuk mengevaluasi protein dalam bahan pangan. Karena karakteristik mutu suatu produk pangan, khususnya sifat tekstur dan juiciness, ditentukan melalui kapasitas gelasi protein.
11
Gambar 3. Mekanisme gelasi tahu yang dikoagulasi oleh CaSO4 (Kohyama et al. 1995)
Menurut Wang & Damodaran (1990), kekuatan gel berhubungan dengan ukuran dan bentuk polipeptida dalam matriks gel. Protein dengan berat molekul yang tinggi serta kandungan asam amino dengan gugus hidrofobik yang tinggi akan membentuk sistem gel dengan jaringan yang kuat. Keberadaan asam amino hidrofobik akan mempengaruhi perubahan protein selama pemanasan. Peningkatan jumlah gugus -SH dan ikatan -SS- selama denaturasi akan meningkatkan kekuatan jaringan intermolekul. Berat molekul minimum untuk pembentukan gel adalah 23000.
12
2.4.2 Tahu sebagai Curd Kedelai Tahu adalah protein kedelai yang digumpalkan dengan penambahan suatu bahan penggumpal. Komponen utama tahu terdiri dari protein yang terekstrak, disamping air, lemak, mineral dan vitamin (Shurtleff & Aoyogi 1984). Menurut Obatolu (2007), tahu merupakan makanan serbaguna dengan kandungan nutrisi yang tinggi yang terbuat dari curd kedelai. Kandungan gizi yang tinggi membuat tahu dijadikan sebagai makanan pengganti daging. Dan menurut Zayas (1997), tahu merupakan makanan pertama yang memanfaatkan pembentukan gel dari protein kedelai. Gel protein kedelai memiliki kemampuan bekerja sebagai matriks yang mampu menahan air, lemak, polisakarida, flavor, dan komponen lainnya. Karakteristik utama gel protein kedelai adalah kemampuannya dalam menahan air yang disebut sebagai water holding capacity (WHC). Tahu merupakan produk pangan yang berasal dari Asia Timur. Masyarakat Cina biasa menggunakan sioko untuk membuat tahu. Sioko adalah ramuan CaSO4 dan garam. Di Jepang, tahu atau tofu dibagi menjadi dua jenis, yaitu regular tofu dan kinugishi tofu. Regular tofu disebut juga tahu press sedangkan kinugishi tofu disebut juga tahu sutra (Koswara 1992). Sedangkan Tsai et al. membagi tahu ke dalam 3 kelompok, yaitu soft tofu, hard tofu, dan dry tofu. Soft tofu (tahu sutra) dapat disajikan sebagai tahu yang dapat “disendok”. Hard tofu adalah tahu yang mengalami penekanan untuk menghilangkan sebagian air. Dan dry tofu yang disebut juga tou-kan atau chenchang atau tou-chi dibuat dengan mendidihkan pasta kedelai bersama bumbu, sehingga tekstur tahunya lebih kenyal dan bertekstur seperti daging. Tahu atau curd kedelai, diperoleh melalui pengendapan sari kedelai panas dengan menggunakan koagulan. Secara tradisional, tahu diproduksi dengan menggumpalkan sari kedelai panas menggunakan garam (CaCl2 atau CaSO4) maupun asam (glukono-δ-lakton) sebagai koagulan (Oboh 2006). Proses koagulasi ini akan menghasilkan gel protein kedelai yang mampu memerangkap air, lemak kedelai, dan komponen lainnya di dalam matriks curd. Setelah itu, curd kemudian dipress untuk membentuk padatan tahu (Cai & Chang 1998). Menurut Shurtleff & Aoyagi (1984) tahapan pembuatan tahu terdiri atas dua tahap utama, yaitu pembuatan susu kedelai dan tahap koagulasi (penggumpalan) sari kedelai, sehingga terbentuk curd yang selanjutnya dipress membentuk tahu. Subardjo (1987) menjelaskan bahwa kedelai yang akan dibuat susu, terlebih dahulu direndam dalam air bersih dengan tujuan untuk melunakkan struktur sel kedelai sehingga mempermudah dan mempercepat penggilingan serta menghasilkan ekstrak optimum. Lamanya perendaman perlu diperhatikan, karena perendaman yang terlalu singkat akan membuat biji kedelai sulit pecah ketika penggilingan, sedangkan bila terlalu lama akan terjadi pembentukan busa pada permukaan air rendaman akibat fermentasi kedelai. Lalu Cai et al. (1997) menuturkan bahwa rendemen dan kualitas pada pembuatan tahu dipengaruhi oleh varietas kedelai, kualitas kedelai, kondisi selama proses serta koagulan yang dipakai. Dan berdasarkan Cai & Chang (1998), selama koagulasi sari kedelai, efisiensi dan efektifitas proses dipengaruhi oleh interaksi yang kompleks antara tipe kedelai, suhu pemasakan sari kedelai, volume, kandungan padatan, pH, tipe koagulan, serta waktu koagulasi. Dijelaskan pula oleh Beddows & Wong (1987), bahwa produk akhir tahu dipengaruhi oleh pH, konsentrasi koagulan, dan kecepatan pengadukan selama proses. Obatolu (2007) melaporkan bahwa perbedaan karakteristik tekstur pada tahu dapat dikaitkan dengan kadar air tahu. Tahu dengan kekerasan tinggi memiliki kemampuan menahan air (WHC) yang rendah. Tahu yang lunak memiliki kadar air yang tinggi, yaitu antara 84 hingga 90%. Lunaknya tahu yang dihasilkan juga dapat disebabkan oleh tidak sempurnanya pengendapan protein kedelai yang terjadi yang mengakibatkan renggangnya jaringan (matriks) yang terbentuk. Tahu dengan kandungan 13
air yang tinggi, secara visual akan memberikan penampakan yang lembut sedangkan tahu dengan kandungan air yang rendah cenderung memiliki penampakan yang kasar. Kualitas pembentukan tahu dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu mutu kedelai, kondisi pengadukan, koagulan serta penekanan yang diberikan pada curd. Blazek (2008) menambahkan bahwa perbedaan penggunaan jenis dan konsentrasi koagulan, pengadukan yang dilakukan selama koagulasi, dan tekanan terhadap curd akan memberikan variasi tahu mulai dari keras hingga lunak dengan kandungan air berkisar antara 70 hingga 90% dan kandungan protein 5 hingga 16% berdasarkan berat basah.
2.5 TEKNIK ELEKTROFORESIS DALAM ANALISIS PROTEIN Elektroforesis adalah suatu metode pemisahan fraksi-fraksi suatu zat dengan adanya migrasi partikel bermuatan atau ion-ion makromolekul di bawah pengaruh medan listrik. Migrasi partikel bermuatan tersebut dapat terjadi karena perbedaan muatan total, ukuran, dan bentuk (Pomeranz & Meloan 1994). Menurut Rybicky & Purves (1996), tingkat migrasi partikel dipengaruhi oleh muatan total, ukuran partikel, kekuatan ionik, viskositas, dan suhu medium. Teknik elektroforesis telah banyak digunakan dalam analisis protein untuk menentukan tingkat kemurnian sampel, berat molekul, maupun titik isoelektrik (Copeland 1994). Selain itu, teknik ini juga sering digunakan untuk menentukan komposisi protein dari suatu produk pangan. Contohnya adalah dalam penentuan komposisi konsentrat protein kedelai dan konsentrat protein whey (Nielsen 2003). Molekul protein memiliki gugus fungsi yang dapat berionisasi dalam larutan sebagai kation (muatan positif) ataupun anion (muatan negatif). Jenis muatan dipengaruhi oleh derajat keasaman (pH) larutan. Jika partikel bermuatan ini ditempatkan dalam medan listrik, akan terjadi migrasi pertikel baik ke katoda maupun anoda, tergantung muatan alaminya. Migrasi ini pun dapat dihambat oleh gaya gesek partikel itu sendiri terhadap gel. Gaya gesek tersebut dipengaruhi oleh ukuran molekul, bentuk molekul, ukuran pori medium, dan viskositas buffer (Wilson & Walker 2000). Di samping itu, besarnya muatan protein dan gradien potensial juga akan menentukan jarak migrasi yang dilakukan oleh molekul protein dalam medan listrik (Nielsen 2003). Salah satu teknik elektroforesis yang sering digunakan dalam analisis protein adalah teknik elektroforesis zonal. Dengan teknik ini, protein dipisahkan dari campuran kompleksnya menjadi pita melalui migrasi dalam matriks polimer padat yang disebut gel (gel tersebut direndam di dalam larutan buffer). Gel poliakrilamid merupakan gel yang paling umum digunakan pada teknik pemisahan protein secara elektroforesis zonal (Nielsen 2003). Gel poliakrilamid dibentuk dari polimerisasi akrilamid dengan sejumlah kecil metilenbisakrilamid yang bertindak sebagai cross-linking agent, dan diinisiasi oleh tetrametil-etilendiamin (TEMED) dan amonium persulfat (APS) (Wilson & Walker 2000). Spesies-spesies radikal bebas dari amonium persulfat akan bereaksi dengan akrilamid sehingga terbentuk akrilamid aktif. Akrilamid aktif ini akan bereaksi dengan akrilamid lainnya dengan cara yang sama sehingga terbentuk polimer yang panjang. Larutan yang mengandung polimer yang panjang ini tidak membentuk gel. Gel hanya akan terbentuk apabila terdapat N,N’–metilen-bis-akrilamid. Polimerisasi menyebabkan terbentuknya jala dari rantai akrilamid. Ukuran pori dari jala tersebut ditentukan oleh jumlah akrilamid yang digunakan per unit volume medium reaksi dan derajat ikatan silangnya (Nur & Adijuwana 1989). Adapun tahap pendahuluan yang perlu sebelum melakukan teknik elektroforesis adalah denaturasi protein pada kondisi ekstrim (misalnya panas, penambahan reduktor, deterjen, dan lainlain) yang dilanjutkan oleh pembungkusan dengan deterjen anionik. Pada tahap ini, protein sampel dilarutkan dan didisosiasi menjadi subunit di dalam larutan buffer yang mengandung deterjen dan reducing agent. Detergen anionik yang umum dipakai adalah sodium dodesil sulfat (SDS) sehingga 14
teknik ini lebih dikenal sebagai SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate-Polyacrylamide Gel Elctrophoresis). Reduktor (reducing agent) seperti merkaptoetanol dan dithiothreithol digunakan untuk mereduksi ikatan disulfida di dalam subunit protein maupun antar subunit protein. Protein yang mengikat SDS akan memiliki muatan negatif, sehingga pemisahan subunit protein hanya didasarkan atas ukuran partikelnya (Nielsen 2003). Bailey (1992) menuturkan, SDS merupakan grup ion sulfat dan rantai alkil lipofilik yang dapat menyebabkan peptida dan protein tidak saling berikatan yang dinamakan denaturasi. Kemudian SDS mengelilinginya sehingga peptida dan protein bermuatan negatif. Akibatnya, semua peptida dan protein dalam campuran akan bermigrasi menuju anoda (elektroda positif). Voet et al. (1999) menambahkan bahwa pergerakannya itu tidak lagi dipengaruhi oleh bentuk partikel karena denaturasi telah mengubah bentuk molekul menjadi seragam, yaitu berbentuk rantai lurus. Dengan demikian pergerakan protein merupakan fungsi dari berat molekulnya. Kompleks SDS-protein yang lebih besar akan memiliki mobilitas yang lebih kecil daripada kompleks yang lebih kecil. Kualitas resolusi data yang dihasilkan oleh teknik SDS-PAGE ditentukan oleh ukuran pori-pori polimer gel. Oleh sebab itu, persentase akrilamid yang digunakan pada tahap persiapan gel akan mempengaruhi kemampuan elektroforesis dalam memisahkan protein. Persentase akrilamid yang diperlukan dalam fraksinasi protein disesuaikan dengan bobot molekul protein yang diperkirakan, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Persentase akrilamid yang digunakan untuk pemisahan molekul protein dengan kisaran berat molekul tertentu Kisaran Berat Molekul Protein (kD)
Persentase Akrilamid
200.000-60.000 120.000-30.000 75.000-18.000 60.000-15.000 45.000-12.000
5.0% 7.5% 10.0% 12.5% 15.0%
Sumber: Copeland (1994)
Proses elektroforesis dapat berlangsung dengan bantuan buffer sebagai medium yang menjaga konsistensi pH agar sampel protein tidak rusak. Menurut Copeland (1994), penggunaan buffer dalam elektroforesis gel dapat dilakukan dengan dua macam sistem, yaitu sistem kontinyu (homogenous) dan sitem diskontinyu (multiphasic). Sistem diskontinyu menggunakan dua macam gel dalam satu slab, yakni stacking gel dan separating gel. Buffer dan konsentrasi akrilamid yang digunakan pada kedua jenis gel tersebut berbeda (Boyer 1993). Stacking gel menggunakan buffer dengan pH 6.8 dan konsentrasi akrilamid yang lebih rendah (ukuran pori besar) sedangkan separating gel menggunakan buffer dengan pH 8.8 dan konsentrasi akrilamid yang tinggi (ukuran pori kecil) pada proses pembuatan gelnya. Sistem diskontinyu akan menghasilkan pemisahan yang baik dengan pita yang tajam karena protein terkonsentrasi pada stacking gel dan mengalami resolusi yang tinggi pada separating gel (Wilson & Walker 2000). Setelah sampel melewati separating gel dan mengalami pewarnaan, hasilnya akan tampak seperti pada Gambar 4. Subunit protein akan terkelompokkan berdasarkan bobot molekul yang tampak sebagai pita hitam.
15
Gambar 4. Hasil elektroforesis SDS-PAGE ekstrak protein dari berbagai galur varietas kedelai (Poysa et al. 2006)
2.6 TEKSTUR CURD Tekstur merupakan salah satu faktor penerimaan produk pangan (oleh konsumen), selain rasa, aroma, dan penampakan visual. Menurut Micha (1987), karakteristik dari suatu tekstur ditentukan oleh sifat fisik dan fisikokimia yang berbeda-beda antar produk pangan dan responnya dipengaruhi oleh karakteristik sistem sensori manusia yang kompleks. Persepsi tekstur yang dirasakan pada suatu produk pangan juga dipengaruhi oleh faktor keadaan visual dan auditori produk tersebut, karena menurut Faridi & Faubion (1990), tekstur merupakan atribut sensori yang dipersepsikan oleh indera manusia melalui sentuhan, penglihatan dan pendengaran. Dan ISO (1981) mendefinisikan tekstur produk pangan sebagai semua atribut reologi maupun struktural (geometrik dan permukaan) produk yang dipersepsikan oleh reseptor mekanikal, peraba, visual, dan pendengaran manusia. Tekstur bukan merupakan atribut berdimensi tunggal, akan tetapi merupakan atribut multidimensional Faridi & Faubion (1990) menguraikan tiga kategori parameter tekstur yang digunakan untuk mengklasifikasikan atribut tekstur secara sensori, yaitu karakteristik mekanikal, karakteristik geometrikal, dan karakteristik mouthfeel. Karakteristik mekanikal adalah reaksi bahan pangan terhadap tekanan yang dipersepsikan oleh indra kinestetik, meliputi kekerasan, kohesivitas, viskositas, dan kerenyahan. Karakteristik geometrikal adalah karakteristik yang berhubungan dengan ukuran, bentuk, dan orientasi partikel yang dipersepsikan oleh syaraf pengecap dalam mulut atau dengan sentuhan meliputi gritty, grainy, flaky, stringy, dan smooth. Dan karakteristik mouthfeel meliputi atribut mouthfeel yang berhubungan dengan persepsi terhadap lemak dan air selama proses pengunyahan dan penelanan. Tekstur pangan dapat diukur secara kuantitatif dengan metode instrumental yang digolongkan ke dalam tiga kategori menurut Rosenthal (1999), yaitu pengukuran empiris, pengukuran imitatif, dan pengukuran fundamental. Pengukuran empiris adalah metode pengukuran atribut mekanik produk dengan cara mengkombinasikan beberapa tipe prinsip pengujian seperti penetrasi, kompresi, pemotongan, dan sebagainya. Pengukuran imitatif adalah metode pengukuran yang didesain dengan mengimitasi proses pengunyahan makanan di dalam mulut manusia. Texture Profile Analysis (TPA) merupakan contoh metode pengukuran imitatif yang paling umum dipakai. Sedangkan pengukuran fundamental adalah metode pengukuran atribut reologi atau fisik seperti viskositas atau modulus elastis.
16