BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gagal Ginjal Kronis 2.1.1
Definisi Penyakit gagal ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal
mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium didalam darah atau produksi urin. Penyakit gagal ginjal berkembang secara perlahan kearah yang semakin buruk dimana ginjal sama sekali tidak lagi mampu bekerja sebagaimana fungsinya. Dalam dunia kedokteran dikenal 2 macam jenis gagal ginjal yaitu gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronis (Warianto 2011). Menurut The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the National Kidney Foundation (NKF) pada tahun 2009, mendefenisikan gagal ginjal kronis sebagai suatu kerusakan ginjal dimana nilai dari GFR nya kurang dari 60 mL/min/1.73 m² selama tiga bulan atau lebih. Dimana yang mendasari etiologi yaitu kerusakan massa ginjal dengan sklerosa yang irreversibel dan hilangnya nephrons ke arah suatu kemunduran nilai dari GFR (Saragih 2010).
2.1.2 Epidemiologi Prevalensi PGK atau yang disebut juga Chronic Kidney Disease (CKD) meningkat setiap tahunnya. Dalam kurun waktu tahun 1999 hingga 2004, terdapat 16.8% dari populasi penduduk usia di atas 20 tahun mengalami PGK. Persentase ini meningkat bila dibandingkan data pada 6 tahun sebelumnya, yakni 14.5% (Chelliah 2011). Di negara-negara berkembang, insidens ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus per juta penduduk per tahun. Di Indonesia, dari data di beberapa bagian nefrologi, diperkirakan insidens PGK berkisar 100-150 per 1 juta penduduk. Menurut Suhardjono (2000), di Indonesia, berdasarkan Pusat Data & Informasi Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PDPERS jumlah penderita PGK
4 Universitas Sumatera Utara
5
dianggarkan sekitar 50 orang per satu juta penduduk. Pada tahun 2006 terdapat sekitar 100.000 orang penderita gagal ginjal kronik di Indonesia (Chelliah 2011).
2.1.3 Etiologi Umumnya penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit ginjal intrinsi difus dan menahun. Tetapi hampir semua nefropati bilateral dan progresif akan berakhir dengan penyakit ginjal kronik. Umumnya penyakit di luar ginjal, seperti nefropati obstruktif dapat menyebabakan kelainan ginjal intrinsik dan berakhir dengan penyakit ginjal kronik (Prasetya 2010) . Angka Perjalanan ESRD hingga tahap terminal dapat bervariasi dari 2- 3 bulan hingga 30-40 tahun. Penyebab gagal ginjal kronik yang tersering dapat dibagi menjadi tujuh kelas seperti pada tabel berikut ini (Saragih 2010); No. 1.
Klasifikasi Penyakit Penyakit infeksi
Penyakit Pielonefritis kronis dan refluks nefropati
tubulointerstitial 2.
Penyakit peradangan
Glomerulonefritis
3.
Penyakit vaskuler
Nefrosklerosis benign, Nefrosklerosis
hipertensi
maligna dan stenosis arteri renalis
Gangguan kongenital
Penyakit ginjal polikistik dan asidosis
dan herediter
tumulus ginjal
Penyakit metabolic
Diabetes mellitus, gout, hiperparatiroidisme
4.
5.
dan amiloidosis. 6.
Nefropati toksik
Penyalahgunaan analgesik dan nefropati timah
7.
Nefropati obstruktif
batu, neoplasma, fibrosis retroperitoneal, hipertropi prostat, striktur urethra.
Baru-baru ini, diabetes dan hipertensi bertangguang jawab terhadap proporsi gagal ginjal tahap akhir (ESRD) yang paling besar, terhitung secara berturut-turut sebesar 34% dan 21% dari total kasus. Glomerulonefritis adalah penyebab ESRD tersering yang ketiga (17%). Infeksi nefritis tubulointerstisial
5 Universitas Sumatera Utara
6
(pielonefritis kronis atau nefropati refluks) dan penyakit gagal ginjal polikistik (PKD) masing-masing terhitung sebanyak 3,4% dari ESRD. Dua puluh satu persen penyebab ESRD sisanya relatif tidak sering terjadi yaitu uropati obstruktif, lupus eritematosis sistemik (SLE) (Saragih 2010).
2.1.4 Diagnosis Gagal ginjal kronis dapat didiagnosa berdasarkan 3 stadium (Warianto 2011): Stadium I
: Penurunan cadangan ginjal (faal ginjal antar 40% dan 75%). Tahap inilah yang paling ringan, dimana faal ginjal masih baik. Pada tahap ini penderita ini belum merasakan gejala gejala dan pemeriksaan laboratorium faal ginjal masih dalam batas normal. Selama tahap ini kreatinin serum dan kadar BUN (Blood Urea Nitrogen) dalam batas normal dan penderita asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan memberikan beban kerja yang berat, sepersti tes pemekatan kemih yang lama atau dengan mengadakan test GFR yang teliti.
Stadium II
: Insufiensi ginjal (faal ginjal antar 20% dan 50%). Pada tahap ini penderita dapat melakukan tugas tugas seperti biasa padahal daya dan konsentrasi ginjal menurun. Pada stadium ini pengobatan harus cepat dalam hal mengatasi kekurangan cairan, kekurangan garam, gangguan jantung dan pencegahan pemberian obat obatan yang bersifat mengganggu faal ginjal. Bila langkah langkah ini dilakukan secepatnya dengan tepat dapat mencegah penderita masuk ketahap yang lebih berat. Pada tahap ini lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda beda, tergantung dari kadar protein dalam air kemih. Pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar normal.
6 Universitas Sumatera Utara
7
Poliuria akibat gagal ginjal biasanya lebih besar pada penyakit yang terutama menyerang tubulus, meskipun poliuria bersifat sedang dan jarang lebih dari 3 liter/hari. Biasanya ditemukan anemia pada gagal ginjal dengan faal ginjal diantara 5% dan 25% . Faal ginjal jelas sangat menurun dan timbul gejala gejala kekurangan darah, tekanan darah akan naik, aktifitas penderita mulai terganggu. Stadium III : Uremik gagal ginjal (faal ginjal kurang dari 10%). Semua gejala sudah jelas dan penderita masuk dalam keadaan dimana tidak dapat melakukan tugas sehari hari sebagaimana mestinya. Gejala gejala yang timbul antara lain mual, munta, nafsu makan berkurang, sesak nafas, pusing, sakit kepala, air kemih berkurang, kurang tidur, kejang kejang dan akhirnya terjadi penurunan kesadaran sampai koma. Stadum akhir timbul pada sekitar 90% dari massa nefron telah hancur. Nilai GFR nya 10% dari keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml/menit atau kurang. Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat mencolok sebagai penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita mulai merasakan gejala yang cukup parah karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostatis caiaran dan elektrolit dalam tubuh. Penderita biasanya menjadi oliguri (pengeluaran kemih) kurang dari 500ml/hari karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula mula menyerang tubulus ginjal, menyerang tubulus ginjal, kompleks perubahan biokimia dan gejala gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis (Warianto 2011).
7 Universitas Sumatera Utara
8
2.1.5 Patofisiologi Apabila ginjal kehilangan sebahagian fungsinya oleh sebab apapun, nefron yang masih utuh akan mencoba mempertahankan laju filtrasi glomerulus agar tetap normal. Keadaan ini akan menyebabkan nefron yang tersisa harus bekerja melebihi kapasitasnya, sehingga timbul kerusakan yang akan memperberat penurunan fungsi ginjal. Dua adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang ada mengalami hipertropi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh badan kerja ginjal. Terjadi peningkatan kecepatan filtrasi, beban solut dan reabsobsi tubulus dalam setiap nefron meskipun filtrasi glomerulus untuk seluruh masa nefron yang terdapat pada ginjal turun dibawah nilai normal. Mekanisme dari adaptasi ini cukup berhasil dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi ginjal yang sangat rendah. Bila sekitar 75% masa nefron sudah hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban setiap nefron demikian tinggi sehingga keseimbangan tubulus glomerulus tidak dapat lagi dipertahankan (Muharni 2010).
2.1.6 Klasifikasi NKF-KDOQI
mengajukan
pengelompokan
PGK
ke
dalam
5
stadium,dimulai dari stadium 1 (paling ringan) hingga stadium 5 (paling berat) berdasarkan nilai laju filtrasi glomerulus (LFG) per luas permukaan tubuh (National Kidney Foundation) dapat diperhatikan ditabel dibawah (Chelliah 2011).
1
Kerusakan ginjal dengan LFG normal/↑
Nilai LFG (ml/menit/1.73m²) ≥ 90
2
Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan
60-89
3
Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang
30-59
4
Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat
15-29
5
Gagal ginjal
< 15
Derajat
Keterangan
8 Universitas Sumatera Utara
9
2.2.7. Faktor Resiko Para peneliti di Amerika Serikat telah menemukan daftar delapan faktor resiko untuk mendeteksi PGK. Delapan faktor risiko tersebut meliputi usia tua, anemia, wanita, hipertensi, diabetes, penyakit vaskular perifer dan riwayat gagal jantung kongestif atau penyakit kardiovaskular (Eight-point Risk Faktor Checklist Evolved to Predict Chronic Kidney Disease, 2008) (Chelliah 2011).
2.2.8. Komplikasi Bila ginjal tidak berfungsi sebagai salah satu alat pengeluaran (ekskresi), maka sisa metabolisme yang tidak dikeluarkan tubuh akan menjadi racun bagi tubuh sendiri dan mengakibatkan hipertensi, anemia, asidosis, ostedistrofi ginjal, hiperurisemia dan neuropati parifer. (Muharni 2010).
2.2. Gagal Jantung Kongestif (Congestive Heart Failure-CHF) 2.2.1. Definisi Gagal jantung kongestif adalah suatu sindroma klinik yang disebabkan oleh berkurangnya volume pemompaan jantung untuk keperluan relatif tubuh, disertai hilangnya curah jantung dalam mempertahankan aliran balik vena. Di mana keadaan jantung tidak dapat memompa darah secara maksimal agar dapat disalurkan ke seluruh tubuh yang memerlukan (Liza 2013). Gagal jantung juga bisa didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung gagal untuk mengeluarkan isinya dan merupakan kondisi dimana berlakunya kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium. Gagal jantung juga bisa pula terjadi pada jantung dengan fungsi mendekati normal tapi dalam kondisi permintaan sirkulasi yang tinggi (Daniel 2010).
2.2.2. Epidemiologi Diperkirakan terdapat 23 juta orang mengidap gagal jantung di seluruh dunia. Diperkirakan setidaknya ada 550.000 kasus gagal jantung baru didiagnosis setiap tahunnya. Dari survey registrasi di rumah sakit didapatkan angka perawatan pasien yang berhubungan dengan gagal jantung sebesar 4,7% untuk perempuan
9 Universitas Sumatera Utara
10
dan 5,1% untuk laki-laki. Gagal jantung merupakan suatu sindrom, bukan diagnose penyakit. Gagal jantung kongestif (Congestive Heart Failure/ CHF) juga mempunyai prevalensi yang cukup tinggi pada lansia dengan prognosis yang buruk. Prevalensi CHF adalah tergantung umur/ age-dependent. Menurut penelitian, gagal jantung jarang pada usia di bawah 45 tahun, tapi menanjak tajam pada usia 75-84 tahun (Daniel 2010).
2.2.3. Etiologi Mekanisme yang mendasari terjadinya gagal jantung kongestif meliputi gangguan kemampuan konteraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung normal. Tetapi pada gagal jantung dengan masalah yang utama terjadi adalah kerusakan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah jantung normal masih dapat dipertahankan. Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa pada setiap konteraksi tergantung pada tiga faktor: yaitu preload, konteraktilitas, afterload;
Preload adalah jumlah darah yang mengisi jantung berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut otot jantung.
Konteraktillitas mengacu pada perubahan kekuatan konteraksi yang terjadi pada tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar kalsium
Afterload mengacu pada besarnya tekanan venterikel yang harus dihasilkan untuk memompa darah melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh tekanan arteriol. Pada gagal jantung, jika salah satu atau lebih faktor ini terganggu, maka
curah jantung berkurang (Siregar 2010).
2.2.4. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari 2 kriteria mayor atau 1 (satu) kriteria mayor dan 1 (satu) kriteria
minor harus ada pada saat yang bersamaan (Kriteria
Framingham) (Daniel 2010).
10 Universitas Sumatera Utara
11
1) Kriteria mayor: a. Paroxismal Nocturnal Dispneu b. distensi vena leher c. ronkhi paru d. kardiomegali e. edema paru akut f. gallop S3 g. peninggian tekanan vena jugularis h. refluks hepatojugular 2) Kriteria minor: a. edema ekstremitas b. batuk malam hari c. dispneu de effort d. hepatomegali e. efusi pleura f. takikardi g. penurunan kapasitas vital sepertiga dari normal 3) Kriteria Minor/Mayor Penurunan berat badan > 4,5 kg dalam 5 hari setelah terapi 2.2.5. Patofisiologi Penurunan kontraksi venterikel akan diikuti penurunan curah jantung yang selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah (TD), dan penurunan volume darah arteri yang efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme kompensasi neurohurmoral. Vasokonteriksi dan retensi air untuk sementara waktu akan meningkatkan tekanan darah, sedangkan peningkatan preload akan meningkatkan kontraksi jantung melalui Starling Law. Apabila keadaan ini tidak segera diatasi, peninggian afterload, dan hipertensi disertai dilatasi jantung akan lebih menambah beban jantung sehingga terjadi gagal jantung yang tidak terkompensasi. Dengan demikian terapi gagal jantung adalah dengan vasodilator untuk menurunkan afterload venodilator dan diuretik untuk menurunkan preload, sedangkan motorik untuk meningkatkan kontraktilitas miokard (Siregar 2010).
11 Universitas Sumatera Utara
12
Terdapat 3 (tiga) kondisi yang mendasari terjadinya gagal jantung yaitu (Daniel 2010): 1) Gangguan Mekanik Beberapa faktor yang mungkin bisa terjadi secara tunggal atau bersamaan yaitu : a. Beban tekanan b. Beban volume c. Tamponade jantung atau konstriksi perikard dimana jantung tidak dapat melakukan pengisian d. Obstruksi pengisian ventrikel e. Aneurisma ventrikel f. Disinergi ventrikel g. Restriksi endokardial atau miokardial 2) Abnormalitas Otot Jantung a. Primer: kardiomiopati, miokarditis metabolik (DM, gagal ginjal kronik, anemia) toksin atau sitostatika. b. Sekunder: Iskemia, penyakit sistemik, penyakit infiltratif, korpulmonal. 3) Gangguan Irama Jantung atau Gangguan Konduksi 2.2.6. Klasifikasi 1) Klasifikasi Gagal Jantung menurut New York Heart Association (NYHA) (Daniel 2010): a. NYHA kelas I Para penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan fisik serta tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit jantung seperti cepat lelah, sesak nafas atau berdebar-debar, apabila mereka melakukan kegiatan biasa. b. NYHA kelas II Penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang biasa menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti kelelahan, jantung berdebar, sesak nafas atau nyeri dada.
12 Universitas Sumatera Utara
13
c. NYHA kelas III Penderita penyakit jantung dengan banyak pembatasan dalam kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang kurang dari kegiatan biasa sudah menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti yang tersebut di atas. d. NYHA kelas IV Penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun tanpa menimbulkan keluhan. Waktu istirahat juga dapat menimbulkan gejalagejala insufisiensi jantung, yang bertambah apabila mereka melakukan kegiatan fisik meskipun sangat ringan.
2.2.7. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan foto thoraks untuk mengidentifikasi apakah adakardiomegali, infiltrat prekordial kedua paru dan effusi pleura. Melakukan EKG untuk mengidentifikasi penyakit yang mendasari seperti infark miocard dan aritmia. Serta melakukan pemeriksaan lain seperti Hb, leukosit, ekokardiografi, angiografi, fungsi ginjal dan fungsi tiroid dilakukan atas indikasi. (Ziliwu 2013)
2.2.8. Faktor Resiko Penyakit kardiovaskular disebabkan berbagai macam faktor. Antara lain: a. Kebiasaan merokok Merokok meningkatkan 2-3 kali lipat risiko kematian akibat penyakit jantung koroner dan penyakit kardiovaskular. Risiko orang berhenti merokok mengalami gangguan kardiak dan penyakit kardiovaskular lain berkurang 50% (Daniel 2010). b. Kurang aktifitas fisik Aktifitas fisik menurunkan risiko penyakit kardiovaskular dan diabetes tipe 2 (dua) melalui beberapa mekanisme. Secara umum, aktifitas fisik memperbaiki metabolism glukosa, mengurangi lemak tubuh, dan menurunkan tekanan darah. Kurang aktifitas fisik meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular (Daniel 2010).
13 Universitas Sumatera Utara
14
c. Perubahan pola diet, kelebihan berat badan, dan hiperlipidemia Saat ini kecenderungan pola makan masyarakat di dunia beralih pada makanan siap saji. Kecenderungan itu melupakan tradisi pola makan tradisional, yang kaya buah, sayur, dan padi-padian. Paling tidak sekitar 1 (satu) miliar orang di dunia saat ini kelebihan berat badan. Kolesterol adalah faktor kunci dari proses aterosklerosis, yang menjadi dasar meningkatnya risiko penyakit kardiovaskular (Daniel 2010). d. Diabetes dan hipertensi The American Heart Association menganggap diabetes sebagai faktor utama risiko kardiovaskular. Saat ini, diabetes dihidap sekitar 150 juta orang di seluruh dunia dan prevalensinya terutama pada usia muda, akan berlipat dua dalam 25 tahun ke depan. Diperkirakan 690 juta jiwa di seluruh dunia mengidap hipertensi. Hipertensi sering kali diketemukan pada pasien diabetes dimana prevalensinya berkisar 20 sampai 60%. Hipertensi merupakan faktor risiko untuk penyakit kardiovaskular (Daniel 2010). e. Faktor usia dan jenis kelamin Resiko yang paling besar untuk terserang penyakit jantung adalah pada lakilaki dengan usia lebih dari 45 tahun dan pada wanita usia lebih dari 55 tahun. Faktor usia yang tidak bisa dikendalikan maka harus dapat merubah atau mempengaruhi faktor-faktor resiko lain (Daniel 2010). f. Faktor Keturunan Seseorang tidak dapat merubah faktor keturunan atau riwayat penyakit jantung pada keluarga. Faktor keturunan patut untuk dicemaskan, karena merupakan hal yang penting untuk anda ketahui apakah penyakit-penyakit yang terjadi dalam keluarga dan menceritakannya pada dokter. Dengan informasi tersebut akan menjadi pertimbangan dokter dalam merekomendasikan test-test pemeriksaan untuk mendeteksi dan pengobatan yang sifatnya pencegahan yang tepat dan sesuai (Daniel 2010).
14 Universitas Sumatera Utara
15
g. Anemia Anemia diketahui menyebabkan gagal jantung, bahkan pada orang dengan tidak ada riwayat penyakit jantung, dan penatalaksanaan anemia dengan transfusi bisa memperbaiki gagal jantung. Apa yang kurang diketahui adalah bahwa banyak pasien gagal jantung sering anemia, dan gagal jantung sendiri sebaliknya bisa juga berkontribusi pada anemia dan pengobatan anemia mungkin bisa memperbaik status gagal jantung pada pasien. Jadi anemia memperburuk gagal jantung dan menjadi salah satu alasan untuk kadar kematian yang tinggi dan morbiditas yang tinggi. (D.S Silverberg et al. 2002)
2.1.9. Komplikasi Komplikasi dapat berupa (Dwihendra 2012) : 1. Masalah katup jantung: Gagal jantung menyebabkan penumpukan cairan sehingga dapat terjadi kerusakan pada katup jantung. 2. Kerusakan hati: Gagal jantung dapat menyebabkan penumpukan cairan yang menempatkan terlalu banyak tekanan pada hati. Cairan ini dapat menyebabkab jaringan parut yang mengakibatkanhati tidak dapat berfungsi dengan baik. 3. Serangan jantung dan stroke: Karena aliran darah melalui jantung lebih lambat pada gagal jantung daripada di jantung yang normal, maka semakin besar kemungkinan Anda akan mengembangkan pembekuan darah, yang dapat meningkatkan risiko terkena serangan jantung atau stroke 4. Kerusakan atau kegagalan ginjal: Gagal jantung dapat mengurangi aliran darah ke ginjal, yang akhirnya dapat menyebabkan gagal ginjal jika tidak di tangani. Kerusakan ginjal dari gagal jantung dapat membutuhkan dialysis untuk pengobatan.
15 Universitas Sumatera Utara
16
2.3. Hubungan Gagal Jantung Kongestif dengan Gagal Ginjal Kronis Pendapat umum menyatakan bahwa perburukan fungsi ginjal pada gagal jantung oleh karena penurunan volume intravaskular dan atau penurunan cardiac output. Keadaan ini dikenali sebagai “cardio-renal syndrome”. Terminologi ini lazim digunakan dalam dekade terakhir namun belum ada definisi yang dapat diterima secara umum terutama bagi kalangan ahli jantung dan ahli ginjal, dari tahun 2007 bisa membedakan istilah antara “cardiorenal syndrome” yaitu penurunan fungsi ginjal yang terjadi pada gagal jantung sedangkan penurunan fungsi jantung akibat gagal ginjal disebut sebagai “renocardiac syndrome”. Sebelumnya pada tahun 2004, National Heart Lung and Blood Institute (NHLBI) di Amerika telah membentuk grup kerja “Cardio-Renal Connections” yang mengajukan definisi sederhana tentang sindroma kardiorenal (SKR) yaitu adanya penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh penurunan fungsi jantung (Fadly 2012). 2.4. Sindrom Kardio-Renal Secara umum Sindrom Kardio-Renal didefinisikan sebagai suatu kondisi baik akut ataupun kronik dimana jantung ataupun ginjal gagal mengkompensasi gangguan fungsinya dan berdampak pada gangguan fungsi organ lainnya ataupun akibat sekunder dari penyakit sistemik yang mengganggu keduanya sehingga terjadi siklus lingkaran berbahaya yang menyebabkan kegagalan sistem sirkulasi. Peningkatan beban pengisian jantung berhubungan dengan meningkatnya tekanan vena ginjal. Tekanan perfusi ginjal sebanding dengan tekanan arteri ratarata dikurangi tekanan atrium kiri sebagai indeks tekanan vena ginjal. Peningkatan tekanan vena sentral menunjukkan terjadinya penurunan laju filtrasi glomerulus yang selanjutnya menyebabkan retensi air dan sodium dan terjadi juga stimulasi terhadap
renin-angiotensin-aldosteron system
(RAAS). Oleh karena itu
peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan kanan tidak hanya mengganggu cardiac output namun juga menyebabkan disfungsi ginjal dengan meningkatnya tekanan vena ginjal. Selain itu peningktan adenosin juga dapat menyebabkan penurunan GFR dengan cara vasodilatasi arteriol efferent glomerulus dan vasokontriksi arteriol afferen gromerulus.
16 Universitas Sumatera Utara
17
Keadaan akut dari gagal jantung kongestif mengalami perburukan fungsi ginjal dalam tiga hari pertama perawatan ketika pasien masih dalam keadaan hipervolemia. Diuresis yang berlebihan dan rendahnya tekanan pengisian berpotensi untuk semakin memperburuk fungsi ginjal namun hal itu jarang terjadi. Selain proses kompensasi terhadap gagal jantung, ada juga hal lain yang dapat menyebabkan disfungsi ginjal pada gagal jantung diantaranya penggunaan zat kontras, NSAID dan obat-obatan yang bersifat nefrotoksik Etiologi SKR bervariasi, namun dapat dikelompokkan atas dua golongan yaitu penurunan perfusi ginjal dan penyakit ginjal intrinsik yang beberapa diantaranya saling terkait menyebabkan SKR. Penyebab utama penurunan perfusi ginjal adalah hipovolemia, vasokontriksi diperantarai neurohormonal, hipotensi dengan curah jantung rendah atau normal dan obat- obatan yang bersifat toksik. Sedangkan penyakit ginjal intrinsik disebabkan oleh resistensi diuretik selain oleh hipertensi dan diabetes yang lama.
Cardio-Renal Syndrome
17 Universitas Sumatera Utara
18
Faktor resiko SKR menurut American Heart Association dibagi atas dua kelompok, tradisional dan nontradisional. Kedua faktor ini merupakan faktor resiko pada penyakit kardiovaskular (PKV) dan penyakit ginjal kronik (PGK) sehingga interaksi antara keduanya sangat erat. Yang termasuk faktor resiko tradisional adalah usia lanjut, pria, hipertensi, diabetes melitus, kadar LDL yang tinggi, kadar HDL yang rendah, kebiasaan merokok, menopause, LVH dan riwayat keluarga menderita PKV. Sedangkan yang termasuk faktor resiko nontradisional adalah mikroalbuminuria, kadar homosistein yang tinggi, anemia, gangguan metabolisme kalsium dan fosfor, perubahan kadar hormon paratiroid dan inflamasi (Fadly 2012).
18 Universitas Sumatera Utara