ϯ
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Inventarisasi Hutan Inventarisasi hutan adalah suatu usaha untuk menguraikan kuantitas dan kualitas pohon-pohon hutan serta berbagai karakteristik areal tanah tempat tumbuhnya. Inventarisasi hutan lengkap dipandang dari segi penaksiran kayu harus berisi deskripsi areal berhutan serta pemilikannya, penaksiran volume pohon-pohon yang masih berdiri, dan penaksiran mengenai pengeluaran hasil (Husch 1987). 2.2 Penentuan Volume Pohon Volume pohon dapat diperkirakan dari hubungan nyata antara dimensi pohon dan volume pohon tertentu. Diameter, tinggi dan faktor bentuk merupakan peubah tak bebas yang biasa digunakan untuk menentukan nilai-nilai dari peubah bebas volume pohon, hasil akhirnya digambarkan dalam suatu rumus atau bentuk tabel. Volume kayu atau pohon-pohon dalam tegakan hutan merupakan besaran yang tidak dapat ditentukan secara langsung di lapangan, melainkan dilakukan melalui komponen-komponen (peubah-peubah) yang menentukan besarnya volume kayu/pohon tersebut (Husch et al. 2003). Menurut Simon (1996), diameter adalah salah satu parameter pohon yang mempunyai arti penting dalam pengumpulan data tentang potensi hutan untuk keperluan pengelolaan. Dalam mengukur diameter, yang lazim dipilih adalah diameter setinggi dada (Dbh), karena pengukurannya paling mudah dan mempunyai korelasi yang kuat dengan parameter penting lainnya, seperti luas bidang dasar dan volume batang. Menurut Husch (1963), volume adalah besaran tiga dimensi suatu benda yang dinyatakan dalam satuan kubik. Volume diperoleh dari hasil perkalian antara satuan dasar panjang, yaitu: panjang, lebar dan tinggi.
ϰ
Menurut Departemen Kehutanan RI (1992), secara alami volume kayu dapat dibedakan menurut berbagai macam klasifikasi sortimen. Beberapa jenis volume kayu yang paling lazim dipakai sebagai dasar penaksiran sebagai berikut: 1. Volume tunggak, adalah volume kayu yang terdiri atas akar dan pangkal pohon, sampai ketinggian (tunggak) tertentu. Tinggi tunggak ini bervariasi dari 0,1-0,5 m, tetapi sebagian besar diambil 0,3 m. Di daerah yang berbukit, tinggi tunggak dihitung sama dengan tinggi banir. 2. Volume kayu batang, adalah volume kayu di atas tunggak sampai permulaan tajuk. Bagian pohon yang menyusun volume kayu ini adalah batang pokok sampai percabangan pertama. 3. Volume kayu tebal, adalah volume kayu di atas tunggak sampai diameter dengan kulit sebesar 7 cm. Disini tercakup batang pokok dan cabangcabang besar. 4. Volume kayu pohon, adalah volume kayu yang terdapat di seluruh pohon, mulai dari volume tunggak sampai dengan ujung pohon dan ranting. Karena bentuk geometris batang tidak teratur, maka pendekatan rumus harus mengikuti kaidah bahwa untuk semua benda padat dihitung dari hasil perkalian antara luas bidang dasar rata-rata seksi dan panjang. Ada tiga rumus penting dalam menentukan volume pada daerah rata-rata pemotongan perseksi (Loetsch et al. 1973), sebagai berikut: Rumus Huber
:
V = ୫ x
Rumus Smallian
:
V=
Rumus Newton
:
V=
dimana:
V
x x
: Volume logs atau batang (m³) : Luas bidang dasar bagian tengah batang (m²) : Luas bidang dasar bagian pangkal batang (m²) : Luas bidang dasar bagian ujung batang (m²) : Panjang batang pohon (m)
ϱ
Avery dan Burkhart (1994) menyatakan bahwa rumus Smallian memerlukan pengukuran pada diameter kedua ujung batang, rumus ini paling mudah dan paling murah dalam penerapannya. Namun, rumus ini mempunyai ketepatan yang lebih kecil dibandingkan dengan rumus Huber dan rumus Newton. Rumus Newton memerlukan pengukuran kedua ujung batang dan batang tengah, sehinggga penggunaannya lebih terbatas dan kurang praktis. Namun, rumus ini lebih teliti dibandingkan dengan rumus lainnya. Volume pohon merupakan suatu besaran yang diperoleh dari perkalian antara luas bidang dasar dengan tinggi pohon. Volume pohon dapat juga dihitung dengan cara menjumlahkan volume tiap-tiap seksi yang ada pada pohon tersebut (Loetsch et al. 1973). 2.3 Penyusunan Tabel Volume Pohon Menurut Husch (1963) tabel volume pohon merupakan pernyataan yang sistematis mengenai volume sebatang pohon menurut semua atau sebagian dimensi yang ditentukan dari diameter setinggi dada, tinggi dan bentuk pohon. Tabel volume pohon akan memberikan hasil taksiran yang cermat, karena disusun dengan menggunakan data yang dikumpulkan secara ekstensif. Tabel volume pohon secara teoritis adalah yang paling baik untuk digunakan dalam inventarisasi potensi kayu dalam tegakan hutan, namun demikian pengukuran tinggi pohon yang disyaratkan menyebabkan penggunaan tabel tersebut tidak praktis. Hal ini disebabkan karena pengukuran tinggi pohon memerlukan banyak waktu dan dapat menjadi sumber kesalahan (Husch et al. 2003). Menurut Avery dan Burkhart (1994) tabel volume pohon yang berdasarkan pada satu peubah dari diameter setinggi dada (dbh) sering disebut sebagai tabel volume lokal, sedangkan tabel volume yang menghendaki pengguna juga memperoleh tinggi pohon dan kemungkinan juga bentuk atau taper disebut tabel volume standar. Tabel volume lokal (local volume table) atau tarif volume merupakan tabel yang memberikan volume pohon dengan cukup mengetahui hanya satu peubah atau besaran saja yaitu diameter pohon setinggi dada (dbh) dengan tidak
ϲ
menyertai besaran tinggi pohon. Istilah local dipakai karena tabel tersebut secara umum memiliki daerah berlaku yang terbatas dimana hubungan tinggi dan diameter yang tersembunyi di dalam tabel adalah relevan (Husch et al. 2003). Menurut Sutarahardja (2008) penyusunan tabel volume lokal berlandaskan atas dasar asumsi, bahwa pohon-pohon dengan diameter yang sama akan memberikan volume yang sama pula, apabila kondisi tempat tumbuhnya sama. Asumsi tersebut dapat diterima apabila ada hubungan yang kuat antara tinggi pohon dengan diameter dan volume pohon yang dimaksud dengan diameternya dalam tegakan tersebut. Dengan adanya hubungan yang erat antara diameter dan tinggi pohon, maka dapat dijamin bahwa segala perubahan yang terjadi pada pohon yang disebabkan oleh adanya variasi tinggi pohon akan tercakup oleh adanya variasi diameter pohon. Selanjutnya Pangaribuan (1990) berpendapat bahwa dengan adanya hubungan yang erat antara diameter dengan tinggi pohon, dapat juga menunjukkan bahwa hubungan diameter dengan volume pohon erat pula. Menurut Spurr (1952) penyusunan tabel volume pohon dimaksudkan untuk memperoleh taksiran volume pohon melalui pengukuran satu atau beberapa peubah penentu volume pohon serta untuk mempermudah kegiatan inventarisasi hutan dalam menduga potensi tegakan. Meskipun demikian, untuk meningkatkan efisiensi dalam penaksiran volume tegakan dengan tidak mengurangi ketelitian yang diharapkan, diusahakan dalam penyusunan tabel volume pohon memperkecil jumlah peubah bebas penentu volume pohon dan diberlakukan pada daerah setempat. Tabel yang dimaksud adalah tabel volume pohon lokal atau tarif volume. Menurut Loetsch et al. (1973) sebelum persamaan volume disusun untuk spesies tertentu atau kelompok spesies, dilakukan pengumpulan data dalam wilayah yang kecil yang dipakai ke sebuah wilayah yang jauh diluar wilayah aslinya. Dalam penyusunan persamaan penduga volume mengikuti beberapa tahap, sebagai berikut: 1. Pemilihan sampel yang cukup banyak jumlahnya dan representatif 2. Pengukuran peubah bebas maupun peubah tak bebas untuk menyusun persamaan volume
ϳ
3. Menguji berbagai persamaan yang disusun dan memilih salah satu persamaan yang dianggap paling optimum Menurut Loetsch et al. (1973) tidak ada jawaban sederhana pada pernyataan berapa banyak pohon contoh, berdiri atau rebah yang akan diukur untuk memperoleh suatu persamaan volume. Untuk menyusun tabel volume lokal yang dapat dipakai untuk jenis tunggal, mungkin cukup 50 sampai 100 pohon. 2.4 Persamaan Penduga Volume Pohon Beberapa persamaan hubungan antar volume pohon dengan peubahpeubah penentunya yang biasa digunakan dalam penyusunan tabel volume pohon (Loetsch et al. 1973): 1. Satu peubah bebas, hanya diameter pohon: V=
+
(Kopezky-Gehrhardt)
V=
d+
(Dissescu-Meyer)
V=
+
+
(Hohenadl-Krenn)
V=
(Berkhout)
Log V =
+
log d
(Husch)
2. Dua peubah bebas, diameter dan tinggi pohon: V=
(d²h
V=
+
V=
+ +
h+ h+
h+
h h²
V= dimana :
V d h b0,b1...
: Volume pohon (m³) : Diameter pohon setinggi dada (cm) : Tinggi pohon total (m) : Konstanta
ϴ
2.5 Matoa (Pometia pinnata) Tabel 1 Taksonomi Matoa (Pometia pinnata) Taksonomi Matoa Kingdom Plantae Divisi Magnoliophyta Kelas Magnoliopsida Sub Kelas Rosidae Ordo Sapindales Famili Sapindaceae Genus Pometia Spesies Pometia pinnata
Sumber : haruting.wordpess.com
Pometia pinnata J.R Forst & G. Forst atau lebih dikenal dengan sebutan Matoa termasuk dalam suku rambutan-rambutanan (Sapindaceae). Jenis ini mempunyai beberapa sinonim antara lain Irina glabra Blume (1825), Irina tomentosa Blume (1825), I. alnifolia Blume (1847), I. tomentosa Blume var. cuspidate Blume (1847), Nephelium acuminatum Hook.f. (1860), Pometia macrocarpa Kurz (1876), P. coriacea Radlk (1913), P. pinnata Forst & Forst f. repanda Jacobs (1962) (Sudarmono 2000). Matoa merupakan pohon raksasa dengan tinggi dapat mencapai 47 m, dengan diameter mencapai 187 cm. Mudah dikenali dengan ciri-ciri batang tanpa bonggol-bonggol, mempunyai alur yang lebar dan dalam serta berakar papan yang berukuran kecil. Kulit batang memiliki ketebalan ± 5 mm, sebelah luar berwarna kelabu dengan bintik-bintik kuning. Kulit sebelah luar licin dengan pecah-pecah halus melintang dan memanjang serta mengeluarkan cairan semacam perekat sedikit tidak berwarna, tidak berbau, rasanya sangat pahit. Cabang/ranting muda berwarna coklat kuning. Daun tua sebelah atas berwarna hijau (Thahjono 1972 dalam Nugraha 2008). Kalkman (1959) dan Faber (1959) dalam Kapisa
(1984) membedakan
matoa kedalam tiga jenis berdasarkan sifat dan ciri-cirinya. Pometia pinnata Forst mempunyai ciri berdaun lebar, buahnya dapat dimakan, tinggi bebas cabang umumnya sekitar 10 meter dan batangnya kurang bagus dibandingkan P.acuminate Radkl dan P.corriaceae Radkl.
ϵ
Sifat dan ciri Pometia acuminate Radkl dan Pometia corriaceae Radkl, yaitu: berdaun kecil, tinggi bebas cabangnya lebih dari 10 meter, tajuknya bulat dengan diameter batang rata-rata 100 cm. Pometia spp berbuah sekali dalam setahun, dimana pada bulan Agustus sampai September/Oktober berbunga, dan tiga atau empat bulan kemudian matang atau dapat dipanen (Kapisa 1984). Matoa merupakan salah satu jenis pohon yang kayunya dimanfaatkan untuk industri perkayuan. Menurut Martawijaya dan Kartasujana (1977) kayu jenis ini dapat dipakai untuk bahan bangunan perumahan dan jembatan, mebel, lantai, moulding, tangkai peralatan dan olahraga, serta baik juga untuk perkapalan. Oleh karena itu mengingat kegunaan kayu matoa bagi industri perkayuan cukup besar, maka ketersediaan tabel volume matoa yang lebih akurat dan luwes sebagai perangkat pembantu dalam pendugaan volume pohon sangat diperlukan.