BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Drainase 2.1.1 Definisi Drainase merupakan salah satu fasilitas dasar yang direncanakan sebagai sistem guna memenuhi kebutuhan masyarakat dan merupakan komponen penting dalam perencanaan kota, khususnya perencanaan infrastruktur. Menurut Suripin (2004) drainase mempunyai arti mengalirkan, menguras, membuang, atau mengalihkan air. Secara umum, drainase didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan atau lahan sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal. Dari sudut pandang lain, drainase adalah salah sau unsur dari prasarana umum yang dibutuhkan masyarakat kota dalam rangka menuju kehidupan kota yang aman, nyaman, bersih dan sehat. Prasarana drainase ini berfungsi untuk mengalirkan air permukaan ke badan air (sumber air permukaan dan bawah permukaan tanah) atau bangunan resapan. Selain itu juga berfungsi sebagai pengendali kebutuhan air permukaan dengan tindakan untuk memperbaiki daerah becek, genangan air dan banjir. Kegunaan dari saluran drainase adalah sebagai berikut : 1. Mengeringkan daerah becek dan genangan air sehingga tidak ada akumulasi air tanah 2. Menurunkan permukaan air tanah pada tingkat yang ideal 3. Mengendalikan erosi tanah, kerusakan jalan dan bangunan yang ada 4. Mengendalikan air hujan yang berlebihan senhingga tidak terjadi banjir Saat ini sistem drainase sudah menjadi salah satu infrastruktur perkotaan yang sangat penting. Kualitas manajemen suatu kota dilihat dari kualitas sistem drainase yang ada. Sistem drainase yang baik dapat membebaskan kota dari genangan air. Genangan air menyebabkan lingkungan menjadi kotor dan jorok, menjadi sarang nyamuk, dan sumber penyakit lainnya, sehingga dapat menurunkan kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat.
6
2.1.2 Pembagian Sistem Drainase Menurut Hasmar dalam Kelompok Kerja sanitasi Kota Denpasar (2008), Sistem jaringan drainase perkotaan umunya dibagi atas 2 bagian, yaitu: 1. Sistem Drainase Makro Sistem drainase makro yaitu sistem saluran/badan air yang menampung dan mengalirkan air dari suatu daerah tangkapan air hujan (Catchment Area). Pada umumnya sistem drainase mayor ini disebut juga sebagai sistem saluran pembuangan utama (mayor sistem) atau drainase primer. Sistem jaringan ini menampung aliran yang berskala besar dan luas seperti saluran drainase primer, kanal-kanal atau sungai-sungai. Perencanaan drainase makro ini umumnya dipakai dengan periode ulang antara 5 sampai 10 tahun dan pengukuran topografi yang detail mutlak diperlukan dalam perencanaan sistem drainase ini. 2. Sistem Drainase Mikro Sistem drainase mikro yaitu sistem saluran dan bangunan pelengkap drainase yang menampung dan mengalirkan air dari daerah tangkapan hujan. Secara keseluruhan yang termasuk dalam sistem drainase mikro adalah saluran di sepanjang sisi jalan, saluran/selokan air hujan di sekitar bangunan, gorong-gorong, saluran drainase kota, dan lain sebagainya dimana debit air yang dapat ditampungnya tidak terlalu besar. Pada umumnya drainase mikro ini direncanakan untuk hujan dengan masa ulang 2, 5 atau 10 tahun tergantung pada tata lahan yang ada. Sistem drainase untuk lingkungan pemukiman lebih cenderung sebagai sistem drainase mikro. Selanjutnya Subarkah (1990) juga membagi saluran sungai menjadi 3 bagian, yaitu : 1. Saluran Drainase Utama/Primer Saluran yang berfungsi sebagai pembuangan utama/primer sebagai sungai/tukad yang ada di wilayah perencanaan yang cukup berpotensi untuk menampung dan mengalirkan air buangan dari saluran sekunder serta limpasan permukaan yang ada pada daerah tangkapan sungai tersebut. Sungai-sungai yang berfungsi sebagai pembuangan utama yang
7
ada di wilayah studi perlu untuk diketahui jumlahnya dan masing-masing sungai akan terbentuk sistem drainase dan pola aliran tertentu, dengan batas-batas yang sesuai dengan topografi. 2. Saluran Drainase Sekunder Fungsi dari saluran sekunder adalah untuk menampung air drainase tersier serta limpasan air permukaan yang ada untuk diteruskan ke drainase utama (sungai). Berdasarkan konstruksi saluran drainase dibedakan menjadi 2 macam, yaitu : a. Saluran terbuka, dibuat pada daerah dimana masih cukup tersedia pola lahan serta bukan merupakan daerah yang sibuk (pertokoan, pasar, dan sebagainya). b. Saluran tertutup, dapat dipertimbangkan pemakaiannya ditempattempat yang produksi sampahnya melebihi rata-rata, seperti : pasar, terminal, pertokoan, dan pada daerah yang lalu lintasnya padat. 3. Saluran Drainase Tersier Fungsi saluran tersier adalah untuk meneruskan pengaliran air buangan maupun air limpasan permukaan menuju ke pembuangan sekunder. Data mengenai kondisi saluran tersier tidak begitu banyak diperlukan dalam perencanaan sistem pembuangan air hujan. Banjir yang terjadi pada saluran tersier bersifat setempat, sedangkan banjir pada saluran sekunder dan saluran pembuangan utama akan membawa dampak yang luas bagi kehidupan masyarakat yang menyangkut sosial, ekonomi, maupun kesehatan. Selain itu sistem drainase juga bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar drainase bagi kawasan hunian dan kota serta menunjang kebutuhan
pembangunan
dalam
menunjang
terciptanya
skenario
pengembangan kota untuk kawasan andalan dan menunjang sektor unggulan yang berpedoman pada Rencana Umum Tata Ruang Kota.
8
2.2 Hidrologi 2.2.1 Hidrologi Perkotaan Dalam perencanaan fasilitas perkotaan, diperlukan suatu analisis hidrologi untuk perencanaan sistem drainase perkotaan. Setiap kegiatan yang melibatkan lahan sebagai proyek, seperti perumahan, perkantoran, industri, dan fasilitas transportasi harus mempertimbangkan aliran air hujan. Perencanaan
rumah
harus
menyediakan
tidak
hanya
talang
dan
perlengkapannya, tetapi juga got/saluran yang meneruskan air hujan ke jaringan drainase. Begitu juga pada komponen lain yang berhubungan dengan perkotaan, misalnya komponen transportasi. Perencanaan drainase, culvert maupun jembatan yang melintasi sungai atau saluran memerlukan analisis hidrologi. Analisis hidrologi merupakan bidang yang sangat rumit dan kompleks. Hal ini disebabkan oleh ketidakpastian dalam hidrologi, keterbatasan teori dan rekaman data serta keterbatasan ekonomi. Hujan adalah kejadian yang tidak dapat diprediksi dimana tidak ada prediksi secara pasti seberapa hujan yang akan terjadi pada suatu periode waktu (Suripin, 2004). Salah satu bentuk presipitasi yang terpenting di Indonesia adalah hujan (rainfall). Air laut yang menguap karena adanya radiasi matahari dan awan yang terjadi oleh uap air, bergerak di atas daratan akibat adanya gerakan angin. Presipitasi yang terjadi karena adanya tabarakan antara butir-butir uap air akibat desakan angin, dapat berbentuk hujan atau salju yang jatuh ke tanah yang berbentuk limpasan (runoff) yang mengalir kembali ke laut. Curah hujan yang jatuh di atas permukaan daerah aliran sungai, selalu mengikuti proses yang disebut dengan “siklus hidrologi” (Soemarto, 1995). Dalam kaitannya dengan siklus hidrologi, hujan yang jatuh di atas permukaan tanah akan berubah dalam bentuk evapotranspirasi, limpasan permukaan (surface runoff), infiltrasi, perkolasi, dan aliran air tanah. Untuk di tingkat DAS parameter-parameter ini akhirnya manjadi aliran sungai. Selanjutnya dalam kaitannya dengan analisis hujan, maka ada 5 besaran pokok yang perlu dikaji dan dipelajari (Soemarto, 1955), yaitu :
9
a. Intensitas (i), adalah laju curah hujan yaitu tinggi air per satuan waktu, misalnya mm/menit, mm/jam, mm/hari. b. Lama waktu atau durasi (t), adalah lamanya curah hujan terjadi dalam menit atau jam. c. Tinggi hujan (d), adalah banyaknya atau jumlah hujan yang dinyatakan dalam ketebalan air diatas permukaan datar, dalam mm. d. Frekuensi, adalah frekuensi kejadian terjadinya hujan, biasanya dinyatakan dengan waktu ulang (return period) (T), misalnya sekali dalam T tahun. e. Luas (A), adalah daerah tangkapan curah hujan, dalam km2.
2.2.2 Hujan Rencana Banjir rencana harus ditentukan berdasarkan curah hujan, dengan menetapkan curah hujan rencana. Untuk perencanaan gorong-gorong, jembatan, bendung, dan sebagainya di dalam sungai, yang diperlukan ialah besarnya puncak banjir yang harus disalurkan melalui bangunan tersebut. Jadi sebagai hujan rencana kita tetapkan curah hujan dengan masa ulang tertentu (Subarkah, 1980). 1. Penentuan Hujan Kawasan Stasiun penakar hujan hanya memberikan kedalaman hujan di titik mana stasiun tersebut berada, sehingga hujan pada suatu luasan harus diperkirakan dari titik pengukuran tersebut. Apabila pada suatu daerah terdapat lebih dari satu stasiun pengukur yang ditempatkan secara terpencar, hujan yang tercatat di masing-masing stasiun tidak sama. Dalam analisis hidrologi sering diperlukan untuk menentukan hujan rerata pada daerah tersebut, yang dapat dilakukan dengan tiga metode berikut yaitu metode rerata aritmatik, metode polygon Thiessen, dan metode Isohiet.
10
a) Metode rerata aritmatik (aljabar)
P1
P2 P3
Gambar 2.1. Mengukur Tinggi Curah Hujan Metode Aljabar
Metode ini adalah yang paling sederhana untuk menghitung hujan rerata pada suatu daerah. Pengukuran yang dilakukan di beberapa stasiun dalam waktu yang bersamaan dijumlahkan dan kemudian dibagi dengan jumlah stasiun. Stasiun hujan yang digunakan dalam hitungan biasanya adalah yang berada di dalam DAS, tetapi stasiun di luar DAS yang masih berdekatan juga masih bias diperhitungkan. Metode rerata aljabar memberikan hasil yang baik apabila : - Stasiun tersebar secara merata di DAS - Distribusi hujan relatif merata pada seluruh DAS Hujan rerata pada seluruh DAS diberikan oleh bentuk berikut :
P=
p1 + p2 + p3 +…. pn p+…..+pnn
(2.1)
dengan P
= hujan rerata kawasan
P1, p2,…,pn = hujan pada stasiun 1,2,3,…,n n
= jumlah stasiun
11
b) Metode Thiessen
P1 A2
A1 A3
P2
r P3
Gambar 2.2. Mengukur Tinggi Curah Hujan Metode Poligon Thiesen
Metode ini memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang mewakili luasan di sekitarnya. Pada suatu luasan di dalam DAS dianggap bahwa hujan adalah sama dengan yang terjadi pada stasiun terdekat, sehingga hujan yang tercatat pada suatu stasiun mewakili luasan tersebut. Metode ini digunakan apabila penyebaran stasiun hujan di daerah yang ditinjau tidak merata. Hitungan curah hujan rerata dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh dari setiap stasiun. Perhitungan polygon Thiessen adalah sebagai berikut : A1P1 + A2P2 +…….+AnPn P=
(2.2) A1+A2….+An
dengan p
= hujan rerata kawasan
p1,p2….pn
= hujan pada stasiun 1,2,3,..n
A1,A2,…An = luas daerah stasiun 1,2,3..n
c) Metode Isohyet
A4 A3 A1 P1
A2 P2
P4 P3
Gambar 2.3 Mengukur Tinggi Curah Hujan Metode Isohyet
12
Isohyet adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan kedalaman hujan yang sama. Pada metode isohyet, dianggap bahwa hujan pada suatu daerah diantara dua garis isohyet adalah merata dan sama dengan nilai rerata dari kedua garis isohiet tersebut. Secara matematis hujan rerata tersebut dapat ditulis :
A1
p=
I1 + I2 I2 + I3 + A2 2 2
+ ………. + An
In + I(n+1) 2
(2.3)
A1 + A2 + …….+An atau 𝑝=
𝐼𝑖+𝐼(𝑖+1) 2
∑𝑛 𝑖−1 𝐴1
∑𝑛 𝑖=1 𝐴𝑖
(2.4)
Dengan p
= hujan rerata kawasan
I1, I2 ,…., In
= garis isohiet ke 1,2,3,…n, n+1
A1, A2,…,A3 = luas daerah yang dibatasi oleh garis isohiet ke 1 dan 2, 2 dan 3,…, n dan n+1
2. Penentuan Distribusi Frekuensi Penentuan jenis distribusi frekuensi diperlukan untuk mengetahui suatu rangkaian data cocok untuk suatu sebaran tertentu dan tidak cocok untuk sebaran lain. Untuk mengetahui kecocokan terhadap suatu jenis sebaran tertentu, prlu dikaji terlebih dahulu ketentuan-ketentuan yang ada, yaitu : 1. Menghitung parameter-parameter statistic Cs dan Ck, untuk menentukan macam analisis frekuensi yang dipakai. 2. Koefisien kepencengan/skewness (Cs) dihitung dengan persamaan: n .∑(𝑋−𝑋̅ )3
𝐶𝑠 = (n−1)(n−2)𝑆3
(2.5)
3. Koefisien kepuncakan/curtosis (Ck) dihitung dengan persamaan : n2 .∑(𝑋−𝑋̅ )4
𝐶𝑘 = (n−1)(n−2)(𝑛−3)𝑆4
(2.6)
13
4. Koefisien variasi (Cv) 𝑆
𝐶𝑣 = X̅
(2.7)
Dimana : n
= jumlah data
𝑋̅
= rata-rata data hujan (mm)
S
= simpangan baku (standar deviasi)
X
= data hujan (mm)
Tabel 2.1 Persyaratan Pemilihan Jenis Distribusi/Sebaran Frekuensi No. Sebaran Syarat 1. Normal Cs = 0 2.
Log Normal
Cs = 3 Cv
3.
Gumbel
Cs = 1,1396 Ck = 5,4002
4.
Bila tidak ada yang memenuhi syarat digunakan sebaran Log Person Type III
Sumber : Sri Harto, 1993
Dalam statistik dikenal beberapa jenis distribusi frekuensi dan yang banyak digunakan dalam hidrologi yaitu Distribusi Normal, Log Normal, Log Person Tipe III, dan Gumbel. Pada situasi tertentu, walaupun data yang diperkirakan mengikuti distribusi yang sudah dikonversi ke dalam bentuk logaritmis, ternyata kedekatan antara data dan teori tidak cukup kuat untuk menjustifikasi
pemakaian
distribusi
Log
Normal.
Person
telah
mengembangkan serangkaian fungsi probabilitas yang dapat dipakai untuk hampir semua distribusi probabilitas empiris, dan masih tetap dipakai karena fleksibilitasnya. (Suripin, 2004)
1. Distribusi Normal Distribusi normal atau kurva normal disebut pula distribusi Gauss. Fungsi densitas peluang normal (PDF = probability density function) yang paling dikenal adalah bentuk bell dan dikenal sebagai distribusi normal.
14
PDF distribusi normal dapat dituliskan dalam bantuk rata-rata dan simpangan bakunya sebagai berikut : 1
𝑃(𝑋) = σ√2𝜋 𝑒𝑥𝑝 [−
(𝑥−𝜇)2 2𝜎2
]
−∞ ≤ 𝑥 ≤ ∞
(2.8)
Keterangan : P(X)
= fungsi densitas peluang normal (ordinat kurva normal)
X
= variable acak kontinu
µ
= rata-rata nilai X
σ
= simpangan baku dari nilai X Analisis kurva normal cukup menggunakan parameter statistic σ juga
µ. Bentuk kurvanya simetris terhadap X = µ, dan grafiknya selalu di atas sumbu datar X, serta mendekati (berasimut) sumbu datar X dan dimulai dari X = µ + 3σ dan X = µ - 3σ. Nilai mean = median = modus. Nilai X mempunyai batas: -<X<+
2. Distribusi Log Normal Jika variabel Y = log X terdistribusi secara normal, maka X dikatakan mengikuti distribusi Log Normal. PDF (probability density function) untuk distribusi Log Normal dapat dituliskan dalam bentuk rata-rata dan simpangan bakunya sebagai berikut : 1
𝑃(𝑋) = Xσ√2𝜋 𝑒𝑥𝑝 [−
(𝑌−𝜇𝑦)2 2𝜎𝑦 2
]
X>0
(2.9)
Keterangan : P (X) = Peluang Log Normal X
= nilai variat pengamatan
µy
= nilai rata-rata populasi y
σy
= deviasi standar nilai variat Y Apabila nilai P(X) digambarkan pada kertas, maka peluang logaritmik
akan merupakan persamaan garis lurus, sehingga dapat dinyatakan sebagai model matematik dengan persamaan : YT = µ + KTσ
(2.10)
Yang dapat didekati dengan :
15
(2.11) 𝐾𝑇 =
YT = Y + KTS 𝑌𝑇−𝑌
(2.12)
S
Keterangan : YT
= perkiraan nilai yang diharapkan terjadi dengan periode ulang Ttahunan
Y
= nilai rata-rata hitung variat
S
= deviasi standar nilai variat
KT
= faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau periode ulang dan tipe modal matematik distribusi peluang yang digunakan untuk analisis peluang.
3. Distribusi Log-Person Tipe III Salah satu distribusi dari serangkaian distribusi yang dikembangkan Person yang menjadi perhatian ahli sumber daya air adalah Log-Person Tipe III (LP.III). Pada Log Person Tipe III, parameter statistik yang diperlukan pada distribusi ini adalah harga rata-rata, standar deviasi, dan koefisien kepencengan. Untuk menghitung banjir rencana dalam praktek, The Hydrology Comitte of the Water Resources Council, USA, menganjurkan
pertama
kali
mentransformasi
data
ke
nilai-nilai
logaritmanya, kemudian menghitung parameter-parameter statistiknya. Secara garis besar langkah-langkahnya adalah sebagai berikut (Soemarto, 1995) : 1. Ubahlah data banjir tahunan sebanyak n buah tersebut ke dalam harga logaritmanya (X1, X2, …..Xn menjadi log X1, log X2,…log Xn)
2. Hitung harga rata-ratanya dengan rumus : 𝐿𝑜𝑔 𝑋 =
∑𝑛 𝑖=1 𝐿𝑜𝑔 𝑋𝑖
(2.13)
𝑛
3. Hitung harga simpangann baku dengan rumus : [𝑆 =
2 ∑𝑛 𝑖=1(𝑙𝑜𝑔 𝑋𝑖−𝑙𝑜𝑔𝑋)
𝑛−1
1/2
]
(2.14)
4. Hitug koefisien kepencengan dengan rumus :
16
𝐺=
3 𝑛 ∑𝑛 𝑖=1(log 𝑋𝑖−𝑙𝑜𝑔 𝑋) (𝑛−1)(𝑛−2)𝑠3
(2.15)
5. Hitung logaritma hujan atau banjir dengan periode ulang T menggunakan rumus : Log XT = log X + K.S
(2.16)
Dimana : - XT
= curah hujan dengan periode ulang tahun
- Log X = rata-rata log curah hujan harian maksimum - G
= faktor penyimpangan, seperti tabel 2.2
- CS
= koefisien penyimpangan
- S
= simpangan baku
17
Tabel 2.2 Nilai K untuk distribusi Log-Person III Koef G 3 2,8 2,6 2,4 2,2 2 1,8 1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 -1 -1,2 -1,4 -1,6 -1,8 -2 -2,2 -2,4 -2,6 -2,8 -3
Interval kejadian (Recurrence interval), tahun (periode ulang 1,0101 1,25 2 5 10 25 50 Persentase peluang terlampaui (Percent chance of being exceeded) 99,000 80,000 50,000 20,000 10,000 4,000 2,000 -0,667 -0,636 -0,396 0,420 1,180 2,278 3,152 -0,714 -0,666 -0,384 0,460 1,210 2,275 3,114 -0,769 -0,696 -0,368 0,499 1,238 2,267 3,071 -0,832 -0,725 -0,351 0,537 1,262 2,256 3,023 -0,905 -0,752 -0,330 0,574 1,284 2,240 2,970 -0,990 -0,777 -0,307 0,609 1,302 2,219 2,092 -1,087 -0,799 -0,282 0,643 1,318 2,193 2,848 -1,197 -0,817 -0,254 0,675 1,329 2,063 2,780 -1,313 -0,832 -0,225 0,705 1,337 2,128 2,706 -1,449 -0,844 -0,195 0,732 1,340 2,087 2,626 -1,558 -0,852 -0,164 0,758 1,340 2,043 2,542 -1,733 -0,856 -0,132 0,780 1,336 1,993 2,453 -1,880 -0,857 -0,099 0,800 1,328 1,939 2,359 -2,029 -0,855 -0,066 0,816 1,317 1,880 2,261 -2,178 -0,850 -0,033 0,830 1,301 1,818 2,159 -2,326 -0,842 0,000 0,842 1,282 1,751 2,051 -2,472 -0,830 0,033 0,850 1,258 1,680 1,945 -2,615 -0,816 0,066 0,855 1,231 1,606 1,834 -2,755 -0,800 0,099 0,857 1,200 1,528 1,726 -2,891 -0,780 0,132 0,856 1,266 1,448 1,606 -3,022 -0,785 0,164 0,852 1,128 1,366 1,492 -2,149 -0,732 0,195 0,844 1,086 1,282 1,379 -2,271 -0,705 0,225 0,832 1,041 1,198 1,270 -2,388 -0,675 0,254 0,817 0,994 1,116 1,166 -3,499 -0,643 0,282 0,799 0,945 1,035 1,069 -3,605 -0,609 0,307 0,777 0,895 0,959 0,980 -3,705 -0,574 0,330 0,752 0,844 0,888 0,900 -3,800 -0,537 0,351 0,725 0,795 0,823 0,830 -3,889 -0,490 0,368 0,696 0,747 0,764 0,768 -3,973 -0,469 0,384 0,666 0,702 0,712 0,714 -7,051 0,420 0,369 0,636 0,660 0,666 0,666
Sumber : Suripin, 2004
18
100 1,000 4,051 3,973 2,889 3,800 3,705 3,605 3,499 3,388 3,271 3,149 3,022 2,891 2,755 2,615 2,472 2,326 2,178 2,029 1,880 1,733 1,588 1,449 1,318 1,197 1,087 0,990 0,905 0,832 0,769 0,714 0,667
Tabel 2.3 Faktor Penyimpangan (G) untuk distribusi Log-Person III Cs (Koef Penyimpangan) 3,0 2,5 2,2 2,0 1,8 1,6 1,4 1,2 1,0 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0,0 -0,1 -0,2 -0,3 -0,4 -0,5 -0,6 -0,7 -0,8 -0,9 -1,0 -1,2 -1,4 -1,6 -1,8 -2,0 -2,2 -2,5 -3,0
2
5
50 -0,396 -0,360 -0,330 -0,307 -2,282 -0,254 -0,255 -0,195 -0,164 -0,148 -0,132 -0,116 -0,099 -0,083 -0,066 -0,050 -0,033 -0,017 0,000 0,017 0,033 0,500 0,066 0,083 0,099 0,116 0,132 0,148 0,164 0,195 0,255 0,254 0,282 0,307 0,330 0,360 0,396
20 0,420 0,518 0,574 0,609 0,643 0,675 0,705 0,732 0,758 0,769 0,780 0,790 0,800 0,808 0,816 0,824 0,830 0,836 0,842 0,836 0,850 0,853 0,855 0,856 0,857 0,857 0,856 0,854 0,852 0,844 0,832 0,817 0,799 0,777 0,752 0,711 0,636
Kala Ulang (Tahun) 10 25 50 100 Kemungkinan terjadinya banjir (%) 10 4 2 1 1,180 2,278 3,152 4,051 1,250 2,262 3,048 3,845 1,284 2,400 2,970 3,705 1,302 2,219 2,912 3,605 1,318 2,193 2,848 3,499 1,329 2,163 2,780 3,388 1,337 2,128 2,700 3,271 1,340 2,087 2,626 3,149 1,340 2,043 2,542 3,022 1,339 2,018 2,498 2,957 1,336 1,998 2,453 2,891 1,333 1,967 2,407 2,824 1,328 0,939 2,359 2,755 1,323 1,910 2,311 2,686 1,317 1,880 2,261 2,615 1,301 1,849 2,211 2,544 1,292 1,818 2,159 2,472 1,282 1,785 2,107 2,400 1,270 1,751 2,054 2,326 1,258 1,716 2,000 2,252 1,245 1,680 1,945 2,178 1,231 1,643 1,890 2,104 1,216 1,606 1,834 2,029 1,200 1,567 1,777 1,955 1,183 1,528 1,720 1,880 1,166 1,488 1,663 1,806 1,147 1,448 1,606 1,733 1,128 1,407 1,549 1,660 1,086 1,366 1,492 1,588 1,086 1,282 1,379 1,449 1,041 1,198 1,270 1,318 0,994 1,116 1,166 1,197 0,945 1,035 1,069 1,087 0,895 0,959 0,980 0,990 0,844 0,888 0,900 0,905 0,771 0,793 0,798 0,799 0,660 0,666 0,666 0,667
200
1000
0,5 4,970 4,652 4,444 4,298 4,147 3,990 3,828 3,661 3,489 3,401 3,312 3,223 3,132 3,041 2,949 2,856 2,763 2,970 2,576 2,482 2,388 2,294 2,201 2,108 2,016 1,926 1,837 1,749 1,664 1,501 1,351 1,216 1,097 0,995 0,907 0,800 0,667
0,1 7,250 6,600 6,200 5,910 5,660 5,390 5,110 4,820 4,540 4,359 4,250 4,105 3,960 3,815 3,670 3,525 3,380 3,235 3,090 2,950 2,810 2,675 2,540 2,400 2,275 2,150 2,035 1,910 1,800 1,625 1,465 1,280 1,130 1,000 0,910 0,802 0,668
Sumber : Soemarto, 1995
19
4. Distribusi Gumbel Gumbel menggunakan harga ekstrim untuk menunjukkan bahwa dalam deret harga-harga ekstrim X1, X2, X3,…Xn mempunyai fungsi distribusi eksponensial ganda. Xt = X + S * K 𝐾=
(2.17)
𝑌𝑡−𝑌𝑛
(2.18)
Sn
Dimana : X
= harga rata-rata sampel
S
= standar deviasi (simpangan baku) sampel
Yt = reduced variate sebagai fungsi periode ualang “T” tahun. 𝑌𝑡 = −ln {−𝑙𝑛
𝑇𝑟−1 Tr
}
(2.19)
Sn = reduced standart deviation yang tergantung dari jumlah data Yn = reduced mean yang juga tergantung dari jumlah data Untuk besaran K, Sn, Yn, Yt dapat dilihat pada tabel 2.3 sampai dengan tabel 2.6. Tabel 2.4 Faktor Frekuensi untuk Nilai Ekstrim (K) Kala Ulang (tahun) n 10 20 25 50 75 15 1,703 2,410 2,632 3,321 3,721 20 1,625 2,302 2,517 3,179 3,563 25 1,575 2,235 2,444 3,088 3,463 30 1,541 2,188 2,393 3,026 3,393 40 1,495 2,126 2,326 2,943 3,031 50 1,466 2,086 2,283 2,889 3,241 60 1,466 2,059 2,253 2,852 3,200 70 1,430 2,038 2,230 2,824 3,169 75 1,432 2,029 2,220 2,812 3,155 100 1,401 1,998 2,187 2,770 3,109
100 4,005 3,836 3,729 3,653 3,554 3,491 3,446 3,413 3,400 3,349
1000 6,265 6,006 5,842 5,727 5,476 5,478 5,359 5,261
Sumber : Suripin, 2004
20
Tabel 2.5 Simpangan Baku Tereduksi (Sn) n 0 1 2 3 10 0,94 0,96 0,98 0,99 20 1,06 1,06 1,07 1,08 30 1,11 1,11 1,11 1,12 40 1,14 1,14 1,14 1,14 50 1,16 1,16 1,16 1,16 60 1,17 1,17 1,17 1,17 70 1,18 1,18 1,18 1,18 80 1,19 1,19 1,19 1,19 90 1,20 1,20 1,20 1,20 100 1,20
4 1,00 1,08 1,12 1,14 1,16 1,18 1,18 1,19 1,20
5 1,02 1,09 1,12 1,15 1,16 1,18 1,18 1,19 1,20
6 1,03 1,09 1,13 1,15 1,16 1,18 1,19 1,19 1,20
7 1,04 1,10 1,13 1,15 1,17 1,18 1,19 1,19 1,20
8 1,04 1,10 1,13 1,15 1,17 1,18 1,19 1,19 1,20
9 1,05 1,10 1,13 1,15 1,17 1,18 1,19 1,20 1,20
4 ,510 ,529 ,539 ,545 ,550 ,553 ,555 ,557 ,559
5 ,512 ,530 ,540 ,546 ,550 ,553 ,555 ,558 ,559
6 ,515 ,532 ,541 ,546 ,550 ,553 ,556 ,558 ,559
7 ,518 ,533 ,541 ,547 ,551 ,554 ,556 ,558 ,559
8 ,520 ,534 ,542 ,547 ,551 ,554 ,556 ,558 ,559
9 ,522 ,532 ,543 ,548 ,551 ,554 ,556 ,558 ,559
Sumber : Suripin 2004
Tabel 2.6 Rata-rata Tereduksi (Yn) n 0 1 2 10 ,495 ,499 ,503 20 ,532 ,525 ,526 30 ,536 ,537 ,538 40 ,543 ,544 ,544 50 ,548 ,549 ,549 60 ,552 ,552 ,552 70 ,554 ,555 ,555 80 ,556 ,557 ,557 90 ,558 ,558 ,558 100 ,560
3 ,507 ,528 ,538 ,545 ,549 ,553 ,555 -0,557 ,559
Sumber : Suripin 2004
Tabel 2.7 Hubungan antara Kala Ulang dengan Faktor Reduksi (Yt) Kala Ulang Faktor Reduksi (Yt) (tahun) 2 0,3665 5 1,4999 10 2,2502 25 3,1985 50 3,9019 100 4,6001 Sumber : Suripin, 2004
21
2.2.3 Pengeplotan Data Pengeplotan data pada kertas probabilitas merupakan nilai probabilitas yang dimiliki oleh masing-masing data yang diplot. Banyak metode yang telah dikembangkan untuk menentukan posisi pengeplotan yang sebagian besar dibuat secara empiris. Untuk keperluan penentu posisi ini, data hidrologi (hujan atau banjir) yang telah ditabelkan diurutkan dari besar ke kecil (berdasarkan peringkat m), dimulai dengan m = 1 untuk data dengan nilai tertinggi dan m=n (n adalah jumlah data) untuk data dengan nilai terkecil. Periode ulang Tr dapat dihitung dengan persamaan Weibull, yaitu : 𝑚
𝑇𝑟 = n−1
(2.20)
dengan : m = nomor urut (peringkat) data setelah diurutkan dari besar ke kecil n
= banyak data atau jumlah kejadian (event)
2.2.4 Uji Kecocokan Diperlukan penguji parameter untuk menguji kecocokan distribusi frekuensi sampel data terhadap distribusi peluang yang diperkirakan dapat menggambarkan atau mewakili distribusi frekuensi tersebut. Pengujian parameter yang sering dipakai adalah Chi-kuadrat dan SmirnovKolmogorov. 1.
Uji Chi – kuadrat Uji Chi – kuadrat dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan distribusi yang telah dipilih dapat mewakili distribusi statistik sampel data yang dianalisis. Pengambilan keputusan uji ini menggunakan parameter X2, yang dapat dihitung dengan rumus berikut : 𝑋ℎ2 = ∑𝐺𝑖=1
(𝑂𝑖−𝐸𝑖)2 𝐸𝑖
(2.21)
dengan : Xh2 = parameter chi-kuadrat terhitung G
= jumlah sub kelompok
Oi
= jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok i
Ei
= jumlah nilai teoritis pada sub kelompok i
22
Jumlah kelas distribusi dihitung dengan persamaan Strurges : K
= 1 + 3,332 log n
Dengan : K = jumlah kelas n = jumlah data Derajat bebas (number of degrees of freedom) V=K–h–1 Dimana h = jumlah parameter = 2 Interpretasi hasil uji adalah sebagai berikut : a. Apabila peluang lebih dari 5%, maka persamaan distribusi yang digunakan dapat diterima, b. Apabila peluang kurang dari 1%, maka persamaan distribusi yang digunakan tidak dapat diterima, c. Apabila peluang berada diantara 1-5% , maka tidak mungkin mengambil keputusan, diperlukan tambahan data. 2. Uji Smirnov – Kolmogorov Uji kecocokan Smirnov-Kolmogorov sering disebut juga dengan uji kecocokan non parametik, karena pengujiannya tidak menggunakan fungsi distribusi tertentu. Proseedur pelaksanaannya adalah sebagai berikut : 1) Urutkan data (dari besar ke kecil atau sebaliknya) dan tentukan besarnya peluang dari masing-masing data tersebut. X1 = P (X1) X2 = P (X2) X3 = P (X3), dan seterusnya. 2) Urutkan
nilai
masing-masing
peluang
teoritis
dari
hasil
penggambaran data (persamaan distribusinya). X1 = P’ (X1) X2 = P’ (X2) X3 = p’ (X3), dan seterusnya. 3) Dari kedua nilai peluang tersebut, tentukanlah selisih terbesarnya antara peluang pengamatan dengan peluang teoritis. D maksimum = (P (Xn) – P’ (Xn)
(2.23)
23
4) Berdasarkan tabel nilai kritis (Smirnov-Kolmogorov test) tentukan harga Do dari tabel 2.8.
Tabel 2.8 Nilai kritis untuk uji Smirnov-Kolmogorov. Derajat Kepercayaan, α N 0,2 0,1 0,05 0,01 5 0,45 0,51 0,56 0,67 10 0,32 0,37 0,41 0,19 15 0,27 0,3 0,34 0,4 20 0,23 0,26 0,29 0,36 25 0,21 0,24 0,27 0,32 30 0,19 0,22 0,24 0,29 35 0,18 0,2 0,23 0,27 40 0,17 0,19 0,21 0,25 45 0,16 0,18 0,2 0,24 50 0,15 0,17 0,19 0,23 1,07 1,22 1,36 1,63 N > 50 0,5 0,5 0,5 N N N N 0,5 Sumber : Suripin, 2004
2.2.5 Analisis Intensitas Hujan Intensitas hujan adalah tinggi atau kedalaman air hujan per satuan waktu. Sifat umum hujan adalah makin singkat hujan berlangsung, intensitasnya cenderung makin tinggi dan makin besar periode ulangnya makin tinggi pula intensitasnya. Hubungan antara intensitas, lama hujan dan frekuensi hujan biasanya dinyatakan dalam lengkung Intensitas – Durasi – Frekuansi (IDF/Intensity-Duration-Frequency Curve). Diperlukan data hujan jangka pendek, misalnya 5 menit, 10 menit, 30 menit, 60 menit, dan jamjaman untuk membentuk lengkung IDF. Data hujan jenis ini hanya dapat diperoleh dari pos penakar hujan otomatis. Selanjutnya berdasarkan data hujan jangka pendek tersebut lengkung IDF dapat dibuat dengan salah satu dari beberapa persamaan berikut (Suripin, 2004) : 1.
Rumus Talbot (1881) Rumus ini banyak digunakan karena mudah diterapkan dan tetapantetapan a dan b ditentukan dengan harga-harga yang terukur. 𝑎
𝐼 = t+b
(2.24)
24
Dimana : I
= Intensitas hujan (mm/jam)
t
= lamanya hujan (jam)
a dan b = konstranta yang tergantung pada lama terjadinya DAS. 𝑎= 𝑏=
2.
∑[𝐼.𝑡] ∑[𝐼 2 ]−∑[𝐼 2 .𝑡] ∑[𝐼] 𝑁 ∑[𝐼 2 ]−[∑.𝐼]2 ∑ 𝐼.∑[𝐼.𝑡]−∑[𝐼 2 .𝑡] 𝑁 ∑[𝐼 2 ]−[∑.𝐼]2
(2.25) (2.26)
Rumus Sherman (1905) Rumus ini mungkin cocok untuk jangka waktu curah hujan yang lamanya lebih dari 2 jam. 𝑎
𝐼 = t𝑛
(2.27)
Dimana : I = intensitas hujan (mm/jam) t = lamanya hujan (jam) n = konstanta log 𝑎 = 𝑛=
3.
∑ log 𝐼. ∑[log 𝑡]2 −∑[log 𝑡.log 𝐼] ∑ log 𝑡 𝑁 ∑[log 𝑡]2 −[∑ log 𝑡]2
∑ log 𝐼. ∑ log 𝑡−𝑁 ∑[log 𝑡.log 𝐼] 𝑁 ∑[log 𝑡]2 −[∑ log 𝑡]2
(2.28) (2.29)
Rumus Ishiguro (1953) 𝐼=
𝑎
(2.30)
√t+𝑏
Dimana : I
= intensitas hujan (mm/jam)
t
= lamanya hujan (jam)
a dan b = konstanta 𝑎= 𝑏=
∑[𝐼.√𝑡] ∑[𝐼 2 ]−∑[𝐼 2 .√𝑡] ∑[𝐼] 𝑁 ∑[𝐼 2 ]−[∑.𝐼]2 ∑ 𝐼.∑[𝐼.√𝑡]−∑[𝐼 2 .√𝑡] 𝑁 ∑[𝐼 2 ]−[∑.𝐼]2
(2.31) (2.32)
Apabila data hujan jangka pendek tidak tersedia, yang ada hanya data hujan harian, maka intensitas hujan dapat dihitung dengan rumus Mononobe. 25
2
𝐼=
𝑅24 24 3 [ ] 24 𝑡𝑐
(2.33)
Dimana : I
= Intensitas hujan (mm/jam)
t
= lamanya hujan (jam)
R24 = curah hujan maksimum harian (selama 24 jam) (mm).
2.2.6 Analisis Debit Rencana Ada beberapa metode untuk memperkirakan laju aliran puncak (debit banjir). Metode yang dipakai di suatu lokasi lebih banyak ditentukan oleh ketersediaan data. Metode yang digunakan adalah Metode Hidrograf dan Non Hidrograf. 1. Metode Hidrograf Hidrograf dapat didefinisikan sebagai hubungan antara salah satu unsur aliran terhadap waktu. Hidrograf tersusun dari dua komponen, yaitu aliran permukaan yang berasal dari aliran langsung air hujan, dan aliran dasar (base flow). Aliran dasar berasal dari air tanah yang ada pada umumnya tidak memberikan respon yang cepat terhadap hujan. Hujan juga dapat dianggap terbagi dalam dua komponen, yaitu hujan efektif dan kehilangan (losses). Hujan efektif adalah bagian hujan yang menyebabkan terjadinya aliran permukaan. Kehilangan hujan merupakan bagian hujan yang menguap, masuk ke dalam tanah kelembaban tanah, dan simpanan air tanah. (Suripin, 2004) Metode Hidrograf dapat dibagi menjadi dua yaitu Hidrograf Satuan dan Hidrograf Satuan Sintetis. Untuk Hidrograf Satuan memerlukan rekaman data limpasan dan data hujan. Padahal sering dijumpai beberapa DAS tidak memiliki sama sekali catatan limpasan. Dalam kondisi seperti itu, Hidrograf Satuan Sintetis dapat digunakan. Penurunan Hidrograf Satuan Sintetis berdasarkan pada karakteristik fisik dari DAS. Hidrograf Satuan Sintetis dapat digunakan dengan salah satu dari beberapa metode, yaitu Metode Snyder, Metode SCS (Soil Conservation Service), Metode Gama I dan Metode Nakayasu. Dalam hal ini, yang akan dibahas adalah Metode SCS.
26
Hidrograf SCS (Soil Conservation Service) adalah hidrograf satuan sintetis , dimana debit dinyatakan sebagai nisbah debit q terhadap titik puncak qp dan waktu dalam nisbah waktu t terhadap waktu naik hidrograf satuan Tp. Jika debit puncak dan waktu kelambatan dari suatu durasi hujan efektif diketahui, maka hidrograf satuan dapat diestimasi dari hidrograf sintetis SCS. Harga qp dan Tp dapat diperkirakan dari model sederhana hidrograf satuan segitiga. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut : 𝑡𝑝 = 0,6 ∙ 𝑇𝑐
(2.34)
𝑇𝑝 = 0,5 ∙ 𝑡𝑟 + 𝑡𝑝
(2.35)
𝑞𝑝 =
0,208 ∙ 𝐴 𝑇𝑝
(2.36)
𝑡𝑏 = 2,67 ∙ 𝑇𝑝
(2.37)
𝑄𝑝 = 𝐼 ∙ 𝑞𝑝
(2.38)
Keterangan : tp = kelambatan DAS (jam) Tc = waktu konsentrasi (jam) Tp = waktu puncak (jam) tr = durasi hujan efektif (jam) qp = debit puncak per satuan luas (m3/dt.cm) Qp = debit maksimum (m3/dt)
27
q (m /dt.cm) 1
tp
2 tr
qp
t (jam)
tr Tp
1,67 Tp
Gambar 2.4 Grafik Hidrograf Segitiga SCS
2. Metode Rasional Metode rasional umum yang di pakai untuk memperkirakan laju aliran permukaan puncak adalah metode Rasional USSCS (1973). Metode ini sangat simple dan mudah penggunaanya, namun penggunaanya terbatas untuk DASDAS ukuran kecil yaitu kurang dari 300 ha (Goldman et.al, 1986). Karena model ini merupakan model kotak hitam, maka tidak dapat menerangkan hubungan curah hujan dan aliran permukaan dalam bentuk hidrograf. Persamaan matematik metode rasional dinyatakan dalam bentuk : Qp = 0,2778 C I A
(2.39)
Dimana Qp
= laju aliran permukaan (debit) puncak (m3/detik)
C
= koefisien aliran permukaan (0 ≤ C ≤ 1)
I
= intensitas hujan (mm/jam)
A
= luas DAS (km2)
28
Tabel 2.9 Koefisien Aliran Permukaan untuk Metode Rasional Deskripsi lahan/karakter permukaan Koefisien aliran (C) Business Perkotaan
0,70 - 0,95
Pinggiran
0,50 - 0,70
Perumahan Rumah tunggal
0,30 - 0,50
Multiunit, terpisah
0,40 - 0,60
Multiunit, tergabung
0,60 - 0,75
Perkampungan
0,25 - 0,40
Apartemen
0,50 - 0,70
Industri Ringan
0,50 - 0,80
Berat
0,60 - 0,90
Perkerasan Aspal dan beton
0,70 - 0,95
Batu bata, paving
0,50 - 0,70
Atap
0,75 - 0,95
Halaman, tanah berpasir Datar 2%
0,05 - 0,10
Rata-rata, 2-7%
0,10 - 0,15
Curam, 7%
0,15 - 0,20
Halaman, tanah berat Datar 2%
0,13 - 0,17
Rata-rata, 2-7%
0,18 - 0,22
Curam, 7%
0,25 - 0,35
Halaman kereta api
0,10 - 0,35
Taman tempat bermain
0,20 - 0,35
Taman, perkuburan
0,10 - 0,25
Hutan Datar, 0-5%
0,10 - 0,40
Bergelombang, 5-10%
0,25 - 0,50
Berbukit, 10-30%
0,30 - 0,60
Sumber : Suripin, 2004
29
2.2.7 Waktu Konsentrassi (tc) Waktu konsentrasi suatu DAS adalah waktu yang di perlukan oleh air hujan yg jauh untuk mengalir dari titik terjauh sampai ke tempat keluaran DAS (titik control) setelah tanah menjadi jenuh dan depresi-depresi kecil terpenuhi. Dalam hal ini diasumsikan bahwa jika durasi hujan sama dengan waktu konsentrasi, maka setiap bagian DAS secara serentak telah menyumbangkan aliran terhadap titik kontrol. Salah satu metode untuk memperkirakan waktu konsentrasi adalah rumus yang di kembangkan oleh Kirpich (1940), yaitu : 0,87×𝐿2
0,385
𝑡𝑐 = ( 100×𝑆 ) 𝑆=L
∆𝐻
(2.40) (2.41)
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙
Dimana : tc
= waktu konsentrasi (jam)
L
= panjang lintasan aliran di atas permukaan lahan (meter)
S
= kemiringan saluran
ΔH = selisih ketinggian antara tempat terjauh dan tempat pengamatan (meter) Selain rumus Kiprich, ada beberapa rumus waktu konsentrasi lain, yaitu : 1. California Culvert practice (1942) 𝑡𝑐 = 60 (
11,9 𝐿3 𝐻
0,385
)
(2.42)
Dimana : tc
= waktu konsentrasi (jam)
L
= panjang aliran sungai (meter)
H
= selisih ketinggian antara saluran pembagi dan saluran pembuang (meter)
2. Federal Aviation Administration (FAA, 1970) 𝑡𝑐 =
41,025(0,0007𝑖+𝑐)𝐿 0,33 𝑆 0,333 𝑖 0,667
(2.43)
Dimana : tc
= waktu konsentrasi (jam)
30
L
= panjang aliran sungai (meter)
i
= intensitas hujan (mm/jam)
c
= koefisien perlambatan
S
= kemiringan aliran
3. Kinematic wave formulas (1965) 𝑡𝑐 =
0,94 𝐿 0,6 .𝑛0,6
(2.44)
𝑖 0,4 . 𝑆 0,3
Dimana : tc
= waktu konsentrasi (jam)
L
= panjang aliran sungai (meter)
i
= intensitas hujan (mm/jam)
n
= koefisien kekasaran dinding
S
= kemiringan lintasan aliran
Suripin (2004) juga menyatakan bahwa waktu konsentrasi dapat dihitung dengan membedakannya menjadi dua komponen, yaitu : 1. Waktu yang diperlukan air untuk mengalir di permukaan lahan sampai saluran terdekat (to) 2. Waktu perjalanan dari pertama masuk saluran sampai titik keluaran (td), sehingga : tc = to + td
(2.45)
dengan : 2
𝑡𝑜 = [3 × 3,28 × 𝐿 ×
𝑛 √𝑆
] menit
(2.46)
dan 𝐿
𝑡𝑑 = 60𝑆.𝑉 menit
(2.47)
Dimana : n
= angka kekasaran manning
S
= kemiringan lahan
L
= panjang lintasan aliran di atas permukaan lahan (meter)
Ls = panjang lintasan aliran di dalam saluran (meter) V
= kecepatan aliran di dalam saluran (detik)
31
2.3 Hidraulika Aliran air dalam suatu saluran dapat berupa aliran saluran terbuka maupun aliran pipa. Kedua jenis aliran tersebut sama dalam banyak hal, namun berbeda dalam satu hal penting. Menurut Chow (1989), aliran saluran terbuka harus memiliki permukaan bebas (free surface), sedangkan aliran pipa tidak demikian karena air harus mengisi seluruh saluran. Meskipun kedua jenis aliran ini hampir sama, penyelesaian masalah aliran dalam saluran terbuka jauh lebih sulit dibandingkan dengan aliran pipa tekan. Kondisi saluran terbuka yang rumit berdasarkan kenyataan bahwa kedudukan permukaan cenderung berubah sesuai waktu dan ruang, dan juga bahwa kedalaman aliran, debit, kemiringan dasar saluran dan permukaan bebas adalah tergantung satu sama lain. 2.3.1 Penampang Saluran Penampang hidrolik terbaik adalah penampang yang mempunyai keliling basah terkecil pada luas penampang tertentu yang akan memberikan aliran yang maksimum atau penampang saluran memberikan luas penampang aliran (penampang basah) terkecil pada debit aliran tertentu dimana bentuk penampang saluran akan dapat berpengaruh terhadap besarnya debit aliran yang dapat diangkut/dialirkan oleh saluran (Suripin, 2004). Disamping untuk meningkatkan kapasitas saluran, bentuk penampang saluran juga dapat disesuaikan dengan fungsi saluran tersebut dibuat. Adapun bentuk-bentuk saluran yang dikaitkan dengan fungsi saluran adalah sebagai berikut : a. Bentuk penampang persegi panjang apabila dilihat pada bagian dinding saluran dapat digunakan sebagai dinding penahan serta ruang untuk saluran sangat terbatas. b. Bentuk
penampang
lingkaran
atau
parabola.
Walaupun
pembuatannya relatif agak sulit tetapi apabila dilihat dari fungsi saluran cukup efektif untuk menalirkan bahan endapan, serta adanya fluktuasi debit aliran atau untuk mengalirkan air limbah. c. Bentuk penampang tersusun dibuat apabila lahan terbatas untuk saluran atau fungsi saluran mengalirkan air limbah dan air hujan (tercampur). Penampang tersusun dapat dibuat kombinasi antara
32
empat persegi panjang dengan setengah lingkaran atau persegi panjang dengan setengah lingkaran atau persegi panjang dengan segitiga dibagian bawah dan sebagainya. Pemilihan bentuk penampang saluran dalam praktek harus dilakukan sedemikian rupa sehingga sedapat mungkin dipenuhi aspek ekonomis penampang saluran dalam arti kata dengan luas penampang tertentu mampu mengalirkan debit sebanyak-banyaknya (maksimum), selain juga melihat fungsi saluran, misalnya apabila saluran untuk mengalirkan endapan (Chow, 1959). Menurut Suripin (2004), bentuk-bentuk saluran yang ekonomis adalah sebagai berikut : 1. Penampang Berbentuk Persegi paling Ekonomis Pada penampang melintang saluran berbentuk persegi dengan lebar dasar B dan kedalaman air h (Gambar 2.3), luas penampang basah A dan keliling basah P dapat dituliskan sebagai berikut : A=B.h
(2.48)
atau 𝐴
𝐵=ℎ
(2.49)
P = B + 2h
(2.50)
h
B
Gambar 2.5 Penampang melintang saluran berbentuk persegi panjang
33
Substitusi persamaan (2.36) ke (2.37), maka diperoleh persamaan : 𝐴
𝑃 = ℎ + 2ℎ
(2.51)
Dengan asumsi luas penampang, A, adalah konstan, maka persamaan (2.38) dapat dideferensialkan terhadap h dan dibuat sama dengan nol untuk memperoleh harga P minimum. 𝑑𝑃 𝑑ℎ
𝐴
= − ℎ2 + 2ℎ = 0
(2.52)
Jari-jari hidraulik 𝐴
𝐵.ℎ
𝑅 = 𝑃 = 𝐵+2ℎ
(2.53)
Dalam hal ini, bentuk penampang melintang persegi yang paling ekonomis adalah jika kedalaman air setengah dari lebar dasar saluran, atau jari-jari hidrauliknya setengah dari kedalaman air.
2. Penampang Berbentuk Trapesium yang Ekonomis Luas penampang melintang, A, dan keliling basah, P, saluran dengan penampang melintang yang berbentuk trapesium dengan lebar dasar B, kedalaman air h, dan kemiringan dinding 1 : m (gambar 2.2), dapat dirumuskan sebagai berikut : A = (B + m.h)
(2.54)
𝑃 = B + 2h√𝑚2 + 1
(2.55)
atau 𝐵 = P − 2h√𝑚2 + 1
(2.56)
Nilai B pada persamaan (2.55) disubstitusikan ke dalam persamaan (2.56), maka diperoleh persamaan berikut : 𝐴 = (P − 2h√𝑚2 + 1)ℎ + 𝑚 . ℎ2
(2.57)
atau 𝐴 = P . h − 2 . h2 √𝑚2 + 1 + 𝑚 . ℎ2
(2.58)
Diasumsikan bahwa luas penampang, A, dan kemiringan dinding, m, adalah konstan, maka persamaan (2.45) dapat dideferensialkan terhadap h dan dibuat sama dengan nol untuk memperoleh kondisi P minimum. 𝑑𝐴 𝑑ℎ
= P − 4h√𝑚2 + 1 + 2𝑚ℎ = 0
(2.59)
34
Atau 𝑃 = 4 √𝑚2 + 1 − 2𝑚ℎ
(2.60)
h
1 m
B Gambar 2.6 Penampang melintang saluran berbentuk trapesium
Penampang trapesium yang paling efisien adalah jika kemiringan dindingnya 𝑚 =
1 √3
atau Ө = 60o. Trapesium yang terbentuk berupa setengah
segienam beraturan (heksagonal). 3. Penampang Segitiga yang Ekonomis Pada potongan melintang saluran yang berbentuk segitiga dengan kemiringan sisi terhadap garis vertikal, Ө, dan kedalaman air, h (gambar 2.3), maka penampang basah, A, keliling basah, P, dapat ditulis sebagai berikut : A = h2 tanθ 𝑃=
2√𝐴 √𝑡𝑎𝑛𝜃
(2.61)
(𝑠𝑒𝑐𝜃)
(2.62)
1
?
?
h
m
Gambar 2.7 Penampang melintang saluran berbentuk segitiga
35
Saluran berbentuk segitiga yang paling ekonomis adalah jika kemiringan dindingnya membentuk sudut 45o dengan garis vertikal (Ө = 45o). Untuk mendapatkan saluran yang ekonomis juga dapat digunakan penampang kombinasi yaitu menggabungkan dua jenis penampang. Salah satunya adalah penampang segiempat (di bagian atas) dan lingkaran (di bagian bawah). Adapun keunggulan dari penampang ini antara lain :
Memiliki penampang basah yang besar
Mengalirkan debit besar dengan kelandaian kecil
Mampu mengalirkan debit dalam jumlah minimal
Dapat melewatkan endapan/sedimen dengan mudah
Saluran air menjadi lancar dan genangan dapat dikurangi
Kombinasi antara segi empat pada bagian atas dan setengah lingkaran pada bagian bawah (Suripin, 2004)
t
h1
h2
B
Gambar 2.8 Kombinasi penampang saluran
Keterangan : t
= tinggi jagaan
h
= kedalaman air
b
= lebar saluran
36
2.3.2 Kekasaran Dinding Saluran Rumus kecepatan menurut Manning (1889) : 2
1
1
𝑉 = 𝑛 𝑅3 𝐼2
(2.63)
Keterangan : R
= jari-jari hidrolik (m)
V
= kecepatan aliran (m/dt)
I
= kemiringan memanjang dasar saluran
n
= koefisien kekasaran menurut Manning yang besarnya tergantung dari bahan dinding saluran yang dipakai. Semakin kecil nilai n, maka semakin besar kecepatan aliran tersebut. Apabila bentuk rumus Manning diubah menjadi rumus Chezy maka
besarnya C adalah sebagai berikut : 1
𝐶=
𝑅6 𝑛
(2.64)
Keterangan : C
= Koefisien Chezy
R
= jari-jari hidrolik (m)
n
= koefisien kekasaran menurut Manning yang besarnya tergantung dari bahan dinding saluran yang dipakai Menurut Chow (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi kekasaran
Manning adalah sebagai berikut : 1)
Kekasaran permukaan, yang ditandai dengan ukuran dan bentuk butiran bahan yang membentuk luas basah dan menimbulkan efek hambatan terhadap aliran. Secara umum dikatakan bahwa butiran halus menyebabkan nilai n yang relatif rendah dan butiran kasar memiliki nilai n yang tinggi.
2)
Tetumbuhan yang juga memperkecil kapasitas saluran dan menghambat aliran.
3)
Ketidakteraturan saluran, yang mencakup pula ketidakteraturan keliling basah dan variasi penampang, ukuran dan bentuk di sepanjang saluran. Secara umum perubahan lambat laun dan teratur dari penampang ukuran dan bentuk tidak terlalu mempengaruhi nilai n, tetapi perubahan
37
tiba-tiba atau peralihan dari penampang kecil ke besar memerlukan penggunaan nilai n yang besar. 4)
Trase saluran, dimana kelengkungan yang landai dengan garis tengah yang besar akan mengakibatkan nilai n yang relatif rendah, sedangkan kelengkungan yang tajam dengan belokan-belokan yang patah akan memperbesar nilai n.
5)
Pengendapan dan penggerusan. Secara umum pengendapan dapat mengubah saluran yang sangat tidak beraturan menjadi cukup beraturan dan memperkecil n, sedangkan penggerusan dapat berakibat sebaliknya dan memperbesar n. Namun efek utama dari pengendapan akan tergantung dari sifat alamiah bahan yang diendapkan.
6)
Hambatan, berupa balok sekat, pilar jembatan dan sejenisnya yang cenderung memperbesar nilai n.
Tabel 2.10 Harga rata-rata n dalam rumus Manning Bahan
n
Besi tulang lapis
0,014
Kaca
0,010
Saluran beton
0,013
Bata dilapis mortar
0,015
Pasangan batu disemen
0,025
Saluran tanah bersih
0,022
Saluran tanah
0,030
Saluran dengan dasar batu dan tebing rumput
0,040
Saluran pada galian batu padas
0,040
Sumber : Triatmodjo, 2003
Nilai yang berupa koefisien atau angka (jari-jari) kekasaran dinding akan sangat berpengaruh pada besarnya kecepatan aliran dan akan berpengaruh terhadap besarnya debit aliran. Semakin kasar dinding akan semakin besar nilai kekasaran dinding dan menghasilkan debit aliran yang semakin kecil dan juga sebaliknya semakin halus dinding akan menghasilkan debit aliran yang semakin tinggi.
38
2.3.3 Kapasitas Saluran Perhitungan
hidraulika
digunakan
untuk
menganalisa
dimensi
penampang berdasarkan kapasitas maksimum saluran. Penentuan dimensi saluran baik yang ada (eksisting) atau yang direncanakan, berdasarkan debit maksimum yang akan dialirkan. Rumus yang digunakan (Suripin, 2004) adalah : Q=A.V
(2.65)
Dimana : Q
= debit banjir rancangan (m3/dt)
A
= luas penampang basah (m2)
V
= kecepatan rata-rata (m/dt)
Dengan : A
= (B + mh) h
(2.66)
P
= B + 2h √(1 + 𝑚2
(2.67)
V
=
𝐴
(2.68)
𝑃
Dengan : B
= lebar dasar saluran (m)
P
= keliling basah saluran (m)
h
= tinggi muka air (m)
m = kemiringan talud saluran
Tabel 2.11 Tinggi Jagaan untuk Saluran Pasangan No 1 2 3 4 5 6
Debit (m3 /dt ) 0,0 - 0,3 0,3 - 0,5 0,5 - 1,5 1,5 - 15,0 15,0 - 25,0 > 25
Tinggi Jagaan (m) 0,3 0,4 0,5 0,6 0,75 1
Sumber : Standar Perencanaan Irigasi, KP-03 (1986)
39
2.4 Kondisi Sungai di Kota Denpasar Kota Denpasar memiliki luas wilayah 12.2778 Ha yang merupakan dataran rendah dengan keadaan topografi yang relatif sangat datar, terletak pada elevasi 5,00 m di atas permukaan laut (dpl) di Selatan dan Tenggara, sampai dengan 75,00 m di atas permukaan laut di sebelah Utara. Permukaan tanah pada umumnya miring ke Selatan dan Tenggara. Pada tahun 2006 penduduk Kota Denpasar berjumlah 583.600 jiwa atau mengalami rata-rata kepadatan penduduk sebesar 1,5% per tahun. Hal itu menyebabkan rata-rata kepadatan penduduk tahun 2006 mencapai 4.567 jiwa/km2. Sebagai pusat pemerintahan dan pendidikan serta pariwisata, tanah di Kota Denpasat sangat berpotensi terjadinya alih fungsi lahan yaitu dari lahan sawah menjadi lahan kering (perumahan, industri, jalan, dan lainlain) dimana jumlah sawah irigasi adalah 21,26%, lahan kering 78,66% dan lahan lain sebesar 0,08%. Perubahan tata guna lahan yang sangat cepat inilah yang berpotensi menimbulkan banjir. (Badan Pusat Statistik, 2007) Menurut Dinas Pekerjaan Umum Kota Denpasar (2007), panjang total saluran drainase di Kota Denpasar adalah 138,2 km, terdiri dari saluran primer sepanjang 58,15 km dan saluran sekunder 80,05 km. Kondisi saluran, 65% baik dan 35% buruk. Pelayanan sistem pembuangan di Kota Denpasar dibagi menjadi 5 sistem, dimana masing-masing sistem terdiri dari beberapa sub sistem. Kelima sistem tersebut antara lain : 1. Sistem I, yang merupakan Sistem Tukad Badung dengan Sub Sistem Klandis, Sub Sistem Tukad Jurang, dan Sub Sistem Medih. 2. Sistem II, yang merupakan Sistem Tukad Ayung dengan sub Sistem Pangengeh, Sub Sistem Tukad Ayung Hulu dan Sub Sistem Tukad Ayung Hilir. 3. Sistem III, yang merupakan Sistem Tukad Mati dengan Sub Sistem Tukad Teba, Sub Sistem Saluran Tukad Padang Sambian, Sub Sistem Jalan Imam Bonjol, dan Sub Sistem Saluran Padan Sambian Kelod. 4. Sistem IV, yang merupakan Sistem Niti Mandala-Suwung dan sekitarnya dengan Sub Sistem Tukad Rangda (Tukad Buaji), Sub Sistem Tukad Punggawa, Sub Sistem Tukad Nganjung, dan Sub Sistem Tukad Loloan.
40
5. Sistem V, yang merupakan Sistem Pemogan dengan Sub Sistem Tukad Pekaseh dan pembagian subak yaitu saluran irigasi yang berubah fungsi menjadi saluran drainase. Setiap sungai-sungai yang terdapat di Kota Denpasar memiliki berbagai permasalahan yang mengakibatkan terjadinya banjir. Permasalahan yang sering terjadi adalah adanya endapan sedimen di sepanjang aliran sungai, tumpukan sampah disepanjang saluran, kerusakan dinding saluran, terbatasnya jalan inspeksi sepanjang saluran dan lain-lain. Hal ini tentu saja menjadi perhatian bagi pemerintah karena dampak yang akan ditimbulkan tentu merugikan bagi masyarakat. Pertambahan jumlah penduduk tidak terlepas dari penyebab terjadinya permasalahan yang ada pada sungai-sungai di Kota Denpasar. Berkurangnya area resapan air yang mengakibatkan melimpasnya air langsung menuju saluran pembuangan sehingga berpengaruh terhadap kapasitas saluran. Banyak rumahrumah yang dibangun di pinggir sungai sehingga tidak memiliki jalan inspeksi di sepanjang sungai yang berfungsi sebagai jalan untuk memantau kondisi saluran. Sampah yang menumpuk di sepanjang aliran sungai turut menambah permasalahan yang terjadi pada sungai di Kota Denpasar. Salah satu sungai yang terdapat di Kota Denpasar adalah Tukad Rangda. Sungai ini berhulu di belakang kampus UNUD di Jalan Sudirman hingga ke bagian hilir yaitu di daerah Suwung. Permasalahan yang terjadi pada sungai ini adalah sering terjadinya banjir pada musim penghujan yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat baik dari segi materiil maupun non materiil. Permasalahan tersebut muncul sebagai akibat dari perkembangan pembangunan fisik yang pesat dan tidak terkontrol yang sangat berdampak pada daerah resapan. Berkurangnya daerah resapan menyebabkan kapasitas saluran drainase menjadi terbatas sehingga fungsi saluran kurang optimal. Permasalahan lainnya adalah penyempitan saluran akibat sampah, material-material bangunan dan sedimentasi, pencemaran akibat limbah rumah tangga, dan tidak berjalannya sistem penangkap sampah dengan baik sehingga sampah pada sungai langsung mengalir ke laut.
41