BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka memuat uraian yang sistematik dan relevan dari fakta, hasil penelitian sebelumnya yang bersifat mutakhir yang memuat teori, konsep, atau pendekatan terbaru yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan. Bagian ini menguraikan tentang teori obedience (kepatuhan), teori atribusi, kecurangan akuntansi, otoritas atasan, locus of control, dan hasil penelitian sebelumnya.
2.1 Teori Obedience (Kepatuhan) Salah satu studi yang paling terkenal tentang teori obedience (kepatuhan) dikemukakan oleh Milgram (1963). Teori obedience (Milgram,1963) menyatakan bahwa individu cenderung patuh pada individu lain dalam posisi otoritas. Adanya kepatuhan ini mengakibatkan individu dapat melakukan hal-hal yang tidak etis sesuai dengan otoritas atasannya. Milgram melakukan sebuah eksperimen untuk menguji tingkat ketaatan seseorang kepada otoritas yang berlaku pada suatu situasi. Milgram mencari tahu tentang seberapa jauh seseorang akan menuruti perintah dari suatu bentuk otoritas yang berada diatasnya pada situasi tertentu, jika perintah tersebut adalah perintah yang akan memberikan dampak menyakitkan kepada orang lain. Penelitian Milgram ini diikuti oleh 40 orang partisipan yang kemudian bertindak sebagai teacher yang bertugas untuk membacakan sekelompok kata berpasangan kepada
kelompok learner yang kemudian mengetes kelompok learner tersebut. Kelompok learner sebenarnya adalah anggota dari tim percobaan Milgram, sedangkan kelompok yang bertindak sebagai teacher adalah subjek sebenarnya dari percobaan ini. Eksperimenter meminta teacher untuk membacakan soal-soal yang akan dijawab oleh learner. Bila salah, learner harus dihukum oleh teacher dengan sengatan listrik. Setiap kali membuat kesalahan, hukuman dinaikkan 15 volt sampai pada batas tertinggi 450 volt walaupun pada kenyataannya kelompok learner sama sekali tidak menerima kejutan listrik. Hasil penelitian ini adalah 65% teacher mematuhi perintah eksperimenter melanjutkan hukuman sampai level tertinggi yaitu 450 volt. Milgram kemudian melanjutkan studi eksperimen hingga mencapai 18 variasi. Dari studi tersebut diperoleh kesimpulan (Milgram, 1974) bahwa individu pada umumnya cenderung mengikuti perintah dari figur yang memiliki otoritas, walaupun sampai membunuh manusia yang tidak berdosa. Kepatuhan terhadap otoritas sudah ada dalam diri manusia sejak manusia tersebut dilahirkan. Individu cenderung mematuhi perintah karena ia memang tahu bahwa hal itu perlu/benar, namun ada juga individu yang melakukan perintah itu karena paksaan atau karena adanya suatu keyakinan bahwa yang bertanggungjawab terhadap perilaku kepatuhan adalah sumber otoritas bukan pada individu yang melakukannya.
2.2 Teori Atribusi Teori
atribusi
menginterpretasikan
suatu
mempelajari peristiwa,
proses mempelajari
bagaimana bagaimana
seseorang seseorang
menginterpretasikan alasan atau sebab perilakunya (Suartana, 2010:181; Luthans, 2005). Teori ini dikembangkan oleh Fritz Heider yang berargumentasi bahwa perilaku seseorang itu ditentukan oleh kombinasi antara kekuatan internal, yaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang misalnya kemampuan atau usaha dan kekuatan eksternal, yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar, seperti kesulitan dalam tugas atau keberuntungan (Suartana, 2010:181; Ikhsan dan Ishak, 2005). Berdasarkan hal itu, maka seseorang termotivasi untuk memahami lingkungannya dan sebab-sebab kejadian tertentu. Dalam penelitian keperilakuan, teori ini diterapkan dengan dipergunakannya variabel locus of control. Variabel tersebut terdiri dari dua komponen yaitu locus of control internal dan locus of control eksternal (Hudayati, 2002). Locus of control internal adalah perasaan yang dialami seseorang bahwa dia mampu secara personal memengaruhi kinerjanya serta perilakunya melalui kemampuan, keahlian dan usaha yang dia miliki. Locus of control eksternal adalah perasaan yang dialami seseorang bahwa perilakunya sangat ditentukan oleh faktor-faktor di luar pengendaliannya (Suartana, 2010:181).
2.3 Kecurangan Akuntansi Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menjelaskan kecurangan akuntansi sebagai: (1) salah saji yang timbul dari kecurangan dalam pelaporan keuangan,
yaitu salah saji atau penghilangan secara sengaja jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan untuk mengelabui pemakai laporan keuangan, (2) salah saji yang timbul dari perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva (sering kali disebut dengan penyalahgunaan atau penggelapan) yang berkaitan dengan pencurian aktiva entitas yang berakibat laporan keuangan tidak disajikan sesuai dengan Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum (PABU) di Indonesia. Perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva entitas dapat dilakukan dengan berbagai cara, termasuk penggelapan tanda terima barang atau uang, pencurian aktiva, atau tindakan yang menyebabkan entitas membayar barang atau jasa yang tidak diterima oleh entitas. Perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva dapat disertai dengan catatan atau dokumen palsu atau yang menyesatkan dan dapat menyangkut satu atau lebih individu di antara pegawai atau pihak ketiga. Perspektif kecurangan menurut Bologna (1993) dalam Harahap (2013:4) dari sudut pandang akuntansi dan audit, kecurangan adalah penggambaran yang salah dari fakta material dalam buku besar atau laporan keuangan. Pernyataan yang salah dapat ditujukan pada pihak luar organisasi, seperti pemegang saham atau kreditor, atau pada organisasi itu sendiri dengan cara menutupi atau menyamarkan penggelapan uang, ketidakcakapan, penerapan dana yang salah atau pencurian atau penggunaan aktiva organisasi yang tidak tepat oleh petugas, pegawai dan agen. Kecurangan dapat juga ditujukan pada organisasi oleh pihak luar, misalnya, penjual, pemasok, kontraktor, konsultan dan pelanggan, dengan cara penagihan yang berlebihan, dua kali penagihan, substitusi material yang lebih rendah mutunya,
pernyataan yang salah mengenai mutu dan nilai barang yang dibeli, atau besarnya kredit pelanggan. Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) sebagai salah satu asosiasi di Amerika Serikat yang melakukan usaha pencegahan dan pemberantasan kecurangan akuntansi mengkategorikan kecurangan dalam tiga kelompok, yaitu : a. Kecurangan laporan keuangan (financial statement fraud) Tindakan yang dilakukan oleh pejabat atau eksekutif suatu perusahaan atau instansi pemerintah untuk menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya dengan melakukan rekayasa keuangan dalam penyajian laporan keuangannya untuk memperoleh keuntungan. b. Penyalahgunaan aset (asset misappropriation) Penyalahgunaan/pencurian aset atau harta perusahaan atau pihak lain. Ini merupakan bentuk kecurangan yang paling mudah dideteksi karena sifatnya yang dapat diukur/dihitung (defined value). c. Korupsi (corruption) Jenis kecurangan ini yang paling sulit dideteksi karena menyangkut kerja sama dengan pihak lain. Kecurangan jenis ini yang terbanyak terjadi di negara-negara berkembang yang penegakan hukumnya lemah dan masih kurang kesadaran akan tata kelola yang baik sehingga faktor integritasnya masih dipertanyakan. Bentuk-bentuk korupsi antara lain: penyalahgunaan wewenang/konflik kepentingan (conflict of interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak sah/ilegal (ilegal gratuities), dan pemerasan secara ekonomi (economic extortion).
Adapun definisi fraud menurut BPK RI (2007) adalah sebagai satu jenis tindakan melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja untuk memperoleh sesuatu dengan cara menipu. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP menyebutkan beberapa pasal yang mencakup pengertian fraud seperti : a. Pasal 362: Pencurian adalah mengambil sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum. b. Pasal 368: Pemerasan dan Pengancaman adalah menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang maupun menghapuskan piutang. c. Pasal 372: Penggelapan adalah dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan. d. Pasal 378: Perbuatan Curang adalah menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang. e. Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 yang secara khusus diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
Dari definisi di atas, terkandung aspek dari fraud adalah penipuan (deception), ketidakjujuran (dishonest) dan niat (intent). Cressey (1953) dalam Tjahjono dkk. (2013:28) mengemukakan tiga penyebab fraud atau yang disebut fraud triangle, yaitu : a. Tekanan (unshareable pressure/ incentive) Tekanan melakukan fraud, antara lain faktor ekonomi, alasan emosional (iri/ cemburu, balas dendam, kekuasaan, gengsi), nilai (values) dan karena dorongan keserakahan. Menurut SAS No. 99, terdapat empat jenis kondisi yang umum terjadi pada pressure yang dapat mengakibatkan kecurangan. Kondisi tersebut adalah financial stability, external pressure, personal financial need, dan financial targets. b. Adanya kesempatan/ peluang (perceived opportunity) Kesempatan yaitu kondisi atau situasi yang memungkinkan seseorang melakukan atau menutupi tindakan tidak jujur. Biasanya hal ini dapat terjadi karena adanya internal control perusahaan yang lemah, kurangnya pengawasan, dan/atau penyalahgunaan wewenang. Di antara elemen fraud triangle, opportunity
merupakan
elemen
yang
paling
memungkinkan
untuk
diminimalisasi melalui penerapan proses, prosedur, dan kontrol serta upaya deteksi dini terhadap fraud. c. Rasionalisasi (rationalization) Rasionalisasi ditunjukkan saat pelaku mencari pembenaran sebelum melakukan kejahatan, bukan sesudah melakukan tindakan tersebut. Rasionalisasi diperlukan agar si pelaku dapat mencerna perilakunya yang ilegal untuk tetap
mempertahankan jati dirinya sebagai orang yang dipercaya, tetapi setelah kejahatan dilakukan, rasionalisasi ini ditinggalkan karena sudah tidak dibutuhkan lagi. Rasionalisasi atau sikap (attitude) yang paling banyak digunakan adalah hanya meminjam (borrowing) asset yang dicuri dan alasan bahwa tindakannya untuk membahagiakan orang-orang yang dicintainya. Fraud triangle ditunjukkan oleh gambar berikut.
Gambar 2.1 Fraud Triangel Sumber : Arens, et al (2008:433)
2.4 Otoritas Atasan Otoritas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kekuasaan yang sah yang diberikan kepada lembaga dalam masyarakat yang memungkinkan para pejabatnya menjalankan fungsinya. Rahman
(2011:83)
menyatakan bahwa otoritas adalah kuasa yang telah sah, dilembagakan, legalitasnya jelas dalam suatu masyarakat atau sistem sosial. Otoritas tersebut berhubungan dengan kekuasaan yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang
yang memiliki hak, wewenang dan legitimasi untuk mengatur, memerintah, memutuskan sesuatu, menegakkan aturan, menghukum atau menjalankan suatu mandat bahkan untuk memaksakan kehendak. Melalui pengertian tersebut, otoritas memiliki kaitan yang sangat erat dengan kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang. Menurut Brehm dan Kassin (1990), individu akan merasakan tekanan untuk patuh terhadap perintah individu lain yang berada pada posisi otoritas. Penelitian Davis, et al (2006) menunjukan bahwa otoritas atasan dapat memberikan efek langsung kepada perilaku tidak etis individu. Atasan yang memberikan otoritas kepada stafnya untuk melakukan kecurangan pelaporan menjadikan otoritas yang diberikan kepada staf tersebut sebagai alasan logis dengan cara merasionalisasi bahwa tindakan kecurangan yang dilakukan oleh staf keuangan dikarenakan otoritas yang diberikan oleh atasannya. Staf yang melakukan kecurangan karena otoritas dari atasannya akan mempersepsikan bahwa tanggungjawab kecurangan akan ditanggung oleh atasannya. Weber (2009:293-301) membedakan otoritas menjadi tiga tipe yaitu otoritas tradisional, otoritas kharismatik, dan otoritas legal rasional. Otoritas tradisional didasarkan pada suatu klaim yang diajukan para pemimpin, dan suatu kepercayaan di pihak para pengikut, bahwa ada kebijakan di dalam kesucian aturanaturan dan kekuasaan kuno. Otoritas ini merupakan otoritas yang terjadi karena adanya penurunan otoritas atau pewarisan posisi. Otoritas kharismatik merupakan sebuah otoritas yang tidak bisa terbeli, dalam artian bahwa kekuasaan yang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu saja, tanpa melihat status ekonomi. Otoritas kharismatik ini berkecenderungan terdapat pada orang-orang pilihan dalam suatu
masyarakat. Otoritas legal rasional merupakan kekuasaan yang jelas legalitasnya. Weber memberikan pandangannya bahwa otoritas legal-rasional yang paling murni adalah birokrasi.
2.5 Locus of Control Spector (1982:482-497) berpendapat bahwa locus of control merupakan variabel utama untuk menjelaskan perilaku manusia dalam organisasi. Locus of control adalah tingkatan dimana individu berkeyakinan bahwa hasil atau peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya tergantung pada perilaku atau karakteristik pribadi mereka (Rotter 1966 dalam Bass, et al, 1999:183-205). Rotter (1966:1-28) membedakan dua orientasi locus of control yaitu locus of control internal dan locus of control eksternal. Orientasi individu dengan locus of control internal berkeyakinan bahwa peristiwa dalam kehidupan dalam diri mereka ditentukan oleh upaya dan perilaku mereka sendiri, sedangkan orientasi individu secara eksternal (locus of control eksternal) berkeyakinan bahwa peristiwa yang terjadi dalam kehidupan mereka ditentukan oleh nasib, kesempatan, dan kekuatan-kekuatan lain yang tidak dapat mereka kendalikan (Jones dan Kavanagh, 1996: 511-523). Menurut Crider (2003) perbedaan karakteristik antara individu dengan locus of control internal dan eksternal adalah sebagai berikut: a. Locus of control internal 1) Suka bekerja keras. 2) Memiliki insiatif yang tinggi.
3) Selalu berusaha untuk menemukan pemecahan masalah. 4) Selalu mencoba untuk berfikir seefektif mungkin. 5) Selalu mempunyai persepsi bahwa usaha harus dilakukan jika ingin berhasil. b. Locus of control eksternal 1) Kurang memiliki inisiatif. 2) Mudah menyerah, kurang suka berusaha karena mereka percaya ada faktor luar yang mengontrol. 3) Kurang mencari informasi. 4) Mempunyai harapan bahwa ada sedikit korelasi antara usaha dan kesuksesan. 5) Lebih mudah dipengaruhi dan tergantung pada petunjuk orang lain. Locus of control merupakan pengendalian diri seseorang untuk bertindak atau tidak bertindak (Trevino, 1986: 601-617). Seseorang yang mempunyai locus of control internal yang tinggi berkeyakinan bahwa perilaku dan tindakannya ditentukan oleh peristiwa-peristiwa dalam hidupnya. Seseorang yang mempunyai locus of control internal berkeyakinan bahwa mereka mengendalikan apa yang terjadi pada mereka. Sebaliknya, seseorang yang mempunyai locus of control eksternal berkeyakinan bahwa kesempatan, nasib, dan pihak lain menentukan apa yang terjadi dalam dirinya. Trevino (1986) juga berpendapat bahwa seseorang dengan locus of control eksternal mungkin kurang bertanggungjawab atas konsekuensi perilaku etis atau tidak etisnya dan lebih berhubungan dengan kekuatan dari luar. Sedangkan seseorang dengan locus of control internal lebih bertanggung jawab atas
konsekuensi perilakunya dan pedoman perilaku baik dan buruknya ditentukan dari dalam diri mereka sendiri. Jones dan Kavanagh (1996) berpendapat bahwa seseorang dengan locus of control eksternal dirasakan kurang bertanggungjawab dengan hasil dari tindakannya dibandingkan seseorang dengan locus of control internal. Seseorang dengan locus of control internal lebih bertanggung jawab dengan hasil dari tindakan atau perilakunya terhadap diri mereka sendiri dan menentukan sendiri mengenai apa yang benar dan salah untuk pedoman perilaku. Oleh karena itu, seseorang dengan locus of control internal cenderung memilih untuk terlibat dalam perilaku etis dan tidak untuk terlibat dalam perilaku tidak etis. Sebaliknya, seseorang dengan locus of control eksternal lebih bertanggung jawab dengan pihak-pihak lain dan faktor-faktor situasional, oleh karena itu mereka cenderung terlibat dalam perilaku tidak etis (Trevino 1986; Jones dan Kavanagh 1996; Trevino dan Youngblood 1990).
2.6 Hasil Penelitian Sebelumnya Studi mengenai faktor-faktor penyebab perilaku kecurangan akuntansi menjadi penting sebagai upaya untuk mengurangi perilaku tersebut. Penelitian mengenai pengaruh otoritas (faktor situasional) yang dilakukan oleh Migram (1963) merupakan penelitian yang paling terkenal. Hasil studinya menyatakan bahwa pada umumnya individu cenderung mengikuti perintah dari figur yang memiliki otoritas dan individu cenderung mematuhi perintah karena ia memang tahu bahwa hal itu perlu/benar, namun ada juga individu yang melakukan perintah
itu karena paksaan atau karena adanya suatu keyakinan bahwa yang bertanggungjawab terhadap perilaku kepatuhan adalah sumber otoritas bukan pada individu yang melakukannya. Penelitian Mayhew dan Murphy (2008) menguji pengaruh kondisi sosial terhadap perilaku kecurangan pelaporan. Penelitian Murphy dan Mayhew (2012) menguji pengaruh otoritas untuk melakukan kecurangan terhadap perilaku kecurangan pelaporan. Kedua penelitian tersebut memberikan hasil bahwa faktor situasional (kondisi sosial dan pengaruh otoritas) berpengaruh terhadap perilaku individu untuk melakukan kecurangan. Faktor individual menjadi penting untuk dipertimbangkan karena proses pengambilan keputusan seseorang tidak dapat dilihat secara parsial hanya dari faktor situasional saja, melainkan juga harus mempertimbangkan faktor yang melekat pada individu yang dapat memengaruhi keputusan yang diambil (Rafinda, 2013:1). Beberapa penelitian yang menguji pengaruh faktor individual seperti penalaran moral dan locus of control terhadap perilaku etis seseorang dilakukan oleh Trevino (1986), Tsui dan Ferdinand (1996), dan Rotter (1996). Beberapa penelitian tersebut menyimpulkan bahwa penalaran moral dan locus of control dari seseorang akan memengaruhi mereka dalam berperilaku etis. Pertimbangan etis seseorang ketika menghadapi dilema etika adalah proses yang komprehensif dan rumit (Pramita, 2014). Kebutuhan mengidentifikasi dan mengukur faktor individual dan interaksi antara faktor situasional dan individual dalam memprediksi perilaku etis menjadi penting untuk memahami bagaimana kedua faktor tersebut mempengaruhi individu dalam melakukan
kecurangan (Kisamore, et al, 2007). Penghadiran dilema etika, yakni faktor situasional dan individual secara bersamaan pada satu situasi yang dihadapi individu akan memberikan gambaran sesungguhnya dari perilaku etis individu tersebut. Rafinda (2013) dalam penelitiannya secara bersamaan menguji interaksi faktor situasional dan individual dalam mempengaruhi kecurangan. Faktor situasional yang digunakan adalah otoritas atasan dan kondisi sosial sedangkan faktor individual mengunakan penalaran moral. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua faktor sama-sama berpengaruh namun faktor situasional memiliki pengaruh lebih kuat untuk melakukan kecurangan. Penelitian lanjutan kemudian dilakukan oleh Pramita (2014) yang juga menguji interaksi faktor situasional dan individual dalam mempengaruhi kecurangan secara bersamaan. Hasil penelitian menemukan bahwa kondisi dimana terdapat otoritas atasan untuk melakukan kecurangan, ditambah lagi adanya retaliasi dari atasan jika perintah tidak dilakukan cenderung akan menjadikan seseorang bertindak untuk tidak etis, yaitu dengan membuat laporan realisasi anggaran yang tidak sesuai. Dalam penelitian ini juga disebutkan bahwa individu dengan locus of control eksternal, pada kondisi mendapat otoritas untuk membuat laporan curang dan mendapat ancaman jika tidak melaksanakan perintah tersebut, akan cenderung untuk berlaku lebih tidak etis, yakni dengan menuruti perintah atasan tersebut untuk membuat laporan curang dibandingkan individu dengan locus of control internal.