BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tinjauan Umum Tanah adalah materi utama yang menerima sepenuhnya penyaluran beban
yang ditimbulkan akibat konstruksi bangunan yang dibuat diatasnya. Tanah yang ada di permukaan bumi mempunyai karakteristik dan sifat yang berbeda-beda, sehingga hal ini merupakan suatu tantangan bagi perekayasa konstruksi untuk memahami perilaku tanah yang dihadapi dalam perencanaan konstruksi dengan jalan melakukan penyelidikan dan penelitian terhadap sifat-sifat yang dimiliki tanah, yang tentunya hasilnya tidak mutlak, tepat dan benar. Akan tetapi paling tidak
kita
dapat
melakukan
pendekatan
secara
teknis
yang
dapat
dipertanggungjawabkan akurasinya dalam perencanaan konstruksi. Di era perkembangan zaman yang semakin modern ini penggunaan pondasi bore pile semakin banyak karena beberapa alasan, oleh sebab itu sangat menarik untuk meninjau perkembangan berbagai pemakaiannya dan pelaksanaan konstruksi jenis pondasi dalam ini, namun demikian pengalaman menunjukkan bahwa pada setiap pekerjaan pondasi bore pile, muncul masalah-masalah spesifik dengan kondisi yang berbeda menyangkut segi pelaksanaan konstruksi maupun hal-hal yang menyangkut daya dukung tanah di lokasi proyek. Dalam pemilihan pondasi sangat dibutuhkan pengetahuan tentang jenis tanah, daya dukung dan
23
penurunan yang akan ditimbulkan dalam batas aman, pengendalian mutu menjadi salah satu kunci penting keberhasilan pondasi bore pile.
2.2.
Penyelidikan Tanah (Soil Investigation) Penyelidikan di lapangan adalah pokok untuk memutuskan apakah suatu
usulan pekerjaan rekayasa layak/patut dan cukup secara ekonomis untuk direncanakan. Penyelidikan lapangan sangat perlu untuk menganalisa keamanan atau kasus keruntuhan pekerjaan pekerjaan yang ada, untuk memilih bahan-bahan dan menentukan metode konstruksi untuk direncanakan yang kemudian dilaksanakan. Penyelidikan tanah dilakukan untuk mengetahui parameterparameter tanah yang dalam hal ini antara lain adalah kompisisi tanah (soil properties), sifat-sifat teknik tanah (soil engineering) serta kandungan mineralogi yang dimiliki oleh tanah. Pengetahuan akan akan paremeter-parameter tanah tersebut sangat diperlukan untuk perencaanan awal desain stabilisasi tanah. Metoda-metoda penyelidikan lapangan sangat luas dalam lingkungan proyek rekayasa dan berbagai jenis lapangan. Pada umumnya, beberapa penyelidikan akan dimulai dengan mengumpulkan dan mempelajari semua data tentang keadaan tanah dan kondisi geologi di lapangan. Pada banyak daerah, keadaan pengetahuan setempat, catatan percobaan lubang galian, lubang bor dan lain-lain disekitarnya serta perilaku struktur yang ada akan sangat membantu. Jika keterangan yang ada tidak cukup atau tidak pasti, maka lapangan diperiksa secara detail.
24
2.3.
Klasifikasi Tanah Klasifikasi tanah sangat diperlukan untuk memberikan gambaran sepintas
mengenai sifat-sifat tanah di dalam perencanaan dan pelaksanaan suatu konstruksi. Dalam mekanika tanah telah banyak dibuat metode pengklasifikasian sesuai dengan dasar yang dipakai untuk mendasari metode yang dibuat. Walaupun terdapat berbagai sistem pengklasifikasian tanah, tetapi tidak satupun dari sistemsistem tersebut yang memberikan penjelasan yang tegas mengenai segala kemungkinan pemakaiannya. Hal ini disebabkan karena tanah memiliki sifat-sifat yang bervariasi. Adapun beberapa metode klasifikasi tanah yang ada antara lain: 1. Klasifikasi Tanah Berdasarkan Tekstur 2. Klasifikasi Tanah Sistem AASHTO 3. Klasifikasi Tanah Sistem UNIFIED
2.3.1. Klasifikasi Tanah Berdasarkan Tekstur Tekstur tanah merupakan keadaan permukaan tanah. Pengaruh daripada ukuran tiap-tiap butir tanah yang ada di dalam tanah tersebut merupakan pembentuk tekstur tanah. Ukuran butir merupakan suatu metode yang jelas untuk mengklasifikasikan tanah dan kebanyakan sistem-sistem klasifikasi terdahulu banyak menggunakan ukuran butir sebagai dasar pembuatan sistem klasifikasi. Tanah tersebut dibagi dalam beberapa kelompok berdasarkan ukuran butir: pasir (sand), lanau (silt), lempung (clay). Dikarenakan deposit tanah alam pada umumnya terdiri atas berbagai ukuran-ukuran partikel, maka perlu sekali untuk membuat suatu aturan berdasarkan distribusi ukuran butir yang kemudian
25
menentukan persentase tanah bagi setiap batasan ukuran. Departemen Pertanian AS telah mengembangkan suatu sistem klasifikasi ukuran butir yang menamakan tanah secara spesifik bergantung dari persentase pasir, lanau dan lempung. Untuk itu dibuat suatu grafik segitiga yang dipergunakan untuk mengklasifikasikan sistem ini. Gambar 2.1. memperlihatkan grafik segitiga yang dipergunakan untuk mengklasifikasikan tanah dengan sistem segitiga ini. Persentase pasir, lanau dan lempung diplotkan pada grafik tersebut dan daerah dimana titik itu terletak akan mengklasifikasikan tanah tersebut. Akan tetapi meskipun ukuran butir ternyata menyajikan cara untuk rnengklasifikasian tanah, namun mempunyai suatu kekurangan. Cara ini tidak memperhitungkan sifat plastisitas tanah yang disebakan adanya kandungan (baik dalam segi jumlah dan jenis) mineral lempung yang terdapat pada tanah. Untuk dapat menafsirkan ciri ciri suatu tanah perlu memperhatikan jumlah dan jenis mineral lempung yang dikandungnya.
Gambar 2.1. Klasifikasi Berdasarkan Tekstur Tanah
26
2.3.2. Klasifikasi Tanah Sistem AASHTO Sistem klasifikasi tanah sistem AASHTO pada mulanya dikembangkan pada tahun 1929 sebagai Public Road Administration Classification System. Guna mengklasifikasikan tanah untuk pemakaian lapisan dasar jalan raya. Sistem ini pada mengklasifikasikan tanah kedalam delapan kelompok, A-1 sampai A-7. Kelompok A-1 dianggap yang paling baik yang sesuai untuk lapisan dasar jalan raya. Setelah diadakan beberapa kali perbaikan, sistem ini dipakai oleh The American Association of State Highway Officials (AASHTO) dalam tahun 1945. Bagan pengklasifikasian sistem ini dapat dilihat seperti pada Tabel 2.1. di bawah. Khusus untuk tanah-tanah yang mengandung bahan butir halus diidentifikasikan lebih lanjut dengan indeks kelompoknya. Indeks kelompok didefinisikan dengan persamaan di bawah.
27
Tabel 2.1 Klasifikasi Tanah Menurut ASSHTO
28
Indeks kelompok = (F -35){ 0,2+ 0,005 (LL-40 ) + 0,0l(F - 15 )(P1 - 10)
Dimana: F
= persen lewat ayakan 0,075 mm ( No.200) dinyatakan dalam angka bulat.
LL
= Batas cair
PI
= Indeks Plastisitas
Indeks kelompok ini selalu dinyatakan dalam bilangan bulat apabila tidak negative. Bila negatif maka dinyatakan sebagai nol. Pada saat menghitung indeks kelompok bagi sub kelompok A-2-6 dan A-2-7, hanya PI saja dan rumus itu yang dipergunakan. Indeks kelompok dituliskan sebagai bagian dan klasifikasi AASHTO. Apabila indeks kelompok bagi tanah A-7-6 dan A-2-7 sama dengan 15, maka klasifikasinya ditulis dengan A-7-6(15). Makin tinggi nilai indeks kelompok makin kurang sesuai bahan tersebut sebagai lapisan dasar. Indeks kelompok menunjukan nilai 0 itu berarti menunjukan suatu material lapis dasar yang bagus dan indeks kelompok 20 atau lebih tingi menunjukan suatu material lapis dasar yang sangat jelek.
2.3.3. Klasifikasi Tanah Sistem UNIFIED Sistem klasifikasi tanah yang paling terkenal di kalangan para ahli teknik tanah dan pondasi adalah klasifikasi sistem UNIFIED. Sistem ini pertama kali diperkenalkan oleh Casagrande dalam tahun 1942 untuk dipergunakan pada
29
pekerjaan pembuatan lapangan terbang yang dilaksanakan oleh The Army Corps Engineers. Sistem ini telah dipakai dengan sedikit modifikasi oleh U.S. Bureau of Reclamation dan U.S Corps of Engineers dalam tahun 1952. Dan pada tahun 1969 American Society for Testing and Material telah menjadikan sistem ini sebagai prosedur standar guna mengklasifikasikan tanah untuk tujuan rekayasa. Sistem UNIFIED membagi tanah ke dalam dua kelompok utama: 1. Tanah berbutir kasar → adalah tanah yang lebih dan 50% bahannya tertahan pada ayakan No. 200. Tanah butir kasar terbagi atas kerikil dengan simbol G (gravel), dan pasir dengan simbol S (sand). 2. Tanah butir halus → adalah tanah yang lebih dan 50% bahannya lewat pada saringan No. 200. Tanah butir halus terbagi atas lanau dengan simbol M (silt), lempung dengan simbol C (clay), serta lanau dan lempung organik dengan simbol O, bergantung pada tanah itu terletak pada grafik plastisitas. Tanda L untuk plastisitas rendah dan tanda H untuk plastisitas tinggi. Adapun simbol simbol lain yang digunakan dalam klasifikasi tanah ini adalah : W = well graded (tanah dengan gradasi baik) P = poorly graded (tanah dengan gradasi buruk) L = low plasticity (plastisitas rendah) (LL < 50) H = high plasticity (plastisitas tinggi) ( LL > 50) Untuk lebih jelasnya klasifikasi sistem UNIFIED dapat dilihat pada bagan Tabel 2.2 dibawah :
30
Tabel 2.2. Sistem Klasifikasi Tanah UNIFIED
31
Tabel 2.2 Lanjutan Sistem Klasifikasi UNIFIED
Gambar 2.2 Grafik Bagian Plastisita
32
2.4.
Pondasi Pondasi dikelompokkan ke dalam 2 bagian, yaitu:
a. Pondasi Dangkal (Shallow Foundation) Terletak pada kedalaman yang dangkal, umumnya kedalaman pondasi dangkal lebih kecil dari panjang atau lebar pondasi. b. Pondasi Dalam (Deep Foundation) Merupakan pondasi yang dipergunakan untuk meneruskan beban ke lapisan tanah yang mampu memikulnya dan letaknya cukup dalam. Menurut Bowles (1997), sebuah pondasi harus mampu memenuhi beberapa persyaratan stabilitas dan deformasi, seperti : a) Kedalaman harus memadai untuk menghindarkan pergerakan tanah lateral dari bawah pondasi khusus untuk pondasi tapak dan pondasi rakit. b) Kedalaman harus berada di bawah daerah perubahan volume musiman yang disebabkan oleh pembekuan, pencairan dan pertumbuhan tanaman. c) Sistem harus aman terhadap penggulingan, rotasi, penggelinciran atau pergeseran tanah. d) Sistem harus aman terhadap korosi atau kerusakan yang disebabkan oleh bahan berbahaya yang terdapat di dalam tanah. e) Sistem harus cukup mampu beradaptasi terhadap beberapa perubahan geometri konstruksi atau lapangan selama proses pelaksanaan dan mudah dimodifikasi seandainya perubahan perlu dilakukan. f) Metode pemasangan pondasi harus seekonomis mungkin.
33
g) Pergerakan tanah keseluruhan (umumnya penurunan) dan pergerakan diferensial harus dapat ditolerir oleh elemen pondasi dan elemen bangunan atas. h) Pondasi dan konstruksinya harus memenuhi syarat standar untuk perlindungan lingkungan.
Jenis-Jenis Pondasi Dalam dan Pemakaiannya
Pada umumnya jenis pondasi dapat diklasifikasikan
berdasarkan
perbandingan lebar dan kedalaman pondasi, untuk jenis pondasi dalam umumnya D/B ≥ 4+ dan jenis-jenisnya antara lain : Tiang pancang mengambang : biasanya dipakai dalam bentuk kelompokkelompok yaitu dua atau lebih. Kondisi tanah terapan yang sesuai yaitu tanah permukaan atau tanah yang dekat dengan permukaan mempunyai daya dukung yang rendah dan tanah yang memenuhi syarat berada pada tempat yang dalam sekali. Keliling tanah terhadap tiang pancang dapat mengembangkan tahanan kulit yang cukup untuk memikul beban rencana. Tiang pancang pendukung : dipakai sama seperti tiang pancang mengambang. Kondisi tanah terapannya yaitu tanah permukaan atau tanah yang dekat dengan permukaan tidak dapat diandalkan untuk tahanan kulit dan biasanya tanah yang memenuhi syarat untuk beban titik berada dalam kedalaman praktis (8-20 m).
34
Pilar dibor atau kaison dibor : dipakai sama seperti tiang pancang tetapi di gunakan dalam jumlah yang lebih irit ( sedikit ), dan beban kolom yang lebih besar. Untuk lebih jelas mengenai jenis-jenis pondasi, dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.3 Pengelompokan Pondasi
35
2.4.1 Pondasi Tiang Pondasi tiang digunakan untuk suatu bangunan yang tanah dasar di bawah bangunan tersebut tidak mempunyai daya dukung (bearing capacity) yang cukup untuk memikul beban berat bangunan dan beban yang diterimanya atau apabila tanah pendukung yang mempunyai daya dukung yang cukup letaknya sangat dalam. Pondasi tiang adalah suatu konstruksi pondasi yang mampu menahan gaya vertikal ke sumbu tiang dengan cara menyerap lenturan. Pondasi tiang dibuat menjadi suatu kesatuan yang monolit dengan menyatukan pangkal tiang yang terdapat di bawah konstruksi dengan tumpuan pondasi. Pondasi tiang ini berfungsi untuk menyalurkan beban – beban yang diterimanya dari konstruksi di atasnya ke lapisan tanah dalam yang mampu memikul berat bangun tersebut. Teknik pemasangan pondasi tiang ini dapat dilakukan dengan pemancangan tiang baja/beton pracetak atau dengan membuat tiang beton bertulang yang langsung dicor di tempat (cast in place) yang sebelumnya telah dibuatkan lubang terlebih dahulu, pondasi ini disebut dengan pondasi bore pile. Pada umumnya pondasi tiang ditempatkan tegak lurus (vertikal) di dalam tanah, tetapi apabila diperlukan dapat dibuat miring agar dapat menahan gaya – gaya horizontal. Sudut kemiringan yang dicapai tergantung dari alat yang digunakan serta disesuaikan dengan perencanaan. Pondasi tiang digunakan untuk beberapa maksud, antara lain : o Untuk meneruskan beban bangunan yang terletak di atas air atau tanah lunak ke tanah pendukung yang kuat.
36
o Untuk meneruskan beban ke tanah yang relatif lunak sampai kedalaman tertentu sehingga pondasi bangunan mampu memberikan dukungan yang cukup untuk mendukung beban tersebut oleh gesekan dinding tiang dengan tanah disekitarnya. o Untuk mengangker bangunan yang dipengaruhi oleh gaya angkat ke atas akibat tekanan hidrostatis atau momen penggulingan. o Untuk menahan gaya-gaya horizontal dan gaya yang arahnya miring. o Untuk memadatkan tanah pasir, sehingga kapasitas dukung tanah tersebut bertambah. o Untuk mendukung pondasi bangunan yang permukaan tanahnya mudah tergerus air.
2.4.2 Penggolongan Pondasi Tiang Pondasi tiang dapat dibagi menjadi 3 kategori, sebagai berikut : 1. Tiang Perpindahan besar (Large Displacement Pile) Tiang perpindahan besar, yaitu tiang pejal atau berlubang dengan ujung tertutup yang dipancang ke dalam tanah sehingga terjadi perpindahan volume tanah yang relative besar. Termasuk dalam tiang perpindahan besar adalah tiang kayu, tiang beton pejal, tiang beton prategang (pejal atau berlubang), tiang baja bulat (tertutup pada ujungnya) 2. Tiang Perpindahan Kecil (Small Displacement Pile) Tiang perpindahan kecil adalah sama seperti tiang kategori pertama hanya volume tanah yang dipindahkan saat pemancangan relatif kecil, contohnya:
37
tiang beton berlubang dengan ujung terbuka, tiang beton prategang berlubang dengan ujung terbuka, tiang baja H, tiang baja bulat ujung terbuka, dan tiang ulir. 3. Tiang Tanpa Perpindahan (Non Displacement Pile) Tiang tanpa perpindahan, terdiri dari tiang yang dipasang di dalam tanah dengan cara menggali atau mengebor tanah. Termasuk dalam tiang tanpa perpindahan adalah bore pile, yaitu tiang beton yang pengecorannya langsung di dalam lubang hasil pengeboran tanah ( pipa baja diletakkan di dalam lubang dan dicor beton) (Hardiyatmo, 2002)
Gambar 2.4 Panjang dan Beban Maksimum untuk Berbagai Macam Tipe Tiang yang Umum Dipakai dalam Praktek menurut Carson Sumber :Djatmiko & Edy, 1997
38
2.4.3. Pondasi Tiang Bor (Bore Pile) Tiang bor dipasang ke dalam tanah dengan cara mengebor tanah terlebih dahulu, kemudian diisi tulangan dan dicor beton. Tiang bor biasanya dipakai pada tanah yang stabil dan kaku, sehingga memungkinkan untuk membentuk lubang yang stabil dengan alat bor. Jika tanah mengandung air, pipa besi dibutuhkan untuk menahan dinding lubang dan pipa ini ditarik ke atas pada waktu pengecoran. Pada tanah yang keras atau batuan lunak, dasar tiang dapat dibesarkan untuk menambah tahanan dukung ujung tiang. Ada berbagai jenis pondasi tiang bor, yaitu : 1. Tiang bor lurus untuk tanah keras. 2. Tiang bor yang ujungnya diperbesar berbentuk bel. 3. Tiang bor yang ujungnya diperbesar berbentuk trapesium.
Gambar 2.5 Jenis - jenis tiang bor (Braja M.Das, 1941) Ada beberapa alasan digunakan pondasi tiang bor dalam konstruksi, yaitu : 1. Tiang bor tunggal dapat digunakan pada kelompok tiang atau pile cap 2. Kedalaman tiang dapat divariasikan. 39
3. Tiang bor dapat dikerjakan sebelum penyelesaian tahapan selanjutnya dalam konstruksi. 4. Proses pengerjaan tiang bor dapat menghindari kerusakan bangunan yang ada disekitarnya. 5. Pada pondasi tiang pancang, proses pemancangan pada tanah lempung akan membuat tanah bergelombang dan menyebabkan tiang pancang sebelumnya bergerak ke samping dan menimbulkan suara serta getaran. Hal ini tidak terjadi pada konstruksi tiang bor. 6. Karena dasar dari tiang bor dapat diperbesar, hal ini memberikan ketahanan yang besar untuk daya dukung. 7. Pondasi tiang bor mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap beban lateral. Beberapa kelemahan dari pondasi tiang bor : 1. Keadaan cuaca yang buruk dapat mempersulit pengeboran dan pembetonan. 2. Pengeboran dapat mengakibatkan gangguan kepadatan, bila tanah berupa pasir atau tanah kerikil. 3. Pengecoran beton sulit apabila dipengaruhi air tanah karena mutu beton tidak dapat dikontrol dengan baik. 4. Pembesaran ujung bawah tiang dapat dilakukan bila tanah berupa pasir. 5. Air yang mengalir ke dalam lubang bor dapat mengakibatkan gangguan tanah, sehingga mengurangi kapasitas dukung tanah terhadap tiang bor. 6. Akan terjadi tanah runtuh (ground loss) jika tindakan pencegahan tidak dilakukan.
40
7. Karena diameter tiang relatif besar dan memerlukan banyak beton, untuk proyek pekerjaan kecil dapat mengakibatkan biaya yang melonjak. 8. Walaupun penetrasi sampai ke tanah pendukung pondasi dianggap telah terpenuhi, terkadang terjadi tiang pendukung kurang sempurna karena adanya lumpur yang tertimbun di dasar tiang. Ditinjau dari segi pelaksanaannya pondasi tiang bor dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu : 1. Sistem Augering Pada sistem ini selain augernya sendiri, untuk kondisi lapangan pada tanah yang mudah longsor diperlukan casing atau bentonite slurry sebagai penahan longsor. Penggunaan bentonite slurry untuk kondisi lapisan tanah yang permeabilitasnya besar tidak disarankan, karena akan membuat banyak terjadinya perembesan melalui lapangan permeable tersebut. 2. Sistem Grabbing Pada penggunaan sistem ini diperlukan casing (continuous semirotary motion casing) sebagai penahan kelongsoran. Casing tersebut dimasukkan ke dalam tanah dengan cara ditekan sambil diputar. Sistem ini sebenarnya cocok untuk semua kondisi tanah, tetapi yang paling sesuai adalah kondisi tanah yang sulit ditembus. 3. Sistem Wash Boring Pada sistem ini diperlukan casing sebagai penahan kelongsoran dan juga pompa air untuk sirkulasi air yang dipakai untuk pengeboran. Sistem ini cocok untuk kondisi tanah pasir lepas. Untuk jenis tiang bor ini perlu
41
diberikan tambahan tulangan praktis untuk penahan gaya lateral yang terjadi. Penulangan minimum 2% dari luas penampang tiang. Ada beberapa pengaruh yang diakibatkan ketika pemasangan bored pile yaitu: 1. Bored pile dalam tanah kohesif Penelitian pengaruh pekerjaan pemasangan bore pile pada adhesi antara dinding tiang dan tanah sekitarnya, menunjukkan bahwa nilai adhesi lebih kecil dari pada nilai kohesi tak terdrainase (undrained cohesion) tanah sebelum pemasangan tiang. Hal ini, adalah akibat dari pelunakan lempung di sekitar dinding lubang. Pelunakan tersebut adalah pengaruh dari bertambahnya kadar air lempung oleh pengaruh – pengaruh air pada pengecoran beton, pengaliran air tanah ke zona yang bertekanan yang lebih rendah di sekitar lubang bor, dan air yang dipakai untuk pelaksanaan pembuatan lubang bor. Pelunakan pada tanh lempung dapat dikurangi jika pengeboran dan pengecoran dilaksanakan dalam waktu 1 atau 2 jam (Palmer and Holland, 1966). Pelaksanaan pengeboran juga mempengaruhi kondisi dasar lubang yang dibuat. Hal ini mengakibatkan pelunakan dan gangguan tanah lempung di dasar lubang, yang berakibat menambah besarnya penurunan. Pengaruh gangguan ini sangat besar terutama bila diameter ujung tiang diperbesar, dimana tahanan ujungnya sebagian ditumpu oleh ujung tiang. Karena itu, penting untuk membersihkan dasar lubang. Gangguan yang lain dapat pula terjadi akibat pemasangan tiang yang tidak baik, seperti : pengeboran yang melengkung,
pemisahan
campuran
beton
saat
pengecoran
dan
42
pelengkungan tulangan beton saat pemasangan. Hal – hal tersebut perlu diperhatikan saat pemasangan.
2. Bored pile pada tanah granuler Pada waktu pengeboran, biasanya dibutuhkan tabung luar (casing) sebagai pelindung terhadap longsoran dinding galian. Gangguan kepadatan tanah terjadi pada saat tabung pelindung ditarik keatas saat pengecoran . Karena itu dalam hitungan bored pile di dalam tanah pasir, tomlinson (1975) menyarankan untuk menggunakan
sudut geser dalam
(ϕ) ultimit dari
contoh tanah terganggu, kecuali jika tiang diletakkan pada kerikil padat dimana dinding lubang yang bergelombang tidak terjadi Jika pemadatan yang seksama diberikan pada beton yang berada di atas tiang, maka gangguan kepadatan tanah dieliminasi sehingga sudut geser dalam (ϕ) pada kondisi padat dapat digunakan, akan tetapi pemadatan tersebut sulit dilaksanakan karena terhalang tulangan beton. 2.4.4 Metode Pelaksanaan Pondasi Bored Pile Metode pelaksanaan pondasi di lapangan sangat dipengaruhi oleh teknologi cangih. Aplikasi teknologi ini banyak diterapkan dalam metode pelaksanaan pekerjaan konstruksi. Penggunaan metode yang tepat, praktis, cepat dan aman sangat membantu dalam penyelesaian pekerjaan pada suatu proyek konstruksi. Sehingga target waktu, biaya dan mutu sebagaimana ditetapkan dapat tercapai. Bahkan, pelaksanaan yang efisien dan efektif
dapat membantu dalam
penggunaan biaya.
43
Secara umum tahapan pekerjaan pondasi tiang bor sebagai berikut : 1.
Persiapan Lokasi Pekerjaan (Site Preparation) Pelajari lay – out pondasi dan titik – titik bored pile, membersihkan lokasi pekerjaan dari gangguan yang ada seperti bangunan, tanaman, pepohonan, tiang listrik/telepon, kabel dan lain sebagainya.
2.
Rute / Alur Pengeboran (Route of Boring) Merencanakan alur/urutan pengeboran sehingga setiap pergerakan mesin RCD, Excavator, Crane dan Truck Mixer dapat termobilisasi tanpa halangan.
3.
Suvey Lapangan dan Penentuan Titik Pondasi (Site Survey and Centering of Pile) Mengukur dan menentukan posisi titik koordinat bored pile dengan bantuan alat Theodolit.
4.
Pemasangan Stand Pipe Stand pipe dipasang dengan ketentuan bahwa pusat dari stand pipe harus berada pada titik as pondasi yang telah disurvei terlebih dahulu. Pemasangan stand pipe dilakukan dengan bantuan excavator (back hoe).
5.
Pembuatan Drainase dan Kolam Air Kolam air berfungsi untuk penampungan air bersih yang akan digunakan untuk pekerjaan pengeboran sekaligus untuk tempat penampungan air bercampur lumpur hasil dari pengeboran. Ukuran kolam air berkisar 3m x 3m x 2,5m dan drainase penghubung dari 44
kolam ke stand pipe berukuran 1,2m, dan kedalaman 0,7 m (tergantung kondisi lapangan). Jarak kolam air tidak boleh terlalu dekat dengan lubang pengeboran, sehingga lumpur dalam air hasil pengeboran mengendap dulu sebelum airnya mengalir kembali ke lubang pengeboran. Lumpur hasil pengeboran yang mengendap di dalam kolam diambil (dibersihkan) dengan bantuan excavator. Prosedur Pengeboran dengan Metode RCD Metode RCD merupakan metode dengan pengeboran sedikit berputar untuk melepaskan
tanah
yang
dibor
dan
air
melalui
bored
pile.
Dengan
memperluas pengeboran pile membuat pengeboran terus menerus berjalan, hal ini efektif dilakukan sehingga tidak perlu untuk mengangkat bucket seperti metode lain. Ketinggian air harus dijaga 2 m lebih tinggi daripada tingkat air bawah tanah untuk mencegah runtuhnya lubang dibor . Jika ketinggian muka air di dalam lubang yang berisi material halus dari air tanah yang dibor sudah cukup penuh, salurkan hingga habis ke kolam pengendapan dan endapkan , hal ini untuk mencegah runtuhnya dinding berongga pada bored pile. Proses sirkulasi air seperti mengirim air ke luar dari pipa dibor, aliran air dengan mudah mengalir, sehingga dinding berongga yang lebih stabil, dan air yang mengalir di dalam pipa menalir dengan cepat, yang membuat tanah dibor habis dengan mudah. Dalam metode RCD, casing, diperlukan untuk mencegah runtuhnya dinding berlubang dan untuk mengamankan tingkat air di dalam lubang.
45
Ada beberapa tahapan yang harus dilaksanakan dalam metode RCD yaitu : 1. Setting Mesin RCD (RCD Machine Instalation) Setelah stand pipe terpasang, mata bor sesuai dengan diameter yang ditentukan dimasukkan terlebih dahulu ke dalam stand pipe, kemudian beberapa buah pelat dipasang untuk memperkuat tanah dasar dudukan mesin RCD (dapat dilihat pada Gambar 2.6), kemudian mesin RCD diposisikan dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Mata bor disambung dengan stang pemutar, dan harus tepat berada pada pusat/as stand pipe (titik pondasi). 2. Pondasi mesin RCD harus tegak lurus terhadap lubang yang akan dibor (yang sudah terpasang stand tube).
Gambar 2.6 Pengoperasian Dasar Metode RCD
Dalam metode RCD, pengeboran sedikit berputar untuk melepaskan tanah yang dibor dan air melalui bore pile. Dengan memperluas pengeboran
46
pile membuat pengeboran terus menerus berjalan, hal ini efektif dilakukan sehingga tidak perlu untuk mengangkat bucket seperti metode lain. Ketinggian air harus dijaga 2 m lebih tinggi daripada tingkat air bawah tanah untuk mencegah runtuhnya lubang dibor. Jika ketinggian muka air di dalam lubang yang berisi material halus dari air tanah yang dibor sudah cukup penuh, salurkan hingga habis ke kolam pengendapan dan endapkan, hal ini untuk mencegah runtuhnya dinding berongga pada bored pile. Proses sirkulasi air seperti mengirim air ke luar dari pipa dibor, aliran air dengan mudah mengalir, sehingga dinding berongga yang lebih stabil, dan air yang mengalir di dalam pipa mengalir dengan cepat, yang membuat tanah dibor habis dengan mudah. Dalam metode RCD, casing, diperlukan
untuk
mencegah
runtuhnya
dinding
berlubang
dan
untuk
mengamankan tingkat air di dalam lubang. 2. Proses Pengeboran (Drilling Work) Setelah letak/posisi mesin RCD sudah benar – benar tegak lurus, maka proses pengeboran dapat dimulai dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Pengeboran dilakukan dengan memutar mata bor kearah kanan, dan sesekali diputar ke arah kiri untuk memastikan bahwa lubang pengeboran benar – benar mulus, sekaligus untuk menghancurkan tanah hasil pengeboran supaya larut dalam air agar lebih mudah dihisap. 2. Proses pengeboran dilakukan bersamaan dengan proses penghisapan lumpur hasil pengeboran, sehingga air yang ditampung pada kolam 47
air harus dapat memenuhi sirkulasi air yang diperlukan untuk pengeboran. 3. Setiap kedalaman pengeboran + 3 meter, dilakukan peyambungan stang bor sampai kedalaman yang diinginkan tercapai. 4. Jika kedalaman yang diinginkan hampir tercapai + 1 meter lagi, maka proses penghisapan dihentikan (mesin pompa hisap tidak diaktifkan),
sementara
pengeboran
terus
dilakukan
sampai
kedalaman yang diinginkan (dapat diperkirakan dari stang bor yang sudah masuk), selanjutnya stang bor dinaikkan sekitar 0,5 – 1 meter, lalu proses penghisapan dilakukan terus sampai air yang keluar dari selang buang kelihatan lebih bersih + 15 menit. 5. Kedalaman pengeboran diukur dengan meteran pengukur, jika kedalaman yang diinginkan belum tercapai maka proses pada langkah ke 4 dilakukan kembali. Jika kedalaman yang diinginkan sudah tercapai maka stang bor boleh diangkat dan dibuka. 3.
Instalasi Tulangan dan Pipa Tremic (Steel Cage and Tremic Pipe Instalation) Tulangan yang digunakan sudah harus tersedia lebih dahulu sebelum pengeboran dilakukan, sehingga proses pengeboran selesai, langsung dilakukan instalasi tulangan, hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kelongsoran dinding lubang yang sudah selesai dibor.
48
Tulangan harus dirakit rapi dan ikatan tulangan spiral dengan tulangan utama harus benar – benar kuat sehingga pada waktu pengangkatan tulangan oleh crane tidak terjadi kerusakan pada tulangan. Proses instalasi tulangan dilakukan sebagai berikut : a. Posisi crane harus benar – benar diperhatikan, sehingga tulangan yang akan dimasukkan benar – benar tegak lurus terhadap lubang bor, dan juga pada waktu pengecoran tidak menghalangi jalan masuk truck mixer. b. Pada tulangan diikatkan dua buah sling, satu buah pada ujung atas tulangan dan satu buah lagi pada bagian sisi memanjang tulangan. Pada bagian dimana sling diikat, ikatan tulangan spiral dengan tulangan utama diperkuat (bila perlu dilas), sehingga pada waktu tulangan diangkat, tulangan tidak rusak (ikatan spiral dengan tulangan utama tidak lepas). Pada setiap sambungan (bagian overlap) sebaiknya dilas, karena pada proses pengecoran, sewaktu pipa tremie dinaikkan dan diturunkan kemungkinan dapat mengenai sisi tulangan yang dapat menyebabkan sambungan tulangan terangkat ke atas. c. Tulangan diangkat dengan menggunakan dua hook crane, satu pada sling bagian ujung atas dan satu lagi pada bagian sisi memanjang, pengangkatan dilakukan dengan menarik hook secara bergantian sehingga tulangan tepat lurus, dan setelah tulangan terangkat dan sudah tegak lurus dengan lubang bor, kemudian dimasukkan secara
49
perlahan ke dalam lubang, posisi tulangan terus dijaga supaya tidak menyentuh dinding lubang bor dan posisinya harus benar – benar di tengah/di pusat bor. d. Jika level yang diinginkan berada di bawah permukaan tanah, maka digunakan besi penggantung. e. Setelah tulangan dimasukkan, kemudian pipa tremie dimasukkan. Pipa tremie disambung – sambung untuk memudahkan proses instalasi dan juga untuk memudahkan pemotongan tremie pada waktu pengecoran. Ujung pipa tremie berjarak 25 – 50 cm dari dasar lubang pondasi. Jika jaraknya kurang dari 25 cm maka pada saat pengecoran beton lambat keluar dari tremie, sedangkan jika jaraknya lebih dari 50 cm, maka saat pertama kali beton keluar dari tremie akan terjadi pengenceran karena bercampur dengan air pondasi (penting untuk diperhatikan). Pada bagian ujung atas pipa tremie disambung dengan corong pengecoran. 4. Pengecoran dengan Ready Mix Concrete Proses pengecoran harus segera dilakukan setelah instalasi tulangan dan pipa tremie selesai, guna menghindari kemungkinan terjadinya kelongsoran pada dinding lubang bor. Oleh karena itu pemesanan ready mix concrete harus dapat diperkirakan waktunya dengan waktu pengecoran.
50
Proses pengecoran dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Pipa tremie dinaikkan setinggi 25 -50 cm di atas dasar lubang bor, air dalam pipa tremie dibiarkan dulu stabil, kemudian dimasukkan bola karet atau mangkok karet yang diameternya sama dengan diameter dalam pipa tremie, yang berfungsi untuk menekan air campur lumpur ke dasar lubang sewaktu beton dituang pertama sekali, sehingga beton tidak bercampur dengan lumpur. 2. Pada awal pengecoran, penuangan dilakukan lebih cepat, hal ini dilakukan supaya bola karet dapat benar – benar menekan air campuran lumpur di dalam pipa tremie, setelah itu penuangan distabilkan sehingga beton tidak tumpah dari corong. 3. Jika beton dalam corong penuh, pipa tremie dapat digerakkan naik turun dengan syarat pipa tremie yang tertanam dalam beton minimal 1 meter pada saat pipa tremie dinaikkan. Jika pipa tremie yang tertanam dalam beton terlalu panjang, hal ini dapat memperlambat proses pengecoran, sehingga perlu dilakukan pemotongan pipa tremie dengan memperhatikan syarat bahwa pipa tremie yang masih tertanam dalam beton minimal 1 meter. 4. Pengecoran dilakukan dengan mengandalkan gaya gravitasi bumi (gerak jatuh bebas), posisi pipa tremie harus
51
berada pada pusat lubang bor, sehingga tidak merusak tulangan atau tidak menyebabkan tulangan terangkat pada saat pipa tremie digerakkan naik turun. Pengecoran dihentikan 0,5 – 1 meter diatas batas beton bersih, sehingga kualitas beton pada batas bersih benar – benar terjamin (bebas dari lumpur). Setelah pengecoran selesai dilakukan, pipa tremie diangkat dan dibuka, serta dibersihkan. Batas pengecoran diukur dengan meteran kedalaman. 5. Penutupan Kembali/Back Filling Lubang pondasi yang telah selesai di cor ditutup kembali dengan tanah setelah beton mengeras dan stand pipe dicabut, kemudian tanah tersebut dipadatkan, sehingga dapat dilewati truck dan alat – lat berat lainnya. 6. Drainase dan pagar sementara selama pelaksanaan pekerjaan
Bored pile. Untuk menampung air dan lumpur
buangan dari lubang bored pile, dibuat proteksi sementara menggunakan karung yang diisi pasir. Pagar sementara dibuat dan dipasang untuk melindungi lokasi pekerjaan dari masyarakat umum, gangguan lalulintas, dll.
52
Gambar 2.7 Pelaksanaan Pondasi Bored pile secara keseluruhan Pelaksanaan Pondasi Bored pile dengan Metode RCD
2.5. MEH (Metode Elemen Hingga) Bidang Geoteknik 2.5.1. Metode Elemen Hingga Metode elemen hingga adalah prosedur perhitungan yang dipakai untuk mendapatkan pendekatan dari permasalahan matematis yang sering muncul pada rekayasa teknik dari metode tersebut yang membuat persamaan matematis dengan berbagai pendekatan dan rangkaian persamaan aljabar yang melibatkan nilai nilai pada titik – titik diskrit pada bagian yang dievaluasi. Persamaan metode elemen hingga dibuat dan dicari solusinya dengan sebaik mungkin untuk
53
menghindari kesalahan pada hasil akhirnya. Jaring ( mesh ) terdiri dari elemen elemen yang dihubungkan oleh node. Node merupakan titik - titik pada jaring di mana nilai dari variabel primernya dihitung. Misal untuk analisa displacement, nilai variabel primernya adalah nilai dari displacement. Nilai - nilai nodal displacement diinterpolasikan pada elemen agar didapatkan persamaan aljabar untuk displacement, dan regangan, melalui jaring - jaring yang terbentuk. Program ini melakukan perhitungan berdasarkan metode elemen hingga yang digunakan secara khusus untuk melakukan analisis deformasi dan stabilitas untuk berbagai aplikasi dalam bidang geoteknik. Kondisi sesungguhnya dapat dimodelkan dalam regangan bidang maupun secara axisymetris. Program ini menerapkan metode antarmuka grafis yang mudah digunakan sehingga pengguna dapat dengan cepat membuat model geometri dan jaring elemen berdasarkan penampang melintang dari kondisi yang ingin dianalisis. Program ini terdiri dari empat buah sub-program yaitu masukan, perhitungan, keluaran, dan kurva Metode elemen hingga pada rekayasa geoteknik memiliki sedikit perbedaan dengan metode elemen hingga pada rekayasa struktur, sebab dalam rekayasa geoteknik terjadi interaksi elemen yang memiliki kekakuan yang berbeda. Seperti halnya pondasi dan tanah, dalam menganalisis pondasi dengan metode elemen hingga terdapat perdeaan kekakuan antara dua elemen, yaitu elemen tanah dan elemen struktur atau pondasi itu sendiri.
54
Gambar 2.8 Contoh pemodelan pondasi Adapun tahapan – tahapan analisa dengan menggunakan metode elemen hingga adalah sebagai berikut : a.) Pemilihan Tipe Elemen
Gambar 2.9 Jenis – Jenis Elemen Ada tiga pembagian elemen secara garis besar dalam metode elemen hingga, yaitu
55
-
1D (line elements) ; sering dipakai dalam pemodelan beam element. Beam element menerima momen tahanan (bending moment), tegangan normal dan juga tegangan geser.
-
2D (plane elements) : bentuk elemen 2D yang umum dipakai dalah triangular element
(segitiga)
dan
quadrilateral
element
(segiempat). -
3D
: secara umum elemen – elemen 3D bisa dibedakan menjadi solid elements, shell elements, dan solid – shell elements. Bentuk elemen 3D yang umum dipakai adalah tetrahedral element (limas segitiga) dan hexahedral element (balok).
Di dalam elemen terdapat dua jenis titik, yaitu titik nodal dan juga titik integrasi. Titik nodal adalah titik yang penghubung antar elemen. Perpindahan terjadi pada titik nodal. Titik integrasi (stress point) dapat diperoleh tegangan dan regangan yang terjadi pada elemen.
Gambar 2.10 Titik Nodal dan Integrasi
56
2.5.2. Fungsi Perpindahan (shape function) Fungsi perpindahan atau shape function (N) adalah fungsi yang menginterpolasikan perpindahan di titik nodal ke perpindahan di elemen dengan menggunakan segitiga pascal. Dalam pemilihan fungsi perpindahan, hal mendasar yang perlu diketahui adalah fungsi perpindahan di titik yang ditinjau selalu bernilai satu dan bernilai nol (0) di titik lainnya.
Tabel 2.3 Fungsi Perpindahan
2.5.3. Elemen Untuk Analisa Dua Dimensi Analisa
dua
dimensi
pada
umumnya
merupakan
analisa
yang
menggunakan elemen triangular atau quadrilatelar ( Gambar 2.12 ). Bentuk umum dari elemen elemen tersebut berdasarkan pada pendekatan Iso-Parametric di mana fungsi interpolasi polynomial dipakai untuk menunjukkan displacement pada elemen.
57
Gambar 2.11 Bentuk umum elemen Dua Dimensi
2.5.4
Interpolasi Displacement Nilai - nilai nodal displacement pada solusi elemen hingga dianggap
sebagai primary unknown. Nilai ini merupakan nilai displacement pada nodes. Untuk mendapatkan nilai - nilai tersebut harus menginterpolasikan fungsi - fungsi yang biasanya merupakan polynomial.
Gambar 2.12 Elemen dan six-noded triangular
58
Anggap sebuah elemen seperti pada Gambar 2.12. U dan V adalah Displacement pada sebuah titik di elemen pada arah x dan y. Displacement ini didapatkan dengan menginterpolasikan displacement pada nodes dengan menggunakan persamaan polynomial:
U(x,y) = a0 + a1x + a2y2 + a3x2 + a4xy + a5y2 ……………………….( 2.1 ) V(x,y) = b0 + b1x + b2y + b3x2 + b4xy + b5y2 ……………….......…...( 2.2 )
Konstanta a1, a2, …, a5 dan b1, b2, …, b5 tergantung pada nilai nodal displacement. Jika jumlah nodes yang menjabarkan elemen bertambah maka fungsi interpolasi untuk polynomial yang juga akan bertambah. 2.5.5
Regangan Regangan pada elemen dapat diturunkan dengan memakai definisi standar.
Sebagai contoh untuk six-node triangle : εxx = ∂u / ∂x = a1 + 2a3x + a4y ………………………………….( 2.3 ) εyy = ∂v / ∂y = b2 + b4x + 2b5y ……………….……………… ( 2.4 ) εxy = (∂u / ∂y) + (∂v / ∂x) = (b1+ a2) (a4 + 2b3)x + (2a5x + b4)y .... … ( 2.5 ) Persamaan yang menghubungkan regangan dengan nodal displacement ditulis dalam bentuk persamaan matrix : ε = B. Ue …………………………………………………………( 2.6 ) Vektor regangan ε dan vektor nodal displacement masing – masing dihubungkan dengan
59
Ue : 𝑼𝑼𝟏𝟏 𝑽𝑽 ⎛ 𝟏𝟏 ⎞ 𝜺𝜺𝒙𝒙𝒙𝒙 𝑽𝑽 ⎜ 𝟐𝟐 ⎟ 𝒆𝒆 𝜺𝜺 ε= � 𝒚𝒚𝒚𝒚 � 𝑼𝑼 = ⎜ … ⎟..........................................................(2.7) 𝜺𝜺𝒙𝒙𝒙𝒙 ⎜…⎟ 𝑼𝑼𝟔𝟔 ⎝ 𝑽𝑽𝟔𝟔 ⎠ 2.5.6
Hukum Konstitutif ( Constitutive Law ) Constitutive law diformulasikan untuk membuat matrik hubungan antara
tegangan ( vektor σ ) dengan regangan ( vektor ε ) : σ = D. ε ………………………………………………………….( 2.8 ) Keterangan : D : Matrik kekakuan material Untuk kasus elastisitas isotropik regangan bidang linear, matrixnya :
𝑫𝑫 =
𝟏𝟏 − 𝑽𝑽 𝑽𝑽 𝟎𝟎
𝑬𝑬 � (𝟏𝟏−𝟐𝟐𝟐𝟐)(𝟏𝟏+𝑽𝑽)
𝑽𝑽 𝟏𝟏 − 𝑽𝑽 𝟎𝟎
𝟎𝟎 𝟎𝟎 �................................. (2.9) 𝟏𝟏−𝟐𝟐𝟐𝟐 𝟐𝟐
Keterangan : E : Modulus young v : Poisson’s ratio
60
2.5.7
Matriks Kekakuan Elemen Gaya pada tanah yang diaplikasikan pada elemen dianggap sebagai gaya
yang bekerja pada nodes. Vektor nodal forces Pe ditulis : 𝑷𝑷𝟏𝟏𝟏𝟏 𝑷𝑷 ⎛ 𝟏𝟏𝟏𝟏 ⎞ ⎜𝑷𝑷𝟐𝟐𝟐𝟐 ⎟ ⎜𝑷𝑷 ⎟ 𝑷𝑷𝒆𝒆 = ⎜ 𝟐𝟐𝟐𝟐 ⎟............................................................................. (2.10) … ⎜ ⎟ ⎜ … ⎟ 𝑷𝑷𝟔𝟔𝟔𝟔 𝑷𝑷 ⎝ 𝟔𝟔𝟔𝟔 ⎠
Nodal forces yang bekerja pada titik i di arah x dan y adalah Pix dan Piy, dan dihubungkan dengan nodal displacement dengan matrik : KeUe = Pe ………………………………………………………………( 2.11 ) Sedangkan Ke merupakan Matriks Kekakuan Elemen yang ditulis : Ke = Bt.D.B.dv ……………………………………………………...( 2.12 ) Keterangan : D : Matriks kekakuan material B : Matriks penghubung nodal displacement dengan regangan dv : Elemen dari volume
2.5.8
Matriks Kekakuan Global Matriks kekakuan K untuk jaring ( mesh ) elemen hingga dihitung dengan
menggabungkan matrik - matrik kekakuan elemen di atas. K.U = P …………………………………………………………………( 2.13 )
61
Di mana U merupakan vektor yang mempunyai unsur displacement pada semua titik pada jaring elemen hingga.
2.5.9. Pemodelan Pada Program MEH Dalam menggunakan program MEH, pengguna harus mengetahui terlebih dahulu konsep pemodelan yang akan dipilih. Sebelum melakukan perhitungan secara numerik, maka terlebih dahulu dibuat model dari pondasi tiang pancang yang akan dianalisis, seperti Gambar 2.13 berikut ini :
Gambar 2.13 Model Pondasi Tiang Bor ( Bored Pile )
62
Material yang dipergunakan dalam pemodelan tersebut adalah material tanah dan material pondasi, dimana masing-masing material mempunyai sifat teknis yang memengaruhi perilakunya. Dalam program MEH, sifat – sifat tersebut diwakili oleh parameter dan pemodelan yang spesifik. Pemodelan pada Plaxis mengasumsikan perilaku tanah bersifat isotropis elastic linier berdasarkan Hukum Hooke. Akan tetapi, model ini memiliki keterbatasan dalam memodelkan perilaku tanah, sehingga umumnya digunakan untuk struktur yang padat dan kaku di dalam tanah. Input parameter berupa Modulus Young E dan rasio Poisson υ dari material yang bersangkutan. 𝐸𝐸 =
𝜎𝜎
(2.14)
𝜈𝜈 =
𝜀𝜀 ℎ
(2.15)
𝜀𝜀
𝜀𝜀 𝑣𝑣
Di dalam program Plaxis ada beberapa jenis permodelan tanah antara lain model tanah Mohr – Coulomb dan model Soft Soil. 2.5.10. Model Mohr – Coulumb Pemodelan Mohr – Coulomb mengasumsikan bahwa perilaku tanah bersifat plastis sempurna (Linear Elastic Perfectl Plastic Model), dengan menetapkan suatu nilai tegangan batas dimana pada titik tersebut tegangan tidak lagi dipengaruhi oleh regangan. Input parameter meliputi lima buah parameter yaitu : •
modulus Young ( E ), rasio Poisson ( υ ) yang memodelkan keelastisitasan tanah 63
•
kohesi ( c ), sudut geser ( ϕ ) memodelkan perilaku plastis dari tanah
•
dan sudut dilantasi ( ψ ) memodelkan perilaku dilantansi tanah
Pada pemodelan Mohr – Coulumb umumnya dianggap bahwa nilai E konstan untuk suatu kedalaman pada suatu jenis tanah, namun jika diinginkan adanya peningkatan nilai E per kedalaman tertentu disediakan input tambahan dalam program Plaxis. Untuk setiap lapisan yang memperkirakan rata – rata kekakuan yang konstan sehingga perhitungan relatif lebih cepat dan dapat diperoleh kesan pertama deformasi. Selain lima parameter di atas, kondisi tanah awal memiliki peran penting dalam masalah deformasi tanah. Nilai rasio Poisson υ dalam pemodelan Mohr – Coulomb didapat dari hubungannya dengan koefisien tekanan
dimana :
𝐾𝐾𝑜𝑜 = υ
1−υ
𝜎𝜎 ℎ
𝜎𝜎𝑣𝑣
=
𝜎𝜎 ℎ
𝜎𝜎𝑣𝑣
(2.16) (2.17)
Secara umum nilai υ bervariasi dari 0,3 sampai 0,4 namun untuk kasus – kasus penggalian (unloading) nilai υ yang lebih kecil masih realistis. Nilai kohesi c dan sudut geser ϕ diperoleh dari uji geser triaxial, atau diperoleh dari hubungan empiris berdasarkan data uji lapangan. Sementara sudut dilantasi ψ digunakan untuk memodelkan regangan volumetrik plastik yang bernilai positif. Pada tanah lempung NC, pada umumnya tidak terjadi dilantasi (ψ = 0), sementara pada tanah pasir dilantasi tergantung dari kerapatan dan sudut geser ϕ dimana ψ = ϕ – 30°. Jika ϕ < 30° maka ψ = 0. Sudut dilantasi ψ bernilai negatif hanya bersifat realistis jika diaplikasikan pada pasir lepas.
64
2.5.11 Model Tanah Lunak ( Soft Soil ) Seperti pada pemodelan Mohr – Coulomb, batas kekuatan tanah dimodelkan dengan parameter kohesi (c), sudut geser dalam tanah (ϕ), dan sudut dilantasi (ψ). Sedangkan untuk kekakuan tanah dimodelkn menggunakan parameter λ* dan k*, yang merupakan parameter kekakuan yang didapatkan dari uji triaksial maupun oedometer. 𝐶𝐶
(2.18)
2𝐶𝐶
(2.19)
𝐶𝐶 λ∗ = 2.3(1+𝑒𝑒 )
𝑠𝑠 𝑘𝑘 ∗ = 2.3 (1+𝑒𝑒)
Model Soft Soil ini dapat memodelkan hal – hal sebagai berikut : -
Kekakuan yang berubah bersama dengan tegangan (Stress Dependent Stiffness)
-
Membedakan pembebanan primer (primary loading) terhadap unloading – reloading
-
Mengingat tegangan pra – konsolidasi
2.5.12 Studi Parameter Model tanah yang dipilih adalah model Mohr – Coulomb, dimana perilaku tanah dianggap elastis dengan parameter yang dibutuhkan yaitu : 1. Berat isi tanah γ (kN/m3), didapat dari hasil pengujian laboratorium
65
2. Modulus elastisitas, E (stiffness modulus) digunakan pendekatan terlebih dahulu dengan memperoleh Modulus Geser Tanah (G), sehingga nilai E dapat diperoleh melalui persamaan : 𝐸𝐸 = 2 𝐺𝐺 (1 + υ )
(2.20)
3. Poisson’s ratio (υ) diambil nilai 0.2 – 0.4 4. Sudut Geser Dalam (ϕ) didapat dari hasil pengujian laboratorium 5. Kohesi ( c ) didapat dari hasil pengujian laboratorium 6. Sudut dilantasi (ψ) diasumsikan sama dengan nol. 7. Perilaku tanah dianggap elastis a. Tiang pancang, material yang dipilih adalah linier elastis
Gambar 2.14 Tab Parameter untuk Model Mohr – Coulomb
66
2.5.13 Parameter Tanah
Modulus Young ( E ) Terdapat beberapa usulan nilai E yang diberikan oleh peneliti, diantaranya
pengujian sondir yang dilakukan oleh DeBeer (1965) dan Webb (1970) memberikan korelasi antara tahanan kerucut qc dan E sebagai berikut : E = 2 qc ( dalam satuan kg/cm2 )
(2.21)
Bowles memberikan persamaan yang dihasilkan dari pengumpulan data sondir, sebagai berikut : E = 3 qc
(untuk pasir)
(2.22)
E = 2 – 8 qc
(untuk lempung)
(2.23)
dengan qc dalam kg/cm2 Nilai perkiraan modulus elastisitas dapat diperoleh dengan pengujian SPT (Standard Penetration Test). Nilai modulus elastis yang dihubungkan dengan nilai SPT, sebagai berikut: 𝐸𝐸 = 6(𝑁𝑁 + 5) 𝑘𝑘⁄𝑓𝑓𝑓𝑓 2
(untuk pasir berlempung)
𝐸𝐸 = 10(𝑁𝑁 + 15) 𝑘𝑘⁄𝑓𝑓𝑓𝑓 2 (untuk pasir)
(2.24) (2.25)
67
Tabel 2.4 Korelasi N-SPT dengan modulus elastisitas pada tanah pasir (Schmertman, 1970) Subsurface
Penetration Friction Poisson Relative
Condition
Resistance
Angle
Ratio
Density
Modulus Modulus
Range N
Φ (deg)
(v)
Dr (%)
Range
Range
Es* (psi)
G**
Young’s
Shear
(psi) Very Loose 0 – 4
28
0.45
0 – 15
0-440
0-160
Loose
28 – 30
0.40
15 – 35
440-
160-390
4 – 10
1100 Medium
Dense
Very
10 – 30
30 – 50
50 - 100
30 – 36
36 – 41
41 - 45
0.35
0.30
0.2
35 – 65
65 – 85
85 – 100
Dense
Es* = 2 qc psf
1100-
390-
3300
1200
3300-
1200-
5500
1990
5500-
1990-
11000
3900
𝐸𝐸
𝑠𝑠 G** = 2(1+𝑣𝑣) ; dimana v = 0,5
68
Tabel 2.5 Korelasi N-SPT dengan modulus elastisitas pada tanah lempung (Randolph,1978) Subsurface Penetration Poisson Shear Condition
Young’s
Shear
Resistance
Ratio
Strength
Modulus
Modulus
Range N
(v)
Su
Range
Range
(psf)
Es* (psi)
G** (psi)
Very soft
2
0.45
250
170 – 340
60-110
Soft
2–4
0.40
375
260 – 520
80-170
Medium
4–8
0.35
750
520 – 1040
170-340
Subsurface Penetration Poisson Shear
Young’s
Shear
Condition
Lanjutan Tabel 2.5
Stiff
Resistance
Ratio
Strength
Modulus
Modulus
Range N
(v)
Su
Range
Range
(psf)
Es* (psi)
G** (psi)
1500
1040– 2080 340-690
8 – 15
0.30
69
Very Stiff
15 - 30
0.2
3000
2080-4160
690-1390
Hard
30
0.004
4000
2890-5780
960-1930
40
0.004
5000
3470-6940
1150-2310
60
0.0035
7000
4860-9720
1620-3420
80
0.0035
9000
6250-12500 2080-4160
100
0.003
11000
7640-15270 2540-5090
120
0.003
13000
9020-18050 3010-6020
Es = (100-200)Su psf
𝐸𝐸
𝑠𝑠 G** = 2(1+𝑣𝑣) ; dimana v = 0,5
Poisson’s Ratio (μ) Rasio poisson sering dianggap sebesar 0,2 – 0,4 dalam pekerjaan –
pekerjaan mekanika tanah. Nilai sebesar 0,5 biasanya dipakai untuk tanah jenuh dan nilai 0 sering dipakai untuk tanah kering dan tanah lainnya untuk kemudahan perhitungan. Tabel 2.6 Hubungan Jenis Tanah, konsistensi dan Poisson’s Ratio (μ)
Soil Type
Description
μ
Soft
0.35 – 0.40
Medium
0.30 – 0.35
Clay
70
Sand
Stiff
0.20 – 0.30
Loose
0.15 – 0.25
Medium
0.25 – 0.30
Dense
0.25– 0.35
Berat Jenis Tanah Kering ( γdry ) Berat jenis tanah kering adalah perbandingan antara berat tanah kering
dengan satuan volume tanah. Berat jenis tanah kering dapat diperoleh dari data Soil Test dan Direct Shear.
Berat Jenis Tanah Jenuh ( γsat ) Berat jenis tanah jenuh adalah perbandingan antara berat tanah jenuh.
Dimana ruang porinya terisi penuh dengan air. 𝐺𝐺 + 𝑒𝑒
𝑠𝑠 𝛾𝛾𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠 = � 1+𝑒𝑒 � 𝛾𝛾𝑤𝑤
(2.26)
(sumber : Braja, 1995) dimana : Gs
: Spesific Gravity
e
: Angka Pori
γw
: Berat Isi Ai
Nilai – nilai dari Gs, e dan γw didapat dari hasil pengujian tanah dengan Triaxial Test dan Soil Test
71
Sudut Geser Dalam (ϕ) Sudut geser dalam tanah dan kohesi merupakan faktor dari kuat geser
tanah yang menentukan ketahan tanah terhadap deformasi akibat tegangan yang bekerja pada tanah. Deformasi dapat terjadi akibat adanya kombinasi keadaan kritis dari tegangan normal dan tegangan geser. Nilai dari sudut geser dalam tanah didapat dari engineering properties tanah, yaitu dengan triaxial test dan direct shear test.
Kohesi (c) Kohesi merupakan gaya tarik menarik antar partikel tanah. Nilai dari
kohesi didapat dari engineering properties, yaitu dengan triaxial test dan direct shear test.
Permeabilitas (k) Berdasarkan persamaan Kozeny – Carman, nilai permeabilitas untuk
setiap layer tanah dapat dicari dengan menggunakan rumus : 𝑘𝑘 =
𝑒𝑒 3
(2.27)
1+𝑒𝑒
Untuk tanah yang berlapis – lapis harus dicari nilai permeabilitas untuk arah vertikal dan horizontal dapat dicari dengan rumus : 𝑘𝑘𝑣𝑣 =
𝐻𝐻
𝐻𝐻 𝐻𝐻 𝐻𝐻 � 1 �+ � 2 �+⋯+� 𝑛𝑛 � 𝑘𝑘 2 𝑘𝑘 1 𝑘𝑘 𝑛𝑛
(2.28)
(sumber : Das, 1995)
72
dimana : H : tebal lapisan e
: angka pori
k
: koefisien permeabilitas
kv : koefisien permeabilitas arah vertikal kh : koefisien permeabilitas arah horizontal Nilai koefisien permeabilitas tanah dapat ditentukan berdasarkan jenis tanah tersebut seperti pada Tabel 2.6 berikut ini : Tabel 2.7 Nilai Koefisien Permeabilitas Tanah (Das, 1995) K Jenis Tanah cm/dtk
ft/mnt
Kerikil bersih
1.0 - 100
2.0 - 200
Pasir kasar
1.0 – 0.01
2.0 – 0.02
Pasir halus
0.01 – 0.001
0.02 – 0.002
Lanau
0.001 – 0.00001
0.002 – 0.00002
Lempung
< 0.000001
< 0.000002
73
2.6 Uji Pembebanan (Loading Test) Loading test biasanya disebut juga dengan uji pembebanan statik. Cara yang paling dapat diandalkan untuk menguji daya dukung pondasi tiang adalah dengan uji pembebanan statik. Pengaplikasian terhadap hasil benda uji pembebanan statik merupakan bagian yang cukup penting untuk mengetahui respon tiang pada selimut dan ujungnya serta besarnya daya dukung ultimit. Pengujian pembebanan tiang umumnya dilaksanakan dengan maksud : 1. Menentukan grafik hubungan beban dan penurunan, terutama pada pembebanan di sekitar beban yang diharapkan. 2. Sebagai percobaan guna meyakinkan bahwa keruntuhan pondasi tidak akan terjadi sebelum beban ditentukan tercapai. Nilainya beberapa kali beban rencana. Nilai pengali tersebut dipakai sebagi faktor aman. 3. Menentukan kapasitas ultimit riil, mengecek hasil hitungan kapasitas tiang yang diperoleh dari rumus statis dan dinamis. Uji pembebanan biasanya perlu dilakukan untuk kondisi-kondisi seperti berikut ini : 1. Perhitungan analitis tidak memungkinkan untuk dilakukan karena keterbatasan informasi mengenai detail dan geometri struktur. 2. Kinerja struktur yang sudah menurun karena adanya penurunan kualitas bahan akibat serangan zat kimia, ataupun karena adanya kerusakan fisik yang dialami bagian-bagian struktur, misalnya akibat gempa, kebakaran, pembebanan yang berlebihan, dan lain-lain.
74
3. Tingkat keamanan struktur yang rendah akibat jeleknya kualitas pelaksanaan ataupun akibat adanya kesalahan perencanaan yang sebelumnya tidak terdeteksi. 4. Struktur direncanakan dengan metode-metode khusus, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan
tingkat keamanan struktur
tersebut. 5. Perubahan fungsi struktur, sehingga menimbulkan pembebanan tambahan yang belum diperhitungkan pada perencanaan. 6. Diperlukan pembuktian mengenai kinerja suatu struktur yang baru saja dicor. Pengujian beban statik melibatkan pemberian beban statik dan pengukuran pergerakan
tiang. Beban – beban umumnya
diberikan secara
bertahap dan penurunan tiang diamati. Umumnya defenisi keruntuhan yang dicatat untuk interpretasi lebih lanjut adalah bila di bawah suatu beban yang konstan, tiang terus mengalami penurunan. Sesudah tiang uji dipancang, perlu ditunggu terlebih dahulu selama tujuh hingga tiga puluh hari sebelum
pengujian pembebanan tiang. Hal ini
penting untuk memungkinkan tanah yang telah terganggu kembali ke keadaan semula, dan tekanan air pori yang terjadi akibat pemancangan tiang telah berdisipasi. Beban kontra dapat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama dengan menggunakan sistem kentledge seperti ditunjukkan pada Gambar 2.15. Cara kedua dapat menggunakan kerangka baja atau jangkar pada tang seperti ilustrasi
75
Gambar 2.16. Pembebanan diberikan pada tiang dengan menggunakan dongkrak hidrolik. Pergerakan tiang dapat diukur menggunakan satu set dial guges yang terpasang pada kepala tiang. Toleransi pembacaan antara satu dial gauge lainnya adalah satu milimeter. Perlu diperhatikan bahwa pengukuran pergerakan relatif tiang sangatlah penting.
Gambar 2.15 Pengujian dengan Sistem Kentledge (Coduto,2001)
Gambar 2.16 Pengujian dengan Tiang Jangkar (Tomlinson, 1980)
Terdapat 4 macam metode pembebanan, yaitu : 1. Slow Maintained Test Load Method) (SM Test) Metode ini sebagaimana direkomendasikan oleh ASTM D1143-81 (1989), terdiri dari bebarapa langkah sebagai berikut : 76
a. Beban tiang dalam delapan tahapan yang sama (yaitu 25 %, 50%,75%, 100%, 125%, 150%, 175%, dan 200%) hingga 200% beban rencana. b. Setiap penambahan beban harus mempertahakan laju penurunan harus lebih kecil 0,01 in/jam (0,25 mm/jam). c. Mempertahankan 200% beban selama 24 jam d. Setelah waktu yang dibutuhkan didapat, lepaskan beban dengan pengurangan sebesar 25% dengan jarak waktu 1 jam diantara waktu pengurangan e. Setelah beban diberikan dan dilepas keatas, bebani tiang kembali untuk pengujian beban dengan penambahan 50% dari beban desain, menyediakan waktu 20 menit untuk penambahan beban, f. Kemudian tambahkan beban dengan penambahan 10% beban desain hingga Metode ini dianggap sebagai metode uji standart ASTM dan umumnya digunakan untuk penelitian dilapangan sebelum dilakukan pekerjaan selanjutnya.
2. Quick Maintained Load Test Method (QM Test) Metode ini seperti yang direkomendasikan oleh departemen perhubungan Amerika serikat, pengelola jalan raya dan ASTM D1143-81 (opsional), terdiri dari bebarapa langkah berikut : a. Bebani tiang dalam penambahan 20 kali hingga 300% dari beban desain (masing-masing tambahan adalah 15% dari beban desain). b. Pertahankan setiap beban selama 5 menit dengan bacaan diambil setiap 2,5 menit
77
c.Tambahkan peningkatan beban hingga jacking continue dibutuhkan untuk mempertahankan beban uji atau uji telah dicapai. d. Setelah interval 5 menit, lepaskan atau hilangkan beban penuh dari tiang dalam empat pengurangan dengan jarak diantara pengurangan 5 menit. Metode ini lebih cepat dan ekonomis. Waktu uji dengan metode ini adalah 3-5 jam. Metode ini lebih mendekati suatu kondisi. Metode ini tidak dapat digunakn untuk estimasi penurunan karena metode cepat.
3. Constant rate of Penetration Test Method (CRP Test) Metode ini disarankan oleh komisi pile Swedia, Departemen perhubungan Amerika Serikat, dan ASTM D1143-81 (opsional). Juga terdiri dari beberapa langkah utama : a.
Kepala tiang didorong untuk settle pada 0,05 in/memit (1,25 mm/menit).
b.
Gaya yang dibutuhkan untuk mrncapai penetrasi akan dicatat.
c.
Uji dilakukan dengan total penetrasi 2-3 in (50-75 mm). Keuntungan
utama dari metode ini adalah lebih cepat (2-3) jam dan ekonomis.
4. Swedish Cyclic Test Method (SC Test) Metode ini dianjurkan oleh komisi pile swedia terdiri beberapa langkah berikut : a.
Bebani tiang hingga sepertiga beban desain.
b.
Lepaskan beban hingga seperenam beban desain. Ulangi pembebanan dan
pelepasan beban dalam siklus 20 kali.
78
c.
Peningkatan beban dengan sebesar 50% dengan langkah (a) dan
pengulangan seperti langkah (b). d.
Lanjutkan hingga kegagalan tercapai.
Metode ini adalah membutuhkan waktu dan siklus perubahan perilaku tiang sehingga tiang berbeda dengan yang aslinya. Ini hanya direkomendasikan atas proyek khusus dimana beban siklus dianggap sangat penting.
2.7 Vibrating Wire Strain Gauge (VWSG) VWSG adalah sensor yang berguna untuk mencatat perubahan panjang yang sangat kecil yang disegel dan terbungkus dengan aman. Hasil sensor dari perubahan panjang yang sangat kecil tersebut dapat dikonversikan menjadi regangan. Alat ini dapat membantu untuk mengetahui reaksi tiang saat diberi beban.. Kita dapat mengetahui reaksi
tiang di tiap lapisan
tanah. Sehingga kita
mengetahui pengaruh dari beban maksimum terdapat pada tiang di lapisan tanah yang mana.
79
Gambar 2.17 Gambar Alat Vibrating Wire Strain gauge (VWSG)
Kegunaan utama dari alat pembaca regangan adalah menghitung beban dan pembengkokan pada baja, beton dan gabungan dari bagian struktur. Seperti aplikasi tersebut dan tidak dibatasi pada: -
Pondasi tiang
-
Dinding penahan tanah
-
slab lantai
-
balok dan kolom
-
bendungan
-
perancah/ bekisting
80
-
bangunan sementara dan pekerjaan sementara
-
pembangunan jembatan
karakteristik dari VWSG adalah : -
dapat digunakan dalam jangka waktu yang panjang
-
cocok untuk tanah yang bervariasi (tidak datar)
-
akurasi tinggi
-
mampu untuk kabel yang panjang
Alat pengukur regangan dibuat berdasarkan vibrating wire teknologi berstandart industry. Ketika aliran listrik terjadi sensor menghasilkan aliran sinyal yang berfrekuensi yang dapat dikonversi menjadi regangan. Aliran sanggup merespon sinyal dalam jarak yang jauh dan tidak menggangu lingkungan. Sinyal frekuensi mentoleransi atau tahan dari kebocoran arus dari luar. VWSG didesain dengan beda konfigurasi yang menyesuaikan lingkungan dan teknik pengerjaannya..
81
Tabel 2.8 Spesifikasi Vibrating Wire Strain Gauge (VWSG)
Tabel 2.7 Spesifikasi Vibrating Wire Strain Gauge (VWSG)
82
RST VWSG di desain untuk di las atau ditambahkan pada berbagai struktur untuk memantau perubahan regangan. RST VWSG ini terbagi dalam 3 bentuk: -
VWSG A (ditambahkan pada struktur baja)
-
VWSG S (ditambahkan pada struktur baja)
-
VWSG-E dan VWSG-EL (ditambahkan pada beton)
Setiap alat
ukuran regangan memiliki dua ujung pelat dengan kabel baja
bertegangan berada diantaranya.Permukaan baja atau beton yang mengukur regangan dengan alat pengukur regangan, kedua ujung pelat akan bergerak secara bersamaan. Tegangan pada kabel diantara kedua pelat akan berubah secara beraturan, yang merubah resonansi yang ada pada wayar. Pembacaa getaran
kabel
digunakan
untuk
menghasilkan
aliran
sebuah
tegangan
pada
magnet/gulungan kawat yang berpusat pada alat pengukur regangan. Pertemuan magnet/gulungan kawat mengetarkan kabel dan menghasilkan nilai getaran dari frekuensi resonansi. Keuntungan VWSG adalah memiliki frekuensi keluaran yang tahan terhadap kebocoran arus dan dapat mentoleransi instalasi kabel pada kondisi basah sesuai dalam kasus geoteknik dan memiliki kapasitas mengirim sinyal radius beberapa kilo meter tanpa kehilangan sinyalnya. Alat ini dihubungkan ke komputer menggunakan kabel. Sehingga kita dapat melihat hasil dari alat ini langsung di komputer.
83
Gambar 2.18 Cara Penggunaan Vibrating Wire Strain Gauge (VWSG) di lapangan
84