15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Reformasi Perpajakan Reformasi perpajakan adalah perubahan yang mendasar disegala aspek
perpajakan. Menurut Summer, Linn dan Archarya dalam (Rahman,Abdul: 2010) alasan dilakukan reformasi perpajakan adalah: 1. Sebagai bagian penyesuaian struktur, reformasi perpajakan digunakan untuk mengurangi distorsi dari rangsangan ekonomi dan terjadinya ketidakefisienan dan ketidakadilan dalam alokasi sumber daya. 2. Sebagai bagian dari usaha menstabilkan ekonomi, reformasi perpajakan, bersamaan pemotongan belanja Negara, untuk menghasilkan pendapatan secara rasional tanpa distorsi, adil, dan berkelanjutan.
Menurut Bawazier, reformasi perpajakan di Indonesia pertama kali dimulai pada tahun 1983 yaitu dengan mulainya sistem self assessment yaitu dimana wajib pajak menghitung, memotong, menyetorkan dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang, menyederhanakan dan menurunkan tarif PPh dan memberlakukan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sebagai pengganti PPn (Pajak Penjualan). Lalu pada tahun 1994 hingga tahun 1997 dilakukan reformasi lanjutan dengan mengubah undang-undang yang berlaku sebelumnya dengan undangundang yang baru. Dan juga kali ini tarif PPh diturunkan kembali dan juga diberlakukan PPh Final. Selain itu pajak daerah dan retribusi daerah untuk pertama kalinya ditata dalam sebuah undang-undang. Demikian juga PNBP
16
(Penerimaan Negara Bukan Pajak) dan BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan) masing-masing ditata dalam undang-undang. Reformasi pajak 1983, 1994, dan 1997 diterima baik oleh masyarakat dan sukses mencapai target atau sasarannya. Sedangkan reformasi-reformasi pajak pasca 1997, meski dengan biaya yang amat mahal, tetapi karena tidak direncanakan dengan baik dan bermuatan politis, memberikan indikasi kegagalan. Maka karena reformasi inilah dapat dikatakan bahwa reformasi perpajakan yang dilakukan oleh pemerintah adalah upaya yang dilakukan untuk membantu pemerintah untuk meningkatkan hasil penerimaan pajak yang merupakan sumber pembiayaan bagi pengeluaran Negara. Menurut
Gunadi
dalam
(Rahman,2010),
reformasi
administrasi
perpajakan meliputi dua area yaitu reformasi kebijakan pajak dan reformasi administrasi perpajakan. Reformasi administrasi perpajakan memiliki tujuan yaitu memeberikan pelayanan, memberikan administrasi yang transaparansi dan akuntabilitas, dan pemgawasan terhadap fiskus dan wajib pajak. Menurut Liberty Pandiangan dalam (Rahman, 2010) sasaran penerapan sistem administrasi pajak modern adalah memaksimalkan penerimaan pajak, kualitas pelayanan yang mendukung kepatuhan wajib pajak, memberikan jaminan kepada publik bahwa Direktorat Jenderal Pajak mempunyai tingkat integritas dan keadilan yang tinggi, menjaga rasa keadilan dan persamaan perlakuan dalam proses pemungutan pajak, pegawai pajak dianggap sebagai karyawan yang bermotivasi tinggi, kompeten, dan profesional, peningkatan produktivitas yang
17
berkesinambungan, wajib pajak mempunyai alat dan mekanisme untuk mengakses informasi yang diperlukan, dan optimalisasi pencegahan penggelapan pajak.
2.2
Pajak
2.2.1 Pengertian Pajak Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 28 tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam pasal 1: “ Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Selain itu terdapat beberapa macam pendapat terhadap definisi pajak yang dikemukakan oleh beberapa ahli dalam Rahman,Abdul: 2010 yaitu; 1. Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut paeraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. 2. Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro, S.H., pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Setelah itu pengertian tersebut telah dikoreksi; Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
18
3. Menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R., pajak adalah seuatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintahan,
bukan
akibat
pelanggaran
hukum,
namun
waib
dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proposional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
Dari definisi tersebut diatas secara garis besar dapat kita simpulkan bahwa pajak memiliki ciri yaitu; 1. Kontribusi wajib 2. Bersifat memaksa 3. Terdapat aturan yang mengaturnya 4. Untuk kepentingan umum/Negara 5. Diwajibkan kepada orang atau badan
2.2.2 Fungsi Pajak Pajak memiliki dua fungsi utama yaitu; 1. Fungsi Budgetair (Penerimaan) yaitu sebagai sumber dana yang diperuntukkan
bagi
pembiayaan
pengeluaran
pemerintahan
baik
pengeluaran rutin maupun penegluaran pembangunan. Contahnya seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan sebagianya. 2. Fungsi Regulerend (Mengatur)
yaitu alat
untuk
mengatur
atau
melaksanakan berbagai kebijakan di bidang social dan ekonomi.
19
Contohnya pajak untuk minuman keras dikenakan pajak yang tinggi agar konsumsi minuman keras ini dapat ditekan, demikian pula untuk barang mewah dan rokok. Dalam perkembangannya fungsi tersebut meluas menjadi dengan adanya fungsi redistribusi yaitu fungsi yang lebih menekankan unsure pemerataan dan keadilan dalam masyarakat dan fungsi demokrasi yaitu salah satu penjelmaan atau wujud sistem gotng royong termasuk partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemerintah dan pembangunan. (Murtopo, dkk: 2011) Dalam Rahman,Abdul terdapat beberapa fungsi pajak yaitu; 1. Fungsi Budgetair (Anggaran) Sebagai sumber pendapatan Negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran Negara.
2. Fungsi Regulerend (Mengatur) Pemerintah bias mengetur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungi mengatur, pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. 3. Fungsi Stabilitas Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. 4. Fungsi Redistribusi Pendapatan
20
Pajak yang sudah dipungut oleh Negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Dapat kita simpulkan bahwa fungsi pajak adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluran pemerintah guna untuk kepentingan umum dan membantu pemerintah agar dapat mengatur agar kegiatan yang dilarang dapat ditekan.
2.2.3 Hukum Pajak Hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiskus-pegawai pajak) selaku pemungut pajak dengan wajib pajak. Hukum pajak dapat dibedakan menjadi: a. Hukum pajak formal, memuat bentuk/tata cara untuk mewujudkan hukum material menjadi kenyataan. Hukum pajak formal ini memuat, antara lain: 1. Tata cara penetapan utang pajak 2. Hak-hak fiskus untuk mengawasi wajib pajak mengenai keadaan, perbuatan, dan peristiwa yang dapat menimbulkan utang pajak 3. Kewajiban
wajib
pembukuan/pencatatan, keberatan dan banding.
pajak, dan
misalnya
hak-hak
wajib
penyelenggaraan pajak
mengajukan
21
Hukum pajak formal meliputi; 1. UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor 6 Tahun 1983 stdtd. UU 28 Tahun 2007 selanjutnya disebut UU KUP) 2. UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU Nomor 19 Tahun 1997 stdtd. UU Nomor 19 Tahun 2000 selanjutnya disebut UU PPSP) 3. UU Pengadilan Pajak (UU Nomor 14 Tahun 2002 selanjutnya disebut UU PP) b. Hukum pajak material, memuat norma-norma yang menerangkan keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenakan (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek pajak), berapa besar pajak yang dikenakan, segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya pajak, dan hubungan hukum antara pemerintahan dan wajib pajak. Hukum pajak material meliputi; 1. UU Pajak Penghasilan ( UU Nomor 7 tahun 1983 stdtd. UU Nomor 36 tahun 2008 selanjutnya disebut UU PPh) 2. UU Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah (UU Nomor 8 Tahun 19783 stdtd. UU Nomor 42 Tahun 2009 selanjutnya disebut UU PPN dan PPnBM) 3. UU Pajak Bumi dan Bangunan (UU NOmor 12 Tahun 1985 stdtd. UU Nomor 12 Tahun 1994 selanjutnya disebut UU PBB) 4. UU Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (UU Nomor 21 Tahun 1997 stdtd. UU Nomor 20 Tahun 2000 selanjutnya disebut UU BPHTB)
22
5. UU Bea Materai (UU Nomor 13 Tahun 1985 selanjutnya disebut UU BM)
2.2.4 Jenis-jenis Pajak Secara umum pajak yang diberlakukan di Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai berikut; a. Menurut sifatnya 1. Pajak langsung yaitu pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan oleh pihak lain dan menjadi beban langsung wajib pajak yang bersangkutan. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh) 2. Pajak tidak langsung yaitu pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)
b. Menurut sasaran/objeknya 1. Pajak Subjektif yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjek yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh: PPh 2. Pajak Objektif yaitu pajak yang berpangkal atau berdasar pada objeknya tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh: PPN, PPnBm, PBB, dan Bea Materai c. Menurut pemungutnya
23
1. Pajak Pusat yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga pemerintah pusat. Contoh: PPh, PPN, PPnBM, PBB, BM, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) 2. Pajak Daerah yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga pemerintah daerah. Contoh: Pajak Reklame, Pajak Hiburan, Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Kendaraan Bermotor dan lain-lain Terdapat pula jenis-jenis pungutan lain selain pajak yaitu; 1. Retribusi Pada umumnya mempunyai hubungan langsung dengan kembalinya prestasi (ada kontra prestasi secara langsung) karena pembayaran tersebut ditujukan semata-mata untuk mendapatkan sesuatu prestasi tertentu dari pemerintah, seperti karcis masuk terminal, karcis masuk tol, dan lain-lain. 2. Sumbangan Untuk sumbangan yang merasakan imbalan/manfaatnya langsung adalah penerima sumbangan, contoh: sumbangan bencana alam.
2.3
Pajak Bumi dan Bangunan
2.3.1 Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan terhadap objek pajak berupa bumi dan atau bangunan. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ini pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditenntukan oleh
24
keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. Pajak ini merupakan penerimaan pajak pusat yang sebagian besar hasilnya dialokasikan untuk pemerintah daerah.
2.3.2 Dasar Hukum Dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan, adalah sebagai berikut; 1. Undang-Undang No.12/Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.12/Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan. 2. Peraturan Pemerintah No.25/Tahun 2002 Tentang Penetapan Besarnya Nilai Jual Kena Pajak untuk Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan. 3. Peraturan Pemerintah No.16/Tahun 2000 Tentang Pembagian Hasil Penerimaan PBB antara Pemerintah Pusat dan Daerah. 4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998 yang telah diganti Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 150/PMK.03/2010 Tentang Klasifikasi dan Besarnya NJOP sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan. 5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 201/KMK.04/2000 yang telah diganti Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 67/PMK.03/2011 Tentang Penetapan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak 6. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 533/PJ/2000 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran, Pendataan, dan Penilaian Objek dan Subjek
25
Pajak PBB dalam Rangka Pembenntukan dan/atau Pemeliharaan Basis Data SISMIOP. 7. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 16/PJ.6/1998 yang telah diganti Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 64/PJ/2010 Tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan. 8. Petunjuk Pelaksanaan Lainnya.
2.3.3 Objek dan Bukan Objek Pajak Objek dari PBB adalan Bumi dan Bangunan, yang menurut UU PBB Pasal 1 “Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya, dan Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan”. Yang dalam UU PBB tersebut dijelaskan bahwa yang termasuk bangunan adalah: 1. Jalan lingkungan dalam suatu komplek bangunan 2. Jalan tol 3. Kolam renang 4. Pagar mewah,taman mewah 5. Tempat olahraga 6. Galangan kapal, dermaga 7. Tempat penampungan/kalang minyak, air dan gas, pipa minyak 8. Fasilitas lain yang memberi manfaat Dalam UU PBB terdapat beberapa aturan yang mengatur beberapa objek pajak yang tidak dikenakan PBB yaitu:
26
1. Objek yang digunakan semata-mata untuk kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan 2. Objek yang digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis dengan itu 3. Objek yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, tanah Negara yang belum dibebani suatu hak 4. Objek yang digunakan oleh perwakilan diplomatic, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik 5. Objek yang digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan
2.3.4 Subjek Pajak Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Pada umumnya orang atau badan yang secara nyata mempunyai hak tersebut dapat dikenai kewajiban membayar pajak sehingga subjek pajak tersebut disebut waib pajak.
27
2.3.5 Tarif Pajak Dalam UU PBB tariff yang dikenakan untuk PBB mempunyai tariff tunggal (single tarif) sebesar 0,5% yang berlaku sejak UU PBB tahun 1985 sampai dengan sekarang.
2.3.6 Dasar Pengenaan dan Perhitungan Dasar pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yaitu harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau nilai jual objek pengganti. Dalam menentukan NJOP terdapat tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk penilaian besarnya NJOP yaitu; 1. Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach) Yaitu menentukan nilai suatu objek dengan membandingkan objek yang dinilai dengan objek lain yang sejenis yang telah diketahui nilai jualnya. Pendekatan ini sering disebut Metode Perbandingan Harga. 2. Pendekatan Biaya (Cost Approach) Yaitu menentukan nilai suatu objek dengan menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek pajak tersebut. Biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek pajak tersebut merupakan biaya pada saat penjualan tersebut dilakukan dan dikurangi dengan penyusutan berdasarkan fisik objek pajak tersebut.
28
3. Pendekatan Pendapatan (Income Approach) Yaitu menentukan nilai suatu objek dengan mengkapitalisasi pendapatan bersih dari objek pajak tersebut dengan suatu tingkatan kapitalisasi tertentu. Pendekatan ini disebut juga Pendekatan Kapitalisasi. Besarnya NJOP ini telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan setiap tiga tahun, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan daerahnya. Untuk dasar perhitungan PBB adalah NJKP (Nilai Jual Kena Pajak) yang merupakan suatu persentase tertentu dari NJOP. Dalam UU PBB, persentase tersebut ditentukan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari NJOP. Besar NJKP ini ran ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional. Maksud NJKP ini adalah nilai jual yang dipergunakan sebagai dasar perhitungan pajak, yaitu suatu persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya. Dalam Peraturan Pemerintah No.25/Tahun 2002, besarnya NJKP untuk perhitungan PBB ditetapkan sebagi berikut; a. Untuk objek pajak perkebunan, kehutanan, dan pertambangan sebesar 40% dari Nilai Jual Objek Pajak b. Untuk Objek Pajak lainnya:
Sebesar 40% dari NJOP jika NJOP nya satu milyar atau lebih
Sebesar 20% dari NJOP jika NJOP kurang dari satu milyar
29
2.3.7 Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) adalah batas NJOP atas bumi dan bangunan yang tidak kena pajak. Yang berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No:201/KMK.04/2000 pada tanggal 6 Juni 2000 dan telah diganti dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 67/PMK.03/2011ditetapkan
batas
NJOPTKP
paling
tinggi
sebesar
Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)
2.3.8 Cara Perhitungan Untuk menghitung besarnya PBB yang terutang kita dapat menggunakan formula sebagai berikut: PBB terutang = Tarif x dasar perhitungan pajak Atau PBB = tarif x NJKP x (NJOP-NJOPTKP) PBB = 0.5% x 20% x (NJOP-NJOPTKP) atau PBB = 0.5% X 40% X (NJOP-NJOPTKP) Dasar perhitungan pajak adalah Nilai Jual Kena Pajak, maka kita dapat menghitung besar PBB terutang sebagi berikut: NJOP Bumi
=A
NJOP Bangunan
=B
NJOP sebagai dasar pengenaan pajak (A+B)
=C
NJOPTKP
=D
NJOP untuk perhitungan pajak (C-D)
=E
30
NJKP (20% atau 40% x E)
=F
PBB terutang (0.5% x F)
=G
Contohnya: Yoku memiliki sebidang tanah dan bangunan di jalan sriwidari 2, Sukabumi, seluas 2500m2 dengan NJOP Rp 614.000,00 per m2 dan diatas tanah tersebut didirikan bangunan seluas 2200m2 dengan NJOP Rp 550.000,00 per m2. Dan dengan NJOPTKP sebesar Rp 8.000.000,00. Maka hitunglah besar PBB atas tanah dan bangunan tersebut!. Jawab: NJOP tanah
= 2500 x 614.000
= 1.535.000.000
NJOP bangunan = 2200 x 550.000
= 1.111.000.000
NJOP sebagai dasar pengenaan pajak
= 2.646.000.000
NJOPTKP
=
NJOP untuk perhitungan PBB
= 2.638.000.000
NJKP
= 40% x 2.638.000.000
= 1.055.200.000
PBB terutang
= 0.5% x 1.055.200.000
=
8.000.000
5.276.000
31
2.3.9 Tahun Pajak, Saat dan Tempat Pajak Terutang Tahun pajak adalah jangka waktu satu tahun takwin. Tahun takwin adalah masa dari tanggal 1 januari sampai 31 desember. Saat pajak terutang adalah saat yang menentukan pajka yang terutang menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 januari. Sedangkan tempat pajak terutang ditentukan terbagi atas wilayah DKI Jakarta dan wilayah Kabupaten/Kota tempat objek pajak.
2.3.10 Pendaftaran dan Pendataan Objek Pajak dan Subjek Pajak Setiap subjek pajak (orang atau badan) wajib mendaftarkan diri sebagai subjek pajak atau wajib pajak. Untuk pendaftaran dapat dilakukan dengan mendaftarkan diri yang dapat dilakukan di kantor-kantor pelayanan pajak Bumi dan Bangunan, yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai atau dimanfaatkan oleh orang atau badan tersebut dengan mengisi suatu formulir yaitu Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang telah ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Subjek pajak memiliki kewajiban dalam pelaksanaa pendaftaran sebagia berikut: 1. Mengambik formulir SPOP di tempat yang ditunjuk 2. Formulir diisi dengan jelas, benar, dan lengkap 3. SPOP diserahkan kembali untuk diproses di KPPBB (sekarang KPP Pratama) selambat-lambatnya 30 hari sejak tanggalk SPOP diterima Dalam melakukan pendataan objek dan subjek PBB dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak atau pihak lain yang ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Pajak dan
32
diikitu dengan penilaian. Pendataan dilakukakan dengan menggunakan formulir SPOP dan dilakukan sekurang-kurangnya untuk satu wilayah administrasi desa/kelurahan dengan menggunakan/memilih satu dari empat alternative yaitu: 1. Pendataan dengan cara penyampaian dan pemantauan penegmbalian SPOP 2. Pendataan dengan cara identifikasi objek dan subjek pajak 3. Pendataan dengan cara verifikasi objek dan subjek pajak 4. Pendataan dengan pengukuran bidang objek pajak
2.3.11 Pembayaran dan Penagihan Diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 167/PMK.03/2007 Tentang tentang penunjukan tempat dan tata cara pembayaran PBB dikenal dengan Sistem Tempat Pembayaran (SISTEP). Dalam SISTEP terdapat beberapa ketentuan sebagai berikut: 1. PBB yang terutang dibayar di Bank, Kantor Pos dan Giro, dan tempat lai yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan 2. Pembayaran PBB hanya dapat dilakukan dalam satu kali pembayaran (sekaligus) dalam arti jumlah pajak yang terutang tidak diangsur atau cicil 3. Penyampaian SPPT untuk satu wilayah administrasi pemerintahan tertentu kepada waib pajak dilakukan secara serentak dalam periode tertentu sehingga tanggal jatuh tempo pembayaran untuk wilayah administrasi pemerintahan tersebut seragam, yaitu satu tanggal jatuh tempo. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya penumpukan pembayaran PBB pada tanggal jatuh tempo yang sama
33
4. Tempat pembayaran harus terletak didalam wilayah Kabupaten/Kota yang bersangkutan, dan diusahakan dapat dijangkau dengan mudah oleh wajib pajak Untuk mempermudah wajib pajak pembayaran PBB dapat dilakukan dengan menggunakan fasilitas Perbankan Elektronik yang telah ditetapkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-371/PJ./2002 tentang Tata Cara Pembayaran PBB Melalui Fasilitas Perbankan Elektronik. Dasar penagihan adalah Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak, dan Surat Tagihan Pajak. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang adalah
surat
yang
digunakan
oleh
Direktorat
Jenderal
Pajak
untuk
memberitahukan besarnya pajak yang terutang kepada wajib pajak. Surat Ketetapan Pajak diterbitkan apabila Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang disampaikan lewat dari 30 (tiga puluh) hari setelah diterima SPOP oleh wajib pajak dan adanya Surat Teguran dan SKP diterbitkan jika atas dasar hasil pemeriksaan ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak berdasarkan SPOP yang dikembalikan kepada wajib pajak. Sedangkan Surat Tagihan Pajak adalah surat yang diterbitkan oleh kantor Pelayanan PBB untuk melakukan tagihan pajak terutang yang terdapat didalam SPPT atau SKP yang tidak atau kurang dibayar setelah lewat jatuh tempo pembayaran dan/atau denda administrasi. Sanksi administrasi 2% per bulan akan dikeluarkan SPPT telah lewat dari jatuh tempo yang ditetapkan yaitu 6 (enam) bulan dan jika saat itu wajib pajak masih belum membayar maka Surat Tagihan Pajak akan dikeluarkan yang jatuh temponya 1 (satu) bulan dan berturut-turut akan dikeluarkan Surat Paksa,
34
Surat Perintah Melakukan Penyitaan, dan akhirnya barang yang disiti akan dilelang untuk membayar PBB. 2.3.12 Keberatan, Banding dan Pengurangan Keberatan terjadi jika wajib pajak membantah atau tidak sependapat dengan isi SPPT yang diterbitkan dikarenakan hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataannya dalam NJOP atau luas objek bumi dan/atau bangunan dan juga disebabkan oleh perbedaan penafsiran undang-undang dan peraturan perundangundangan antara fiskus dan wajib pajak. Dalam pengajuan keberatan terdapat beberapa syarat formal yaitu: 1. Diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan PBB yang menerbitkan SPPT atau SKP dengan alasan yang jelas dan dengan dilampiri bukti pendukung 2. Harus diajukan dalam jangka waktu 3(tiga) bulan sejak diterima SPPT atau SKP 3. Tidak menunda kewajiban membayar pajak Surat keberatan ini akan diproses selama 12 bulan jika lebih maka akan dianggap keberatan disetujui. Jika wajib pajak tidak setuju dengan SK keberatan maka dapat melakukan banding ke Pengadilan Pajak. Pengajuan permohonan banding dilakukan secara tertulis dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak wajib pajak menerima SK keberatan. Banding ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 16/Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata
35
Cara Perpajakan dan Undang-Undang Nomor 14/Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak. Pengurang PBB ini dapat diberikan kepada wajib pajak karena: 1. Atas dasar kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak seperti: a. Objek pajak pertanian/perkebunan/perikanan/peternakan yang hasilnya sangat terbatas dan milik pribadi b. Objek pajak milik orang pribadi dengan penghasilan rendah dan NJOP meningkat akibat dari pembangunan c. Objek pajak milik pribadi yang penghasilannya semata-mata dari pensiun d. Objek pajak yang berpenghasilan rendah e. Objek pajak milik anggota veteran f. Objek pajak milik badan yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas sepanjang tahun 2. Bencana alam atau kejadian luar biasa 3. Wajib Pajak merupakan anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan Batas pengajuan permohonan pengurangan adal 3 (tiga) bulan sejak diterima SPPT/SKP,atau sejak terjadi bencana alam atau kejadian luar biasa. KPP Pratama memberikan keputusan atas permohonan pengurangan PBB terutang tidak lebih dari 500 juta sedangkan jika lebih akan diproses di Kanwil DJP. Keputusan yang diberikan dapat mengabulkan seluruhnya/sebagian atau menolak.
36
2.3.13 Daluwarsa PBB Daluwarsa PBB terdiri dari dua yaitu Daluwarsa Penetapan dan Daluwarsa Penagihan. Daluwarsa Penetapan yaitu setelah lewat dari 10 tahun akan tetapi apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang treutang tidak dibayar atau kurang bayar atau wajib pajak dikenai hukuman karena tindak pidana perpajakan, maka Dirjen Pajak dapat menerbitkan SKP ditambah sanksi adminitrasi sebesar 48% dari pajak yang belum dibayar. Daluwarsa Penagihan pun sam halnya seperti Daluwarsa Penetapan yaitu 10 tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak bagian tahun pajak atau tahun pajak yang bersangkutan. Akan tetapi daluwarsa penagihan dapat menjadi tertangguh jika diterbitkan Surat Teguran, ada pengakuan utang dari wajib pajak, dan diterbitkan SKP Kurang Bayar/KB Tambahan.
2.3.14 Retitusi dan Kompensasi Apabila pajak yang dibayar lebih besar dari pajak terutang karena permohonan pengurangan dikabulkan, permohonan keberatan dikabulkan, permohonan banding dikabulkan, serta perubahan peraturan dan juga pajak yang dibayar seharusnya tidak terutang, seperti pembayaran PBB atas rumah ibadah maka, itu dapat mengakibatkan adanya restitusi. Selain restitusi, kelebihan atas pembayaran pajak yang diterima oleh wajib pajak dapat juga berupa kompensasi yang dapat dilakukan untuk ketetapan PBB
37
tahun yang akan dating, utang PBB atas nama wajib pajak lain, dan utang PBB atas nama wajib pajak lain untuk tahun yang akan dating.
2.3.15 Pembagian Hasil Penerimaan PBB Dalam (Murtopo, dkk: 2011) hasil penerimaan PBB yang diterima oleh Bank/Kantor Pos TP dari wajib pajak dalam jangka satu minggu harus dilimpahkan ke Bank/Kantor Pos persepsi yang lalu kemudian akan dilimpahkan ke Bank/Kantor Pos operasional dan setelah itu akan dibagikan kepada yang berhak menerima yaitu: 1. 10% untuk bagian Pemerintah Pusat 2. 9% untuk bagian Biaya Pemungutan 3. 16,2% untuk bagian Pemerintah Provinsi 4. 64,8% untuk bagian Pemerintah Kabupaten/Kota Sejak tahun 1994/1995 bagian Pemrintah Pusat sebesar 10% dilimpahkan kembali kepada daerah Kabupaten/Kota dengan imbangan 6,5% diibagikan merata ke seluruh daerah Kabupaten/Kota dan 3,5% dibagikan sebagai insentif kepada daerah Kabupaten/Kota yang mengalami surplus rencana penerimaan sektor pedesaan dan perkotaan. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 34/PMK.03/2005: Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan dibagi untuk Pemerintah Pusat dan
38
Daerah dengan imbangan sebagai berikut: a. 10% (sepuluh persen) untuk Pemerintah Pusat; b. 90% (sembilan puluh persen) untuk Daerah.
Jumlah 10% (sepuluh persen) bagian Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibagikan kepada seluruh daerah kabupaten dan kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan, dengan imbangan sebagai berikut: a. 65% (enam puluh lima persen) dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten dan kota; dan b. 35% (tiga puluh lima persen) dibagikan secara insentif kepada daerah kabupaten dan kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu.
Jumlah 90% (sembilan puluh persen) bagian Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibagi dengan rincian sebagai berikut: a. 16,2% (enam belas koma dua persen) untuk Daerah Provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Provinsi; b. 64,8% (enam puluh empat koma delapan persen) untuk Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Kabupaten/Kota; c. 9% (sembilan persen) untuk Biaya Pemungutan yang dibagikan kepada
39
Direktorat Jenderal Pajak dan Daerah.
Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 90% (sembilan puluh persen) dari hasil penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat- (1) merupakan penerimaan bagian Daerah yang dibagi dengan rincian sebagai berikut: a. 16,2% (enam belas koma dua persen) untuk Daerah Provinsi, yang dibagi dengan imbangan: 1. 30% (tiga puluh persen) untuk biaya pendidikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan disalurkan melalui rekening khusus dana pendidikan; 2. 70% (tujuh puluh persen) untuk Daerah Provinsi dan disalurkan melalui rekening Kas Daerah Provinsi; b. 64,8% (enam puluh empat koma delapan persen) untuk Daerah *, Kabupaten/Kota yang bersangkutan, yang dibagi dengan imbangan: 1. 30% (tiga puluh persen) untuk biaya pendidikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan disalurkan melalui rekening khusus dana pendidikan; 2. 70% (tujuh puluh persen) untuk Daerah Kabupaten/Kota dan disalurkan melalui rekening Kas Daerah Kabupaten/Kota; c. 9% (sembilan persen) untuk Biaya Pemungutan yang dibagikan kepada Direktorat Jenderal Pajak dan Daerah.
40
2.3.16 Ketentuan Pidana Tindakan pidana disebabkan karena beberapa hal yaitu apabila karena wajib pajak alpa/lupa tidak mengmbalika SPOP dan mengembalikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau lampiran tidk benar sehingga menimbulkan kerugian kepada Negara maka akan dikenakan sanksi berupa kurungan maksimum 6 (enam) bulan atau denda sebanyak dua kali pajak terutang. Selain
itu
juga
karena
sengaja
tidak
mengembalikan
SPOP,
mengembalikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau lampiran tidak benar, menunjukkan/memberikan surat-surat palsu atau asli tapi palsu, tidak menunjukan surat-surat/dokumen yang diperlukan, dan tidak menunjukan data/keterangan yang diperlukan sehingga menyebabkan kerugian kepada Negara maka dapat dikenakan sanksi berupa hukuman penjara maksimum dua tahun atau dikenakan denda sebnayak lima kali lipat pajak terutang. Dan apabila hal tersebut diulangi lagi maka sanksi tersebut menjadi dua kali lipat. Terhadap yang bukan wajib pajak bila melakukan hal-hal tersebut diatas maka dikenakan sanksi berupa hukuman kurungan maksimum satu tahun atau denda dua juta Rupiah. Apabila lewat waktu 10 tahun (daluwarsa) maka ketantuan pidana tersebut tidak dapat dituntut.(Murtopo, dkk: 2011)
2.4
Wajib Pajak Menurut Pasal 1 angka 2 UU KUP, “Wajib Pajak adalah orang pribadi
atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak yang
41
mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam Rahman,Abdul wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakn ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut atau pemotong pajak tertentu. Dan dalam kamus istilah ekonomi popular, wajib pajak adalah subjek yang diwajibkan untuk membayar pajak.
2.5
Faktor Keberhasilan Pajak Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan perpajakan dalam
(Fraternesi,2002) menurut Bawazier adalah : 1. Tax law Dalam kamus istilah ekonomi, tax law atau hukum pajak adalah peraturan mengenai pajak, yang meliputi subjek, objek, jenis, cara pemungutan, dan sanksi. 2. Tax Policy Regulasi atau peraturan perpajakan yang berupa undang-undang perpajakan. 3. Tax Administration Administrasi Pajak dalam arti sempit adalah penatausahaan dan pelayanan terhadap
kewajiban-kewajiban
dan
hak-hak
wajib
pajak,
baik
42
penatausahaan dan pelayanan tersebut dilakukan di kantor fiskus maupun di kantor wajib pajak. 4. Taxpayer Taxpayer atau kita ketahui adalah wajib pajak merupakan subjek yang diwajibkan untuk membayar pajak atau pembayar pajak. Menurut (Mangkoesoebroto,1993) suatu sistem pajak yang baik adalah memiliki unsur kepastian, biaya administrasi yang minimal, pelaksanaan, dan dapat diterima oleh masyarakat. Dengan begitu dapat kita simpulkan bahwa keberhasilan penerimaan pajak ini harus didorong oleh faktor internal dan eksternal yang penulis simpulkan bahwa faktor internal meliputi tax law, tax policy, dan tax administration. Dan untuk eksternal adalah taxpayer.
2.6
Faktor Taxpayer Reformasi administrasi perpajakan ini menjadi salah satu faktor yang
mendukung untuk reformasi perpajakan. Untuk mengimplementasikannya agar efektif dan efisien hal-hal yang perlu diperhatikan adalah pengembangan sumber daya manusia, teknologi informasi, struktur organisasi, proses dan prosedur, serta sumber daya financial dan insentif yang cukup. (Rahman, 2010) Untuk itu sasaran reformasi administrasi perpajakan adalah meningkatkan kepatuhan para pembayar pajak dan melaksanakan ketentuan perpajakan secara seragam untuk penerimaan maksimal dengan biaya yang optimal.
43
Maka dari itu, kemampuan administrasi pajak untuk memungut pajak yang efektif merupakan kunci pembentukan perilaku pembayar pajak (wajib pajak) agar dapat meminimalisir ketidakpatuhan wajib pajak.
2.6.1 Kesadaran Perpajakan Kesadaran adalah suatu keadaan dimana seseorang tahu/mengerti dengan jelas apa yang ada dalam pikirannya dan yang dirasakannya. Kesadaran perpajakan ini merupakan suatu sikap terhadap fungsi pajak bagaimana kita berperilaku. Wajib pajak yang memiliki kesadaran akan perpajakan memiliki rasa rela akan memberikan kontribusinya untuk membayar pajak tepat waktu dan jumlah yang benar. Dengan kesadaran perpajakan berarti wajib pajak sadar akan kewajiban dan haknya sebagai warga Negara. Indikator kesadaran ini adalah apakah wajib pajak mengetahui fungsi pajak dan kesaradan wajib pajak dalam membayar pajak. (http://digilib.petra.ac.id)
2.6.2 Pendapat Wajib Pajak Terhadap Sanksi Denda PBB Kita memiliki undang-undang yang mengatur berisikan hak dan kewajiban, yang diperkenankan dan tidak. Agar berjalan dengan baik maka tindakan yang tidak diperkenankan memiliki sanksinya, dari yang teringan hingga yang terberat sesuai dengan apa yang dilanggarnya dalam aturan yang diatur. Sama halnya seperti aturan yang terdapat mengatur Pajak Bumi dan Bangunan, sepenuhnya tidak akan ditaati. Sanksi yang dibuat harus memiliki rasa yang merugikan bagi yang melanggarnya. Untuk itu, bagaimana pendapat/pandangan
44
wajib pajak terhadap sanksi tersebut guna untuk menanamkan rasa untuk tidak menyalahi aturan. Indikator pelaksanaan sanksi denda ini adalah apakah dilaksanakan secara tegas, lugas, konsisten, dan mampu menjangkau para pelanggar. (Munari,2005)
2.6.3 Pendapat Wajib Pajak Terhadap Penghindaran PBB Penghindaran pajak merupakan upaya mengefisienkan beban pajak dengan cara menghindari pengenaan pajak memalui transaksi yang bukan objek pajak. Upaya untuk menghindarkan pajak merupakan suatu hal yang sangat alamiah mengingat suatu pungutan paksaan dan sesuatu yang dipaksakan pastilah akan menimbulkan reaksi negatif dan penghindaran pajak ini merupakan tindakan yang tidak melanggar hukum. (Mangkoesoebroto, 1993) Indikator atas pendapat Wajib Pajak terhadap penghindaran Pajak Bumi dan Bangunan adalah pengetahuan akan strategi pajak. (Munari,2005)
2.6.4 Pendapat Wajib Pajak Terhadap Beban PBB Ukuran seberapa besar beban itu adalah kita yang merasakannya. Apakah itu ringan atau berat untuk kita. Dan beban itulah yang menjadikan kita untuk terus melakukannya atau tidak. Begitu pula dengan pajak, kita merasa ringan maka kita akan dengan senang hati melaksanakannya dan jika berat mungkin kita enggan untuk melaksanakannya. Ukuran itu diukur oleh kita sendiri apakah sebaiknya ringan atau berat dan juga adil. (Munari,2005)
45
2.6.5 Pendapat Wajib Pajak Terhadap Pelayanan Fiskus. Selain taxpayer, masih ada tiga faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan yaitu tax policy, tax administration, dan tax law dan ini semua melekat pada fiskus. Sehingga taxpayer dapat memberikan penilaian akan pelayanan yang diberikan fiskus. Sikap dan profesinalisme fiskus dituntut untuk memberikan pelayanan yang maksimal. (Nugroho,2006)