BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan 2.1.1 Bawang putih (Allium sativum L) Tanaman bawang putih adalah tanaman terna berbentuk rumput. Daunnya panjang berbentuk pipih (tidak berlubang). Helai daun seperti pita dan melipat ke arah panjang dengan membuat sudut pada permukaan bawahnya, kelopak daun kuat, tipis, dan membungkus kelopak daun yang lebih muda sehingga membentuk batang semu yang tersembul keluar. Bunganya hanya sebagian keluar atau sama sekali tidak keluar karena sudah gagal tumbuh pada waktu berupa tunas bunga. ( J.Sugito dan Murhanto 1999) 2.1.2. pemilihan lokasi tanam Ketinggian tempat untuk bawang putih jenis dataran rendah adalah 6-700 m di atas permukaan laut dengan curah hujan antara 100-200 mm/bulan. Curah hujan yang terlalu rendah dari itu akan menggangu pertumbuhan, sebaliknya curah hujan yang terlalu tinggi akan menyebabkan tanaman membusuk.( J.Sugito dan Murhanto 1999). Suhu yang diinginkan antara 15-26º C. Pada temperature yang terlalu tinggi umbi tidak berkembang sempurna atau malah tidak dapat membentuk umbi Bawang putih dengan nama latin (Allium sativum L.) termasuk suku Liliaceae. Tumbuhan ini baik ditanam di dataran tinggi (pegunungan) dengan ketinggian lebih dari 600 m dpl. Jika bawang putih ditanaman di dataran rendah, akan sulit terbentuk umbi. Syarat penting tumbuhnya tanaman bawang putih ialah hawanya sejuk dan kering serta pH tanah 6,5-7,5. Bawang putih sangat baik ditanam pada
Universitas Sumatera Utara
awal musim kemarau. Jika ditanaman pada musim hujan, tanaman mudah tersengat penyakit. .( J.Sugito dan Murhanto 1999). 2.1.3 Morfologi Tumbuhan Umbi bawang ada di pangkal tanaman, tepat di atas pokok rudimeternya dan berada di dalam tanah. Tiap umbi terdiri dari siung-siung kecil, siung ini terbentuk dari tunas-tunas diantaraa daun-daun muda dekat pusat tajuk. Pada waktu tanaman bawang putih tumbuh, dari tunas-tunas tersebut akan terbentuk siung. Siung ini terdiri dari dua bagian yaitu dua helai daun dewasa dan sebuah tunas vegetattif. Salah satu dari dari dua helai daun tersebut, yaitu daun dewasa yang terletak disebelah luar, berfungsi sebagai daun pelindung berbentuk silindris dan berlubang kecil di pucuknya. Daun pelindung ini menjadi tipis, kering, kuat dan berfungsi sebagai pelindung bagi sehelai daun dan tunas vegetatif sebelah dalamnya, kemudian siung-siung tersebut dilapisi selaput tipis yang kuat dan kering sehingga membentuk umbi yang lebih besar, yang merupakan gabungan dari banyak siung. Siung-siung yang membentuk umbi ini berkisar 13-13 buah. (Singgih, W.,2008). 2.1.4 Sistematika Tumbuhan Dalam sistematika tumbuhan, bunga rosela diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio
: Angiospermae
Kelas
: Monicotyledonae
Universitas Sumatera Utara
Ordo
: Liliales
Famili
: Liliaceae
Genus
: Allium
Spesies
: Allium sativum L. (Johny R.H, Djumidi,2000)
Adapun beberapa nama daerah bawang putih antara lain : Madura
: Bhabang pote
Sunda
: Bawang bodas
Lampung
: Bawang handak
Bali
: Kasuna
Bugis
: Lasuna pute
Ternate
:Bawa bodudo (Nia Kurniawati., 2010).
2.1.5 Manfaat Bawang putih termasuk tanaman rempah yang bernilai ekonomi tinggi karena memiliki beragam kegunaan. Tidak hanya di dapur bawang putih memegang peranan, sebagai tanaman apotek hidup. Selain sebagai bumbu masak , bawang putih dipercaya sebagai obat untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Penelitian yang dilakukan oleh pakar Amerika melaporkan bahwa allicin pada bawang putih mampu membunuh mikroba penyebab tuberkulose, difteri, tipoid disentri, dan gonorrhoe. Beberapa pakar juga sepakat bahwa penyakit asma, cacingan dan gatal-gatal dapat ditangkal oleh allicin. Selain itu allicin juga dapat membasmi Erytococcus neoformans (jamur penyebab inveksi di vagina manusia). Dilaporkan pula , bawang putih dapat mengatasi influenza,letih, lelah, dan sulit
Universitas Sumatera Utara
tidur, karena bawang putih efektif dalam mengganti kekurangan vitamin C. ( J.Sugito dan Murhanto 1999). 2.2 Vitamin
Vitamin adalah senyawa organik yang diperlukan oleh tubuh dalam jumlah sedikit, tetapi penting untuk melakukan fungsi metabolik di dalam tubuh. Vitamin tidak dapat disintesa oleh tubuh kecuali vitamin K, maka vitamin harus ada dalam makanan yang dikonsumsi (Andarwulan dan Koswara, 1989). Vitamin dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu vitamin yang dapat larut dalam air dan vitamin yang dapat larut dalam lemak. Jenis vitamin yang dapat larut dalam air adalah vitamin B kompleks dan vitamin C. Vitamin yang dapat larut dalam lemak adalah vitamin A, D, E, dan K, serta provitamin A yaitu β-karoten. Bahan makanan yang kaya akan vitamin adalah sayur-sayuran dan buah-buahan (Sudarmadji, 1989). 2.2.1 Vitamin C Vitamin C atau asam askorbat mempunyai berat molekul 176,13 dengan rumus molekul C6H8O6. Vitamin C dalam bentuk murni merupakan kristal putih, tidak berwarna, tidak berbau dan mencair pada suhu 190-192°C. Senyawa ini bersifat reduktor kuat dan mempunyai rasa asam. Vitamin C sangat mudah larut dalam air (1g dapat larut sempurna dalam 3 ml air), sedikit larut dalam alkohol (1 g larut dalam 50 ml alkohol absolut atau 100 ml gliserin) dan tidak larut dalam benzena, eter, kloroform, minyak dan sejenisnya. Vitamin C tidak stabil dalam bentuk larutan, terutama jika terdapat udara, logam-logam seperti Cu, Fe, dan cahaya. Di dalam larutan, gugus hidroksil pada atom C3 sangat mudah terionisasi (pk1 = 4,04 pada 25oC dan memberikan nilai pH 2,5) sedangkan gugus hidroksil
Universitas Sumatera Utara
pada atom C2 lebih tahan terhadap ionisasi dan mempunyai pk2 = 11,4 (Andarwulan dan Koswara, 1989). Rumus bangun vitamin C dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini (Ditjen POM, 1995):
Gambar 1. Rumus Bangun Vitamin C 2.2.2 Peranan Vitamin C Salah satu fungsi utama vitamin C berkaitan dengan sintesis kolagen. Kolagen adalah sejenis protein yang merupakan salah satu komponen utama dari jaringan ikat, tulang-tulang rawan, dentin, lapisan endotelium pembuluh darah dan lain-lain (Tjokronegoro, 1985). Kekurangan asupan vitamin C dapat menyebabkan skorbut. Dalam kasuskasus skorbut spontan, biasanya terjadi gigi mudah tanggal, gingivitis, dan anemia, yang mungkin disebabkan oleh adanya fungsi spesifik asam askorbat dalam sintesis hemoglobin. Skorbut dikaitkan dengan gangguan sintesis kolagen yang manifestasinya berupa luka yang sulit sembuh, gangguan pembentukan gigi, dan robeknya kapiler (Tjokronegoro, 1985). Kebutuhan harian vitamin C bagi orang dewasa adalah sekitar 60 mg, untuk wanita hamil 95 mg, anak-anak 45 mg, dan bayi 35 mg, namun karena banyaknya polusi di lingkungan antara lain oleh adanya asap-asap kendaraan
Universitas Sumatera Utara
bermotor dan asap rokok maka penggunaan vitamin C perlu ditingkatkan hingga dua kali lipatnya yaitu 120 mg (Silalahi, 2006). 2.2.3 Perubahan Vitamin C dalam Buah dan Sayur Jumlah vitamin C yang terkandung dalam tanaman tergantung pada varietas dari tanaman, kondisi tanah, iklim dimana tanaman tumbuh, jangka waktu sejak dipetik, kondisi penyimpanan, cara penyajian misalnya diolah dengan pemanasan dapat merusak vitamin C (Anonima, 2006). Asam askorbat bersifat sangat sensitif terhadap pengaruh-pengaruh luar yang menyebabkan kerusakan seperti suhu, oksigen, enzim, kadar air, dan katalisator logam. Asam askorbat sangat mudah teroksidasi menjadi Ldehidroaskorbat yang masih mempunyai keaktivan sebagai vitamin C. Asam Ldehidroaskorbat secara kimia sangat labil dan dapat mengalami perubahan lebih lanjut menjadi asam L-diketogulonat yang tidak memiliki keaktivan vitamin C lagi (Andarwulan dan Koswara, 1989). Reaksi oksidasi vitamin C dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini (Winarno dan Aman, 1981):
-2H +2H
Asam askorbat
Asam Dehidro Askorbat
Asam diketogulonat
Asam Oksalat
Gambar 2. Reaksi Oksidasi Vitamin C 2.3. Metode Penetapan Kadar Vitamin C Ada banyak cara dalam penentuan kadar vitamin C, beberapa diantaranya adalah:
Universitas Sumatera Utara
a. Metode titrasi iodimetri Vitamin C dalam bahan makanan dapat ditentukan dengan menggunakan reaksi oksidasi reduksi. Reaksi redoks ini lebih baik dibandingkan dengan titrasi asam basa karena banyak kandungan bahan pangan yang bersifat asam atau basa yang mengganggu pada titrasi asam basa tetapi tidak mengganggu pada oksidasi vitamin C dengan iodium. Kelarutan iodium meningkat dengan pengompleksan dengan iodida membentuk triiodida (Anonimb, 1999). I2 + I
I3
Pada awal titrasi, adanya vitamin C menyebabkan triiodida berubah menjadi ion iodida, sehingga tidak terbentuk kompleks iod-amilum dan warna biru kehitaman tidak terbentuk. Ketika semua vitamin C telah teroksidasi, secepatnya triiodida bereaksi dengan amilum sehingga terbentuk warna biru kehitaman (Anonimc, 1998). Menurut Andarwulan dan Koswara (1989), metode iodimetri tidak baik untuk penetapan kadar vitamin C pada bahan pangan sebab dalam bahan pangan alami mengandung senyawa lain yang bersifat pereduksi seperti karbohidrat yang sebagian dapat tereduksi oleh larutan iodium. Senyawa-senyawa tersebut mempunyai warna titik akhir titrasi yang sama dengan titik akhir titrasi vitamin C dengan larutan iodium. b. Metode titrasi 2,6-diklorofenol indofenol Larutan 2,6-diklorofenol indofenol dalam suasana netral atau basa akan berwarna biru sedangkan dalam suasana asam akan berwarna merah muda. Apabila 2,6-diklorofenol indofenol direduksi oleh asam askorbat maka akan menjadi tidak berwarna, dan bila semua asam askorbat sudah mereduksi 2,6-
Universitas Sumatera Utara
diklorofenol indofenol maka kelebihan larutan 2,6-diklorofenol indofenol sedikit saja sudah akan terlihat terjadinya warna merah muda (Sudarmadji, 1989). Titrasi dan ekstraksi vitamin C harus dilakukan dengan cepat karena banyak faktor yang menyebabkan oksidasi vitamin C misalnya pada saat penyiapan sampel atau penggilingan. Oksidasi ini dapat dicegah dengan menggunakan asam metafosfat, asam asetat, asam trikloroasetat, dan asam oksalat sebagai pengekstraksi. Titrasi harus selesai dalam waktu 2 menit. Suasana larutan yang asam akan memberikan hasil yang lebih akurat dibandingkan dalam suasana netral atau basa. Penggunaan asam-asam di atas juga berguna untuk mengurangi oksidasi vitamin C oleh enzim-enzim oksidasi yang terdapat dalam jaringan tanaman. Selain itu, larutan asam metafosfat-asetat juga berguna untuk pangan yang mengandung protein karena asam metafosfat dapat memisahkan vitamin C yang terikat dengan protein (Garrat, 1964; Higuchi dan Hansen, 1961; Counsell, 1996). Metode ini pada saat sekarang merupakan cara yang paling banyak digunakan untuk menentukan kadar vitamin C dalam bahan pangan. Metode ini lebih baik dibandingkan metode iodimetri karena zat pereduksi lain tidak mengganggu penetapan kadar vitamin C. Reaksinya berjalan kuantitatif dan praktis spesifik untuk larutan asam askorbat pada pH 1-3,5. Larutan standar harus distandarisasi setiap hari. Untuk perhitungan maka perlu dilakukan standarisasi larutan 2,6-diklorofenol indofenol dengan vitamin C standar (Andarwulan dan Koswara, 1989; Ranganna, 2000; Sudarmadji, 1989). Reaksi yang terjadi antara 2,6-diklorofenol indofenol dan vitamin C dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah ini (Hashmi, 1986):
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3. Reaksi Asam Askorbat dengan 2,6-Diklorofenol Indofenol
Keterangan: Dye = zat warna c. Metode Spektroskopis Metode ini berdasarkan kemampuan vitamin C yang terlarut dalam air untuk menyerap sinar ultraviolet, dengan panjang gelombang maksimum pada 265 nm. Oleh karena vitamin C dalam larutan mudah sekali mengalami kerusakan, maka pengukuran dengan cara ini harus dilakukan secepat mungkin. Untuk memperbaiki hasil pengukuran, sebaiknya ditambahkan senyawa pereduksi yang lebih kuat daripada vitamin C. Hasil terbaik diperoleh dengan menambahkan larutan KCN (sebagai stabilizer) ke dalam larutan vitamin (Andarwulan dan Koswara, 1989). 2.4 Analisis Kembali Vitamin C yang Ditambahkan pada Sampel (Analisis Recovery)
Pengukuran
kadar
suatu
senyawa
dalam
campurannya
dengan
menggunakan salah satu metoda tertentu, selalu terbuka kemungkinan gangguan-
Universitas Sumatera Utara
gangguan komponen dalam campurannya, sehingga ketepatan suatu metoda perlu diketahui dengan melakukan percobaan recovery (Silalahi, 1989). Percobaan recovery suatu senyawa dalam suatu sampel dilakukan dengan dua tahap yaitu pertama adalah menentukan kadar senyawa yang diteliti dalam sampel, selanjutnya ditambahkan bahan baku yang jumlahnya diketahui dengan pasti ke dalam sampel yang sama dan dianalisis dengan cara yang sama. Berdasarkan nilai persen recovery, dapat diketahui kadar senyawa yang sebenarnya dalam sampel dengan mengkonversikan nilai persen recovery tersebut (Silalahi, 1989). Rumus perhitungan persen Recovery: % Recovery =
B–A C
X 100 %
Keterangan: A = Kadar vitamin C mula-mula (mg/100 g bahan) B = Kadar vitamin C setelah penambahan (mg/100 g bahan) C = Kadar vitamin C yang ditambahkan (mg/100 g bahan)
Universitas Sumatera Utara