BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 LANJUT USIA (LANSIA) 2.1.1 Pengertian Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan sesorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual (Efendi, 2009). Organisasi kesehatan dunia WHO mengelompokkan lanjut usia menjadi empat yaitu : Usia pertengahan (middle age) adalah 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) adalah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) adalah 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun (Nugroho, 2012). Lanjut usia (lansia) adalah sesorang yang berusia 60 tahun atau lebih (UU no 13 tahun 1998). Departemen sosial tahun 1999 mendefinisikan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas. Berdasarkan definisi diatas peneliti dapat menyimpulkan bahwa seseorang dikatakan lanjut usia apabila usianya 60 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stress lingkungan.
8
9
2.1.2 Proses Menua Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupan yaitu anak, dewasa, dan tua. Tiga tahap ini berbeda baik secara biologis maupun psikologis. WHO dan Undang-undang nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia menyebutkan bahwa menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan yang kumulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh yang berakhir dengan kematian (Nugroho, 2012).
2.1.3 Perubahan Akibat Proses Menua a. Sistem persyarafan Struktur dan fungsi saraf berubah dengan bertambahnya usia. Berkurangnya massa otak progresif akibat berkurangnya sel saraf yang tidak bisa diganti. Terjadi penurunan sintesis dan metabolisme neurotransmiter utama. Impuls saraf dihantarkan lebih lambat sehingga lansia memerlukan waktu yang lebih lama untuk merespon dan bereaksi (Smeltzer & Bare, 2004). b. Sistem kardiovaskuler Perubahan struktural yang normal dari penuaan yang terjadi pada jantung dan sistem vaskuler mengakibatkan kemampuannya untuk berfungsi secara efisien menurun. Katup jantung menjadi lebih tebal dan kaku, jantung serta arteri
10
kehilangan elastistasnya. Pada lansia terjadi perubuhan ukuran jantung yaitu hipertrofi dan atrofi pada usia 30 – 70 tahun. Sistem aorta dan arteri perifer menjadi kaku dan tidak lurus karena peningkatan serat kolagen dan hilangnya serat elastis dalam lapisan medial arteri. Implikasi dari hal ini adalah penumpulan respon baroreseptor dan penumpulan respon terhadap panas dan dingin (Miller, 2004). c. Sistem pernafasan Perubahan sistem respirasi yang berhubungan dengan usia yang mempengaruhi kapasitas dan fungsi paru meliputi peningkatan diameter anterioposterior dada, kolaps osteoporotik vertebra yang mengakibatkan kifosis (peningkatan kurvatura konveks tulang belakang), penurunan efisiensi otot polos, dan penururnan luas permukaan alveoli (Smeltzer & Bare, 2004) d. Sistem pencernaan Fungsi sistem pencernaan biasanya masih tetap adekuat sepanjang hidup. Namun demikian beberapa orang lansia mengalami ketidaknyamanan akibat lambatnya perjalanan makanan atau motilitas yang melambat. Peristaltik di esofagus kurang efisen pada lansia. Selain itu sfingter gastro esofagus gagal berelaksasi mengakibatkan pengosongan esofagus terlambat. Keluhan utama biasanya berpusat pada perasaan penuh, nyeri ulu hati, dan gangguan pencernaan (Smeltzer dan Bare, 2004). Dilatasi esofagus, kehilangan tonus sfingter jantung, dan penurunan refleks muntah. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan terjadinya resiko aspirasi (Miller, 2004).
11
e. Sistem genitourinaria Perubahan fungsi ginjal meliputi penurunan laju filtrasi, penurunan fungsi tubuler dengan penurunan efisiensi dalam resorbsi dan pemekatan urin. Ureter, kandung kemih, dan uretra kehilangan tonus ototnya. Kapasitas kandung kemih menurun dan indivudu lansia tidak mampu lagi mengosngkan kandung kemihnya dengan sempurna (Smeltzer & Bare, 2004). Penurunan massa otot yang tidak berlemak, peningkatan total lemak tubuh, penurunan cairan intra sel, penurunan sensasi haus, penurunan kemampuan untuk memekatkan urine. Implikasi dari hal ini adalah penurunan total cairan tubuh dan risiko dehidrasi (Stanley, et all 2006). f. Sistem muskuloskeletal Penurunan progresif massa tulang terjadi sebelum usia 40 tahun. Kehilangan densitas tulang yang masif akan mengakibatkan osteoporosis. Kondisi ini kebanyakan terjadi pada wanita pasca menepause yang berhubungan dengan inaktifitas, masukan kalsium yang tidak adekuat, dan kehilangan estrogen (Smeltzer & Bare, 2004). Otot mengalami atrofi sebagai akibat dari berkurangnya aktivitas, gangguan metabolik, atau denervasi saraf. Dengan bertambahnya usia, perusakan dan pembentukan tulang melambat. Hal ini terjadi karena penurunan hormon esterogen pada wanita, vitamin D, dan beberapa hormon lain. Tulangtulang trabekulae menjadi lebih berongga, mikro-arsitektur berubah dan sering patah baik akibat benturan ringan maupun spontan (Setiabudi, 2005). Perubahan yang terjadi pada sistem skeletal, penurunan tinggi badan secara progresif karena penyempitan diktus intervertebral dan penekanan pada kolumna vertebralis. Implikasi dari hal ini adalah postur tubuh menjadi lebih bungkuk
12
dengan penampilan barrel-chest. Perubahan yang terjadi pada sistem muskular, perubahan kolumna vertebralis, akilosis atau kekakuan ligamen dan sendi, penyusutan dan sklerosis tendon dan otot, dan perubahan degeneratif ekstrapiramidal. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan fleksi. Perubahan yang terjadi pada sendi akibat proses menua yaitu pecahnya komponen kapsul sendi dan kolagen. Implikasi dari hal ini adalah nyeri, inflamasi, penurunan mobilitas sendi dan deformitas (Stanley, 2006). Hal ini terkait dengan teori medis (Medical Theories) dari Miller, mengatakan perubahan biologis yang berhubungan dengan proses penuaan mempengaruhi fungsi fisiologis tubuh manusia. Perubahan yang terjadi dari proses menua secara mental menurut Nugroho (2012) meliputi : a. Dibidang mental atau psikis pada lanjut usia, perubahan dapat berupa sikap yang semakin egosentrik, mudah curiga, bertambah pelit atau tamak bila memiliki sesuatu b. Sikap umum yang ditemukan pada lansia yaitu keinginan berumur panjang, tenaganya sedapat mungkin dihemat. c. Mengharapkan tetap diberi peranan dalam masyakrakat. d. Ingin mempertahankan hak dan hartanya, serta ingin tetap berwibawa. e. Jika meninggal, mereka ingin meninggal secara terhormat dan masuk surga.
13
2.2 OSTEOARTRITIS (OA) 2.2.1 Pengertian Osteoartritis (OA) adalah gangguan pada sendi yang bergerak, bersifat kronik, berjalan progresif lambat, tidak meradang dan ditandai dengan adanya abarasi dari rawan sendi dan adanya pembentukan tulang baru pada permukaan persendian (Price, 2006). Osteoartritis adalah penyakit yang merupakan hasil akhir dari banyak proses patologi yang menyatu menjadi suatu predisposisi penyakit yang menyeluruh. Osteoartritis mengenai kartilago artikuler, tulang subkondrium serta sinovium yang menyebabkan keadaan campuran dari proses degradasi, inflamasi serta perbaikan (Smeltzer & Bare, 2004) Osteoartritis lutut adalah salah satu kelainan muskuloskeletal yang paling sering dijumpai. Osteoartritis lutut merupakan penyebab utama rasa sakit dan ketidak mampuan dibandingkan OA pada bagian sendi lainya yang menimbulkan disabilitas pada lansia (Tulaar, 2004).
Gambar 2.1 kerusakan tulang rawan sendi
14
Pada proses degenerasi elastisitas jaringan akan berkurang disertai gerakan sendi yang menurun sehingga menimbulkan kekakuan sendi. Bergerak setelah istirahat akan menimbulkan tarikan yang berlebihan dan akan menimbulkan rasa sakit sebagai akibat timbulnya kekakuan jaringan. Akibat dari rasa sakit ini akan menyebabkan imobilitas (Widiharso, 2010). 2.2.2 Gambaran Klinis Gambaran klinis OA umumnya berupa nyeri sendi, terutama apabila sendi bergerak atau menanggung beban. Nyeri berkurang bila penderita beristirahat dan bertambah nyeri bila sendi digerakkan atau memikul beban. Dapat pula terjadi kekakuan sendi setelah sendi tersebut tidak digerakkan beberapa lama, tetapi kekakuan ini akan menghilang setelah sendi digerakkan (Price, 2006). Penderita OA lutut biasanya datang dengan keluhan nyeri secara menahun yang hilang timbul pada lutut dan lama kelamaan kekuatan otot akan berkurang, tidak kuat dan sakit naik turun tangga, sulit untuk jongkok dan berdiri. Biasanya mengeluh lutut berbunyi dan bengkok (Widiharsono, 2010). 2.2.3 Penatalaksanaan Penatalaksanaan secara umum dapat diatasi dengan menggunakan pengobatan modern (kimia) ataupun pengobatan tradisional. Pengobatan modern biasanya dengan menggunakan resep dokter seperti obat anti inflamasi nonsteroid, kortikosteroid, immunosupresan dan suplemen antioksidan. Pengobatan secara tradisional biasanya menggunakan tanaman obat yang berfungsi sebagai anti radang, dan penghilang rasa sakit. Pengobatan modalitas sebagai terapi non
15
farmakologis yang dapat digunakan sebagai alternatif seperti pemberian kompres, olahraga, berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol, pengaturan diet, tehnik distraksi dan relaksasi (Muhammad, 2010). 2.3 NYERI PADA OSTEOARTRITIS 2.3.1 Pengertian Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial (Smeltzer dan Bare, 2004). Menurut Syaifuddin (2009) nyeri merupakan suatu mekanisme protektif bagi tubuh yang timbul apabila jaringan sedang rusak dan menyebabkan individu bereaksi untuk menghilangkan rasa nyeri tersebut. Terjadinya nyeri pada pasien OA melalui dua proses yaitu proses degeneratif dan inflamasi. Pada proses degeneratif adanya kerusakan pada matrik tulang rawan sendi. Tulang rawan yang berfungsi sebagai bantalan tulang mengalami kerusakan sehingga terjadi pergesekan antar otot, tulang dan ligamen yang menimbulkan rasa kaku atau nyeri pada sendi. Matrik tulang rawan sendi dibentuk dari proteoglikan, glukosaminogikan, kondrosit dan kolagen. Dalam keadaan normal keempat elemen ini bekerja secara berkesinambungan untuk menjaga pergerakan sendi yang normal, yaitu tanpa rasa nyeri dan dapat digerakkan dengan bebas. Proteoglikan berfungsi menjaga kelenturan pergerakan sendi dan mengatur keseimbangan cairan yang terdapat pada tulang rawan sendi. Terganggunya sistem pengaturan ini akan menyebabkan penumpukan cairan yang terlalu banyak pada tulang rawan sendi sehingga tidak mampu menahan berat tubuh. Hal ini
16
menyebabkan terjadinya inflamasi pada sinovial, ujung saraf yang terdapat pada sinovial akan mengirimkan impuls nyeri ke otak. Mekanisme pertahanan tubuh memerintahkan sinovial untuk melakukan kompensasi dengan memproduksi cairan yang lebih banyak, hal ini menyebabkan inflamasi yang terjadi semakin berat yang disertai dengan timbulnya nyeri yang semakin hebat (Teitel, 2011). Keluhan nyeri yang berasal dari proses inflamasi yang terjadi pada tulang rawan sendi, dimana pada proses inflamasi terjadi pelepasan zat-zat kimia seperti bradikinin, histamin, serotonin, dan prostaglandin yang dapat merangsang ujungujung saraf bebas yang merupakan reseptor nyeri. Rangsangan ini kemudian dikirim ke sistem saraf pusat dan diterjemahkan menjadi sensasi nyeri (Smeltzer & Bare, 2004). 2.3.2 Faktor yang mempengaruhi a.
Usia Usia adalah variabel penting yang mempengaruhi nyeri terutama pada anak dan orang dewasa. Perbedaan perkembangan yang ditemukan antara kedua kelompok umur ini dapat mempengaruhi bagaimana anak dan orang dewasa bereaksi terhadap nyeri (Potter & Perry, 1993)
b.
Jenis kelamin Laki-laki dan wanita tidak mempunyai perbedaan secara signifikan mengenai respon mereka terhadap nyeri. Masih diragukan bahwa jenis kelamin merupakan faktor yang berdiri sendiri dalam ekspresi nyeri. Misalnya anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis dimana
17
seorang wanita dapat menangis dalam waktu yang sama. Penelitian yang dilakukan Burn, et all (1989) mempelajari kebutuhan narkotik post operative pada wanita lebih banyak dibandingkan dengan pria (Potter & Perry,2005). c.
Budaya Nyeri memiliki makna tersendiri pada individu dipengaruhi oleh latar belakang budayanya. Nyeri biasanya menghasilkan respon efektif yang diekspresikan berdasarkan latar belakang budaya yang berbeda. Ekspresi nyeri dapat dibagi kedalam dua kategori yaitu tenang dan emosi. Pasien tenang umumnya akan diam berkenaan dengan nyeri, mereka memiliki sikap dapat menahan nyeri. Sedangkan pasien yang emosional akan berekspresi secara verbal dan akan menunjukkan tingkah laku nyeri dengan merintih dan menangis (Marrie, 2004).
d.
Ansietas Meskipun pada umumnya diyakini bahwa ansietas akan meningkatkan nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua keadaaan. Riset tidak memperlihatkan suatu hubungan yang konsisten antara ansietas dan nyeri juga tidak memperlihatkan bahwa pelatihan pengurangan stres praoperatif menurunkan nyeri saat pascaoperatif. Namun, ansietas yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Ansietas yang tidak berhubungan dengan nyeri dapat mendistraksi pasien dan secara aktual dapat menurunkan persepsi nyeri.
18
Secara umum, cara yang efektif untuk menghilangkan nyeri adalah dengan mengarahkan pengobatan nyeri ketimbang ansietas (Smeltzer & Bare, 2004). e.
Keluarga dan Support Sosial Faktor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah kehadiran dari orang terdekat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan nyeri sering bergantung pada keluarga untuk mensupport, membantu atau melindungi. Ketidakhadiran keluarga atau teman terdekat mungkin akan membuat nyeri semakin bertambah. Kehadiran orangtua merupakan hal khusus yang penting untuk anak-anak dalam menghadapi nyeri (Potter & Perry, 2005).
2.3.3 Reseptor nyeri dan rangsangannya Seluruh reseptor nyeri merupakan ujung saraf bebas. Reseptor nyeri yang terdapat dikulit dan jaringan lain semuanya merupakan ujung saraf bebas. Reseptor ini tersebar luas pada
permukaan superfisisial kulit dan juga dijaringan dalam
tertentu, misalnya periosteum, dinding arteri, permukaan sendi, dan falks serta tentorium tempurung kepala. Sebagian besar jaringan dalam lainnya tidak begitu banyak dipersarafi oleh ujung saraf rasa nyeri, namun setiap kerusakan jaringan yang luas dapat saja bergabung sehingga pada daerah tersebut akan timbul tipe rasa nyeri pegal yang lambat dan kronik. Tiga tipe stimulus yang merangsang reseptor rasa nyeri yaitu mekanik, suhu, dan kimiawi. Pada umumnya nyeri cepat diperoleh melalui rangsangan jenis mekanis atau suhu, sedangkan jenis lambat dapat diperoleh melalui ketiga jenis tersebut. Beberapa zat kimia yang
19
merangsang jenis nyeri kimiawi meliputi : bradikinin, serotonin, histamin, ion kalium, asam, asetilkolin, dan enzim proteolitik. Sedangkan prostaglandin meningkatkan sensitivitas ujung-ujung serabut nyeri tetapi tidak secara langsung (Guyton & Hall, 2007). 2.3.4 Nyeri Akut dan nyeri kronik Nyeri akut biasanya muncul tiba-tiba dan umumnya berkaitan dengan cedera spesifik. Nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan terjadinya penyembuhan. Untuk tujuan definisi nyeri akut dapat dijelaskan sebagai nyeri yang berlangsung dari beberapa detik hingga enam bulan. Sedangkan nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung diluar waktu penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab atau cedera spesifik. Nyeri kronis sering didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama enam bulan atau lebih (Smeltzer & Bare, 2004). 2.3.5 Intensitas Nyeri Pengukuran subyektif intensitas nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan Indek Lequesne.
Lequesne pada tahun 1987 mengajukan kuesioner indeks
algofungsional/indeks
Lequesne
untuk
sendi
lutut
dan
panggul
yang
mencerminkan rasa nyeri dan status fungsional dalam kehidupan sehari-hari tanpa bukti obyektif. Indeks ini mengukur intensitas nyeri penderita OA berdasarkan keterbatasan gerak yang dialami penderita, dibedakan menjadi ringan (skor 1-4), sedang (skor 5-7), berat (skor 8-10), sangat berat (skor 11-13), dan amat sangat
20
berat (skor ≥ 14). Indeks ini telah diteliti validitasnya dan ternyata reproduksibilitasnya cukup baik (Kertia, 2003 dalam Yaputri, 2005). Adapun penilaian indeks Lequesne ini berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun dan dimodifikasi untuk penderita OA sebagai berikut :
21
Tabel 2.1 Indeks Lequesne No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Pertanyaan Nyeri atau tidak nyaman Selama tidur malam a. Tidak atau tidak bermakna b. Hanya pada waktu gerakan/posisi tertentu c. Tidak dengan gerakan
Skor
0 1 2
Kaku pada pagi hari atau nyeri waktu bangun a. < 1 menit b. 1-<15 menit c. ≥ 15 menit Setelah berdiri selama 30 menit a. Ya b. Tidak Ketika berjalan a. Tidak b. Hanya setelah berjalan pada jarak tertentu c. Setelah mulai jalan dan meningkat saat jalan diteruskan d. Setelah mulai jalan tidak meningkat Ketika bangkit dari duduk a. Tanpa bantuan tangan b. Dibantu dengan tangan Jarak berjalan maksimum (dapat berjalan dengan nyeri) a. Tak terbatas b. >1 km tetapi terbatas c. Sekitar 1 km d. Dari 500 m – 900m e. Dari 300 m – 500m f. Dari 100 m – 300m g. <100 m Dengan bantuan 1 tongkat a. Ya b. Tidak Dengan bantuan 2 tongkat a. Ya b. Tidak Dapat naik tangga a. Tanpa kesulitan b. Dengan sedikit kesulitan c. Sedang d. Sangat sulit e. Tidak mampu
0 0,5 1 1,5 2
Dapat turun tangga a. Tanpa kesulitan b. Dengan sedikit kesulitan c. Sedang d. Sangat sulit e. Tidak mampu
0 0,5 1 1,5 2
0 1 2 1 0 0 1 2 1 0 1 0 1 2 3 4 5 6 1 0 2 0
22
11.
12.
Dapat jongkok atau menekuk lutut a. Tanpa kesulitan b. Dengan sedikit kesulitan c. Sedang d. Sangat sulit e. Tidak mampu Dapat berjalan pada lantai yang tidak rata a. Tanpa kesulitan b. Dengan sedikit kesulitan c. Sedang d. Sangat sulit e. Tidak mampu
Nilai maksimal
0 0,5 1 1,5 2 0 0,5 1 1,5 2
25
Indeks Lequesne untuk OA lutut adalah suatu penilaian disabilitas patologi spesifik yang subjektif. Hasil dari penilaian dengan responden akan dijumlahkan untuk mengetahui intensitas nyeri responden. Indeks Lequesne digunakan untuk mengkategorikan derajat disabilitas penderita yaitu sebagai berikut. Intensitas nyeri dibagi atas: ≥ 14
: Amat sangat berat.
11-13
: Sangat berat.
8-10
: Berat.
5-7
: Sedang.
1-4
: Ringan.
23
2.4 KOMPRES JAHE MERAH 2.4.1 Jenis jahe Jahe merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumput berbatang semu. Jahe berasal dari Asia Pasifik yang tersebar dari India sampai Cina. Jahe termasuk dalam suku temu-temuan (Zingiberaceae), se-famili dengan temu-temuan lainnya seperti temu lawak (Curcuma xanthorrizha), temu hitam (Curcuma aeruginosa), kunyit (Curcuma domestica), kencur (Kaempferia galanga), lengkuas (languas galanga) dan lain-lain (Handayani, 2013). Jahe dibedakan menjadi tiga jenis berdasarkan ukuran , bentuk dan warna rimpangnya (Handayani, 2013) yaitu: a. Jahe putih atau jahe kuning besar. Jahe putih atau jahe kuning besar yang disebut juga jahe gajah atau jahe badak. Rimpangnya
besar
dan
gemuk,ruas
rimpangnya
lebih
menggembung
dibandingkan dengan kedua varietas lainnya. Jenis jahe ini bisa dikonsumsi baik saat masih muda maupun sudah tua. Bisa dimanfaatkan dalam bentuk jahe segar atau olahan. b. Jahe putih atau jahe kuning kecil Jahe putih atau jahe kuning kecil yang disebut juga dengan jahe suntil atau jahe emprit. Ruasnya kecil,agak rata sampai agak menggembung. c. Jahe merah Jahe merah rimpangnya berwarna merah dan lebih kecil daripada jahe putih kecil, jahe merah memiliki kandungan minyak atsiri paling tinggi dibandingkan dengan 2 jenis lainnya,sehingga cocok untuk ramuan obat-obatan.
24
2.4.2 Kandungan jahe merah Tanaman jahe merah yang paling sering digunakan adalah bagian rimpangnya, rimpang merupakan akar jahe yang membentuk umbi. Sebagai bahan obat tradisional, jahe merah banyak dipilih karena memberikan rasa pahit dan pedas lebih tinggi dibandingkan jenis jahe lain yang tentunya menambah khasiat yang lebih dari jenis jahe yang lain. Rimpang jahe merah berukuran lebih kecil dibandingkan dengan jahe lainnya, berwarna merah, dan mengandung minyak atsiri tinggi yang terdiri dari zingebirin, kamfena, zingiberen, zingiberal, gingeral, dan shogool. Kandungan lainnya yakni minyak damar, pati, asam malat, asam aksolat dan gingerin. Jahe merah lebih dikenal berkhasiat sebagai pencahar, antirematik, dan peluruh masuk angin. Khasiat umumnya menghangatkan badan, penambah nafsu makan, serta mencegah dan mengobati masuk angin. Selain itu jahe merah juga berguna untuk mengatasi radang tenggorokan, sakit pinggang, meredakan asma dan nyeri otot (Rahmawati, 2010) . Minyak atsiri dalam jahe ini merupakan senyawa yang bermanfaat dalam mereduksi nyeri, sebagai anti inflamasi, dan juga pembasmi bakteri yang baik (Ramadhan, 2013). Kandungan minyak atsiri jahe merah sekitar 2,58%-2,72% dihitung berdasarkan berat kering, kandungan minyak atsiri jenis jahe yang lainnya jauh berada dibawahnya. Minyak atsiri umumnya berwarna kuning sedikit kental dan merupakan senyawa yang memberikan aroma yang khas pada jahe. Besarnya kandungan minyak atsiri dipengaruhi oleh umur tanaman, semakin tua umur jahe maka semakin tinggi kandungan minyak atsirinya (Dedimisbahatori, 2013).
25
Gambar 2.2 rimpang jahe merah
2.4.3 Manfaat jahe terhadap nyeri Therkleson (2010) dalam study in vitro telah mengidentifikasi bahwa zat aktif jahe gingerol dan shogaol dapat menghambat enzim inflamasi cyclooxygenases-2 (COX-2). Jahe apabila dikompres pada jaringan epidermis
akan diserap dan
memberikan efek relaksasi pada pembuluh darah dan meningkatkan vitalitas sehingga nyeri akan berkurang. 2.4.4 Cara pengolahan jahe sebagai kompres Adapun cara pengolahan jahe sebagai kompres menurut Handayani (2013) untuk menurunkan nyeri yaitu : 1.
Persiapan alat dan bahan a). Siapkan satu atau dua rimpang jahe b). Kompor dan alat pembakar untuk memanaskan jahe
26
Gambar 2.3 kompor dan alat pembakar
c). Alat pengulek sebagai alat penumbuk. d). Ember besar tempat air. e). Lap bersih 2.
Persiapan responden a). Posisikan klien dalam keadaan duduk, dengan posisi kaki lurus. b). Membersihkan area yang akan dikompres dengan air bersih, kemudian dikeringkan menggunakan lap c). Tidak sedang mendapat terapi obat analgetik sehari sebelum tindakan dan selama tindakan berlangsung.
3.
Prosedur kerja a). Cuci tangan b). Jelaskan prosedur yang akan dilakukan kepada responden. c). Panaskan rimpang jahe selama 5-7 menit sampai jahe berwarna agak kecoklatan. d). Tumbuk jahe hingga berbentuk pipih/lempeng.
27
Gambar 2.4 jahe yang sudah ditumbuk
e). Tempelkan jahe yang sudah ditumbuk pada area yang nyeri selama 20 menit
2.5 KOMPRES AIR HANGAT Menurut Suwardi (2009), Kompres hangat adalah memberikan rasa hangat untuk memenuhi kebutuhan rasa nyaman, mengurangi atau membebaskan nyeri, mengurangi atau mencegah spasme otot dan memberikan rasa hangat pada daerah tertentu. Pemberian kompres hangat bertujuan untuk membantu melemaskan otot dan jaringan lunak dengan meningkatkan sirkulasi darah, pengompresan dilakukan selama lima hari sampai satu minggu pada area yang nyeri yang tidak disertai adanya pembengkakan (Muhtadi, 2013). Ardyansah dan Azhar (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “ Terapi Panas Dan Dingin” menjelaskan bahwa pemberian kompres hangat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah, meningkatkan permeabilitas kapiler, merelaksasikan otot, meningkatkan aliran darah kesuatu area, meredakan nyeri dengan
28
merelaksasikan otot, dan mengurangi kekakuan sendi dengan menurunkan viskositas cairan sinovial. Pemberian kompres air hangat tidak dianjurkan pada daerah yang mengalami pendarahan aktif karena panas
akan menyebabkan
vasodilatasi dan meningkatkan pendarahan, pada daerah yang mengalami edema juga tidak dianjurkan dilakukan kompres hangat karena panas akan meningkatkan permeabilitas kapiler dan edema. Persiapan melaksanakan kompres hangat menurut Suwardi (2009) : 1. Persiapan alat dan bahan Tabel 2.2 alat dan bahan kompres air hangat Bahasan a.
Kantong karet berisi air hangat dengan suhu 40-450c
b.
Handuk tipis ukuran 30cm x 15cm
c.
Termometer air
d. e. f. g. h.
Corong air Air bersih 500cc Kompor Ember Lap
Gambar
29
2. Persiapan responden a). Posisikan responden dalam keadaan duduk dengan posisi kaki lurus. b). Membersihkan area yang akan dikompres dengan air bersih kemudian dikeringkan. c). Tidak sedang mendapat terapi obat analgetik sehari sebelum tindakan dan selama tindakan.
3. Prosedur kerja a) Cuci tangan b) Jelaskan pada responden mengenai prosedur yang akan dilakukan c) Panaskan air, kemudian ukur suhu air dengan menggunakan termometer air sampai suhu 40-450c. d) Isi kantong karet dengan air hangat 500 cc dengan suhu 40 - 450C dengan menggunakan corong air. e) Tutup kantung karet yang telah diisi air hangat kemudian dikeringkan menggunakan lap. f) Bungkus kantong karet dengan handuk g) Tempatkan kantung karet pada area yang nyeri. h) Angkat kantong karet tersebut setelah 20 menit. i) Mengamati perubahan yang terjadi selama kompres dilakukan. Hasil teknik ini dimodifikasi berdasarkan dari sumber Handayani (2013) dan Suwardi (2009).