BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kota Berkelanjutan
Kota merupakan lambang peradaban kehidupan manusia yang berfungsi sebagai tempat pertumbuhan ekonomi, sumber inovasi dan kreasi, pusat kebudayaan, dan wahana untuk peningkatan kualitas hidup. Menurut Jayadinata (1999), secara geografis, kota adalah suatu tempat yang penduduknya rapat, rumah-rumahnya berkelompok kompak, dan mata pencaharian penduduknya bukan pertanian. Dalam pengertian teknis, kota itu mempunyai jumlah penduduk tertentu, misalnya di Indonesia yang disebut kota adalah wilayah yang memiliki 20.000 penduduk atau lebih. Dalam pengertian hukum Indonesia terdapat 4 macam kota yaitu Propinsi,
(1) Kota sebagai ibukota Nasional, (2) Ibukota (3) Ibukota Kabupaten dan Kotamadya, (4) Kota
Administratif. Dalam pengertian umum, kota adalah tempat yang mempunyai prasarana kota, yaitu bangunan-bangunan besar, banyak bangunan perkantoran, jalan yang lebar, pasar yang luas serta pertokoannya, jaringan kawat listrik, jaringan air minum dan sebagainya. Menurut Simonds (1983) kota merupakan suatu tempat yang mempunyai populasi besar dan cukup rapat, merupakan pusat aktivitas ekonomi,
sosial dan politik, memiliki posisi geografis yang tetap serta pemerintahan yang spesifik tertulis dan diakui oleh negara. Adisasmita (2006) menjelaskan bahwa untuk menuju kota yang berkelanjutan, kota yang dalam perkembangan dan pembangunannya harus mampu memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini, mampu berkompetisi dalam ekonomi global dan mempertahankan keserasian lingkungan, vitalitas sosial, budaya, politik, dan pertahanan keamanannya tanpa mengabaikan atau mengurangi kemampuan generasi mendatang dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Menurut Hadi (2005) makna pembangunan berkelanjutan adalah 1) Dalam pembangunan berkelanjutan sumber daya alam yang digunakan dijaga keutuhan fungsi ekologisnya. 2) Dampak
pembangunan
terhadap
lingkungan
diperhitungkan
dengan
menerapkan sistem analisis mengenai dampak lingkungan sehingga dampak negatif dapat dikemdalikan dan dampak positif dikembangkan. 3) Mempertimbangkan kepentingan generasi masa depan. 4) Pembangunan dengan wawasan jangka panjang karena perubahan lingkungan pada umumnya berlangsung dalam jangka panjang. 5) Hasil pengelolaan sumber daya alam harus mempertimbangkan sumber alam harus memperhitungkan sumber alam yang semakin berkurang akibat proses pembangunan.
2.2.
Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan
2.2.1.
Pengertian Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007, ruang terbuka
hijau
adalah
area
memanjang
membentuk
jalur
atau
mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Dalam Permendagri No.1 Tahun 2007 dijelaskan ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan, sedangkan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan atau tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Ruang terbuka hijau di dalam kota pemanfaatannya bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah atau budidaya tanaman oleh manusia. Jenis ruang terbuka hijau meliputi taman kota, taman wisata alam, taman rekreasi, taman lingkungan perumahan dan permukiman, taman lingkungan perkantoran dan gedung komersial, taman hutan raya, hutan kota, hutan lindung, bentang alam seperti gunung, bukit, lereng dan lembah, cagar alam, kebun raya, kebun
binatang, pemakaman umum, lapangan olah raga, lapangan upacara, parkir terbuka, lahan pertanian perkotaan, jalur dibawah tegangan tinggi (SUTT dan SUTET), sempadan sungai, pantai, bangunan, situ dan rawa; jalur pengaman jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan pedestrian; kawasan dan jalur hijau, daerah penyangga (buffer zone) lapangan udara dan taman atap (roof garden). Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) dibagi menjadi 2, yaitu RTHKP Publik dan RTHKP Privat. RTHKP Privat adalah RTHKP yang penyediaan dan pemeliharaannya menjadi tanggungjawab pihak/lembaga swasta, perseorangan atau masyarakat yang dikendalikan melalui izin pemanfaatan ruang oleh Pemerintah Kota/Kabupaten. Sedangkan RTHKP Publik adalah RTHKP yang penyediaan dan pemeliharaannya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah kota/kabupaten yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ditetapkan bahwa luas ideal RTHKP ialah minimal 20 % dari luas wilayah perkotaan.
2.3.Fungsi Ruang Terbuka Hijau Hasni (2009) menjelaskan penyelenggaraan ruang terbuka hijau kota bertujuan untuk menjaga kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur-unsur lingkungan, sosial dan budaya, sehingga diharapkan bahwa ruang terbuka hijau kota dapat berfungsi untuk mencapai:
1)
Identitas Kota. Jenis tanaman dan hewan yang merupakan simbol atau lambang suatu kota dapat dikoleksi pada areal ruang terbuka hijau kota.
2)
Ameliorasi Iklim. Ruang terbuka hijau dapat dibangun untuk mengelola lingkungan perkotaan untuk menurunkan suhu pada waktu siang hari dan sebaliknya pada malam hari dapat lebih hangat karena tajuk pohon dapat menahan radiasi balik (reradiasi) dari bumi. Jumlah pantulan radiasi matahari suatu hutan sangat dipengaruhi oleh panjang gelombang, jenis tanaman, umur tanaman, posisi jatuhnya sinar matahari, keadaan cuaca dan posisi lintang (Wisnubroto, dkk., 1983). Suhu udara pada daerah berhutan lebih nyaman daripada daerah yang tidak ditumbuhi oleh tanaman. Selain suhu, unsur iklim mikro lain yang diatur oleh ruang terbuka hijau adalah kelembaban. Pohon dapat memberikan kesejukan pada daerah-daerah kota yang panas (heat island) akibat pantulan panas matahari yang berasal dari gedung-gedung, aspal dan baja. Daerah ini akan menghasilkan suhu udara 310 derajat lebih tinggi dibandingkan dengan daerah pedesaan. Penanaman pohon pada suatu areal akan mengurangi temperatur atmosfer pada wilayah yang panas (Grey dan Deneke; Robinette, 1983).
3)
Upaya Pelestarian Plasma Nutfah. Dengan adanya pengembangan ruang terbuka hijau maka diharapkan dapat diharapkan dapat diterapkan program penghijauan pada ruang-ruang terbuka hijau kota. Hal ini memungkinkan adanya penerapan berbagai jenis tanaman yang dapat memberikan keanekaragaman hayati. Dengan demikian ruang terbuka hijau dapat
berfungsi sebagai tempat pelestarian keanekaragaman jenis flora maupun fauna dalam upaya pelestarian plasma nutfah. 4)
Penahan dan Penyaring Partikel Padat dari Udara. Dengan adanya ruang terbuka hijau kota, partikel padat yang tersuspensi pada lapisan biosfer bumi akan dapat dibersihkan oleh tajuk pohon melalui proses jerapan dan serapan. Dengan adanya mekanisme ini jumlah debu yang melayang-layang di udara akan menurun. Partikel yang melayang-layang di permukaan bumi sebagian akan terjerap (menempel) pada permukaan daun, khususnya daun yang berbulu dan yang mempunyai permukaan yang kasar dan sebagian lagi terserap masuk ke dalam ruang stomata daun. Ada juga partikel yang menempel pada kulit pohon, cabang dan ranting. Manfaat dari adanya tajuk pada RTH kota adalah untuk menjadikan udara yang lebih bersih dan sehat, jika dibandingkan dengan kondisi udara pada kondisi tanpa tajuk di ruang terbuka hijau kota.
5)
Mengatasi genangan air. Jenis tanaman yang mempunyai jumlah daun banyak, memiliki kemampuan evapotranspirasi tinggi karena memiliki mempunyai stomata (mulut daun) yang banyak pula sehingga cocok untuk mengatasi daerah yang sering digenangi air ataupun banjir.
6)
Pengelolaan Sampah. Ruang terbuka hijau kota dapat diarahkan untuk pengelolaan sampah, yaitu dapat berfungsi sebagai penyekat bau, penyerap bau, pelindung tanah hasil bentukan dekomposisi dari sampah, dan penyerap
zat yang berbahaya (dan beracun/B3) yang mungkin terkandung dalam sampah seperti logam berat, pestisida serta B3 lain. 7)
Pelestarian Air Tanah. Sistem perakaran tanaman dan serasah yang berubah menjadi humus akan mengurangi tingkat erosi, menurunkan aliran permukaan dan mempertahankan kondisi air tanah di lingkungan sekitarnya. Pada musim hujan laju aliran permukaan dapat dikendalikan oleh penutupan vegetasi yang rapat, sedangkan pada musim kemarau potensi air tanah yang tersedia bisa memberikan manfaat bagi kehidupan di lingkungan perkotaan. Ruang terbuka hijau dengan luas minimal setengah hektar mampu menahan aliran permukaan akibat hujan dan meresapkan air ke dalam tanah sejumlah 10.219 m3 setiap tahun (Kartasapoetra, 2006).
8)
Penapis Cahaya Silau. Pohon yang memiliki ketinggian optimal dan tajuk yang rimbun sangat efektif dalam meredam cahaya.
9)
Meningkatkan Keindahan. Tanaman dalam bentuk, warna dan tekstur tertentu dapat menciptakan komposisi yang indah.
10)
Sebagai Habitat Hidupan Liar.
Ruang terbuka hijau berfungsi sebagai
habitat berbagai jenis hidupan liar dengan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Ruang terbuka hijau merupakan tempat perlindungan dan penyedia nutrisi bagi beberapa jenis satwa terutama burung, mamalia kecil dan serangga. Ruang terbuka hijau dapat menciptakan lingkungan alami dan keanekaragaman tumbuhan dapat menciptakan ekosistem lokal yang akan menyediakan tempat dan makanan untuk burung dan binatang lainnya.
11)
Mengamankan Pantai terhadap Abrasi. Ruang terbuka hijau kota berupa formasi tanaman (hutan) mangrove yang bermanfaat dalam meredam gempuran ombak dan dapat membantu proses pengendapan lumpur di pantai.
12)
Mengurangi Stress (Kejiwaan). Ruang terbuka hijau dapat menciptakan suasana sejuk serta nyaman bagi kejiwaan manusia karena adanya sirkulasi udara yang sejuk dan keindahan dari flora dan fauna yang dapat mengurangi gangguan syaraf dan suasana tegang dari rutinitas manusia.
13)
Meningkatkan Industri Pariwisata.
Bunga bangkai (Amorphophallus
titanum) di Kebun Raya Bogor yang berbunga setiap 2-3 tahun dan tingginya dapat mencapai 1,6 m, dan bunga Raflesia Arnoldi di Bengkulu merupakan salah satu daya tarik bagi turis domestik maupun mancanegara.
2.4. Bentuk Ruang Terbuka Hijau Menurut Grey dan Denneke (1986) berdasarkan kriteria sarana, fungsi penting, jenis vegetasi, intensitas menejemen, status pemilik, serta pengelolaannya, maka komponen penyusun ruang terbuka hijau dapat dikelompokkan dalam empat bentuk yaitu hutan kota, taman kota, jalur hijau serta kebun atau pekarangan.
Irwan (2008) mengelompokkan
ruang terbuka hijau berdasarkan bentuk, sebagai berikut: 1)
Jalur, komunitas vegetasinya tumbuh mengikuti jalur bentukan alam (seperti pantai, sungai dan lembah) dan bentuk manusia (seperti jalan dan saluran).
2)
Menyebar, komunitas vegetasinya tumbuh menyebar berupa rumpun atau gerombol kecil, seperti yang tumbuh di pekarangan atau halaman-halaman bangunan maupun yang ditanam pada lahan sisa dan median jalan.
3)
Bergerombol atau menumpuk, komunitas vegetasinya terkonsentrasi di suatu tempat dengan paling sedikit 100 pohon dengan jarak tanam rapat tidak beraturan yang tumbuh seperti bentukan hutan alam. Berdasarkan bobot kealamian, bentuk ruang terbuka hijau dapat diklasifikasikan menjadi:
1)
Bentuk ruang terbuka hijau alami (habitat liar/alami, kawasan lindung) dan
2)
Bentuk ruang terbuka hijau non alami atau ruang terbuka hijau binaan (pertanian kota, pertamanan kota, lapangan olahraga dan pemakaman). Status kepemilikan ruang terbuka hijau diklasifikasikan menjadi raung
terbuka hijau publik, yaitu ruang terbuka hijau yang beralokasi pada lahan-lahan publik atau lahan yang dimiliki oleh pemerintah (pusat maupun daerah) dan ruang terbuka hijau privat atau non publik, yaitu ruang terbuka hijau yang beralokasi pada lahan-lahan milik privat.
2.5.
Iklim Mikro Kota Iklim adalah kondisi cuaca rata-rata yang terdapat pada waktu dan tempat tertentu. Ilmu yang mempelajari kondisi dari atmosfer disebut meteorologi, sedangkan ilmu yang mempelajari karakteristik kondisi meteorologi yang berlangsung selama periode waktu tertentu pada area
tertentu disebut klimatologi. Istilah klimatologi dan meteorologi dibagi menjadi makro, meso, dan mikro. Maka mikroklimatologi didefenisikan sebagai iklim (kondisi yang berlaku) pada satu kawasan yang berukuran kecil, yang dapat dibedakan dari iklim kawasan secara keseluruhan (Brown dan Gilesspie, 1995). Iklim ideal bagi kenyamanan manusia telah dirumuskan
sebagai
berikut:
udara
yang
bersih,
suhu
antara
10-26,70C, kelembaban antara 45-75%, udara yang tidak terperangkap dan tidak berupa angin yang kencang dan keterlindungan terhadap hujan. Menurut Danoedjo (1990) iklim mikro adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi iklim setempat yang dapat memberikan pengaruh langsung terhadap kenikmatan (fisik) dan kenyamanan (rasa) pemakai. Sedangkan menurut Permendagri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan, iklim mikro adalah keberadaan ekosistem setempat yang mempengaruhi kelembaban dan tingkat curah hujan setempat sehingga temperatur menjadi terkendali, termasuk radiasi matahari dan kecepatan angin. Pada umumnya iklim mikro dipengaruhi beberapa faktor seperti suhu, kelembaban udara, angin, penguapan, dan lain-lain (Fandeli, et.al., 2004). Keberadaan vegetasi juga berfungsi sebagai pengendali iklim. Menurut 1)
Carpenter, et.al (1975) fungsi vegetasi antaralain:
Kontrol radiasi sinar matahari dan suhu
Tanaman dapat menyerap panas dan memantulkan pancaran sinar matahari sehingga dapat mengendalikan iklim mikro. 2)
Pengendali angin Tanaman berguna sebagai penahan, penyerap dan pengalir tiupan anin sehingga menimbulkan iklim mikro yang nyaman.
3)
Kontrol prestipitasi dan kelembaban udara Tanaman mampu menyerap suara kebisingan bagi kawasan atau areal yang memerlukan ketenangan
4)
Penyaring udara Tanaman sebagai filter atau penyaring debu, bau dan memberikan udara segar.
2.5.Suhu Udara Menurut Kartasapoetra (2006) suhu adalah derajat panas atau dingin yang diukur berdasarkan skala tertentu dengan menggunakan thermometer. Secara fisis suhu dapat didefenisikan sebagai tingkat gerakan molekul benda, semakin cepat gerakan molekul, semakin tinggi suhunya. Panas bergerak dari sebuah benda yang mempunyai suhu tinggi ke benda dengan suhu rendah. Untuk menyatakan suhu dipakai berbagai skala. Dua skala yang sering dipakai dalam pengukuran suhu udara adalah skala Fahrenheit dan skala Celcius atau skala perseratusan (centigrade) yang dipakai sebagian besar di dunia (Tjahyono, 2004).
Skala celcius sekarang banyak dipakai dalam pelaporan dan analisisis data cuaca dan iklim.
2.6. Kelembaban Relatif Udara Kelembaban
udara
merupakan
salah
satu
analisis
iklim
yang
mengendalikan iklim mikro. Kelembaban udara menggambarkan kandungan uap air di udara yang dapat dinyatakan sebagai kelembaban mutlak, kelembaban nisbi (relatif) maupun defisit tekanan uap air. Menurut Wisnubroto (1983) variabilitas kandungan uap air dalam udara penting berdasarkan tempat maupun waktu karena: 1) Besarnya jumlah uap air dalam udara merupakan indikator kapasitas potensial atmosfer tentang terjadinya presipitasi. 2) Uap air mempunyai sifat menyerap radiasi bumi sehingga ia akan menentukan cepatnya kehilangan panas dari bumi dan dengan sendirinya juga akan mengatur temperatur. 3) Semakin besar jumlah air dalam udara makin besar jumlah energi potensial yang laten tersedia dalam atmosfer dan merupakan sumber terjadinya hujan angin (storm), sehingga dapat menentukan apakah udara itu kekal atau tidak.
2.7.Vegetasi Vegetasi merupakan bagian hidup yang tersusun dari tumbuhan yang menempati suatu ekosistem (Tjitrosoepomo, 2000). Jenis vegetasi
yang direkomendasikan oleh Departemen Kehutanan sebagai tanaman penghijauan kota (Dephut, 2007) adalah Flamboyan (Delonix regia), Angsana (Pterocarpus indicus), Ketapang (Terminalia cattapa), Kupukupu (Bauhinia purpurea), Kere payung (Filicium decipiens), Johar (Cassia multiyoga), Tanjung (Mimusops elengi), Mahoni (Swientenia mahagoni), Akasia (Acacia auriculiformis), Bungur (Lagerstroemia loudonii), Kenari (Canarium commune),
Johar (Cassia sp.), Damar
(Agathis alba), Nyamplung (Calophyllum inophyllum), Jakaranda (Jacaranda
filicifolia),
(Muehlenbeckia
sp.),
Liang Ganitri
liu
(Salix
(Elaeocarpus
babilinica), spahaericus),
Kismis Saga
(Adenanthera povoniana), Anting-anting (Elaeocarpus grandiflorus), Asam kranji (Pithecelobium dulce), Johar
(Cassia grandis),
Cemara (Cupresus papuana), Pinus (Pinus merkusii), dan Beringin (Ficus benjamina). Beberapa jenis pohon yang mampu menyerap CO2 dalam jumlah besar sesuai dengan lampiran 1 (satu) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.03/Menhut-V/2004 Tentang Pedoman Pembuatan Tanaman Penghijauan Kota gerakan nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan, antaralain pohon Damar (Agathis alba), Kupu-kupu (Bauhinea purpurea), Lamtorogung (Leucena leucocephala), Akasia (Acacia auriculiformis) dan Beringin (Ficus benyamina), merupakan tanaman
yang digunakan dalam penghijauan kota sebagai penyerap CO2 dan penghasil O2. Tanaman Beringin (Ficus benjamina) sebagai tanaman yang direkomendasikan oleh Dephut (2007), selain sebagai tanaman penghijauan, beringin juga bermanfaat untuk pelestarian air tanah. Dengan demikian, Beringin memiliki peran yang tepat di perkotaan, yaitu penyerap CO2, penghasil O2, dan pelestari air tanah.
2.8. Suhu dan Kenyamanan Manusia Keadaan cuaca atau iklim sangat mempengaruhi aktivitas manusia. Lebih spesifik lagi bahwa aktivitas metabolisme tubuh dipengaruhi oleh suhu udara. Bahkan pengaruh suhu bagi kehidupan manusia dapat secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung berkenaan dengan kenyamanan udara, sedangkan secara tidak langsung misalnya berkenaan dengan kerentanan tubuh terhadap gangguan kesehatan, dan sebagainya. Beberapa ahli telah berusaha untuk menyatakan pengaruh parameter-parameter iklim terhadap kenyamanan manusia dengan bantuan persamaan yang mengandung dua atau lebih parameter iklim, misalnya indeks ketidaknyamanan (discomfort). Iklim ideal bagi kenyamanan manusia telah dirumuskan sebagai berikut: udara yang bersih, suhu antara
10-26,70C, kelembaban udara
antara 45-75%, udara yang tidak terperangkap dan tidak berupa angin
yang kencang dan keterlindungan terhadap hujan
(Tjasyono,
2004). 2.9.Hirarki dan Standar Luas Ruang Terbuka Hijau Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 Tentang Hutan Kota menjelaskan bahwa penunjukan lokasi dan luas hutan kota didasarkan pada pertimbangan luas wilayah, jumlah penduduk, tingkat pencemaran, dan kondisi fisik kota. Luas hutan kota dalam satu hamparan yang kompak paling sedikit 0,25 (dua puluh lima per seratus) hektar dan persentase luas hutan kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari wilayah perkotaan dan atau disesuaikan dengan kondisi setempat. Hakim (2007) menjelaskan standar luasan taman kota sangat bervariasi tergantung kondisi kota, besaran kota yang dipengaruhi topografi, luas areal kota, jumlah penduduk, kebiasaan sosial masarakat dan kebijakan pemerintah setempat. The greater London Council membagi taman pada luas dan jarak jangkau dari pemukiman rumah tinggal, 20.000 m2, 200.000 m2 dan 600.000 m2 (Tabel 2.1). Tabel 2.1. Standar Luas Taman The Greater London Council (Hakim, 2007). No. 1. 2. 3.
Jenis Taman Small Park Intermediete Park Large Park
Ukuran Luas 20.000 m2 200.000 m2 600.000 m2
Jarak Hunian Jarak dapat ditempuh dengan berjalan kaki Jaraknya 1,5 km dari hunian Jaraknya 8 km dari hunian
Menurut Dirjen Cipta Karya dalam Hakim (2007) luas taman lingkungan perumahan dibagi dalam 3 golongan berdasarkan jumlah
keluarga/penduduk, yaitu 20-50 keluarga/ 100-200 penduduk, 160-200 keluarga/ 800-1000 penduduk dan 600-1000 keluarga/ 3000-6000 penduduk (Tabel 2.2). Tabel 2.2. Standar Taman Kota Menurut Dirjend Cipta Karya (Hakim, 2007). No. 1. 2. 3.
Jumlah Keluarga/Penduduk
Ukuran Luas RTH 200 m2 800 m2 11400 m2
20-50 keluarga/ 100-200 penduduk 160-200 keluarga/ 800-1000 penduduk 600-1000 keluarga/ 3000-6000 penduduk
Untuk menentukan luas ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk, berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 Tentang Pedoman Pengadaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan dilakukan dengan mengalikan antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas ruang terbuka hijau per kapita (Tabel 2.3). Tabel 2.3. Standar Luas Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Jumlah Penduduk (Kepmen PU Nomor 5/PRT/M/2008). Luas M in i m al U ni t ( m 2 )
Unit Li ng ku ng an
No
Tipe RTH
(Jiwa)
1.
250
Taman RT
2.
2.500
Taman RW
250 1.250
Lokasi
Di Tengah Lingkungan RT Di Pusat Kegiatan RW
3.
30.000
Taman Kelurahan 9.000
4.
120.000
Taman Kecamatan 24.000
5.
480.000
Pemakaman Hutan Kota Untuk fungsi-fungsi Tertentu
Disesuaikan Disesuaikan Disesuaikan
Dikelompokkan dengan Sekolah/Pusat Kelurahan Dikelompokkan dengan sekolah/pusat kecamatan Tersebar Di dalam/kawasan pinggiran Disesuaikan dengan kebutuhan
Sedangkan menurut standar Perencanaan perumahan perumnas dalam Hakim (2007) ditentukan standar sebagai berikut: 1. Untuk jumlah rumah ± 300 unit dibutuhkan tempat bermain seluas 500 m2 2. Untuk jumlah rumah ± 700 wajib menyediakan saraana olahraga seluas 2000 m2 3. Untuk jumlah rumah ± 3000 unit wajib menyediakan taman seluas 8000 m2. 2.10.
Kondisi Umum Kota Pematangsiantar
2.10.1 Batas Geografis Kota Pematangsiantar secara astronomis berada di bagian tengah Sumatera Utara, terletak pada garis 2° 53’ 20” Lintang Utara (LU) dan 99° 1’ 00” - 99° 6’ 35” Bujur Timur (BT) pada peta bumi dan berada di tengah-tengah kabupaten Simalungun (Gambar 2.1).
Luas wilayah
administrasi Kota Pematangsiantar adalah 79,971 km2 (Tabel 2.4).
Gambar 1. Peta Batas Administrasi Kota Pematangsiantar
Tabel 2.4. Luas wilayah Kota Pematangsiantar ( Kota Pematangsiantar Dalam Angka, 2011) No
Kecamatan
1
SIANTAR MARIHAT
2
SIANTAR MARIMBUN
3
SIANTAR SELATAN
4
SIANTAR BARAT
5
SIANTAR UTARA
6
SIANTAR TIMUR
7
SIANTAR MARTOBA
8
SIANTAR SITALASARI
Kelurahan Sukamaju Pardamean Sukaraja BP. Nauli Mekar Nauli Parhorasan Nauli Suka Makmur Simarimbun Nagahuta Pematang Marihat Tong Marimbun Marihat Jaya Nagahuta Timur Aek Nauli Martimbang Kristen Toba Karo Simalungun Sipinggol-pinggol Teladan Dwikora Proklamasi Timbanggalung Simarito Banjar Bantan Martoba Melayu Baru Suka Dame Bane Sigulang-gulang Kahean Kebun Sayur Tomuan Pahlawan Siopat Suhu Merdeka Pardomuan Asuhan Sumber Jaya Nagapita Pondok Sayur Tambun Nabolon Nagapitu Tambun Tonga Tanjung Pinggir Bah Kapul Gurilla Bukit Shofa
Luas (Km2)
Persentase
7,825
9,78
18,006
22,52
2,020
2,53
3,205
4,01
3,650
4,56
4,520
5,65
18,022
22,45
22,723
28,41
Setia Negara Bah Sorma JUMLAH
79,971
100
2.10.2 Kependudukan Pada Tahun 2011, penduduk Kota Pematangsiantar berjumlah 229.965 jiwa dengan kepadatan sebesar 2.882 jiwa/km2 (sumber: Kota Pematangsiantar
Dalam
Angka
Tahun
2011).
Penduduk
Kota
Pematangsiantar tersebar pada 8 kecamatan. Adapun kepadatan penduduk tertinggi terjadi di Kecamatan Siantar Barat yaitu masingmasing 11.057 jiwa/km2, dimana hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi penduduk tertinggi di Kota Pematangsiantar berlangsung pada kecamatan tersebut (Tabel 2.5). Tabel 2.5. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Per Kecamatan Tahun 2011 (Kota Pematangsiantar Dalam Angka, 2011)
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kecamatan Siantar Barat Siantar Marihat Siantar Marimbun Siantar Selatan Siantar Utara Siantar Timur Siantar Martoba Siantar Sitalasari Total
2.10.3 Struktur Pendidikan
Luas Wilayah (km2) 3.205 7.825 18.006 2.020 3.650 4.520 18.022 22.723 79.791
Jumlah Penduduk (Jiwa) 35.438 18.196 14.905 17.151 39.680 38.570 38.759 27.266 229.965
Kepadatan Pend uduk (Jiwa/km2) 11.057 2.325 828 8.491 10.871 8.533 2.151 1.200 2.882
Struktur pendidikan penduduk Kota Pematangsiantar Tahun 2011 dapat dicirikan dengan besarnya proporsi penduduk tamat SMTA (42,33%), diikuti oleh kelompok penduduk tamat SD (42,33%) dan tamat SMTP (26,34%). Sementara kelompok tamat diploma/sarjana hanya sebesar 2,27% ( Tabel 2.6).
Tabel 2.6. Struktur Pendidikan Penduduk Kota Pematang Siantar No. 1. 2. 3. 4.
Tingkat Pendidikan Sekolah Dasar (SD) Sekolah Menengah Pertama (SMP) Sekolah Menengah Atas (SMA) Diploma / Sarjana Total
Berdasarkan Tabel 2.6
Persentase (%) 25,24 23,16 42,33 2,27 100
dapat dilihat bahwa penduduk Kota
Pematang Siantar pada umumnya memiliki kualitas SDM yang relatif baik dengan tamatan SMA paling mendominasi (42,33%), dimana hal ini berimplikasi dengan berbagai hal yaitu menunjukkan tingginya kesempatan berkembang dan mengembangkan kegiatan ekonomi baru dan
menunjukkan tingginya potensi pengembangan sektor-sektor
perkotaan yang membutuhkan tenaga kerja terdidik. 2.10.4. Komposisi Etnis Komposisi etnis penduduk Kota Pematangsiantar adalah suku Tapanuli, suku Jawa, suku Simalungun, suku Mandailing dan Cina (Tabel 2.7). Tabel 2.7. Komposisi Etnis Di Kota Pematang Siantar No. 1. 2. 3. 4. 5.
Suku Tapanuli Jawa Simalungun Mandailing Cina Total
Persentase (%) 47,50 25,61 6,65 5,66 3,79 79.791
Pada Tabel 2.7 dapat dilihat bahwa persentase terbesar adalah suku Tapanuli (47,50%), diikuti oleh suku Jawa (25,61%). Sementara suku-suku lainnya hanya mencakup proporsi yang relatif kecil seperti suku Simalungun (6,65%), Mandailing (5,66%), China (3,79%) dst. Data BPS mencatat bahwa secara spesifik terdapat 11 suku/etnis di Kota Pematangsiantar.
Komposisi ini menunjukkan bahwa telah terjadi
pergeseran komposisi etnis yang sangat signifikan dibandingkan awal abad ke-20 dimana Suku Simalungun masih mendominasi. Hal ini juga mengindikasikan bahwa sistem nilai pola perilaku dan aktivitas kemasyarakatan penduduk Kota Pematangsiantar sangat diwarnai oleh suku dominan, yaitu Tapanuli dan Jawa.
2.10.5. Pola Persebaran Pola persebaran penduduk merupakan salah satu elemen yang menunjukkan struktur spasial suatu wilayah.
Struktur tersebut pada
gilirannya mencerminkan pola perkembangan dan potensi/permasalahan wilayah. Kepadatan penduduk dilakukan dengan menggolong-golongkan angka kepadatan penduduk menurut 3 golongan, yaitu Tinggi, Sedang dan Rendah. Cara penggolongan adalah sebagai berikut: Rendah (R) = 10,342 – 15,142 jiwa/km2 Sedang (S) = 5,540 – 10,341 jiwa/km2 Tinggi (T) = 738 – 5,539 jiwa/km2
Gambar 2.2. Pola Persebaran Penduduk di Kota Pematang Siantar