BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu Bekerja bagi manusia pada hakekatnya merupakan kewajiban, karena dengan bekerja berarti seseorang dapat memperoleh kesejahteraan dan kenyataan hidup. 1. Operasi Pasar Khusus adalah salah satu kegiatan peningkatan ketahanan pangan melalui pendistribusian bahan pangan pokok yang bersifat khusus sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditentukan; 2. Beras Untuk Keluarga Miskin adalah program pemerintah dalam meningkatkan ketahanan pangan dan memberikan perlindungan kepada keluarga miskin melalui pendistribusian beras sebanyak 20 Kg/bulan dengan harga sekitar Rp. 3.000,-/ Kg di titik distribusi; 3. Titik Distribusi adalah tempat di desa kelurahan dimana satuan tugas Raskin depot logistik menyerahkan beras pada pelaksana ditribusi dan sekaligus tempat dimana pelaksanaan ditribusi itu menyerahkan berasnya kepada penerima manfaat; 4. Satgas Raskin adalah unit kerja dibawah dolog, sub dolog dengan pemerintah daerah yang ada didalamnya tersebut; 5. Pelaksana Distribusi adalah kepala dinas kelurahan yang dibantu oleh aparat bawahannya serta wakil masyarakat
apabila
diperlukan
yang
bertugas mendistribusikan beras raskin yang diterimanya dari Satgas raskin pada penerima manfaat;
1
6. Penerima Manfaat adalah keluarga miskin di desa/kelurahan yang berhak menerima
Raskin
dan
ditetapkan
berdasarkan
hasil
masyarakat
desa/kelurahan serta disyahkan oleh seorang Camat; 7. Keluarga adalah Unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri dan anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya; 8. Kepala Keluarga adalah laki-laki atau perempuan yang berstatus kawin atau janda atau duda yang mengepalai suatu kepala keluarga yng anggotanya terdiri dari istri atau suami dan atau anak-anaknya; 9. Keluarga Sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasakan atau perkawinan yang syah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan material yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi selaras dan seimbang antara anggota dan antara keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya.
2.2 Landasan Teori Keluarga prasejahtera adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya (Basic Needs) secara minimal seperti kebutuhan akan ibadah, pangan, sandang, papan dan kesehatan. Keluarga sejahtra I adalah keluarga-keluarga yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial psikolognya seperti kebutuhan akan pendidikan, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan tempat tinggal dan memperoleh informasi. Adapun indikator-indikator selengkapnya adalah sebagai berikut:
2
1. Anggota keluarga melaksanakan ibadah menurut Agama yang dianut oleh masing-masing keluarga tersebut; 2. Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih; 3. Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda; 4. Bagian yang paling umum adalah dari lantai dasarnya adalah bukan dari tanah. Keluarga sejahtera II adalah keluarga-keluarga yang disamping telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, juga telah dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologinya, akan tetapi belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan perkembangannya (Developments Needs) seperti kebutuhan untuk menabung dan memperoleh informasi. Dengan indikator-indikator tambahan diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Anggota keluarga melaksanakan ibadah secara teratur menurut agama yang dianut oleh masing-masing; 2. Paling kurang seminggu sekali keluarga menyediakan daging, ikan/telur sebagai lauk pauknya; 3. Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru dalam setahun sekali terakhir; 4. Luas lantai rumah paling kurang 8 m2 untuk tiap-tiap penghuni rumah sejahtera; 5. Seluruh anggota keluarga dalam tiap bulan terakhir dalam keadaan sehari sekali, sehingga dapat melaksanakan tugas/fungsi masing-masing;
3
6. Paling kurang satu orang anggota keluarga yang berumur 15 tahun keatas mempunyai penghasilan tetap; 7. Seluruh anggota keluarga yang berumur 10-60 tahun bisa baca tulis AlQuran; 8. Seluruh anak yang berusia 7-12 tahun harus sudah bersekolah pada hari ini juga; 9. Bila seorang anak yang hidup 2 atau lebih keluarga yang masih Pus saat ini dia harus memakai Kontrasepsi. Keluarga pra sejahtra II adalah keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, kebutuhan sosial psikologi, dan kebutuhan pengembangannya, namun belum dapat memberikan sumbangan (kontribusi) yang maksimal terhadap masyarakat, secara teratur (waktu bertemu) memberikan sumbangan dalam bentuk material dan keuangan untuk kepentingan sosial kemasyarakatan dan berperan serta secara aktif dengan menjadi pengurus lembaga kemasysrakatan atau Yayasan-Yayasan sosial keagamaan, kesenian, olah raga, pendidikan dan sebagainya. Dengan indikator-indikator tambahan sebagai berikut diantaranya adalah: 1. Keluarga mempunyai upaya umtuk meningkatkan pengetahuan agamanya masing-masing; 2. Sebagian dari penghasilan keluarga dapat disisihkan untuk tabungan keluarga;
4
3. Keluarga biasanya makan bersama paling kurang sekali sehari dan kesempatan itu dimanfaatkan untuk berkomunikasi antara anggota keluarga; 4. Keluarga biasanya ikut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya; 5. Keluarga mengadakan rekreasi bersama penyegaran di luar rumah paling kurang sekali dalam enam bulan; 6. Keluarga
dapat
memperoleh
berita
atau
informasi
dari
surat
kabar/radio/TV/majalah; 7. Anggota keluarga mampu mengadakan sarana transportasi yang sesuai dengan kondisi daerah setempat. Keluarga pra sejahtera II plus adalah keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhannya. Baik yang bersifat dasar, sosial psikologis maupun yang bersifat pengembangan serta telah dapat pula memberikan sumbangan yang nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat. Dengan indikator tambahan sebagai berikut: 1. Keluarga atau anggota keluarga secara teratur (pada waktu tertentu) dengan sukarela memberikan sumbangan bagi kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk material; 2. Kepala
keluarga
atau
anggota
keluarga
perkumpulan yayasan/institusi masyarakat.
5
aktif
sebagai
pengurus
Keluarga miskin adalah Keluarga sejahtera I yang karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih kebutuhan hidupnya, Adapun indikator-indikatornya yang meliputi: 1. Paling kurang sekali seminggu dalam keluarga makan daging/ ikan telur 2. Setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru 3. Luas lantai rumah paling kurang 8 m2 untuk tiap penghuni. Keluarga miskin sekali adalah Keluarga pra sejahtera yang karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih dalam hidupnya, indikator-indikatornya yang meliputi: 1. Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 kali sehari atau lebih; 2. Anggota
keluarga
memiliki
pakaian
berbeda
untuk
dirumah,
bekerja/sekolah dan berpergian, bagian lantai yang terluas terbuat dari tanah; 3. Adapun Bagian lantainya yang terluas bukan dari tanah.
2.3 Hubungan Antar Variabel Selama ini sebenarnya sudah banyak dilakukan studi tentang kemiskinan, tetapi jawaban atas pertanyaan apa itu kemiskinan dan apa pula faktor penyebab faktor kemiskinan sulit diberantas umumnya masih simpang siur, antara ahli yang satu dengan ahli yang lain telah melukiskan masalah ini secara berbeda-beda. Levitan (19981) mendefinisikan
6
kemiskinan sebagai
kekurangan barang-barang dan pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak. Sedangkan ketidaksanggupan
menurut untuk
Suhilter
mendapatkan
(1979)
kemiskinan
barang-barang atau
adalah
pelayanan-
pelayanan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan sosial terbatas. Dan dengan nada yang sama menurut Emil Salim mendefinisikan kemiskinan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok (Ala,1981,1-3). Di mata sebagian ahli kemiskinan sering kali didefinisikan sebagai semata hanya sebagai fenomena ekonomi dalam arti rendahnya penghasilan atau tidak dimilikinya mata pencaharian yang cukup maupun untuk tempat bergantung hidup, pendapat sebagian ini mungkin benar, tetapi diakui atau tidak kurang mencerminkan kondisi riil yang sebenarnya dihadapi oleh keluarga miskin. Kemiskinan sesungguhnya bukan semata-mata kekurangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok atau standar hidup yang layak, namun lebih dari
itu
esensi
kemiskinan
adalah menyangkut
kemungkinan atau probabilitas orang atau keluarga miskin itu untuk melangsungkan dan mengembangkan usaha serta taraf hidup yang lebih baik. Banyak bukti menunjukkan bahwa yang disebut orang atau keluarga miskin itu umumnya selalu lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga semakin tertinggal jauh dari masyarakat lain yang memiliki potensi lebih tinggi. Studi yang dilakukan oleh Wignyosubroto, Dkk (1992) tentang kehidupan masyarakat rentan di
7
Kabupaten Jember, menemukan bahwa seseorang atau sebuah keluarga yang jelas cenderung kesulitan untuk terserap dalam
sektor-sektor
yang
memungkinkan mereka dapat mengembangkan usahanya. Jangankan untuk mengembangkan diri, menuju ke taraf yang lebih sejahtera, sedangkan untuk bertahan menegakan hidup fisiknya pada taraf yang lebih sejahtera, bagi keluarga miskin hampir-hampir merupakan hal yang nustahil bila tidak ditopang oleh jaringan dan pranata sosial dilingkungan sekitarnya. Definisi yang lebih lengkap tentang kemiskinan dikemukakan oleh John Friedman, menurutnya kemiskinan adalah ketidaksamaan untuk mengakumulasi basis kekuasaan sosial. Sementara yang dimaksud basis adalah kekuasaan sosial itu menurut Friedman adalah meliputi: 1. Produktif atau asset; 2. Sumber keuangan; 3. Organisasi sosial dan politik untuk mencapai hasil bersama yang diinginkan; 4. Network atau jaringan sosial; 5. Informasi-informasi yang berguna untuk kehidupan. Menurut akar penyebab yang melatarbelakanginya, secara teoretis, kemiskinan dibagi menjadi 2 (dua) kategori: 1. Kemiskinan alamiah, yaitu kemiskinan yang timbul sebagai akibat sumber-sumber daya yang langka jumlahnya dan karena tingkat perkembangan teknologi yang sangat rendah. Artinya faktor-faktor yang menyebabkan suatu masyarakat menjadi miskin adalah secara alami
8
memang ada dan bahwa akan ada kelompok atau individu didalam masyarakat tersebut yang lebih miskin dari yang lain. Mungkin saja dalam keadaan kemiskinan alamiah tersebut akan terdapat perbedaan-perbedaan kekayaan, tetapi dampak perbedaan tersebut akan diperlunak atau dieliminasi oleh adanya pranata-pranata tradisional, seperti pola PatronClient, jiwa gotong-royong dan sejenisnya yang fungsional untuk meredam kemungkinan timbulnya kecemburuan. 2. Kemiskinan buatan, yaitu kemiskinan yang terjadi karena struktur sosial yang ada membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata. Dengan demikian sebagian anggota masyarakat tetap miskin walaupun sebenarnya jumlah total produksi yang dihasilkan oleh masyarakat tersebut bila dibagi rata dapat membebaskan semua anggota masyarakat dan kemiskinan. Kemiskinan buatan dalam banyak hal terjadi bukan karena seorang individu atau anggota keluarga malas bekerja atau karena mereka terusmenerus sakit. Berbeda dengan perspektif modernisasi yang cenderung memvonis kemiskinan bersumber dari lemahnya etos kerja, tidak dimilikinya etika wirausaha atau karena budaya yang terbiasa dengan kerja keras, kemiskinan buatan dalam perbincangan dikalangan ilmuwan sosial acapkali diidentikkan dengan pengertian kemiskinan struktural. Menurut Selo Soemardjan (1980), yang dimaksud dengan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat, karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut
9
menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Secara teoritis, kemiskinan buatan atau kemiskinan struktural dapat diartikan sebagai suasana kemiskinan yang dialami oleh suatu masyarakat yang penyebab utamanya bersumber dan oleh karena itu dapat dicari pada struktur sosial yang berlaku adalah sedemikian rupa keadaannya sehinnga mereka yang termasuk kedalam golongan miskin tampak tidak berdaya untuk mengubah nasibnya dan tidak mampu memperbaiki hidupnya. Struktur sosial yang berlaku telah mengurung mereka kedalam suasana kemiskinan secara turun-temurun selama bertahun-tahun. Sejalan dengan itu, mereka hanya mingkin keluar dari penjara kemelaratan melalui suatu proses perubahan struktur yang mendasar. Kemiskinan struktural, biasanya terjadi didalam suatu masyarakat dimana terdapat perbedaan yang tajam antara mereka yang hidup melarat dengan mereka yang hidup dalam kemewahan dan kaya raya. Walaupun mereka mayoritas terbesar didalam masyarakat, dalam realita tidak mempunyai apa-apa untuk memperbaiki hidunya. Sedangkan minoritas kecil masyarakat yang kaya raya biasanya berhasil memonopoli dan mengontrol berbagai kehidupan, terutama segi ekonomi dan politik. Selama golongan kecil yang kaya-raya itu masih menguasai berbagai kehidupan masyarakat, selama itu pula diperkirakan struktur sosial yang berlaku akan bertahan. Akibatnya terjadilah yang disebut dengan kemiskinan struktural.
10
Golongan yang menderita kemiskinan struktural itu, misalnya terdiri dari para petani yang tidak memiliki tanah sendiri atau para petani yang tanah miliknya kecil sehingga hasilnya tidak mencukupi untuk memberi makan kepada dirinya dan keluarganya. Termasuk golongan miskin lain adalah kaum buruh yang terpelajar dan tidak terlatih atau dengan kata asing disebut Unskilled Labour. Golongan miskin ini meliputi juga pengusaha tanpa modal dan tanpa fasilitas dari pemerintah yang sekarang dan dapat dinamakan golongan sangat lemah (Soedjatmoko, 1981 : 46 - 61). Ciri utama dari kemiskinan struktural, yaitu tidak terjadinya peristiwa, kalaupun terjadi sifatnya akan lamban sekali, apa yang disebut sebagai mobilitas sosial vertikal. Mereka yang miskin akan tetap hidup dengan kemiskinannya. Sedangkan yang kaya tetap menikmati kekayaannya. Mengapa bisa sampai seperti itu? Menurut pendekatan struktural adalah terletak pada kurungan struktur sosial yang mnyebabkan mereka kekurangan hasrat untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Struktur sosial yang berlaku telah melahirkan sebagai corak rintangan yang menghalangi mereka untuk maju. Umpamanya kelamahan ekonomi tidak memungkinkan mereka untuk memperoleh pendidikan yang berarti agar bisa melepaskan diri dari kemelaratan. Jadi secara teoritis, kemiskinan buatan atau kemiskinan struktural dapat diartikan sebagai suasana yang dialami oleh suatu masyarakat yang penyebab utamanya bersumber awalnya atau keturunannya, oleh karena itu dapat dicari pada struktur sosial yang berlaku adalah sedemikian rupa
11
keadaannya sehingga mereka yang termasuk dalam golongan miskin tampak tidak berdaya untuk mengubah nasibnya dan tidak mampu memperbaiki hidupnya. Struktur sosial yang berlaku telah mengurung mereka kedalam suasanan kemiskinan secara turun temurun selama bertahun tahun, sejalan dengan itu mereka hanya mungkin keluar dari lingkaran kemelaratan melaluhi proses perubahan struktur yang mendasar sekali. Golongan yang menderita kemiskinan struktural itu, misalnya terdiri dari para petani yang tidak memiliki tanah sendiri, atau para petani yang tanah miliknya sangatlah kecil sekali sehingga hasilnya tidak mencukupi untuk memberi makan pada dirinya sendiri dan keluarganya. Termasuk golongan miskin lain adalah kaum buruh yang tidak terpelajar dan tidak terlatih, atau apa yang dengan kata asing disebut Unskilled Labour, golongan miskin ini meliputi juga pengusaha tanpa modal dan tanpa fasilitas dari pemerintah yang sekarang dapat dinamakan golongan ekonomi yang sangat lemah sekali (Soedjatmoko, 1981 :46-61). Ciri lain dari kemiskinan struktural adalah tumbuhnya ketergantungan yang kuat pada pihak si miskin terhadap kelas sosial - ekonomi diatasnya. Menurut Mukhtar Masud (1994 : 143) adanya ketergantungan inilah yang selama ini berperan besar dalam memerosotkan kemampuan simiskin untuk Bergaining dalam dunia hubungan sosial yang sudah timpang antara pemilik tanah dan si penggarap tanah, antara majikan dan buruh, buruh tidak mempunyai untuk menetapkan upah, petani tidak bisa mendapatkan harga hasil taninya, pendek kata pihak yang miskin relatif tidak dapat berbuat
12
banyak atas eksploitasi dan proses marginalisasi yang dialaminya karena mereka tidak memiliki alternatif pilihan untuk menentukan nasibnya kearah yang lebih baik tersebut. Definisi dan pengertian kemiskinan yang lebih lengkap dalam arti sesuai dengan kenyataan secara konseptual jelas dikemukakan oleh Robert Chambers (1987), menurut Robert Chambrs, inti dari masalah kemiskinan sebenarnya terletak pada apa yang disebut dengan 5 unsur diantaranya : 1. Kemiskinan itu sendiri 2. Kelemahan fisik 3. Keterasingan atau kadar isolasi 4. Kerentanan Sosial 5. Ketidak berdayaan. Kelima unsur ini seringkah saling berkait satu dengan yang lain sehingga merupakan perangkap kemiskinan yang benar-benar berbahaya dan memastikan peluang hidup seseorang atatu keluarga miskin tersebut. Seseorang atau sebuah keluarga yang miskin acapkali mampu tetap survive dan bahkan bangkit kembali terutama bila mereka memiliki jaringan atau pranata sosial yang melindungi dan menyelamatkan, tetapi seseorang atau keluarga yang jatuh pada lingkaran setan atau perangkap kemiskinan, mereka umumnya sulit untuk bangkit kembali. Dalam kenyataan bahkan acap kali terjadi, kelompok masyarakat yang termasuk cukupan atau kaya bukan kelompok Near Poor tiba-tiba harus mengalami penurunan status yang drastis sekali yakni masuk kedalam
13
kelompok, “Keluarga Miskin Baru”. Jadi perbedaan dengan kesan dan pengumuman yang dikeluarkan pemerintah belakangan ini yang menyebutkan jumlah orang miskin di Indonesia senantiasa turun dari waktu ke waktu, dalam kenyataan justru tidak jarang terjadi penambahan jumlah orang yang miskin. Studi yang dilakukan oleh Bagong Suyanto di sejumlah daerah di Jawa Timur, menemukan bahwa kelompok masyarakat yang selama 2-3 tahun terakhir terpaksa turun statusnya dari kelompok cukupan menjadi “Keluarga Miskin Baru” adalah kelompok petani cengkeh dan kelompok petani garam (Suyanto, 1996) Studi yang dilakukan oleh Bagong Suyanto tersebut, walau dengan jumlah sampel yang terbatas, namun membuktikan bahwa usaha untuk memberantas kemiskinan memang bukan hal yang mudah, sebab apa yang dialami oleh sebuah keluarga dan masyarakat miskin bukan hanya sekedar kekurangan pendapatan atau tidak dimilikinya modal usaha saja, akan tetapi lebih dari itu yang sesungguhnya membelenggu keluarga dan masyarakat miskin adalah apa yang disebut oleh Robert Chambers dengan istilah perangkap kemiskinan atau lingkaran setan kemiskinan.
2.4 Kerangka Konsepsional Apa yang sudah terjadi selama ini, mengajarkan pada kita bahwa upaya untuk mengentas masyarakat dari kubangan perangkap kemiskinan dan sekaligus untuk membangun keluarga yang sejahtera yang diperlukan bukan Cuma hanya paket “Nasi Bungkus” bantuan ekonomi atau upaya-upaya yang sifatnya karitas saja (Raharjo, 1986) paket-paket bantuan ekonomi disatu sisi
14
rawan bias dan justru memperlebar ketimpangan antar kelas, sementara disisi lain upaya-upaya karitas dengan cara menyantuni secara penuh dan menjadikan keluarga-keluarga miskin sebagai obyek amal justru akan menimbulkan ketergantungan saja di pihak mereka yang disantuni dan akhirnya
hanya
akan
menimbulkan
ketidakberdayaan
keluarga
atau
masyarakat miskin. Menurut Korten dan Cambers (1988) kekurangan pokok dari modelmodel pengentasan kemiskinan yang banyak dipraktekan dinegara sedang berkembang adalah bahwa mereka menjadi begitu memusatkan perhatian pada peningkatan kuantitas produksi atau hasil sehingga kebutuhan sistem produksi mendapat tempat yang lebih utama dari pada kebutuhan rakyat Indonesia, kritik Koten dan Carner ini tampak sangat relevan. Banyak bukti menunjukkan paket-paket program kemiskinan di Indonesia memang lebih banyak berorientasi
pada
peningkatan
produksi
dari
pada
bertujuan
untuk
mendistribusikan kesejahteraan paket bantuan permodalan dan bantuan tehnologi seperti program motorisasi perikanan atau masuknya huller di desadesa, misalnya yang diberikan pemerintah meski dimaksudkan untuk mendongkrak pendapatan masyarakat miskin. Namun sangat kelihatan bahwa dibalik itu semua maksud yang sesungguhnya adalah untuk meningkatkan produksi demi kepentingan eksport dan surplus devisa negara yang sangat besar serta membanggakan seluruh rakyat Indonesia tercinta ini. Selama ini berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi dan menghapus kemiskinan, antara lain merumuskan standar
15
garis kemiskinan dan menyusun peta kantong-kantong kemiskinan. Di luar itu, tidak sedikit program yang telah disusun dan dilaksanakan dilapangan seperti terus memacu pertumbuhan ekonomi Nasional, menyediakan fasilitas kredit bagi masyarakat miskin antara lain melalui pemberian bantuan dana IDT, program Takesra, Kukesra, PDM, DKE, PPK, KURK, KUT dan lain-lain. Untuk sebagian berbagai program dan bantuan telah diupayakan pemerintah memang cukup bermanfaat, namun harus diakui bahwa upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan hingga kini masih belum membuahkan hasil yang memuaskan. Namun harus diakui bahwa upaya penanggulangan
kemiskinan
masih
belum
membuahkan
hasil
yang
memuaskan. Masih banyak penduduk Indonesia baik didesa maupun di kota yang hidup dibalut oleh kemiskinan. Disisi lain tidak bisa diingkari fakta, bahwa kondisi jumlah orang miskin menurun, namun kesenjangan dalam banyak hal justru semakin lebar. Menurut Ginanjar Kartasasmita (1995), pada dasarnya lambatnya perkembangan ekonomi rakyat disebabkan oleh sempitnya peluang untuk berpartisipasi dalam pembangunan yang mana hal itu merupakan konsekwensi dari kurangnya penguasaan dan pemilikan aset produksi terutama tanah dan modal. Pada umumnya masyarakat miskin tidak memiliki surplus pendapatan untuk bisa ditabung bagi pembentukan modal, pendapatan yang diperoleh hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pokoknya saja seperti kehidupan makan dan kebutuhan sehari-hari.
16
Di samping itu, faktor lain yang menyebabkan berbagai program kemiskinan menjadi kurang efektif tampaknya adalah berkaitan dengan kurangnya dibangun ruang gerak yang memadai bagi masyarakat miskin untuk memberdayakan dirinya. Sering kali terjadi, kegiatan pembangunan yang bertujuan untuk mensejahterakan penduduk miskin justru terjebak menjadi program yang melahirkan ketergantungan baru, dan bahkan mematikan potensi swakarsa lokal. Diakui atau tidak selama ini mendekatan pemerintah dalam mengatasi kemiskinan baik ditingkat nasional, regional maupun lokal umumnya adalah dengan pendekatan ekonomi semata. Ada kesan kuat bahwa dimata Pemerintah masalah kemiskinan sepertinya hanya dipahami sebagai sebuah persoalan yang di laksanakan Pemerintah, umumnya berusaha memberikan bantuan di bidang permodalan, memberikan subsidi, dan semacamnya (Suyanto,1995 :207-214). Memang untuk jangka pendek pemberian bantuan ekonomi itu bisa bermanfaat. Tetapi untuk jangka panjang sesungguhnya pemberian bantuan ekonomi itu tidak akan bisa menyelesaikan masalah kemiskinan secara tuntas. Banyak bukti memperlihatkan bahwa pemberian bantuan saja ternyata justru melehirkan problem-problem baru yang tidak kalah ruwetnya. Bahkan , untuk mustakhil terjadi di perolehnya bantuan modal pinjaman kredit justru akan merupakan titik awal dari macam-macam masalah lain dan kehancuran usaha masyarakat miskin (Mubyarto, 1985:429). Sebabnya salah satunya adalah berpangkal dari kesalahan orang miskin itu sendiri yang kadang hidup boros
17
tetapi, disisi lain, kesalahan juga bersumber dari tekanan-tekanan keburukan ekonomi yang memang tidak bisa dielakkan masyarakat miskin sering menyebabkan mereka terpaksa harus mengalihkan dan memanfaatkan kredit yang diperoleh bukan untuk kegiatan produktif, tetapi untuk kegiatan yang sifatnya konsumtif (Chambers, 1987). Penelitian yang di lakukan Bagong Suyanto (1991-2001) tentang berbagai lembaga kredit pedesaan -seperti perum Pegadaian, BPR, Lembaga KURK, Kredit Usaha Tani dan sebagainya yanng sebenarnya dimaksudkan untuk membantu kegiatan produktif masyarakat, .menemukan ternyata banyak nasabah yang memanfaatkan kredit yang di perolehnya itu bukan untuk kegiatan produktif, melainkan untuk kegiatan yang sifatnya konsumtif, terutama untuk makan sehari-hari. Tekanan kebutuhan sehari-hari yang senantiasa mengancam dan kewajiban untuk mengikuti anak dan semacamnya telah membuat banyak keluarga atau golongan masyarakat miskin sulit untuk mengembangkan usahanya. Selanjutnya salah satu ciri dari kemiskinan yang sudah lama dikenal para ahli adalah kehausan masyarakat desa terhadap kredit. Tetapi ini bukan berti setiap program IDT dapat memicu dan memacu dinamika perkembangan ekonomi rakyat didesa tertinggal. Pokmas-pokmas yang menerima dana IDT tahun pertama umumnya gagal mengembangkan usahanya, dengan beragam kendala dan masalah yang dihadapinya.
18
Proses pemberdayaan rakyat berakar kuat pada program kemandirian tiap individu yang kemudian meluas ke lingkungan keluarganya, serta kelompok masyarakat baik ditingkat lokal maupun Nasional. Yang selanjutnya memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh rakyat dengan menerapkan
langkah-langkah
nyata,
menampung
berbagai
masukan,
menyediakan prasarana dan prasarana baik fisik maupun sosial yang dapat diakses oleh masyarakat lapisan bawah. Juga memberdayakan rakyat dalam arti melindungi yang lemah dan membela kepentingan masyarakat yang lemah. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah jangan sampai yang lemah makin terpinggirkan dalam menghadapi yang kuat. Dimana Kartasasmita, pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial kemasyarakatan secara menyeluruh dan terkontribusikan. Konsep pemberdayaan masyarakat miskin pada dasarnya lebih bias dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasarnya saja (Basic Needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (Safety Needs) yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan di masa yang lalu. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang antara lain oleh John Friedman disebut sebagai Alternative Development, yang menghendaki Inclusive Democracy. Substansi pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota
19
masyarakat akan tetapi juga pranata-pranatanya, menanamkan nilai-nilai budaya modern seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, kebertanggung jawaban, disebut-sebut sebagai bagian dari upaya pemberdayaan itu. Secara lebih rinci, dimensi-dimensi dari pemberdayaan, bukan saja menyangkut upaya
merubah
kognisi,
menumbuhkan
keinginan
seseorang
untuk
mengaktualisasikan diri dan memberikan pengalaman psikologis yang membuat seseorang, merasa berdaya guna dan berhasil guna, tetapi juga menyangkut pada usaha memampukan masyarakat miskin melakukan mobilitas keatas, menimbulkan perilaku masyarakat miskin agar mereka mandiri dan produktif dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, berorientasi pada kesadaran dan menumbuhkan iklim demokrasi yang benar-benar menjamin hak-hak masyarakat miskin dari kemungkinan intervensi pihakpihak yang berkuasa.
2.5 Hipotesa Kerja Hipotesa adalah dugaan sementara terhadap hasil penelitian yang kebenarannya masih harus dibuktikan dengan penelitian. Untuk lebih mengarah dan lebih dapat diperoleh kesimpulan yang tepat, maka penulis kemukakan hipotesis dan permasalahan yang ada, yang mana hipotesis itu nantinya kebenarannya akan dibuktikan melalui penelitian. Adapun hipotesis yang penulis kemukakan adalah hipotesis kerja, dengan simbul H1, sebagai perbandingan yang disampaikan pula hipotesa nihil dengan simbul Ho. Adapun Hipotesa yang dimaksud adalah sebagai berikut:
20
H1
:
Pelaksanaan OPK Beras sangat berpengaruh terhadap ketahanan
pangan Keluarga Pra sejahtera, Ho
: Pelaksanaan OPK Beras tidak berpengaruh terhadap peningkatan ketahanan pangan keluarga Pra sejahtera.
21