7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Latar Belakang Pembangunan Sektor Energi Dan Ketenaga Listrikan Di Indonesia Dengan luas daratan sebesar 1,9 juta km2 ditambah dengan luas wilayah dari zone ekonomi eksklusif sebesar tiga juta km persegi, Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki hak pengelolaan eksploitasi sumber daya alam (SDA) terbesar didunia. Tetapi dalam konteks manajemen energi, luasnya wilayah dan ketimpangan pembangunan menimbulkan banyak problem. Misalnya sebagian besar lokasi pusat ketersediaan sumber daya energi primer : minyak, gas, batu bara, dan tenaga air berada jauh dari pusat-pusat konsumsi energi utama. Pulau Jawa sebagai sentral perindustrian dan perdagangan negara kita, yang luas permukaannya hanya tujuh per sen dari keseluruhan wilayah Indonesia, tetapi ditempati oleh 50 per sen dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia, dengan aktivitas ekonomisnya yang paling dinamis dan paling pesat pertumbuhannya sedemikian juga dengan tingkat demand energinya, dibandingkan misal dengan Irian Jaya yang merupakan 22 per sen wilayah nasional tetapi dengan jumlah penduduk kurang satu per sen saja (Ciptomulyono, 2002) Posisi geografis Indonesia berada pada lempeng tektonis yang secara geologis sangat aktif menyebabkan sebagian wilayah Indonesia sangat kaya dengan sumber daya energi dan alam. Sumber daya alam minyak bumi dan gas misalnya menjadi tumpuan sumber devisa bagi pembangunan selama dasa warsa lalu, meskipun kontribusinya turun dari 69 per sen pada 1985 menjadi hanya 27 per sen pada 1998 (Migas, 1998 dalam Ciptomulyono, 2002).
8 2.2 Konsumsi Energi Primer Dan Energi Listrik Pada periode pertumbuhan cepat tahun 1985-an tingkat peningkatan konsumsi energi meningkat dengan pesat, lebih dari 16 per sen permintaan energi listrik pertahunnya, untuk rata-rata pertumbuhan GDP sebesar 7.1 per sen per tahunnya. Minyak bumi adalah bahan bakar energi listrik utama. Untuk sektor listrik berbagai peran energi alternatif seperti gas alam, panas bumi, batubara, dan hidro direncanakan akan ditingkatkan untuk mensubstitusi sumber bahan energi konvensional, minyak bumi dan gas alam yang sejak tahun 1985 sampai tahun 1997 mendominasi bahan bakar pembangkitan listrik. Seperti ditunjukkan pada tabel 2.1 dibawah ini, peran energi berbahan bakar fosil hampir 99 per sen dari total kebutuhan energi, sementara peran tenaga hidro dan geothermal sangat rendah. Tabel 2.1. Konsumsi Energi Primer 1985-1997 (Mtep) 1985 1997 Tipe Sumber Konsumsi Kontribusi Konsumsi Kontribusi Energi (Mtep) (%) (Mtep) (%) Minyak Bumi 22 62.5 38.6 54.8 Gas Alam 12.3 34.9 26.3 38 Batu Bara 0.9 2.5 4.2 6 Hidro 0.2 0.1 0.8 1.1 Geothermal 0 0 0.1 0.1 Total 35.4 100 70 100 Mtep : Million ton ekivalen minyak bumi Sumber : Migas (1998) dalam Ciptomulyono (2002)
Perlu dicatat bahwa sumber daya energi “biomassa” belum ditampilkan dalam table diatas. Sebagian jenis energi ini dikonsumsi didaerah pedesaan untuk keperluan energi domestik. Energi nuklir belum dipertimbangkan sebagai sumber energi pembangkit tenaga listrik mengingat ketidaksiapan teknologi dan kegagapan sosial menerimanya, kecuali bila beban permintaan
9 kapasitas pembangkit di sistem Jawa Bali sudah tidak bisa dipenuhi oleh sumber energi konvensional yang ada. Sejak mulai tahun 1985 terlihat lonjakan konsumsi energi primer total dari tiga puluh lima koma empat Mtep sehingga mencapai tujuh puluh Mtep atau tumbuh sebesar tujuh per sen per tahun. Sementara minyak tumbuh sebesar 5.7 per sen per tahun (Migas, 1998 dalam Ciptomulyono, 2002). Tetapi tampak bahwa kontribusi minyak dalam pemenuhan permintaan energi terlihat menurun dan sebaliknya untuk konsumsi gas alam menaik ratarata hingga 13 per sen per tahun. Gas Turbine Diesel 6% 12% Panas Bumi 2%
PLTU Batu Bara 23%
PLTU BBM 5%
Hidro 15%
PLTU Gas 4%
Combine Cycle Gas 20%
Combine Cycle BBM 13%
Gambar 2.1 Kapasitas terpasang pembangkit tenaga listrik di Indonesia Tahun 2005 (22.231 MW)
2.3 Krisis Penyediaan Kapasitas Industri Listrik Indonesia Pada tahun 1994, tingkat konsumsi tenaga listrik per kapita Indonesia di antara negara-negara ASEAN tercatat paling rendah yaitu sebesar tiga ratus tiga puluh tiga kW dibandingkan dengan Malaysia sebesar seribu enam puluh tujuh kw dan Thailand sebesar lima ratus empat belas kW. Jika dibandingkan dengan Prancis yang sebesar empat ribu lima ratus kW per kapita maka jelas sangatlah jauh. Disisi lain, tingkat laju pertumbuhan permintaan tenaga listrik sangat kuat yaitu sebesar 17.6 enam per sen sejak 1981 sampai 1996. Pada periode yang sama tingkat
10 pertumbuhan kapasitas terpasang hanya sebesar 14.5 per sen per tahun. Perubahan demand listrik sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor ekonomis, seperti pertumbuhan GDP, kebijakan energi nasional, aspek demografis, perkembangan tingkat kualitas hidup masyarakat, kompetivitas penggunaan bahan bakar energi, dan sistem pentarifan. Didorong pertumbuhan ekonomi yang pesat di periode yang lalu, permintaan energi listrik meningkat dalam level demand yang tinggi. Bahkan peningkatan demand energi listrik ini jauh melampaui pertumbuhan GDP. Tabel 2.3 dibawah ini menggambarkan pertumbuhan konsumsi energi listrik antara periode 1985 dan 1990 sebesar tujuh belas per sen per tahun, sebaliknya pada periode 1990-1996 sekitar 15.6 per sen. Pada periode ini tingkat elastisitas konsumsi energi untuk setiap kenaikan GDP cenderung menurun yaitu sebesar 2.19 pada periode 1990-1996. Hal ini menunjukkan performance industri listrik mengarah ke level yang efisien. Tabel 2.2 Pertumbuhan GDP & konsumsi tenaga listrik Indonesia (Periode 1980-1996) Tingkat Pertumbuhan (%) Pertumbuhan GDP (%) Pertumbuhan Permintaan Listrik (%) Elastisitas Permintaan Listrik Pertumbuhan Ekspansi Kapasitas (%)
Periode 1980/85 6.7 14.1 2.47 16.1
Periode 1985/90 6.3 16.9 2.68 10.9
Periode 1990/96 7.1 15.6 2.19 14.4
Sumber : ADB (1996) dan PLN (1998) dalam Udisubakti (2001)
Tetapi bila diperbandingkan dengan tingkat ekspansi kapasitas pembangkitan, akan mengarahkan pada kondisi ”shortage” kelangkaan energi listrik. Misalnya, pertumbuhan permintaan listrik pada periode 1990-1996 tumbuh 15.6 per sen per tahun, pertumbuhan ekspansi kapasitas hanya sebesar 14.4 per sen per tahun.
11 2.4 Sistem Tenaga Listrik Kerangka suatu sistem tenaga listrik sangat luas dan kompleks. Suatu sistem tenaga listrik pada umumnya terdiri atas empat unsur, yaitu pembangkitan, transmisi, distribusi, dan pemakaian tenaga listrik. (Gambar 2.2).
Gambar 2.2 Sistem tenaga listrik
Pembangkitan tenaga listrik terdiri atas berbagai jenis pusat tenaga listrik, seperti pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), pembangkit listrik tenaga gas (PLTG), dan lain sebagainya. Letak pembangkit tenaga listrik seringkali jauh-jauh dari pusat-pusat pemakaian tenaga listrik, seperti kota dan industri. Dengan demikian, energi listrik yang dibangkitkan di pembangkit tenaga listrik, sering harus disalurkan, atau ditransmisikan melalui jarak-jarak yang jauh ke pusat-pusat pemakaian tenaga listrik. Tiba di kota, energi listrik itu harus dibagikan, atau didistribusi kepada para pemakai atau pelanggan. Pada suatu sistem yang cukup besar, tegangan yang keluar dari generator harus dinaikkan dulu dari tegangan menengah (tegangan generator) menjadi tegangan tinggi atau tegangan ekstra tinggi (tegangan transmisi). Menyalurkan energi listrik melalui jarak-jarak yang jauh harus dilakukan dengan tegangan yang tinggi untuk memperkecil kerugian-kerugian yang terjadi, baik rugi energi maupun penurunan tegangan. Menurut Kadir (1998) Suatu sistem tenaga listrik harus memenuhi syaratsyarat dasar seperti : (i) Setiap saat mampu memenuhi jumlah energi listrik yang diperlukan konsumen sewaktu-waktu (ii) Mempertahankan suatu tegangan yang tetap dan yang tidak dan yang tidak terlampau bervariasi, misalnya ± sepuluh per sen
12 (iii) (iv) (v) (vi)
Mempertahankan suatu frekuensi yang stabil dan tidak bervariasi lebih dari misalnya ± 0.1 Hz Menyediakan energi listrik dengan harga yang wajar Memenuhi standar-standar keamanan dan keselamatan Tidak mengganggu lingkungan hidup
2.5 Konsep Fuzzy Kehidupan manusia sehari-hari seringkali diwarnai dengan ketidakpastian. Demikian juga dengan data serta informasi yang berhubungan dengan aktivitas pribadi dan profesional seringkali terlihat samar dan penuh ketidakpastian. Hal ini terjadi karena pengetahuan kita tentang suatu hal pada dasarnya adalah fuzzy. Seringkali kita mengerti akan suatu teori, tetapi kita tidak yakin secara mendetail. Arti dari fuzziness (kekaburan/ketidakjelasan) banyak didapatkan dalam makna-makna kualitatif yang mempunyai nilai relatif untuk individu yang berbeda. Teori himpunan fuzzy (fuzzy sets theory) yang diperkenalkan oleh Zimmermann (1996) dalam pengembangan selanjutnya merupakan suatu alat dan teknik yang tepat dalam menganalisis sistem-sistem yang kompleks serta merupakan proses pengambilan keputusan dari ketidakpastian suatu pola yang disebabkan oleh kesamaran dari suatu keacakan. Teori ini dibangun untuk memecahkan masalah dimana deskripsi atau gambaran aktivitas, observasi, dan pengambilan keputusan bersifat subjektif, samar dan tidak akurat (Mohanty et al, 2005). Konsep dasar fuzziness adalah adanya ketidaktepatan dalam mendefinisikan suatu makna yang diutarakan kedalam bentuk linguistik. Fuzzy umumnya mengarah pada situasi dimana tidak ada batas dari aktivitas dan penilaian yang dapat didefinisikan secara tepat. Misalkan, dalam kehidupan sehari-hari kita dapat dengan mudah menggolongkan seseorang yang memiliki berat badan 100 kg ke dalam kelas “gemuk”, sementara itu tidak mudah untuk menentukan apakah seseorang yang
13 memiliki berat badan seratus kg juga termasuk ke dalam kelas tersebut, karena kata “gemuk” tidak memiliki batasan yang jelas. Sesuatu yang bersifat fuzzy seperti ini sangat sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, seperti kelas “penting” pada tingkat kepentingan, “puas” untuk tingkat kepuasan pelanggan, dan sebagainya. Hal ini dapat dipresentasikan dengan baik dengan menggunakan teori fuzzy. Menurut Kusumadewi (2004) alasan penggunaan logika fuzzy oleh kebanyakan orang adalah : (i) Konsep logika fuzzy mudah dimengerti. (ii) Logika fuzzy sangat fleksibel. (iii) Logika fuzzy memiliki toleransi terhadap data– data yang tidak tepat. (iv) Logika fuzzy mampu memodelkan fungsi–fungsi nonlinear yang sangat kompleks. (v) Logika fuzzy dapat membangun dan mengaplikasikan pengalaman–pengalaman para pakar secara langsung tanpa harus melalui proses pelatihan. (vi) Logika fuzzy dapat bekerjasama dengan teknik – teknik kendali secara konvensional. (vii) Logika fuzzy didasarkan pada bahasa alami. 2.6 Himpunan Fuzzy Himpunan fuzzy adalah sebuah himpunan yang didalamnya terdapat elemen yang mempunyai derajat keanggotaan yang berbeda-beda. Ide ini bertolak belakang dengan himpunan tegas (crips), karena keanggotaan dari himpunan tegas (crips) tidak akan menjadi anggota kecuali jika keanggotaannya penuh pada himpunan ini. Pada himpunan tegas (crips), nilai keanggotaan suatu item x dalam himpunan A, yang ditulis dengan µA(x), memiliki dua kemungkinan. Untuk memperjelas perbedaan antara himpunan fuzzy dan himpunan tegas (crips) akan diberi contoh sebagai berikut. Misalkan variable umur yang akan dibagi
14 menjadi tiga kategori yaitu muda dengan umur kurang dari tiga puluh lima tahun, parobaya dengan umur antara tiga puluh lima sampai lima puluh lima dan tua dengan umur lebih dari lima puluh lima tahun. Adapun nilai keanggotaan secara grafis himpunan muda, parobaya dan tua dapat dilihat pada gambar 2.3 dibawah ini
Gambar 2.3 Himpunan keanggotaan umur
Dari gambar dapat dijelaskan bahwa (i) Apabila seseorang berusia tiga puluh empat tahun, maka ia dikatakan muda (µmuda[34]=1) (ii) Apabila seseorang berusia tiga puluh lima tahun, maka ia dikatakan tidak muda (µmuda[35]=0) (iii) Apabila seseorang berusia tiga puluh lima tahun, maka ia dikatakan parobaya (µparobaya[35]=1) (iv) Apabila seseorang berusia tiga puluh empat tahun, maka ia dikatakan tidak parobaya (µparobaya[34]=0) Dari sini bisa dikatakan bahwa pemakaian himpunan tegas (crips) untuk menyatakan umur sangat tidak adil, ada perubahan kecil saja pada satu nilai mengakibatkan perbedaan kategori yang cukup signifikan. Himpunan fuzzy digunakan untuk mengatasi hal tersebut. Dimana seseorang dapat masuk dalam dua himpunan yang berbeda yaitu muda, parobaya, tua dsb. Seberapa besar eksistensinya dalam himpunan tersebut dapat dilihat pada nilai keanggotaannya.
15
Gambar 2.4 Himpunan Fuzzy Untuk Variabel Umur
Pada gambar dapat dilihat bahwa : (i) Seseorang yang berumur empat puluh tahun, termasuk dalam himpunan muda dengan µmuda[40]=0.25, namun dia juga termasuk dalam himpunan parobaya dengan µparobaya[40]=0.5 (ii) Seseorang yang berumur lima puluh tahun, termasuk dalam himpunan tua dengan µtua[50]=0.25, namun dia juga termasuk dalam himpunan parobaya dengan µparobaya[50]=0.5 Himpunan fuzzy memiliki dua atribut, yaitu : 1. Linguistik, yaitu penamaan suatu grup yang mewakili suatu keadaan atau kondisi tertentu dengan menggunakan bahasa alami, seperti : muda, parobaya, tua. 2. Numeris, yaitu suatu nilai (angka) yang menunjukkan ukuran dari suatu variabel seperti : tiga puluh, dua puluh, empat puluh, dsb. 2.7 Membership Function Membership function adalah suatu kurva yang menunjukkan pemetaan titik-titik input data ke dalam nilai keanggotaannya (yang sering disebut dengan derajat keanggotaan) dengan interval nol sampai satu. Macam-macam fungsi keanggotaan yang dikenal antara lain tipe Z, tipe Lambda, tipe S dan tipe T atau TFN. Dari berbagai tipe yang sering digunakan adalah TFN yang biasa disebut Triangular Fuzzy Number. 2.7.1 Triangular Fuzzy Number
16 Fuzzy number adalah suatu yang spesial dari fuzzy set = (x, ),x R1, di mana x membawa nilainya kedalam garis real R 1 : - x + dan (x) merupakan penggambaran kontinu dari R1 pada interval terdekat dari 0,1 (L.K. Chan, et al 1999). Fungsi keanggotaan yang sering dipakai dalam aplikasinya adalah fungsi T atau lebih dikenal dengan Triangular Fuzzy Number. 1 0.7 0.5 0.3 0
A
B
C
Gambar 2.5 Triangular fuzzy number M = (a,b,c ) (L.K. Chan, et al 1999)
Suatu TFNs yang dinotasikan dengan M = ( a,b,c), dengan a b c adalah bilangan fuzzy khusus yang menyatakan M = “mendekati b”, dapat didefinisikan sebagai berikut: 0 untuk x < a ( x,a,b,c) = (x-a): (b-a)
untuk a x b
(c-x): (c-b)
untuk b x c
0
untuk x > c
(2.1)
Sebagai contoh, apabila seorang customer memberi penilaian pada suatu kriteria A sama dengan delapan yang berarti ‘baik’. Dari penilaian ini dapat dibuat TFNs M 8 = ‘mendekati 8’ = (7,8,9) yang direpresentasikan sebagai berikut:
17
0
untuk x < 7
( x,a,b,c) = (x-7) / (7-7)
untuk 7 x 8
(9-x) / (9-8)
untuk 8 x 9
0
untuk x > 9
Fungsi diatas berarti kemungkinan kriteria A diberi rating delapan adalah M8 (8) = 1. Kemungkinan kriteria A diberi rating yang lebih rendah, misalkan tujuh setengah adalah M7 (7,5) = lima puluh per sen , sedangkan untuk rating lebih tinggi, misalkan delapan setengah adalah M7 (8,5) = lima puluh per sen. Menurut Chan dan Wu (1999), peratingan tingkat kepentingan dengan skala 1-9 oleh Saaty (1988) dapat direpresentasikan menjadi fuzzy set M 1 =’mendekati satu’ sampai dengan M 9 =’mendekati sembilan’, sebagai berikut: m (x)
Sangat Tidak Penting
Tidak Penting
Sedang
Sangat Penting
Penting
1
0.5
x
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Gambar 2.6. Fuzzy set dari M 1 = “mendekati 1” sampai M 9 = “mendekati 9” (L.K. Chan, et al 1999)
2.8 Variabel Linguistik Variabel linguistik adalah variabel yang mempunyai bentuk penilaian yang diwujudkan kedalam ungkapan kata atau kalimat yang biasa digunakan didalam proses penilaian secara
18 kualitatif. Konsep dari variabel linguistik sangat berguna ketika digunakan dalam situasi dimana permasalahan yang dianalisa sangat rumit dan sulit untuk didefinisikan kedalam bentuk besaran kuantitatif. Sebagai contoh kata ”panjang” adalah wujud dari variabel linguistik ketika penilaian yang diberikan merupakan bentuk penilaian kualitatif, tetapi kata ”panjang” bisa berubah menjadi variabel numerik ketika penilaian yang digunakan menggunakan besaran kuantitatif. Ada suatu hipotesis yang dilakukan oleh para ilmuwan kognitif yang menyatakan bahwa bentuk bahasa komunikasi yang digunakan manusia untuk menggambarkan kesan mental dalam penilaian yang bersifat kualitatif lebih nyaman untuk digunakan dibandingkan menggunakan penilaian dengan besaran kuantitatif. Walaupun sifat dari penilaian secara linguistik tersebut berkemungkinan mengandung unsur ketidakpastian tetapi mempunyai keunggulan bahwa model tersebut lebih mudah untuk digunakan. Menurut Zadeh (1975) dalam Chandra (2001), bahasa (linguistik) yang kita pergunakan sehari-hari telah menjadi kebiasaan bagi kita untuk dipergunakan dalam suatu penilaian. Sejak begitu banyaknya informasi yang mempengaruhi dalam proses komunikasi antar personal yang menggunakan bahasa sebagai bentuk komunikasi yang paling alamiah dimana sangat memungkinkan adanya unsur ketidakpastian didalamnya, maka konsep fuzzy dalam hal ini menawarkan sebuah mekanisme baru yang mampu menjembatani antara bentuk penilaian linguistik yang bersifat kualitatif untuk ditransformasikan kedalam bentuk kuantifikasi yang lebih dapat dianalisa secara matematis. 2.9 Defuzzifikasi Keluaran dari proses yang menggunakan algoritma fuzzy kadangkala juga membutuhkan besaran yang bernilai tunggal. Defuzzifikasi adalah sebuah model konversi dari bentuk nilai fuzzy
19 ke dalam besaran yang lebih presisi. Kurang lebih terdapat 7 metode di dalam literatur yang dapat digunakan dalam pengembangan model-model analisa untuk kasus yang mempunyai karakteristik ketidakpastian yang telah dikembangkan oleh para peneliti. Dalam penelitian kali ini akan digunakan metode Center of Area (Center of Gravity) atau yang sering disebut juga sebagai metode centroid. Metode ini adalah metode yang paling lazim dan paling banyak diusulkan oleh banyak peneliti yang digunakan (Sugeno, 1985;Lee, 1990 dalam Chandra, 2004). Formulasi matematis metode ini dapat diberikan sebagai berikut:
Z
*
c ( z ) * zdz c ( z ) dz
(2.2)
1 μ Z* Z Gambar 2.7 Metode Center of Area (Center of Grafity)
2.10 Multi Criteria Decision Making (MCDM) Tabucanon (1988) dalam bukunya menyatakan bahwa proses pengambilan keputusan adalah pemilihan suatu alternatif dari berbagai alternatif sehingga menghasilkan pilihan terbaik berdasarkan beberapa kriteria optimasi. Kriteria disini adalah ukuran, aturan, dan standar untuk membantu proses pengambilan keputusan. Sebelum melakukan proses pengambilan keputusan, maka himpunan alternatif dan kriteria terlebih dahulu harus ditetapkan. MCDM menjadi rumit dikarenakan banyaknya kriteria yang terlibat dalam permasalahan. Pada permasalahan yang hanya melibatkan satu kriteria penilaian, proses pemilihan alternatif akan relatif lebih mudah walaupun terdapat banyak alternatif yang harus dipertimbangkan. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa
20 tingkat kesulitan pengambilan keputusan sensitif terhadap jumlah kriteria yang dipertimbangkan. Tabucanon (1988) menyatakan bahwa suatu permasalahan tergolong MCDM jika dan hanya jika setidaknya terdapat dua kriteria yang saling bertentangan dan melibatkan dua solusi alternatif. Kriteria yang saling bertentangan (conflicting criteria) berarti kepuasan memilih suatu alternatif berdasarkan suatu kriteria tertentu akan berbeda berdasarkan kriteria yang lain. Sedangkan nonconflicting criteria memperlihatkan adanya dominasi yang kuat dari suatu alternatif terhadap alternatif lain yang diperbandingkan. Dalam optimasi multikriteria, konsep untuk menemukan nilai optimal tidak hanya secara simultan meningkatkan semua tujuan yang saling bertentangan. Konsep optimal diganti dengan satisfactory solution (solusi kompromi terbaik), dimana hal tersebut tergantung kepada pengambil keputusan dalam menentukan tujuannya. Secara umum ada empat tahapan yang harus dilakukan dalam pencapaian solusi masalah pengambilan keputusan, yaitu:
(i)
(ii)
(iii) (iv)
Mendefinisikan alternatif yang akan dipertimbangkan dan formulasi permasalahan (pemilihan suatu alternatif, pemilihan suatu subset alternatif, atau perangkingan alternatif) Menetapkan sudut pandang/kriteria yang akan dijadikan dasar penilaian dan pemodelan preferensi pengambil keputusan pada tiap-tiap sudut pandang/kriteria tersebut Mensintesis informasi yang ada ke dalam suatu model global untuk mengagregasikan preferensi pengambil keputusan tersebut
Mengaplikasikan suatu prosedur tertentu sesuai tujuan pengambilan keputusan.
2.11 Analytic Network Process (ANP)
21 Analytic Network Process (ANP) adalah suatu metodologi yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan Multi Criteria Decision Making (problem keputusan) yang tidak bisa dibuat struktur hirarkinya sebab melibatkan interaksi dan ketergantungan elemen-elemen atas pada elemen-elemen level bawah serta terdapatnya hubungan saling mempengaruhi antar kriteria pada level tertentu (Mohanty et al, 2005). ANP ditujukan untuk menentukan kepentingan relatif dari suatu set aktivitas dalam persoalan MCDM dengan menggunakan pairwise comparison. Didalam pelaksanaannya ANP menggunakan beberapa tenaga ahli (experts members) untuk menganalisa hubungan antar kriteria dan nilai bobot relatif antar kriteria tersebut. Kemudian dengan mengalikan bobot kriteria dan bobot alternatif proyek maka akan diperoleh bobot total untuk prioritas alternatif. Kelebihan dari metode ANP ini adalah dapat diaplikasikan untuk problem multikriteria yang diantara kriteriakriterianya terdapat hubungan innerdependence. Sehingga pada ANP memungkinkan terjadinya feedback yang tidak dapat dilakukan pada AHP. Seperti halnya AHP, ANP melibatkan hubungan secara hierarkis tetapi kontrol hirarki ini tidak membutuhkan struktur baku seperti pada AHP sehingga mampu menangani hubungan yang kompleks antara level-level keputusan dengan atribut-atribut (Meade dan Rogers, dalam Handayani, 2003). ANP memodelkan sistem dengan feedback dan sistem dimana satu level mungkin mendominasi maupun didominasi, baik secara langsung maupun tidak langsung oleh level lainnya. Pada ANP juga digunakan metode perbandingan berpasangan seperti pada AHP dengan memiliki skala relatif yang dapat dilihat pada tabel 2.3. Tabel 2.3. Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan Tingkat kepentingan 1 3 5 7 9
Definisi
Keterangan
Kedua elemen sama penting / disukai
Elemen A1 dan A2 sama-sama disukai / penting
Elemen yang satu sedikit lebih penting / disukai daripada elemen lainnya Elemen yang satu lebih penting / disukai daripada elemen lainnya Satu elemen sangat lebih penting / disukai daripada elemen lainnya Satu elemen mutlak penting / disukai daripada elemen lainnya
Elemen A1 cukup disukai / penting dibanding elemen A2 Elemen A1 lebih disukai / penting dibanding elemen A2 Elemen A1 sangat disukai / penting dibanding elemen A2 Elemen A1 mutlak disukai / penting dibanding elemen A2
22
ANP terdiri dari dua bagian. Bagian yang pertama terdiri dari kontrol hirarki atau jaringan kriteria dan subkriteria yang mengontrol interaksi tersebut. Bagian yang kedua adalah berupa jaringan atau pengaruh yang terjadi antar elemen atau cluster. Jaringan yang terjadi antar kriteria sangat beragam dan limiting matriks untuk tiap supermatriks dihitung pada setiap kontrol kriteria. Pada akhirnya tiap supermatriks dibobotkan dengan prioritas dari masing-masing kontrol kriteria dan hasil akhir yang didapat adalah berupa penjumlahan dari semua kontrol kriteria. Konsep supermatriks digunakan untuk memperoleh bobot gabungan yang mengalahkan hubungan interrelationships yang ada (Mohanty et al, 2005). Hubungan saling mempengaruhi antar 1 set elemen dalam suatu komponen pada elemen lain dalam suatu sistem dapat direpresentasikan melalui prioritas sekali rasio yang diambil. Gambar 2.8 menggambarkan jaringan yang saling mempengaruhi antara elemen-elemen:
23
C1
C2
C4
Inner dependence loop
C3
C6
C5 Outer dependence Loop
Gambar 2.8 Jaringan feedback
Pada gambar tersebut ada lima cluster yang saling berhubungan. Hubungan dalam cluster atau innerdependence terlihat pada C2 dan C6. Hal ini berarti elemen-elemen dalam cluster ini memiliki saling keterkaitan satu sama lain. Hubungan antar cluster (outer dependence) seperti yang terlihat pada C6 dan C5 dapat diartikan bahwa C6 memberikan pengaruh pada C5, begitu juga C1 memberikan pengaruh pada C4. Hubungan yang terjadi pada C1 dan C3 merupakan hubungan saling mempengaruhi yang ditunjukan dengan dua anak pada menjuju C1 dan C3. ANP dikembangkan sebagai upaya untuk memodelkan dependensi antar elemen. Prinsip pengembangan ANP menurut Saaty (2001): (i) ANP adalah pengembangan AHP. (ii) Dengan memungkinkan terjadinya saling ketergantungan, permodelan ANP menjadi lebih kompleks dibandingkan AHP. (iii) Dalam ANP terdapat dependensi dalam satu set elemen (inner dependence) dan dependensi antara elemen yang berbeda (outer dependence). (iv) Struktur jaringan dalam ANP memungkinkan terjadinya pengambilan keputusan dari suatu
24 permasalahan tanpa memperhatikan elemen pertama dan selanjutnya yang muncul seperti pada hirarki. (v) ANP menggunakan control hierarchy atau control network untuk menangani permasalahan dengan kriteria-kriteria yang berbeda. Langkah ANP menurut Lee dan Kim (2000) dalam Handayani (2003): (i) Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan (ii) Mengidentifikasikan kriteria-kriteria evaluasi (iii) Menentukan bobot kepentingan untuk mengetahui seberapa pentingnya satu kriteria evaluasi terhadap kriteria yang lain bagi pengambil keputusan didalam lingkup permasalahan yang ingin dipecahkan. Tabel 2.4 Skala penilaian tingkat kepentingan Nilai Definisi 1 Tidak Penting 3 Kurang Penting 5 Cukup Penting 7 Penting 9 Sangat Penting
(iv)
(v)
Menentukan bobot ketergantungan antar kriteria untuk mengetahui seberapa besar suatu kriteria tergantung pada kriteria yang lain didalam lingkup permasalahan tersebut dengan skala penilaian bobot antara 1 - 9. Menentukan bobot prioritas kriteria untuk masing-masing kriteria dengan mengalikan bobot kepentingan kriteria dengan bobot ketergantungan kriteria.
25 2.11.1 Supermatriks sistem dengan feedback Asumsikan bahwa sebuah sistem yang memiliki N cluster atau komponen dimana elemen-elemen dalam tiap komponen saling berinteraksi atau memiliki pengaruh terhadap beberapa atau seluruh elemen dari komponen yang lain. Jika komponen h dinotasikan dengan C h , dimana h = 1, …, N, memiliki n h elemen, yang dinotasikan dengan e h1 , e h2 , …, e hnh . Pengaruh dari satu set elemen dalam suatu komponen pada elemen yang lain dalam suatu sistem dapat digambarkan oleh vektor prioritas skala rasio (ratio scale priority vector) yang diturunkan dari perbandingan berpasangan. Tiap vektor prioritas kemudian dibentuk pada posisi yang sesuai sehingga vektor kolom dalam sebuah supermatriks dari pengaruh yang ada, sebagai berikut : ...
C
e 2 1 ... e 2 n 2
...
e N 1 ... e Nn
W 11
W 12
...
W 1N
... e2n2 ... eN1
W
W
...
W
... e Nn
W
C1
C
e 11 ... e 1 n 1
2
N
e 11 C1 W
... e1 n 1 e 21
C
2
.... C
N
N
21
... N
22
... 1
W
N 2
... ...
2 N
... W
NN
N
26 Dimana blok i, j dari matriks ini adalah sebagai berikut :
Wi1( ji ) ( ji ) W W i2 ... (j ) Wini i
W I(1j2 ) Wi (2 j2 ) ... Win( ij2 )
(j ) ... W I 1 nj (j ) ... Wi 2 nj ... ... (j ) ... Wini nj
Pada tiap kolom merupakan eigenvector yang merepresentasikan pengaruh dari seluruh elemen dari komponen ke-1 pada tiap elemen dari komponen ke-j. Supermatriks terlebih dalu harus direduksi ke dalam suatu matriks, yang tiap kolomnya berjumlah satu, menghasilkan kolom yang stokastik atau suatu stokastik matriks. Jika matriks adalah stokastik, maka limiting priorities tergantung pada reducibility, primitivity dan cyclicity dari matriks tersebut. Irreducibility dibutuhkan dalam teorema Frobenius, berkaitan dengan fakta bahwa eigen value dari matriks yang tidak negatif adalah sederhana sehingga muncul hanya sekali. Primitivity menyakinkan bahwa tidak ada akar dimana modulinya sama dengan 1. Imprimitivity berhubungan dengan akar-akar dari kesatuan dan penjelasan dari cyclicity. Interaksi dari supermatriks diukur berdasarkan beberapa kriteria yang berbeda. Untuk menampilkan dan mengkaitkan kriteria, maka dibutuhkan kontrol hirarki yang terpisah yang melibatkan kriteria dan prioritas tersebut. Untuk tiap kriteria, akan dibuat supermatriks yang berbeda dari pengaruh-pengaruh yang ada. Stokastik matriks yang dihasilkan dikenal dengan supermatriks berbobot. Kondisi yang stokastik dibutuhkan untuk mendapatkan limiting priorities. Pada umumnya supermatriks tidaklah stokastik karena dalam tiap kolom terdiri dari beberapa eigen value yang mana jika dijumlahkan sama dengan satu sehingga seluruh kolom
27 matriks jika dijumlahkan hasilnya merupakan integer yang lebih dari satu. Hal umum yang dilakukan, adalah dengan menentukan pengaruh dari klaster pada tiap klaster berdasarkan pada kriteria kontrol. Prioritas dari sebuah komponen dari eigen vektor semacam itu digunakan untuk membobotkan keseluruhan elemen dalam blok dalam supermatriks yang sesuai dengan elemen-elemen dari klaster yang mempengaruhi maupun yang dipengaruhi, sehingga diperoleh supermatriks stokastik. 2.12 Penelitian Terdahulu Penggunaan metode fuzzy-ANP untuk menyelesaikan permasalahan multikriteria merupakan suatu metode yang masih cukup baru. Penelitian-penelitian terdahulu kebanyakan masih menggunakan metode fuzzy saja ataupun metode ANP saja, sebagai contoh penelitian dari Chandra (2001) yang menerapkan metode fuzzy untuk menentukan prioritas pembinaan dan pengembangan sektor industri kecil potensial di wilayah kotamadya Surabaya, ataupun penelitian dari Findiastuti (2004) yang menerapkan metode ANP untuk menentukan prioritas pengembangan kelompok industri kecil menengah di kabupaten Bangkalan. Contoh penelitian yang menggunakan metode fuzzy-ANP yang juga digunakan oleh penulis sebagai referensi dalam menyusun tugas akhir kali ini adalah penelitian dari Mohanty, et.al (2005). Penelitian ini bertujuan untuk memilih alternatif proyek Research & Development terbaik dari 3 alternatif yang ada. Dalam penelitian ini, terdapat 11 kriteria yang dikelompokkan kedalam 3 kluster. Penelitian ini juga menggunakan perbandingan berpasangan, memperhitungkan faktor biaya, dan juga menggunakan fungsi keanggotaan fuzzy triangular. Hasil akhirnya berupa nilai bobot dari tiga alternatif yang ada, dan selanjutnya dipilih alternatif yang memiliki bobot terbesar sebagai alternatif terbaik.
28
-Halaman Ini Sengaja Dikosongkan-