Bab II Tinjauan Pustaka
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1
PENDAHULUAN
Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk hajat hidup orang banyak, bahkan oleh semua makhluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air harus dilindungi agar tetap dapat dimanfaatkan dengan baik oleh manusia serta makhluk hidup yang lain. Pemanfaatan air untuk berbagai kepentingan harus dilakukan secara bijaksana, dengan memperhitungkan kepentingan generasi sekarang dan generasi mendatang. Aspek penghematan dan pelestarian sumber daya air harus ditanamkan pada segenap pengguna air.
Saat ini, masalah utama yang dihadapi oleh sumber daya air meliputi kuantitas air yang sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan yang terus meningkat dan kualitas air untuk keperluan domestik yang semakin menurun. Kegiatan industri, domestik, dan kegiatan lain berdampak negative terhadap sumber daya air, antara lain menyebabkan penurunan kualitas air. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan, kerusakan, dan bahaya bagi semua makhluk hidup yang bergantung pada sumber daya air. Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan dan perlindungan sumber daya air secara seksama.
Pengelolaan sumber daya air sangat penting, agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dengan tingkat mutu yang diinginkan. Salah satu langkah pengelolaan yang dilakukan adalah pemantauan dan interpretasi data kualitas air, mencakup kualitas fisika, kimia dan biologi.
II.2
WADUK
Waduk merupakan badan air tergenang (Standing waters atau Lentik) yang dibuat dengan cara membendung sungai, umumnya berbentuk memanjang mengikuti bentuk dasar sungai sebelum dijadikan waduk. Waduk dapat dibedabedakan berdasarkan faktor kecepatan aliran, waktu detensi hidrolik dan adanya gradien vertikal temperatur, di samping variabel kualitas air lainnya (Perdana, 2006). II - 1
Bab II Tinjauan Pustaka II.2.1 Struktur Waduk II.2.1.1 Struktur Fisik Karakteristik fisik suatu waduk umumnya dinyatakan oleh panjang, kedalaman, luas permukaan dan volume dari waduk (Perdana, 2006). Waduk dicirikan dengan arus yang sangat lambat (0,001 – 0,01 m/detik) atau tidak ada arus sama sekali. Arus air waduk dapat bergerak ke berbagai arah. Perairan danau/waduk biasanya memiliki stratifikasi kualitas air secara vertikal. Stratifikasi ini terjadi akibat perbedaan intensitas cahaya dan perbedaan suhu pada kolom air yang terjadi secara vertikal. Stratifikasi ini tergantung pada kedalaman dan musim (Effendi, 2003).
Zonase perairan tergenang dibagi menjadi dua, yaitu zonase bentos dan zonase kolom air (Gambar 2.1). Zonase bentos disebut juga zonase dasar, terdiri atas supra-litoral, litoral, sub-litoral, dan profundal. Zonase kolom air atau open water zone terdiri atas zonase limnetik, tropogenik, kompensasi, dan tropolitik (Effendi, 2003).
Gambar II.1 Zonase pada perairan tergenang (waduk) (Cole, 1988 dalam Effendi, 2003)
Berdasarkan kedalamannya, waduk dibedakan menjadi waduk dangkal dengan kedalaman kurang dari 7 meter, waduk sedang dan waduk dalam. Sedangkan berdasarkan waktu detensi hidrolisnya waduk dibedakan menjadi waduk dengan waktu detensi hidrolis singkat yaitu kurang dari 1 tahun dan waduk dengan waktu detensi hidrolis panjang yaitu lebih dari 1 tahun (Perdana, 2006).
Unsur-unsur struktur waduk yang melibatkan pergerakan air dan distribusi panas sering kali digunakan untuk mendeskripsikan kondisi-kondisi offshore waduk. II - 2
Bab II Tinjauan Pustaka Apabila ditinjau dari struktur dalam cekungan waduk, ada dua zona kedalaman yang umum disebutkan, yaitu zona litoral dan pelagik. Zona litoral membentang dari tepian tepat di atas pengaruh gelombang sampai kedalaman di mana cahaya nyaris tidak cukup bagi tumbuhan air berakanr. Pada waduk-waduk yang dalam, area di luar pengaruh tepian atau dasar disebut sebagai zona limnetik atau pelagik. Organisme yang menghuni zona tersebut harus beradaptasi untuk berenang, suspensi, ataupun mengambang. Massa airnya memiliki suhu struktur vertikal khas yang tidak bergantung pada bentuk basin (cekungan) waduk (Wulandari, 2006).
Bagian waduk yang jauh dari tepian secara garis besar dibagi menjadi dua berdasarkan tingkat cahaya. Bagian yang memperoleh cukup cahaya dan biasanya airnya tercampur dengan baik disebut zona fotik atau eufotik. Zona tersebut membentang dari permukaan waduk sampai kedalaman cahaya kira-kira 1% dari yang terdapat di permukaan. Sementara zona afotik membentang di bawah litoral dan fotik sampai ke dasar waduk. Cahaya di zona tersebut terlalu sedikit bagi fotosintesis. Akan tetapi, respirasi terjadi pada semua kedalaman, sehingga zona afotik merupakan daerah konsumsi oksigen (Wulandari, 2006).
Pada daerah-daerah bersuhu sedang, dapat ditemukan tiga zona vertikal waduk ketika terjadi stratifikasi termal. Air bagian atas yang lebih hangat dan bersirkulasi disebut epilimnion; bagian tengah dimana terjadi laju perubahan suhu paling besar seturut kedalaman (termoklin) adalah metalimnion; dan bagian dalam yang dingin dan sedikit sirkulasinya disebut hipolimnion (Wulandari, 2006).
Sifat waduk tergantung dari perbedaan fluktuasi aliran masuk dan aliran keluar, dimana rasio antara volume waduk terhadap alirannya akan memberikan waktu detensi hidraulik, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk mengosongkan waduk atau waduk tersebut apabila input ke waduk atau waduk dihentikan. Apabila aliran keluar berlangsung lambat maka waktu detensi makin besar sehingga percampuran banyak terjadi di dalam waduk, maka waduk cenderung bersifat homogen. Sebaliknya, jika waktu detensinya singkat maka percampuran yang terjadi sedikit sehingga sifat waduk cenderung heterogen (Perdana, 2006). II - 3
Bab II Tinjauan Pustaka II.2.1.2 Struktur Kimiawi Distribusi zat-zat kimiawi, terutama nutrien, dalam air waduk merupakan unsur utama kedua struktur waduk. Nutrien terkadang menumpuk di hipolimnion atau zona afotik, sementara epilimnion atau zona fotik justru kehabisan nutrien, kedalaman dimana terjadi perubahan zat secara cepat disebut kemoklin. Kemoklin adalah cirri tetap pada beberapa waduk, tapi biasanya stratifikasi kimiawi ditentukan oleh distribusi suhu dan kerapatan. Stratifikasi vertikal struktur kimiawi biasanya kecil pada zona litoral yang tercampur baik. Komponen vertikal struktur kimiawi waduk umumnya bersifat musiman dan bergantung pada keberadaan lapisan air yang terstabilisasi oleh kerapatan komponen horizontal dapat berlangsung sepanjang tahun dan dipengaruhi oleh tepian waduk (Wulandari, 2006).
II.2.1.3 Struktur Biologis Unsur utama ketiga dari struktur waduk adalah struktur biologis. Sebagian organisme hidup berpindah-pindah zona waduk selama hidupnya, akan tetapi sebagian besar dapat diklasifikasikan berdasarkan habitatnya yang paling penting. Organisme yang hidup di waduk meliputi plankton (zooplankton dan fitoplankton), fungi, virus, nekton (berenang, termasuk ikan), neuston (hidup di permukaan air), pleuston (mengapung dan terombang-ambing oleh air), makrofit akuatik (tumbuhan tingkat tinggi), perifiton (tumbuhan dan hewan mikroskopik atau nyaris mikroskopik yang melekat pada makrofit akuatik), alga yang melekat, bentos, epibentos (hidup dan bergerak di dasar waduk), infauna (meliang di bawah permukaan lumpur, dan psammon (hidup di pasir). Selain itu ada pula yang disebut aufwuchs, yaitu keseluruhan komunitas organisme mikroskopik melekat yang terdiri atas alga, bakteri, fungi, protozoa, dan metazoa kecil (Wulandari, 2006).
II.2.1.4 Struktur Watershed Watershed sama pentingnya dengan unsur-unsur fisik, kimiawi, dan biologis suatu waduk. Ukuran, kemiringan, komposisi geologis, dan iklim cekungan drainage suatu waduk mempengaruhi identitas dan kuantitas mineral-mineral yang terlarut dalam waduk dan sedimen-sedimen yang menumpuk di sana. Perbandingan ukuran area drainage dengan luas permukaan sangatlah penting II - 4
Bab II Tinjauan Pustaka pada banyak waduk karena waduk yang area drainage-nya lebih besar biasanya tingkat kesuburannya lebih tinggi. Eutrofikasi juga sangat mempengaruhi rasio permukaan waduk/watershed (Wulandari, 2006).
Iklim umum watershed mempengaruhi transport sedimen dan nutrien. Misalnya saja, pola hujan suatu daerah mempengaruhi erosi dan kemudahan pergerakan dari watershed ke waduk. Contohnya dalah yang terjadi pada unsur nitrogen. Nitrogen dalam bentuk nitrat yang amat terlarut mudah sekali ditranspor oleh air jernih maupun berlumpur. Nitrat paling mudah berpindah dari tanah ke air di zona-zona beriklim sedang yang tinggi curah hujannya. Selain itu, iklim mempengaruhi juga keberadaan atau ketiadaan aliran keluar. Waduk-waduk air tawar tanpa aliran keluar biasanya akan menjadi waduk garam melalui evaporasi, dan bahkan bisa mengering sepenuhnya (Wulandari, 2006).
Selain sumber-sumber alamiah zat-zat kimiawi dari sedimen atau erosi dan penggelontoran watershed, ada pula sumber-sumber dari pertanian, hutan, dan perkotaan. Sumber-sumber tersebut tak hanya mengubah morfometri cekungan waduk, melainkan juga memodifikasi lingkungan kimiawi waduk (Wulandari, 2006).
II.2.2 Fungsi dan Potensi Waduk Waduk mempunyai fungsi ekonomi yang sangat tinggi. Salah satu fungsi terpenting waduk adalah perikanan, baik budidaya maupun perairan tangkap. Jika dikelola dengan benar, perikanan waduk dapat mendatangkan keuntungan yang cukup besar. Apalagi, perikanan air tawar di Indonesia dicirikan oleh kekayaan spesies dan tingkat endemisme yang tinggi (Wulandari, 2006).
Waduk juga penting dari segi tata air (antara lain mencegah kekeringan dan banjir) dan dalam kaitannya dengan penyediaan air bersih, baik untuk minum, irigasi, maupun industri. Dengan demikian, waduk mempunyai fungsi sebagai peyangga kehidupan (Wulandari, 2006).
II - 5
Bab II Tinjauan Pustaka II.3
STANDAR KUALITAS AIR
Kualitas air adalah kadar unsur-unsur dari badan air yang dianalisis metoda tertentu berdasarkan sifat-sifat fisik, kimia, maupun bakteriologis sehingga menunjukkan mutu air tersebut. Standar kualitas air merupakan suatu persyaratan kualitas air untuk perlindungan dan pemanfaatan air yang bersangkutan (Jati, 2006).
Di Indonesia telah ada standar kualitas air yang bersifat nasional maupun regional. Di dalam pengelolaan kualitas air dikenal dua macam standar yaitu “stream standar” dan “efluen standar”. Stream standar adalah karakteristik kualitas air yang disyaratkan bagi sumber air (misalnya sungai) yang disusun dengan mempertimbangkan pemanfaatan sumber air tersebut, kemampuan pencemaran dan swa pemurnian terhadap beban pencemaran dan faktor-faktor ekonomis. Sedangkan efluen standar adalah karakteristik kualitas air yang disyaratkan bagi efluen atau air buangan yang akan disalurkan ke sumber air (sungai), dimana dalam penyusunannya telah dipertimbangkan pengaruh terhadap pemanfaatan sumber air yang menampungnya (Jati, 2006).
Baku mutu yang digunakan untuk analisis kualitas air adalah PP No.82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Berdasarkan PP No.82 Tahun 2001 Bab II, Pasal 8, air diklasifikasikan menjadi empat kelas, yaitu: 1. Kelas I yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan air yang sama untuk peruntukan tersebut. 2. Kelas II yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk sarana rekreasi, budidaya ikan air tawar, peternakan, dan untuk mengairi pertamanan. 3. Kelas III yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk budidaya ikan air tawar, peternakan, dan untuk mengairi pertamanan. 4. Kelas IV yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertamanan.
II - 6
Bab II Tinjauan Pustaka II.4
PENCEMARAN AIR
Pencemaran air disebabkan oleh banyak faktor, namun secara umum dapat dikelompokan ke dalam dua katagori (Jati, 2006): x
Sumber-sumber langsung (direct contaminant sources), dan
x
Sumber-sumber tak langsung (indirect contaminant sources)
Yang dimaksud dengan sumber-sumber langsung adalah buangan (effluent) yang berasal dari sumber pencemarnya yaitu limbah hasil pabrik atau suatu kegiatan dan limbah seperti limbah cair domestik dan tinja serta sampah. Pencemaran terjadi karena buangan ini langsung mengalir ke dalam sistem pasokan air (urban water supplies system), seperti sungai, kanal, parit/selokan. Sedangkan sumbersumber tak langsung adalah kontaminan yang masuk melalui air tanah akibat adanya pencemaran pada air permukaan baik dari limbah industri maupun dari limbah domestik. Berdasarkan masuknya limbah ke badan air penerima, pencemaran digolongkan pada pencemaran titik (point source), pencemaran garis (line source), dan kombinasi keduanya. (Manurung, 2004).
II.4.1 Dampak Pencemaran Air Dampak pencemaran air pada umumnya dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu (Jati, 2006): 1. Dampak terhadap kehidupan biota air Dengan banyaknya zat pencemar yang ada di dalam air limbah, maka akan menyebabkan menurunnya kadar oksigen yang terlarut di dalam air limbah tersebut. Dengan demikian akan menyebabkan kehidupan di dalam air yang membutuhkan oksigen akan terganggu, dan mengurangi perkembangannya. Selain disebabkan karena kurangnya oksigen, kematian kehidupan di dalam air dapat juga disebabkan oleh adanya zat beracun. Selain kematian ikanikan, dampak lainnya adalah kerusakan pada tanaman air.
2. Dampak terhadap kualitas air tanah Suatu survey sumur dangkal di Jakarta menunjukkan bahwa pencemaran air tanah oleh tinja yang lazim diukur dengan Faecal Coliform telah terjadi
II - 7
Bab II Tinjauan Pustaka dalam skala yang luas. Banyak penelitian mengindikasikan terjadinya pencemaran yang berasal dari tinja tersebut.
3. Dampak terhadap kesehatan Pengaruh langsung terhadap kesehatan, umpamanya, tergantung sekali pada kualitas air mengingat air yang terkontaminasi dalam hal ini berfungsi sebagai media penyalur ataupun penyebar penyakit. Peran air sebagai pembawa penyakit menular bermacam-macam, antara lain: x
air sebagai media untuk hidup mikroba patogen
x
air sebagai sarang insekta penyebar penyakit
x
jumlah air bersih yang tersedia tak cukup, sehingga manusia bersangkutan tak dapat membersihkan dirinya, atau air sebagai media untuk hidup vektor penyebar penyakit
4. Dampak terhadap estetika lingkungan. Dengan semakin banyaknya zat organik yang dibuang oleh perusahaan yang memproduksi bahan organik, maka setiap hari akan dihasilkan air limbah yang berupa bahan-bahan organik yang semakin besar. Ampas dari limbah jenis ini yang seharusnya diendapkan terlebih dahulu, dan memerlukan waktu yang lama, sebelum dibuang kemudian mengalami proses pembusukan zat organik yang berada di dalamnya. Akibat yang ditimbulkannya adalah bau menyengat. Di samping masalah bau, juga masalah penumpukan yang memerlukan tempat yang luas. Hal seperti inilah yang menimbulkan masalah estetika lingkungan. Masalah limbah minyak atau lemak juga terkait dengan estetika. Selain bau, limbah ini juga menyebabkan tempat di sekitarnya menjadi licin.
II.4.2 Upaya Pengendalian Pencemaran Pada umumnya pencemaran organik atau logam berat disebabkan oleh limbah industri dan domestik/rumah tangga. Beban pencemaran industri tegantung pada bahan baku atau bahan kimia yang digunakan, kapasitas dan proses produksi, serta cara penyaluran air buangan yang dipakai. Sedangkan beban pencemar dari air limbah rumah tangga/domestik/perkotaan, biasanya ditentukan oleh faktor
II - 8
Bab II Tinjauan Pustaka komposisi masyarakat, jenis dan sistem penyalurannya, standar hidup, geografi, dan ada tidaknya tempat pembuangan sampah.
Pengendalian pencemaran badan sungai dapat dilakukan dengan tiga upaya yaitu (Jati, 2006): x
Usaha pengurangan beban pencemaran (khususnya dalam industri). Pengurangan beban pencemaran dalam industri dapat dilakukan dengan pengubahan proses, penggantian bahan kimia yang potensi pencemarannya tinggi dengan unsur kimia yang mempunyai daya racun rendah, mengefektifkan pemakaian zat-zat kimia, dan lain-lain, cara ini dikenal dengan teknologi bersih.
x
Upaya pengolahan dengan metode fisik, kimia, biologis, atau kombinasinya. Efisiensi dari pengolahan tersebut berbeda-beda tergantung pada cara atau metoda yang diterapkan. Pengolahan secara fisis dapat dilakukan dengan penyaringan (screening) atau pengendapan. Pengolahan secara kimia dapat dilakukan dengan penambahan bahan kimia yang bersifat koagulan dan flokulan, sehingga terjadi proses koagulasi. Adapun pengolahan biologis dimaksudkan untuk memberikan oksigen untuk mengoksidasi bahan organik yang ada atau yang tersisa sampai pada tingkat yang diinginkan.
x
Penyaluran air buangan Penyaluran buangan cair harus memperhatikan lingkungan sekitar yang menyangkut permukiman penduduk, pertanian, perikanan, dan lain-lain. Hal kedua yang diperhatikan adalah efluen standar yang harus memenuhi persyaratan. Dan yang terakhir adalah ijin pemilihan dan penampungan buangan cair maupun padat berupa sludge. Penegakan hukum peraturan perundang-undangan,
koordinasi
kelembagaan
atau
institusi
dan
implementasi kebijakan-kebijakan tentang lingkungan hidup, dapat pula sebagai strategi pengendalian yang sangat membantu.
II.5
PENGAMBILAN CONTOH AIR
Pengambilan contoh air (water sampling) merupakan salah satu bagian yang tak terpisahkan dari sistem pengukuran kualitas air, yaitu untuk mendapatkan data kualitas air yang akurat dan valid. Untuk mendapatkan data hasil pengukuran
II - 9
Bab II Tinjauan Pustaka yang valid (representatif) diperlukan beberapa hal sebagai berikut (Effendi, 2003) : a. contoh air yang representatif, b. metode analisis dengan tingkat akurat dan presisi yang memadai, c. peralatan dan instrumentasi yang menunjang, dan d. sumber daya manusia (analis atau laboran) yang dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang memadai.
Pengertian contoh air yang representatif adalah contoh air yang komposisinya sama dengan komposisi badan air (sungai, waduk, laut, sumur, dsb) yang akan diteliti. Jika contoh air yang akan dianalisis adalah contoh air yang karakteristiknya telah berubah dari karakteristik asalnya (badan airnya), maka ketika dianalisis di laboratorium, data yang diperoleh adalah data yang tidak sama dengan kualitas badan air tersebut, sehingga data yang diperoleh tidak representatif, sehingga akan menimbulkan kesalahan dalam membuat kesimpulan tentang kualitas badan air tersebut, yang selanjutnya akan menimbulkan kesalahan yang lebih jauh, yaitu kesalahan dalam mengambil kebijakan yang akan diterapkan dalam rangka pengelolaan kualitas air tersebut.
Untuk mendapatkan contoh air yang representatif diperlukan beberapa persyaratan diantaranya (Effendi, 2003): a. pemilihan lokasi yang tepat b. teknik pengambilan contoh c. metode pengawetan
II.5.1 Pemilihan Lokasi Pengambilan Contoh Air Pemilihan lokasi pengambilan contoh air merupakan salah satu langkah penting dalam prosedur pengambilan contoh air, lokasi pengambilan contoh dipilih agar contoh air yang diambil benar-benar mewakili badan air tersebut dan disesuaikan dengan tujuan pengambilan sampel, agar diperoleh hasil pengukuran yang representatif dan sesuai dengan kebutuhan.
Dalam
pemilihan
lokasi
harus
menpertimbangkan
tujuan
dari
pengukuran/pemantauan dan pengetahuan tentang kondisi dan geografi badan air II - 10
Bab II Tinjauan Pustaka yang akan diteliti. Lokasi pengambilan contoh air sudah dapat ditentukan dalam perencanaan dan dapat diplotkan di atas peta, tetapi keputusan akhir sangat tergantung pada kondisi lapangan setelah dilakukan survey pendahuluan. Untuk pengambilan contoh di waduk diperlukan alat bantu yaitu perahu.
II.5.2 Teknik Pengambilan Contoh Air Dalam pengambilan contoh air, terdapat istilah grab sample (contoh air sesaat) dan composite sample (contoh air campuran). a. grab sample (contoh air sesaat) Istilah contoh air sesaat adalah contoh air yang diambil pada satu kali pengambilan dari satu lokasi. Dengan demikian, data hasil pengukuran hanya mewakili kualitas air pada saat dilakukan pengambilan dan pada titik pengambilan.
b. composite sample (contoh air campuran) Contoh air komposit (composite sample) adalah contoh air campuran yang diambil dari satu lokasi, dengan beberapa kali periode pengambilan dalam rentang waktu tertentu. Kemudian contoh-contoh air tersebut digabungkan dicampurkan menjadi satu contoh.
Ada beberapa parameter air yang tidak mungkin diawetkan, tetapi harus sesegera mungkin dilakukan pengukuran, yaitu dilakukan pengukuran di lapangan (di lokasi pengambilan contoh air). Parameter yang umumnya dilakukan pengukuran di lokasi pengambilan contoh air adalah temperatur, pH, oksigen terlarut, konduktivitas, kecerahan, asiditas dan alkalinitas. Dengan demikian perlu disiapkan peralatan dan pereaksi untuk pengukuran parameter di lapangan (Tabel II.1).
Selain pereaksi untuk pengukuran di lapangan juga harus disiapkan pereaksi untuk pengawetan contoh air. Secara umum, pereaksi yang biasanya digunakan untuk pengawetan adalah asam sulfat pekat, asam nitrat pekat, NaOH, dll.
II - 11
Bab II Tinjauan Pustaka Tabel II.1 No.
Peralatan/Pereaksi Untuk Pengukuran Lapangan Parameter Lapangan
Peralatan/Pereaksi
1
Temperatur
Termometer
2
pH
pH meter
3
Oksigen Terlarut
DO meter
4
Konduktivitas
5
Kecerahan
6
Asiditas-Alkalinitas
Conductivity meter Secchi disk Titrasi Asidi-Alkalinitas
Sumber: Standard Method for the Examination of Water and Waste Water, 20thedition, 1998
II.5.3 Metode Pengawetan Contoh Air Pengawetan contoh air adalah perlakuan-perlakuan yang diterapkan terhadap contoh air dengan tujuan agar kualitas air tidak berubah selama perjalanan dari lokasi sampling ke laboratorium dan selama penyimpanan di laboratorium, menunggu di laboratorium. Senyawa-senyawa yang ada dalam air dibagi menjadi 3 kategori diantaranya (Jati, 2006): a. Senyawa kimia/molekul kimia yang terdapat dalam air dan relatif stabil, tidak mudah berubah untuk jangka waktu tertentu Misalnya untuk parameter Natrium, Kalium, Kalsium dan Magnesium Klorida atau Sulfat, sehingga tidak perlu diawetkan, jika contoh air tersebut akan segera dianalisis b. Senyawa/molekul kimia dalam yang konsentrasinya berubah dengan cepat akibat terjadinya perubahan fisik air Contohnya adalah gas yang terlarut dalam air (O2 terlarut, gas Cl2 sebagai desinfektan) akan berubah terhadap perubahan temperatur dan tekanan air. Untuk menjaga agar diperoleh hasil pengukuran yang akurat, maka untuk pengukuran parameter tersebut harus dilakukan pengukuran sesegera mungkin, yaitu pengukuran di lapangan, tidak mungkin (tidak praktis) dilakukan pengawetan contoh air. c. Senyawa kimia/molekul kimia yang mudah berubah tetapi masih bisa diawetkan dengan cara-cara tertentu dengan waktu penyimpanan yang terbatas Untuk setiap parameter pengukuran mempunyai cara pengawetan contoh air yang berbeda-beda, demikian pila penyimpanannya. Contohnya untuk II - 12
Bab II Tinjauan Pustaka parameter ammonia, diawetkan dengan cara diasamkan dengan H2SO4 pekat sampai pH 2, dengan waktu penyimpanan paling lama 28 hari, harus sudah dilakukan pengukuran.
II.6
PARAMETER FISIKA
II.6.1 Suhu Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi badan air. Suhu juga sangat berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan, misalnya pada organisme akuatik yang memiliki kisaran suhu tertentu (batas atas dan batas bawah) yang sesuai untuk pertumbuhannya (Effendi, 2003).
Peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi, dan volatilisasi. Peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air, misalnya gas O2, CO2, N2, CH4, dan sebagainya (Haslam,1995 dalam Effendi, 2003). Selain itu, peningkatan suhu juga akan mengakibatkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10 °C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sebesar 2-3 kali lipat. Peningkatan suhu juga dapat menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba. Kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah 20-30 °C (Effendi, 2003).
Cahaya matahari yang masuk ke perairan akan mengalami penyerapan dan perubahan menjadi energi panas. Proses penyerapan cahaya ini berlangsung secara lebih intensif pada lapisan atas sehingga lapisan atas perairan memiliki suhu yang lebih tinggi (lebih panas) dan densitas yang lebih kecil daripada lapisan bawah.
II - 13
Bab II Tinjauan Pustaka II.6.2 Kecerahan dan Kekeruhan Kecerahan air tergantung dari warna dan kekeruhan pada air. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Secchi disk dikembangkan oleh professor Secchi pada sekitar abad ke 19. Tingkat kekeruhan air tersebut dinyatakan dengan suatu nilai yang dikenal dengan kecerahan secchi disk (Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendi, 2003).
Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (APHA 1996; Davis dan Cornwell, 1991 dalam Effendi, 2003).
Kekeruhan pada perairan tergenang (lentik), misalnya waduk, lebih banyak disebabkan oleh bahan tersuspensi yang berupa koloid dan partikel-partikel halus; sedangkan kekeruhan pada sungai yang sedang banjir lebih banyak disebabkan oleh bahan-bahan tersuspensi yang berukuran lebih besar yang berupa lapisan permukaan tanah yang terbawa oleh aliran air pada saat hujan. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi, misalnya pernafasan dan daya lihat organisme aquatik, serta dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air.
II.7
PARAMETER KIMIA
II.7.1 pH pH menunjukkan kadar asam atau basa dalam suatu larutan, melalui konsentrasi (sebetulnya aktivitas) ion hidrogen H+. Ion hidrogen merupakan faktor utama untuk mengerti reaksi kimiawi dalam ilmu teknik lingkungan, karena (Sumestri, 1984): •
H+ selalu ada dalam kesetimbangan dinamis dengan air, H2O, yang membentuk suasana untuk semua reaksi kimiawi yang berkaitan dengan masalah pencemaran air, dimana sumber ion hidrogen tidak pernah habis.
II - 14
Bab II Tinjauan Pustaka •
H+ tidak hanya merupakan unsur molekul H2O saja tetapi juga merupakan unsur banyak senyawa lain, hingga jumlah reaksi tanpa H+ dapat dikatakan hanya sedikit saja.
Air membentuk kesetimbangan seperti yang ditunjukkan dalam persamaan reaksi (2.1) dan (2.2) (Fresenius et al., 1988 dalam Effendi, 2003). 2 H2O
H3O+
ļ
(Ion Hidronium) H2O
ļ
+
H
OH-
+
+
(2.1)
(Ion Hidroksil) OH-
(2.2)
Ion hidrogen bersifat asam. Keberadaan ion hidrogen menggambarkan nilai pH, yang dinyatakan dengan persamaan (2.3) pH = - log [H+]
(2.3)
Konsentrasi ion hidrogen dalam air murni yang netral adalah 1 x 10-7 g/liter. Nilai disosiasi air (Kw) pada suhu 25°C adalah 10-14. Klasifikasi nilai pH adalah sebagai berikut: pH = 7
: netral
7 < pH < 14 : alkalis (basa) 0 < pH < 7
: asam
Sebagian besar organisme akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH sekitar 7 – 8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah. Toksisitas logam memperlihatkan peningkatan pada pH rendah (Novotny dan Olem, 1994 dalam Effendi, 2003). Pengaruh nilai pH terhadap komunitas biologi perairan ditunjukkan dalam Tabel II.2. Pada pH < 4, sebagian besar tumbuhan air mati karena tidak dapat bertoleransi terhadap pH rendah. Namun, algae Chlamydomonas acidophila masih dapat bertahan hidup pada pH sangat rendah, yaitu 1, dan algae Euglena masih bertahan hidup pada pH 1,6 (Haslam, 1995 dalam Efendi, 2003).
II - 15
Bab II Tinjauan Pustaka Tabel II.2
Pengaruh pH Terhadap Komunitas Biologi Perairan
Nilai pH
6,0 – 6,5
Pengaruh Umum 1.
Keanekaragaman plankton dan bentos sedikit menurun
2.
Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas tidak mengalami perubahan
1.
Penurunan Nilai keanekaragaman plankton dan bentos semakin tampak
5,5 – 6,0
2.
Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas masih belum mengalami perubahan yang berarti
3.
Algae hijau berfilamen mulai tampak pada zona litoral
1.
Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifiton, dan bentos semakin besar
5,0-5,5
2.
Terjadi penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankton dan bentos
3.
Algae Hijau berfilamen semakin banyak
4.
Proses nitrifikasi berjalan lambat
1.
Penurunan keeanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifiton, dan bentos semakin besar
4,5-5,0
2.
Penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankton dan bentos
3.
Algae hijau berfilamen semakin banyak
5.
Proses nitrifikasi terhambat
Sumber: Baker et al, 1990 dalam Effendi 2003
II.7.2 Oksigen Terlarut Atmosfer bumi mengandung oksigen sekitar 210 ml/L. Oksigen merupakan salah satu gas yang larut dalam perairan. Kadar oksigen yang terlarut dalam perairan alami bervariasi tergantung suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian (altitude) serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil (Jeffrey dan Mills, 1996 dalam Effendi, 2003).
Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah (effluent) yang masuk ke badan air. Peningkatan suhu sebesar 1 °C akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10 % (Brown, 1987 dalam Effendi, 2003). Dekomposisi bahan organik dan oksidasi
II - 16
Bab II Tinjauan Pustaka bahan anorganik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai nol (anaerob) (Effendi, 2003).
Sumber oksigen terlarut dapat berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer (sekitar 35 %) dan aktivitas fotosintetis oleh tumbuhan air dan fitoplankton (Novotny dan Olem, 1994 dalam Effendi, 2003). Difusi oksigen dari atmosfer ke dalam air dapat terjadi secara langsung pada kondisi air diam (stagnant). Difusi juga dapat terjadi karena agitasi atau pergolakan massa air akibat adanya gelombang atau ombak dan air terjun. Namun, pada hakikatnya difusi oksigen dari atmosfer ke perairan berlangsung relatif lambat, meskipun terjadi pergolakan massa air. Oleh karena itu, sumber utama oksigen di perairan adalah fotosintesis.
Sebagian besar oksigen pada perairan lacustrin, misalnya waduk dan danau, merupakan hasil sampingan dari aktivitas fotosintesis. Pada proses fotosintesis, karbon dioksida direduksi menjadi karbohidrat dan air mengalami dehidrogenasi menjadi oksigen, seperti yang ditunjukkan oleh persamaan reaksi (2.4). 6 CO2 + 6 H2O Æ C6H12O6 + O2
(2.4)
Di perairan waduk, oksigen lebih banyak dihasilkan oleh fotosintesis algae yang banyak terdapat pada zona epilimnion. Pada perairan tergenang yang dangkal dan banyak ditumbuhi tanaman air pada zona litoral, keberadaan oksigen lebih banyak dihasilkan oleh aktivitas fotosintesis tumbuhan air (Tebbut, 1992 dalam Effendi, 2003).
Selain akibat proses respirasi tumbuhan dan hewan, hilangnya oksigen di perairan juga terjadi karena oksigen dimanfaatkan oleh mikroba untuk mengoksidasi bahan organik. Oksidasi bahan organik di perairan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah suhu, pH, pasokan oksigen, jenis bahan organik, serta rasio karbon dan nitrogen (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).
II - 17
Bab II Tinjauan Pustaka Keadaan perairan dengan kadar oksigen yang sangan rendah berbahaya bagi organisme akuatik. Semakin rendah kadar oksigen terlarut, semakin tinggi toksisitas (daya racun) zinc, copper (tembaga), lead (timbal), sianida hydrogen sulfide, dan ammonia. Perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan sebaiknya memiliki kadar oksigen tidak kurang dari 5 mg/L. Kadar oksigen terlarut kurang dari 4 mg/L menimbulkan efek yang kurang menguntungkan bagi hampir semua organisme akuatik. Kadar oksigen terlarut yang kurang dari 2 mg/L dapat mengakibatkan kematian ikan (UNESCO/WHO/UNEP, 1992 dalam Effendi, 2003). Swingle (1969) dalam Effendi (2003) mengemukakan hubungan antara kadar oksigen terlarut dan kelangsungan hidup ikan di kolam (Tabel II.3). Kadar Oksigen Terlarut dan Pengaruhnya Terhadap Kelangsungan
Tabel II.3
Hidup Ikan Kadar Oksigen Terlarut (mg/L) < 0,3
Pengaruh Terhadap Kelangsungan Hidup Ikan Hanya sedikit jenis ikan yang dapat bertahan pada masa pemaparan singkat (short exposure)
0,3 – 1,0
Pemaparan lama (prolonged exposure) dapat mengakibatkan kematian ikan
1,0 – 5,0
>5,0
Ikan dapat bertahan hidup, tetapi pertumbuhannya terganggu
Hampir semua organisme akuatik menyukai kondisi ini
Sumber: Swingle, 1969 dalam Effendi, 2003
II.7.3 BOD (Biochemichal Oxygen Demand) Dekomposisi bahan organik pada dasarnya terjadi melalui dua tahap. Pada tahap pertama, bahan organik diuraikan menjadi bahan anorganik. Pada tahap kedua, bahan anorganik yang tidak stabil mengalami oksidasi menjadi bahan anorganik yang lebih stabil, misalnya ammonia mengalami oksidasi menjadi nitrit dan nitrat (nitrifikasi). Pada penentuan nilai BOD, hanya dekomposisi tahap pertama yang berperan, sedangkan oksidasi bahan anorganik (nitrifikasi) dianggap sebagai pengganggu.
Secara tidak langsung, BOD merupakan gambaran kadar bahan organik, yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air (Daviss and Cornwell, 1991 dalam II - 18
Bab II Tinjauan Pustaka Effendi, 2003). Dengan kata lain, BOD menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi mikroba aerob yang terdapat dalam botol BOD yang diinkubasi pada suhu sekitar 20 °C selama 5 hari, dalam keadaan tanpa cahaya (Boyd, 1988).
BOD hanya menggambarkan bahan organik yang dapat didekomposisi secara biologis (biodegradable). Bahan organik ini dapat berupa lemak, protein, kanji (starch), glukosa, aldehida, ester, dan sebagainya. Dekomposisi selulosa secara biologis berlangsung relatif lambat. Bahan organik merupakan hasil pembusukan tumbuhan dan hewan yang telah mati atau hasil buangan dari limbah domestik dan industri.
Nilai BOD perairan dipengaruhi oleh suhu, densitas, plankton, keberadaan mikroba, serta jenis dan kandungan bahan organik. Korelasi antara BOD dan COD yang dikaitkan dengan suhu dan kecerahan ditunjukkan dalam persamaan regresi (2.5) dan (2.6) (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003). BOD (mg/L)/jam = -1,006 – 0,00148 C – 0.0000125 C2 + 0,0766 T – 0,00144 T2 + 0,000253 CT
(2.5)
BOD (mg/L)/jam = -1,133 + 0,00381 S + 0,0000145 S2 + 0,0812 T – 0,000749 T2 – 0,000349 ST
(2.6)
Keterangan: C = COD (mg/L) T = Suhu (°C) S = Secchi Disk (cm)
Pada perairan alami, yang berperan sebagai sumber bahan organik adalah pembusukan tanaman. Perairan alami memiliki nilai BOD antara 0,5 – 7,0 mg/L (Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendi, 2003). Perairan yang memiliki nilai BOD lebih dari 10 mg/L dianggap trelah mengalami pencemaran. Nilai BOD limbah industri dapat mencapai 25.000 mg/L (UNESCO/WHO/UNEP, 1992 dalam Effendi, 2003). Nilai BOD limbah industri makanan antara 500 – 4.000 mg/L, industri farmasi antara 400 – 10.000 mg/L, dan industri kertas sekitar 1.500 – 25.000 mg/L (Rao, 1991 dalam Effendi, 2003).
II - 19
Bab II Tinjauan Pustaka II.7.4 COD (Chemical Oxygen Demand) COD menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi secara biologis (non biodegradable) menjadi CO2 dan H2O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang diperlukan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).
Pengukuran COD didasarkan pada kenyataan bahwa hampir semua bahan organik dapat dioksida menjadi CO2 dan H2O dengan bantuan oksidator kuat (kalium dikromat/K2Cr2O7) dalam suasana asam. Meskipun demikian, terdapat juga bahan organik yang tidak dapat dioksidasi dengan metode ini, misalnya piridin dan bahan organik yang bersifat mudah menguap (volatile). Glukosa dan lignin dapat dioksidasi secara sempurna. Asam amino dioksidasi menjadi ammonia dan nitrogen. Nitrogen organik dioksidasi menjadi nitrat.
Keberadaan bahan organik dapat berasal dari alam ataupun dari aktivitas rumah tangga dan industri, misalnya pabrik bubur kertas (pulp), pabrik kertas, dan industri makanan. Perairan yang memiliki nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan perikanan dan pertanian. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/L, sedangkan pada perairan yang tercemar dapat lebih dari 200 mg/L dan pada limbah industri dapat mencapai 60.000 mg/L.
II.7.5 Kesadahan Kesadahan (hardness) adalah gambaran kation logam divalen (valensi dua). Kation-kation ini dapat bereaksi dengan sabun (soap) membentuk endapan (presipitasi) maupun dengan anion-anion yang terdapat di dalam air membentuk endapan atau karat pada peralatan logam (Effendi, 2003).
Pada perairan tawar, kation divalen yang paling berlimpah adalah kalsium dan magnesium, sehingga kesadahan pada dasarnya ditentukan oleh jumlah kalsium dan magnesium. Kalsium dan magnesium berikatan dengan unsur penyusun alkalinitas, yaitu bikarbonat dan karbonat. II - 20
Bab II Tinjauan Pustaka
Kesadahan pada awalnya ditentukan dengan titrasi menggunakan sabun standar yang dapat bereaksi dengan ion penyusun kesadahan. Dalam perkembangannya, kesadahan ditentukan dengan titrasi menggunakan EDTA (ethylene diamine tetra acetic acid) atau senyawa lain yang dapat bereaksi dengan kalsium dan magnesium.
Kesadahan perairan berasal dari kontak air dengan tanah dan bebatuan. Air hujan sebenarnya memiliki kemampuan untuk melarutkan ion-ion penyusun kesadahan yang banyak terikat didalam tanah dan batuan kapur (limestone), meskipun memiliki kadar karbondioksida yang relatif tinggi. Larutnya ion-ion yang dapat meningkatkan nilai kesadahan tersebut lebih banyak disebabkan oleh aktivitas bakteri di dalam tanah yang banyak yang mengeluarkan karbon dioksida.
Keberadaan karbondioksida membentuk kesetimbangan dengan asam karbonat. Pada kondisi yang relatif asam. Senyawa-senyawa karbonat yang terdapat di dalam tanah dan batuan kapur yang sebelumnya tidak larut berubah menjadi senyawa yang bikarbonat yang bersifat larut. Batuan kapur pada dasarnya tidak mengandung karbonat, tetapi juga mengandung sulfat, klorida, dan silikat. Ionion ini juga ikut terlarut dalam air. Gambar II.2 menunjukkan proses pelarutan senyawa karbonat.
Kesadahan diklasifikasikan berdasarkan dua cara, yaitu berdasarkan ion logam dan berdasarkan anion yang berasosiasi dengan ion logam. Berdasarkan ion logam, kesadahan dibedakan menjadi kesadahan kalsium dan kesadahan magnesium. Berdasarkan anion yang berasosiasi dengan ion logam, kesadahan dibedakan menjadi kesadahan karbonat dan kesadahan non-karbonat.
Perairan yang berada di sekitar batuan karbonat memiliki nilai kesadahan tinggi. Perairan payau dan laut yang mengandung natrium dalam jumlah besar juga dapat mengganggu daya kerja sabun, namun natrium bukan termasuk kation penyusun
kesadahan.
Klasifikasi
perairan
ditunjukkan dalam Tabel II.4.
II - 21
berdasarkan
nilai
kesadahan
Bab II Tinjauan Pustaka Air Hujan
Lapisan tanah pucuk (top soil) Zonase dengan aktivitas bakteri yang intensif, Menghasilkan CO2 dalam jumlah besar. CaCO3 + H2CO3 Æ Ca(HCO)3 (larut) Lapisan sebelah bawah tanah (sub soil) Zonase dengan aktivitas bakteri lebih sedikit, Menghasilkan CO2 lebih sedikit pula. CaCO3 + H2CO3 Æ Ca(HCO)3 (larut)
Lapisan batuan kapur (limestone) Zonase dengan aktivitas reaksi kimia yang berlangsung intensif CaCO3 + H2CO3 Æ Ca(HCO)3 (larut) MgCO3 + H2CO3 Æ Mg(HCO3)2(larut)
Gambar II.2 Penampang Melintang Tanah Yang Memperlihatkan Proses Terlarutnya Penyusun Kesadahan Perairan (Effendi, 2003) Tabel II.4 Klasifikasi Perairan Berdasarkan Nilai Kesadahan Kesadahan (mg/L CaCO3)
Klasifikasi Perairan
< 50
Lunak (soft)
50 – 150
Menengah (moderately hard)
150 – 300
Sadah (hard)
> 300
Sangat sadah (very hard)
Sumber: Peavy et al., 1985 dalam Effendi, 2003
Nilai kesadahan diperlukan dalam penilaian kelayakan perairan untuk kepentingan domestik dan industri. Tebbut (1992) (dalam Effendi, 2003) mengemukakan bahwa nilai kesadahan tidak memiliki implikasi langsung terhadap kesehatan manusia. Kesadahan yang tinggi dapat menghambat sifat toksik dari logam berat karena kation-kation penyusun kesadahan (kalsium dan magnesium) membentuk senyawa kompleks dengan logam berat tersebut. Misalnya, toksisitas 1 mg/L timbal pada perairan dengan kesadahan rendah (soft water) dapat mematikan ikan. Akan tetapi, toksisitas 1 mg/L timbal pada perairan dengan kesadahan 150 mg/L CaCO3 terbukti tidak berbahaya bagi ikan (Effendi, 2003).
II - 22
Bab II Tinjauan Pustaka Air permukaan biasanya memiliki nilai kesadahan yang lebih kecil daripada air tanah. Perairan dengan nilai kesadahan kurang dari 120 mg/L CaCO3 dan lebih dari 500 mg/L CaCO3 dianggap kurang baik bagi peruntukan domestik, pertanian, dan industri. Namun, air sadah lebih disukai oleh organisme daripada air lunak.
II.7.6 Nitrogen Nitrogen dan senyawanya tersebar secara luas dalam biosfer. Lapisan atmosfer bumi mengandung sekitar 78 % gas nitrogen. Bebatuan juga mengandung nitrogen. Pada tumbuhan dan hewan, senyawa nitrogen ditemukan sebagai penyusun protein dan klorofil.
Meskipun ditemukan dalam jumlah yang melimpah di atmosfer, akan tetapi nitrogen tidak dapat dimanfaatkan oleh makhluk hidup secara langsung (Dugan, 1972 dalam Effendi, 2003). Nitrogen harus mengalami fiksasi terlebih dahulu menjadi NH3, NH4, dan NO3. Meskipun demikian, bakteri Azotobacter dan Clostridium serta beberapa jenis algae hijau-biru (blue-green algae/Cyanophyta), misalnya Anabaena, dapat memanfaatkan gas N2 secara langsung dari udara sebagai sumber nitrogen.
Di perairan, nitrogen berupa nitrogen anorganik dan organik. Nitrogen anorganik terdiri dari ammonia (NH3), ammonium (NH4), nitrit (NO2), nitrat (NO3), dan molekul nitrogen (N2) dalam bentuk gas. Nitrogen organik berupa protein, asam amino, dan urea. Bentuk-bentuk nitrogen tersebut mengalami transformasi sebagai bagian dari siklus nitrogen. Transformasi nitrogen dapat melibatkan ataupun tidak melibatkan makrobiologi dan mikrobiologi.
II.7.6.1 Ammonia Ammonia dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air. Ion ammonium adalah bentuk transisi dari ammonia. Ammonia banyak digunakan dalam proses produksi urea, industri bahan kimia (asam nitrat, ammonium fosfat, ammonium nitrat, dan ammonium sulfat), serta industri bubur kertas (pulp and paper). Sumber ammonia di perairan adalah pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat di dalam tanah dan air, yang berasal II - 23
Bab II Tinjauan Pustaka dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) oleh mikroba jamur. Proses ini dikenal dengan istilah amonifikasi yang ditunjukkan dalam persamaan reaksi (2.7). N organik + O2 Æ NH3-N + O2 Æ NO2-N + O2 Æ NO3-N amonifikasi
(2.7)
nitrifikasi
Tinja dari biota akuatik yang merupakan limbah aktivitas metabolisme juga banyak mengeluarkan ammonia. Sumber ammonia yang lain adalah reduksi gas nitrogen yang berasal dari proses difusi udara atmosfer, limbah industri, dan domestik. Ammonia yang terdapat dalam mineral masuk ke badan air melalui erosi tanah. Di perairan alami, pada suhu dan tekanan normal, ammonia berada dalam bentuk gas dan membentuk kesetimbangan dengan gas ammonium. Kesetimbangan antara gas ammonia dan gas ammonium ditunjukkan dalam persamaan reaksi (2.8). NH3 + H2O ļ NH4+ + OH-
(2.8)
Ammonia bebas tidak dapat terionisasi, sedangkan ammonium (NH4+) dapat terionisasi. Persentase ammonia bebas meningkat dengan meningkatnya pH dan suhu perairan. Pada pH 7 atau kurang, sebagian besar ammonia akan mengalami ionisasi. Sebaliknya, pada pH lebih besar dari 7, ammonia tak terionisasi yang bersifat toksik terdapat dalam jumlah yang lebih banyak (Novotny dan Olem, 1994 dalam Effendi, 2003).
Amonia bebas (NH3) yang tidak terionisasi bersifat toksik terhadap organisme akuatik. Toksisitas ammonia terhadap organisme akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, pH, dan suhu. Ikan tidak dapat bertoleransi terhadap kadar ammonia bebas yang terlalu tinggi karena dapat mengganggu proses pengikatan oksigen oleh darah dan pada akhirnya dapat menyebabkan sufokasi. Akan tetapi, ammonia bebas ini tidak dapat diukur secara langsung. Sumber nitrogen yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik adalah nitrat (NO3), ammonium (NH4), dan gas nitrogen (N2). Pupuk yang mengandung ammonium, misalnya urea, berfungsi untuk menambah II - 24
Bab II Tinjauan Pustaka pasokan nitrogen di dalam tanah yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan. Ammonia jarang ditemukan pada perairan yang mendapat cukup pasokan oksigen. Sebaliknya, pada wilayah anoksik (tanpa oksigen) yang biasanya terdapat di dasar perairan, kadar ammonia relatif tinggi. Kadar ammonia yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri, dan limpasan (run-off) pupuk pertanian. Kadar ammonia yang tinggi juga dapat ditemukan pada dasar waduk yang mengalami kondisi tanpa oksigen (anoxic). Toksisitas akut ammonia yang tidak terionisasi terhadap organisme akuatik sangat bervariasi, ditunjukkan pada Tabel II.5. Toksisitas Akut (LC50 96 jam) Ammonia Tak Terionisasi Terhadap
Tabel II.5
Organisme Akuatik Spesies 1.
LC50 96 jam (mg/L)
Oligachaeta Limnodrillus hoffmeisteri
2.
1,9
Gastropoda Lymanaea stagnalis
3.
4.
1,0
Krustasea a.
Gammarus pulex
2,1
b.
Asellus aquaticus
2,3
Ephemroptera (myfly) Baetis rhodani (nimpa)
5.
1,7
Trichoptera (Caddisfly) Hydropsyche angustipennis (larva)
6.
3,0
Chironimidae Chironomus riparus (larva)
1,7
Sumber: Williams et al dalam Effendi, 2003
Kadar ammonia pada perairan alami biasanya kurang dari 0,1 mg/L (McNeely et al., 1979 dalam Effendi, 2003). Kadar ammonia bebas yang tidak terionisasi (NH3) pada perairan tawar sebaiknya tidak lebih dari 0,02 mg/L, perairan bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan (Sawyer dan McCarty, 1978 dalam Effendi, 2003).
II - 25
Bab II Tinjauan Pustaka II.7.6.2 Nitrit Di perairan alami, nitrit (NO2) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit, lebih sedikit daripada nitrat, karena bersifat tidak stabil dengan keberadaan oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan (intermediate) antara ammonia dan nitrat (nitrifikasi), dan antara nitrat dan gas nitrogen (denitrifikasi).
Sumber nitrit dapat berupa limbah domestik dan limbah industri. Kadar nitrit pada perairan relatif lebih kecil karena segera dioksidasi menjadi nitrat. Perairan alami mengandung nitrit sekitar 0,001 mg/L dan sebaiknya tidak melebihi 0,06 mg/L (Canadian Council of Resource and Environment Minister, 1978). Di perairan, kadar nitrit jarang melebihi 1 mg/L (Sawyer and McCarty, 1978 dalam Effendi, 2003). Kadar nitrit yang lebih dari 0,05 mg/L dapat bersifat toksik bagi organisme perairan yang sangat sensitif (Moore, 1991, dalam Effendi, 2003). Untuk keperluan air minum, WHO merekomendasikan kadar nitrit sebaiknya tidak melebihi 1 mg/L (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003). Bagi manusia dan hewan, nitrit bersifat lebih toksik daripada nitrat.
II.7.6.3 Nitrat Nirat (NO3) adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Nitrifikasi yang merupakan proses oksidasi ammonia menjadi nitrat dan nitrit adalah proses yang penting dari siklus nitrogen dan berlangsung pada kondisi aerob. Oksidasi ammonia menjadi nitrit dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas, sedangkan oksidasi nitrit menjadi nitrat dilakukan oleh bakteri Nitrobacter. Oksidasi nitrit menjadi ammonia ditunjukkan pada persamaan reaksi (2.9), sedangkan oksidasi nitrit menjadi nitrat ditunjukkan dalam persamaan reaksi (2.10) Nitrosomonas 2 NH3 + 3 O2
ĺ
2 NO2 + 2 H+ + 2 H2O
(2.9)
Nitrobacter -
2 NO2 + O2
ĺ
2 NO3-
II - 26
(2.10)
Bab II Tinjauan Pustaka Proses nitrifikasi seperti yang ditunjukkan pada persamaan diatas sangat dipengaruhi oleh beberapa parameter sebagai berikut (Krenkel dan Novotny, 1980 dalam Effendi 2003): a. Pada kadar oksigen < 2 mg/L, reaksi akan berjalan lambat. b. Nilai pH yang optimum bagi proses nitrifikasi adalah 8-9. Pada pH < 6, reaksi akan berhenti. c. Bakteri yang melakukan nitrifikasi cenderung menempel pada sedimen dan bahan padatan lain. d. Kecepatan pertumbuhan bakteri nitrifikasi lebih lambat daripada bakteri heterotrof. Apabila pada perairan banyak terdapat bahan organik, maka pertumbuhan bakteri heterotrof akan melebihi pertumbuhan bakteri nitrifikasi. e. Suhu optimum proses nitrifikasi adalah 20 °C – 25 °C. pada kondisi suhu kurang atau lebih dari kisaran tersebut, kecepatan nitrifikasi berkurang.
Nitrat dan ammonium adalah sumber utama nitrogen di perairan. Namun, ammonium lebih disukai oleh tumbuhan. Kadar nitrat di perairan yang tidak tercemar biasanya lebih tinggi daripada kadar ammonium. Kadar nitrat-nitrogen pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/L. Kadar nitratnitrogen yang lebih dari 0,2 mg/L dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi (pengayaan) perairan, yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (blooming). Kadar nitrat dalam air tanah dapat mencapai 100 mg/L. Air hujan memiliki kadar nitrat sekitar 0,2 mg/L. Pada perairan yang menerima limpasan air dari daerah pertanian yang banyak mengandung pupuk, kadar nitrat dapat mencapai 1.000 mg/L. Kadar nitrat untuk keperluan air minum sebaiknya tidak melebihi 10 mg/L (Davis dan Cornwell, 1991 dalam Effendi, 2003).
Nitrat dapat digunakan untuk mengelompokkan tingkat kesuburan perairan. Perairan oligotrofik memiliki kadar nitrat antara 0 – 1 mg/L, perairan mesotrofik memiliki kadar nitrat antara 1 – 5 mg/L, dan perairan eutrofik memiliki kadar nitrat yang berkisar antara 5 – 50 mg/L (Volenweider, 1969 dalam Effendi, 2003).
II - 27
Bab II Tinjauan Pustaka II.7.7 FOSFOR Di perairan, unsur fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai elemen, melainkan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat. Senyawa fosfor anorganik yang biasa terdapat di perairan ditunjukkan dalam Tabel II.6. Fosfor membentuk kompleks ion besi dan kalsium pada kondisi aerob, bersifat tidak larut, dan mengendap pada sedimen sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh algae akuatik (Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendi, 2003). Senyawa Fosfor Anorganik yang Biasa Terdapat di Perairan
Tabel II.6
Nama Senyawa Fosfor
Rumus Kimia
Ortofosfat 1.
Trinatrium fosfat
Na3PO4
2.
Dinatrium fosfat
Na2HPO4
3.
Mononatrium fosfat
NaH2PO4
4.
Diamonium fosfat
(NH3)2HPO4
Polifosfat 1.
Natrium heksametafosfat
Na3(PO3)6
2.
Natrium tripolifosfat
Na5P3O10
3.
Tetranatrium pirofosfat
Na4P2O7
Sumber: Sawyer dan McCarty, 1978
Fosfat merupakan betuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan (Dugan, 1972 dalam Effendi, 2003). Karakteristik fosfor sangat berbeda dengan unsurunsur lain yang merupakan penyusun biosfer karena unsur ini tidak terdapat di atmosfer. Pada kerak bumi, keberadaan fosfor relatif sedikit dan mudah mengendap. Fosfor juga merupakan unsur esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan algae, sehingga unsur ini menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan dan algae akuatik serta sangat mempengaruhi produktivitas perairan. Jones dan Bachman, 1976 (dalam Effendi, 2003) mengemukakan korelasi positif antara kadar fosfor total dan klorofil a. hubungan antara kadar fosfor total dan klorofil a tersebut ditunjukkan dalam persamaan (2.11). Log (klorofil a) = -1,09 + 1,46 Log Pt Keterangan : Klorofil a Pt
= Konsentrasi klorofil a (mg/m3) = Fosfor total (mg/m3)
II - 28
(2.11)
Bab II Tinjauan Pustaka Ortofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik, sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis membentuk ortofosfat terlebih dahulu sebelum dapat dimanfaatkan sebagai sumber fosfor. Fosfor anorganik biasa disebut soluble reactive phosphorus, misalnya ortofosfat. Fosfor organik banyak terdapat pada perairan yang banyak mengandung bahan organik (Mackereth et al., 1989 dalam Effendi, 2003).
Di perairan, bentuk unsur fosfor terus berubah secara terus menerus, akibat proses dekomposisi dan sintesis antara bentuk organik dan anorganik yang dilakukan oleh mikroba. Semua polifosfat mengalami hidrolisis membentuk ortofosfat. Pada suhu yang mendekati titik didih, perubahan polifosfat menjadi ortofosfat berlangsung cepat. Kecepatan ini meningkat dengan menurunnya nilai pH (Effendi, 2003).
Keberadaan fosfor di perairan alami biasanya relatif kecil, dengan kadar yang lebih sedikit daripada nitrogen karena sumber fosfor di perairan lebih sedikit dibandingkan dengan nitrogen. Sumber fosfor di perairan adalah pelapukan batuan
mineral,
misalnya
fluorapatite
[Ca5(PO4)F],
hydroxylaptite
[Ca5(PO4)3OH], strengite [Fe(PO4).2H2O], whitlockite [Ca3(PO4)2], dan berlinite (AlPO4). Selain itu, fosfor juga berasal dari dekomposisi bahan organik. Sumber antropogenik fosfor adalah limbah industri dan domestik, yakni fosfor yang berasal dari deterjen. Limpasan dari daerah pertanian yang menggunakan pupuk juga memberikan kontribusi yang cukup besar bagi keberadaan fosfor (Effendi, 2003).
Fosfor banyak digunakan sebagai pupuk, sabun atau deterjen, bahan industri keramik, minyak pelumas, produk minuman dan makanan, katalis, dan sebagainya. Fosfor tidak bersifat toksik bagi manusia, hewan, dan ikan.
Kadar fosfor yang diperkenankan bagi kepentingan air minum adalah 0,2 mg/L dalam bentuk fosfat (PO4). Kadar fosfor pada perairan alami berkisar antara 0,005 – 0,02 mg/L P-PO4, sedangkan pada air tanah biasanya sekitar 0,02 mg/L P-PO4 (UNESCO/WHO/UNEP, 1992). Kadar fosfor dalam ortofosfat (P-PO4)
II - 29
Bab II Tinjauan Pustaka jarang melebihi 0,1 mg/L, meskipun pada perairan eutrof. Kadar fosfor total pada perairan alami jarang melebihi 1 mg/L (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).
Keberadaan fosfor secara berlebihan yang disertai dengan keberadaan nitrogen dapat menstimulir ledakan pertumbuhan algae di perairan (algae bloom). Algae yang berlimpah ini dapat membentuk lapisan pada permukaan air yang selanjutnya dapat menghambat penetrasi oksigen dan cahaya matahari sehingga kurang menguntungkan bagi ekosistem perairan (Boyd, 1989 dalam Effendi, 2003).
Berdasarkan kadar ortofosfat, perairan diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: perairan oligotrofik yang memiliki kadar ortofosfat 0,003 – 0,01 mg/L; perairan mesotrofik yang memiliki kadar ortofosfat 0,011 – 0,03 mg/L; dan perairan eutrofik yang memiliki kadar ortofosfat 0,031 – 0,1 mg/L (Vollenweider dalam Wetzel, 1975 dalam Effendi, 2003).
II.8
LOGAM BERAT
II.8.1 Merkuri (Hg) Merkuri (Hg) adalah unsur renik pada kerak bumi, yakni hanya sekitar 0,08 mg/kg (Moore, 1991). Pada perairan alami, merkuri juga hanya ditemukan dalam jumlah yang sangat kecil. Merkuri merupakan satu-satunya logam yang berada dalam bentuk cairan pada suhu normal. Merkuri terserap dalam bahan-bahan partikulat dan mengalami presipitasi. Pada dasar perairan anaerobik, merkuri berikatan dengan sulfur.
Sumber alami merkuri yang paling umum adalah cinnabar (HgS) (Novotny dan Olem, 1994 dalam Effendi, 2003). Selain itu, mineral sulfida, misalnya sphalerite (ZnS), wurtzite (ZnS), Chalcopyrite (CuFeS), dan galena (PbS), juga mengandung merkuri. Cinnabar sukar larut dalam air. Namun, pelapukan bermacam-macam batuan dan erosi tanah dapat melepaskan merkuri ke dalam lingkungan perairan (McNeely et al., 1979 dalam Effendi, 2003).
Kadar merkuri pada perairaan tawar alami berkisar antara 10 – 100 ng/liter, sedangkan pada perairan laut berkisar antara < 10 – 30 ng/liter (Moore, 1991 II - 30
Bab II Tinjauan Pustaka dalam Effendi, 2003). Senyawa merkuri bersifat toksik pada manusia dan hewan. Garam-garam merkuri terserap dalam usus dan terakumulasi di dalam ginjal dan hati. Metal merkuri diangkut oleh sel darah merah dan dapat mengakibatkan kerusakan pada otak. Ion metal merkuri lima puluh kali lebih toksik daripada garam-garam merkuri anorganik. Senyawa merkuri mengalami masa tinggal (retention time) yang cukup lama di dalam tubuh manusia.
Senyawa merkuri bersifat toksik bagi ikan dan biota kuatik lainnya karena dapat menyebabkan biomagnifikasi pada jaring makanan. Organisme yang berada pada rantai yang paling tinggi memiliki kadar merkuri yang lebih tinggi daripada organisme di bawahnya (Tabel II.7). Tabel II.7
Biomagnifikasi Merkuri Pada Beberapa Organisme Anggota Jaring Makanan Pada Ekosistem Perairan Jenis Organisme
Kadar Merkuri (µg/kg berat basah)
1.
Sedimen
2.
Fitoplankton
15
3.
Tumbuhan tingkat tinggi
9
4.
Zooplankton
13
5.
Zoobentos herbivore
77
6.
Zoobentos karnivora
83
7.
Jenis ikan herbivore
332 – 500
8.
Jenis ikan karnivora
604 – 1.510
9.
Bebek/itik
87 – 114
240
10. Burung pemakan ikan
2.512 – 13.685
Sumber: Sarkka et al.,1978 dalam Effendi, 2003
Untuk melindungi kehidupan organisme perairan di Kanada dan European Community (EC), kadar merkuri yang diperbolehkan berturut-turut adalah 0,1 µg/liter dan 0,2 µg/liter; sedangkan untuk melindungi kehidupan organisme laut di EC, kadar merkuri yang diperbolehkan tidak lebih dari 0,3 µg/liter (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003). Kadar merkuri pada air minum sebaiknya tidak melebihi 0,002 mg/L (Davis dan Cornwell, 1991 dalam Effendi, 2003).
II - 31
Bab II Tinjauan Pustaka II.8.2 Timbal (Pb) Lead/timbal/timah hitam (Pb) pada perairan ditemukan dalam bentuk terlarut dan tersuspensi. Kelarutan timbal cukup rendah sehingga kadar timbal di dalam air relatif sedikit. Kadar dan toksisitas timbal dipengaruhi oleh kesadahan, pH, alkalinitas, dan kadar oksigen. Timbal diserap dengan baik oleh tanah sehingga pengaruhnya terhadap tanaman relatif kecil. Kadar timbal pada kerak bumi sekitar 15 mg/kg. sumber alami timbal adalah galena (PbS), gelesite (PbSO4), dan cerrusite (PbCO3) (Novotny dan Olem, 1994; Moore, 1991 dalam Effendi 2003). Bahan bakar yang mengandung timbal juga turut memberikan berkontribusi yang berarti bagi keberadaan timbal di dalam air. Di perairan tawar timbal membentuk senyawa kompleks yang memiliki sifat kelarutan rendah dengan beberapa anion, misalnya hidroksida, karbonat, sulfida, dan sulfat.
Akumulasi timbal di dalam tubuh manusia mengakibatkan gangguan pada otak dan ginjal, serta kemunduran mental pada anak yang sedang tumbuh. Perairan tawar alami biasanya memiliki kadar timbal < 0,05 mg/L. Pada perairan laut, kadar timbal sekitar 0,025 mg/L (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003). Kelarutan timbal pada perairan lunak (soft water) adalah sekitar 0,5 mg/L, sedangkan pada perairan sadah (hard water) sekitar 0,003 mg/L. Canadian Council of Resource and Environment Ministers (1987) mengemukakan hubungan antara kadar timbal dengan nilai kesadahan di perairan yang ditunjukkan pada Tabel II.8. Tabel II.8
Kadar Timbal Pada beberapa Nilai Kesadahan
Kesadahan (mg/L CaCO3)
Kadar Timbal (µg/liter)
0 – 60 (lunak/soft)
1
60 – 120 (sedang/medium)
2
120 – 180 (sadah/hard)
4
> 180 (sangat sadah/very hard)
7
Sumber : Effendi, 2003
Timbal tidak termasuk unsur esensial bagi makhluk hidup, bahkan unsur ini bersifat toksik bagi hewan dan manusia karena dapat terakumulasi pada tulang. Toksisitas timbal terhadap tumbuhan relatif lebih rendah dibandingkan dengan unsur renik lainnya.
II - 32
Bab II Tinjauan Pustaka Pada perairan yang diperuntukkan bagi air minum, kadar maksimum timbal adalah 0,05 mg/L (Davis dan Cornwell, 1991; Moore, 1991 dalam Effendi, 2003). Untuk melindungi hewan ternak, kadar timbal sebaiknya tidak melebihi 0,1 mg/L. Kadar timbal yang diperuntukkan bagi keperluan pertanian pada tanah yang bersifat netral dan alkalis adalah 10 mg/L, sedangkan pada tanah yang bersifat asam adalah 5 mg/L.
Toksisitas timbal terhadap organisme akuatik berkurang dengan meningkatnya kesadahan dan kadar oksigen terlarut. Toksisitas timbal lebih rendah daripada kadmium (Cd), merkuri (Hg), dan tembaga (Cu), akan tetapi lebih tinggi daripada kromium (Cr), Mangan (Mn), barium (Ba), Seng (Zn), dan besi (Fe).
II.8.3 Kadmium (Cd) Bersama-sama dengan Hg, Pb, dan V, kadmium (Cd) merupakan logam yang hingga saat ini belum diketahui jelas peranannya bagi tumbuhan dan makhluk hidup lain. Di dalam air, Cd terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit (renik) dan bersifat tidak larut dalam air. Kadar kadmium pada kerak bumi sekitar 0,2 mg/kg (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003). Sumber alami cadmium adalah greenockite (Cds), hawleyite, sphalerite, dan otavite (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003).
Kadar kadmium pada perairan tawar alami sekitar 0,0001 – 0,01 mg/L, sedangkan pada perairan laut sekitar 0,0001 mg/L (McNeely et al., 1979 dalam Effendi 2003). Menurut WHO, kadar kadmium maksimum pada air yang diperuntukkan bagi air minum adalah 0,005 mg/L (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003). Pada perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan perairan dan peternakan, kadar kadmium sebaiknya tidak melebihi 0,05 mg/L. Untuk melindungi kehidupan pada ekosistem akuatik, perairan sebaiknya memiliki kadar kadmium sekitar 0,0002 mg/L (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003).
Kadmium bersifat kumulatif dan sangat toksik bagi manusia karena dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal dan paru-paru, meningkatkan tekanan darah, dan mengakibatkan kemandulan pada pria dewasa. Kasus keracunan kadmium yang cukup terkenal adalah timbulnya penyakit Itai-itai di Jepang, II - 33
Bab II Tinjauan Pustaka ditandai dengan rasa sakit pada tulang dan terjadi pengeroposan tulang. Kadmium juga bersifat sangat toksik dan bioakumulasi terhadap organisme (Effendi, 2003).
Toksisitas kadmium dipengaruhi oleh pH dan kesadahan. Selain itu, keberadaan zinc dan timbal dapat meningkatkan toksisitas kadmium. Canadian Council of Resource and Environment Ministers (1987) melaporkan hubungan antara kadar kadmium dan nilai kesadahan yang ditunjukkan pada Tabel II.9 (Effendi, 2003). Tabel II.9
Kadar Kadmium Pada Beberapa Nilai Kesadahan
Kesadahan (mg/L CaCO3)
Kadar Kadmium (µg/liter)
0 – 60 (lunak/soft)
0,2
60 – 120 (sedang/medium)
0,8
120 – 180 (sadah/hard)
1,3
> 180 (sangat sadah/very hard)
1,8
Sumber: Effendi, 2003
II.8.4 Seng (Zn) Seng (zinc) termasuk unsur yang terdapat dalam jumlah berlimpah di alam. Kadar seng pada kerak bumi sekitar 70 mg/kg (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003). Kelarutan unsur seng dan oksida seng dalam air relatif rendah. Seng yang berikatan dengan klorida dan sulfat mudah terlarut, sehingga kadar seng dalam air dipengaruhi bentuk senyawanya. Ion seng mudah terserap ke dalam sedimen dan tanah. Silika terlarut dapat meningkatkan kadar seng, karena silika mengikat seng. Jika perairan bersifat asam, kelarutan seng meningkat. Kadar seng pada perairan alami <0,05 mg/L (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003); pada perairan asam mencapai 50 mg/L; dan pada perairan laut 0,01 mg/L (McNeely et al., 1979 dalam Effendi, 2003).
Seng termasuk unsur yang esensial bagi makhluk hidup, yakni berfungsi untuk membantu kerja enzim. Seng juga diperlukan dalam proses fotosintesis sebagai agen bagi bagi transfer oksigen dan berperan dalam pembentukan protein. Davis dan Cornwell (1991) dalam Effendi (2003) mengemukakan bahwa seng tidak
II - 34
Bab II Tinjauan Pustaka bersifat toksik bagi manusia, akan tetapi pada kadar yang tinggi dapat menimbulkan rasa pada air.
Kadar seng pada air sebaiknya tidak lebih dari 5 mg/L (McNeely et al., 1979 dalam Effendi, 2003). Toksisitas seng menurun dengan meningkatnya kesadahan, dan meningkat dengan meningkatnya suhu dan menurunnya kadar oksigen terlarut. Kadar seng di perairan pada beberapa nilai kesadahan ditunjukkan dalam Tabel II.10 (Taylor dan Demayo, 1980 pada Effendi, 2003). Tabel II.10
Kadar Seng Pada beberapa Nilai Kesadahan
Kesadahan (mg/L CaCO3)
Kadar Seng (mg/L)
0 – 120
0,05
120 – 180
0,10
180 – 300
0,20
> 300
0,30
Sumber: Effendi, 2003
Bersama-sama dengan K, Mg, dan Cd, seng bersifat aditif; toksisitasnya merupakan penjumlahan dari masing-masing logam. (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003). Toksisitas seng dan tembaga bersifat sinergetik, yaitu mengalami peningkatan, lebih toksik daripada penjumlahan keduanya (Peavy et al., 1985 dalam Effendi, 2003)
II.8.5 Tembaga (Cu) Tembaga atau copper (Cu) merupakan logam berat yang dijumpai pada perairan alami dan merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan dan hewan. Pada tumbuhan, termasuk algae, tembaga berperan sebagai penyusun plastocyanin yang berfungsi dalam transport elektron dalam proses fotosintesis (Boney, 1989 dalam Effendi, 2003). Garam-garam tembaga divalen, misalnya tembaga klorida, tembaga sulfat, dan tembaga nitrat, bersifat sangat mudah larut dalam air, sedangkan tembaga karbonat, tembaga hidroksida, dan tembaga sulfida bersifat tidak mudah larut dalam air. Apabila masuk ke dalam perairan alami yang alkalis, ion tembaga akan mengalami presipitasi dan mengendap sebagai tembaga hidroksida dan tembaga karbonat.
II - 35
Bab II Tinjauan Pustaka
Kadar tembaga pada kerak bumi sekitar 50 mg/kg (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003). Sumber alami tembaga adalah chalcopyrite (CuFeS2), copper sulfida (CuS2), malachite [Cu2(CO3)(OH)2], dan azurite [Cu3(CO3)2(OH)2] (Novotny dan Olem, 1994 dalam Effendi, 2003)
Pada perairan alami, kadar tembaga biasanya < 0,02 mg/L (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003). Air tanah dapat mengandung tembaga sekitar 12 mg/L. Pada perairan laut, kadar tembaga berkisar antara 0,001 – 0,025 mg/L (McNeely et al., 1979 dalam Effendi, 2003). Kadar tembaga maksimum pada air minum adalah 0,1 mg/L (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003). Defisiensi tembaga dapat mengakibatkan anemia; namun, kadar tembaga yang berlebihan dapat mengakibatkan air menjadi berasa dan dapat menyebabkan kerusakan hati apabila diminum.
Toksisitas tembaga (EC50) bagi microalgae Scenedesmus quadricauda berkisar antara 0,1 – 0,3 mg/L. Nilai LC50 tembaga bagi avertebrata air tawar dan laut biasanya < 0,5 mg/L, sedangkan terhadap ikan-ikan air tawar biasanya berkisar antara 0,02 – 1,0 mg/L (Moore, 1991 dalam Effendi, 2003). Toksisitas copper meningkat dengan menurunnya nilai kesadahan dan alkalinitas. Hubungan antara kesadahan dan kadar tembaga ditunjukkan dalam Tabel II.11. Tabel II.11
Kadar Tembaga Pada Beberapa Nilai Kesadahan
Kesadahan (mg/L CaCO3)
Kadar Tembaga (mg/L)
0 – 60 (lunak/soft)
2
60 – 120 (sedang/medium)
2
120 – 180 (sadah/hard)
4
> 180 (sangat sadah/very hard)
6
Sumber: Effendi, 2003
II - 36