BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Status Gizi 1. Pengertian Keadaan gizi adalah keadaan akibat dari keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi dan penggunaan zat-zat gizi tersebut, atau keadaan fisiologik akibat dari tersedianya zat gizi dalam seluler tubuh (Supariasa, 2002). Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat dari pemakaian, penyerapan dan penggunaan makanan. Makanan yang memenuhi gizi tubuh, umumnya membawa ke status gizi memuaskan. Sebaiknya jika kekurangan atau kelebihan zat gizi esensial dalam makanan untuk jangka waktu yang lama disebut gizi salah. Manifestasi gizi salah dapat berupa gizi kurang dan gizi lebih (Supariasa, 2002). Status gizi adalah ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi untuk anak yang diindikasikan oleh berat badan dan tinggi badan anak. Status gizi juga didefinisikan sebagai status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrient (Beck dalam creasoft, 2008). Zat gizi diartikan sebagai zat kimia yang terdapat dalam makanan yang diperlukan manusia untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan. Sampai saat ini dikenal kurang lebih 45 jenis zat gizi dan sejak akhir tahun 1980an dikelompokkan keadaan zat gizi makro yaitu zat gizi sumber energi berupa karbohidrat, lemak, dan protein dan zat gizi mikro yaitu vitamin dan mineral (Supariasa, 2002). Keadaan tubuh dikatakan pada tingkat gizi optimal, jika jaringan tubuh jenuh oleh semua zat gizi maka disebut status gizi optimal. Kondisi ini memungkinkan tubuh terbebas dari penyakit dan mempunyai daya tahan yang tinggi. Apabila konsumsi gizi makanan pada seseorang tidak
6
7
seimbang dengan kebutuhan tubuh maka akan terjadi kesalahan gizi yang mencakup kelebihan dan kekurangan zat gizi (Supariasa, 2002). Kelompok bayi dan anak balita adalah salah satu kelompok umur yang rentan terhadap penyakit-penyakit kekurangan gizi, oleh sebab itu indikator yang paling baik untuk mengukur status gizi masyarakat adalah dengan melalui pengukuran status gizi balita (Supariasa, 2002). Kurang gizi pada anak balita tidak mudah dikenali oleh pemerintah atau masyarakat bahkan keluarga. Artinya andaikata disuatu desa terdapat sejumlah anak yang menderita gizi kurang dan tidak segera menjadi perhatian karena anak tampak tidak sakit. Faktor timbulnya gizi kurang pada anak balita lebih kompleks, maka upaya penanggulangannya memerlukan pendekatan dari berbagai segi kehidupan anak secara terintegrasi. Artinya tidak hanya memperbaiki aspek makanan saja tetapi juga lingkungan hidup anak seperti pada pegasuhan, pendidikan ibu, air bersih dan kesehatan lingkungan, mutu layanan kesehatan dan sebagainya (Supariasa, 2002). 2. Malnutrisi (Gizi salah) Malnutrisi adalah keadaan patologis akibat kekurangan atau kelebihan secara relatif maupun absolut satu atau lebih zat gizi. Terdapat empat bentuk malnutrisi (Supariasa, 2002) : a. Under nutririon : kekurangan konsumsi pangan secara relatif atau absolut untuk periode tertentu. b. Spesific defisiency : kekurangan zat gizi tertentu, misalnya kekurangan vitamin A, yodium, Fe dan lain-lain. c. Over nutrition : kelebihan konsumsi pangan untuk periode tertentu. d. Imbalance : karena disproporsi zat gizi, misalnya kolesterol karena tidak seimbangnya LDL (low density lipoprotein), HDL (high density lipoprotein) dan VLDL (very low density lipoprotein). Kekurangan energi protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari dan atau gangguan penyakit tertentu. Anak disebut
8
KEP apabila berat badannya kurang dari 80 % indeks berat badan menurut umur (BB/U) baku WHO-NCS. KEP merupakan defisiensi gizi (energi dan protein) yang paling berat dan meluas terutama pada balita. Pada umumnya penderita KEP berasal dari keluarga yang berpenghasilan rendah (Supariasa, 2002). 3. Indikator Status Gizi Balita Masa balita merupakan masa yang menentukan dalam tumbuh kembangnya, yang akan menjadikan dasar terbentuknya manusia seutuhnya. Karena itu pemerintah memandang perlu untuk memberikan suatu bentuk pelayanan yang menunjang tumbuh kembang balita secara menyeluruh terutama dalam aspek mental dan sosial. Pertumbuhan dan perkembangan saling mendukung satu sama lain perkembangan seorang anak tidak dapat maksimal tanpa dukungan atau optimalnya pertumbuhan. Misalnya seorang anak yang kekurangan gizi akan mempengaruhi perkembangan mental maupun sosialnya, oleh karena itu keduanya harus mendapat perhatian baik dari pemerintah, masyarakat maupun orang tua. Salah satu indikator untuk melihat pertumbuhan fisik anak adalah dengan melihat status gizi anak dalam hal ini balita. Sebagai alat ukur untuk mengetahui tingkat perkembangan seorang anak dengan menggunakan kartu menuju sehat (KMS) (Soetjiningsih, 1998). Semua kejadian yang berhubungan dengan kesehatan anak sejak lahir sampai berumur lima tahun, perlu dicatat dalam KMS, misalnya identitas anak, tanggal lahir dan tanggal pendaftaran, serta penyakit yang pernah dideritanya. KMS berisi pesan-pesan penyuluhan tentang penanggulangan diare, makanan anak. Sehingga ibu senantiasa membawa KMS pada semua kegiatan kesehatan dan cenderung ingin kontak dengan petugas kesehatan untuk merujuk anaknya. Hal ini dapat digunakan sebagai pengamatan status gizi anak, disamping mempunyai kelebihan maupun kekurangannya (Soetjiningsih, 1998). Indikator status gizi berdasarkan indeks berat badan menurut umur ada kelebihan dan kekurangannya. Kelebihan tersebut diantaranya dapat
9
lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum, dapat mendeteksi kelebihan maupun kekurangan gizi, sensitivitas untuk melihat perubahan
status
gizi,
sedangkan
kekurangannya
adalah
dapat
mengakibatkan interprestasi status gizi yang keliru bila terdapat oedem, memerlukan data umur yang akurat, sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, misal karena pengaruh pakaian atau gerakan anak pada saat penimbangan. 4. Pengukuran Status Gizi Balita Beberapa cara mengukur status gizi balita yaitu dengan pengukuran antropometri, klinik dan laboratorik. Diantara ketiga cara pengukuran satatus gizi balita, pengukuran antropometri adalah yang relatif sering dan banyak digunakan (Soekirman, 1999). Pengukuran antropometri dapat digunakan untuk mengenali status gizi seseorang. Antropometri dapat dilakukan beberapa macam pengukuran yaitu pengukuran berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan sebagaimya. Dari beberapa pengukuran tersebut, berat badan (BB), tinggi badan (TB), dan panjang badan (PB) adalah yang paling dikenal. Ilmu status gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur BB / TB sesuai dengan umur secara sendiri-sendiri, tetapi dalam bentuk indikator yang dapat merupakan kombinasi diantara ketiganya. Masing-masing indikator mempunyai makna sendiri, misalnya kombinasi antara BB (berat badan) dan U (umur) membentuk indikator BB menurut U yang disimbolkan dengan BB / U. Indikator BB / U Dapat normal lebih rendah atau lebih tinggi setelah dibandingkan dengan standar WHO. Apabila BB/U normal maka digolongkan pada status gizi baik, dan BB / U rendah dapat berarti berstatus gizi kurang / buruk, serta bila BB / U tinggi dapat digolongkan berstatus gizi lebih. Baik satus gizi kurang ataupun status gizi lebih, kedua-duanya mengandung resiko yang tidak baik bagi kesehatan balita. Sedangkan pegukuran klinik biasanya dilakukan oleh dokter di klinik untuk melihat adanya kelainan-kelainan organ tubuh akibat KEP,
10
misalnya adanya pembegkakan (oedem), perubahan warna, dan sifat rambut, kelainan kulit dan sebagainya. Berdasarkan WHO – NHCS (Supariasa, 2002) menyatakan bahwa kriteria keberhasilan nutrisi terbagi dalam: a. Gizi baik, jika BB menurut umur > 80%. b. Gizi kurang, jika berat badan menurut umur 61% sampai 80%. c. Gizi buruk, jika berat badan menurut umur ≤ 60%. Alat ukur perkembangan status gizi balita dapat ditentukan melalui KMS. Langkah-langkah pengisian KMS : a. Memilih sesuai jenis kelamin b. Mengisi identitas anak dan ornag tua pada halaman muka KMS c. Mengisi bulan lahir dan bulan penimbangan d. Meletakkan tiitk berat badan dan membuat garis pertumbuhan anak 1) Letakkan (plot) titik berat badan hasil penimbangan 2) Hubungkan titik berat badan bulan ini dengan bulan lalu e. Mencatat setiap kejadian yang dialami anak f. Menentukan status pertumbuhan anak 1) Tidak naik, grafik berat badan memotong garis pertumbuhan dibawahnya atau kenaikan berat badan kurang dari (KBM) (<800 g). 2) Naik, grafik berat badan memotong garis pertumbuhan diatasnya atau kenaikan berat badan lebih dari KBM (> 900 g). 3) Naik, grafik berat badan mengikuti garis pertumbuhan diatasnya atau kenaikan berat badan lebih dari KBM (500 g). 4) Tidak naik, grafik berat badan mendatar atau kenaikan berat badan kurang dari KBM (> 400 g). 5) Tidak naik, grafik berat badan menurun atau kenaikan berat badan kurang dari KBM (300 g). g. Mengisi catatan pemberian imunisasi bayi dan kapsul Vitamin A. h. Isi kolom pemberian ASI Eksklusif.
11
5. Faktor yang mempengaruhi status gizi Santosa
(2004)
menyebutkan
bahwa
faktor-faktor
yang
berpengaruh terhadap status gizi balita terbagi menjadi 2 meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang ada dalam diri anak itu sendiri, yang meliputi status kesehatan, umur, jenis kelamin, dan ukuran tubuh. Status kesehatan berkaitan dengan adanya hambatan reaksi imunologis dan berhubungan dengan terjadinya prevalensi dan beratnya penyakit infeksi, seperti kwashiorkor atau marasmus sering didapatkan pada taraf yang sangat berat. Infeksi sendiri mengakibatkan penderita kehilangan bahan makanan melalui muntahmuntah dan diare. Faktor umur merupakan faktor yang sangat menentukan banyaknya kebutuhan protein terutama pada golongan balita yang masih dalam masa pertumbuhan. Terkait dengan faktor jenis kelamin, jenis kelamin wanita lebih banyak kasusnya Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi status gizi yaitu faktor yang datang atau ada dari luar anak itu sendiri. Faktor ini meliputi pendidikan, pengetahuan dan pendapatan. (Radiansyah, 2007). Faktor eksternal yang berpengaruh terhadap status gizi balita adalah persepsi orang-orang yang terkait. Salah satunya adalah kader kesehatan yang melalui stimulus yang diterimanya dan didasarkan pada pengetahuan yang dimiliki kemudian mampu mengambil langkah-langkah mengenai penanggulangan status gizi balita. Daly, et. al (dalam Supariasa, 2002) membuat model faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan gizi yaitu konsumsi makanan dan tingkat kesehatan. Konsumsi makanan dipengaruhi oleh pendapatan, penyajian makanan dan kesediaan bahan pangan. Model Daly tersebut dapat dijelaskan dalam bagan sebagai berikut : Keadaan gizi balita tergantung pada konsumsi makanan dan status kesehatan. Faktor konsumsi makanan dipengaruhi oleh pendapatan keluarga, lapangan kerja yang tersedia, tingkat pendidikan dan kemampuan sosial keluarga. Konsumsi makanan juga dipengaruhi oleh kemampuan keluarga dalam mengolah makanan.
12
Hal ini sangat terkait dengan tersedianya bahan makanan yang ada. Berkaitan dengan pengolahan bahan makanan tergantung pada produksi pertanian serta distribusi bahan makanan serta harga bahan makanan. Faktor status kesehatan merupakan kondisi kesehatan keluarga terutama balita, apabila balita tidak terserang suatu infeksi penyakit maka dimungkinkan asupan makanan yang diterima oleh tubuh dapat terserap dengan sempurna. Sebagai salah satu bentuk menjaga kesehatan balita adalah dengan memberikan imunisasi pada anak (Daly et al dalam Supariasa, 2002).
B. Persepsi 1. Pengertian Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera. Namun proses itu tidak berhenti begitu saja, melainkan stimulus tersebut diteruskan dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi, dan proses penginderaan merupakan proses pendahulu dari proses persepsi (Walgito, 2002). Proses penginderaan akan berlangsung setiap saat, pada waktu individu menerima stimulus melalui alat indera, yaitu melalui mata sebagai alat penglihatan, telinga sebagai alat pendengar, hidung sebagai alat pembau, lidah sebagai alat pencecap, kulit pada telapak tangan sebagai alat peraba, yang kesemuanya merupakan alat indera yang digunakan untuk menerima stimulus dari luar individu dengan dunia luarnya (Branca, 1964 dalam Walgito, 2002). Stimulus yang diindera kemudian oleh individu diorganisasikan dan diinterpretasikan, sehingga individu menyadari, mengerti tentang apa yang diindera itu, dan proses ini disebut persepsi (Davidof, 1981 dan Walgito, 2002). Selanjutnya menurut Moskowits dan Orgel (1969 dalam Walgito, 2002) menyebutkan bahwa persepsi merupakan proses yang integrated dalam diri individu terhadap stimulus yang diterimanya. Dengan demikian
13
dapat
disimpulkan
penginterpretasian
bahwa
persepsi
merupakan
terhadap
stimulus
yang
pengorganisasian,
diinderanya
sehingga
merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan respon yang integrated dalam diri individu. Walgito (2002) juga menyebutkan bahwa persepsi stimulus dapat datang dari luar, tetapi juga dapat datang dari dalam individu sendiri. Namun demikian sebagian besar stimulus datang dari luar individu yang bersngkutan. Sekalipun persepsi dapat melalui bermacam-macam alat indera tetapi sebagian besar persepsi melalui indera penglihatan. 2. Faktor-faktor persepsi Stimulus merupakan salah satu faktor yang berperan dalam persepsi, ada beberapa faktor yang dapat dikemukakan, (Walgito, 2002) yaitu : a. Objek yang dipersepsi Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari dalam individu yang bersangkutan yang langsung mengenai saraf yang penerima yang bekerja sebagai reseptor. Namun sebagian besar stimulus datang dari luar individu. b. Alat indera, syaraf, dan pusat susunan saraf Reseptor atau alat indera merupakan alat untuk menerima stimulus. Disamping itu juga haus ada saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan saraf, yaitu otak sebagai pusat kesadaran. c. Perhatian Usaha untuk menyadari atau mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian, yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari selluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek.
14
Menurut Irwanto dkk (2002) faktor persepsi meliputi : 1. Perhatian yang selektif Dalam kehidupan manusia setiap saat akan menerima banyak sekali rangsang, namun demikian tidak semua rangsang tersebut akan ditanggapi. Oleh karena itu individu akan memusatkan perhatiannya pada rangsang-rangsang tertentu saja. 2. Ciri-ciri rangsang Ransang yang bergerak diantara rangsang diam akan lebih menarik perhatian, demikian juga rangsang yang lebih besar, yang lebih kontras dan sebagainya. 3. Nilai-nilai dan kebutuhan individu Seseorang memiliki keinginan dan cita rasa yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakangnya. 4. Pengalaman terdahulu Pengalaman-pengalaman terdahulu sangat mempengaruhi bagaimana seseorang mempersepsikan dunianya. 3. Health Belief Model (Model Kepercayaan Kesehatan) (Notoatmodjo, 2007) Model kepercayaan adalah suatu bentuk penjabaran dari model sosiopsikologis. Munculnya model ini didasarkan pada kenyataan bahwa problem-problem kesehatan ditandai oleh kegagalan-kegagalan orang atau masyarakat untuk menerima usaha-usaha pencegahan dan penyembuhan penyakit yang diselenggarakan oleh provider. Kegagalan ini akhirnya memunculkan teori yang menjelaskan pencegahan penyakit yang kemudian dikembangkan menjadi model kepercayaan kesehatan (health belief model) (Notoatmodjo, 2007). Individu dalam bertindak untuk melawan atau mengobati penyakitnya, ada empat variabel kunci yang terlibat di dalam tindakan tersebut, yakni kerentanan yang dirasakan terhadap suatu penyakit, keseriusan yang
15
dirasakan, manfaat yang diterima dan rintangan yang dialami dalam tindakannya melawan penyakitnya, dan hal-hal yang memotivasi tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2007): a. Persepsi Kerentanan. Agar seseorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, ia harus merasakan bahwa ia rentan terhadap penyakit tersebut. Dengan kata lain, suatu tindakan pencegahan suatu penyakit akan timbul bila seseorang telah merasakan bahwa dirinya atau keluarganya rentan terhadap penyakit tersebut. b. Keparahan Tindakan individu untuk mencari pengobatan dam pencegahan penyakit akan didorong pula oleh keseriusan penyakit tersebut terhadap individu atau masyarakat. Penyakit kurang gizi misalnya akan dirasakan lebih serius bila dibandingkan dengan penyakit flu biasa. Oleh karena itu pencegahan kurang gizi lebih ditekankan dibandingkan pencegahan atau pengobatan penyakit flu. c. Manfaat dan rintangan yang dirasakan Apabila individu merasa dirinya rentan untuk penyakit-penyakit yang dianggap gawat (serius), ia akan melakukan suatu tindakan tertentu. Tindakan ini akan tergantung pada manfaat yang dirasakan dan rintangan-rintangan yang ditemukan dalam mengambil tindakan tersebut. Pada umumnya manfaat tindakan lebih menentukan daripada rintangan-rintangan yang mungkin ditemukan di dalam melakukan tindakan tersebut.. d. Isyarat atau tanda-tanda Untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang benar tentang kerentanan, kagawatan dan keuntungan tindakan, maka diperlukan isyarat-isyarat yang berupa factor-faktor eksternal. Factor-faktor tersebut, misalnya
16
pesan-pesan pada media masa, nasehat atau anjuran kawan-kawan anggota keluarga lainnya dari si sakit dan sebagainya. Teori HBM oleh Rosenstock (1966) ini didasarkan pada empat elemen persepsi seseorang, yaitu: a. Perceived susceptibility: penilaian individu mengenai kerentanan mereka terhadap suatu penyakit b. Perceived seriousness: penilaian individu mengenai seberapa serius kondisi dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut c. Perceived barriers: penilaian individu mengenai besar hambatan yang ditemui untuk mengadopsi perilaku kesehatan yang disarankan, seperti hambatan finansial, fisik, dan psikososial d. Perceived benefits: penilaian individu mengenai keuntungan yang didapat dengan mengadopsi perilaku kesehatan yang disarankan
C. Kader 1. Pengertian Secara umum istilah kader kesehatan yaitu kader-kader yang dipilih oleh masyarakat menjadi penyelenggara Posyandu. Banyak para ahli mengemukakan mengenai pengertian tentang kader kesehatan antara lain: L. A. Gunawan memberikan batasan tentang kader kesehatan adalah kader kesehatan dinamakan juga promotor kesehatan desa (prokes) adalah tenaga sukarela yang dipilih oleh dari masyarakat dan bertugas mengembangkan masyarakat (Zulkifli, 2003). Direktorat bina peran serta masyarakat Depkes RI memberikan batasan kader adalah warga masyarakat setempat yang dipilih dan ditinjau oleh masyarakat dan dapat bekerja secara sukarela 2. Tujuan pembentukan kader Dalam rangka mensukseskan pembangunan nasional, khusus dibidang kesehatan, bentuk pelayanan kesehatan diarahkan pada prinsip
17
bahwa masyarakat bukanlah sebagai objek akan tetapi merupakan subjek dari pembangunan itu sendiri. Pada hakekatnya kesehatan dipolakan mengikut sertakan masyarakat secara aktif dan bertanggung jawab. Keikut sertaan masyarakat dalam meningkatkan efisiensi pelayanan adalah atas dasar terbatasnya daya dan adaya dalam operasional pelayanan kesehatan masyarakat akan memanfaatkan sumber daya yang ada di masyarakat seoptimal mungkin. Pola pikir yang semacam ini merupakan penjabaran dari karsa pertama yang berbunyi, meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menolong dirinya dalam bidang kesehatan (Zulkifli, 2003) Menurut Santoso (dalam Zulkifli, 2003), kader yang dinamis dengan pendidikan rata-rata tingkat desa teryata mampu melaksanakan beberapa hal yang sederhana, akan tetapi berguna bagi masyarakat sekelompoknya meliputi: a. Pengobatan/ringan sederhana, pemberian obat cacing, pengobatan terhadap diare dan pemberian larutan gula garam, obat-obatan sederhan dan lain-lain. b. Penimbangan dan penyuluhan gizi. c. Pemberantasan
penyakit
menular,
pencarian
kasus,
pelaporan
vaksinasi, pemberian distribusi obat/alat kontrasepsi KB penyuluhan dalam upaya menanamkan NKKBS. d. Peyediaan dan distribusi obat/alat kontasepsi KB penyuluhan dalam upaya menamakan NKKBS. e. Penyuluhan kesehatan dan bimbingan upaya keberhasilan lingkungan, pembuatan jamban keluarga dab sarana air sederhana. f. Penyelenggaraan dana sehat dan pos kesehatan desa dan lain-lain. 3. Tugas kegiatan kader Tugas kegiatan kader akan ditentukan, mengingat bahwa pada umumnya kader bukanlah tenaga profesional melainkan hanya membantu dalam pelayanan kesehatan. Dalam hal ini perlu adanya pembatasan tugas
18
yang diemban, baik menyangkut jumlah maupun jenis pelayanan.Adapun kegiatan pokok yang perlu diketahui oleh dokter kader dan semua pihak dalam rangka melaksanakan kegiatan-kegiatan baik yang menyangkut di dalam maupun di luar Posyandu antara lain: a. Kegiatan yang dapat dilakukan kader di Posyandu adalah: 1) Melaksanan pendaftaran. 2) Melaksanakan penimbangan bayi dan balita. 3) Melaksanakan pencatatan hassil penimbangan. 4) Memberikan penyuluhan. 5) Memberi dan membantu pelayanan. 6) Merujuk. b. Kegiatan yang dapat dilakukan kader diluar Posyandu KB-kesehatan adalah: 1) Bersifat yang menunjang pelayanan KB, KIA, Imunisasi, Gizi dan penanggulan diare. 2) Mengajak ibi-ibu untuk datang para hari kegiatan Posyandu. 3) Kegiatan yang menunjang upanya kesehatan lainnya yang sesuai dengan permasalahan yang ada: a) pemberantasan penyakit menular. b) Penyehatan rumah. c) Pembersihan sarang nyamuk. d) Pembuangan sampah. e) Penyediaan sarana air bersih. f) Menyediakan sarana jamban keluarga. g) Pembuatan sarana pembuangan air limbah. h) Pemberian pertolongan pertama pada penyakit. i) P3K j) Dana sehat.
19
k) Kegiatan pengembangan lainnya yang berkaitan dengan kesehatan. 4. Persyaratan menjadi kader Bahwa pembangunan dibidang kesehatan dapat dipengaruhi dari keaktifan masyarakat dan pemuka-pemukanya termasuk kader, maka pemilihan calon kader yang akan dilatih perlu mendapat perhatian. Persaratan umum yang dapat dipertimbangkan untuk pemilihan calon kader adalah : a. Dapat baca, tulis dengan bahasa Indonesia b) Secara fisik dapat melaksanakan tugas-tugas sebagai kader c) Mempunyai penghasilan sendiri dan tinggal tetap di desa yang bersangkutan. d) Aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial maupun pembangunan desanya e) Dikenal masyarakat dan dapat bekerjasama dengan masyarakat calon kader lainnya dan berwibawa f) Sanggup membina paling sedik 10 KK untuk meningkatkan keadaan kesehatan lingkungan g) Diutamakan telah mengikuti KPD atau mempunayai keterampilan
20
D. Kerangka teori Faktor status gizi 1. Internal - status kesehatan - umur - jenis kelamin - ukuran tubuh 2. Eksternal - Pendidikan - pengetahuan - pendapatan - konsumsi makanan - persepsi
Kemungkinan mengambil tindakan tepat untuk perilaku sehat/sakit
Manfaat yang dilihat dari pengambilan tindakan dikurangi biaya (rintangan) yang dilihat dari pengambilan tindakan
Variabel demografi (umur, jenis kelamin, bangsa kelompok etsnis) Variabel sosio psikologis (peer dan reference groups, kepribadian, pengalaman sebelumnya) Variabel struktur (kelas sosial, akses ke pelayanan kesehatan dan sebagainya)
Kecenderungan yang dilihat (perceived) mengenai gejala/penyakit. Syaratnya yang dilihat mengenai gejala dan penyakit
Ancaman yang dilihat mengenai gejala dan penyakit
Tindakan (cues) untuk bertindak (kampanye media masa, peringatan dari dokter/dokter gigi, tulisan dalam surat kabar, majalah)
Bagan 2.2 Kerangka teori Sumber : Notoatmodjo (2007), Supariasa (2002) dan Radiansyah, 2007
Status gizi
21
E. Kerangka konsep Dipandang dari sudut pandang epidemiologis masalah gizi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor pejamu, agens dan lingkungan. Individu dalam bertindak untuk mengatasi permasalahan keadaan gizi, sudah selayaknya untuk mempertimbangkan empat variabel kunci yang terlibat di dalam tindakan tersebut, yakni kerentanan yang dirasakan terhadap keadaan gizi kurang, keseriusan yang dirasakan, manfaat yang diterima dan rintangan yang dialami dalam tindakannya melawan terhadap keadaan gizi kurang atau bahkan gizi buruk, kemudian diaktualisasikan dalam hal-hal yang memotivasi tindakan tersebut
F. Variabel penelitian Variabel dalam penelitian ini adalah persepsi kerentanan, persepsi keparahan, persepsi manfaat dan persepsi hambatan.