BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Kebijakan Publik William N. Dunn (1992) mengemukakan bahwa dalam sistem kebijakan
terdapat tiga elemen, yaitu stakeholders kebijakan (policy actors atau political actors), kebijakan publik (public policy) dan lingkungan kebijakan (policy environment). Pendapat serupa dinyatakan oleh Thomas R. Dye (1978) bahwa dalam sistem kebijakan terdapat tiga elemen, yaitu kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan. Namun demikian, Mustopadijaja (1992) menambahkan satu elemen kebijakan, selain dari tiga elemen di atas, yaitu kelompok sasaran kebijakan (target groups).
Bahkan menurut David Easton
(1992) bahwa sistem kebijakan publik terdiri atas lima unsur, yaitu inputs (demand/claims dan support), process, outputs, feedback dan environment (intra dan extra societal environment). Bagi
William N. Dunn (1992) penggunaan
istilah analisis kebijakan lebih dikedepankan daripada pengertian kebijakan, karena analisis kebijakan merupakan sisi baru dari perkembangan ilmu sosial untuk pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, analisis
kebijakan didefinisikan sebagai disiplin ilmu terapan (policy sciences) yang memanfaatkan berbagai metode dan teknik dalam ilmu sosial untuk menghasilkan informasi yang relevan dan diperlukan dalam praktek pengambilan keputusan di sektor publik dan perumusan sebuah kebijakan publik. Bahkan analisis kebijakan dianggap sebagai salah satu unsur sistem kebijakan (policy system) atau seluruh institusional tempat di dalam kebijakan dibuat, mencakup hubungan timbal balik di antara tiga unsur atau elemen kebijakan, yaitu kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan (Lala M Kolopaking dan Soeryo Adiwibowo, 2007). Lebih lanjut, Thomas R. Dye (1978) menyebutkan bahwa kebijakan sebagai pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (whatever government chooses to do or not to do). Hal serupa dikemukakan oleh George
C. Edward III dan Ira Sharkansky (1978)
bahwa kebijakan publik
sebagai apa yang pemerintah katakan dan lakukan atau pun yang tidak dilakukan dan karenanya menjadi maksud atau tujuan dari program pemerintah (what government say and do, or not to do. It is the goals or purpose of government programs). Demikian juga dengan Leslie A. Pal dalam Sony Yuwono dkk (2008) mengartikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan atau pun bukan tindakan yang dipilih oleh otoritas publik yang ditujukan pada masalah tertentu atau hubungan diantara sejumlah masalah (as a course of action or inaction chosen by public authorities to address a given problem or interrelated set of problems). Sementara itu, Charles Jones dalam Said Zainal Abidin (2002) mengatakan bahwa yang paling pokok bagi suatu kebijakan adalah adanya tujuan (goal), sasaran (objective) atau kehendak (purpose). Oleh karena itu, kebijakan dipandang sebagai suatu tindakan yang bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu (a course of action intended to accomplish some end). Dalam mencapai tujuan tertentu itu, terdapat beberapa substansi/isi dari kebijakan, yaitu : (1) tujuan, yang dimaksudkan disini adalah tujuan tertentu yang dikehendaki untuk dicapai; (2) rencana, yaitu dokumen hasil perencanaan yang merupakan alat atau cara tertentu untuk mencapai tujuan; (3) program, adalah instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi anggaran; (4) keputusan, yaitu tindakan tertentu yang diambil untuk menentukan tujuan, membuat dan menyesuaikan rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program; (5) dampak, yakni dampak yang timbul dari suatu program dalam masyarakat. Dengan memperhatikan batasan dan definisi di atas, terdapat beberapa ciri umum dari kebijakan publik sebagaimana dijelaskan oleh Anderson et al dalam Said Zainal Abidin (2002), yaitu : (1) setiap kebijakan publik mesti ada tujuannya, dan jika tidak ada tujuan yang jelas untuk dicapai, maka tidak perlu ada kebijakan publik (public policy is purpose, goal oriented behavior rather than random or chance behavior); (2) suatu kebijakan publik tidak berdiri sendiri atau terpisah dari kebijakan yang lain, tetapi berkaitan dengan berbagai kebijakan lain yang ditetapkan oleh pejabat pemerintah (public policy consist of course of action– rather than separate, discrete decision or action-performed by government officials); (3) kebijakan publik adalah apa yang dilakukan oleh pemerintah dan
bukan apa yang ingin atau diniatkan akan dilakukan oleh pemerintah (public policy is what government do – not what they say will do or what they intend to do); (4) kebijakan publik dapat berbentuk larangan atau dapat juga berupa anjuran, arahan atau perintah untuk melaksanakan sesuatu (public policy may be either nagative or positive); (5) kebijakan publik didasarkan pada hukum yang berlaku, karena itu memiliki kewenangan untuk memaksa masyarakat untuk mematuhinya (public policy is based on law and is authoritative). Pendapat senada dikemukakan juga oleh Riant Nugroho (2004) yang menyatakan bahwa kebijakan publik sebagai segala sesuatu yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh pemerintah sebagai tokoh sentral kebijakan publik. Dengan demikian, kebijakan publik erat kaitannya dengan berbagai produk kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah untuk kepentingan masyarakat melalui berbagai strategi dan program pembangunan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa produk dari kebijakan publik tertuang dalam suatu produk hukum untuk mengatur masyarakat dan dilihat dari bentuknya, secara luas terdiri dari dua, yaitu : (1) kebijakan dalam bentuk peraturan pemerintah yang tertuang secara tertulis dalam peraturan perundang-undangan; (2) kebijakan dalam bentuk peraturan-peraturan yang tidak tertulis namun disepakati (konvensi).
2.2.
Reformasi Keuangan Daerah Isu sentral yang mencuat ke permukaan pada tataran pemerintah daerah
pasca reformasi tahun 1998, selain isu desentralisasi dan otonomi daerah adalah isu keuangan daerah. Hal itu disebabkan begitu cepatnya perubahan yang terjadi atas berbagai peraturan yang berkenaan dengan pengelolaan keuangan daerah. Reformasi pengelolaan keuangan daerah dimaksud seiring pula dengan dinamika perubahan peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah. Oleh karena itu, reformasi keuangan daerah didasari sepenuhnya oleh adanya perubahan dari peraturan perundang-undangan pemerintahan daerah, yang dapat dikelompokkan dalam dua tahap reformasi, yaitu : 1. Tahap
pertama,
reformasi
ditujukan
pada
pemberian
kewenangan
pemerintahan kepada pemerintah daerah dan pelimpahan sumber-sumber keuangan daerah
1) Pelimpahan kewenangan dan/atau urusan pemerintahan Pada tahap pertama ini ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah beserta peraturan pemerintah sebagai pengganti dari peraturan yang pernah terbit pada masa pemerintahan orde baru. Kedua undang-undang inilah yang menadai dimulainya pelaksanaan desentralisasi dan/atau otonomi daerah. Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dengan pemerintah daerah. Urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan dan mensejahterakan masyarakat. Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antar tingkatan atau susunan pemerintahan atau konkuren. Urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah adalah urusan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi dan agama serta bagian tertentu urusan pemerintahan lainnya yang berskala nasional, tidak diserahkan kepada daerah, sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat konkuren adalah urusan pemerintahan diluar urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan sepenuhnya pemerintah, yang diselenggarakan bersama oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang konkuren secara proporsioanal antara pemerintah, daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota maka disusunlah kriteria yang meliputi kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintah. Pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang berdasarkan kriteria dimaksud menjadi kewenangannya yang terdiri atas urusan wajib dan urusan
pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang terkait dengan pelayanan dasar (basic services) bagi masyarakat, sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan adalah urusan pemerintahan yang diprioritaskan oleh pemerintah daerah untuk diselenggarakan yang terkait dengan upaya mengembangkan potensi ungulan (core competence) yang menjadi kekhasan daerah. Diluar urusan pemerintahan yang bersifat wajib dan pilihan, setiap tingkat pemerintahan juga melaksanakan urusan-urusan pemerintahan yang berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan menjadi kewenangan yang bersangkutan atas dasar prinsip penyelenggaraan urusan sisa. Urusan wajib meliputi : (1) pendidikan; (2) kesehatan; (3) lingkungan hidup; (4) pekerjaan umum; (5) penataan ruang; (6) perencanaan pembangunan; (7) perumahan; (8) kepemudaan dan olah raga; (9) penanaman modal; (10) koperasi dan usaha kecil dan menengah; (11) kependudukan dan catatan sipil; (12) ketenagakerjaan; (13) ketahanan pangan; (14) pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; (15) keluarga berencana dan keluarga sejahtera; (16) perhubungan; (17) komunikasi dan informatika; (18) pertanahan; (19) kesatuan bangsa dan politik dalam negeri; (20) otonomi daerah, pemerintahan umum, adminisrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian dan persandian; (21) pemberdayaan masyarakat dan desa; (22) sosial; (23) kebudayaan; (24) statistik; (25) kearsipan; (26) perpustakaan. Sementara itu, urusan pilihan meliputi : (1) kelautan dan perikanan; (2) pertanian; (3) kehutanan; (4) energi dan sumber daya mineral; (5) pariwisata; (6) industri; (7) perdagangan; (8) ketransmigrasian. Penyelenggaraan urusan wajib berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan pemerintah.
Berkaitan dengan kemampuan anggaran yang masih terbatas
maka penetapan dan pelaksanaan SPM pada bidang yang menjadi urusan wajib
pemerintahan
daerah
dilaksanakan
secara
bertahap
dengan
mendahulukan sub-sub bidang urusan wajib yang bersifat prioritas. Sementara
itu,
menteri/kepala
lembaga
pemerintah
non-departemen
menetapkan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) untuk pelaksanaan urusan wajib dan urusan pilihan yang telah ditetapkan.
2) Perangkat daerah Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah yang terdiri dari : (1) unsur staf yang membantu penyusunan kebijakan dan koordinasi, diwadahi dalam sekretariat; (2) unsur pengawas yang diwadahi dalam bentuk inspektorat; (3) unsur perencana yang diwadahi dalam bentuk badan; (4) unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, diwadahi dalam lembaga teknis daerah; (5) unsur pelaksana urusan daerah yang diwadahi dalam dinas daerah. Jadi, perangkat daerah kabupaten/kota adalah unsur pembantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintah daerah yang terdiri dari, Sekretariat Daerah, Sekretariat Dewan, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah (Badan dan Kantor), Kecamatan dan Kelurahan. Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk organisasi yang disebut dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) adalah adanya urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan, namun tidak berarti bahwa setiap penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk kedalam organisasi tersendiri. Oleh karena itu, di Pemerintah Kabupaten Bogor pada periode 2003-2008, meskipun jumlah urusan wajib yang telah dilimpahkan sebanyak 26 jenis dan urusan pilihan sebanyak 6 jenis, namun jumlah SKPD yang menangani urusan wajib sebanyak 23 SKPD dan jumlah SKPD yang menangani urusan pilihan sebanyak 4 SKPD. Tetapi, mulai tahun 2009, jumlah SKPD di Kabupaten Bogor mengalami perubahan dan disesuaikan kembali dengan peraturan perundang-undangan yang terbaru mengenai organisasi perangkat daerah, yaitu didasarkan pada Peraturan pemerintah Nomor 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah yang operasionalnya diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Teknis Organisasi Perangkat Daerah. Besaran organisasi perangkat daerah sekurangkurangnya mempertimbangkan faktor-faktor, yaitu : (1) keuangan; (2) kebutuhan daerah; (3) cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan; (4) jenis dan banyaknya tugas; (5) luas wilayah kerja dan kondisi geografis; (6) jumlah dan kepadatan penduduk; (7) potensi daerah yang
berkaitan dengan urusan yang akan ditangani; (7) sarana dan prasarana penunjang tugas.
Oleh karena itu, kebutuhan akan organisasi perangkat
daerah bagi masing-masing kabupaten/kota tidak senantiasa sama atau seragam, tergantunga dari hasil perhitungan atas faktor-faktor di atas dan variabel menurut bobot tertentu, yaitu : (1) 40 % untuk variabel jumlah penduduk; (2) 35 % untuk variabel luas wilayah; (3) 25 % untuk variabel jumlah APBD. 3) Keuangan daerah Pelimpahan kewenangan pemerintahan akan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan yang telah diterima oleh pemerintah daerah.
Hal ini sejalan dengan prinsip “money
follow function”, yaitu anggaran mengikuti kewenangan/fungsi, artinya semakin
banyak
kewenangan
yang
telah
dilimpahkan,
maka
kecenderungannya akan semakin besar pula anggaran yang dibutuhkan daerah untuk melaksanakan kewenangan tersebut.
Untuk itu, sejak berlakunya
Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 dan diikuti dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, maka pemerintah kabupaten/kota diberikan hak untuk mendapatkan sumber-sumber keuangan yang antara lain berupa kepastian tersedianya dana dari pemerintah sesuai dengan urusan pemerintahan yang telah diserahkan. Dengan dasar tersebut, maka pemerintah menetapkan kebijakan desentralisasi fiskal yang implementasinya melalui dana perimbangan. Selain itu, kabupaten/kota juga memiliki kewenangan untuk : (1) memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi daerah; (2) hak untuk mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerahnya; (3) berhak mendapatkan dana perimbangan lainnya; (4) hak untuk mengelola kekayaan daerah yang dipisah atau yang tidak dipisah; (5) hak untuk mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; (6) hak untuk mendapatkan sumber-sumber pembiayaan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Jadi, dengan pengaturan tersebut, sesungguhnya pemerintah telah
menetapkan prinsip “uang mengikuti fungsi” atau “money follow function”, agar terselenggaranya pemerintahan daerah. Pada periode awal berlakunya peraturan perundang-undangan tersebut, tepatnya pada periode 1999-2001, sesungguhnya pengelolaan keuangan daerah masih menggunakan produk hukum yang disusun pada masa pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, sesuai dengan aturan peralihan UUD 1945 atau lebih dikenal dengan Indische Comptabiliteits Wet (ICW Stbl. 1925 No. 448) yang selanjutnya diubah dan diundangkan terakhir dengan UndangUndang Nomor 9 tahun 1968. Selain itu, acuan lainnya adalah berdasarkan produk hukum yang diterbitkan oleh pemerintahan orde baru, diantaranya berupa : (1) Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 1975 tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah; (2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1975 tentang Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD. Implementasi dari kedua peraturan tersebut, secara teknis ditetapkan lebih lanjut dalam Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA) yang berfungsi sebagai pedoman teknis dalam pengelolaan keuangan daerah. Oleh karena itu,
reformasi hukum di bidang keuangan daerah terus dilakukan
penyempurnaan,
bersama-sama
dengan
penyempurnaan
pengaturan
pengelolaan keuangan negara. Untuk pengelolaan keuangan daerah pada periode awal 1999-2001, pemerintah telah menerbitkan terlebih dahulu Peraturan Pemerintah Nomor 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dan penjabarannya berupa Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 29 tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD, meskipun undang-undangnya ditetapkan belakangan pada tahun 2003, yaitu berupa Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Reformasi keuangan daerah yang terjadi pada tahapan pertama ini, yaitu : (1) reformasi yang berkenaan dengan pendekatan anggaran yang akan digunakan, yaitu dari sistem anggaran tradisional
kemudian berubah menjadi anggaran berbasis kinerja (performance budget), yaitu suatu sistem anggaran yang mengutamakan pencapaian output atau hasil kerja dari rencana alokasi anggaran atau input yang telah ditetapkan; (2) pengelolaan keuangann daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan,
penganggaran,
pelaksanaan,
penatausahaan,
pelaporan,
pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah; (3) Asas umum pengelolaan keuangan daerah, yaitu keuangan daerah harus dikelola dengan tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatuhan dan manfaat untuk masyarakat; (4) struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah, dan karenanya tidak digunakan lagi struktur APBD menurut T-Count, melainkan I-Count; (5) pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap pendapatan, sedangkan belanja yang dianggarkan merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja; (6) semua penerimaan dan pengeluaran daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukan dalam APBD dan dilakukan melalui rekening Kas Umum daerah; (7) kepala daerah selaku pemegang kekuasaan pengelolaan kekuasaannya
keuangan yang
daerah
berupa
melimpahkan
perencanaan,
sebagian
penganggaran,
atau
seluruh
pelaksanaan,
penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah kepada sekretaris daerah, pejabat pengelola keuangan daerah dan kepala SKPD selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah; (8) pelimpahan sebagain atau seluruh kekuasaan didasarkan pada prinsip pemisahan kewenangan antara yang memerintahan, menguji dan yang menerima/mengeluarkan uang yang ditetapkan dengan keputusan kepala daerah; (9) belanja daerah terdiri dari bagian belanja aparatur daerah dan bagian belanja pelayanan publik.
Jadi, pada tahap pertama inilah, istilah
anggaran untuk aparatur dan publik mulai diberlakukan, meskipun nomenklatur ini tidak digunakan lagi pada reformasi tahap kedua; (10) pada bagian dari pembiayaan daerah, mulai digunakan pembentukan dana cadangan, yang berarti tidak semua sisa lebih anggaran tahun berkenaan
dihabiskan atau dialokasikan kembali untuk program dan kegiatan pembangunan tahun berikutnya, melainkan dapat disisihkan pula untuk rencana pembentukan dana cadangan 2. Tahap kedua, reformasi ditujukan untuk pemantapan pengelolaan keuangan daerah Langkah-langkah reformasi untuk pemantapan pengelolaan keuangan daerah dilakukan sejak tahap perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban hingga pengawasan keuangan daerah.
Untuk itu, Mardiasmo (2002) mengemukakan bahwa reformasi
keuangan daerah meliputi : 1) Reformasi sistem pembiayaan (financing reform).
Salah satu yang
mendesak untuk dilaksanakan adalah membentuk dana cadangan dengan cara menyisihkan sisa lebih perhitungan anggaran tahun yang lalu atau pun mengalihkan kelebihan penerimaan daerah yang melampaui target pada setiap tahun anggaran dengan proporsi tertentu, sehingga tidak dihabiskan seluruhnya pada tahun anggaran yang berjalan.
Dengan adanya dana
cadangan, maka daerah akan memiliki kemampuan untuk membiayai program/kegiatan pembangunan yang sifatnya multi-year atau yang strategis
untuk
percepatan
pembangunan
daerah
sehingga
tidak
menggantungkan lagi pada dana pinjaman. 2) Reformasi sistem penganggaran (budgeting reform), yaitu memantapkan kembali penerapan anggaran berbasis kinerja, agar bertumpu sepenuhnya pada kepentingan publik serta mampu memberikan transparansi dan akuntabilitas secara rasional untuk keseluruhan siklus anggaran. 3) Reformasi
sistem
akuntansi
(accounting
reform),
yaitu
mulai
mengaplikasikan accrual basis dan tidak lagi menggunakan cash basis, karena teknik akuntansi accrual basis menghasilkan laporan keuangan yang lebih dapat dipercaya serta dapat digunakan untuk mengetahui besarnya biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan pelayanan bagi publik (cost of service) serta menentukan harga pelayanan yang dibebankan kepada publik (charging for service). Demikian juga dengan
penyusunan laporan keuangan, agar menggunakan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4) Reformasi sistem pemeriksaan (audit reform), yaitu merubah sistem pemeriksaan dari conventional audit menuju value for money audit. Jika dalam pemeriksaan yang konvensional, lingkupnya hanya sebatas audit terhadap administrasi keuangan dan kepatuhan, maka dalam pemeriksaan dengan metode baru ini, juga dilengkapi dengan audit kinerja pemerintah daerah (performance audit) atau disebut juga management audit. Tujuannya adalah untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai tuntutan atas tindakan dan kejadian ekonomi serta kesesuaiannya dengan kriteria/standar yang telah ditetapkan dan kemudian mengkomunikasikan hasilnya kepada pehak-pihak pengguna laporan hasil pemeriksaan, terutama kepada DPRD. 5) Reformasi sistem manajemen keuangan daerah (financial management reform), yaitu anggaran daerah harus dikelola dengan hasil yang baik dan biaya rendah (work better and cost less) serta memberikan keleluasaan bagi para pelaksananya untuk memaksimalkan pengelolaan dananya dengan memperhatikan konsep nilai uang. Untuk itu, pada saat menyusun anggaran berbasis kinerja, maka instrumen yang harus digunakan adalah Analisis Standar Belanja (ASB) dan bukan lagi sekedar Standar Satuan Harga (SSH) atau Daftar Harga Tertinggi, disertai dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang telah ditetapkan untuk setiap pengguna anggaran/Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sesuai dengan kewenangan dan tugas pokok serta fungsinya masing-masing. Dalam pengelolaan keuangan daerah, prinsip di atas menurut Mardiasmo (2002), diaplikasikan kedalam konsep nilai uang (value for money) yang meliputi tiga prinsip dalam proses penganggaran dalam APBD, yaitu prinsip Ekonomi, Efisiensi dan Efektivitas (3E). Prinsip ekonomi berkaitan dengan pemilihan dan penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu dan pada harga yang paling murah (ekonomi berarti pula perolehan input
dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada harga yang termurah, dengan formula yaitu perbandingan antara input dengan input value). Sedangkan prinsip efisiensi berarti penggunaan dana rakyat tersebut dapat menghasilkan output yang maksimal/berdaya guna (efisiensi berarti pula tercapainya output yang maksimum dengan input tertentu, dengan formula, yaitu perbandingan antara output dengan input atau sebaliknya input/output). Sementara itu, prinsip efektivitas berarti bahwa penggunaan anggaran tersebut harus mencapai target-target
atau tujuan kepentingan publik (efektivitas
menggambarkan tingkat pencapaian hasil program dengan target yang ditetapkan secara sederhana, dengan formula yaitu perbandingan antara outcome dengan output atau outcome/output). Konsep value for money sangat penting bagi pemerintah daerah sebagai pelayan masyarakat, karena konsep tersebut bermanfaat untuk : (1) efektivitas pelayanan publik dalam arti pelayanan yang diberikan tepat sasaran; (2) meningkatnya mutu pelayanan publik; (3) biaya pelayanan yang murah karena hilangnya in-efisiensi dan penghematan dalam penggunaan sumber daya; (4) alokasi belanja yang lebih berorientasi pada kepentingan publik; (5) meningkatnya public cost awareness sebagai dasar pelaksanaan pertanggungjawaban publik. Dalam konteks otonomi daerah, konsep value for money merupakan media atau jembatan untuk menghantarkan pemerintah daerah mencapai tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Untuk itu, sejumlah peraturan perundang-undangan, baik yang ditujukan untuk penyempurnaan pengelolaan keuangan negara sekaligus perbaikan pengelolaan keuangan daerah telah ditetapkan oleh pemerintah, diantaranya dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah hingga peraturan menteri dalam negeri, sehingga keseluruhannya membentuk semacam “Omnibus Regulation”. Perkembangan peraturan perundang-undangan sejak zaman orde baru hingga orde reformasi dalam pengelolaan keuangan daerah dapat dilihat pada tabel 1. Tabel
1:
Perkembangan Peraturan Perundang-undangan yang Berkenaan dengan Pengelolaan Keuangan Daerah sejak Orde Baru hingga Orde Reformasi
Orde Baru UU No. 5/1974
Tahap I UU No. 22 /1999 UU No. 25/1999
PP No.5/1975 PP No.6/1975
PP No.105/2000
Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA)
Kepemendagri No. 29/2002
Orde Reformasi Tahap II Pemerintahan daerah Keungan Daerah - UU No.32 /2004 - UU No. 17/2003 - UU No. 33/2004 - UU No. 1/2003 - UU No. 25/2004 - UU No. 15/2003 - PP No. 24/2005 - PP No. 58/2005 - Permendagri Nomor 13/2006 dan Disempurnakan dengan Permendagri Nomor 59/2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah - Permendagri tentang pedoman penyusunan APBD pada setiap tahun anggaran berkenaan
Peraturan Daerah tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah Peraturan Kepala Daerah tentang Petunjuk Pelaksanaan APBD Sumber : Pengelolaan Keuangan Daerah (Rangkuman 7 UU, 30 PP dan 15 Permendagri). 2009. 2.3.
Kebijakan Alokasi Belanja Daerah Dalam konteks anggaran pembangunan, Suparmoko (2000) menjelaskan
bahwa anggaran pembangunan yang diwujudkan dalam bentuk pengeluaran pemerintah/belanja daerah dapat dinilai dan dibedakan dari beberapa segi, yaitu : (1) pengeluaran itu merupakan investasi yang menambah kekuatan dan ketahanan ekonomi di masa-masa mendatang; (2) pengeluaran itu langsung memberikan kesejahteraan dan kegembiraan bagi masyarakat (social overhead cost) sekaligus penghematan bagi pengeluaran pada masa yang akan datang; (3) pengeluaran berfungsi untuk menyediakan kesempatan kerja yang lebih banyak dan penyebaran kemampuan daya masyarakat yang lebih luas. Sejalan dengan pendapat diatas, Musgrave & Musgrave (1989) mengemukakan fungsi-fungsi utama dari kebijakan anggaran, yaitu :
1. Fungsi alokasi, yaitu penyediaan barang sosial atau proses pembagian keseluruhan sumber daya untuk digunakan sebagai barang pribadi dan barang sosial serta bagaimana gabungan/komposisi barang sosial ditentukan. Dengan demikian, fungsi alokasi anggaran belanja dapat diartikan sebagai suatu kebijakan anggaran pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan sosial masyarakat yang tidak bisa dipenuhi oleh pasar. Kebutuhan dimaksud adalah suatu kebutuhan yang bersifat umum, dimana setiap anggota masyarakat dapat memanfaatkannya secara bersama-sama. Pengeluaran untuk alokasi anggaran ini sangat vital karena menyangkut hajat hidup orang banyak dan berpengaruh terhadap mobilitas masyarakat dan pertumbuhan ekonomi melalui penyediaan barang dan jasa publik untuk memperlancar aktivitas pembangunan masyarakat. 2. Fungsi distribusi, yaitu penyediaan terhadap distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin terpenuhinya apa yang dianggap oleh masyarakat sebagai suatu distribusi yang “merata” dan “adil”. Fungsi distribusi anggaran ini terkait secara langsung dengan pelaksanaan otonomi daerah, karena tercermin dari perumusan dan pelaksanaan kebijakan alokasi penerimaan daerah, misalnya alokasi dari PAD dan Lain-lain PAD yang sah lainnya. 3. Fungsi stabilisasi, yaitu penggunaan kebijakan anggaran sebagai suatu alat untuk mempertahankan tingkat kesempatan kerja yang tinggi, tingkat stabilitas yang semestinya dan laju pertumbuhan ekonomi yang tepat, dengan mempertimbangkan segala akibatnya terhadap perdagangan dan neraca pembanyaran.
Fungsi stabilisasi anggaran merupakan suatu kebijakan
anggaran yang digunakan oleh pemerintah untuk mengatasi situasi moneter atau situasi pasar tertentu yang menyebabkan pemerintah memandang perlu untuk melakukan suatu kebijakan pengeluaran yang dapat menstabilkan hargaharga barang yang langsung berdampak terhadap kepentingan ekonomi publik. Fungsi stabilitas ini lebih banyak menjadi kewenangan pemerintah pusat dan diaktualisasikan melalui kebijakan moneter dan/atau kebijakan fiskal. Sementara itu, dalam peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan keuangan daerah dinyatakan bahwa keuangan daerah/APBD mempunyai fungsi
otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi dan stabilisasi, dengan penjelasan sebagi berikut : (1) fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja daerah pada tahun yang bersangkutan; (2) fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan; (3) fungsi alokasi mengandung arti bahwa
anggaran
kerja/mengurangi
daerah
harus
pengangguran
diarahkan dan
untuk
pemborosan
menciptakan sumber
lapangan
daya
serta
meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian; (4) fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan; (5) fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah daerah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah. Sejalan dengan ide di atas, Shah dalam Muluk (2002) mengungkapkan beberapa pertimbangan dalam penentuan pengeluaran pemerintah, yaitu ditujukan untuk penyediaan layanan publik yang efisien, efisiensi fiskal, keadilan regional (horizontal), peran distributif sektor publik, penyediaan barang-barang semi privat, stabilisasi ekonomi dan kekuatan pengeluaran itu sendiri.
Semua
pertimbangan ini menjadi dasar bagi pelimpahan tanggungjawab pelayanan publik tertentu kepada pemerintah daerah. Tetapi, Sukirno (2000) menyatakan bahwa ada tiga faktor penting yang akan menentukan pengeluaran pemerintah, yaitu : (1) pajak yang diharapkan untuk mendorong pembangunan yang lebih cepat; (2) pertimbangan politik untuk membangun infrastruktur yang lebih banyak dalam rangka mempercepat proses pembangunan di masa depan; (3) persoalan ekonomi yang dihadapi, terutama dalam rangka menghadapi pengangguran yang tinggi. Berkenaan dengan hal di atas, Schick (1998) menyebutkan bahwa ada tiga prinsip dalam manajemen pengeluaran publik modern yang mendukung terwujudnya penyusunan anggaran dengan baik, yaitu Aggregate Fiscal Dicipline, Allocative Efficiency dan Operational Efficiency, dengan penjelasan sebagai berikut : 1. Aggregate Fiscal Dicipline.
Prinsip ini adalah untuk mengontrol total
pengeluaran yang merupakan tujuan pokok dari sistem anggaran.
Tanpa
adanya pembatasan pada pengeluaran akan berakibat pada defisit anggaran dan secara progresif akan meningkatkan perbandingan rasio pajak pendapatan dan pengeluaran publik terhadap GNP. Aggregate Fiscal Dicipline meliputi total pendapatan, keseimbangan fiskal, hutang publik yang kesemuanya berpengaruh pada total pengeluaran. Prinsip ini mengutamakan bahwa total anggaran harus mencerminkan hasil secara jelas dan dijalankan dengan kebijakan yang ketat, tidak hanya mengakomodasi tuntutan pengeluaran, akan tetapi total pengeluaran harus disusun sebelum kebijakan pengeluaran publik dibuat dan ditindaklanjuti dalam kerangka jangka menengah dan jangka panjang. 2. Allocative Efficiency. Prinsip ini merupakan perwujudan penyusunan alokasi pengeluaran pemerintah kedalam sektor, program dan proyek (saat ini digunakan sebutan urusan, program dan kegiatan) dengan skala prioritas dan efektivitas program publik yang berlandaskan pada kerangka manajemen strategis. Sistem anggaran harus mendorong realokasi program, yaitu dari program yang rendah dan kurang efektif ke program dengan prioritas tinggi dan lebih efektif. Untuk itu, elemen dasar dalam sistem pengeluaran publik yang berorientasi pada realokasi meliputi : (1) pemerintah menetapkan tujuan strategis dan prioritas sebelum unit kerja mengusulkan sumber anggaran; (2) pemerintah menetapkan tujuan fiskal dalam medium-term termasuk untuk inisiatif pengeluaran atau tabungan bersih/sisa lebih yang memerlukan target fiskal; (3) sisa lebih dialokasikan untuk unit kerja yang terkait dengan prioritas strategis pemerintah; (4) pemerintah memperkirakan kondisi anggaran masa depan, menetapkan target dan mengukur dampak fiskal dari perubahan kebijakan; (5) pemerintah meningkatkan realokasi yang mengutamakan efektivitas program dengan meminta setiap unit kerja untuk secara berkala dan sistematis mengevaluasi kinerja kegiatannya; (6) unit-unit kerja mereview alokasi anggaran pada perubahan kebijkan/perubahan anggaran yang kemudian menjadi titik awal untuk penentuan kebijakan alokasi anggaran pada periode berikutnya. 3. Operational Efficiency. Prinsip ini menekankan bagaimana pemerintah dapat menghasilkan barang dan jasa publik pada tingkat biaya yang lebih efisien dan
kompetitif dari harga pasar. Operational Efficiency merupakan cermin dari pengeluaran pemerintah yang dialokasikan pada kepentingan masyarakat dan karenanya setiap unit kerja selalu didorong untuk menghasilkan pendapatan (profit center) daripada menjadi sumber pemborosan biaya (cost center). Salah satu caranya, yaitu dengan mengefektifkan sistem pengawasan, baik internal maupun eksternal, serta penekanannya tidak hanya pada biaya/belanja daerah dan penegakkan peraturan, tetapi unit kerja dituntut agar target kinerja dapat dioptimalkan. Sejalan dengan prinsip Operational Efficiency di atas, Bird dan Vaillancourt (2000) mengungkapkan bahwa pemerintah daerah harus mampu melakukan manajemen pengeluaran anggaran publik secara tepat, yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : (1) secara memadai pemerintah daerah harus mampu mengendalikan keseluruhan pendapatan dan belanja daerah; (2) pemerintah daerah secara tepat mengalokasikan sumber-sumber publik kedalam berbagai sektor dan program pembagunan; (3) pemerintah daerah menjamin bahwa lembaga pemerintah beroperasi seefisien mungkin. Dalam pengelolaan keuangan daerah, prinsip di atas menurut Mardiasmo (2002), diaplikasikan kedalam konsep nilai uang (value for money) yang meliputi tiga prinsip dalam proses penganggaran dalam APBD, yaitu prinsip Ekonomi, Efisiensi dan Efektivitas (3E). Prinsip ekonomi berkaitan dengan pemilihan dan penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu dan pada harga yang paling murah (ekonomi berarti pula perolehan input dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada harga yang termurah, dengan formula yaitu perbandingan antara input dengan input value). Sedangkan prinsip efisiensi berarti penggunaan dana rakyat tersebut dapat menghasilkan output yang maksimal/berdaya guna (efisiensi berarti pula tercapainya output yang maksimum dengan input tertentu, dengan formula, yaitu perbandingan antara output dengan input atau sebaliknya input/output). Sementara itu, prinsip efektivitas berarti bahwa penggunaan anggaran tersebut harus mencapai target-target atau tujuan kepentingan publik (efektivitas menggambarkan tingkat pencapaian hasil program dengan target yang ditetapkan secara sederhana, dengan formula yaitu perbandingan antara outcome dengan output atau outcome/output).
Konsep value for money sangat penting bagi pemerintah daerah sebagai pelayan masyarakat, karena konsep tersebut bermanfaat untuk : (1) efektivitas pelayanan publik dalam arti pelayanan yang diberikan tepat sasaran; (2) meningkatnya mutu pelayanan publik; (3) biaya pelayanan yang murah karena hilangnya in-efisiensi dan penghematan dalam penggunaan sumber daya; (4) alokasi belanja yang lebih berorientasi pada kepentingan publik; (5) meningkatnya public cost awareness sebagai dasar pelaksanaan pertanggungjawaban publik. Dalam konteks otonomi daerah, konsep value for money merupakan media atau jembatan untuk menghantarkan pemerintah daerah mencapai tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada dasarnya adalah kebijakan keuangan pemerintah daerah yang terkait dengan strategi pembangunan ekonomi daerah.
Dengan adanya perencanaan alokasi belanja daerah, maka
pemerintah daerah berupaya merangsang pertumbuhan ekonomi serta mengurangi hambatan pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, perencanaan alokasi belanja daerah dalam APBD dapat juga diartikan sebagai alokasi sumber daya pembangunan di daerah. Fungsi-fungsi anggaran daerah dalam proses pembangunan di daerah, menurut PAU-SE UGM (2000) sebagai berikut : 1. Instrumen politik (political tools).
Anggaran daerah adalah salah satu
instrmen formal yang menghubungkan eksekutif daerah dengan tuntutan dan kebutuhan publik yang diwakili oleh legislatif daerah. 2. Instrumen kebijakan fiskal (fiscal tools). Dengan mengubah prioritas dan besaran alokasi dana, maka anggaran daerah dapat digunakan untuk mendorong, memberikan fasilitas dan mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan ekonomi masyarakat guna mempercepat pertumbuhan ekonomi di daerah. 3. Instrumen perencanaan (planning tools).
Di dalam anggaran daerah
disebutkan tujuan yang ingin dicapai, tolok-ukur kinerja, biaya dan hasil serta capaian dari sasaran program yang diharapkan dari setiap kegiatan pada masing-masing unit kerja. 4. Instrumen pengendalian (control tools).
Anggaran daerah berisi rencana
penerimaan dan pengeluaran secara rinci pada setiap unit kerja.
Hal ini
dilakukan agar unit kerja tidak melakukan overspending, underspending atau pun mengalokasikan anggaran pada bidang/urusan kewenangan yang lainnya diluar yang telah ditetapkan. Alokasi belanja daerah harus dilakukan oleh pemerintah daerah guna membiayai berbagai aktivitas atau fungsi yang menjadi tanggungjawabnya. Untuk itu, terdapat lima peran yang harus dilaksanakan oleh pemerintah dalam mengelola segala macam urusan dan/atau fungsinya sesuai dengan kewenangan yang telah diterimanya. Menurut Premchand dalam Muluk (2002), bahwa peran tersebut mencakup peran sebagai penyedia layanan,
pembeli layanan, badan
penyandang dana, koordinator penyedia layanan publik dan sebagai regulator. Pelaksanaan dari semua peran atau pilihan dari peran tersebut membutuhkan dana yang harus dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Dalam prakteknya, berbagai peran dari pemerintah daerah dalam penyediaan layanan publik di atas, dapat berlangsung dalam dua kategori bentuk sebagaimana dijelaskan oleh Norton (1994), yaitu dengan direct provision dan indirect or delegated management of service.
Untuk kategori pertama, pada hakikatnya menempatkan pemerintah
sebagai penyedia langsung pelayanan publik dengan berbagai macam variasinya dan secara langsung berada di bawah kendali dan dibiayai oleh pemerintah. Sedangkan kategori kedua, hakikatnya adalah menempatkan pemerintah sebagai pengatur (regulator), sementara pelayanan publik dapat dilakukan oleh swasta, masyarakat, atau lembaga atau organisasi kemasyarakatan lainnya. Cara yang biasa dilakukan pada kategori kedua, antara lain konsesi, contracting out, regulasi, kerjasama dan sebagainya.
Dengan memperhatikan hal ini, berarti dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, pola pelaksanaannya dapat dilaksanakan sendiri atau swakelola oleh pemerintah, kerjasama dengan pihak lain dan dilelangkan kepada asosiasi pengadaan barang dan/atau jasa pemerintah sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, beberapa pengertian pelayanan publik yang dikemukakan oleh para ahli yang relevan dengan sudut pandang diatas, diantaranya dikemukanan oleh Bird and Vaillancourt (2000), yaitu segala bentuk kegiatan unit kerja/lembaga yang merupakan perwujudan dari tugas dan fungsi pemerintah terhadap pemenuhan hak-hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dalam prakteknya, pelayanan publik terdiri atas pelayanan dasar, pelayanan administrasi, pelayanan dalam menyediakan sarana dan prasarana publik, pelayanan dalam penyediaan lapangan kerja serta pelayanan terhadap perlindungan dan keamanan masyarakat. Dengan kata lain, pelayanan publik adalah pemenuhan kebutuhan dan tuntutan masyarakat akan layanan civil (civil service) yang tidak dapat diprivatisasi atau pelayanan publik yang menjadi domain pemerintah di setiap tingkatan pemerintahan (Taliziduhu Ndraha, 2003). Dalam kajian ini, maka pengembangan kebijakan alternatif alokasi belanja daerah yang dirumuskan adalah yang mengarah pada perbaikan pelayanan dasar (basic services) yang menjadi kewenangan/urusan wajib Pemerintah Kabupaten Bogor, antara lain mencakup urusan pendidikan, kesehatan dan transportasi/infrastruktur wilayah serta urusan pemerintahan lainnya yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah.