BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Resin komposit mengalami kemajuan yang besar ketika pada tahun 1962 Bowen mengembangkan sejenis bahan resin komposit baru. Penemuan Bowen berupa bisphenol-A-glycidyl methacrylate (Bis-GMA) yang merupakan suatu resin dimethacrylate, dan suatu bahan coupling silane organik untuk membentuk ikatan antara partikel filler dan matriks resin. Shrinkage polimerisasi resin komposit, yang berkisar 2-3% pada resin komposit hibrid, microfill, dan nanofill, merupakan sifat kimiawi alami resin komposit
(Ferracane,
1992;
Stansbury,
1992).
Shrinkage
resin
komposit
mengakibatkan terbentuknya celah mikro. Celah mikro merupakan celah yang terjadi antara resin komposit dan dinding kavitas sehingga bakteri, cairan, molekul, atau ion dapat masuk. Celah mikro dapat mengurangi kerapatan tepi restorasi, timbulnya hipersensitivitas pada gigi yang direstorasi, perubahan warna pada margin kavitas dan restorasi, terjadinya karies sekunder, peradangan pulpa, dan kegagalan perawatan endodontik (Simi dan Suprabha, 2011). Shrinkage ini menjadi masalah yang cukup besar terutama pada restorasi Kelas II. Hal ini karena kavitas Kelas II biasanya memiliki kavitas yang dalam dengan sisa email yang sangat sedikit pada daerah proksimal dan pada restorasi Kelas II melibatkan margin servikal sehingga perlekatan dentin lebih sulit diperoleh, disebabkan oleh
materi spesifik dentin seperti struktur tubulus dan kelembaban
instrinsik. Pada keadaan ini, perlekatan antara resin komposit dengan dentin pada daerah servikal kavitas juga kurang memuaskan (Radhika dkk., 2010). Untuk mengatasi kontraksi kimiawi ini, banyak teknik penempatan komposit telah diajukan, yang biasanya berupa penempatan resin komposit secara incremental seperti: teknik dengan menggunakan matriks bening dengan reflective wedge (Lutz dkk., 1986; Lutz dkk., 1992), penempatan secara horizontal (Lutz dkk., 1991; Tjan dkk., 1992), teknik oblique (Weaver dkk., 1988; Spreafico dan Gagliani, 2000), atau teknik segmental
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6
7
yang mencakup penempatan secara bulk dengan increment 3 sampai 3,5 mm (Jackson dan Morgan, 2000). Desain kavitas Kelas II konvensional berbentuk box dan bahan restorasi resin komposit tidak selalu kompatibel sehingga saat ini telah diperkenalkan desain Kelas II yang telah dimodifikasi untuk restorasi resin komposit sesuai dengan prinsip minimal intervention. Teknik preparasi kavitas ini mirip dengan teknik preparasi kavitas Kelas III anterior dan terbatas pada pembuangan jaringan karies, perluasan yang tepat untuk pemeriksaan, penempatan, dan finishing bahan resin komposit (Nordbo dkk., 1993).
2.1 Resin Komposit Resin komposit merupakan bahan tambalan sewarna gigi yang digunakan hampir pada semua jenis restorasi (Roberson dkk., 2009). Resin komposit berasal dari bahan komposit polimer yang sering digunakan sebagai bahan restorasi kedokteran gigi pada gigi-gigi anterior dan posterior (Walmsley dkk., 2007; Hatrick dkk., 2011). Resin komposit terdiri atas matriks resin organik, partikel filler anorganik, bahan coupling silane, sistem aktivator-inisiator, inhibitor dan stabilizer, dan optical modifiers (Garcia dkk., 2006; Shawkat, 2009; Hatrick dkk., 2011).
2.1.1 Komponen Resin Komposit 2.1.1.1 Matriks Resin Matriks resin organik yang paling sering digunakan adalah bisphenol-A glycidyl methacrylate (Bis-GMA), yang dihasilkan dari reaksi antara bisphenol-A dengan glycidyl methacrylate (Garcia dkk., 2006; Shawkat, 2009; Hatrick dkk., 2011). Bis-GMA mempunyai dua gugus hidroksil untuk meningkatkan viskositas sehingga dapat berpolimerisasi menjadi polimer berikatan ganda dan memiliki dua cincin karbon aromatik untuk menambah berat molekul dan kekakuan (Gambar 2.1) (Albers, 2002; Garcia dkk., 2006; Shawkat, 2009).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
8
Gambar 2.1 Struktur kimia resin komposit dimethacrylate matriks resin Bis-GMA (Albers, 2002)
Matriks resin yang sering ditambahkan pada bis-GMA adalah triethylene glycol dimethacrylate (TEGDMA) (Garcia dkk., 2006; Shawkat, 2009; Hatrick dkk., 2011). Struktur kimia TEGDMA memiliki sifat mekanis yang lebih rendah daripada bisGMA (Gambar 2.2) (Powers dan Sakaguchi, 2006; Shawkat, 2009).
Gambar 2.2 Struktur kimia resin komposit dimethacrylate matriks resin TEGDMA (Albers, 2002)
Matriks resin lainnya yaitu urethane dimethacrylate (UDMA) biasanya digunakan sebagai matriks resin tambahan atau pengganti Bis-GMA (Shawkat, 2009; Hatrick dkk., 2011). Struktur kimia UDMA memiliki gugus urethane yang memberikan kekuatan dan kekerasan pada polimer serta sifat penyerapan air yang rendah (Gambar 2.3) (Shawkat, 2009).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
9
pelebaran Gambar 2.3 Struktur kimia resin komposit dimethacrylate matriks resin UDMA (Albers, 2002)
2.1.1.2 Partikel Filler Anorganik Partikel filler umumnya dihasilkan dari penggilingan atau pengolahan kuarsa untuk menghasilkan partikel berukuran 0,1-100 µm. Partikel filler anorganik umumnya membentuk 30-70% volume dan 50-85% berat komposit (Anusavice, 2003).
2.1.1.3 Bahan Coupling Silane Fungsi utama bahan coupling adalah sebagai fasilitator ikatan antara matriks resin dan partikel filler (Shawkat, 2009; Garg dan Garg, 2010; Hatrick dkk., 2011). Bahan coupling yang sering digunakan adalah organosilane (3-methacryloxypropyl trimethoxysilane) (Powers dan Sakaguchi, 2006; Shawkat, 2009).
Gambar 2.4 3-methacryloxypropyltrimethoxysilane (Powers dan Sakaguchi, 2006)
2.1.1.4 Sistem Fotoinisiator dan Aktivator Fotoinisiator yang sering digunakan adalah gugus diketone seperti camphorquinone (CQ) yang menyerap cahaya tampak berwarna biru dengan panjang gelombang antara 400-500 nm dan yang paling optimal sekitar 465 nm (Powers dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
10
Sakaguchi, 2006; Shawkat, 2009; Garg dan Garg, 2010). Camphorquinone yang dihubungkan
dengan
aktivator
yaitu
tertiary
amine
seperti
dimethylaminoethylmethacrylate (DMAEMA) (Gambar 2.5) akan menghasilkan radikal bebas sehingga dapat menginisiasi proses polimerisasi (Powers dan Sakaguchi, 2006; Shawkat, 2009).
Deaktivasi
Gambar 2.5 Skema peranan CQ dan DMAEMA dalam polimerisasi radikal bebas resin komposit (Shawkat, 2009)
2.1.1.5 Inhibitor dan Stabilizer Inhibitor dan stabilizer memiliki struktur kimia seperti hydroquinone yaitu 4methoxyphenol (MEHQ) dan 2,6-di-tert-butyl-4-methyl phenol atau butylated hydroxytoluene (BHT) yang berfungsi untuk mencegah terjadinya polimerisasi yang terlalu dini (Shawkat, 2009).
2.1.1.6 Optical Modifier Stain dan opacifiers digunakan untuk mengubah dan memodifikasi warna visual (shading) dan translusensi bahan komposit menjadi kombinasi yang lebih baik sebagai bahan restorasi yang menyerupai warna gigi. Bahan yang sering digunakan untuk meningkatkan opaksitas adalah titanium dioksida dan alumunium oksida dalam jumlah kecil antara 0,001-0,007% berat (Shawkat, 2009). Selain itu bahan lain yang dapat digunakan adalah magnesium, tembaga dan besi oksida yang menyediakan berbagai variasi warna (Anusavice, 2003; Shawkat, 2009).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
11
2.1.2 Klasifikasi Resin Komposit 2.1.2.1 Resin Komposit Berdasarkan Partikel Filler Pada tahun 1988, Marshall mengklasifikasikan resin komposit berdasarkan jumlah dan ukuran partikel filler. Jumlah filler dilihat dari segi berat dan volume, sedangkan ukuran partikel filler ditetapkan dengan satuan µm.
1. Resin Komposit Macrofiller Resin komposit macrofiller merupakan generasi pertama dan menggunakan partikel bahan pengisi (filler) yang relatif besar yaitu dengan ukuran antara 10-100 mikron (µm) dan banyaknya bahan pengisi umumnya 75-80% berat atau 60-65% volume (Garcia dkk., 2006; Roberson dkk., 2009; Hatrick dkk., 2011). Bahan pengisi yang sering digunakan adalah quartz giling, strontium, heavy metal glasses yang mengandung barium (Albers, 2002; Anusavice, 2003; Roberson dkk., 2009). Resin komposit macrofiller umumnya lebih kuat daripada resin komposit yang memiliki partikel bahan pengisi (filler) dengan ukuran kecil (Hatrick dkk., 2011). Tetapi partikelnya yang besar dapat membuat komposit sulit untuk di-polish sehingga resin komposit memiliki permukaan yang kasar (Albers, 2002; Roberson dkk., 2009; Hatrick dkk., 2011).
2. Resin Komposit Midifiller Resin komposit midifiller adalah resin yang partikelnya berukuran antara 1-10 µm (Hatrick dkk., 2011).
3. Resin Komposit Minifiller Resin komposit minifiller memiliki ciri khas, yaitu partikel bahan pengisi (filler) yang besar tidak tersebar secara merata (Albers, 2002). Selain itu, resin komposit minifiller secara relatif diisi dengan partikel bahan pengisi (filler) anorganik yang sangat kecil dengan ukuran partikel <0,1-1 µm (Albers, 2002; Hatrick dkk., 2011). UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
12
4. Resin Komposit Microfiller Resin komposit microfiller memiliki partikel bahan pengisi (filler) yang lebih kecil daripada resin komposit macrofiller yaitu silika koidal yang memiliki ukuran partikel antara 0,03-0,5 µm dengan diameter rata-rata 0,04 µm dan banyaknya bahan pengisi umumnya 35-60% berat atau 35-50% volume (Garcia dkk., 2006; Roberson dkk., 2009; Hatrick dkk., 2011). Partikel yang berkurang ukurannya pada resin komposit microfiller menunjukkan sifat fisis dan mekanis yang rendah (Roberson dkk., 2009; Hatrick dkk., 2011). Selain itu, ikatan antara partikel komposit dan matriks resin
organik
lemah
sehingga menyebabkan
terjadinya
shrinkage
polimerisasi, penyerapan air, dan thermal expansion (Powers dan Sakaguchi, 2006; Roberson dkk., 2009; Hatrick dkk., 2011).
5. Resin Komposit Hibrid Resin komposit hibrid menggabungkan sifat fisis dan mekanis resin komposit macrofiller dengan permukaan halus microfiller (Albers, 2002; Roberson dkk., 2009). Resin komposit hibrid memiliki ukuran partikel antara 0,1-3 µm dan banyaknya bahan pengisi 75-80% berat (Roberson dkk., 2009; Garg dan Garg, 2010; Hatrick dkk, 2011). Kombinasi filler kedua resin komposit menghasilkan resin komposit yang kuat dan dapat di-polish dengan baik (Hatrick dkk., 2011). Resin komposit hibrid dapat digunakan pada gigi anterior dan posterior, shrinkage yang minimal, penyerapan air sedikit, derajat opaqueness dan translusensi yang berbeda (Anusavice, 2003; Garcia dkk., 2006).
6. Resin Komposit Nanofiller Resin komposit nanofiller mengandung partikel filler yang sangat kecil yaitu antara 0,005-0,01 µm. Partikel filler yang kecil dengan mudah berkumpul membentuk barisan yang tersusun penuh sehingga menghasilkan sifat fisis yang bagus dan estetis serta kemampuan polish yang tinggi (Anusavice, 2003).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
13
7. Resin Komposit Nanohibrid Resin komposit nanohibrid merupakan resin komposit yang kuat dan bisa dipolish menjadi sangat berkilau dan kilauannya lebih baik daripada resin komposit yang sebelumnya. Resin komposit nanohibrid memiliki ukuran partikel 0,005-0,02 µm sehingga dapat mengurangi tingkat kekasaran permukaan sampai 1% (Hatrick dkk., 2011).
2.1.2.2 Resin Komposit Berdasarkan Viskositas 1. Resin Komposit Packable Resin komposit packable adalah resin yang memiliki kelekatan permukaan yang rendah dan viskositas tinggi karena mengandung partikel bahan pengisi (filler) dengan volume yang tinggi, yaitu sekitar 70% (Powers dan Sakaguchi, 2006; Roberson dkk., 2009; Hatrick dkk., 2011). Karakteristik tersebut menyebabkan konsistensi resin yang kaku, lebih kuat, shrinkage yang rendah, radiopasitas, dan lebih tahan terhadap pemakaian (3,5 µm/tahun). Resin komposit packable digunakan untuk restorasi gigi posterior, yaitu kelas I dan II (Powers dan Sakaguchi, 2006; Roberson dkk., 2009). Penggunaan extra sistem adhesif atau resin komposit flowable selapis tipis pada preparasi dinding kavitas dapat meningkatkan adaptasi dan perlekatan resin komposit packable (Albers, 2002).
2. Resin Komposit Flowable Resin komposit flowable mengandung resin dimethacrylate dan partikel filler anorganik dengan ukuran partikel 0,4-3,0 µm dan banyaknya bahan pengisi lebih rendah daripada resin komposit lainnya, yaitu 34-68% volume (Garcia dkk., 2006; Burgess dan Cakir, 2011). Partikel filler anorganik yang sering digunakan adalah partikel hibrid dan nanofiller (Hatrick dkk., 2011). Resin komposit flowable memiliki viskositas rendah sehingga bisa beradaptasi dengan baik, yaitu menghasilkan ikatan yang rapat dengan dasar dan dinding kavitas, serta mengalir masuk ke dalam bagian iregular mikroskopis (Baroudi dkk., 2007; Burgess dan Cakir, 2011; Hatrick dkk., UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
14
2011). Selain itu, resin komposit flowable memiliki beberapa kelebihan seperti kemampuan membasahi permukaan gigi, memastikan penetrasi ke dalam setiap iregularitas, membentuk lapisan dengan ketebalan minimal, memperbaiki dan mengeliminasi udara yang masuk, radio-opaqueness, tersedia dalam berbagai warna dan fleksibilitas tinggi (Garcia dkk., 2006). Resin komposit flowable diindikasikan untuk restorasi kelas I, II, V, pit dan fissure sealants, bahan reparasi batas tepi restorasi, dan lebih sering digunakan sebagai liner dibawah resin komposit hibrid dan packable (Roberson dkk., 2009; Burgess dan Cakir, 2011; Hatrick, 2011). Perbedaan sifat fisis dan mekanis antara resin komposit packable dan flowable (Tabel 1) menghasilkan perbedaan kualitas penggunaan bahan restorasi (Powers dan Sakaguchi, 2006). Tabel 1. Perbandingan sifat fisis dan mekanis antara resin komposit packable dan resin komposit flowable (Powers dan Sakaguchi, 2006).
Sifat
Resin Komposit
Resin Komposit
Packable
Flowable
Kekuatan fleksural (MPa)
85-110
70-120
Modulus fleksural (GPa)
9,0-12
2,6-5,6
Kekuatan compressive (MPa)
220-300
210-300
Modulus compressive (GPa)
5,8-9,0
2,6-5,9
Diameter kekuatan tensile (MPa)
-
33-48
Shrinkage polimerisasi linear (%)
0,6-0,9
-
-
15
Stabilitas warna, percepatan usia450 kJ/m2 (∆E)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
15
2.1.2.3 Resin Komposit Berdasarkan Cara Aktivasi Polimerisasi 1. Resin Komposit Self-cured Resin komposit self-cured merupakan resin yang diaktivasi secara kimia (Anusavice, 2003; Hatrick dkk., 2011). Bahan yang diaktifkan secara kimia mengandung inisiator benzoil peroksida dan aktivator amin tersier (N,N dimetil-ptoluidin) (Anusavice, 2003; Garg dan Garg, 2010; Hatrick dkk., 2011). Apabila kedua pasta diaduk, amin bereaksi dengan benzoil peroksida untuk membentuk radikal bebas dan polimerisasi tambahan dimulai (Anusavice, 2003; Hatrick dkk., 2011). Resin komposit self-cured mempunyai working time 1-1,5 menit dan setting time 4-5 menit (Powers dan Sakaguchi, 2006). Bahan tersebut biasanya digunakan untuk restorasi dan pembuatan inti yang pengerasannya tidak dengan sumber sinar (Anusavice, 2003).
2. Resin Komposit Light-cured Sistem pertama yang diaktifkan dengan menggunakan sinar adalah sinar ultra violet untuk merangsang radikal bebas (Anusavice, 2003). Sistem ini mulai diperkenalkan pada akhir tahun 1960 dan awal tahun 1970 (Garg dan Garg, 2010). Namun, masa sekarang ini resin komposit yang diaktifkan dengan sinar ultra violet telah digantikan dengan sinar yang dapat dilihat dengan mata pada akhir tahun 1970 dan secara nyata meningkatkan kemampuan polimerisasi lapisan sehingga mencapai ketebalan 2 mm (Powers dan Sakaguchi, 2006; Garg dan Garg, 2010; Hatrick dkk., 2011). Waktu dan kedalaman curing tergantung pada intensitas, panjang gelombang dan penetrasi sinar (Powers dan Sakaguchi, 2006). Tetapi waktu penyinaran tidak boleh kurang dari 40-60 detik dan ketebalan resin kurang dari 2,0-2,5 mm. Resin komposit light-cured lebih sering digunakan daripada resin komposit self-cured karena memiliki beberapa kelebihan. Resin komposit light-cured terdiri atas pasta tunggal dalam suatu semprit. Radikal bebas sebagai pemicu reaksi terdiri atas molekul fotoinisiator dan aktivator amin yang terdapat dalam pasta. Pemaparan terhadap sinar dengan panjang gelombang yang tepat (468 nm) merangsang UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
16
fotoinsiator berinteraksi dengan amin untuk membentuk radikal bebas yang mengawali polimerisasi tambahan (Anusavice, 2003). Polimerisasi yang baik untuk mendapatkan stabilitas warna, estetis, sifat fisis dan biologis, serta kinerja klinisnya (Powers dan Sakaguchi, 2006; Hatrick dkk., 2011).
3. Resin Komposit Dual-cured Resin komposit dual-cured terdiri atas dua pasta yang mengandung akselerator kimia dan aktivator sinar). Mekanisme aktivasi dual-cured diperlukan ketika bagian-bagian komposit tidak dapat diakses oleh sinar seperti bagian di bawah restorasi yang opaque (Powers dan Sakaguchi, 2006). Kelebihan penggunaan resin komposit dual-cured adalah ketika dua pasta diaduk bersama dan ditempatkan pada gigi, sinar curing digunakan untuk mengawali reaksi setting dan kemudian dilanjutkan dengan reaksi setting kimia pada area yang tidak terjangkau oleh sinar untuk memastikan pengaturan yang tepat (Powers dan Sakaguchi, 2006; Hatrick dkk., 2011). Proses dual-cured ini sangat membantu dalam mem-build up gigi yang telah dirawat endodontik dan dalam menaruh materi inti komposit setengah jalan ke dalam ruang kanal. Light-curing mungkin tidak mencapai materi di dalam kanal, tetapi materi komposit akan mengeras sendirinya secara kimiawi (Hatrick dkk., 2011).
2.1.3 Polimerisasi Resin Komposit Polimerisasi adalah reaksi kimia yang terjadi ketika monomer-monomer resin dengan berat molekul rendah bergabung untuk membentuk rantai panjang yaitu polimer yang memiliki berat molekul tinggi (Hatrick dkk., 2011). Aktivasi proses polimerisasi resin komposit dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu kimia, sinar, kimia dan sinar (Powers dan Sakaguchi, 2006; Hatrick dkk., 2011). Proses polimerisasi dimulai oleh aktivator (kimia atau sinar) yang menyebabkan molekul inisiator membentuk radikal bebas (pengisian molekul yang memiliki elektron tidak berpasangan) (Hatrick dkk., 2011).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
17
Monomer dimethacrylate (bis-GMA) mempunyai gugus fungsional dengan karbon ikatan ganda (C=C) (Hatrick dkk., 2011). Persentasi ikatan ganda bereaksi dari 35-80% (Powers dan Sakaguchi, 2006). Radikal bebas memecah salah satu karbon ikatan ganda membentuk ikatan tunggal dan radikal bebas lainnya (Gambar 2.6) (Albers, 2002). Radikal bebas tersebut bisa bisa menyebabkan reaksi yang sama dengan monomer lainnya untuk menambah rantai polimer (polimerisasi adisi). Monomer-monomer yang bergabung satu sama lain menjadi rantai menyebabkan volume resin berkurang sehingga hasil akhir akan mengalami shrinkage (Hatrick dkk., 2011). Rantai polimer mempunyai kelompok kecil atom yang tidak bergantung pada sebelah sisi. Kelompok tersebut yang rantai polimernya berdekatan akan menyebarkan elektron dan membentuk ikatan kovalen yang menghubungkan kumpulan rantai (cross-linking). Cross-linking polimerisasi menghasilkan kekuatan tinggi, bahan menjadi lebih kaku daripada rantai polimer tunggal (Hatrick dkk., 2011).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
18
Gambar 2.6 Reaksi rantai suatu radikal bebas pada tahapan proses polimerisasi (Albers, 2002)
Resin komposit cenderung mengalami stress dan shrinkage saat proses polimerisasi. Stress polimerisasi timbul ketika resin komposit disinar dalam kondisi yang berikatan dan shrinkage polimerisasi akan menghasilkan suatu gaya di dalam dinding kavitas. Struktur gigi yang kaku dapat bertahan dari gaya ini, namun adanya tarikan dapat menyebabkan terbentuknya celah pada tepi restorasi atau kerusakan struktur gigi yang sehat oleh deformasi. Stress yang timbul akibat shrinkage polimerisasi tersebut dapat mengganggu perlekatan resin komposit dengan kavitas restorasi (Gambar 2.7) (Garg dan Garg, 2010).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
19
Gambar 2.7 Shrinkage polimerisasi menghasilkan celah di antara bahan restorasi dan permukaan gigi (Garg dan Garg, 2010)
2.2 Sistem Adhesif Secara terminologi, adhesi adalah proses perlekatan dari suatu substansi ke substansi yang lain. Permukaan atau substansi yang berlekatan disebut adherend. Adhesif adalah bahan yang biasanya berupa zat cair yang kental yang menggabungkan dua substansi hingga mengeras dan mampu memindahkan suatu kekuatan dari suatu permukaan ke permukaan yang lain. Bahan perekat atau bonding agent adalah bahan yang bila diaplikasikan pada permukaan suatu benda dapat melekat, dapat bertahan dari pemisahan dan dapat menyebarluaskan beban melalui perlekatannya (Gambar 2.8) (Perdigao dan Swift, 2009). Faktor yang efektif untuk membentuk perlekatan yang baik adalah permukaan yang bersih, kekasaran permukaan, sudut kontak, kelembaban yang sesuai, viskositas yang rendah dan daya alir yang kuat. Penurunan integritas adhesi marginal dapat menyebabkan celah mikro, sensitivitas pasca restorasi, lepasnya restorasi, patologi pulpa serta menurunkan ketahanan restorasi (Tanno dkk., 2011).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
20
ZAT PADAT ZAT PADAT ATAU ZAT CAIR ADHESI INTERFACE
ADHESIF ZAT PADAT ZAT PADAT
INTERFACE SAMBUNGAN ADHESI
ADHEREND
Gambar 2.8 Definisi terminologi sistem adhesif (Perdigao dan Swift, 2009)
Van Meerbeek dkk. mengklasifikasikan sistem adhesif menjadi dua bagian besar (Gambar 2.9) yaitu total etch dan self etch dengan subklasifikasi sebagai berikut (Meena dan Jain, 2011) :
Gambar 2.9 Klasifikasi mekanisme sistem adhesif (Meena dan Jain, 2011)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
21
1. Adhesif Etch-and-Rinse (disebut sebagai Total Etch) a. Three-step etch-and-rinse adhesives Sistem adhesif three-step total-etch mulai diperkenalkan pada awal tahun 1990 sebagai suatu perubahan baru dalam sistem adhesif kedokteran gigi. Pada saat dentin dietsa dengan asam fosfor dan kemudian dibilas, primers hidrofilik digunakan sebelum diaplikasikan pada lapisan yang sama dengan resin hidrofobik untuk menyempurnakan hibridisasi (Deliperi dkk., 2007).
b. Two-step etch-and-rinse adhesives Sistem adhesif two-step total-etch mulai diperkenalkan pada akhir tahun 1990 (Deliperi dkk., 2007). Fase etsa dan rinse yang terpisah masih menjadi suatu
masalah tetapi primer hidrofilik dan resin hidrofobik dikombinasikan menjadi satu aplikasi (Gambar 2.10) (Meena dan Jain, 2011).
Gambar 2.10 Mekanisme sistem adhesif two-step one-bottle total-etch (Meena dan Jain, 2011)
2. Adhesif Self-Etch a. Two-step self etch adhesives Sistem adhesif two-step self-etch mulai diperkenalkan pada akhir tahun 1990 (Deliperi dkk., 2007). Sistem adhesif two-step self-etch merupakan aplikasi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
22
terpisah antara self-etch primer dan resin hidrofobik dan pada umumnya primer yang sering digunakan adalah mild self-etch primer (Gambar 2.11) (Meena dan Jain, 2011). Sistem mild self-etch (pH ≤ 2) mampu menghilangkan sebagian smear layer dan berpenetrasi ke permukaan dentin, menghasilkan pembentukan resin tag dan lapisan hibrid yang kurang terlihat jelas dan yang lebih tipis daripada sistem adhesif total-etch (Deliperi dkk., 2007).
Gambar 2.11 Mekanisme sistem adhesif two-step two-bottle self-etch (Meena dan Jain, 2011)
b. One-step self-etch adhesives Sistem adhesif single-step self-etch mengkombinasikan self-etch primer dan resin hidrofobik menjadi satu aplikasi sehingga sering disebut sistem adhesif all-in-one (Gambar 2.12) (Meena dan Jain, 2011). Sistem adhesif single-step self-etch memiliki keasaman yang sedang atau kuat (pH ≤ 1) (Deliperi dkk., 2007).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
23
Gambar 2.12 Mekanisme sistem adhesif all-in one self-etch (Meena dan Jain, 2011)
2.5.1 Bonding terhadap Email Email adalah jaringan keras gigi yang termineralisasi tinggi dan terdiri dari 90% volume hidroksiapatit (Perdigao dan Swift, 2009). Bonding terhadap email terjadi melalui retensi mikromekanis setelah etsa asam digunakan untuk menghilangkan smear layers dan terutama untuk melarutkan kristal hidroksiapatit pada permukaan luar di antara permukaan lainnya (Powers dan Sakaguchi, 2006). Etsa asam mengubah permukaan email yang halus menjadi sebuah permukaan yang tidak beraturan dan meningkatkan energi permukaan. Ketika bahan cairan resin diaplikasikan pada permukaan teretsa yang tidak beraturan tersebut, resin akan berpenetrasi ke dalam permukaan dengan adanya aksi kapiler. Monomer terkandung dalam bahan berpolimerisasi dan bahan menjadi terkunci satu sama lain dengan permukaan email (Perdigao dan Swift, 2009). Sifat smear layer yang stabil terhadap asam menyebabkan keberadaan email smear layer tidak menimbulkan kendala pada bonding yang melibatkan penggunaan etsa asam (Eliades dkk., 2005). Mekanisme dasar dari perlekatan resin-email adalah pembentukan resin tags didalam permukaan email (Gambar 2.13). Resin tags yang terbentuk di sekitar enamel rods, yaitu di antara prisma-prisma email disebut dengan macrotags dan jaringan halus dari beberapa small tags yang terbentuk di tiap-tiap ujung rod di tempat larutnya kristal
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
24
hidroksiapatit disebut dengan microtags (Bayne dan Thompson, 2009; Perdigao dan Swift, 2009; Garg dan Garg, 2010).
Gambar 2.13 Pembentukan microtags dan macrotags ketika bahan bonding diaplikasikan ke permukaan gigi teretsa (Garg dan Garg, 2010)
2.5.2 Bonding terhadap Dentin Dentin mempunyai hambatan besar terhadap ikatan perlekatan dibandingkan email, karena dentin adalah jaringan hidup (Anusavice, 2003). Dentin bersifat heterogen dan terdiri atas bahan anorganik (hidroksiapatit) 50% volume, bahan organik (khususnya kolagen tipe I) 30% volume, cairan 20% volume. Perbedaan signifikan antara email dengan dentin adalah dentin mengandung lebih banyak air dan sangat hidrofilik (Anusavice, 2003; Powers dan Sakaguchi, 2006). Oleh karena itu, primers mempunyai komponen hidrofilik untuk menggeser cairan dentin dan juga membasahi permukaan, memungkinkan berpenetrasi menembus pori di dalam dentin dan akhirnya bereaksi dengan komponen organik atau anorganik serta menghasilkan microtags untuk adhesi mikromekanis (Anusavice, 2003). Bonding dentin terdiri atas tiga proses perlakuan yang berbeda, yaitu proses etsa etching (kondisioner), pemberian priming dan bonding (Powers dan Sakaguchi, 2006). Untuk penetrasi bahan priming secara optimal ke dalam dentin yang mengalami demineralisasi, permukaan dentin harus dijaga tetap lembab (moist) agar serat-serat kolagen tidak kolaps sehingga menghambat masuknya bahan priming dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
25
bonding. Kolagen merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan bonding terhadap dentin. Dengan mengetsa dentin, smear layer dan mineral hilang dari struktur dentin sehingga serat-serat kolagen terpapar (Garg dan Garg, 2010). Saat komponen mineral hidroksiapatit sebagai lapisan terluar dentin dihilangkan, dentin mengandung sekitar 50% ruangan kosong dan sisanya sekitar 20% air (Powers dan Sakaguchi, 2006). Air menjaga kolagen tetap berada dalam keadaan lembut sehingga ruang untuk infiltrasi juga terjaga. Serat-serat kolagen ini akan kolaps apabila kering dan jika matriks organik mengalami denaturasi. Hal ini akan menghambat resin mencapai permukaan dentin dan menghambat pembentukan lapisan hibrid (Garg dan Garg, 2010). Smear layer dapat mengurangi permeabilitas dentin dan sangat membantu bahan bonding yang bersifat hidrofobik dan menutupi tubulus dentin (Gambar 2.14) (Albers, 2002).
Gambar 2.14 SEM (Scanning Electron Micrograph) smear layer pada dentin (Albers, 2002)
Selain itu smear layer juga melekat ke permukaan dentin dan mengandung potongan gigi, saliva, bakteri dan debris pada permukaan lainnya (Gambar 2.15) (Albers, 2002).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
26
Gigi yang telah dipreparasi dan belum dilakukan perlakuan Tubulus dentin Smear layer pada permukaan dentin
Gambar 2.15 Diagram skematik yang menunjukkan histologi permukaan dentin dengan perlekatan smear layer (Albers, 2002)
Faktor yang mempengaruhi perlekatan dentin-resin yang buruk, yaitu (Baroudi dkk., 2007) : 1. Dentin adalah substrat yang bervariasi secara ekstrim dan berubah sepanjang waktu. 2. Dentin memiliki tingkat kalsifikasi yang bervariasi (lebih atau kurang sklerotik) dan perubahannya tergantung pada kedalaman dan sudut preparasi. 3. Perubahan struktural pada dentin yang dekat dengan pulpa membuat bahan adhesif lebih sulit untuk dilekatkan pada area tersebut. 4. Kesulitan untuk menghindari kontaminasi dentin yang dekat sulkus oleh cairan gingiva. 5. Shrinkage polimerisasi dapat melebihi kekuatan perlekatan dan menghasilkan celah/kebocoran tepi. 6. Bahan bonding dentin dapat menebal, karena evaporasi dari pelarut, mengurangi penetrasi dan kekuatan bonding.
2.3 Microleakage (Kebocoran Mikro) Celah yang terbentuk antara resin komposit dengan kavitas restorasi akibat shrinkage polimerisasi disebut microleakage (kebocoran mikro). Kebocoran mikro adalah jalan masuk bakteri, cairan, molekul atau ion di antara dinding kavitas dengan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
27
bahan restorasi, yang tidak terdeteksi secara klinis (Kidd, 1976). Secara klinis, kebocoran mikro dapat mengakibatkan pewarnaan di sekitar tepi restorasi, sensitivitas pasca-operatif, karies sekunder, kegagalan restorasi, patologi pulpa atau kematian pulpa, kehilangan sebagian atau keseluruhan restorasi (Eich dan Welch, 1986; Krejci dan Lutz, 1991). Resin komposit modern mengalami kontraksi volumetrik berkisar antara 2,6-4,8% (Losche, 1999). Bahkan apabila bahan adhesif dentin modern menunjukkan kekuatan adhesif terhadap dentin lebih besar daripada 20 MPa (melebihi stress kontraksi yang dihasilkan stress polimerisasi sebesar 13-17 MPa), total gaya kontraksi dapat lebih besar daripada kekuatan adhesif sehingga mengakibatkan terbentuknya kebocoran mikro (Eick dkk., 1997). Faktor C (C-factor / cavity configuration factor) juga berperan penting dalam menentukan besarnya shrinkage. Faktor C didefinisikan sebagai rasio antara permukaan kavitas yang di-bonding dengan yang tidak di-bonding. Meningkatnya rasio ini juga meningkatkan stress akibat shrinkage polimerisasi (Feilzer dkk., 1987). Salah satu masalah paling besar pada restorasi resin komposit Kelas II adalah kebocoran mikro pada tepi gingival dari box proksimal. Hal ini berhubungan dengan tidak adanya email pada tepi gingival, yang mengakibatkan substrat sementum-dentin yang kurang stabil untuk proses bonding (Carvalho dkk., 1996). Cagidiaco dkk. menunjukkan adanya lapisan luar yang terbentuk sebagian oleh sementum yang berada di bawah cemento-enamel junction yang tidak memungkinkan retensi mikromekanis oleh bahan adhesif (Cagidiaco dkk., 1995). Selain itu, orientasi tubulus dentin dapat berpengaruh negatif terhadap kualitas hibridisasi dan memungkinkan kebocoran pada restorasi resin komposit yang ditempatkan pada box interproksimal yang dalam (Schupbach dkk., 1990). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa fraktur mikro email dapat terjadi di sepanjang tepi restorasi segera setelah polimerisasi resin komposit yang di-bonding pada email yang di-etsa dan mengakibatkan kebocoran mikro pada daerah tersebut (Han dkk., 1990). Faktor penyebab lainnya adalah koefisien ekspansi termal (Yazici dkk., 2003). Koefisien ekspansi termal resin komposit, yaitu 25-60 ppm/°C, beberapa kali lebih UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
28
besar daripada koefisien ekspansi termal email (11,4 ppm/°C) dan koefisien ekspansi termal dentin (8 ppm/°C) (McCabe dan Walls, 1998). Penelitian menunjukkan bahwa sifat fisik ini juga menyebabkan kebocoran mikro pada restorasi resin komposit (Feilzer dkk., 1988). Selain itu, pergerakan mikro restorasi sepanjang dinding kavitas sebagai akibat ketidakcocokan modulus elastisitas antara gigi dan resin komposit dapat berkontribusi pada kegagalan perlekatan mekanis sehingga menyebabkan kebocoran mikro (Lundin dan Noren, 1991).
2.4 Desain Kavitas Faktor lain penyebab kegagalan restorasi Kelas II resin komposit adalah kurangnya pemahaman dan keterampilan operator atau dokter gigi dalam membuat suatu desain kavitas yang tepat, khususnya pada daerah gingival floor (Widjaja, 1999). Beberapa peneliti telah menggunakan bermacam-macam desain kavitas Kelas II, mulai dari variasi desain kavitas preparasi Kelas II amalgam yang meluas melalui groove oklusal seperti yang digambarkan oleh GV Black (Ben-Amar dkk., 1987), desain kavitas berbentuk slot (hanya box proksimal) (Summitt dkk., 1994), sampai ke desain kavitas dengan preparasi minimal berbentuk saucer (Nordbo dkk., 1993).
2.4.1 Desain Kavitas Menurut Ben-Amar dkk. (1987) Ben-Amar dkk. (1987) menjelaskan prinsip-prinsip desain kavitas restorasi Kelas II resin komposit yang harus berbeda dengan desain kavitas restorasi amalgam dalam hal sebagai berikut : 1. Bentuk oklusal harus lebih sempit dan kedalaman kavitas harus lebih dangkal (Gambar 2.16) 2. Perluasan proksimal (fasial dan lingual) harus ditempatkan pada daerah yang dapat dilihat, diperiksa, dan di-polish 3. Garis sudut internal harus dibulatkan dan groove retensi ditempatkan pada garis sudut proksimal (aksiofasial dan aksiolingual) dan dinding gingival (Gambar 2.17) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
29
4. Bevel direkomendasikan untuk margin proksimal, tetapi tidak untuk margin oklusal (Gambar 2.18)
A
B
Gambar 2.16 Bentuk oklusal pada preparasi kavitas Kelas II gigi molar mandibula. A. Desain kavitas untuk restorasi amalgam; B. Desain kavitas untuk resin komposit (Ben-Amar dkk.,1987)
Gambar 2.17 Dinding gingival preparasi kavitas Kelas II resin komposit. Groove retensi ditempatkan pada dentin dan tepi email di-bevel (Ben-Amar dkk.,1987)
Gambar 2.18 Pandangan proksimal preparasi Kelas II resin komposit (Ben-Amar dkk.,1987)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
30
2.4.2 Desain Kavitas Menurut Summitt dkk. (1994) Summitt dkk. (1994) dalam penelitiannya membuat empat macam desain kavitas Kelas II resin komposit untuk mengevaluasi beban yang diaplikasikan pada marginal ridge masing-masing desain kavitas (Gambar 2.19), antara lain : 1. Desain kavitas mesio-oklusal dengan perluasan melalui groove oklusal sampai fossa sentral 2. Desain kavitas slot mesio-oklusal (sedikit meluas ke dinding bukal dan lingual, tegak lurus dengan permukaan gigi bagian luar) dan dengan groove retensi pada gingival floor, garis sudut aksiobukal dan aksiolingual. 3. Desain kavitas slot mesio-oklusal seperti No. 2, tetapi tanpa groove retensi 4. Desain kavitas slot-mesio-oklusal tanpa membuang email bagian bukal dan lingual dan tanpa groove retensi
Gambar 2.19 Desain kavitas Kelas II resin komposit : a. Perluasan melalui groove oklusal, b. Slot dengan groove retensi, c. Slot tanpa groove retensi, d. Slot tanpa membuang email pada daerah proksimal dan tanpa groove retensi (Summitt dkk., 1994)
Hasilnya, rata-rata kegagalan yang terjadi pada kavitas kelompok 1 dan 2 tidak mempunyai perbedaan yang bermakna, dan lebih resisten terhadap terjadinya kegagalan jika dibandingkan dengan desain kavitas kelompok 3 dan 4. Sementara
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
31
rata-rata kegagalan restorasi antara desain kavitas pada kelompok 3 dan 4 tidak bermakna. Kegagalan restorasi pada marginal ridge dalam restorasi Kelas II resin komposit yang diperluas melalui groove oklusal sampai ke fossa sentral tidak bermakna lebih besar daripada rata-rata kegagalan yang terjadi pada restorasi bentuk slot proksimal dengan groove retensi, namun restorasi bentuk slot dengan groove retensi lebih resisten terhadap terjadinya kegagalan restorasi daripada bentuk slot proksimal tanpa groove retensi (Summitt dkk., 1994). Pada kavitas yang diperluas melalui groove oklusal sampai ke fossa sentral, kegagalan restorasi terjadi berupa fraktur bahan resin komposit pada daerah isthmus, yang disebabkan aksi pengunyahan dan pengaruh panas yang terutama ditujukan pada permukaan oklusal restorasi, sehingga pemakaian resin komposit merupakan kontraindikasi terhadap preparasi rutin pada kavitas yang diperluas melalui groove oklusal. Dengan kata lain, restorasi Kelas II resin komposit lebih berhasil pada gigi posterior yang lesi kariesnya terletak pada daerah aproksimal dan tidak meluas sampai ke groove oklusal. Sedangkan pada restorasi bentuk slot, kegagalan restorasi terjadi oleh karena terjadi fraktur pada struktur gigi dan displacement dari restorasi (Summitt dkk., 1994).
2.4.3 Desain Kavitas Menurut Nordbo dkk. (1993) Nordbo dkk. (1993) meneliti gigi-gigi premolar dan molar satu dengan lesi karies Kelas II yang kecil, yang dipreparasi menurut prinsip-prinsip preparasi minimal, yakni hanya membuang jaringan karies yang terlibat karies. Karies yang mengenai dentin juga dibuang. Bevel 1 mm dibuat pada tepi email, dan tubulus dentin yang terbuka dilapisi dengan kalsium hidroksida (Gambar 2.20).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
32
Gambar 2.20 Outline form kavitas saucer. Daerah titik menandakan email yang dipreparasi (Nordbo dkk., 1993)
Setelah preparasi selesai, dilakukan etsa pada permukaan email dan aplikasi bahan bonding, kemudian ditumpat dengan bahan resin komposit (Gambar 2.21). Teknik penempatan bahan dilakukan secara incremental dengan ketebalan 1-2 mm dan setiap increment dipolimerisasi melalui penyinaran (Nordbo dkk., 1993).
Gambar 2.21 Convenience form kavitas saucer (Nordbo dkk., 1993)
Setelah tiga tahun pemeriksaan, 82% restorasi masih mempunyai kondisi yang baik, dan sisanya 18% mengalami kegagalan oleh karena beberapa hal seperti terjadi karies rekuren terutama pada tepi gingival bagian proksimal, kerusakan pada marginal ridge, hilangnya kontak proksimal, dan adaptasi marginal yang tidak baik (Nordbo dkk., 1993).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
33
Modifikasi perluasan bevel di gingival floor dengan teknik penempatan secara incremental dapat mengurangi terjadinya kebocoran mikro pada daerah ini (Gambar 2.22) (Nordbo dkk., 1993).
Gambar 2.22 Teknik penempatan secara incremental untuk mengisi kavitas saucer (Nordbo dkk., 1993)
Di samping melindungi struktur gigi yang sehat, outline yang konservatif pada kavitas bentuk saucer ini juga dapat mencegah migrasi gigi ke mesial yang berasal dari pemakaian bahan restorasi di bagian aproksimal, karena hanya membuang daerah kontak yang sedikit pada permukaan buko-oklusal. Bila dibandingkan dengan preparasi konvensional Kelas II, preparasi bentuk saucer ini juga dapat mengurangi pembuangan dentin dan resiko terkenanya gigi tetangga pada saat melakukan preparasi kavitas (Nordbo dkk., 1993). Preparasi kavitas bentuk saucer telah dapat mengatasi kekurangankekurangan yang terdapat pada kavitas Kelas II tradisional yang ditumpat dengan bahan resin komposit, seperti hilangnya jaringan sehat yang banyak, kontak oklusal gigi antagonis yang besar, dan tepi email gingival yang kurang baik (Nordbo dkk., 1993). Keefektifan kavitas bentuk saucer ini telah diteliti kembali oleh Nordbo dkk. pada tahun 1998 dengan prosedur restorasi yang sama terhadap 59 kavitas dan berhasil hingga 30% sampai 10 tahun. Keberhasilan ini mungkin disebabkan karena
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
34
pengalaman operator yang semakin meningkat dalam melakukan preparasi kavitas dan prosedur restorasi (Nordbo dkk., 1998).
2.5 Sistem Matriks Gigi-geligi manusia didesain sedemikian rupa sehingga gigi secara individu mendukung dirinya sendiri serta secara kolektif mendukung sistem stomatognatik. Setiap gigi tertanam dalam soket tulang alveolar dengan serat-serat periodontal yang halus. Serat-serat ini berfungsi sebagai bantalan. Kontak antara gigi yang tidak baik akan
menambah beban pada membran periodontal dan tulang alveolar, yang
mungkin tidak mampu diatasinya (Sikri, 2008). Kegagalan untuk mempertahankan hubungan ini tidak hanya akan menyebabkan kegagalan prematur restorasi, tetapi juga masalah periodontal serta permulaan karies di sekitar struktur gigi yang berdekatan. Pemahaman yang baik tentang hubungan interproksimal ini akan membantu klinisi untuk mempertahankan struktur gigi dengan baik. Untuk mencapai kontak yang ideal, seorang klinisi harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang bentuk gigi yang ideal. Kondisi yang ideal ini sering dirusak oleh tegangan, pengausan, iritan lokal, bentuk gigi yang tidak baik, dan prosedur dental yang tidak sempurna. Fungsi kontak proksimal yang paling penting adalah perlindungan terhadap papila interdental (Sikri, 2008). Suatu sistem matriks terdiri dari 3 komponen, yaitu : matriks, matrix retainer, dan wedge. Matriks merupakan suatu alat yang digunakan untuk membentuk kontur restorasi untuk menyerupai kontur struktur gigi yang digantikannya. Matriks harus membentuk kontur restorasi yang akan dilakukan secara tiga dimensi dengan tepat (termasuk daerah kontak). Matriks tidak hanya harus immobile ketika bahan restorasi setting, tetapi matriks juga harus tidak bereaksi dengan bahan restorasi. Matriks juga harus mudah dilepaskan setelah pengerasan bahan restorasi tanpa mengorbankan kontak proksimal yang telah dibuat dan kontur bahan restorasi (Sikri, 2008). Matrix retainer merupakan alat yang digunakan untuk mempertahankan matrix band pada posisinya. Beberapa matriks tidak membutuhkan alat mekanis UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
35
khusus untuk mempertahankan posisinya. Beberapa matriks mungkin membutuhkan retainer sederhana seperti benang sutra dan dental floss. Beberapa matriks membutuhkan retainer mekanis khusus. Beberapa matrix retainer yang umum digunakan adalah Ivory No. 1 dan 8, Siqveland, dan Tofflemire (Gambar 2.23 dan 2.24) (Sikri, 2008).
Gambar 2.23 Matrix retainer (a) Ivory No. 8, (b) Ivory No. 1 (c) Tofflemire (Sikri, 2008)
Gambar 2.24 Matrix retainer Siqveland (Sikri, 2008)
Wedge merupakan komponen ketiga sistem matriks. Akan tetapi, dengan melihat sejumlah gambaran radiografis tambalan amalgam proksimal, overhanging dilaporkan hingga 50 persen dari semua restorasi. Tekanan kondensasi yang diperlukan untuk adaptasi gingiva yang tepat dari bahan restorasi menyebabkan bahan restorasi yang berlebih jika wedge tidak digunakan (Sikri, 2008). Secara umum, sebuah wedge harus berpenampang melintang segitiga atau trapesium. Lebar bagian dasar harus sedikit lebih besar daripada ruang antara gigi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
36
yang akan direstorasi dengan gigi tetangga untuk memisahkan gigi. Akan tetapi, wedge tidak boleh terlalu tebal ke arah oklusal karena hal ini dapat mempengaruhi kontur proksimal. Jika wedge tidak cukup tinggi, hanya titik kontak antara wedge dan matriks yang tercapai. Hal ini dapat menyebabkan kontur yang buruk atau pergeseran wedge selama kondensasi. Kehilangan titik kontak dapat terjadi jika tinggi penampang melintang wedge terlalu besar (Sikri, 2008). Pada restorasi kelas II resin komposit khususnya, kontak terbuka dapat menyebabkan impaksi makanan pada daerah interproksimal sehingga terjadi inflamasi dan penyakit periodontal (Padbury dkk., 2003) dan juga karies rekuren (Ash, 2003). Tercapainya kontak interproksimal yang tepat dan kontur yang cembung membutuhkan matriks yang dikontur dengan baik, yang distabilisasi dan diadaptasi pada gingiva dengan wedge yang ditempatkan dengan baik (Varlan dkk., 2008). Penggunaan sistem matriks sirkumferensial seperti matriks dan retainer logam Tofflemire yang tidak dikontur dan apabila dikonturpun, hanya distabilisasi pada gingiva dengan wedge dan tanpa separasi gigi, akan sering menghasilkan kontak terbuka atau ringan (Wirshing dkk., 2008). Oleh sebab itu, saat ini telah dikembangkan kombinasi sistem matriks seksional dengan cincin separasi yang dapat menghasilkan kontak interproksimal yang lebih baik (Loomans dkk., 2006; Saber dkk., 2010) dan tepi marginal yang lebih kuat (Loomans dkk., 2008). Salah satu contoh sistem matriks seksional dengan cincin separasi adalah V3 Ring (Triodent). Sistem matriks ini tersedia dalam 2 ukuran, universal dan narrow (Gambar 2.25) (Boksman, 2010).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
37
Gambar 2.25 Cincin separasi V3 Ring (Boksman, 2010)
Cincin separasi yang berukuran lebih kecil ini memungkinkan tekanan yang konstan bahkan apabila ruang embrasur antara kedua gigi lebih sempit seperti apabila cincin tersebut ditempatkan di antara gigi-gigi premolar. Cincin ini dibuat dari nikel titanium yang mempunyai memori elastis yang tinggi. Tine plastik berbentuk V memungkinkan cincin separasi mudah ditempatkan di atas wedge. Lekukan pada bagian dalam cincin separasi membuat cincin lebih stabil ketika dipegang dengan forcep. Forcep mempunyai lekukan di bagian dalam untuk memungkinkan retensioning dari cincin separasi. Matrix band tidak hanya didesain dengan kontur membulat, tetapi juga dengan kontur ridge marginal, yang apabila ditempatkan pada tinggi interproksimal yang tepat, akan membentuk embrasur oklusal sehingga mudah di-finishing. Matrix band mempunyai lubang yang memungkinkannya mudah ditempatkan dengan pin tweezer, dan juga terdapat lubang di bagian lateral untuk memudahkan pengeluaran matrix band setelah restorasi (Gambar 2.26) (Boksman, 2010).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
38
Gambar 2.26 Matrix band V3 Ring (Boksman, 2010)
Wedge yang digunakan (Wave-Wedge) mempunyai bentuk yang unik yang memungkinkan wedge tetap berada di daerah interproksimal untuk beradaptasi dengan matrix band dan melindungi jaringan dan rubber dam tanpa memberikan gaya separasi (Gambar 2.27) (Boksman, 2010).
Gambar 2.27 Wave-Wedge (Boksman, 2010)
2.6 Gaya-gaya yang Diterima Gigi Selama Pengunyahan Berbagai jenis gaya diberikan pada gigi selama pergerakan mandibula dan juga selama pengunyahan. Karena permukaan gigi melengkung atau miring, gayagaya ini tidak hanya vertikal tapi jenis gaya-gaya lain juga dapat diberikan pada permukaan tersebut. Gigi, pada gilirannya, melawan gaya-gaya ini dengan bantuan membran periodontal dan tulang alveolar (Sikri, 2008). Jika permukaan datar dan tegak lurus terhadap gaya pengunyahan, hanya gaya-gaya vertikal yang akan ambil bagian. Namun pada permukaan yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
39
melengkung, gaya-gaya lain juga timbul dan gaya-gaya yang dihasilkan mungkin tidak diberikan sepanjang sumbu panjang gigi (Gambar 2.28). Fenomena ini dapat dipahami dengan mempelajari penyaluran gaya pada bidang miring. Bidang cusp dianggap sebagai bidang miring (Sikri, 2008).
Gambar 2.28 Reaksi terhadap gaya-gaya oklusal (a) Dasar yang rata (b) Dasar yang melengkung (Sikri, 2008)
Keseimbangan dapat dipertahankan jika lebih dari satu gaya diberikan pada gigi atau gaya-gaya disalurkan pada kedua arah. Gambar 2.29 menunjukkan bagaimana gaya-gaya bekerja pada bidang miring cusp. AB merupakan garis singgung yang ditarik pada bidang miring atau kontak antara dua cusp. Sudut 'α' mewakili sudut yang dibuat dengan garis horizontal AC dengan garis singgung AB pada kontak cusp. M merupakan gaya pengunyahan dan N merupakan gaya yang disalurkan. M tegak lurus terhadap garis horizontal AC dan N tegak lurus terhadap bidang miring, yaitu garis singgung AB, dan H merupakan komponen horizontal gaya yang disalurkan, yang mempertahankan keseimbangan. Seiring dengan menurunnya sudut 'α', yaitu berkurangnya bidang miring, N dan H menjadi lebih pendek dan akhirnya bersatu dengan M yaitu sama dengan nol (Sikri, 2008).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
40
Gambar 2.29 Gaya-gaya yang bekerja pada bidang miring cusp (Sikri, 2008)
Efek friksi antara cusp juga memainkan peranan penting. Friksi merupakan resistensi terhadap gerakan geser sebuah benda terhadap benda lain dan koefisien friksi merupakan perbandingan gaya friksi terhadap gaya normal (Sikri, 2008). Sering kali, dua atau lebih permukaan dengan kemiringan tertentu yang berhadapan satu sama lain pada sebuah gigi berkontak dengan cusp bukal dan lingual dari gigi yang berlawanan atau berkontak dengan cusp bukal dan lingual dan ridge marginal. Kondisi ini berperan dalam keseimbangan yang baik dalam oklusi dan dalam kasus kontak yang tidak normal, dapat menjelaskan terlepasnya restorasi atau fraktur gigi. Efek yang dihasilkan disebut sebagai wedging effect (Sikri, 2008). Komponen horizontal gaya normal yang menyebabkan wedging effect ini. Komponen-komponen horizontal yang dibentuk oleh kemiringan ini sama besar dan berlawanan dan cenderung mendorong permukaan miring sehingga terpisah. Ketika beban diaplikasikan pada gigi, tegangan didistribusikan baik sejajar terhadap sumbu panjang dan tegak lurus terhadap sumbu panjang. Gaya atau beban diaplikasikan pada daerah yang berbeda pada satu waktu dan distribusi tegangan bergantung pada berbagai faktor (Sikri, 2008) : 1. Jika penampang melintang daerah tersebut konstan, distribusi tegangan praktis seragam.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
41
2. Jika terdapat variasi penampang melintang (daerah tersebut biasanya disebut sebagai prisma), tegangan bervariasi dari titik ke titik, berbanding terbalik dengan luas. 3. Jika terjadi perubahan luas penampang melintang secara tiba-tiba, konsentrasi tegangan yang lebih besar terjadi pada titik tersebut. Pada beban vertikal, akan terjadi tegangan geser (shear stress) dalam prisma di bidang manapun. Tegangan geser ini meningkat menjadi maksimum pada sudut 45° dan kemudian menurun menjadi nol pada sudut 90°. Oleh karena itu, bahan yang lebih lemah dalam tegangan geser daripada tegangan tekan (compression stress) atau tegangan tarik (tension stress) akan pecah pada bidang dengan sudut 45° terhadap sumbu (Sikri, 2008). Modulus elastisitas bahan merupakan sifat yang penting dan harus diperhatikan. Jika kavitas direstorasi dengan inlay emas atau porselen, modulus elastisitasnya bervariasi antara gigi dan bahan restorasi. Dengan gaya vertikal yang diberikan pada keduanya, tegangan tekan akan sama untuk restorasi dan gigi, tetapi karena emas/porselen jauh lebih kaku, bahan-bahan ini akan menerima tegangan yang besar. Karena S = δE S (tegangan) = δ (unit regangan) x E (modulus elastisitas) (Sikri, 2008) Apabila gaya diaplikasikan tegak lurus terhadap sumbu prisma, penyaluran resultan dikenal sebagai beam. Beam dapat didukung dari kedua ujung (beam sederhana) dan dapat didukung dari satu ujung (beam Cantilever). Preparasi MOD merupakan contoh beam sederhana sedangkan preparasi MO/DO merupakan contoh beam cantilever. Retensi restorasi bergantung pada beam ini, meskipun kekuatan dan defleksi bahan juga berperan. Momen gaya = Gaya x jarak tegak lurus (Sikri, 2008) Momen lentur berada pada axiopulpal line angle, yang cenderung untuk merotasi restorasi dari kavitas. Retensi gingival dengan momen yang sama dengan F x L diperlukan untuk melawan momen ini. Gaya retensi total (R) adalah sama dengan F x L/l di mana l merupakan kedalaman dinding aksial. Dengan mempertimbangkan UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
42
kedalaman dinding gingival (d), maka R dan d akan berada pada arah yang sama, sehingga momen gaya sama dengan nol. Oleh karena itu, kedalaman dinding gingival tidak berperan dalam retensi (Gambar 2.30) (Sikri, 2008).
Gambar 2.30 Momen gaya pada preparasi MO/DO (F = gaya yang diaplikasikan; L = jarak tegak lurus; R = gaya retensi total; l = kedalaman dinding aksial; d = kedalaman dinding gingival) (Sikri, 2008)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
43
2.7 Kerangka Teori Restorasi Resin Komposit Kelas II Kekuatan bonding yang kurang baik dan tidak mampu menahan stress shrinkage pada saat polimerisasi menyebabkan kerusakan tepi. Upaya pencegahan ?
Kebocoran mikro
Sistem adhesif self-etch one-step Self-etch dengan asam primer modifikasi smear layer, demineralisasi dentin dan ekspos kolagen. Adhesif berikatan dengan kolagen terekspos lapisan hibrid
Teknik Penempatan Secara Bulk
Desain Kavitas Berbentuk Saucer
Minimal intervention Melindungi struktur gigi yang sehat Sedikit membuang daerah kontak pada permukaan buko-oklusal
Teknik Penempatan Secara Incremental
Sistem Matriks Sirkumferensial
Sistem Matriks Seksional
Gaya (load) sesuai fungsi mastikasi
Kebocoran mikro ?
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA