BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Melitus 1. Pengertian Diabetes adalah suatu penyakit, dimana tubuh penderitanya tidak bisa secara otomatis mengendalikan tingkat gula (glukosa) dalam darahnya. Pada tubuh yang sehat, pankreas melepas hormon insulin yang bertugas mengangkut gula melalui darah ke otot – otot dan jaringan lain untuk memasok energi (Sustrani, Alam, & Hadibroto, 2006). Diabetes adalah perubahan menetap dalam sistem kimiawi tubuh yang mengakibatkan darah mengandung terlalu banyak gula. Penyebabnya adalah kekurangan hormon insulin. Hormon adalah unsur kimia yang dibuat oleh tubuh (dalam hal ini pankreas) dan dilepas ke dalam aliran darah untuk digunakan oleh bagian tubuh yang membutuhkannya. Ada orang yang sama sekali tak dapat menghasilkan insulin seperti pada tipe 1. Namun pada tipe 2, mungkin insulin hanya diproduksi sedikit, dan respon tubuh terhadap hormon itu menurun. Ini disebut kekebalan insulin (Ryadi, 2003).
Diabetes melitus (DM) adalah penyakit metabolik yang berlangsung kronik progresif, dengan gejala hiperglikemi yang disebabkan oleh gangguan sekresi insulin, gangguan kerja insulin, atau keduanya (Darmono, 2007). Diabetes melitus adalah suatu kondisi dimana kadar gula di dalam darah lebih tinggi dari biasa/normal (Normal: 60 mg/dl sampai dengan 145 mg/dl), karena tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan hormon insulin secara cukup(Maulana, 2009). 2. Klasifikasi Diabetes Orang sering berpikir hanya ada satu jenis penyakit diabetes. Dengan demikian, mereka mengira bahwa asal ada satu obat tertentu yang bisa menurunkan gula, cukup mengonsumsi obat itu dan menganjurkan kepada semua orang. Padahal, glukosa dalam darah sesungguhnya dapat naik
9
10
melalui beberapa cara. Maka, Anda harus lebih dulu mengenal macam – macam penyakit diabetes. Menurut Tandra (2009), terdapat empat tipe diabetes melitus, yaitu diabetes tipe 1, diabetes tipe 2, diabetes gestasional dan diabetes sekunder yang semuanya akan dijelaskan di bawah ini : a. Diabetes Tipe 1 Diabetes tipe 1 adalah diabetes dimana pankreas sebagai pabrik insulin tidak dapat atau kurang mampu membuat insulin, akibatnya insulin tubuh kurang atau tidak ada sama sekali, gula menjadi menumpuk dalam peredaran darah karena tidak dapat diangkut ke dalam sel. Penyakit ini biasanya timbul pada usia anak atau remaja, dapat pada pria maupun wanita, biasanya gejala timbul mendadak dan bisa berat sampai koma apabila tidak segera ditolong dengan suntikan insulin. Dari semua penderita diabetes, 5 – 10 persen adalah tipe 1. Di Indonesia, statistik mengenai diabetes tipe 1 belum ada, diperkirakan hanya sekitar 2 – 3 persen, mungkin karena sebagian tidak terdiagnosa atau tidak diketahui, lalu si anak sudah terkena komplikasi dan terlanjur meninggal (Tandra, 2009). b. Diabetes Tipe 2 Diabetes tipe 2 atau diabetes melirus tidak tergantung insulin disebabkan karena kegagalan relatif sel beta dan resistensi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel beta tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi insulin, kemampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain, berarti sel beta pankreas mengalami desentisiasi terhadap glukosa (Ryadi, 2011). c. Diabetes Pada Kehamilan / Diabetes Gestasional Diabetes yang terjadi pada saat hami disebut diabetes tipe gestasi atau gestational diabetes. Keadaan ini terjadi karena pembentukan beberapa
11
hormon pada wanita hamil yang menyebabkan resistensi insulin (Tandra, 2009). d. Diabetes Sekunder Ada pula diabetes yang tidak termasuk kelompok di atas, yaitu diabetes yang terjadi sekunder atau akibat dari penyakit lain, yang mengganggu produksi insulin, atau mempengaruhi kerjanya insulin. Contohnya adalah peradangan pankreas (pankreatitis), gangguan kelenjar adrenal atau hipofisis, penggunaan hormon kortikosteroid, pemakaian beberapa obat anti hipertensi atau anti kolesterol, malnutrisi atau infeksi (Ryadi, 2003). 3. Etiologi Menurut Smeltzer & Bare (2002) dan Sustrani, Alam, & Hadibroto (2006), berdasarkan tipe – tipe diabetes melitus di atas, terdapat bebagai faktor penyebab atau etiologi yang berbeda pada tiap tipenya, yaitu: a. Diabetes Tipe 1 1) Faktor – Faktor Genetik Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe 1 itu sendiri, tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik kearah terjadinya diabetes tipe 1. Kecenderungan genetik ini ditentukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA (human leucocyte antigen)
tertentu.
HLA
merupakan
kumpulan
gen
yang
bertanggung jawab atas antigen transplantasi dan proses imun lainnya. Sembilan puluh lima pasien berkulit putih (Caucasian) dengan diabetes tipe 1 memperlihatkan tipe HLA yang spesifik (DR3 atau DR4). Risiko terjadinya diabetes tipe 1 meningkat tiga hingga lima kali lipat pada individu yang memiliki salah satu dari kedua tipe HLA ini. Risiko tersebut meningkat sampai 10 hingga 20 kali lipat pada individu yang memiliki tipe HLA DR3 maupun DR4 (jika dibandingkan dengan populasi umum).
12
2) Faktor – Faktor Imunologi Pada diabetes tipe 1 terdapat bukti adanya suatu respons otoimun. Respons ini merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah – olah sebagai jaringan asing. Otoantibodi terhadap sel – sel pulau Langerhans dan insulin endogen (internal) terdeteksi pada saat diagnosis dibuat dan bahkan beberapa tahun sebelum timbulnya tanda – tanda klinin diabetes tipe 1. Riset dilakukan untuk mengevaluasi efek preparat imunosupresif terhadap perkembangan penyakit pada pasien diabetes tipe 1 yang baru terdiagnosis atau pada pasien pradiabetes (pasien
dengan
antibodi
yang
terdeteksi
tetapi
tidak
memperlihatkan gejala klinis diabetes). Riset lainnya menyelidiki efek protektif yang ditimbulkan insulin dengan dosis kecil terhadap fungsi sel beta. 3) Faktor – Faktor Lingkungan Penyelidikan juga sedang dilakukan terhadap kemungkinan faktor – faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel beta. Sebagai contoh, hasil penyelidikan yang menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi sel beta. b. Diabetes Tipe 2 Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe 2 masih belum diketahui. Faktor genetik diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Selain itu terdapat pula faktor – faktor risiko tertentu yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes tipe 2. Faktor – faktor ini, yaitu : usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas 65 tahun), obesitas, riwayat keluarga, dan stres (Sustrani, Alam, & Hadibroto, 2006).
13
c. Diabetes Gestasional 1) Umur ibu hamil lebih dari 30 tahun 2) Riwayat DM dalam keluarga 3) Obesitas d. Diabetes Sekunder 1) Penyakit Pankreas (terutama pankreas kronik yang biasa dialami oleh pencandu alkohol) 2) Hormon yang abnormal (termasuk yang diakibatkan oleh pengguna steroid) 3) Gangguan penerimaan insulin 4) Sindrom genetik tertentu Obat – obat tertentu yang dapat meningkatkan kadar gula darah menjadi tinggi, misalnya : glukokortikoid, furosemida, thiazide, produk yang mengandung estrogen, dan beta blocker. 4. Manifestasi Klinik Menurut Sustrani, Alam, & Hadibroto (2006), terdapat beberapa gejala dalam diabetes melitus. Gejala – gejala tersebut sering terabaikan karena dianggap sebagai keletihan akibat kerja. Jika glukosa darah sudah tumpah ke saluran urine, sehingga bila urine tersebut tidak disiram akan dikerubungi oleh semut adalah tanda adanya gula. Gejala lain yang biasanya muncul, adalah : a. Cepat lelah, kehilangan tenaga, dan merasa tidak fit b. Sering buang air kecil c. Terus – menerus lapar dan haus d. Kelelahan yang berkepanjangan dan tidak ada penyebabnya e. Mudah sakit yang berkepanjangan f. Penglihatan kabur g. Luka yang lama sembuh h. Kaki terasa kebas, geli, atau merasa terbakar i. Infeksi jamur pada saluran reproduksi wanita j. Impotensi pada pria
14
5. Komplikasi Menurut
Maulana (2009), diabetes melitus sering disebut dengan the
great imitator, yaitu penyakit yang dapat menyerang semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai keluhan. Penyakit ini timbul secara perlahan – lahan, sehingga seseorang tidak menyadari adanya berbagai perubahan dalam dirinya. Karena itu jelas bahwa diabetes bisa menjadi penyebab terjadinya komplikasi baik yang akut maupun kronis. a. Komplikasi akut Komplikasi akut terjadi jika kadar glukosa seseorang meningkat atau menurun dengan tajam dalam waktu yang relatif singkat. Kadar glukosa bisa menurun drastis jika penderita menjalani diet yang terlalu ketat. Perubahan yang besar dan mendadak dapat berakibat fatal. Dalam komplikasi akut dikenal beberapa istilah sebagai berikut : 1) Hipoglikemia yaitu keadaan seseorang dengan kadar glukosa darah di bawah nilai normal. Gejala hipoglikemia ditandai dengan munculnya rasa lapar, gemetar, mengeluarkan keringat, berdebar – debar, pusing, gelisah, dan penderita bisa menjadi koma. 2) Ketoasidosis diabetik – koma diabetik yang diartikan sebagai keadaan tubuh yang sangat kekurangan insulin dan bersifat mendadak akibat infeksi, lupa suntik insulin, pola makan yang terlalu bebas atau stress. 3) Koma hiperosmoler non ketotik yang diakibatkan adanya dehidrasi berat, hipotensi, dan shock. Karena itu, koma hiperosmoler non ketotik diartikan sebagai keadaan tubuh tanpa penimbunan lemak yang menyebabkan penderita menunjukkan pernapasan yang cepat dan dalam (kusmaul). 4) Koma lako asidosis yang diartikan sebagai keadaan tubuh dengan asam laktat yang tidak dapat diubah menjadi bikarbonat. Akibatnya, kadar asam laktat dalam darah meningkat dan seseorang bisa mengalami koma.
15
b. Komplikasi Kronis Komplikasi kronis diartikan sebagai kelainan pembuluh darah yang akhirnya bisa menyebabkan serangan jantung, gangguan fusi ginjal, dan gangguan saraf. Komplikasi kronis sering dibedakan berdasarkan bagian tubuh yang mengalami kelainan, seperti kelainan di bagian mata, mulut, jantung, urogenital, saraf, dan kulit. Tabel 2.1 Komplikasi Jangka Panjang Diabetes menurut Maulana (2009) Organ / Jaringan Yang Terkena Pembuluh Darah
Mata
Ginjal
Saraf
Yang Terjadi
Komplikasi
Plak ateroklerotik terbentuk dan menyumbat arteri berukuran besar atau sedang di jantung, tunkai dan penis. Dinding pembuluh darah kecil mengalami kerusakan sehingga pembuluh tidak dapat mentransfer oksigen secara normal dan mengalami kebocoran. Terjadi kerusakan pada pembuluh darah kecil retina.
Sirkulasi yang jelek menyebabkan penyembuhan luka yang jelek dan bisa menyebabkan penyakit jantung, stroke, gangren kaki dan tangan, impoten dan infeksi.
a. Penebalan pembuluh ginjal b. Protein bocor ke dalam air kemih c. Darah tidak disaring secara normal Kerusakan saraf karena glukosa tidak dimetabolisir secara normal dan karena aliran darah berkurang
Sistem saraf otonom
Kerusakan pada saraf yang mengendallikan tekanan darah dan saluran pencernaan
Kulit
Berkurangnya aliran darah ke kulit dan hilangnya rasa yang menyebabkan cedera berulang
Darah
Gangguan fungsi sel darah putih
Gangguan penglihatan dan pada akhirnya bisa terjadi kebutaan. a. Fungsi ginjal yang buruk b. Gagal ginjal
a. Kelemahan tungkai yang terjadi secara tiba – tiba atau secara perlahan b. Berkurangnya rasa, kesemutan dan nyeri ditangan dan kaki a. Tekanan darah yang naik turun b. Kesulitan menelan dan perubahan fungsi pencernaan disertai serangan diare a. Luka, infeksi dalam (ulkus diabetikum) b. Penyembuhan luka yang jelek Mudah terkena infeksi, terutama infeksi saluran kemih dan kulit
16
6. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah sewaktu, kadar glukosa darah puasa, kemudian diikuti dengan Tes Toleransi Glukosa Oral Standar. Untuk kelompok risiko tinggi DM, seperti usia dewasa tua. Tabel 2.2 Interpretasi Kadar Glukosa Darah (mg/dl) menurut Maulana (2009) Bukan DM
Belum pasti DM
DM
Kadar glukosa darah sewaktu Plasma Vena Darah Kapiler Kadar glukosa darah puasa Plasma Vena Darah Kapiler
<110 <90
110 – 199 90 – 199
>200 >200
<110 <90
110 – 125 90 – 109
>126 >110
7. Penatalaksanaan Menurut Smeltzer & Bare (2002), tujuan utama terapi diabetes melitus adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropatik. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal (euglikemia) tanpa terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktivitas pasien. Ada lima komponen dalam penatalaksanaan diabetes, yaitu diet, latihan, pemantauan, terapi (jika diperlukan), dan pendidikan yang semuanya akan dijelaskan di bawah ini : a. Diet Diet
dan
pengendalian
berat
badan
merupakan
dasar
dari
penatalaksanaan diabetes. Pelaksanaan nutrisi pada penderita diabetes diarahkan untuk mencapai tujuan berikut ini : 1) Memberikan semua unsur makanan esensial (misalnya vitamin, mineral) 2) Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai
17
3) Memenuhi kebutuhan energi 4) Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara – cara yang aman dan praktis 5) Menurunkan kadar lemak darah jika kadarnya meningkat b. Latihan Latihan sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes karena efeknya dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor risiko kardiovaskuler. c. Pemantauan Dengan melakukan pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri, penderita diabetes kini dapat mengatur terapinya untuk mengendalikan kadar glukosa darah secara optimal. d. Terapi (jika diperlukan) 1) Terapi Insulin Penyuntikan insulin sering dilakukan dua kali per hari (atau bahkan lebih seeing lagi) untuk mengendalikan kenaikan kadar gula darah sesudah makan dan pada malam hari. Karena dosis insulin yang diperlukan masing – masing pasien ditentukan oleh kadar glukosa dalam darah, maka pemantauan kadar glukosa darah yang akurat sangat penting. Pemantauan mandiri kadar glukosa darah telah menjadi dasar dalam memberikan terapi insulin. 2) Agens Antidiabetik Oral Agens antidiabetik oral mungkin berkhasiat bagi pasien diabetes tipe 2 yang tidak dapat diatasi hanya dengan diet dan latihan, meskipun demikian obat ini tidak dapat digunakan pada kehamilan. Di Amerika Serikat, obat antidiabetik oral mencakup golongan sulfonilurea dan oiguanid. e. Pendidikan Diabetes melitus merupakan sakit kronis yang memerlukan perilaku penanganan mandiri yang khusus seumur hidup. Pasien bukan hanya
18
harus belajar keterampilan untuk merawat diri sendiri setiap hari guna menghindari penurunan atau kenaikan kadar glukosa darah yang mendadak, tetapi juga memiliki perilaku preventif dalam gaya hidup untuk menghindari komplikasi diabetik jangka panjang.
B. Stres, Adaptasi dan Mekanisme Koping 1. Stres a. Pengertian Menurut Safaria & Saputra (2009), sebelum membahas pengertian stres, sebaiknya kita memahami tiga komponen stres, yaitu stresor, proses (interaksi), dan respon stres. Stresor adalah situasi atau stimulus yang mengancam kesejahteraan individu. Dalam hal ini penyakit diabetes melitus yang diderita oleh pasien merupakan sebuah stressor tersendiri baginya. Respon stres adalah reaksi yang muncul, sedangkan proses stres merupakan mekanisme interaktif yang dimulai dari datangnya stresor sampai munculnya respons stres. Menurut Smeltzer & Bare (2002), stres adalah suatu keadaan yang dihasilkan oleh perubahan lingkungan yang diterima sebagai suatu hal yang menantang, mengancam atau merusak terhadap keseimbangan atau ekuilibrium dinamis seseorang. Orang akan menilai dan mengatasi dengan mengubah situasi. Tujuan yang diinginkan adalah adaptasi, atau penyesuaian terhadap perubahan sehingga seseorang berada kembali dalam suatu ekuilibrium dan mempunyai energi dan kemampuan untuk menghadapi permintaan baru. Inilah yang disebut proses stres koping suatu proses kompensasi dengan komponen fisiologis dan psikologis. b. Penyebab Umum stress Sarafino (2000) membedakan sumber-sumber yang menjadi penyebab stres yaitu : sumber stres di dalam diri seseorang, sumber stres di dalam keluarga, sumber stres di dalam komunitas dan lingkungan (Smet, 2004). Berdasarkan tingkat rangsangannya penyebab umum
19
stres dibedakan menjadi : tingkat rangsangan rendah dan tingkat rangsangan tinggi. Yang termasuk tingkat rangsangan rendah misalnya : pekerjaan rutin yang membosankan, hubungan yang tidak memuaskan dan tidak menguntungkan, kurang kesempatan yang bersifat rekreatif dan kurang berhubungan dengan orang lain. Sedangkan tingkat rangsangan yang tinggi misalnya : terlalu sibuk, tuntutan konflik dengan waktu atau keahlian, aktivitas yang terlalu banyak untuk dikerjakan, kurang kesempatan untuk bersantai, kecemasan finansial atau pribadi (Smith, 2001). c. Jenis Stressor Jenis stressor menurut Smeltzer & Bare (2002), dapat terbagi menjadi 2, yaitu stressor peristiwa kehidupan dan stressor yang berhubungan dengan waktu. Stresor peristiwa hehidupan adalah kelompok stressor yang merupakan kelompok yang paling banyak diteliti dan berhubungan dengan situasi yang relatif jarang secara langsug mempengaruhi individu. Kategori ini meliputi pengaruh kejadian hidup, seperti kematian, kelahiran, perkawinan, perceraian dan pensiun. Sedangkan, stresor yang berhubungan dengan waktu adalah penggolongan
stresor
sesuai
dengan
durasi
terjadinya.
Bisa
digolongkan sebagai akut,stresor dengan durasi yang terbatas, seperti menunggu operasi atau ujian akhir. Dapat juga digolongkan sebagai kronik intermiten atau dapat juga sumber stres kronik terus menerus yang masih terjadi dari waktu ke waktu. Dalam hal ini menderita DM dalam waktu yang lama dapat disebut sabagai stressor kronik yang terjadi terus menerus. 2. Adaptasi Adaptasi menurut Smeltzer & Bare (2002), adalah suatu proses yang konstan dan berkelanjutan yang membutuhkan perubahan dalam hal struktur fungsi dan perilaku sehingga seseorang lebih sesuai dengan suatu lingkungan tertentu. Hasil akhirnya tergantung pada tingkat kesesuaian antara keterampilan dan kapasitas seseorang dan sumber dukungan
20
sosialnya di satu sisi dan jenis tantangan atau stresor yang dihadapi di sisi lain. Maka, adaptasi adalah suatu proses individual dimana masing – masing individu mempunyai kemampuan untuk mengatasi masalah atau berespons dengan tingkat yang berbeda – beda. 3. Mekanisme Koping a. Pengertian Mekanisme Koping Menurut Lazarus (1984) dalam Safaria & Saputra (2009), koping didefinisikan sebagai strategi untuk memanajemen tingkah laku kepada pemecahan masalah yang paling sederhana dan realistis, berfungsi untuk membebaskan diri dari masalah yang nyata maupun tidak nyata, dan koping merupakan semua usaha secara kognitif dan perilaku untuk mengatasi, mengurangi, dan tahan terhadap tuntutantuntutan. Menurut Suryani & Widyasih (2008) secara garis besar mekanisme koping terdiri dari mekanisme koping adaptif dan maladaptif: 1) Mekanisme koping adaptif Penggunaan koping yang adaptif membantu individu dalam beradaptasi untuk menghadapi keseimbangan. Adaptasi individu yang baik muncul reaksi untuk menyelesaikan masalah dengan melibatkan proses kognitif, efektif dan psikomotor (bicara dengan orang lain untuk mencari jalan keluar suatu masalah, membuat berbagai tindakan dalam menangani situasi dan belajar dari pengalaman masa lalu). Kegunaan koping adaptif membuat individu akan mencapai keadaan yang seimbang antara tingkat fungsi dalam memelihara dan memperkuat kesehatan fisik dan psikologi. Kompromi merupakan tindakan adaptif yang dilakukan oleh individu untuk menyelesaikan masalah, lazimnya kompromi dilakukan dengan cara bermusyawarah atau negosiasi untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi, secara umum kompromi dapat mengurangi ketegangan dan masalah dapat diselesaikan. Mekanisme koping adaptif yang lain adalah berbicara
21
dengan orang lain tentang masalah yang sedang dihadapi, mencoba mencari informasi lebih banyak tentang masalah yang sedang dihadapi, berdoa, melakukan latihan fisik untuk mengurangi ketegangan masalah, membuat berbagai alternatif tindakan untuk mengurangi situasi, dan merasa yakin bahwa semua akan kembali stabil, mengambil pelajaran dari peristiwa atau pengalaman masa lalu. 2) Mekanisme koping maladaptif Penggunaan koping yang maladaptif dapat menimbulkan respon negatif dengan munculnya reaksi mekanisme pertahanan tubuh dan respon verbal. Perilaku mekanisme koping maladaptif antara lain perilaku agresi dan menarik diri. Perilaku agresi dimana individu menyerang obyek, apabila dengan ini individu mendapat kepuasan, maka individu akan menggunakan agresi. Perilaku agresi (menyerang) terhadap sasaran atau obyek dapat merupakan benda, barang atau orang atau bahkan terhadap dirinya sendiri. Adapun perilaku menarik diri
dimana
perilaku
yang menunjukan
pengasingan diri dari lingkungan dan orang lain, jadi secara fisik dan psikologis individu secara sadar pergi meninggalkan lingkungan yang menjadi sumber stressor misalnya ; individu melarikan diri dari sumber stress. Sedangkan reaksi psikologis individu menampilkan diri seperti apatis, pendiam dan munculnya perasaan tidak berminat yang menetap pada individu. Perilaku yang dapat dilakukan adalah menggunakan alkohol atau obatobatan, melamun dan fantasi, banyak tidur, menangis, beralih pada aktifitas lain agar dapat melupakan masalah. b. Klasifikasi dan Bentuk Coping Metode koping yang berorientasi pada masalah digunakan untuk mengubah hubungan orang dengan lingkungan yang penuh tekanan. Sedangkan metode koping yang berorientasi pada sikap digunakan untuk mengontrol reaksi emosiyang timbul dari hubungan stres
22
(Lazarus & Launier, 1978 dalam Gurklis & Jean, 1986). Menurut Lazarus dalam Sarafino (2006) secara umum membedakan bentuk dan fungsi coping dalam dua klasifikasi yaitu : 1) Problem Focused Coping (PFC) adalah merupakan bentuk coping yang lebih diarahkan kepada upaya untuk mengurangi tuntutan dari situasi yang penuh tekanan. artinya coping yang muncul terfokus pada masalah individu yang akan mengatasi stres dengan mempelajari cara-cara keterampilan yang baru. Individu cenderung menggunakan strategi ini ketika mereka percaya bahwa tuntutan dari situasi dapat diubah (Lazarus & Folkman dalam Sarafino, 2006). Strategi ini melibatkan usaha untuk melakukan sesuatu hal terhadap kondisi stres yang mengancam individu (Taylor, 2009). 2) Emotion Focused Coping (EFC) merupakan bentuk coping yang diarahkan untuk mengatur respon emosional terhadap situasi yang menekan. Individu dapat mengatur respon emosionalnya dengan pendekatan behavioral dan kognitif. Contoh dari pendekatan behavioral
adalah
penggunaan
alkohol,
narkoba,
mencari
dukungan emosional dari teman – teman dan mengikuti berbagai aktivitas seperti berolahraga atau menonton televisi yang dapat mengalihkan perhatian individu dari masalahnya. Sementara pendekatan kognitif melibatkan bagaimana individu berfikir tentang situasi yang menekan. Dalam pendekatan kognitif, individu melakukan redefine terhadap situasi yang menekan seperti membuat perbandingan dengan individu lain yang mengalami situasi lebih buruk, dan melihat sesuatu yang baik diluar dari masalah. Individu cenderung untuk menggunakan strategi ini ketika mereka percaya mereka dapat melakukan sedikit perubahan untuk mengubah kondisi yang menekan. c. Faktor-faktor yang mempengaruhi strategi koping Menurut Keliat (2006), disebutkan mekanisme koping dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, konsep diri, rasa aman nyaman,
23
pengalaman masa lalu dan tingkat pengetahuan seseorang. Menurut Suwitra (2007), juga disebutkan faktor yang mempengaruhi strategi koping individu meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status perkawinan,
kesehatan
fisik/energi,
keterampilan
memecahkan
masalah, keterampilan sosial dan dukungan sosial dan materi. Faktor – faktor menurut Suwitra (2007), tersebut akan dijelaskan di bawah ini : 1) Usia Usia berhubungan dengan toleransi seseorang terhadap stres dan jenis stresor yang paling mengganggu. Usia dewasa lebih mampu mengontrol stress dibanding dengan usia anak-anak dan usia lanjut (Siswanto, 2007). Menurut Hurlock (2004), bahwa semakin tinggi umur maka tingkat kematangan dan kekuatan seseorang lebih dipercaya. Semakin tua umur seseorang, makin konstruktif dalam menggunakan
koping
terhadap
masalah
yang
dihadapi.
Pengalaman dan kematangan jiwa seseorang disebabkan semakin cukupnya umur dan kedewasaan dalam berfikir dan bekerja. 2) Jenis kelamin Wanita biasanya mempunyai daya tahan yang lebih baik terhadap stresor dibanding dengan pria, secara biologis kelenturan tubuh wanita akan mentoleransi terhadap stres menjadi baik dibanding pria (Siswanto, 2007). Jenis kelamin sangat mempengaruhi dalam berespon terhadap penyakit, stres, serta penggunaan koping dalam menghadapi masalah diabetes melitus. 3) Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan mempengaruhi seseorang mudah terkena stres atau tidak. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka toleransi dan pengontrolan terhadap stressor lebih baik (Siswanto, 2007). Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan serta dalam pembangunan kesehatan. Makin tinggi
24
tingkat pendidikan seseorang, makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. 4) Status perkawinan Salah satu penyebab stress psikososial yaitu status perkawinan dimana berbagai permasalahan perkawinan merupakan sumber stres yang dialami seseorang, misalnya pertengkaran, perpisahan, perceraian, kematian pasangan, dan lain sebagainya. Stresor ini dapat menyebabkan seseorang jatuh dalam depresi dan kecemasan (Yosep, 2007). 5) Kesehatan Fisik Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar. 6) Keyakinan atau pandangan positif Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib (eksternal locus of control) yang mengerahkan
individu
pada
penilaian
ketidakberdayaan
(helplessness) yang akan menurunkan kemampuan strategi coping tipe : problem-solving focused coping. 7) Keterampilan memecahkan masalah Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat. 8) Keterampilan sosial Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku dimasyarakat.\
25
9) Dukungan sosial Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya. 10) Materi Dukungan ini meliputi sumber daya berupa uang, barang barang atau layanan yang biasanya dapat dibeli. d. Pengukuran Mekanisme Koping Mekanisme koping dapat diukur dengan menggunakan kuesioner Jaloewic Coping Scale yang terdiri dari 40 pertanyaan. Nilai berkisar antara 40 – 200. Dikatakan mekanisme koping maladaptif apabila nilainya 40 – 120, dan dikatakan mekanisme koping adaptif jika nilainya 121 – 200.
C. Pengetahuan 1. Pengertian Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini tejadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour). Berdasarkan pengalaman ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. 2. Tingkat Pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yaitu : a. Tahu (know) Tahu dapat diperhatikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan tingkat iniadalah
26
mengingat kembali suatu spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari meliputi pengetahuan terhadap fakta, konsep, definisi,nama, peristiwa, tahun, daftar, rumus, teori dan kesimpulan. Oleh karena itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, mendatakan dan lain sebagainya. b. Memahami (comprehension) Memahami
diartikan
sebagai
kemampuan
menjelaskan
secara
benartentang objek yang diketahui dan dapat mengintepretasikan materitersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau
materi
harus
dapat
menjelaskan,
menyebutkan
contoh,
menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. c. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya (real). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai penggunaan hukum-hukum, rumus, prinsip dan sebagainya dalam konteks lain. d. Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen – komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya. e. Sintesis (synthesis) Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru atau dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi – formulasi yang ada. Misalnya dapat
27
menyusun,
dapat
merencanakan dan dapat
meringkas,
dapat
menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusanrumusan yang telah ada. f. Evaluasi (evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek, penilaian didasarkan pada kriteria tertentu. 3. Sumber – sumber pengetahuan Pengetahuan seseorang biasanya diperoleh dari pengalaman yang berasal dari berbagai macam sumber, misalnya media massa, media elektronik, buku petunjuk, petugas kesehatan, media poster, kerabat dekat dan sebagainya. Sumber pengetahuan dapat berupa pemimpin – pemimpin masyarakat baik formal maupun informal, ahli agama, pemegang pemerintahan dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007). 4. Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan Faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo (2007) antara lain pendidikan, media massa, ekonomi, hubungan sosial dan pengalaman. a. Pendidikan Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam memberi respon terhadap sesuatu yang datang dari luar. Orang yang berpendidikan tinggi akan memberikan respon yang lebih rasional terhadap informasi yang datang dan akan berpikir sejauh mana keuntungan dari suatu tindakan atau keputusan yang diambil. b. Media massa Melalui berbagai media baik cetak maupun elektronik berbagai informasi dapat diterima masyarakat, sehingga seseorang yang lebih sering terpapar media massa (TV, radio, majalah, pamflet, dan lain lain) akan memperoleh informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan orang yang tidak pernah terpapar informasi media. Ini berarti
28
paparan media massa mempengaruhi tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang. c. Ekonomi Pemenuhan kebutuhan pokok (primer) maupun kebutuhan sekunder, keluarga dengan status ekonomi baik akan lebih mudah tercukupi dibandingkan keluarga dengan status ekonomi rendah. Hal ini akan mempengaruhi
pemenuhan
kebutuhan
sekunder.
Jadi
dapat
disimpulkan bahwa ekonomi dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang tentang berbagai hal. d. Hubungan sosial Manusia adalah makhluk sosial dimana dalam kehidupan saling berinteraksi antara satu dengan yang lain. Individu yang dapat berinteraksi secara continue akan lebih besar terpapar informasi. Sementara faktor hubungan sosial juga mempengaruhi kemampuan individu sebagai komunikasi untuk menerima pesan menurut model komunikasi
media
dengan
demikian
hubungan
sosial
dapat
mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang tentang suatu hal. e. Pengalaman Pengalaman seorang individu tentang berbagai hal biasa diperoleh dari lingkungan kehidupan dalam proses perkembangannya, misalnya sering mengikuti kegiatan. Kegiatan yang mendidik misalnya seminar organisasi dapat memperluas jangkauan pengalamannya, karena dari berbagai kegiatan tersebut informasi tentang suatu hal dapat diperoleh. 5. Pengukuran Pengetahuan Pengetahuan dapat diukur dengan wawancara atau angket yang menyatakan tentang isi materi yang ingin diukur dari responden (Notoatmodjo, 2007). Menurut Arikunto (2006), tingkat pengetahuan dapat dibedakan tiga tingkatan, menjadi baik jika tingkat pengetahuan mencapai 80%-100%, dinyatakan cukup jika pengetahuan mencapai 60% 80% dan dinyatakan kurang jika pengetahuan kurang dari 60%.
29
D. Dukungan Keluarga 1. Pengertian Menurut Friedman (2003), dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Keluarga juga berfungsi sebagai sistem pendukung bagi anggotanya dan anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung, selalu siap memberikan pertolongan dengan bantuan jika diperlukan. Serason (1983) dalam Kuncoro (2002), mengatakan bahwa dukungan keluarga dalah keberadaan, kesediaan, kepedulian, dari orang – orang yang dapat diandalkan, menghargai,dan menyayangi kita. Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Cobb yang mendefinisikan dukungan keluarga sebagai adanya kenyamanan, perhatian dan penghargaan atau menolong dengan sikap menerima kondisinya. Dukungan sosial tersebut diperoleh dari individu maupun dari kelompok.
Dengan memahami pentingnya dukungan keluarga bagi penderita DM, kita diharapkan mampu untuk memberikan partisipasi dalam pemberian dukungan
sesuai
dengan
kebutuhan
penderita.
Mulailah
dengan
memberikan dukungan keluarga bagi penderita DM yang berada dekat dengan kita. Dengan pemberian dukungan yang bermakna maka para pendeita DM akan dapat menikmati hari – hari mereka dengan tentram dan damai yang pada akhirnya akan memberikan banyak manfaat bagi semua anggota keluarga yang lain (Kuncoro, 2002). 2. Jenis Dukungan Keluarga Kaplan (1976) dalam Friedman (2003) menjelaskan bahwa dukungan keluarga memiliki 4 jenis dukungan, yaitu : a. Dukungan Informasional Keluarga berfungsi sebagai kolektor dan disseminator informasi tentang dunia yang dapat digunakan untuk mengungkapkan suatu masalah. Manfaat dari dukungan ini adalah dapat menekan munculnya suatu stressor karena informasi yang diberikan dapat menyumbangkan
30
aksi sugesti yang khusus pada individu. Aspek – aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan, saran, petunjuk, dan pemberian informasi. b. Dukungan Penilaian / Penghargaan Keluarga
bertindak
sebagai
sebuah bimbingan
umpan
balik,
membimbing dan menengahi masalah serta sebagai sumber validator identitas anggota keluarga, diantaranya : memberikan support, pengakuan, penghargaan, dan perhatian. c. Dukungan Instrumental Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit diantaranya : bantuan langsung dari orang yang diandalkan seperti materi, tenaga dan sarana. Manfaat dukungan ini adalah mendukung pulihnya energi atau stamina dan semangat yang menurun selain itu individu merasa bahwa masih ada perhatian atau kepedulian dari lingkungan terhadap seseorang yang sedang mengalami kesusahan atau penderitaan. d. Dukungan Emosional Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Manfaat dari dukungan ini adalah secara emosional menjamin nilai – nilai individu (baik pria maupun wanita) akan selalu terjaga kerahasiaannya dari keingintahuan orang lain. Aspek aspek dari dukungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian dan mendengarkan serta didengarkan.
Pasien diabetes melitus membutuhkan keempat jenis dukungan tersebut yang berasal dari keluarga yang diharapkan dapat mempengaruhi mekanisme koping pasien menjadi adaptif.
31
3. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Dukungan Keluarga Menurut Purnawan (2008), faktor – faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga adalah : a. Faktor internal, yang terdiri dari : tahap perkembangan, pendidikan atau tingkat pengetahuan, faktor emosi dan spiritual b. Faktor eksternal, yang terdiri dari : praktik di keluarga, faktor sosioekonomi dan latar belakang budaya
32
E. Kerangka Teori Adaptif Stressor : Menderita Diabetes Melitus dalam jangka waktu yang lama.
Mekanisme Koping
Stres
Maladaptif Faktor – faktor yang mempengaruhi koping: 1. Usia 2. Jenis kelamin 3. Tingkat pendidikan 4. Status perkawinan 5. Kesehatan fisik 6. Keyakinan atau pandangan positif 7. Ketrampilan memecahkan masalah 8. Ketrampilan sosial 9. Dukungan sosial(Dukungan keluarga) 10. Materi 11. Faktor lingkungan 12. Konsep diri 13. Rasa aman nyaman 14. Pengalaman masa lalu:Lama
menderita DM 15. Tingkat pengetahuan
seseorang
Bagan 2.1 Kerangka Teori menurut Smeltzer & Bare (2002), Safaria & Saputra (2009), Suwitra (2007), Keliat (2006)
33
F. Kerangka Konsep Usia
Lamanya Menderita DM
Mekanisme Koping
Pengetahuan
Dukungan Keluarga Bagan 2.2 Kerangka Konsep
G. Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini terdapat variabel independen dan variabel dependen. Variabel independen terdiri dari karakteristik responden yang meliputi usia dan lamanya menderita penyakit, pengetahuan tentang DM, dan dukungan keluarga. Kemudian akan diteliti apakah berhubungan dengan variabel dependen yaitu mekanisme koping.
H. Hipotesis Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu penelitian (Setiadi, 2007). Hipotesis dalam penelitian ini adalah : 1. Ada hubungan antara usia dengan mekanisme koping pada pasien DM kronik di poli penyakit dalam RSUP Dr Kariadi Semarang 2. Ada hubungan antara lamanya menderita DM dengan mekanisme koping pada pasien DM kronik di poli penyakit dalam RSUP Dr Kariadi Semarang 3. Ada hubungan antara pengetahuan dengan mekanisme koping pada pasien DM kronik di poli penyakit dalam RSUP Dr Kariadi Semarang 4. Ada hubungan antara dukungan keluarga dengan mekanisme koping pada pasien DM kronik di poli penyakit dalam RSUP Dr Kariadi Semarang